Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar

2.1.1 Sejarah Sinar-X

Wihelm Conrad Roentgen seorang ahli fisika di Universitas Wurzburg,

Jerman, pertama kali mnemukan sinar Roentgen pada tahun 1895 sewaktu

melakukan eksperimen dengan sinar katoda. Saat itu ia melihat timbulnya efek

fluorosensi yang berasal dari kristal barium platinosianida dalam tabung

Crookes-Hittorf yang dialiri listrik. Tidak lama kemudian ditemukanlah sinar-

X (Rasad, 2010).

Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagetik yang sejenis

dengan gelombang radio, panas, cahaya dan sinar ultraviolet, tetapi dengan

panjang gelombang yang sangat pendek. Sinar-X bersifat heterogen, panjang

gelombangnya bervariasi dan tidak terlihat. Perbedaan antara Sinar-X dengan

sinar elektromagnetik lainnya juga terletak pada panjang gelombang, dimana

panjang gelombang Sinar-X sangat pendek, yaitu hanya 1/10.000 panjang

gelombang cahaya yang kelihatan. Karena panjang gelombang yang pendek itu,

maka Sinar-X dapat menembus benda-benda(Rasad, 2010).

7
2.1.2 Proses Terjadinya Sinar-X

Gambar 2.1 Tabung sinar-X

Urutan proses terjadinya sinar-X menurut Rasad (2010) adalah sebagai

berikut :

1. Katoda (filamen) dipanaskan (lebih dari 2000ºC) sampai menyala dengan

mengalirkan listrik yang berasal dari transformator.

2. Karena panas, elektron-elektron dari katode (filamen) terlepas.

3. Sewaktu dihubungkan dengan transformator tegangan tinggi, elektron-

elektron akan dipercepat gerakannya menuju anoda dan dipusatkan ke alat

pemusat (focusing cup).

4. Filamen dibuat relatif negatif terhadap sasaran (target) dengan memilih

potensial tinggi.

5. Awan-awan elektron mendadak dihentikan pada sasaran (target) sehingga

terbentuk panas ( >99%) dan sinar-X (1%).

6. Pelindung (perisai) timah akan mencegah keluarnya sinar-X dari tabung,

sehingga sinar-X yang terbentuk hanya dapat keluar melalui jendela.

7. Panas yang tinggi pada sasaran (target) akibat benturan elektron

ditiadakan oleh radiator pendingin.

8
Jumlah sinar-X yang dilepaskan setiap satuan waktu dapat dilihat pada alat

pengukur mili ampere (mA), sedangkan jangka waktu pemotretan

dikendalikan oleh alat pengukur waktu.

2.1.3 Sifat-sifat Sinar-x

Menurut Rasad (2010) sinar-X mempunyai beberapa sifat fisik yaitu :

1. Daya Tembus

Sinar-X dapat menembus bahan, dengan daya tembus sangat besar

dan digunakan dalam radiografi. Makin tinggi tegangan tabung (besarnya

kV) yang digunakan, makin besar daya tembusnya. Makin rendah berat

atom atau kepadatan suatu benda, makin besar daya tembus sinarnya.

2. Peretebaran

Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau suatu zat, maka

berkas tersebut akan bertebaran ke segala jurusan, menimbulkan radiasi

sekunder (radiasi hambur) pada bahan/zat yang dilaluinya. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya gamabr radiograf dan pada film akan tampak

pengaburan kelabu secara menyeluruh. Untuk mengurangi akibat radiasi

hambur ini, maka di antara subjek dengan film rontgen diletakkan grid.

Grid terdiri atas potongan-potongan timah tipis yang letaknya sejajar,

masing-masing dipisahkan oleh bahan tembus sinar.

3. Penyerapan

Sinar-X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai dengan

berat atom atau kepadatan bahan atau zat tersebut. Makin tinggi

kepadatannya atau berat atomnya, makin besar penyerapannya.

9
4. Efek fotografik

Sinar-x dapat menghitamkan emulsi film (emulsi perak-bromida)

setelah di proses secara kimiawi (dibangkitkan) di kamar gelap.

5. Pendar Fluor (fluoresensi)

Sinar-X menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti kalsium-

tungstat atau zink-sulfid memendarkan cahaya (luminisensi), bila bahan

tersebut dikenai radiasi sinar-X. Luminisensi ada 2 jenis yaitu :

a. Fluorosensi

Yaitu akan memendarkan cahaya sewaktu ada radiasi sinar-X

saja.

b. Fosforisensi

Yaitu pemendaran cahaya akan berlangsung beberapa saat

walaupun radiasi sinar-X sudah dimatikan (after glow)

6. Ionisasi

Efek primer sinar-X apabila mengenai suatu bahan atau zat akan

menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan atau zat tersebut,

7. Efek Biologi

Sinar-X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologik pada

jaringan. Efek biologik ini dipergunakan dalam pengobatan radioterapi.

2.1.4 Radiasi

Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam

bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik atau cahaya (foton)

dari sumber radiasi. Ada beberapa sumber radiasi di sekitar kehidupan,

contohnya adalah televisi, lampu penerangan, alat pemanas makanan

(microwave oven), komputer, dan lain-lain. Radiasi dalam bentuk gelombang

10
elektromagnetik atau disebut juga dengan foton adalah jenis radiasi yang tidak

mempunyai massa dan muatan listrik. Misalnya adalah gamma dan sinar-X,

dan juga termasuk radiasi tampak seperti sinar lampu, sinar matahari,

gelombang microwave, radar dan handphone.

Menurut BATAN (2009) Radiasi di bagi menjadi dua, yaitu :

1. Radiasi Pengion

Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses

ionisasi (terbentuknya ion positif dan ion negatif) apabila berinteraksi

dengan materi. Yang termasuk dalam jenis radiasi pengion adalah partikel

alpha, partikel beta, sinar gamma, sinar-X dan neutron. Setiap jenis radiasi

memiliki karakteristik khusus. Yang termasuk radiasi pengion adalah

partikel alfa (α), partikel beta (β), sinar gamma (γ), sinar-X, partikel

neutron.

2. Radiasi Non Pengion

Radiasi non-pengion adalah jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan

efek ionisasi apabila berinteraksi dengan materi. Radiasi non-pengion

tersebut berada di sekeliling kehidupan kita. Yang termasuk dalam jenis

radiasi non-pengion antara lain adalah gelombang radio (yang membawa

informasi dan hiburan melalui radio dan televisi); gelombang mikro (yang

digunakan dalam microwave oven dan transmisi seluler handphone); sinar

inframerah (yang memberikan energi dalam bentuk panas); cahaya tampak

(yang bisa kita lihat); sinar ultraviolet (yang dipancarkan matahari).

2.1.5 Efek Radiasi

Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetik dan sel somatik. Sel

genetik adalah sel telur pada perempuan dan sel sperma pada laki-laki,

11
sedangkan sel somatik adalah sel-sel lainnya yang ada dalam tubuh.

Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas efek genetik dan

efek somatik. Efek genetik adalah efek yang dirasakan oleh keturunan dari

individu yang terkena paparan radiasi. Sebaliknya efek somatik adalah efek

radiasi yang dirasakan oleh individu yang terpapar radiasi.

Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat

bervariasi sehingga dapat dibedakan menjadi efek segera dan tertunda. Efek

segera adalah efek kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada

individu dalam waktu singkat setelah individu terpapar radiasi seperti eritema

(memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah sel darah. Kerusakan

tersebut terlihat dalam waktu hari sampai mingguan paska radiasi. Sedangkan

efek tertunda merupakan radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama

(bulanan atau tahunan) setelah terpapar radiasi, seperti katarak atau kanker.

Bila ditinjau dari dosis radiasi, efek radiasi dapat di bedakan menjadi

efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik adalah efek yang

disebabkan karena kematian sel akibat paparan radiasi, sedangkan efek

stokastik adalah efek yang terjadi akibat paparan radiasi dengan dosis yang

menyebabkan terjadinya perubahan sel (BATAN, 2008).

2.1.6 Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi

pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan radiasi (BAPETEN, 2011). Asas

Proteksi Radiasi menurut BATAN (2009) ada 3 yaitu :

1. Asas Justifikasi atau Pembenaran

Asas ini menghendaki agar setiap kegiatan yang dapat mengakibatkan

paparan radiasi hanya boleh dilaksanakan setelah dilakukan pengkajian

12
yang cukup mendalam dan diketahui bahwa manfaat dari kegiatan tersebut

cukup besar dibandingkan dengan kerugian yang dapat ditimbulkan.

2. Asas Optimasi

Asas ini dikenal dengan sebutan ALARA atau As Low As Reasonably

Achievebel. Asas ini menghendaki agar paparan radiasi dari suatu kegiatan

harus ditekan serendah mungkin dengan mempertimbangkan faktor

ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan penyusunan program proteksi

radiasi asas optimisasi mengandung pengertian bahwa setiap komponen

dalam program telah dipertimbangkan secara seksama, termasuk besarnya

biaya yang dapat dijangkau.

3. Asas Limitasi atau pembatasan dosis perorangan

Asas ini menghendaki agar dosis radiasi yang diterima oleh seseorang

dalam menjalankan suatu kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang

telah ditetapkan oleh instalasi yang berwenang.

2.1.7 Anatomi Fiaiologi Saluran Pencernaan

Sistem perncernaan adalah sistem yang berfungsi untuk melakukan

proses makanan sehingga dapat diserap dan digunakan oleh sel-sel tubuh secara

fisika maupun secara kimia. Sistem pencernaan ini terdiri dari saluran

pencernaan (alimentar), yaitu tuba muscular panjang yang memrentang dari

mulut sampai anus, dan organ-organ aksesoris, seperti gigi, lidah, kelenjar

saliva, hati, kandung empedu dan pancreas. Saluran pencernaan yang terletak di

bawah area diafragma disebut saluran grastrointestinal (Syaifuddin, 2009).

Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk menyediakan makanan, air,

dan elektrolit bagi tubuh dari nutrient yang dicerna sehingga siap diabsorpsi.

Pencernaan berlangsung secara mekanik dan kimia, dan meliputi proses berikut:

13
1. Ingesti adalah masuknya makanan ke dalam mulut.

2. Pemotongan dan penggilingan makanan dilakukan secara mekanik oleh gigi.

Makanan kemudian bercampur dengan saliva sebelum ditelan (menelan).

3. Peristalsis adalah gelombang kontraksi otot polos involunter yang

menggerakkan makanan tertelan melalui saluran pencernaan.

4. Digesti adalah hidrolisis kimia (penguraian) molekul besar menjadi molekul

kecil sehingga absorpsi dapat berlangsung.

5. Absorpsi adalah penggerakan produk akhir penccernaan dari lumen saluran

pencernaan ke dalam sirkulasi darah dan limfatik sehingga dapat digunakan

oleh tubuh.

6. Egesti (defekasi) adalah proses eliminasi zat-zat sisa yang tidak tercerna, juga

bakteri, dalam bentuk feses dari saluran pencernaan (Syaifuddin, 2009)

Dinding saluran terusun dari 4 lapisan jaringan dasar dari lumen (rongga

sentral) ke arah luar. Komponen lapisan pada setiap regia berfariasi sesuai

fungsi regia.

A. Mukosa (membrane mukosa) tersusun dari tiga lapisan.

1) Epithelium yang melapisi berfungsi untuk perlindungan, sekresi, dan

absorpsi. Di bagian ujung oral dan anal saluran, lapisannya tersusun dari

dari epithelium skuamosa bertingkat tidak terkeranisasi untuk

perlinndungan. Lapisan ini terdiri dari epithelium kolumnar simple

dengan sel goblet di area tersebut yang dikhususkan untuk sekresi dan

absorpsi.

2) Lamina propria adalah jaringan ikat areolar yang menopang epithelium.

Lamina ini mengandung pembuluh darah, limfatik, nodular limfe, dan

bebrapa jenis lainnya.

14
3) Muskularis mukosa terdiri dari lapisan sirkular dalam yang tipis dan

lapisan otot polos longitudinal luar.

B. Submukosa terdiri dari jaringan ikat areolar yang mengandung pembuluh

darah, pembuluh limfatik, beberapa kelenjar submukosal, dan pleksus

serabut saraf, serta sel-sel ganglion yang disebut pleksus meissner (pleksus

submukosal). Submukosa mengikat mukosa ke muskularis eksterna.

C. Muskularis eksterna terdiri dari dua lapisan otot, satu lapisan sirkular dalam

dan satu lapisan longitudinal luar. Konstraksi lapisan sirkular

mengkonstriksi lumen saluran dan kontraksi lapisan longitudinal

memperpendek dan memperlebar lumen saluran. Konstraksi ini

mengakibatkan gelombang peristalsis yang meenggerakkan isi saluran kea

rah depan.

1) Muskularis eksterna terdiri dari otot rangka di mulut, faring, dan

esophagus attas, serta otot polos pada saluran selanjutnya.

2) Pleksus auerbach (pleksus mienterik) yang terdiri dari serabut saraf dan

ganglion parasimpatis, terletak diantara lapisan otot sirkular ddalam

longitudinal luar.

D. Serosa (adventisia), lapisan keempat dan paling luar yang disebut juga

peritoneum viseral. Lapisan ini terdiri dari membrane serosa jaringan ikat

renggang yang dilapisi epithelium skuamosa simple. Di bawah area

diafragma dan dalam lokasi tempat epithelium skuamosa dan menghilang

dan jaringan ikat bersatu dengan jaringan ikat di sekitarna area tersebut

disebut sebagai adventisia.

Peritoneum, mesenterium, dan omentum abdominopelvis adalah

membrane erosa terlebar dalam tubuh.

15
a. Peritoneum parietal melapisi rongga abdominopelvis.

b. Peritoneum viseral membungkus organ dan terhubungkan ke peritoneum

parietal oleh berbagai lipatan.

c. Rongga peritoneal adalah ruang potensial antara visceral dan peritoneum

parietal.

d. Mesenterium dan omentum adalah lipatan jaringan peritoneal berlapis

ganda yang merefleks balik dari peritoneum visceral. Lipatan ini berfungsi

untuk mengikat organ-organ abdominal satu sama lain dan

melabuhkannya ke dinding abdominal belakang. Pembuluh darah

limfatik, dan saraf terletak dalam lipatan peritoneal.

Omentum besar adalah lipatan ganda berukuran besar yang melekat

pada duodenum, lambung dan usus besar. Lipatan ini tergantung seperrti

celemek di atas usus. Omentum kecil menopang lambung dan duodenum

sehingga terpisah dari hati. Mesokolon melekatnya kolon ke dinding

abdominal belakang. Ligamen falsimoris melekatkan hati ke dinding

abdominal depan dan difragma.

e. Organ yang tidak terbungkus peritoneum, tetapi hanya tertutup olehnya

disebut retroperitoneal (di belakang peritoneum). Yang termasuk

retroperitoneal antara lain; pankreas, duodenum, ginjal, rectum, kandung

kemih, dan beberapa organ reproduksi (Iswandi, 2009)

2.1.8 Organ-Organ Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan menurut (Angliadi, 2014), adalah sebagai berikut :

A. Rongga Mulut

Makanan masuk kedalam tubuh melalui mulut. Di dalam rongga mulut

terdapat gigi, lidah, dan air ludah (air liur). Ketiga komponen itu berperan

16
untuk mencerna makanan di dalam mulut. Gigi dan lidah mencerna

makanan secaram ekanis. Air ludah mencerna makanan secara kimiawi.

Pencernaan secaramekanis merupakan pencernaan makanan dengan cara

dikunyah oleh gigi dan dibantu lidah. Sementaraitu, pencernaan kimiawi

merupakan pencernaan makanan yang dilakukan oleh enzim. Mulut

merupakan saluran pertama yang dilalui makanan.

Gambar 2.2 Sistem Pencernaan

Pada rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar pencernaan

untuk membantu pencernaan makanan. Pada Mulut terdapat:

1. Gigi

Memiliki fungsi memotong, mengoyak dan menggiling

makanan menjadi partikel yang kecil-kecil. Gigi berfungsi

menghancurkan makanan yang masuk dalam rongga mulut.

Berdasarkan bentuk dan fungsinya, gigi dibedakan menjad itiga. Ketiga

gigi tersebut yaitu gigi seri, gigi taring, dan gigi geraham.

2. Lidah

Lidah mempunyai beberapa fungsi seperti mengatur letak

makanan saat dikunyah, membantu menelan makanan, dan mengecap

17
rasa makanan. Lidah peka terhadap panas, dingin, dan adanya

tekanan.Lidah dapat mengecap makanan karena pada permukaannya

terdapat bintil-bintil lidah.Pada bintil-bintil lidah terdapat saraf

pengecap. Setiap permukaan lidah memiliki fungsi kepekaan rasa yang

berbeda. Rasa pahit terasa di bagian pangkal lidah, rasa manis terasa di

bagian ujung lidah, rasa asam terasa di bagian tepi kiri dan kanan lidah,

dan rasa asin terasa di bagian ujung dan dalam lidah.

3. Kelenjar Ludah

Saat makanan dikunyah dalam mulut, makanan dibasahi oleh air

liur. Makanan menjadi licin dan mudah ditelan.Selain itu, air liur

mengandung enzim ptyalin atau amilase. Enzimini berfungsi untuk

mencerna zat tepung (amilum) secara kimiawi menjadi zat gula. Itulah

sebabnya, saat mengunyah nasi dalam waktu lama kita akan merasakan

manis. Pencernaan seperti ini merupakan contoh pencernaan kimiawi.

Perhatikan gambar berikut ini.

Ada 3 kelenjar ludah pada rongga mulut, yaitu kelenjar Parotis,

kelenjar Subman dibularis, dan kelenjar sublingualis. Ketiga kelenjar

ludah tersebut menghasilkan ludah setiap harinya sekitar 1 sampai 2,5

liter ludah. Kandungan ludah pada manusia adalah : air, mucus, enzim

amilase, zat anti bakteri, dll. Fungsi ludah adalah melumasi rongga

mulut serta mencerna karbohidrat menjadi disakarida.

4. Esofagus (Kerongkongan)

Merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga mulut

dengan lambung. Pada ujung saluran esophagus setelah mulut terdapat

daerah yang disebut faring. Pada faring terdapatklep, yaituepiglotis

18
yang mengatu rmakanan agar tidak masuk ketrakea (tenggorokan).

Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan kelambung. Agar

makanan dapat berjalan sepanjang esophagus, terdapat gerakan

peristaltic sehingga makanan dapat berjalan menuju lambung.

Di pangkal leher terdapat dua saluran, yaitu batang tenggorokan dan

kerongkongan. Batang tenggorokan merupakan saluran pernapasan,

sedangkan kerongkongan merupakan saluran penghubung antara

rongga mulut dan lambung. Kedua saluran ini dipisahkan oleh sebuah

katup. Katupakan menutup ketika sedang makan, dan akan terbuka

ketika sedang bernapas. Itu sebabnya dianjurkan untuk tidak berbicara

ketika sedang makan sebab dapat menimbulkan tersedak. Panjang

kerongkongan kira-kira 20 cm. Kerongkongan terdiri atas otot yang

lentur.Makanan yang berada di dalam kerongkongan akan didorong

oleh dinding kerongkongan menuju lambung. Gerakan seperti ini

disebut gerak peristaltik. Gerak peristaltic dilakukan oleh otot dinding

kerongkongan.

B. Rongga Oral, Faring Dan Esofagus

1. Rongga oral

Rongga oral adalah jalan masuk menuju system pencernaan dan

berisi organ asesoris yangberfungsi dalam proses awal pencernaan.

Rongga vestibulum (bukal) yang terletak di antara gigi, dan bibir dan

pipi sebagai batas luarnya. Rongga oral utama dibatasi gigi dan gusi di

bagian depan, palatum lunak dan keras di bagian atas, lidah dibagian

bawah, dan orofaring di bagian belakang.

19
Gambar 2.3 Rongga Mulut

2. Faring

Faring atau tekak terletak di belakang hidung, mulut, dan laring

(tenggorokan). Faring berupa saluran yang berbentuk kerucut dari

bahan membrane berotot (muskulo membranosa) dengan bagian

terlebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tengkorak sampai

diketinggian vertebra servikal keenam, yaitu ketinggin tulang rawan

krikoid, tempat faring bersambung dengan usofagus. Dalam faring ini

terjadi proses menelan (deglutisi) menggerakkan makanan dari faring

menuju esofagus.

Gambar 2.3 Faring

20
3. Esofagus(kerongkongan)

Esophagus adalah tuba muscular, panjangnya sekitar 25 cm dan

berdiameter 2,54 cm. esofagus berawal pada area laringofaring,

melewati difragma dan hiatus esophagus (lubang) pada area sekitar

vertebra toraks kesepuluh, dan membuka kearah lambung.

Fungsi esophagus menggerakkan makanan dari faring ke

lambung melalui gerak peristalsis. Mukosa esophagus memproduksi

sejumlah besar mukus untuk melumasi dan melindungi esofagus.

Gambar 2.4 Kerongkongan

C. Lambung

Regia-regia lambung terdiri dari bagian jantung, fundus, badan organ,

dan bagian pilorus. Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan

melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup.

Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi

lambung ke dalam kerongkongan.

a. Bagian jantung lambung adalah area di sekitar pertemuan esophagus

dan lambung.

b. Fundus adalah bagian yang menonjol ke sisi kiri atas mulut esophagus.

21
c. Badan lambung adalah bagian yang terilatasi di bawah fundus, yang

membentuk dua pertiga bagian lambung. Tepi meial badan lambung

yang konkaf disebut kurvatur kecil: tepi lateral badan lambung yang

konveks disebut kurvatur besar.

d. Bagian pylorus lambung menyempit di ujung bawah lambung dan

membuka ke duodenum. Antrum pylorus mengarah ke mulut pylorus

yang dikelilingi sfinger pylorus muscular tebal.

Lambung berfungsi diantaranya dalah sebagai gudang makanan, yang

berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-

enzim, memproduksi kimus dan mucus, factor intrinsic (menghasilkan

vitamin B12), disgesti protein, dan absorpsi.

Gambar 2.5 Lambung

D. Usus Halus

Gambaran umum mengenai usus halus adalah tuba terlilit yang

merentang dari sfingter pylorus sampai ke katup ileosekal, tempatnya

menyatu dengan usus besar. Diameter usus halus kurang lebih 2,5 cm dan

panjangnya 3-5 m. Secara umum proses pencernaan dalam tubuh adalah

dimulaidari lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari

(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.

22
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam

jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan

megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang

diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang

melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan

makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil

enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.

Fungsi usus halus adalah diantaranya secara selektif mengabsorpsi

produk digesti, usus halus juga mengakhiri proses pencernaan makanan

yang dimulai di mulut dan lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim

usus dan enzim pancreas serta dibantu empedu dalam hati.

Gambar 2.6 Usus Halus

E. Pankreas

Pankraes merupakan suatu organ yang terdiri dari 2 jaringan dasar :

1. Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan

2. Pulau pankreas, menghasilkan hormon. Pankreas melepaskan enzim

pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam

darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein,

karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam

23
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam

bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai

saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar

sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan

cara menetralkan asam lambung.

Gambar 2.7 Pankareas

F. Hati

Hati merupakan sebuah organ yang besar dan memiliki berbagai fungsi,

beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Zat-zat gizi dari

makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah

yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena

yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk

ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-

pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati

melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah

darahdiperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi

umum.

24
Gambar 2.8 Hati

G. Kandung Empedu

Membantu pencernaan dan penyerapan lemak Berperan dalam

pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang

berasal daripenghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

Gambar 2.9 Kandung Empedu

H. Usus Besar

Begitu materi dalam saluran pencernaan masuk ke usus besar, sebagian

nutrient telah dicerna dan di absorpsi dan hanya menyisakan zat-zat yang

tidak tercerna. Usus besar tidak memiliki vili, plicae cilculares (lipatan

sirkular) dan diameternya lebih lebar, panjantnya lebih pendek, dan daya

renggangnya lebih besar disbandingkan usus halus. Usus besar terdiri dari

sekum (kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup

ileosekal), kolon (kolon asenden, kolon tranversa, kolon desenden), rectum

25
(bagian saluran dengan panjang 12-13cm, yang berakhir pada saluran anal

dan membuka ke eksterior di anus.

Usus besar berfungsi diantaranya adalah:

1. Usus besar mengabsorpsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari

kimus yang tersisa danmengubah kimus dari cairan menjadi massa

semi padat.

2. Usus besar hanya memproduksi mucus. Sekresinya tidak

mengandung enzim atau hormonepencernaan.

3. Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah kecil

selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrient bagi tubuh dalam

setiap hari. Bakteri juga memproduksi vitamin (K, riboflavin, dan

tiamin) dan berbagai gas.

4. Usus besar juga mengekskresi sisa dalam bentuk feses.

Gambar 2.10 Usus Besar

I. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar

(setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong

karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon

desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum,

maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Orang dewasa dan

26
anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang

lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting

untuk menunda BAB.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan

limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh

(kulit) dan sebagian lannya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani)

menjaga agar anus tetap tertutup.

Gambar 2.11 Rektum dan Anus

2.1.9 Fisiologi

Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara

teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu

proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari otot-otot

perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung jawab untuk

menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat. Batang otak,

termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus dengan formatio

retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron kranial, diduga sebagai

pola generator pusat.

1. Tiga Fase Menelan

Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau cairan

dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.

Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan

27
suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan involunter dan

dan dibagi menjadi bagian yang berbeda: (1) oral, (2) faringeal, dan (3)

esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang spesifik, dan, jika

tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala spesifik dapat terjadi.

2. Fase Oral

Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga

dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan

makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan

kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara yang

berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan dan

mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam

orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai.

Cerebellum mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus kranialis

V (trigeminal), VII (facial), dan XII (hypoglossal). Dengan menelan suatu

cairan, keseluruhan urutannya akan selesai dalam 1 detik. Untuk menelan

makanan padat, suatu penundaaan selama 5-10 detik mungkin terjadi ketika

bolus berkumpul di orofaring.

3. Fase Faringeal

Fase faringeal adalah sangat penting karena, tanpa mekanisme

perlindungan faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase ini.

Fase inimelibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang saling

tumpang tindih. Palatum mole terangkat. Tulang hyoid dan laring bergerak

keatas dan kedepan. Pita suara bergerak ke tengah, dan epiglottis melipat ke

belakang untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong kebelakang dan

kebawah menuju faring.

28
Untuk meluncurkan bolus kebawah. Lidah dubantu oleh dinding

faringeal, yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan kebawah.

Sphincter esophageal atas relaksasi selama fase faringeal untuk menelan dan

dan membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring kedepan. Sphincter

akan menutup setelah makanan lewat, dan struktur faringeal akan kembali ke

posisi awal. Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan

kesemuanya adalah reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang ter jadi

sampai reflek menelan dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan

motoris dari nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X (vagus).

4. Fase Esophageal

Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan peristaltik.

Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan, relaksasi ini

terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti shincter

esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan karena

pengaruh otot-otot ekstrinsik. Medulla mengendalikan reflek menelan

involunter ini, meskipun menelan volunter mungkin dimulai oleh korteks

serebri. Suatu interval selama 820 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi

dalam menodorong bolus ke dalam lambung (Pandaleke, 20014).

2.1.10 Etiologi

Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini

adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler),

miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu

peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam

trakea atau bronkus (Price, 2006). Disfagi esophageal mungkin dapat bersifat

obstruktif atau disebabkan oleh motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura

29
esophagus dan tumor-tumor ekstrinsik atau instrinsik esofagus, yang

mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab disfagi dapat disebabkan oleh

berkurangnya, tidak adanya, atau tergangguanya peristaltik atau disfungsi

sfingter bagian atas atau bawah. Gangguan disfagi yang sering menimbulkan

disfagi adalah akalasia, scleroderma, dan spasme esophagus difus (Price, 2006).

2.1.11 Patofisiologi

Transportasi normal bolus makanan yang ditelan lewat lintasan gerakan

menelan tergantung pada ukuran bolus makanan yang ditelan, diameter lumen

lintasan untuk gerakan menelan, dan kontraksi peristaltik (Price, 2006).

Disfagia dibedakan atas disfagia mekanis dan disfagia motorik.

1. Disfalgia Mekanis

Disfalgia mekanik dapat disebabkan oleh bolus makanan yang sangat

besar, adanya penyempitan instrinsik atau kompresi ekstrinsik lumen

lintasan untuk gerakan menelan. Pada orang dewasa, lumen esofagus dapat

mengembang hingga mencapai diameter 4 cm, jika esofagus tidak mampu

berdilatasi hingga 2,5 cm, gejala disfagia dapat terjadi tetapi keadaan ini

selalu terdapat kalau diameter esofagus tidak bisa mengembang hingga diatas

1,3 cm. lesi yang melingkar lebih sering mengalami disfagia daripada lesi

yang mengenai sebagian lingkaran dari dinding esofagus saja.

2. Disfalgia motorik

Disfagia motorik dapat terjadi akibat kesulitan dalam memulai gerakan

menelan atau abnormalitas pada gerakan peristaltik dan akibat inhibisi

deglutisi yang disebabkan oleh penyakit pada otot lurik atau otot polos

esofagus. Disfalgia motorik faring disebabkan oleh kelainan neuromuskuler

yang menyebabkan paralisis otot (Price, 2006).

30
2.1.12 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari disfagia dapat dilihat dengan adanya gangguan pada

neurogenik mengeluh bahwa cairan lebih mungkin menyebabkan tersedak

daripada makanan padat atau setengah padat. Batuk dan regurgitasi nasal

menunjukkan kelemahan otot-otot palatum atau faring bagian atas. Suara serak,

nyeri menelan, dan nyeri telinga merupakan gejala tumor hipofaring. Sedang

aspirasi sering terjadi pada gangguan neurologik (Walsh, 2009).

Tanda dan gejala secara umum:

1. Disfalgia Oral atau faringeal

a. Batuk atau tersedak saat menelan

b. Kesulitasn pada saat mulai menelan

c. Makanan lengket di kerongkongan

d. Sialorrhea

e. Penurunan berat badan

f. Perubahan pola makan

g. Pneumonia berulang

h. Perubahan suara (wet voice)

i. Regusgitasi Nasal

2. Disfalgia Esophageal

a. Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada

b. Regurgitasi Oral atau faringeal

c. Perubahan pola makan

d. Pneumonia rekuren

31
2.1.13 Komplikasi

Disfalgia adalah kondisi yang kompleks yang memiliki pengaruh besar

pada kehidupan pasien. Pasien yang mengalami disfagia masalah yang sering

ditemukan adalah kehilangan nafsu makan serta penurunan berat badan yang

diakibatkan oleh asupan nutrisi yang berkurang. Dalam manejemen gizi pada

pasien yang mengalami disfagia harus lebih diperhatikan lagi tentang cara

penyediaan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh pasien agar

komplikasi seperti terjadinya aspirasi dapat dihindari (Collier, 2009).

2.1.14 Pemeriksaan Diagnostik Disfalgia

Bila pasien tampak mengeluh diduga kelainan esofagus, diikuti riwayat

spesifik sebaiknya diperoleh dan digolongkan sebagai lokasi, awitan, durasi,

frekuensi, berhubungan dengan makanan, dan faktor yang dapat meminimalkan

atau meningkatkan gejala-gejala penyerta (Siegel, 2014).

1. Kesukaran dalam menelan (disfalgia) makanan padat atau cairan

2. Sumbatan komplit (ketidakmampuan untuk menelan)

3. Rasa tidak nyaman dalam menelan (odinofagia)

4. Regurgitasi dari makanan yang belum dicerna

5. Hematemesis (muntah darah)

6. Sensasi benda asing

7. Sumbatan dalam tenggorokan

8. Rasa panas dalam perut

9. Penurunan berat badan

10. Suara serak

11. Sensitivitas terhadap makanan dingin atau panas.

32
2.1.15 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kekakuan lokal pada leher bila benda

asing terjepit akibat edema yang timbul progresif. Bila benda asing tersebut

ireguler menyebabkan perforasi akut, dan didapatkan tanda-tanda

pneumomediastinum, emfisema leher dan pada auskultasi terdengar susara

getaran di daerah prekordial atau di antara skapula. Bila terjadi mediastinitis,

tanda efusi pleura unilateral atau bilateral dapat dideteksi. Perforasi langsung ke

rongga pleura dan pneumotoraks jarang terjadi tetapi dapat timbul akibat

komplikasi tindakan endoskopi. Pada anak-anak, gejala nyeri atau batuk dapat

disebabkan oleh aspirasi dari air liur atau minuman dan pada pemeriksaan fisik

didapatkan ronki, mengi, demam, abses leher atau tanda-tanda emfisema

subkutan.

Selain itu, bisa didapatkan tanda-tanda lanjut seperti berat badan

menurun dan gangguan pertumbuhan. Benda asing yang berada di daerah

servikal esofagus dan di bagian distal krikofaring, dapat menimbulkan gejala

obstruksi saluran nafas dengan bunyi stridor, karena menekan dinding trakea

bagian posterior, dan edema periesofagus. Gejala aspirasi rekuren akibat

obstruksi esofagus sekunder dapat menimbulkan pneumonia, bronkiektasis dan

abses paru (Yunizaf, 2007).

2.1.16 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiografi pada esofagus adalah kemungkinan cara paling

berguna untuk pemeriksaan organ ini. Persiapan radiogram dada dan film

pengintai leher harus didahului fluoroskopi dengan barium atau menelan

minyak yodida. Teknik videoradiografi juga dapat berguna jika tersedia.

Lapisan barium esofagus dengan demikian seharusnya tidak dipakai sebagai zat

33
kontras jika esofagoskopi direncanakan singkat setelah radiogram dilakukan.

Uji diagnostik lain dapat dilakukan dalam kaitannya dengan radiografi,

termasuk pengukuran tekanan intraluminal. Pada penyelidikan ini, tuba terisi air

ditempatkan untuk mengukur perubahan tekanan dalam lumen esofagus selama

proses penelanan (Siegel, 2014).

2.1.17 Prosedur Pemeriksaan

A. Defenisi Oesofagogram

Teknik Pemeriksaan Radiografi khusus untuk melihat oesophagus dan

pharynx dengan menggunakan media kontras positif.

B. Tujuan

Mengetahui kelainan fungsi dan anatomi pada oesofagus dan pharynx.

Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui kemampuan esophagus

mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut.

C. Berikut ini adalah indikasi pemeriksaan :

1. Achalasia (penurunan pergerakan peristaltic 2/3 distal oesophagus)

2. Anatomic Anomalies

3. Foreign Bodies

4. Carcinoma (jenis tumor (kanker) yang tumbuh dari sel di lapisan

permukaan penutup atau membran pembatas dari organ).

5. Disfalgia (susah menelan)

6. Esophagitis (suatu peradangan pada lapisan kerongkongan, tabung yang

menghubungkan tenggorokan).

7. Refluks (kondisi di mana asam lambung mengalir ke sepanjang

esophagus atau kerangkongan).

34
8. Spasme oesophagus (otot pada kerongkongan kita yang mengalami

kejang, atau kontraksi otot yang tidak teratur, tidak terkordinasi dan bisa

sangat kuat).

D. Kontra Indikasi

1 Jarang ditemukan karena menggunakan BaSO4

2 Adanya komplikasi perforasi pada oesophagus yang tidak diketahui

sebelumnya.

E. Persiapan Pasien

1. Tidak ada persiapan khusus, kecuali dilanjutkan untuk pemeriksaan

Maag dan Duodenum

2. Berikan penjelasan pada pasien.

F. Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat X-Ray + Fluoroscopy

2. Baju Pasien

3. Marker R/L

4. Kaset ukuran 43 x 35 cm dan 24 x 30 cm

5. Tissue / Kertas pembersih

6. Bahan kontras BaSO4 : Air masak = 1 : 1 (Kental)

7. Sarung tangan

8. Gelas dan tempat mengaduk media kontras

9. Sendok / Straw ( pipet ).

G. Prosedur Pemeriksaan

Tujuan foto pendahuluan (Foto Plain)

a. Melihat persiapan pasien

b. Teknik pemeriksaan AP dan Lateral.

35
H. Teknik Pemeriksaan

1. Proyeksi AP

A. Tujuan : melihat Strictura, benda asing, kelainan anatomis, tumor

& struktur dari oesophagus

B. Faktor teknik :

a. Film 43 x 35 cm memanjang

b. Barium BaSO4 : air hangat = 1:1

c. Posisi Pasien : Erect (berdiri)

d. Posisi Objekt :

- MSP pada pertengahan meja pemeriksaan / kaset

- Shoulder dan hip tidak ada rotasi

C. CR : Tegak lurus terhadap kaset

D. CP : pada MSP, 2,5 cm inferior angulus sternum (T5-6 ) / 7,5 cm

inferior jugular notch

E. FFD : 100 cm

F. Kolimasi : atur luas lapangan penyinaran selebar 12-15 cm

G. Eksposi : Pada saat tahan nafas setelah meminum barium

H. Catatan :

a. Pasien memium 2-3 tegukan barium kental kemudian diekspose

b. Untuk “full filling” digunakan barium encer, pasien minum

barium dengan secara langsung expose dilakukan setelah pasien

meminum 2-3 tegukan.

I. Kriteria radiograf :

a. Struktur : Oesophagus terisi barium

36
b. Posisi : Tidak ada rotasi dari pasien (Sternoclavicular joint

simetris )

c. Kolimasi : Seluruh Oesophagus masuk pada lapangan

penyinaran

d. Faktor eksposi :

- Teknik yang digunakan mampu menampakkan

oesophagus superimposed dengan th-vertebrae

- Tepi yang tajam menunjukkan tidak ada pergerakan

pasien saat eksposi.

Gambar 2.12 Posisi Pasien AP

2. Proyeksi Lateral

A. Tujuan : melihat Strictura, benda asing, kelainan anatomis, tumor &

struktur dari oesophagus

B. Faktor teknik :

a. Film 43 x 35 cm memanjang

b. Barium BaSO4 : air hangat = 1:1

c. Posisi Pasien : Erect / berdiri ( lebih baik karena pengisian lebih

baik )

C. Posisi Objek :

a. Atur kedua tangan pasien di depan kepala

37
b. Mid coronal plane pada garis tengah meja / kaset.

c. Shoulder dan hip diatur true lateral

d. Tepi atas kaset 5 cm di atas shoulder

D. CR : Tegak lurus terhadap kaset

E. CP : pada pertengahan kaset setinggi T 5-6 / 7,5 cm inferior jugular

notch

F. FFD : 100 cm

G. Kollimasi : atur luas lapangan penyinaran selebar 12-15 cm

H. Eksposi : Pada saat tahan nafas setelah meminum barium

I. Catatan :

a. Pasien menelan 2-3 tegukan barium kental kemudian diekspose

b. Untuk “full filling” digunakan barium encer. Pasien minum

barium dengan straw langsung expose dilakukan setelah pasien

meminum 2-3 tegukan.

J. Kriteria radiograf :

a. Struktur : Oesophagus terisi barium terlihat diantara C.Vertebral

dan jantung

b. Posisi :

- True lateral ditunjukan dari superposisi kosta Posterior.

- Bahu pasien tidak superposisi dengan oesophagus terisi

media kontras.

c. Kolimasi : Seluruh Oesophagus masuk pada lapangan

penyinaran

d. Faktor eksposi :

38
- Teknik yang digunakan mampu menampakkan

oesophagus secara jelas yang terisi dengan kontras.

- Tepi yang tajam menunjukkan tidak ada pergerakan

pasien saat eksposi.

Gambar 2.13 Posisi Pasien Lateral

3. Proyeksi RAO (Right Anterior Oblique)

A. Tujuan : melihat Strictura, benda asing, kelainan anatomis, tumor &

struktur dari oesophagus

B. Faktor teknik :

b. Film 43 x 35 cm memanjang

c. Barium BaSO4 : air hangat= 1:1.

C. Posisi Pasien : Erect / berdiri (lebih baik karena pengisian lebih baik)

D. Posisi Objek :

a. Rotasi 35 – 40 derajat dari posisi prone dengan sisi kanan depan

tubuh menempel meja / film.

b. Tangan kanan di belakang tubuh, tangan kiri flexi di depan kepala

pasien.

c. Lutut kiri flexi untuk tumpuan.

d. Pertengahan thorax diatur pada posisi obliq pd pertengahan IR /

meja Tepi atas kaset 5 cm di atas shoulder.

39
E. CR : Tegak lurus terhadap kaset

F. CP : pada pertengahan kaset setinggi T 5-6 / 7,5 cm inferior jugular

notch

G. FFD : 100 cm

H. Kolimasi : atur luas lapangan penyinaran selebar 12-15 cm

I. Eksposi : Pada saat tahan nafas setelah meminum barium

J. Catatan :

a. Pasien meminum 2-3 tegukan barium kemudian diekspose

b. Untuk “full filling” digunakan barium encer. Pasien minum

barium dengan sedotan langsung expose dilakukan setelah pasien

meminum 2-3 tegukan.

K. Kriteria radiograf :

a. Struktur : Oesophagus terisi bariumterlihat diantara C.Vertebral

dan jantung ( RAO menunjukan gambaran lebih jelas antara

vertebrae dan jantung dibandingkan LAO )

b. Posisi :

- Rotasi yang cukup akan menampakkan oesophagus

diantara C. Vert. & Jantung, jika oesophagus

superimposed diatas spina, rotasi perlu ditambah.

- Bahu pasien tidak superposisi dengan oesophagus

- Oesophagus terisi media kontras.

c. Kolimasi : Seluruh Oesophagus masuk pada lapangan

penyinaran

d. Faktor eksposi :

40
- Teknik yang digunakan mampu menampakkan

oesophagus secara jelas yang terisi dengan kontras.

- Tepi yang tajam menunjukkan tidak ada pergerakan

pasien saat eksposi.

Gambar 2.14 Posisi Pasien RAO (Right Anterior Oblique)

4. Proyeksi LAO (Left Anterior Oblique)

A. Tujuan : melihat Strictura, benda asing, kelainan anatomis, tumor

& struktur dari oesophagus

B. Faktor teknik :

a. Film 43 x 35 cm memanjang

b. Barium BaSO4 : air = 1:1

C. Posisi Pasien : Erect / berdiri (lebih disukai karena pengisian

lebih baik)

D. Posisi Objek :

a. Rotasi 35 – 40 derajat dari posisi PA dengan sisi kiri depan

tubuh menempel meja / film

b. Tangan kiri di belakang tubuh, tangan kanan flexi di depan

kepala.

c. Lutut kanan flexi untuk tumpuan.

41
d. Pertengahan thorax diatur pada posisi obliq pd pertengahan IR

/ meja

e. Tepi atas kaset 5 cm di atas shoulder.

E. CR : Tegak lurus terhadap kaset

F. CP : pada pertengahan kaset setinggi T5-6 / 7,5 cm inferior

jugular notch

G. FFD : 100 cm

H. Kolimasi : atur luas lapangan penyinaran selebar 12-15 cm

I. Eksposi : Pada saat tahan nafas setelah meminum barium

J. Catatan :

a. Pasien meminum 2-3 tegukan barium kental kemudian

diekspose

b. Untuk “full filling” digunakan barium encer. Pasien minum

barium langsung expose dilakukan setelah pasien meminum

2-3 tegukan.

K. Kriteria radiograf :

a. Struktur : Oesophagus terisi barium terlihat diantara sekitar

hilus paru dan C.Vertebral

b. Posisi : Bahu pasien tidak superposisi dengan oesophagus,

esophagus terisi media kontras.

c. Kolimasi : Seluruh Oesophagus masuk pada lap.penyinaran

d. Faktor eksposi :

- Teknik yang digunakan mampu menampakkan

oesophagus secara jelas yang terisi dengan kontras,

menembus bayangan jantung.

42
- Tepi yang tajam menunjukkan tidak ada pergerakan

pasien saat eksposi.

Gambar 2.15 LAO (Left Anterior Oblique)

43
2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini adalah sebagai berikut :

Disfalgia didefinisikan sebagai kesulitan menelan. Disfalgia berhubungan


dengan kesulitan makan akibat gangguan dalam proses menelan.
Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari
kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan atau kondisi medis tertentu.
Kesulitan menelan ini yang dapat pula disertai dengan nyeri menelan.
Esofagus normal merupakan suatu aktifitas terkoordinasi yang rumit
dimana cairan dan makanan padat diteruskan dari mulut kelambung.

Teknik Pemeriksaan Radiografi khusus untuk melihat oesophagus dan faring


dengan menggunakan media kontras positif untuk menilai struktur dan fungsi
dari faring dan esofagus.

Barium yang dicampur Barium yang dicampur


menggunakan air hangat menggunakan air biasa
dengan suhu kamar lalu
lalu diaduk.
diaduk.

Hasil gambaran radiograf Hasil gambaran radiograf

Kesimpulan:
Untuk mengetahui gambaran pemeriksaan esofagogram dengan klinis
disfalgia di Instalasi Radiologi RSUD Gambiran Kediri
Gambar 2.16 Kerangka Konsep

44
45
46
47
48

Anda mungkin juga menyukai