Anda di halaman 1dari 35

STATUS KEDOKTERAN KELUARGA

“INFEKSI : DENGUE FEVER”

Pembimbing :

Disusun oleh :
Pratiwi Sudarsono
201710401011006

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2019

1
I. IDENTITAS
A. PENDERITA

1. Nama (Inisial) : An. R


2. Umur : 7 thn
3. Jenis Kelamin :P
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Pelajar
6. Status Perkawinan : Tidak menikah
7. Jumlah Anak :-
8. Pendidikan terakhir : -
9. Alamat lengkap : Jl. Joyo Taman Sari 1
RT 03 RW 04
Desa / Kelurahan Merjosari
Kecamatan Lowokwaru
Kota / Kabupaten Malang

2
D. INTERAKSI DALAM KELUARGA

Status Keterangan
Nama Usia Pekerjaan Hubungan Keluarga
No Sex Perkawinan Domisili Serumah
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap) (S, I, AK, AA)
(TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 Tn. K L Kakek dari ibu
2 Ny. A P 70 th Tidak bekerja Nenek dari ibu K √
3 Tn. M L Kakek dari ayah
4 Ny. D P 73 th Tidak bekerja Nenek dari ayah K √
5 Ny. J P 45 th Berjualan Ibu kandung K √
6 Tn. H L 48 th Pegawai swasta Ayah kandung K √
7 Tn. T L 45 th Pegawai swasta Paman K √
8 Tn. K L 38 th Pegawai swasta Paman K √
9 Ny. T P 35 th Pegawai swasta Tante K √
10 Tn. F L 25 th Pegawai swasta Kakak ipar K √
11 Ny. R P 23 th Tidak bekerja Kakak kandung K √
12 Sdr. D L 21 th Tidak bekerja Kakak kandung TK √
13 An. R P 7 th Tidak bekerja Pasien TK -
14 An. A L 9 th Tidak bekerja sepupu TK √

3
C. GENOGRAM (minimal 4 generasi)

Tn. K Penghasilan Rp 0 Tn. M Penghasilan Rp 0

Ny. A Ny. D
70 th 73 th

Penghasilan Rp
1.000.000 – 1.500.000
Ny. J Tn. H Tn. Y Tn. K Ny. T
45 th 48 th 45 th 38 th 35 th
Penghasilan Rp
1.500.000 – 2.000.000

Penghasilan Rp 0

Tn. F Sdr. D
Penghasilan Rp Ny. R
25 th 21 th An. R
2.000.000 – 2.500.000 23 th
7 th

Penghasilan Rp 0
Laki-laki

An. A
Perempuan
9 th
Meninggal

Serumah

Pasien

4
II. DATA DASAR KESEHATAN
STATUS MEDIS (Klinis)

KU : Demam

Anamnesis :

 RPS : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah

Malang diantar oleh kedua orang tuanya. Keluarga pasien mengeluhkan anaknya

demam sudah 5 hari ini. Panas awal nya mendadak tinggi, lalu beberapa hari ini

turun sumer-sumer dan hanya merasa menggigil saja. Keluhan lain disertai mual

dan muntah, setiap kali makan selalu muntah sudah 3 hari ini. Selain itu pasien

juga mengeluhkan nyeri kepala cekot-cekot. Nafsu makan pasien menurun. BAB

dan BAK pasien normal. Saat ditanya apakah ada perdarahan spontan seperti

mimisan, gusi berdarah keluarga menjawab tidak ada. Keluarga pasien sudah

memeriksakan ke klinik di daerah malang dan dilakukan cek darah dan disarankan

untuk pergi ke IGD RS UMM oleh dokter jaga klinik tersebut.

 RPD :

- Keluhan serupa (-)

- Campak 2 tahun yang lalu

- RPK :

- Keluhan serupa (-)

 RPSos : Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Sehari-hari kegiatan

pasien hanya bersekolah dan bermain dengan teman dan keluarga nya dirumah.

Pasien sering bermain dengan tetangga nya yang sebaya. Pola makan pasien baik,

yaitu makan tiga kali sehari, selain makan masakan ibu, pasien juga suka membeli

jajanan diluar rumah.

 Ralergi : Tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat maupun makanan

5
Pem. Fisik :

 Tanda tanda Vital :


- GCS : 4-5-6
- TD :-
- N : 133 x/menit;
- RR : 22 x/menit
- t : 36o C
- SpO2 : 98%
- BB : 17
- TB : 120 cm
 Status Generalis :
- KU : Composmentis
- K/L :
Inspeksi :
- Mata : Anemis -/- ; ikterus -/- ; sianosis -/- ; Pupil : bulat,
isokor 3mm/3mm, RC : +/+
Palpasi : Pembesaran KGB (-); trakea simetris; JVP dbn
- Thorax :
Paru :

Inspeksi : Simetris, bentuk dada normal, pergerakan simetris, pola nafas


cepat dan dalam, retraksi (-), otot bantu pernafasan (-)

Palpasi : Pelebaran ics (-), krepitasi (-), expansi dinding dada normal,
fremitus taktil normal.

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler +|+, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung :

Inspeksi : Iktus tidak terlihat, pulsasi epigastrium (-)

Palpasi : Iktus tidak kuat angkat, thrill (-)

6
Perkusi : Batas kanan ics IV sternal line dextra, batas kiri ics V
midclavicula line sinistra, punggung jantung dbn

Auskultasi : S1S2 tunggal, takikardi, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Simetris, bentuk flat

Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, metalic sound (-)

Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba

Perkusi : Timpani, meteorismus (+)

Ekstremitas :

Akral hangat, + +
+ +

Edem - -
- -

CRT < 2 detik

Pem Penunjang :

Darah lengkap :

- Hb : 13,6 g/dl
- Leukosit : 3.800 /mm3
- Trombosit : 73.000 /mm3
- Eritosit : 5.110.000 sel/mm3
- Hct : 35,8 %
Widal Test :
- Typhus, Antibodi O : 1/80

- Typhus, Antibodi H : 1/160

- Para Typhus A-O : Negatif

7
- Para Typhus B-O : Negatif

Informasi lain yang diperlukan:

a. Rw Imunisasi : Pasien mendapatkan imunisasi yang lengkap saat balita dan rutin

datang ke posyandu saat balita

8
Riwayat Sosial, Budaya, Ekonomi, Lingkungan dll

UPAYA & PERILAKU KESEHATAN


KETERANGAN
NO KOMPONEN URAIAN UPAYA & PERILAKU (RASIONAL ATAU
IRRASIONAL)
Ibu pasien mengikuti penyuluhan yang dilakukan saat pertemuan PKK sehingga
1 Promotif R
mendapatkan informasi kesehatan dari pertemuan tersebut
Pasien selalu diminta untuk memakai pakaian panjang dan memakan lotion

2 Preventif penolak nyamuk sebelum tidur dan saat main bersama teman namun terkadang R
pasien lupa melakukan hal tersebut
Pasien dibawa ke fasilitas kesehatan oleh keluarga karena keluarga
3 Kuratif R
mengawatirkan keadaan pasien semakin memberat
Pasien beristirahat lebih banyak, dengan semua perawatan intensif dan
4 Rehabilitatif R
memenuhi semua advice dokter

9
STATUS SOSIAL
NO KOMPONEN KETERANGAN (Deskripsikan dengan lengkap dan jelas)
Pasien adalah seorang anak berumur 7 tahun, dimana kegiatan hariannya adalah sekolah dan bermain

1 Aktifitas sehari-hari dengan teman dan keluarganya. Sering kali bermain hingga lupa waktu dan mengurangi waktu
istirahat pasien selama sebelum sakit.
BB : 17 kg, TB : 120 cm
Pasien biasanya tidak ada masalah dengan nafsu makan, tetapi karena sakitnya ini nafsu makan
2 Status Gizi
menurun, makan dan minum hanya sedikit dan sering terlihat lemas. Selain itu pasien juga sering
merasakan mual dan setiap kali makan selalu muntah.

3 Pekerjaan Pelajar

4 Jaminan Kesehatan Memiliki jaminan kesehatan

10
FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN
KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
- Tanah dan bangunan rumah milik sendiri
- Luas bangunan 5x5 m2
- Jenis lantai : keramik
- Jenis dinding : tembok
1 Fisik
- Atap terbuat dari genteng dengan asbes
- MCK : 1 didalam rumahnya
- Sumber penerangan : Listrik
- Ventilasi : Kurang

2 Biologi Pasien memiliki hewan peliharaan dirumah yaitu burung


- Sampah biasanya dibuang dalam kresek plastik
3 Kimia - Limbah cucian biasanya disalurkan melalui pipa
- Sumber air : PDAM
- Hubungan dengan keluarga cukup baik
4 Sosial
- Hubungan dengan tetangga sekitar cukup baik

5 Budaya Pasien jarang memeriksakan kesehatannya ke dokter.

6 Psikologi Pasien tidak memiliki masalah psikologis

11
- Ayah pasien bekerja sebagai pegawai swasta dengan penghasilan Rp. 1.500.000 – 2.000.000

7 Ekonomi sedangkan ibu pasien bekerja berjualan di pasar dengan penghasilan Rp. 1.000.000 – 1.500.000
- Pasien masih kecil dan belum bekerja

8 Ergonomi Pasien beraktivitas seperti biasa tanpa mempertimbangkan ergonomis

12
III. DIAGNOSIS HOLISTIK (Lima ASPEK)

Aspek 1:
- Keluhan utama : Demam
- Pihak keluarga takut akan terjadi sesuatu yang serius dan segera mencari
pertolongan ke rumah sakit agar anaknya dapat diselamatkan

Aspek 2:
Diagnosis klinis : Dengue Fever (A.90)

Aspek 3:
Pasien suka membeli makanan diluar rumah disamping makan masakan ibu
pasien, selain itu pasien juga suka bermain dengan tetangga dan lupa
memakai lotion pelindung dari gigitan nyamuk walau sudah di ingatkan oleh
ibu nya.

Aspek 4:
Pasien suka bermain dengan tetangga sebayanya sehingga sering kali lupa
waktu dan mengganggu waktu istirahat nya

Aspek 5:
Tingkat 1

13
IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF:

No Aspek Dx Holistik Penatalaksanaan Komprehenship yang dapat dilakukan oleh


(Uraian permasalahan/penyebab maslah kesehatan penderita
berdasarkan tiap aspek)
1 Personal: Promotif:
- Keluhan utama : Demam - Edukasi kepada keluarga pasien mengenai penyebab yang
- Pihak keluarga takut akan terjadi sesuatu yang serius dan mungkin saja terjadi pada penyakit demam dengue, beserta cara
segera mencari pertolongan ke rumah sakit agar anaknya pencegahannya agar tidak terulang kembali
dapat diselamatkan - Edukasi kepada keluarga pasien untuk menjaga hidup sehari-
hari serta pola makan yang sehat
2 Klinis:
Diagnosis klinis : Dengue Fever (A.90)
3 Internal: Preventif:
Pasien suka membeli makanan diluar rumah disamping makan - Edukasi untuk menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya,
masakan ibu pasien, selain itu pasien juga suka bermain dengan menghindari adanya genangan air di sekitar rumah
tetangga dan lupa memakai lotion pelindung dari gigitan - Menjaga pola makan dan pola hidup yang sehat
nyamuk walau sudah di ingatkan oleh ibu nya. - Banyak mengkonsumsi air putih
4 Eksternal: - Memakai alat-alat yang dapat menolak atau yang tidak disukai
Pasien suka bermain dengan tetangga sebayanya sehingga
nyamuk
sering kali lupa waktu dan mengganggu waktu istirahat nya
5 Fungsi Sosial:
Tingkat 1 Kuratif:
- MRS
- Infus Asering 20 tpm

14
- Inj Paracetamol 170mg/kali
- Monitoring selama 12-24 jam

Rehabilitatif:
- Istirahat yang cukup
- Banyak mengkonsumsi makanan bergizi dan mengkonsumsi air
putih mineral

15
V. RESUME KASUS

1. Epidemiologi

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)

atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi klinis

demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang

ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di

rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam

berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Suhendro et al, 2010).

Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun

sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya

adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik memiliki angka tertinggi kasus DBD, yaitu 1,2

juta lebih kasus di tahun 2008, dan lebih dari 2,3 juta kasus di tahun 2010. Pada tahun

2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37,687 kasus

merupakan DBD berat (WHO, 2014).

Demam berdarah dengue (DBD) telah terjadi di lebih dari 100 negara dan

mengancam kesehatan lebih dari 2,5 miliar orang di perkotaan, pinggiran perkotaan dan

daerah pedesaan serta di daerah tropis dan subtropis. Sejak tahun 1968 hingga tahun

2009, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa negara Indonesia sebagai

negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit DBD di Indonesia

pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada tahun 1968 di mana sebanyak 58 orang

terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3%).

Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Zumaroh, 2015).

16
Di Indonesia sendiri pada tahun 2015 tercatat sebanyak 126.675 kasus penderita

DBD di 34 provinsi, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut

lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD

dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2016).

Insidensi kejadian penyakit DBD berdasarkan provinsi pada tahun 2015

menunjukkan 3 provinsi tertinggi yaitu Bali (208,7 per 100.000 penduduk), Provinsi

Kalimantan Timur (183,12 per 100.000 penduduk), dan Provinsi Kalimantan Tenggara

(120,08 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2016).

2. Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh

nyamuk. Virus ini termasuk kelompok B Arthropod virus (arbovirus) yang sekarang

dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype

yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe

menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang

terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan

perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue

dapat terinfeksi oleh ¾ serotipe yang berbeda selama hidupnya. DEN-3 merupakan

serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinis berat

(Lisa dan Zaitul, 2013).

17
Gambar 2.1
Struktur Virus Dengue
Virus dengue memiliki satu untaian genom RNA disusun di dalam satu unit

protein yang dikelilingi dinding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak. Genom

virus ini terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan etrdiri dari 3 struktur capsid (C)

membran (M) envelope (E) protein non structural (NS1,NS2A, NS2B, NS3, NS4,

NS4B, dan NS5). Sintesa protein virus dan RNA terjadi sebagian besar di dalam

sitoplasma dari sel penjamu. Pelipat gandaannya pelan-pelan dan mulai terjadi dalam

15 jam sesudah infeksi (Dewi, 2006).

Gambar 2.2
Genom Virus Dengue
Virus dengue mampu berkembangbiak di dalam tubuh manusia, monyet,

simpanse, kelinci, mencit, marmur, tikus, hamster, serta serangga, khususnya nyamuk

(Dewi, 2006). Penularan virus ini terutama diperantai oleh nyamuk Aedes aegypti.

Morfologi dan daur hidup nyamuk vektor demam berdarah dengue ini yaitu :

18
1. Telur : berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti

gambaran kain kassa.

2. Jentik : ukuran 0,5-1 cm, selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya berulang-

ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu istirahat

posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Setelah itu jentik akan

mengalami metamorfosis sempurna.

3. Nyamuk dewasa : ukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih

pada bagian badan, kaki dan sayap (Soegeng, 2013).

Gambar 2.3
Daur Hidup Nyamuk Vektor Virus Demam Berdarah Dengue

Nyamuk Aedes aegypti memiliki karakteristik yang khas seperti menggigit

berulang yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat dan

secara tidak langsung akan mempermudah pemindahan virus. Nyamuk ini akan aktif

menggigit saat pagi sampai petang dengan puncak aktivitas pukul 09.00-10.00 dan

16.00-17.00. Selain itu, nyamuk ini memiliki kemampuan terbang 40-100 meter pada

betina, namun masih bisa terbawa lebih jauh lagi apabila terkena angin. Kebiasaan

istirahat serta menggigit di dalam rumah memudahkan nyamuk hinggap pada barang-

barang yang bergantungan seperti baju, gorden, tas, dan lain-lain. Nyamuk ini juga

cenderung senang dengan suasana gelap dibandingkan dengan suasana terang (Inge,

2008).

19
Gambar 2.4
Nyamuk Aedes Aegypti Betina

3. Faktor Risiko

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan

yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi

dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin

terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang

tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat,

pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD

juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari

penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah,

keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta

mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi

faktor risiko (Candra, 2010).

Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang

merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon

Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko

terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki,

20
riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah

perkotaan (Candra, 2010).

4. Patofisiologi

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue

akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus

limpatikus, sumsung tulang, serta paru-paru. Sel monosit dan makrofag memiliki peran

pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel

dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen

struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.

Infeksi ini menimbulkan reaksi imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi

tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya (Candra, 2010).

Teori yang menjelaskan patofidiologi terjadinya DBD yaitu hipotesis infeksi

sekunder (secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent

enchancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung

bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue

yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD.

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan

menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian

berikatan dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena

antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisir oleh tubuh, sehingga akan bebas

melakukan replikasi dalam sel makrofag (Depkes RI 2016 dan WHO 2014).

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe

lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka saat pasien tergigit

21
oleh nyamuk Aedes yang membawa virus dengue yang berbeda dari yang menginfeksi

sebelumnya, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari

mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi

anti bodi IgG anti dengue. Selain itu, replikasi dengue terjadi juga dalam limfosit yang

bertransformasi mengakibatkan virus dalam jumlah banyak hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan

aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3a dan C5a

menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya

plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien yang dengan syok

berat volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama

24-48 jam (Depkes RI, 2016). Sebagai respon terhadap virus dengue, komplek antibodi

antigen selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit

dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.

Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat

satu sama lain. Hal ini menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo

endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati

konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata).

Ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga

terjadi penurunan faktor pembekuan (Depkes RI, 2016).

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi

lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagamen sehingga tejadi

aktivasi sistem kinin yang memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat

22
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,

dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok

yang terjadi (Depkes RI, 2016).

Pada teori kedua, yaitu hypothesis antibody dependent enchancement (ADE), jika

terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat

mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi di dalam tubuh merupakan

antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang

berat. Namun, teori ini kurang banyak dianut karena dianggap belum cukup untuk

menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD (Candra, 2010).

Gambar 2.5
Patofisiologi perdarahan pada DBD

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan

tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian

23
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari

tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile

illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue

(DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD) (Depkes RI, 2016).

5. Penatalaksanaan

Gambar 2.6
Penanganan Infeksi Dengue

Kegawatan dapat terjadi pada pasien yang terinfeksi virus dengue. Tanda

kegawatan tersebut dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi

dengue, seperti tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa

transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit, muntah yg menetap,

tidak mau minum, nyeri perut hebat, letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku

mendadak, perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi

yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/ hematuria, giddiness (pusing/perasaan

ingin terjatuh), pucat, tangan - kaki dingin dan lembab, serta, diuresis kurang/tidak ada

dalam 4-6 jam (Candra, 2010).

24
Dalam penanganan DBD, monitoring sangatlah penting. Parameter yang harus

dimonitor mencakup meliputi:

 Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain.

 Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,

serta mudah dan cepat utk dilakukan.

 Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap

2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

 Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih

sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.

 Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien

dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.

 Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)

(WHO, 2011).

Selain monitoring, pemberian cairan perlu dilakukan pada beberapa kasus.

Indikasi pemberian cairan adalah sebagai berikut:

 Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah.

 Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral.

 Ancaman syok atau dalam keadaan syok.

1. Fase Demam

Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik dan cairan rumatan / atau cairan

oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam.

Medikamentosa

 Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin

dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali (tidak lebih dari 6 kali dalam 24 jam).

25
 Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya

antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

 Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan

saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.

 Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Supportif

 Cairan: cairan peroral + cairan intravena rumatan per hari + 5% deficit.

 Diberikan untuk 48 jam atau lebih.

 Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai

keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematocrit (WHO, 2011).

2. Fase Kritis

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan

dan deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam (WHO,

2011).

Untuk manajemen DBD derajar I dan II (kasus non-syok), cairan diberikan

sejumlah kebutuhan rumatan (untuk 1 hari) ditambah deficit 5% (oral maupun

intravena) selama 48 jam.

Sedangkan untuk manajemen DBD derajar III dan IV dapat dilihat pada

gambar bagan (Novita dam Mulya, 2014).

26
Gambar 2.7
Tatalaksana DBD Derajat III

Gambar 2.8
Tatalaksana DBD Derajat IV

DBD ensefalopati dpaat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak. Apabila

ensefalopati terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian ensefalopati

harus diulang setelah syok teratasi. Apabila kesadaran membaik setelah syokteratasi,

maka kesadaran menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada

27
syok. Pada saat ini pertahankan oksigenasi jalan napas yang adekuat dengan terapi

oksigen.

Namun apabila ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa kritis sudah

dilewati, maka perlu dillakukan pencegahan/ penurunan adanya peningkatan tekanan

intracranial dengan cara:

 Memberi cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume intravaskuler,

total cairan intravena tidak boleh >80% dari cairan rumatan.

 Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus meningkat

dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma

yang hebat.

 Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan

 Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.

 Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.

 Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan

pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-8 jam.

Selain dilakukan pencegahan/ penurunan adanya peningkatan tekanan

intracranial, perlu menurunkan produksi ammonia dengan cara memberikan laktulosa

5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik, Namun pemberian antibiotic

lokal tidak diperlukan karena akan mengganggu flora usus.

Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan

4-6 mg/kg/jam. Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit. Memberikan

vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5

tahun:10mg.Apabila terjadi kejang perlu diberikan anti kejang phenobarbital, dilantin,

atau diazepam IV. Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen

darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena

28
kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Terapi antibiotik empirik

apabila disertai infeksi bacterial. Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa

proton untuk mencegah perdarahan saluran cerna. Hindari obat yang tidak diperlukan

karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati. Hemodialisis pada kasus perburukan

klinis dapat dipertimbangkan.

3. Fase Recovery

Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor

tiap 12-24 jam. Dan apabila pasien telah mengalami perbaikan klinis, maka pasien

dibolehkan pulang.

Perbaikan klinis yang dimaksud adalah:

 Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik.

 Nafsu makan telah kembali.

 Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi

teratur.

 Diuresis baik.

 Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok.

 Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites.

 Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada

umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari

(WHO, 2011).

6. Komplikasi

Terbagi menjadi 3 sesuai dengan pola demam dengue (Khetarpal, 2016):

1. Periode febris : Dehidrasi, kejang

2. Periode Afebris

 Syok hipovolemik

29
 Perdarahan masif, akibat penurunan trombosit dan perubahan permeabilitas

kapiler yang diakibatkan reaksi antigen-antibodi

 Myocarditis, karena asidosis metabolik dan hipokalsemia

 Ensephalitis

 Ensephalopati, disebabkan karena disfungsi hati, hipoperfusi atau perdarahan

intrakranial

 Gangguan ginjal akut

 Gangguan elektrolit

3. Periode Konvalense

 Kelebihan cairan, Hipokalemia

7. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang

didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada

40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian

dapat ditekan (Raihan, 2010).

30
KEPUSTAKAAN
1. Aryu Candra. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko

Penularan. Aspirator Volume 2. hal:110-19. 2010.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Demam Berdarah Dengue. 2016.

3. Dewi Marbawati. Virus Dengue, Balaba edisi 003. hal:21-22. 2006.

4. Directorate General of Health Services Ministry of Health and Family Welfare.

Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever, Dengue Haemorrhagic Fever and

Dengue Shock Syndrome. Government of India. 2008.

5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance Need for Water in Parenteral Fluid Therapy.

Pediatrics. hal:19:823. 1957.

6. Inge Sutanto dkk. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

2008.

7. Kemenkes Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia. 2016.

8. Khetarpal, Niyati. 2016. Dengue Fever: Causes, Complications, and Vaccine Strategies.

Hindawi Publishing Corporation Journal of Immunology Research Volume 2016, Article

ID 6803098, 14 pages http://dx.doi.org/10.1155/2016/6803098.

9. Lisa V, Zaitul W, Fridayenti. Karakteristik Hematologi Pasien Demam Berdarah

Dengue. RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. 2013.

10. Mulya Rahma Karyanti. Diagnosis dan Tatalakasana Terkini Dengue, Departemen Ilmu

Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangukusumo. FKUI. 2012.

11. Novita S, Mulya R. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia Jakarta. 2014.

31
12. Raihan, 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Divisi

Infeksi dan Penyakit Tropis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas

Indonesia RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

13. Soegeng Soegijanto. Demam Berdarah Dengue Edisi II, Surabaya. Universitas

Airlangga. 2006.

14. Soegeng Soegijanto. Patogenesa Infeksi Virus Dengue, Ikatan Dokter Anak Indonesia

Cabang Jawa Timur. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Gambiran Kota Kediri. 2013.

15. Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T. Pohan. 2010. Demam

Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta : Internal

Publishing Pusat Penerbitan Penyakit Dalam.

16. World Health Organization. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock

Syndrome in the Content of the Integrated Management of Childhood Illness. 2005.

17. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Dengue Guidelines for

Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. 2011.

18. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever. 2014.

19. World Health Organization. Handbook for Clinical Management of Dengue. 2012.

20. Zumaroh. 2015. Evaluation Of Surveillance Of Dengue Fever Cases In The Public

Health Centre Of Putat Jaya Based On Attribute Surveillance. Jurnal Berkala

Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 82–94. Surabaya : Departemen Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR.

32
Lampiran:

33
34
35

Anda mungkin juga menyukai