Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Midline granuloma adalah penyakit dangan lesi limfoproliferatif atipik disertai nekrosis
dengan gambaran klinis dan patologi tertentu. Lesi tersebut kebanyakan ditemukan dan dimulai
pada rongga hidung dan sekitarnya, meskipun dapat juga mengenai organ lain. Karena lesi
terdapat pada garis tengah muka dan kerap menyebabkan kematian, maka secara klinis
dinamakan sebagai ‘Lethal midline granuloma’. 1
Penyakit ini merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidens di Indonesia belum
diketahui dengan pasti, namun dari beberapa literatur dikatakan bahwa penyakit ini lebih
sering ditemukan di negara-negara belahan Timur dibandingkan negara belahan Barat. Midline
granuloma biasanya timbul pada dekade ke empat dan ke lima, namun pernah dilaporkan
terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan di atas 70 tahun. Penyakit ini lebih banyak terdapat
pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1 sampai 8:1.2,3
Dilaporkan terdapat 36 kasus selama 20 tahun di RS Royal National London. Di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta dilaporkan 16 kasus pada tahun 1988-1992.2
Midline granuloma merupakan penyakit dengan gejala inflamasi lokal disertai
pembentukan granuloma yang bersifat ulseratif dan destruktif yang progresif, bermanifestasi
ganas, mengenai rongga hidung, sinus paranasal, palatum dan midfasiai yang dapat meluas ke
jaringan sekitarnya. 2,4
Pada tahun 1897 Mc Bride menemukan kasus iethai midline granuloma sebagai suatu
kasus yang jarang terjadi dan menarik perhatian. Kemudian pada tahun 1933 Stewart
menemukan kasus ini dan dia menamakannya dengan ‘Progressive lethal granulomatous
ulceration’ pada hidung, dan juga memberikan nama lainnya yaitu malignant granuloma,
granuloma gangrenosa, midline malignant reticulosis, nonhealing granuloma dan polimorfik
retikulosis. Pada tahun 1966, Eichel memberikan nama retikulosis polimorfik dan
membedakannya dengan limfoma maligna pada hidung. 4,5
Penelitian terakhir menunjukan bahwa lethal midline granuloma termasuk ke dalam
limfoma non Hodgkin's yang berasal dari sel - T atau sel Natural Killer (NK). 6

BAB II
MIDLINE GRANULOMA
1
DEFINISI
Nasal Sel NK/Sel T limfoma menyebabkan lesi destruktif secara eksklusif terlokalisir
utamanya pada cavum nasal dan sinus paranasal. Nekrosis jaringan yang luas dapat muncul.
Proliferasi limfosit cenderung menjadi angiosentrik dan angiodestruktif. Sel asalnya sering sel
NK, tetapi pada beberapa kasus timbul dari sel T sitolitik (sel NK mirip sel T yang
mengekspresikan sel T intraseluler antigen-1 [TIA 1]), karenanya disebut nasal NK/Sel T
limfoma.5

ETIOLOGI
Penyebab pasti dari midline granuloma sampai saat ini belum diketahui. Diduga
penyakit ini berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr yang ikut terlibat di dalam
mekanisme patogenesis terjadinya penyakit ini, dimana sel-sel limfoid pada retikulosis
polimorfik mengandung gen ataupun antigen virus Epstein-Barr. 2
Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa virus Epstein-Barr sering berhubungan
dengan lesi imunoproliferatif angiosentrik, khususnya di datam lesi derajat tinggi, dimana
virus itu kemungkinan berada di dalam sel-sel tumor. Dan dikatakan bahwa virus Epstein-
Barr mungkin ikut terlibat didalam transformasi lesi imunoproliferatif angiosentrik derajat
rendah. 7
Dikatakan bahwa sel-T dan limfoma sel NK (Natural Killer) daerah sinonasal
mempunyai insidens yang tinggi untuk terinfeksi oleh virus Epstein-Barr. Virus itu dapat
diditeksi lebih kurang sebesar 1 % pada limfoma kulit, 13%-36% pada limfuma traktus
gastrointestinal dan 18% pada limfoma sel-T. 8

Kim dkk dalam penelitian imunohistokimianya mendapatkan sel limfoid dalam


jumlah banyak, seperti sel plasma yang memperlihatkan aktivitas interleukin 6, dan mereka
menyimpulkan bahwa interleukin 6 ini kemungkinan berperan dalam proses pengrusakan
jaringan yang terjadi pada stadium dini. 9
Pendapat lain mengatakan bahwa midline granuloma merupakan bentuk khusus dari
limfoma ekstranodal dengan manifestasi ulserasi dan destruksi, dan dapat mengalami
transformasi, menjadi limfoma pada 10% kasus. 10,11

2
ANATOMI
Hidung luar : 12
Terdiri dari :
- Apeks, yaitu bagian dari puncak hidung.
- Dorsum nasi , adalah bagian ke atas dan belakang dari apeks.
- Kolumela, mulai dari apeks yaitu di posterior bagian tengah bibir dan terletak sebelah
distal dari kartilago septum.
- Nares anterior atau nostril, di sebelah latero superior dibatasi oleh ala nasi, dan di sebelah
inferior oleh dasar hidung.
Rangka hidung bagian luar terdiri dari : os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago
lateralis superior, kartilago lateralis inferior dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi.
Septum nasi :
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh
lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum , premaksila dan
kolumela membranosa, bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista
palatina serta krista sfenoid. 12
Kavum nasi :
• Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os palatum.
• Atap hidung terdiri dari : kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksla, os etmoid dan os sfenoid. Sebagian besar di bentuk oleh lamina kribrosa.
• Dinding lateral, dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis,
konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, terdapat di
kanan dan kiri septum. 12

3
Gambar 1. Kerangka luar hidung. 12

GEJALA KLINIK
Berdasarkan perjalanan klinis dari midline granuloma, Stewart membagi gejala klinis dalam 3
fase, yaitu : 2,4,13
1. Fase awal atau fase prodromal : Adalah fase dimana terdapat keluhan sumbatan hidung,
ingus atau sekret yang encer. Berlangsung dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Belum terdapat gejala klinis yang nyata. 13
2. Fase kedua atau fase aktif : Fase dimana dijumpai sekret purulen yang berbau busuk atau
dapat bercampur darah dan disertai dengan keluhan hidung tersumhat. Adanya ulserasi
dapat menyebabkan perforasi septum dan palatum durum, yang biasanya terdapat di
bagian tengah. Muka menjadi bengkak dan baal. Pada kavum nasi terdapat krusta dan
sekuester dari tulang rawan dan tulang hidung. Dapat pula terjadi epistaksis masif jika lesi
mengenai dasar hidung dan septum. Kadang-kadang terjadi peningkatan suhu tubuh
seiring dengan pembentukan abses di daerah pipi. Gambaran khas fase ini adalah
terdapatnya destruksi masif pada daerah muka. 13
3. Fase terminal :
4
Pasien masih mengalami demam dan mengeluh sering terjadi epistaksis berulang.
Destruksi dapat meluas dan menghancurkan hidung, pipi, mata dan bila perluasan ke
arah otak dapat menyebabkan kematian. Penderita akan meninggal disebabkan ofeh
terjadinya meningitis, sepsis dan perdarahan. 13
Gejala lainnya yang tidak spesifik adalah timbul keluhan demam, kelelahan, penurunan
berat badan dan keringat malam. Lesi dapat terjadi pada saluran napas atas saja atau
bersamaan dengan organ lain. Sebagian besar lesi terjadi di daerah hidung dan dapat
disertai dengan keluhan gangguan pada daerah sinus. Keterlibatan nasofaring bisa tanpa
gejala atau hanya berupa sakit ringan. Gejala di paru dapat menimbulkan keluhan
demam, batuk, nyeri dada dan hemoptisis. Sedangkan kerusakan pada kulit akan timbul
kemerahan yang berbentuk makulopapular sampai terjadi ulserasi terutama pada bagian
tubuh dan ekstremitas. Midline granuloma jarang sekali mengenai daerah traktus
gastrointestinal, sistim susunan saraf pusat dan ginjal. 13

Gambar 2. Lethal midline Granuloma Penyakit ini ditandai dengan gejala awal berupa hidung tersumbat
yang kronis dengan discharge purulen atau berdarah. 13

5
Gambar 3. Lethal midline Granuloma, kebanyakan limfoma ini dimulai di hidung, sinus, dan
langit-langit atau palatum. 13

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium rutin kurang mempunyai nilai di dalam menegakkan
diagnosis, namun dibutuhkan untuk menyingkirkan penyakit lainnya. Satu-satunya
pemeriksaan yang sangat membantu adalah nilai sedimentasi eritrosit. Adanya peningkatan
sedimentasi eritrosit lebih dari 60mm dalam 1 jam pertama terjadi pada 90% pasien-pasien
dengan retikulosis polimorfik. 4
Pemeriksaan laboratorium urinalisa dibutuhkan untuk mengetahui fungsi ginjal. Secara
radiologis gambaran yang menonjol adalah adanya gambaran erosi tulang, terdapatnya
perforasi septum nasi dan adanya destruksi. Gambaran massa yang jelas jarang terlihat,
biasanya tampak bayangan keputihan/opak di daerah kavum nasi atau sinus paranasal. 5
Tomografi komputer dan MRI dapat membantu diagnosis dini, evaluasi perluasan
penyakit dan keterlibatan organ organ disekitarnya seperti sinus-sinus dan orbita, serta
perluasan ke intrakranial. MRI sangat baik untuk membedakan massa atau cairan di dalam
sinus paranasal. Penilaian yang tepat mengenai perluasan penyakit diperlukan untuk
perencanaan radioterapi. 11,14
Secara radiologis tidak dapat membedakan antara midline granuloma dengan penyakit
granuloma lainnya seperti penyakit granulomatosis Wegener. 11

HISTOPATOLOGI

6
Midline granuloma merupakan limfosit sel-T dimana tidak terdapat pertanda sel-B.
Limfoma sel-T mengandung pertanda sel-T berupa CD3, CD45RO dan CD43. Gambaran
histologis dari retikulosis polimorfik adalah reaksi radang akut atau kronis yang tidak khas
dengan histiosit atipik, disertai penyebaran jaringan nekrotik yang tanipak jeias dan menonjol. 2
Midline granuloma menunjukan serbukan berbagai macam sel atipik dalam lamina
propria di sekitar kelenjar mukosa disertai nekrosis koagulativa. Serbukan sel atipik terdiri dari
sel limfosit kecil, sel limfosit matur, imunoblas, sel plasma, eosinofil dan histiosit. Ciri lainnya
adalah infiltrasi sel atipik ke sekitar pembuluh darah (angiosentrik) dan ke dalam dinding
pembuluh darah (angioinvasif). Infiltrasi sel atipik ke dalam dinding pembuluh darah. akan
menyebabkan destruksi dinding pembuluh darah. Nekrosis dapat terjadi di sekitar pembuluh
darah atau dapat mengenai epitel permukaan sehingga menimbulkan ulserasi mukosa dan dapat
pula mengenai jaringan yang lebih dalam hingga mencapai tulang rawan atau tulang. Ulserasi
dapat pula mengenai kulit muka dan dapat bersifat progresif. 1,15,16
Semula dikenal 2 jenis corak histologi yang utama, yaitu tipe Wegener atau disebut
sebagai granuloma sel datia dengan atau tanpa arteritis, dan tipe Stewart atau disebut sebagai
granuloma pleomorfik dan histiositik. 17,18
Pada semua limfoma sel-T telah terbukti adanya virus Epstein-Barr. Pada limfoma sel-T
tidak terdapat peningkatan titer serum Ig A viral capsid antigen virus Epstein-Barr, dimana hal
7,19,20
ini ditemukan pada virus Epstein-Barr yang terdapat pada karsinoma nasofaring.
Harabuchi dkk dan Arber dkk sebagaimana dikutip oleh Mishima dkk, dengan
menggunakan pemeriksaan kombinasi Southern blot dan in situ hybridization analyses,
mendapatkan gen virus Epstein-Barr selalu ditemukan pada sel limfoma sef-T yang
berproliferasi. 15,21

7
Gambar 4. Histologi midline granuloma nasofaring. 3

DIAGNOSIS
Diagnosis midline granuloma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis ditegakan selain dari gejala klinis, juga oleh berbagai pemeriksaan penunjang,
diantaranya :
 Endoskopi
o
Endoskopi hidung ditemukan ulserasi 2-5 cm di pertengahan palatum anterior
disertai sekret kotor-berbau. 14

 Pada biopsi

o
Biopsi sumsum tulang bilateral biasanya tidak ada bukti infiltrasi dari limfoma.

o
Biopsi superfisial ulangan pada ulkus akan di temukan jaringan nekrotik saja
tanpa organisme yang infeksius atau neoplasia.

o
Biopsi terbuka pada lesi akan ditemukan ulserasi disertai infiltrasi campuran sel-
sel limfoid berbagai ukuran (sel-sel pleomorfik atipikal) dan juga jaringan
nekrosis koagulatif.14

 Pemeriksaan laboratorium darah

8
o
Pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar darah rutin (mungkin ditemukan
anemia,limfositopenia), tes fungsi hati termasuk kadar laktat dehidrogenase
(LDH) dimana bila ditemukan peningkatan LDH berhubungan dengan prognosis
yang jelek, tes fungsi ginjal, kadar asam urat dan kalsium, dan titer EBV


Hibridisasi in situ Epstein Barr yang telah dikode tampak pewarnaan inti
pada sebagian dari sel-sel limfoid berukuran sedang dan besar.


Analisa darah lengkap biasanya Normal


Ureum darah, kreatinin, bilirubin dan transaminase normal


Laktatdehidrogenase ↑↑ ( N : 200-400 U/L).


Hipoalbuminemia (N : 42-54 g/L). 14

 Pemeriksaan imunohistokimia dan flow-sitometri

o
Pemeriksaan imunohistokimia dan flow-sitometri akan didapatkan
petanda/marker yang berhubungan dengan sel T, seperti CD2, CD3, CD7,
CD45RO, dan CD43.

o
Pada tumor ini juga sering didapatkan marker sel NK yaitu CD56.

o
Pemeriksaan imunohistokimia ini juga menegaskan asal tumor dari sel T atau sel
NK, dan tidak ditemukan marker dari sel B. Secara genotip, limfoma sel T/NK di
traktus aerodigestivus atas kebanyakan berasal NK, dan hanya sedikit yang
berasal dari sel T. Kira-kira 80% berasal dari sel NK, dan 10-30% berasal dari sel
T. 14

 Pencitraan

o
Pada pemeriksaan radiologis foto tampak destruksi tulang midfacial disertai
relatif sedikit penebalan jaringan lunak yang berhubungan dengannya. 14

 CT scan dan MRI

9
o
Pemeriksaan ini CT-Scan digunakan untuk mengetahui perluasan lesi dan
menentukan staging dari lethal midline Granuloma. Bila lethal midline
Granuloma dicurigai meluas ke intrakranial, MRI mungkin berguna untuk
mendeteksi perluasan tersebut. 14

Diagnosis pasti midline granuloma ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi


anatomi melalui biopsi yang diambil pada daerah lesi. Biopsi jaringan merupakan pemeriksaan
yang sangat menentukan di dalam menegakkan diagnosis midline granuloma. Biopsi yang
berulang-ulang seringkali diperlukan dalam usaha untuk menegakkan diagnosis midline
granuloma. Biopsi yang terlalu superfisial dari ulkus seringkali menunjukan diagnostik reaksi
inflamasi akut dan kronis dengan nekrosis. Perhatian utama adalah kesulitan dalam
membedakan midline granuloma dengan tumor traktus respiratoris bagian atas yang
disebabkan oleh nekrosis atau inflamasi, sehingga biopsi gagal menunjukan adanya suatu
keganasan yang mendasarinya. 4
Pada dasarnya sulit sekali untuk membuktikan diagnosis secara histologik karena
granuloma tersebut dikelilingi oleh banyaknya jaringan inflamasi dalam area yang
mengalami ulseratif masif. Sehingga untuk mendapatkan jaringan yang representatif
diperlukan pengambilan biopsi yang dalam dan mengambil sedikit jaringan yang sehat. 14
Akhir-akhir ini terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan menggunakan tehnik
imunofluoresensi dan analisis DNA untuk menemukan human perifer T-cell. Pemeriksaan
kultur jaringan dapat dilakukan untuk menyingkirkan kelainan granulomatosis karena proses
spesifik. 22

DIAGNOSIS BANDING
Terdapat empat penyakit yang sulit dibedakan, walaupun sudah diperoleh gambaran
histopatologinya, yang disebut dengan istilah "Lethal Midline Granuloma Syndrome".
Penyakit-penyakit tersebut adalah Idiopathic Midline Destrucfive Diseases, Polimorfic
Reticulosis, Non Hodgkin's Lymphoma dan Wegener's Granulomatosis. Gambaran
histopatologis Idiopathic midline destructive disease adalah terlihatnya infiltrat; sel-sel
radang dan tidak terdapatnya sel-sel atipik. Gambaran histopatologis midline granuloma
adalah terlihatnya infiltrasi selsel radang dan sel-sel atipik limfoproliferatif dengan susunan
angiosentrik. Sel-sel atipik cenderung menyerupai histiosit dengan sitoplasma dan inti selnya
10
pleomorfik. Gambaran histopatologis Non Hodgkin's lymphoma adalah hampir sama dengan
midline granuloma, hanya saja susunan sel-sel yang terinfiltrasi tidak angiosentrik.
Gambaran histopatologis Wegeners granulomatosis adalah terlihat gambaran yang berbeda
dengan lainnya yaitu adanya vaskulitis. 22,23
Dengan melihat gambaran histopatologis penyakit-penyakit tersebut maka dapatlah
diketahui bahwa ada perbedaan yang jelas antara Wegener granulomatosis dengan ketiga
penyakit lainnya, yang selanjutnya ketiga penyakit tersebut disebut sebagai "Lethal midline
22
graruloma syndrome non Wegener granulomatosis".
Ketiga penyakit ini sulit dibedakan, namun hal ini tidak perlu dirisaukan oleh karena
ketiga penyakit ini memberikan respons terapi yang baik dengan radiasi. 2

PENATALAKSANAAN
Seperti limfoma yang lain, reseksi bedah dari limfoma sinonasal tidak dianjurkan. Pada
awalnya sebagian besar kasus lethal midline granuloma diterapi dengan radioterapi lokal dosis
rendah yang bervariasi dalam usaha untuk menghentikan atau mengurangi progresivitas
penyakit ini. Banyak pasien yang diterapi dengan cara ini menjadi bebas dari penyakit, namun
tidak mengobati penyakit dalam jangka panjang, setelah dilakukan pen -leriksaan lanjutan
dalam jangka panjang. Penelitian terakhir menyelidiki efektivitas dari radioterapi itu sendiri di
dalam mengobati limfoma non Hodgkin's di traktus sinonasal dan ternyata mempunyai risiko
yang tinggi di dalam terjadinya rekurensi, baik lokal maupun di tempat lain. 23
Hasil dan angka bertahan hidup yang terbaik adalah dengan penggunaan kombinasi
kemoterapi dangan radioterapi lokoregional. Pendekatan ini lebih baik bila dibandingkan
dengan kemoterapi saja. 15
Harrison (1974) dan Fauci (1976) berpendapat bahwa sampai sekarang pengobatan
midline granuloma yang disetujui dan memberikan hasil lebih baik adalah dengan pemberian
radiasi dengan dosis tumor 5000-6000 cG. Berdasarkan Clinicopathological Conference (1963)
pengobatan dengan operasi tidak akan menghentikan proses penyakit ini. 2,23,24
Midline granuloma yang terlokalisasi pada satu daerah di traktus respiratorius bagian
atas, terapi radiasi merupakan terapi pilihan. Midline granuloma merupakan tumor yang
bersifat radiosensitif. Terapi radiasi lapangan luas termasuk hidung, palatum dan seluruh
sinus paranasal digunakan dengan sinar supervoltage. Pengobatan dengan kemoterapi
diberikan pada kasus-kasus dimana kelainan sudah menyebar ke daerah lainnya. 4 , 1 1 , 2 5
11
Pasien-pasien yang mendapatkan terapi radiasi, menyebabkan kulit menjadi
kemerahan dan terjadinya mukositis pada daerah lapangan penyinaran. Beberapa pasien akan
mengalami alopesia. Bila rongga orbita terkena dalam lapangan penyinaran maka akan
menyebabkan pandangan menjadi kabur. 23
Terapi penunjang untuk pasien ini adalah dengan mencegah timbulnya infeksi
sekunder pada daerah sinus paranasal. Irigasi dengan larutan saline dan pembersihan jaringan
yang rusak secara rutin akan efektif untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder sinus
paranasal. Bila terjadi infeksi biasanya disebabkan oleh kuman stafilokokus aureus yang
mendapatkan respon dengan terapi medikamentosa. 4

KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium


terminal), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital,
dan transfusi perioperative. 13

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi


keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil
embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan
saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. 14

PROGNOSIS
Secara umum prognosis midline granuloma adalah buruk. Kekambuhan atau
perluasan akan lebih memperburuk prognosis. 14

12
BAB III

KESIMPULAN

Midline Granuloma merupakan penyakit yang jarang ditemukan di Negara belahan barat
dibandingkan di Negara belahan timur. Biasanya timbul di dekade ke empat dan ke lima dan
lebih banyak ditemukan pada laki-laki.

Penyebab dari midline granuloma sampai saat ini belum diketahui tetapi diduga
berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr yang ikut terlibat dalam mekanisme pathogenesis
penyakit ini, dimana sel-sel limfoid pada retikulosis polimorfik mengandung gen ataupun antigen
virus Epstein-Barr. Pendapat lain mengatakan midline granuloma merupakan bentuk khusus dari
limfoma ekstranodal dengan manifestasi ulserasi dan destruksi, dan dapat mengalami
transformasi, menjadi limfoma pada 10% kasus.

Diagnosis midline granuloma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari gejala klinis bias dilihat dalam fase
prodromal dengan keluhan sumbatan hidung, ingus atau secret yang encer; fase aktif dijumpai
secret purulen berbau busuk dapat bercampur darah dan khas pada fase ini adalah terdapatnya
destruksi massif pada daerah muka; fase terminal terdapat demam,sering epistaksis dan destruksi
dapat meluas dan menghancurkan hidung, pipi, mata dan jika ke otak dapat menyebabkan
kematian. Pemeriksaan penunjang yang sangat membantu adalah peningkatan sedimen eritrosit
lebih dari 60 mm dalam 1 jam pertama terjadi pada 90% pasien dengan retikulosis polimorfik.
Secara radiologis tidak dapat membedakan antara midline granuloma dengan penyakit
granuloma lainnya seperti granulomatosis Wegener. Gambaran histopatologi Midline granuloma
menunjukkan serbukan berbagai macam sel atipik dalam lamina propia disekitar kelenjar
mukosa disertai nekrosis koagulativa.

Pada awalnya sebagian besar kasus lethal midline granuloma diterapi dengan radioterapi
lokal dosis rendah, namun tidak mengobati jangka panjang bahkan mempunyai resiko terjadinya
rekurensi pada limfoma non Hodgkin’s ditraktus sinonasal. Sampai sekarang pengobatan yang

13
disetujui adalah dengan radiasi dosis tumor 5000-6000 cG. Irigasi saline dan pembersihan
jaringan yang rusak secara rutin akan efektif mencegah timbulnya infeksi sekunder.

Prognosis secara umum adalah buruk diperberat dengan kekambuhan dan perluasan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurniawan A.N. Retikulosis Polimorfik Telaah Retrospektif. Majalah Patologi Vol. 9, No.
1-2, Jan - April 2000 : 37 - 40.
2. Kwardinawati M, Wiratno. Hasil Pengobatan Lethal Midline Granuloma di Bagian THT
RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Makalah Bebas Onkologi Konas Semarang : 1251 - 62.
3. Ballenger J.J. Wegener's Granulomatosis. In Ballenger J.J, Snow J. B. Otorhi-
nolayngology Head and Neck Surgery 15 ed. William & Wilkins. A Lea & Febiger
Book. Baltimore Philadelphia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo A Waveriy
Company, 1996 :131 - 2.
4. Thawley S.E. Lethal Midline Granuloma - Polymorphic Reticulosis. In Thawley S.E,
Panje W.R. Comprehensive Management of Head and Neck Tumors. W.B. Saunders
Company. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo,
Hongkong, 1987 : 1871 - 3.
5. Ishii Y, Yamanaka N, Ogawa K et al. Nasal T-Cell Lymphoma as a Type of so called
"Lethal Midline Granuloma" Cancer, SO : 1982 : 2336 - 44.
6. Yamaguchi M, Kita K, Miwa H et al. Frequent Expression of P-Glycoprotein / MDRI by
Nasal T-Cell Lymphoma Cells. Cancer, December 1., 1995, Vol. 76, No. 11 .2351 - 6.
7. Vidal R.W, Devaney K, Feriito A et al. Sinonasal Malignant Lymphomas : A Distinct
Clinicopathological Category. Ann Otol Rhinol Laryngol 108:1999 : 411-9.
8. Medeiror L.J, Jaffe E.S, Yuan Chen Y, Weiss L.M. Localization of Epstein-Barr Viral
Genomas in Angiocentric Immunopioliferative Lessions. Am. J. Surg. Pathol. Vol. 16,
No.S, 1992 : 439-47.
9. Wenig B.M. Sinonasal Tract Malignant Lymphoma. In Harrison L.B, SPSSions R.B, Hong
1N.K. Head & Neck Cancer. A Multidisciplinay Approach. Lippincott Raven. Philadelphia
1999 : 328 - 30.
10. Davison S.P, Habermann T.M, Stricler J.C et al. Nasal and Nasopharyngeal Angiocentric
T-Cell Lymphomas. Laryngoscope 106 : February 1996 : 139 - 43.

15
11. Duorrch K.M Cabane J Raveao V Arnm N Tubiana J.M. Lethal Midline Granuloma:
Impact of Imaging Studies on the Investigation and Management of Destructive Midfacial
Disease in 13 Patients. Head and Neck Radiology. Neuroradiology (1992) 34 : 155 - 61.
12. Ballenger J.J. Hidung dan Sinus Paranasal. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung
dan Sinus Paranasal. In Ballenger J.J. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Edisi 13, Jilid satu, 1987 :1-27. 13. Knudsen S.J, Bailey B.J. Midline Nasal
Masses in Bailey B.J. Head and Neck Surgery - Otolaryngology Lippincott Company.
Philadelphia 1993 : 329 - 41.
14. Graboyes J.H. T-Cell Lymphoma. in Thawley S.E, Panje W.R, Batsakis J.G,
Lindberg R.D. Comprehensive Management of Head and NeckTumors. Vol. 2. W.B.
Saunders Company. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, 1999 :
1970-6.
15. Sheahan P, Donnelly M, Reilly S.O, Murphy M. T / NK Cell Non-Hodgkin's Lymphoma
of the Sinonasal Tract. Pathology in Focus. J. Laryngol & Otol. December 2001 : Vol.
115 : 1032-5.
16. Myers E.N, Suen J.Y. Non Healing Granuloma of the Upper Respiratory Tract. In Myers
E.N, Suen J.Y. Cancer of the Head and Neck. Second ed. Churchill Livingstone New
York, Edinburg, London, Melbourne : 1989 : 844 - 9.
17. Calcatera T.C, Wang M.B, Sercanz J.A. Unusual Tumor. In Myers E.N, Suen J.Y. Cancer
of the Head and Neck Third ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo : 1996 : 665 - 6.
18. Mishima K, Horiuchi K, Kojya S et al. Epstein-Barr Virus in Patients with Pofymorphic
Reticulosis (Lethal Midline Granuloma) from China and Japan. Cancer. June 15, 1994,
Vol. 73, No. 12 : 3041 - 6.
19. Cleary K. R, Batsakis J. B. Pathology Consultation. Sinonasal 'Lyrnphomas. Ann
Otol Rhinol Laryngol 103 : 1994 : 911 -4.
20. Harabuchi Y, Yamanaka N, Kataura A et al Ebstein-Barr Virus in Nasal T-Cell
Lymphomas in Patients with Lethal Midline Granulorna. The Lancet. Jan. 20. 1999 : 128
-30.
21. Munir M, Roezin A, Wardani R.S, Kurniawan A.N. Lethal Midline Granuloma. Asean
Otorhinolaryngol - Head & Neck Surg. J. Vol. 1, No. 1, Jan - Maret 1997 : 40 - 5.
16
22. Gaulard P, Henni T, Marollean J.P et al. Lethal Midline Granuloma (Polymorphic
Reticulosis) and Lymphomatoid Granulomatosis. Cancer, 62 : 1988 : 705 - 10.
23. Asmara S, Soenarto : Pengobatan Lethal Midline Granulorna dengan Radiasi Dosis
Tumor. Kumpulan Naskah Kongres Nasional XI, Yogyakarta, 4-7 Oktober 1995, 896 -
902.
24. Ho P.S, Choy D, Loke S.L. Polymorphic Reticulosis and Conventional Lymphomas of
the Nose and Upper Aerodigestic Tract. Human Pathology Vol. 21, No.10 (October 1990)
: 1041 - 50.
25. Wenig B.M. General Principles of Head and Neck Pathology. In Harrison L.B, Sessions
R.B, Hong W.K. Head and Neck Cancer. A Multidisciplinary Approach. Lippincott Raven.
Philadelphia-New York : 1999 : 253 -333.

17

Anda mungkin juga menyukai