Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012target AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per
100.000 kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus
dicapaipada tahun 2015(Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Berdasarkan survey yang telah dilakukan selama tahun 2010-2013
terlihat bahwa penyebab terbesar kematian ibu yaitu perdarahan. Sedangkan
partus lama menyumbang kematian ibu terendah. Sementara itu penyebab
lain-lain juga berperan cukup besar dalam menyebabkan kematian ibu, yang
dimaksud penyebab lain-lain adalah penyebab kematian ibu secara tidak
langsung, seperti kondisi penyakit kanker, ginjal, jantung, tuberkolosis, atau
penyakit lain yang di derita ibu. Tingginya kematian ibu akibat penyebab lain-
lain menuntut peran besar rumah sakit dalam menangani penyebab tersebut
(Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Menurut Manuaba (2010) kehamilan dapat juga diikuti dengan
beberapa penyulit salah satunya adalah preeklampsia. Preeklampsia ini dibagi
menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Akan tetapi yang
banyak menyumbangkan angka kematian ibu yaitu preeklampsia berat.
Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah
preeklamsia (PE) yang menurut WHO angka kejadiannya berkisar antara
0,5% - 38,4%. Di Negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6 – 7%
dan eklampsia 0,1 – 0,7%. Sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan
preeklampsia dan eklampsia di Negara berkembang masih tinggi.

1
Menurut Depkes RI tahun 2010, penyebab langsung kematian
maternal di Indonesia terkait kehamilan dan persalinan terutama yaitu
perdarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, dan abortus
5%.
Sindroma preeklampsia dapat dicegah dan dideteksi secara dini.
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan yang secara rutin mencari tanda-tanda
preeklampsia, sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan
eklampsia. Ibuhamil yang mengalami preeklampsia perlu ditangani dengan
segera. Penanganan ini dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak (Prawirohardjo, 2008).
Oleh karena itu peran bidan dalam mengatasi terjadinya komplikasi
pada ibu maka perlu dilakukan asuhan kebidanan yang memadai dan
paripurna dalam rangka melaksanakan fungsinya untuk memelihara kesehatan
reproduksi sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan taraf hidup ibu dan
bayi yang pada akhirnya dapat menurunkan AKI dan AKB. Secara umum
kelahiran bayi normal cukup ditangani atau ditolong oleh bidan yang dapat
diberi tanggung jawab penuh terhadap keselamatan ibu dan bayi pada
persalinan normal oleh karena itu kelainan pada ibu dan bayi dapat terjadi
beberapa saat sesudah selesainya persalinan normal, maka seorang bidan
harus mengetahui dengan segera timbulnya perubahan-perubahan pada ibu
dan bayi dan bila perlu memberikan pertolongan pertama sampai ibu dan bayi
tersebut ditangani oleh seorang dokter atau dibawa kerumah sakit yang
mempunyai perlengkapan serta perawatan yang baik.
Dengan adanya permasalahan riwayat PEB dan HELLP syndrome
pada ibunifas di RSUP Persahabatan, Maka penulis membuat laporan tentang
Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan Riwayat PEB dan HELLP
syndrome.

2
B. Tujuan Masalah
1. Tujuan Umum
Dapat melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan riwayat PEB
dan HELLP syndrome.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian pada ibu nifas dengan riwayat PEB dan
HELLP syndrome.
b. Dapat menganalisa masalah, diagnosa kebidanan pada ibu nifas dengan
riwayat PEB dan HELLP syndrome.
c. Dapat menarik diagnosa potensial pada ibu nifas dengan riwayat PEB
dan HELLP syndrome.
d. Dapat melakukan tindakan segera pada ibu nifas dengan riwayat PEB
dan HELLP syndrome.
e. Dapat merencanakan tidakan pada ibu nifas dengan riwayat PEB dan
HELLP syndrome.
f. Dapat melaksanakan rencana tindakan pada ibu nifas dengan riwayat
PEB dan HELLP syndrome.
g. Dapat melaksanakan evaluasi pada ibu nifas dengan riwayat PEB dan
HELLP syndrome.
h. Dapat melakukan pendokumentasian dengan metode SOAP.

C. Waktu dan Tempat


Penulis membuat laporan kasus dengan judul Asuhan Kebidanan Ibu Nifas
dengan riwayat PEB dan HELLP syndrome pada tanggal 10 – 14 Maret 2017.
Bertempat di RSUP Persahabatan Jakarta Timur.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Preeklampsia
1. Pengertian
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
terjadi ante, intra dan postpartum (Prawiroharjo, 2014). Sedangkan
menurut Maryunani, dkk (2012) Preeklampsia adalah penyakit yang
ditandai dengan adanya hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul
selama kehamilan atau sampai 48 jam postpartum. Umumnya terjadi pada
trimester III kehamilan. Preeklampsia dikenal juga dengan sebutan
Pregnancy Incduced Hipertension (PIH) gestosis atau toksemia kehamilan.
2. Etiologi
Penyebab preeklampsia belum diketahui secara pasti. Kondisi ini lebih
sering dialami oleh ibu hamil primigravida, ibu yang mengalami
hiperplasentosis, seperti kehamilan kembar, janin besar, mola hidatidosa,
dan hydrops fetalis, ibu hamil yang mengalami gangguan vascular, seperti
hipertensi atau diabetes mellitus dan ibu hamil yang memiliki riwayat
preeklampsia atau eclampsia dalam keluarga. Beberapa faktor resiko ibu
terjadinya preeklampsi :
a. Hipertensi
Gejala preeklampsia yang paling dahulu timbul adalah hipertensi yang
tiba-tiba.
b. Edema dan kenaikan berat badan yang berlebihan
Terjadinya edema didahului dengan kenaikan berat badan yang
berlebihan. Kenaikan berat 0,5 kg dalam waktu seminggu pada ibu
hamil merupakan hal yang normal. Akan tetapi, kenaikan berat badan 1
kg dalam waktu seminggu atau 3 kg dala, waktu sebulan harus
menimbulkan kecurigaan adanya preeklampsia. Kenaikan berat dan
yang tiba-tiba disebabkan oleh retensi air dalam jaringan, yang

4
selanjutnya menyebabkan edema. Edema tersebut tidak hilang walaupun
ibu beristirahat.
c. Proteinuria
Kondisi ini sering dijumpai pada kondisi preeklampsia. Proteinuria
terjadi karena vasospasme pembuluh darah ginjal. Proteinuria biasanya
timbul lebih lambat dari hipertensi dan edema (Pratami, 2014)
3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya dua dari empat gejala klinis
preeklampsia, yaitu kenaikan beerat badan yang berlebihan, edma,
proteinuria yang signifikan, dan tekanan darah yang lebih besar atau sama
dengan 140/90 mmHg atau peningkatan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
dan tekanan darah diastolik > 15 mmHg atau peningkatan mean arterial
preassure (MAP) > 20 mmHg. Pemeriksaan diagnostik juga dilakukan
dalam menegakkan diagnosis preklampsia. Pemeriksaan yang lazim
digunakan, antara lain:
a. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan hematocrit (Ht)
Peningkatan Hb dan Ht mengindikasi adanya hemokonsentrasi yang
mendukung diagnosis preeklampsia. Selain itu, peningkatan Hb dan Ht
juga menjelaskan tingkat keparahan hypovolemia yang dialami ibu.
Kadar Hb dan Ht akan mengalami penurunan jika terjaid hemolisis.
b. Morfologi sel darah merah pada apusan darah tepi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan adanya anemia hemolitik
dan morfologi eritrosit yang abnormal.
c. Pemeriksaan trombosit
Trombositopenia mengindikasikan preeklampsia berat.
d. Pemeriksaan kreatinin serum, asam urat, dan nitrogen urea darah.
Peningkatan hasil pemeriksaan kreatinin serum, asam urat, dan BUN
mengindikasikan tingkat keparahan hypovolemia, penurunan aliran
darah keginjal, oliguria, dan preeklampsia berat.

5
e. Pemeriksaan transaminase serum
Peningkatan kadar transaminase serum mengindikasikan preeklampsia
yang disertai gangguan fungsi hati.
f. Lactate dehydrogenase (LDH)
Pemeriksaan ini menunjukkan adanya hemolisis.
g. Pemeriksaan albumin serum dan faktor koagulasi.
Pemeriksaan albumin serum dan fakor koagulasi menunjukkan adanya
kebocoran endotel dan kemungkinan koagulopati
(Pratami, 2014).
4. Perubahan sistem dan organ pada preeklampsia
a. Volume plasma
Volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut hipervolemia)
guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan volume
plas,a tertinggi pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34
minggu. Sebaliknya oleh sebab yang tidak jelas pada preeklampsia
terjadi penurunan volume plasma antara 30% - 40% dibanding hamil
normal disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan
vasokontriksi sehingga terjadi hipertensi.Preeklampsia sangat peka
terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak.
Oleh karena itu, observasi cairan yang masuk dan keluar harus ketat.
b. Hipertensi
Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vascular dimulai umur
kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada
trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil
dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal
beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia
berat kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2 - 4 minggu pasca
persalinan.

6
c. Fungsi ginjal
- Perubahan fungsi ginjal yaitu menurunnya aliran darah keginjal
akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria bahkan anuria
- Proteinuria merupakan syarat diagnosis preeklampsia tetapi
umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan sehingga sering ditemui
preeklampsia tanpa proteinuria karena janin sudah lahir lebih dulu.
- Asam urat serum umumnya meningkat ≥ 5 mg/cc. hal ini disebabkan
oleh hipovolemia yang menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal
dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus sehingga
menurunnya sekresi asam urat.
- Kreatinin plasma meningkat ≥ 1mg/cc. hal ini disebabkan oleh
hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan
menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi
kreatinin disertai peningkatan kreatinin plasma.
- Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah
keginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun
(oliguria) bahkan dapat terjadi anuria. Befrat ringannya oliguria
mengambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini berarti
menggambarkan berat ringannya preeklampsia.
d. Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada hamil normal. Pada preeklampsia
kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila diberi
diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan
oksitosin yang bersifat antidiuretik.
e. Tekanan osmotic koloid plasma
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan
8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik semakin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permalibitas vaskular.

7
f. Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia misalnya trombositopenia,
jarang yang berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi
peningkatan FDP, penurunan anti trombin III dan peningkatan
fibronektin.
g. Viskositas darah
Pada preeklampsia vaskositas darah meningkat, mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah keorgan.
h. Hematokrit
Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hypovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.
i. Edema
Edema terjadi karena hypoalbuminemia atau kerusakan sel endotel
kapiler. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada
muka dan tangan atau edema generalisata dan biasanya disertai dengan
kenaikan berat badan yang cepat.
j. Hematologik
Perubahan hematologik berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala
hemolisis angiopatik.
k. Hepar
l. Neurologik
- Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan
vasogenik edema.
- Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan
visus yang dapat berupa: pandangan kabur, skotomata, dan
amaurosis (kebutaan tanpa jelas adanya kelainan dan ablasio retina).

8
h. Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat
hipovolemia.
i. Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema
paru yang disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel
pada pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya diuresis.
j. Janin
Preeklampsia dan eclampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan
janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta,
hypovolemia, vasospasme, dan keruskaan sel endotel pembuluh darah
palsenta
(Prawirohardjo, 2014).

5. Klasifikasi
Preeklampsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
membahayakan kesehatan maternal maupun neonatal. Gejala klinik
preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsi ringan dan preeklampsi
berat
a. Preeklampsi ringan (PER)
 Suatu sindrom spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi
endotel.
 Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan atas munculnya hipertensi disertai
proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan
ketentuan sebagai berikut :

9
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.
- Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil > 300mg/24 jam.
- Edema : edema generalisata (edema pada kaki, tangan,muka,dan
perut)
(Prawirohardjo, 2014).

b. Preeklampsi berat (PEB)


 Preeklampsi dengan tekanan darah ≥160/110 mmHg, disertai
proteinuria ≥5 g/24 jam atau +3 atau lebih.
 Diagnosa
Ditegakkan bila ditemukan salah satu atau lebih tanda/gejala berikut:
- TD ≥ 160/110 mmHg.
- Proteinuria ≥5 g per 24 jam, +3 atau +4 dalam pemeriksaan
kualitatif.
- Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
- Kenaikan kadar kreatinin plasma.
- Gangguan visus dan serebral, terjadi penurunan kesadaran, nyeri
kepala, skotoma dan pandangan kabur.
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.
- Edema paru-paru dan sianosis.
- Hemolisis mikroangiopatik.
- Trombositopenia berat <100.000 sel/mm 3 atau penurunan
trombosit dengan cepat.
- Gangguan fungsi hepar.
- Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat.
- Sindrom HELLP
(Prawirohardjo, 2014).

10
c. Preeklampsia yang akan datang
Biasanya terjadi jika ibu mengeluh nyeri epigastrium, nyeri kepala
frontal, scotoma, dan pandangan kabur akibat gangguan pada sistem
susunan saraf pusat, gangguan fungsi hati yang ditandai dengan
peningkatan alanin, terdapat tanda hemolisis dan mikro angiopati,
trombositopenia dengan kadar trombosit <100.000/mm3 dan terjadinya
komplikasi sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low
platelet count) (Pratami, 2014).
d. Eklampsia
Terjadi jika ibu yang menderita preeklampsia berat mengalami kejang
kronik dan tonik yang dapat disertai koma (Pratami, 2014).

6. Patofisiologi
Prawirohardjo (2012) menjelaskan bahwa terjadinya preeklamsia atau
eklamsia dapat terjadi akibat kegagalan migrasi endotelial trofoblas
interstitial sel dan endothelial trofoblas ke dalam arterioli miometrium. Hal
ini bila ditambah dengan adanya penyakit maternal berupa hipertensi,
penyakit kardiovaskuler dan penyakit ginjal, keadaan imunologis akibat
kebutuhan darah nutrisi dan oksigen tidak terpenuhi, dan faktor trofoblas
berlebihan seperti hamil ganda dan mola hidatidosa yang dapat
meningkatkan terjadinya iskemia region uteroplasenter. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya aktifitas endometrium meningkat dan bersamaan
juga dengan meningkatnya aktivitas endotelium.

7. Faktor Predisposisi
Menurut Edwin (2013), faktor predisposisi preeklamsia yaitu:
a. Primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan di atas 35 tahun
memiliki insidensi hipertensi dua kali lipat.
b. Satus sosial ekonomi : preeklamsia dan eklamsia lebih umum di temui
di kelompok sosial ekonomi rendah.

11
c. Predisposisi genetik : bukti adanya pewarisan secara genetik paling
mungkin di sebabkan oleh faktor resensif.
d. Komplikasi obstetrik: penyakit trofoblastik (kasus molahidatidosa),
kehamilan kembar dan hidrop fetalis.
e. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya: diabetes melitus, hipertensi
kronis, penyakit ginjal, sistemik lupus erythematosus, sindrom
antifosfolipid antibodi.

8. Faktor risiko
Faktor risiko preeklamsia yaitu umur ibu lebih dari 40 tahun,
primigravida atau >10 tahun sejak kelahiran terakhir, kehamilan pertama
dengan pasangan baru, hamil kembar, fertilisasi in vitro, diabetes melitus,
hipertensi kronis, penyakit ginjal kronis, riwayat preeklamsia dalam
keluarga dan adanya protein urin saat mendaftar untuk pemeriksaan (>1+
pada lebih dari satu pemeriksaan atau 0,3> g/ 24 jam) (Bothamley, 2011).

9. Komplikasi Preeklamsia
Menurut Benson (2008) komplikasi pada preeklamsi terdiri dari:
1) Komplikasi pada ibu
a. Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzyme Low Platelet Count
(HELLP) yaitu: mengalami hemolisis (H), peningkatan enzim hati
(EL), dan jumlah trombosit rendah (low platelet, LP).
b. Edema paru
c. Dekompensasi jantung
d. Koagulopati
e. Gagal ginjal
f. Nyeri epigastrik, gejala-gejala serebral.
2) Kelainan pada janin
Terjadinya gawat janin.

12
10. Pencegahan preeklamsi
Beberapa pencegahan Preeklamsi menurut Yulaikhah (2008) meliputi:
a. Lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan bermutu serta teliti.
b. Waspadai kemungkinan Preeklamsi jika ada faktor predisposisi.
c. Beri penyuluhan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, diet
rendah garam, lemak serta karbohidrat, diet tinggi protein, menjaga
kenaikan berat badan.

11. Penatalaksanaan preeklampsia


a. Prinsip penatalaksanaan preeklampsia
o Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah.
o Mencegah berkembangnya penyakit menjadi preeklampsia.
o Mengatasi atau menurunkan risiko pada janin, hipoksia hingga
kematian janin.
o Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah cukup bulan atau kurang bulan.
b. Penatalaksanaan preeklampsia dirumah sakit
Rawat inap dipertimbangan untuk dilakukan minimal pada awalnya bagi
ibu yang mengalami awitan baru hipertensi jika hipertensi menetap atau
memburuk atu terjadi proteinuria. Evaluasi yang dilakukan meliputi:
o Pemeriksaan cermat yang diikuti oleh pemantauan setiap hari untuk
mengindikasi gejala klinis, seperti nyeri kepala, gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium dan kenaikan berat badan yang
berlebihan.
o Pemeriksaan berat badan pertama kali masuk yang dilanjutkan
pemeriksaan berat badan harian.
o Pemeriksaan proteinuria saat pertama kali masuk rumah sakit dan
diulang minimal setiap 2 hari.
o Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk dengan ukuran manset
yang sesuai setiap 4 jam, kecuali antara tengah malam dan pagi hari.

13
o Pemeriksaan kreatinin plasma atau serum, hematocrit, trombosit dan
enzim hati dalam serum.
o Evaluasi yang sering terhadap ukuran janin dan volume cairan
amnion, baik secara klinis maupun USG.
Hasil observasi yang menandakan adanya diagnosis
preeklampsia berat ditindaklanjuti dengan penatalaksanaan
preeklampsia berat (Pratami, 2014).
c. Penatalaksanaan preeklampsia ringan
Penatalaksanaan preeklampsia ringan dapat dikatakan ibu tidak
memiliki risiko, baik bagi ibu dan janin. Ibu tidak perlu segera
mengonsumsi obat antihipertensi atau obat lainnya. Selain itu, ibu juga
tidak perlu rawat inap kecuali tekanan darah terus meningkat. Istirahat
yang cukup yaitu berbaring selama minimal 4 jam disiang hari dan
minimal 8 jam dimalam hari (Pratami, 2014).
d. Penatalaksanaan preeklampsia berat
Penatalaksanaan preeklampsia berat secara aktif dilakukan jika ibu
memiliki satu atau lebih indikasi berikut:
1) Terdapat tanda eclampsia iminen.
2) Terdapat sindrom HELLP
3) Terjadi kegagalan penanganan preeklampsia secara konservatif
4) Terdapat tanda gawat janin atau hambatan pertumbuhan intra uterin
5) Usia gestasi 35 minggu atau lebih.
Penanganan preeklampsia berat adalah pemberian obat antikejang
MgSO4, yang dapat dilakukan jika ibu memiliki kriteria berikut:
1) Frekuensi napas ≥ 16 kali/menit.
2) Tidak terdapat tanda gawat napas
3) Diuresis ≥ 100 mL dalam waktu 4 jam sebelumnya.
4) Refleks patella positif
(Pratami, 2014).

14
Cara pemberian MgSO4:
a) Dosis awal
- Ambil 4 g larutan MgSO4 ( 10 ml larutan MgSO4 40%) dan
larutkan dengan 10 ml akuades.
- Berikan larutan tersebut secara IV selama 20 menit.
- Jika akses IV sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5
ml larutan MgSO4 40%) IM dibokong kiri dan kanan.
b) Dosis rumatan
Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dalam 500 ml larutan RL, lalu berikan secara IV dengan kecepatan
28 tetes/menit selama 6 jam dan diulang 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir
(Kemenkes RI, 2013).

B. Sindrom HELLP
1. Pengertian
Sindrom HELLP (Hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelet
count)merupakan komplikasi kehamilan serius yang dipicu oleh hipertensi
dan sering dibahas bersama dengan kelainan preeklampsia dan eklampsia
dan merupakan salah satu komplikasi preeklamsia dengan faktor resiko
persalinan preterm, hambatan pertumbuhan janin dan persalinan seksio
sasaria. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas (Prawirohardjo,
2014).

2. Diagnosis
 Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri
kepala, mual, muntah, adanya tanda dan gejala preeklampsia.
 Tanda-tanda hemolisis intravascular, khususnya kenaikan LDH, AST,
dan bilirubin.

15
 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST,
LDH
 Trombositopenia : trombosit ≤ 150.000/ml
 Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas
abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsia
harus dipertimbangkan sindrom HELLP.
 Sindrom HELLP komplet ditegakkan jika hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan nilai SGOT >70 Iu/L, LDH > 600 Iu/L,
bilirubin >1,2 mg/dL, trombosit <100.000/mm3.
 Sindrom HELLP parsial ditegakkan jika hanya ditemukan perubahan
pada salh satu atau lebih dari parameter sindrom HELLP komplet,
bukan semua.

3. Klasifikasi
Pengelompokkan sindrom HELLP berdasarkan jumlah trombosit,
antara lain:
a. kelas I : Jumlah trombosit ≤ 50.000/ml
b. kelas II : Jumlah trombosit > 50.000 - ≤ 100.000/mm3
c. kelas III : Jumlah trombosit > 100.000 - ≤ 150.000/mm3
(Prawirohardjo, 2014).

4. Penanganan
Ibu yang mengalami sindrom HELLP biasnaya lebih sulit jika
dibandingkan dengan penanganan ibu yang mengalami preeklampsia berat.
Hal ini terjadi karena ibu yang mengalami sindrom HELLP umumnya juga
mengalami disfungsi multiorgan. Prioritas utama penanganan sindrom
HELLP adalah stabilisasi kondisi ibu, terutama tekanan darah,
keseimbangan cairan, dan gangguan pembekuan darah. Kontrol terhadap
tekanan darah yang tinggi perlu segera dilakukan, terutama jika terdapat
tanda iritabilitas saraf pusat dan gagal ginjal.

16
Transfusi darah dan pemberian trombosit harus diperhitungkan untuk
menangani anemia atau trombositopenia (kadar trombosit ≤50.000/mm3).
Pemberian kortikosteroid juga dapat dipertimbangkan, tetutama untuk
pematangan paru janin, meningkatkan kadar trombosit, dan perbaikan
fungsi hati. Terminasi kehamilan harus segera dilakukan tanpa
mempertimbangkan usia gestasi, terutama setelah kondisi ibu stabil.
Pemberian kortikosteroid postpartum dapat diulangi dengan tujuan
mempercepat pemulihan kondisi ibu (Pratami, 2014).

C. Nifas
1. Pengertian
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, berlangsung kira-
kira 6 minggu (Kemenkes RI, 2013).
2. Klasifikasi
Nifas dibagimenjadi 3 tahapan, yaitu:
a. Puerperium dini (immediate puerperium)
Pemulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan serta
menjalankan aktifitas layaknya wanita normal (0-24 jam postpartum)
b. Puerperium intermedial (early puerperium)
Suatu masa pemulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang lamanya ± 6-8
minggu.
c. Remote puerperium (later puerperium)
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna secara bertahap.
Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan atau
tahunan
(Sunarsih, 2011).

17
3. Perubahan Fisiologis pada ibu nifas
a. Involusi uterus
Yaitu proses kembalinya unterus pada keadaan semula atau keadaan
sebelum hamil dengan bobot hanya 600 gram.
Involusi Tinggi Fundus Berat Diameter Keadaan serviks
Uteri Uterus uterus
(gram) (cm)
Bayi lahir Setinggi pusat 1000
Uri lahir 2 jari dibawah 750 12,5 Lembek
pusat
7 hari Pertengahan pusat 500 7,5 Beberapa hari
(1 minggu) simfisis setelah
14 hari Tak teraba atas 350 3-4 postpartum
(2 minggu) simfisis dapat dilalui 2
42 hari Bertambah kecil 50-60 1-2 jari.
(6 minggu) (sebesar hamil 2 Akhir minggu
minggu) pertama dapat
56 hari Normal 30 dimasuki 1 jari.
(8 minggu)
(Sumber: Sunarsih, dkk, 2011, Asuhan Kebidanan Ibu Nifas)
b. Involusi tempat plasenta
Setelah persalinan, tempat plasenta merupakan tempat dengan permukaan
kasar, tidak rata dan kira-kira sebesar telapak tangan. Dengan cepat luka ini
mengecil pada akhir minggu ke-2 sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2
cm, regenerasi endometrium terjadi ditempat implantasi plasenta selama
sekitar 6 minggu.
c. Lokia
Adalah cairan atau lendir yang berasal dari cavum uteri vagina dalam masa
nifas. Lokia memiliki bau yang amis,pengeluaran lokia dapat dibagi
berdasarkan waktu dan warnanya yaitu:

18
 Lokia rubra muncul pada hari ke 1-3 masa postpartum. Lokia ini
berwarna merah dan mengandung darah dari perobekan/ luka pada
plasenta dan serabut dari desidua chorion.
 Lokia sanguinolenta muncul pada hari ke 3-5 hari postpartum. Lokia ini
berwarna merah kuning yang berisi darah dan lendir karena pengaruh
plasma darah.
 Lokia serosa muncul pada hari ke 5-9 postpartum. Lokia ini berwarna
kekuningan atau kecoklatan, terdiri atas sedikit darah dan lebih banyak
serum dan leukosit.
 Lokia alba muncul lebih dari hari ke-10 postpartum. Lokia ini berwarna
lebih pucat, putih kekuningan, serta banyak mengandung leukosit,
selaput lendir serviks, dab serabut jaringan yang mati.
(Sunarsih, dkk, 2011).
d. Perubahan pada vagina
Pada awal nifas, vagina berbentuk suatu llorong luas berdinding licin yang
berangsur-angsur mengecil ukurannya secara bertahap pada ukuran
sebelum hamil selama 6-8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali
terlihat sekitar minggu keempat (Sunarsih, dkk, 2011).
e. Perubahan pada perineum
Setelah masa nifas biasanya robekan atau laserasi perineum akan pulih
dalam waktu ± 1 minggu setelah melahirkan (Sunarsih, dkk, 2011).

4. Penatalaksanaan post Sectio Caesaria


Perawatan post Sectio Caesaria antara lain:
a. Tanda –tanda vital
b. Tanda-tanda vital setelah dipindahkan, wanita yang bersangkutan sekarang
dievaluasi paling sedikit setiap jam selama minimal 4 jam, dan tekanan
darah, nadi, jumlah urin, jumlah perdarahan, serta status fundus
diperkirakan setiap 4 jam, demikian juga suhu tubuh (Cunningham, dkk
2005).

19
c. Terapi cairan dan makanan
Secara umum, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24 jam pertama
setelah pembedahan. Namun apabila pengeluaran urin turun di bawah 30
ml/jam, wanita tersebut harus segera di reevaluasi. Penyebab oligouria
dapat berkisar dari pengeluaran darah yang diketahui sampai efek
antidiuretik dari infus oksitosin (Cunningham, dkk 2005).
d. Fungsi kandung kemih dan usus
Kateter kandung kemih umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam
setelah operasi atau yang lebih enak keesokan pagi setelah pembedahan.
Pada kasus nonkomplikata, makanan padat dapat diberikan dalam 8 jam
setelah pembedahan (Cunningham, dkk 2005)
e. Ambulasi
Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan pasien
seyogyanya dapat turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan paling
sedikit dua kali. Waktu ambulasi dapat diatur sehingga analgetik yang baru
diberikan dapat mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua pasien dapat
berjalan dengan bantuan. Dengan ambulasi dini, thrombosis vena dan
emboli paru jarang terjadi (Cunningham, dkk 2005).
f. Perawatan luka
Insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau klip) diangkat pada hari
keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga post partum mandi dengan
pancuran tidak membahayakan insisi (Cunningham, dkk, 2005).
g. Pemeriksaan laboratorium
Hematokrit secara rutin diukur pada hari setelah pembedahan. Apabila
hematokrit menurun secara bermakna dibanding dengan kadar pra operasi,
pemeriksaan diulang dan dilakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi
penyebab penurunan tersebut. Apabila hematokrit yang rendah itu stabil,
pasien dapat diambulasi tanpa kesulitan dan apabila sedikit kemungkinan
untuk pengeluaran darah lebih lanjut, pasien lebih baik diberi terapi

20
suplemen besi untuk memperbaiki keadaan hematologisnya dari pada
diberi tranfusi (Cunningham, dkk, 2005).
h. Perawatan payudara
Menyusui dapat dimulai pada hari pembedahan. Apabila pasien memilih
untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebat untuk menopang payudara
tanpa terlalu menekan dan biasanya dapat mengurangi rasa nyeri
(Cunningham, dkk, 2005).
i. Pemulangan dari Rumah Sakit Apabila pasien tidak mengalami penyulit
dalam masa nifas, pasien umumnya dipulangkan pada hari ke tiga sampai
ke empat post partum.
j. Mencegah infeksi pasca operasi Morbidibitas demam cukup sering
dijumpai setelah Sectio Cesaria. Sejumlah uji klinis acak telah
membuktikan bahwa antibiotik dosis tunggal yang diberikan pada saat
Sectio Cesaria akan secara bermakna mencegah infeksi. Infeksi panggul
pasca operasi merupakan penyebab tersering demam dan tetap terjadi pada
sekitar 20% wanita walaupun mereka telah diberi antimikroba profilaksis
partum (Cunningham, dkk, 2005).
k. Perawatan post persalinan preeklamsia
Edema serebral, edema paru, gangguan ginjal dapat terjadi 24-36 jam post
persalinan. Setelah persalinan 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer
meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left
ventricular work load). Bersamaan dengan itu akumulasi cairan interstitial
masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi lebih cepat dengan atau tanpa
diuretik. Banyak perempuan dengan hipertensi kronik dan Superimposed
preeklamsi, mengalami penciutan volume darah (hipovolemia). 36 Bila
terjadi perdarahan post persalinan, sangat berbahaya bila diberi cairan
kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah mengalami
vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan adalah pemberian
transfusi darah (Prawirohardjo, 2009).

21
BAB III
PERKEMBANGAN KASUS

Tanggal : 10 Maret 2017 No. RM : 02-29-18-17


Tempat : RSUP Persahabatan (R.Anggrek) Pukul : 16.00 WIB

Identitas
Istri Suami
Nama : Ny. U Tn. Z
Umur : 19 tahun 32 tahun
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SMP SMA
Pekerjaan : IRT Karyawan swasta

Subjektif
Ibu mengeluh nyeri pada bagian luka sc, nyeri pada ulu hati (-), sakit kepala (-),
mual dan muntah (-), tidak ada riwayat operasi sebelumnya dan tidak pernah
memiliki riwayat kecelakaan. Ibu merencanakan KB IUD untuk masa yang akan
datang.
2017. Lahir anak perempuan, lahir dengan seksio sesarea atas indikasi gagal induksi,
lahir cukup bulan, lahir di RSUP Pershabatan, ditolong oleh dokter

Objektif
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, keadaan emosional stabil,
tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,5˚C.
Pemeriksaan Fisik
Kepala bersih, tidak ada benjolan, muka tidak ada oedema, konjungtiva merah
muda, sklera putih, tidak ikterik, hidung bersih, lidah merah muda, gigitidak ada
karies, bibir merah muda, tidak pecah-pecah, telinga bersih, tidak adapengeluaran

22
cairan, leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada retaksidinding dada,
payudara simetris, puting susu menonjol (kanan dan kiri), tidak ada benjolan, tidak
ada nyeri saat ditekan, hiperpigmentasi di sekitar areola, ada bekas luka operasi, ada
linea nigra, ada striae,TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, ekstremitas atas dan
bawah tidak oedema, tidak ada varices, reflek patela (+), perdarahan normal,
terpasang infuse Rl + synto 20 IU, transfusi TC 10 IU, terpasang dower catheter,
produksi urine keruh 300 cc, skala nyeri vass 5, resiko jatuh tinggi 45.
Skala nyeri
Pemeriksaan Penunjang (10 Maret 2017 pukul 13.58 WIB)
HB : 13,9 gr Trombosit : 28 Eritrosit : 81.9
Leukosit : 16,51 % Hematokrit : 38,9 Limfosit : 12.3
MCV : 81.9 MCH : 29.3 MCHC : 35.7
Basofil : 0,1 % Esinofil : 0,1 % Neutrofil : 81,7%
Monosit : 5,8 % SGOT : 127 U/L SGPT : 65 U/L

Analisa
P1A0 Post SC dengan PEB hellp syndrome nifas hari ke-1
Masalah : resiko jatuh dan nyeri

Pentalaksanaan
1. Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam dan produksi urine. Hasil dalam batas
normal.
2. Memberikan KIE tentang kebutuhan nutrisi dan hidrasi, personal hygiene, teknik
relaksasi jika terasa nyeri dan mobilisasi. Ibu mengerti dan bersedia
melakukannya.
3. Rencana cek DPL post transfusi. Ibu bersedia.
4. Memberikan terapi obat sesuai dengan instruksi dokter SPOG dr. Finish yaitu
injeksi methyldopa 3x250 mg, ceftriaxone 1x2 g, dexamethason 2x10 mg, oral
nifedipin 4x10 mg, asam mefenamat 3x500 mg, dan supositoria propenid 3x100

23
mg serta memberitahu ibu untuk tidak minum obat dengan air teh karena dapat
mengganggu penyerapan zat besi. Ibu bersedia minum.

Subjektif(11 Maret 2017)


Ibu mengatakan nyeri luka operasi sudah berkurang, mual muntah (-), sakit kepala
(-), nyeri ulu hati (-).

Objektif
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum baik, kesadaran composmentis, keadaan emosional stabil,
tekanan darah 130/90 MmHg, nadi 90x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,5◦C
Pemeriksaan Fisik
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, luka operasi tertutup kassa,
perdarahan aktif, lokhea rubra ± 50 cc, terpasang NaCl 0.9%, transfusi TC (trombosit
concentrate) 2 kantong, BAB/BAK : +/+, mobilisasi duduk, skala nyeri vass 2, resiko
jatuh 45.
Pemeriksaan Penunjang (11 Maret 2017 pukul 15.55 WIB)
HB : 10,8 gr Trombosit : 158 Eritrosit : 3,70
Leukosit : 24,93 % Limfosit : 7,1%

Analisa
P1A0 Post SC dengan PEB hellp syndrome nifas hari ke-2

Penatalaksanaan
1. Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam dan produksi urine. Hasil dalam batas
normal.
2. Memberikan ibu pujian atas apa yang sudah ibu lakukan dan memotivasi
ibuuntuk tetap menjaga kebutuhan nutrisi dan hidrasi, personal hygiene, teknik
relaksasi jika terasa nyeri dan mobilisasi. Ibu mengerti dan sudah bisa duduk.

24
3. Merencanakan ganti balutan pada hari ke-3 pada tanggal 12 Maret 2017. Ibu
mengerti.
4. Melakukan up dower catheter.
5. Kolaborasi dengan dokter obstetrik dalam hal tentang tatalaksanan PEB.
6. Memberikan terapi obat sesuai dengan instruksi dokter SPOG dr. Aldi yaitu
injeksi methyldopa 3x250 mg, asam tranexamat 3x 500 mg, adalat oros 1x30
mg,dexamethason 2x10 mg, oral nifedipin 4x10 mg, cefadroxil 2x500 mg, asam
mefenamat 3x500 mg, dan supositoria propenid 3x100 mg. Ibu bersedia minum.

Subjektif (12 Maret 2017)


Ibu mengatakan nyeri luka operasi sudah berkurang, sakit kepala (-), mual
muntah (-), nyeri ulu hati (-).

Objektif
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum baik, kesadaran composmentis, keadaan emosional stabil,
tekanan darah 130/90 MmHg, nadi 88x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,5◦C.
Pemeriksaan Fisik
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, luka operasi tertutup kassa,
perdarahan aktif, lochea rubra ± 50 cc, terpasang vemplon, resiko jatuh 45.

Analisa
P1Ao Post SC dengan PEB hellp syndrome hari ke-3

Penatalaksanaan
1. Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam dan produksi urine. Hasil dalam batas
normal.
2. Memberikan ibu pujian atas apa yang sudah ibu lakukan dan memotivasi ibu
untuk tetap menjaga kebutuhan nutrisi dan hidrasi, personal hygiene, teknik
relaksasi jika terasa nyeri dan mobilisasi. Ibu mengerti dan sudah bisa jalan.

25
3. Mengganti balutan. Luka bersih dan baik.
4. Kolaborasi dengan dokter obstetrik dalam hal tentang tatalaksanan PEB.
5. Memberikan terapi obat sesuai dengan instruksi dokter SPOG dr. Finish yaitu
injeksi adalat 1x30 mg, methyldopa 3x250 mg, ceftriaxone
1x2g,dexamethason 2x10 mg, asam tranexamat 3x1 gr, oral nifedipin 4x10
mg, asam mefenamat 3x500 mg, dan supositoria propenid 3x100 mg. Ibu
bersedia minum.

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. U terpasang dower catheter pada tanggal 10/3/2017, guna untuk


mengetahui balance intake output, perdarahan dalam urine, produksi serta warna
urine yang dihasilkan. Hal ini dikarenkan pada pasien dengan PEB terjadi penurunan
volume plasma disebut hipovolemia. Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian
cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak. Oleh karena itu, observasi cairan yang
masuk dan keluar harus ketat.
Ny. U mengalami sindroma HELLP dikarenakan tingginya jumlah SGOT
(ALT) 127 U/L , SGPT (AST) 65 U/L dan menurunnya trombosit pada Ny. U yaitu
28/µL. Menurut Prawirohardjo (2010) diagnosa Sindroma HELLP salah satunya
adalah tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar yaitu kenaikan ALT, AST, LDH
dan Trombositopenia : trombosit ≤ 150.000/ml.
Selama masa nifas Ny. U mengalami peningkatan leukosit hal ini sesuai
dengan teori Ambarwati 2008 bahwa jumlah leukosit akan tetap tinggi selama
beberapa hari pertama masa post partum. Jumlah sel darah putih akan tetap bisa naik
lagi sampai 25.000 hingga 30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut
mengalami persalinan lama.
Ny. U mengalami penurunan jumlah trombosit dan hemoglobin. Trombosit
awal (09 Maret 2017) 219 menjadi (10 Maret 2017) 28 dan hemoglobin awal (09
Maret 2017) 15,5 g/dL menjadi (10 Maret 2017) 13 g/dL. Menurut prawirohardjo
(2010) sindrom HELLP umumnya juga mengalami disfungsi multiorgan. Prioritas
utama penanganan sindrom HELLP adalah stabilisasi kondisi ibu, terutama tekanan
darah, keseimbangan cairan, dan gangguan pembekuan darah.
Ny. U mendapatkan mendapatkan tranfusi darah sebanyak 2 kantong (volume
10 IU/kantong darah) pada tanggal 11 Maret 2013 pada pukul 03.30 WIB dan 04.00
WIB atas indikasi trombositopenia.

27
Selama mengalami penurunan trombosit Ny. U mendapatkan terapi
dexametason 2x10 mg dan dexametason 2x5 mg. Hal ini sesuai dengan teori
Prawirohardjo 2010 pada sindroma HELLP postpartum diberikan dexametason 10
mg i.v 2 x/hari selama 2 hari, kemudian diberikan 5 mg dexametason 2 x/hari selama
2 hari. Terapi dihentikan, bila terjadi perbaikan yaitu meningkatnya produksi urine,
trombosit, menurunnya tekanan darah, menurunnya kadar LDH dan AST.

28
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Preeklamsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi 160/100 MmHg atau lebih disertai proteinuria
dan atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Rukiyah, 2011). Faktor
pertama adalah genetik, jika ibu mertua kita memiliki riwayat preeklamsia,
kita juga beresiko mengalaminya pada satu kali atau lebih kehamilan, yang
kedua adalah adanya kelainan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah
bisa mengakibatkan suplai darah ke organ-organ vital seperti hati dan ginjal
berkurang.komplikasi pada preeklamsia berat yaitu diantaranya atonia uteri,
sindrom hellp, gagal jantung, dll. Seperti yang terdapat dalam makalah ini
bahwa Ny. U mengalami PEB dan sindrom HELLP.

B. Saran
Setiap wanita yang sedang hamil hendaknya melakukan kunjungan
antenatal care untuh mencegah komplikasi kehamilan secara dini. Promosi
dan pendidikan KIA hingga tingkat rumah tangga dan program pemerintah
untuk menurunkan AKI hendaknya dapat menjangkau seluruh provinsi yang
ada di Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai