Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

CORONA VIRUS

Oleh :
dr. Muh. Fadel Sesario Muskamal

dr. Muhammad Fauzan Azhiman

dr. Galuh Isra Arfany Fakhsirie

dr. Aqmarina Thalia Adzani

dr. Amalyah Indirasary Mustafa

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS MINI PROJECT


PUSKESMAS TARAWEANG
KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN
2021

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 3
BAB II
LAPORAN KASUS................................................................................ 6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 10
BAB IV
KESIMPULAN....................................................................................... 49
Daftar Pustaka

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali dilaporkan di

Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui pasti, tetapi

kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan. 1 Dugaan awal hal ini terkait

dengan pasar basah yang menjual ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain. Pada 10

Januari 2020

penyebabnya mulai teridentifikasi dan didapatkan kode genetiknya yaitu virus corona baru.

Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat

dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).2 Sejak 31 Desember 2019

hingga sekarang kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya

pertambahan kasus setiap hari.1

Penelitian selanjutnya menunjukkan hubungan yang dekat dengan virus corona

penyebab Severe Acute Respitatory Syndrome (SARS) yang mewabah di Hongkong pada

tahun 2003.1 Tidak lama kemudian mulai muncul laporan dari provinsi lain di Cina bahkan

di luar Cina, pada orang- orang dengan riwayat perjalanan dari Kota Wuhan dan Cina yaitu

Korea Selatan, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Makau, Hongkong, Singapura,

Malaysia hingga total 25 negara termasuk Prancis, Jerman, Uni Emirat Arab, Vietnam dan

Kamboja. Ancaman pandemik semakin besar ketika berbagai kasus menunjukkan

penularan antar manusia (human to human transmission) pada dokter dan petugas medis

yang merawat pasien tanpa ada riwayat berpergian ke pasar yang sudah ditutup.3

Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirus baru.2 Awalnya, penyakit

ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), kemudian

WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease

3
(COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome

Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).3

Seiring dengan terus meningkatnya kasus terkonfirmasi Covid-19, penelitian

mengenai Covid- 19 masih berlanjut hingga saat ini. Berdasarkan penelitian Xu dkk., (2020)

dan Zhu dkk., (2020), ditemukan bahwa agen penyebab Covid-19 berasal dari genus

betacoronavirus, yang merupakan genus yang sama dengan agen penyebab Severe Acute

Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Virus

dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring, kemudian memasuki

paru-paru melalui traktus respiratorius dan selanjutnya menuju organ target. 4

Gambar 1. Alur waktu kejadian virus Corona3

Laporan ini menunjukkan penularan pada pendamping wisatawan Cina yang

berkunjung ke Jepang disertai bukti lain terdapat penularan pada kontak serumah pasien di

luar Cina dari pasien terkonfirmasi dan pergi ke Kota Wuhan kepada pasangannya di

Amerika Serikat. Penularan langsung antar manusia (human to human transmission) ini

menimbulkan peningkatan jumlah kasus yang luar biasa hingga pada akhir Januari 2020

didapatkan peningkatan 2000 kasus terkonfirmasi dalam 24 jam. Gambar 1 menunjukkan

alur waktu kejadian virus corona di dunia.3

Informasi tentang virus ini tentunya masih sangat terbatas karena banyak hal masih

4
dalam penelitian dan data epidemiologi akan sangat berkembang juga, untuk itu tinjauan

ini merupakan tinjauan berdasarkan informasi terbatas yang dirangkum dengan tujuan

untuk memberi informasi dan sangat mungkin akan terdapat perubahan kebijakan dan hal

terkait lainnya sesuai perkembangan hasil penelitian, data epidemiologi dan kemajuan

diagnosis dan terapi.5

5
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Laki-Laki

Umur : 36 tahun

Alamat : Taraweang

Pekerjaan : Karyawan Damkar Tonasa

Agama : Islam

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Laki-laki berusia 36 datang ke Puskesmas dengan keluhan demam dan menggigil sejak 3
hari terakhir. Keluhan demam dirasakan hilang timbul sepanjang hari. Pasien sempat
mengonsumsi obat paracetamol tapi demam tidak turun. Pasien mengeluh badan terasa lemas
dan tidak nafsu makan keluhan ini dirasakan sejak 3 hari terakhir. keluhan disertai batuk kering,
nyeri kepala dan nyeri otot. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
Sebelumnya Pasien riwayat keluar kota dan kontak dengan orang banyak setelah melalukan
rapat pertemuan dengan karyawan pemadam kebakaran di makassar sejak 5 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Tidak ada
Riwayat Kehidupan Personal :
Pasien adalah seorang karyawan pemadam kebakaran. Sehari-hari saat bekerja
pasien mengaku kurang menjaga protocol Kesehatan dengan memakai masker dan
mencuci tangan serta menjaga jarak dengan karyawan yang lainnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK

 Status Generalis : Sakit ringan / Gizi Baik / Compos Mentis (GCS 15


E4M6V5)

6
 Tanda Vital

 Tekanan Darah : 110/80mmHg

 Nadi : 92x/ menit

 Napas : 24x/menit

 Suhu : 38,0 0C

 IMT : 18.4kg/m2 (Normal)

 BB : 50 kg

 TB : 165 cm

 Kepala : Normosefal

 Mata : Anemis (-), Ikterus (-)

 Pupil : Isokor, diameter (2.5mm/2.5mm), Refleks cahaya (+/+)

 Hidung : Dalam batas normal

 Mulut : Tidak ada sianosis

 Leher : DVS R+1 CM H2O

Tidak ada limfadenopati

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

 Thoraks

 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa,


vocal fremitus melemah pada kedua hemithoraks

 Perkusi

Paru kiri : Pekak

7
Paru kanan : Pekak

Batas paru-hepar : ICS VI dextra

Batas paru belakang kanan : Vertebra Th.X dextra

Batas paru belakang kiri : Vertebra Th.IX sinistra

 Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikular

 Suara tambahan : Ronkhi (+) pada kedua lapang paru dibagian


perifer, wheezing (-)

 Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, Thrill (-)

 Perkusi

Batas atas jantung : ICS II sinistra

Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri jantung : ICS V linea midaksilaris sinistra

 Auskultasi : Bunyi jantung = S I/II murni regular,murmur(-)

 Abdomen

 Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

 Auskultasi : peristaltik kesan normal

 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan


epigastrium (-)

 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

 Ekstremitas

 Akral hangat

 Edem pretibial (-/-)

8
 Edem dorsum pedis (-/-)

 Sianosis (-)

 Clubbing finger (-)

 Wasting (-)

 Capillary refill time < 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan Rapid Antigen : Reaktif
 Pemeriksaan Anjuran
 Swab PCR
 Foto Thoraks / CT Scan
 Pemeriksaan Hematologi Rutin

E. DIAGNOSIS KERJA

Covid-19

F. PENATALAKSANAAN

 Non-farmakologi
 Menyarankan pasien untuk menerapkan pola makan yang teratur, olahraga dan
melakukan isolasi mandiri.
 Farmakologi
 Favipavir 200mg 2x2 setelah makan
 Paracetamol 500mg 3x1 setelah makan
 Vitamin C 1000mg/Hari setelah makan
 Vitamin D 5000 iu 1x1 setelah makan
 Vitamin B kompleks 2x1 setelah makan

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikel 60-140 nm melakukan

penelitian untuk mengetahui agen penyebab terjadinya wabah di Wuhan dengan

memanfaatkan rangkaian genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari pasien yang

terinfeksi di Wuhan. Rangkaian genom 2019-nCoV kemudian dibandingkan dengan

SARS- CoV dan MERS-CoV. Hasilnya, beberapa rangkaian genom 2019-nCoV yang

diteliti nyaris identik satu sama lain dan 2019-nCoV berbagi rangkaian genom yang lebih

homolog dengan SARS-CoV dibanding dengan MERS- CoV. Penelitian lebih lanjut

dilakukan untuk mengetahui asal dari 2019-nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus

Corona lain dengan menggunakan analisis filogenetik. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa 2019-nCoV termasuk dalam genus betacoronavirus.6

Penelitian serupa untuk mengetahui agen penyebab wabah di Wuhan juga dilakukan.

Hasil mikrograf elektron dari partikel untai negatif 2019-nCoV menunjukkan bahwa

morfologi virus umumnya berbentuk bola dengan beberapa pleomorfisme. Diameter virus

bervariasi antara 60-140 nm. Partikel virus memiliki protein spike yang cukup khas, yaitu

sekitar 9-12 nm dan membuat penampakan virus mirip seperti korona matahari. Morfologi

yang didapatkan serupa dengan family Coronaviridae.6

Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh menunjukkan hasil yang sama dengan

penelitian bahwa virus ini masuk dalam genus betacoronavirus dengan subgenus yang sama

dengan virus Corona yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory

Syndrome(SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. International Virus

Classification Commisson menamakan agen kausatif ini sebagai SARS-CoV-2.7

Mekanisme virulensi virus corona berhubungan dengan protein struktural dan

10
protein non struktural. Virus Corona menyediakan messenger RNA (mRNA) yang dapat

membantu proses translasi dari proses replikasi/transkripsi. Gen yang berperan dalam

prosesreplikasi/transkripsi ini mencakup 2/3 dari rangkaian RNA 5’-end dan dua Open

Reading Frame (ORF) yang tumpang tindih, yaitu ORF1a dan ORF1b. Dalam tubuh inang,

virus Corona melakukan sintesis poliprotein 1a/1ab (pp1a/pp1ab). Proses transkripsi pada

sintesis pp1a/pp1ab berlangsung melalui kompleks replikasi-transkripsi di vesikel

membran ganda dan juga berlangsung melalui sintesis rangkaian RNA subgenomik.

Terdapat 16 protein non struktural yang dikode oleh ORF. Bagian 1/3 lainnya dari

rangkaian RNA virus, yang tidak berperan dalam proses replikasi/transkripsi, berperan

dalam mengkode 4 protein struktural, yaitu protein S (spike), protein E (envelope), protein

M (membrane), dan protein N (nucleocapsid).6

Jalan masuk virus ke dalam sel merupakan hal yang esensial untuk transmisi.

Seluruh virus Corona mengode glikoprotein permukaan, yaitu protein spike (protein S),

yang akan berikatan dengan reseptor inang dan menjadi jalan masuk virus ke dalam sel.

Untuk genus betacoronavirus, terdapat domain receptor binding pada protein S yang

memediasi interaksi antara reseptor pada sel inang dan virus. Setelah ikatan itu terjadi,

protease pada inang akan memecah protein S virus yang selanjutnya akan menyebabkan

terjadinya fusi peptida spike dan memfasilitasi masuknya virus ke dalam tubuh inang.6

Mekanisme virulensi virus Corona berhubungan dengan fungsi protein non-

struktural dan protein struktural. Penelitian telah menekankan bahwa protein non-

struktural mampu untuk memblok respon imun innate inang. Protein E pada virus memiliki

peran krusial pada patogenitas virus. Protein E akan memicu pengumpulan dan pelepasan

virus.8

3.1 EPIDEMIOLOGI

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China

11
setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya

kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah

hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.7 Tanggal 30 Januari 2020, telah

terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari

berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja,

Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada,

Finlandia, Prancis, dan Jerman.8

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah

dua kasus.9 Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528

kasus dan 136 kasus kematian.8 Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%,

angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.5,7 Per 30 Maret 2020, terdapat

693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah

menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China.

Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak

dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020

disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling

tinggi di dunia, yaitu 11,3%.7

3.2 VIROLOGI

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini utamanya

menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya

wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu

alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus

HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East

Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV).8

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus

12
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam

subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute

Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini,

International Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2.9

Gambar 2. Struktur genom virus. ORF: open reading frame, E: envelope, M: membrane, N: nucleocapsid9

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya

(Gambar 2). Sekuens SARS- CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang

diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari

kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia Mamalia dan burung

diduga sebagai reservoir perantara.9

Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara. Strain

coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus kelelawar

(90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki

homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-

CoV.9

Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki

struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang hampir identik

dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap

angiotensin- converting-enzyme 2 (ACE2). Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung

13
kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor ACE2. Studi

tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak menggunakan reseptor coronavirus

lainnya seperti Aminopeptidase N (APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).10

3.3 ETIOPATOGENESIS

Gambar 3. Evaluasi filogenetik COVID-19 dengan berbagai virus corona9

Patogenesis infeksi COVID-19 belum diketahui seutuhnya. Pada awalnya diketahui

virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS CoV, tetapi dari hasil

evaluasi genomik isolasi dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99% yang

menunjukkan suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan bat-

derived severe acute respiratory syndrome (SARS)- like coronaviruses, bat-SL-CoVZC45

dan bat-SL- CoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina bagian Timur,

kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi dengan MERS-CoV (50%).

Gambar 3 menunjukkan evaluasi filogenetik COVID-19 dengan berbagai virus corona.

Analisis filogenetik menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari subgenus

Sarbecovirus dan genus Betacoronavirus.9 Penelitian lain menunjukkan protein (S)

memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada

14
pengikatan protein S ke reseptor selular dan priming protein S ke protease selular.

Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses masuknya COVID-19 ke

dalam sel mirip dengan SARS.4 Hai ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara

SARS dan COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini menarget Angiotensin Converting

Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease TMPRSS2

untuk priming S protein, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut4,10

Proses imunologik dari host selanjutnya belum banyak diketahui. Dari data kasus

yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil terjadinya

badai sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh

ini, ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta (IL-1β),

interferon-gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10) dan monocyte

chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan mengaktifkan T-helper-1 (Th1).10

Selain sitokin tersebut, COVID-19 juga meningkatkan sitokin T-helper-2 (Th2)

(misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain

juga menunjukkan, pada pasien COVID-19 di ICU ditemukan kadar granulocyte-colony

stimulating factor (GCSF), IP10, MCP1, macrophage inflammatory proteins 1A (MIP1A)

dan TNFα yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU.

Hal ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi COVID-19 berkaitan dengan derajat

keparahan penyakit.10

Gambar 4. Skema replikasi dan patogenesis virus, diadaptasi dari berbagai sumber.10

15
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,

kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius. Selanjutnya, virus akan

menyerang organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2),

seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal. 11

Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel

target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2,

yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung

pada priming protein S ke protease selular, yaitu TMPRSS2.12

Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang

hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas

ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa

SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia

dibandingkan dengan SARS-CoV. Periode inkubasi untuk COVID- 19 antara 3-14 hari.

Ditandai dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta

pasien belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah,

terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan

gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk

dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru.

Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome(ARSD),

sepsis, dan komplikasi lain. Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan usia (di atas 70

tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hipertensi,

dan obesitas.11,12

Sistem imun innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I- like receptors,

NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi

16
produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor anti viral seperti sel CD8+, sel

Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV

dan MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang

terlambat, terutama oleh sel dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya

diikuti oleh peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progress penyakit. 11,12

Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada inang.

Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut “badai sitokin”. Badai

sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan dimana terjadi produksi sitokin

yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai respon dari suatu infeksi. Dalam

kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya penundaan sekresi sitokin dan kemokin

oleh sel imun innate dikarenakan blokade oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya,

hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF- α,

IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit.

Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel NK,

bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin

proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan paru yang

menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan ini dapat

berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat menyebabkan

kematian dalam waktu singkat. 11,12

Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah melalui droplet.

Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui fekal-oral. Penelitian oleh Xiao

dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73 pasien yang dirawat karena Covid- 19, terdapat

53,42% pasien yang diteliti positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29%

dari pasien tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya

meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut,

17
penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 yang berlimpah pada sel

glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus

pada epitel gaster, duodenum, dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga

dapat menginfeksi saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui

fekal-oral.12

3.4 Transmisi

Virus corona merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinkan virus berasal

dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada COVID-19 belum diketahui dengan pasti

proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data filogenetik memungkinkan COVID-19

juga merupakan zoonosis. Perkembangan data selanjutnya menunjukkan penularan antar

manusia (human to human), yaitu diprediksi melalui droplet dan kontak dengan virus yang

dikeluarkan dalam droplet. Hal ini sesuai dengan kejadian penularan kepada petugas

kesehatan yang merawat pasien COVID-19, disertai bukti lain penularan di luar Cina dari

seorang yang datang dari Kota Shanghai, Cina ke Jerman dan diiringi penemuan hasil

positif pada orang yang ditemui dalam kantor. Pada laporan kasus ini bahkan dikatakan

penularan terjadi pada saat kasus indeks belum mengalami gejala (asimtomatik) atau masih

dalam masa inkubasi. Laporan lain mendukung penularan antar manusia adalah laporan 9

kasus penularan langsung antar manusia di luar Cina dari kasus index ke orang kontak erat

yang tidak memiliki riwayat perjalanan manapun.2,11

Penularan ini terjadi umumnya melalui droplet dan kontak dengan virus kemudian

virus dapat masuk ke dalam mukosa yang terbuka. Suatu analisis mencoba mengukur laju

penularan berdasarkan masa inkubasi, gejala dan durasi antara gejala dengan pasien yang

diisolasi. Analisis tersebut mendapatkan hasil penularan dari 1 pasien ke sekitar 3 orang di

sekitarnya, tetapi kemungkinan penularan di masa inkubasi menyebabkan masa kontak

pasien ke orang sekitar lebih lama sehingga risiko jumlah kontak tertular dari 1 pasien

18
mungkin dapat lebih besar. 13

Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari0 manusia ke manusia menjadi sumber

transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari

pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin.22 Selain

itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui

nebulizer) selama setidaknya 3 jam.23 WHO memperkirakan reproductive number

(R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R sebesar

3,28.13

Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier asimtomatis,

namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait transmisi dari karier

asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19.13 Beberapa

peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari

ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data

menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong kecil.11,13 Pemeriksaan virologi cairan

amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan

negatif.14

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada

sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23%

pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi

pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi

secara fekal-oral.14

Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-CoV.

Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk.15 menunjukkan SARS- CoV-2 lebih stabil

pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus

(24 jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada

19
kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di

gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun

tidak pada sampel udara.14 Persistensi berbagai jenis coronavirus lainnya dapat dilihat pada

Tabel 1.

Permukaan Virus Titer virus Temperatur Persistensi


Besi MERS-CoV 105 20OC 48 jam
30OC 8-24 jam
103
HcoV 21OC 5 hari
Alumunium HcoV 5 x 103 21OC 2-8 jam
Metal SARS-CoV 105 Suhu ruangan 5 hari
Kayu SARS-CoV 105 Suhu ruangan 4 hari
Kertas SARS-CoV (Strain P9) 105 Suhu ruangan 4-5 hari
SARS-CoV (Strain GVU6109) 106 Suhu ruangan 24 jam
105 3 hari
104 < 5 menit
Kaca SARS-CoV 105 Suhu ruangan 4 Hari
HcoV 103 21OC 5 hari
Plastik SARS-CoV (Strain HKU39849) 105 22-25OC <5 hari
MERS-CoV 105 20OC 48 jam
30OC 8-24 jam
SARS-CoV (Strain P9) 105 Suhu ruangan
SARS-CoV (Strain FFM1) 107 Suhu ruangan
HCoV (Strain 229E) 107 Suhu ruangan
PVC HcoV 103 21OC 5 hari
Karet silicon HcoV 103 21OC 5 hari
Sarung tangan bedah HcoV 5 x 103 21OC <8 jam
(lateks)
Gaun bedah SARS-CoV 106 Suhu ruangan 2 hari
105 24 jam
104 1 jam
Keramik HcoV 103 21OC 5 hari
Teflon HcoV 103 21OC 5 hari
Tabel 1. Persistensi berbagai jenis coronavirus pada berbagai permukaan benda mati 14
Keterangan: HCOV: Human Coronavirus; SARS: Severe Acute Respiratory Syndrome; MERS: Middle East Respiratory Syndrome

3.5 FAKTOR RISIKO

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,

jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.

Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi

perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada

peningkatan ekspresi reseptor ACE2.15,16

Diaz JH43 menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor

20
blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini,

European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan

untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga

pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.15

Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-

2.Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi

agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit

hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit

COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Studi Guan, dkk. menemukan

bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya

adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B. 15

Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko

mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini belum

ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2. Hubungan infeksi SARS-

CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan. Belum ada

studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-

CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, dkk menunjukkan

bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung

memiliki manifestasi klinis yang lebih parah. 16

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-

19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak

kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis

merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus

COVID-19 adalah tenaga medis.Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi,

21
dengan mortalitas sebesar 0,6%.16

3.6 MANIFESTASI KLINIS

Covid-19 menjadi perhatian penting pada bidang medis, bukan hanya karena

penyebarannya yang cepat dan berpotensi menyebabkan kolaps sistem kesehatan, tetapi juga

karena beragamnya manifestasi klinis pada pasien.16

Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala sangat ringan,

hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan respirasi akut yang

mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan support di Intensive Care Unit (ICU).

Ditemukan beberapa kesamaan manifestasi klinis antara infeksi SARS-CoV-2 dan infeksi

betacoronavirus sebelumnya, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. Beberapa kesamaan

tersebut diantaranya demam, batuk kering, gambaran opasifikasi ground-glass pada foto

toraks. 17

Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19, diantaranya yaitu demam,

batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala (Lapostolle dkk., 2020;

Lingeswaran dkk., 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk. (2020),

gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk

(76%), dan myalgia atau kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun

tidak begitu sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah

5%, dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea.17

Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan oleh Kumar dkk.

(2020). Sakit abdominal merupakan indicator keparahan pasien dengan infeksi COVID-19.

Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien mengalami diare, 5,6%

pasien mengalami mual dan/atau muntah.18

Manifestasi neurologis pada pasien Covid-19 harus senantiasa dipertimbangkan.

Meskipun manifestasi neurologis tersebut merupakan presentasi awal. Virus Corona dapat

22
masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang juga diekspresikan oleh sel neuron dan

sel glial(Farley & Zuberi, 2020; Vollono dkk., 2020). Pada penelitian Vollono dkk. (2020),

didapatkan seorang pasien wanita 78 tahun terkonfirmasi Covid-19mengalami focal status

epilepticus sebagai presentasi awal. Pasien memiliki riwayat status epileptikus pada dua

tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan asam valproat dan levetiracetam

dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun. Tidak ada gejala saluran pernapasan seperti

pneumonia dan pasien tidak membutuhkan terapi oksigen. Penelitian oleh Farley dan Zuberi

(2020) juga menunjukkan manifestasi neurologis pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu

status epileptikus pada pasien lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan

riwayat kejang sebelumnya. 18

CT toraks pada pasien dengan Covid-19 pada umumnya memperlihatkan opasifikasi

ground- glass dengan atau tanpa gabungan abnormalitas. CT toraks mengalami abnormalitas

bilateral, distribusi perifer, dan melibatkan lobus bawah. Penebalan pleural, efusi pleura, dan

limfadenopati merupakan penemuan yang jarang didapatkan. 18

Individu yang terinfeksi namun tanpa gejala dapat menjadi sumber penularan SARS-

CoV-2 dan beberapa diantaranya mengalami progres yang cepat, bahkan dapat berakhir

pada ARDS dengan case fatality rate tinggi (Meng dkk., 2020). Penelitian yang dilakukan

oleh Mengdkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 58 pasien tanpa gejala yang dites positif

Covid- 19 pada saat masuk RS, seluruhnya memiliki gambaran CT-Scan toraks abnormal.

Penemuan tersebut berupa gambaran opasitas ground-glass dengan distribusi perifer, lokasi

unilateral, dan paling sering mengenai dua lobus paru. Setelah follow up dalam jangka

waktu singkat, 27,6% pasien yang sebelumnya asimptomatik mulai menunjukkan gejala

berupa demam, batuk, dan fatigue. 19

Leukopenia ditemukan sebagai abnormalitas yang paling sering terjadi. Berdasarkan

penelitian Huang dkk. (2020), ditemukan hitung sel darah putih kurang dari 4x109/L pada

23
25% pasien, serta limfositopenia pada 63% pasien dengan hitung limfosit kurang dari

1x109/L dan Penelitian oleh Guan dkk., (2020)juga menemukan leukopenia pada 33,7%

pasien, limfositopenia pada 83,2% pasien, dan trombositopenia pada 36,2% pasien.

Dilaporkan kasus trombositopenia berat yang muncul pada masa perawatan pasien Covid-19

oleh Nham dkk., (2020) dengan trombositopenia yang terjadi pada 16 dari 194 pasien dan

hitung platelet pada 3 dari 16 pasien tersebut kurang dari 50.000/mm3. Dilaporkan juga

trombositopenia ringan oleh Holshue dkk., (2020) dengan hitung platelet 122.000/mm3 pada

hari ke-7 infeksi. Trombositopenia dapat terjadi karena infeksi virus itu sendiri atau

disebabkan oleh obat yang digunakan untuk mengobati pneumonia. Trombositopenia sendiri

sering ditemukan pada infeksi virus.19

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa

gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok

sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan

sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi

asimtomatik belum diketahui.20 Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring

pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan. 19

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas

tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum),

anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak

membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare

dan muntah seperti terlihat pada tabel 3. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai

dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2)

distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien

geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.20

24
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada

sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.1 Berdasarkan data 55.924

kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat

ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,

mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen,

hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.21 Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19

memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih

dari 39°C.3 Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14

hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit

menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar

melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-

paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi

empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan

mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat

dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak

terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi

lainnya.22

Gambar 5. Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat. 20

3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium

25
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi ginjal,

elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai

dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai

pasien dengue. Yan, dkk.67 di Singapura melaporkan adanya pasien positif palsu serologi

dengue, yang kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala awal COVID-19 tidak

khas, hal ini harus diwaspadai. Profil temuan laboratorium pada pasien COVID-19 dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Profil klinis dan laboratorium pasien COVID-19


Frekuensi (%) atau nilai median (minimum-maksimum)
Studi Guan, dkk49 Chen J, dkk58 Huang C, dkk.3 Young, dkk.59 Wang D, dkk.60 Mo, dkk.61 Xu dkk.62 Arentz M, dkk.63
Subjek 1.099 249 41 18 138 155 62 21 (kritis)
Lokasi China Shanghai Wuhan Singapura Wuhan Wuhan Zhejiang Washington
Temuan Klinis
Demam 43,4 87,1 98 72 98,6 81,3 77 52,4
Batuk 67,8 36,5 76 83 59,4 62,6 81 47,6
Pilek 4,8 6,8 - 6 - - - -
Nyeri tenggorok 13,9 6,4 - 61 17,4 - - -
Fatigue 38,1 15,7 44 - 69,6 73,2 52 -
Nyeri kepala 13,6 11,2 8 - 6,5 9,8 34 -
Sesak 18,7 7,6 55 11 31,2 32,3 3 76,2
Diare 3,8 3,2 3 17 10,1 4,5 8 -
Temuan Laboratorium
Leukosit (/mm3) 4.700 4.710 (3.800- 6.200 (4.100- 4.600 (1.700- 4.500 (3.300- 4.360 (3.300- 4.700 (3.500- 9.365 (2.890-
5.860) 10.500) 6.300) 6.200) 6.030) 5.800) 16.900)
Limfosit absolut (/ 1.000 1.120 (790- 800 (600- 1.200 (800- 800 (600- 900 (660- 1.000 (800- 889 (200-2.390)
mm3) 1.490) 1.100) 1.700) 1.100) 1.100) 1.500)
Platelet (/mm3) 168.000 - 164.000 - 163.000 170.000 176.000 215.000
ALT(U/L) ↑ 21,3% 23 (15-33) 32 (21-50) - 24 (16-40) 23 (16-38) 22 (14-34) 273 (14-4.432)
AST (U/L) ↑ 22,2% 25 (20-33) 34 (26-48) - 31 (24-51) 32 (24-48) 26 (20-32) 108 (11-1.414)
Kreatinin serum ↑ 1,6% - ↑ 10% - 0,8 (0,67-0,98) 0,8 (0,67- 0,81 (0,67- 1.45 (0.1-4.5)
(mg/ 0,98) 0,94)
dL)
Bilirubin total ↑ 10,5% - 11,7 (9,5-13,9) - 9,8 (8,4-14,1) - - 0.6 mg/dL (0.2-
(mmol/L) 1.1)
LED (mm/jam) - 54 (33-90) - - - 25 (14-47) - -
CRP (mg/L) ↑ 60,7% ≥ - 16,3 (0,9-97,5) - - 33 (16-74) - -
10 mg/L
PCT ≥ 0,5 ng/mL 5,5% - 8% 35,5% ≥ 0,05
- 0.05 (0.05- 0,04 (0,03- 1.8 (0.12-9.56)
ng/mL 0.09) 0,06)
Laktat (mmol/L) - 1,4 (1,1-2,1) - - - - 1.8 (0.8-4.9)
IL-6 (pg/mL) - - - - - 45 (17-96) - -
LDH (U/L) ↑ 41,0% 229 (195- ↑ 73% > 245 512 (285-796) 261 (182-403) 277 (195- 205 (184- -
291) U/L 404) 260,5)
D-dimer ↑ 46,4% - 0,5 mg/L (0,3- - 203 ng/mL 191 ng/Ml 0,2 mg/L -
1,3) (121-403) (123-358) (0,2-0,5)
hs Trop I - - ↑ 12% - 6,4 pg/mL - - ↑ 14%
(2,8-18,5)
Keterangan: Hb: hemoglobin, ALT: alanin aminotransferase; AST: aspartate aminotransferase; LED: laju endap darah; CRP: C-reactive protein; PCT: prokalsitonin; IL-6:
interleukin-6; LDH: laktat
dehidrogenase; PT: prothrombin time; aPTT: activated partial thromboplastin time; hs Trop I: high-sensitivity cardiac troponin I

26
Gambar 6. Skema perjalanan penyakit COVID-19, diadaptasi dari berbagai sumber

B. Pencitraan

Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed

Tomography Scan (CT- scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti

opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura,

dan atelectasis, seperti terlihat pada Gambar 6. Foto toraks kurang sensitif dibandingkan CT

scan, karena sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks.22

Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan utama.

Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang. Studi lain mencoba

menggunakan 18
F-FDG PET/CT, namun dianggap kurang praktis untuk praktik sehari-

hari.Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi, dkk. temuan utama pada CT scan toraks

adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa konsolidasi, sesuai dengan

pneumonia viral. Keterlibatan paru cenderung bilateral (87,5%), multilobular (78,8%),

lebih sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih perifer (76%). Penebalan septu,

penebalan pleura, bronkiektasis, dan keterlibatan pada subpleural tidak banyak ditemukan.

Gambar 7 menunjukkan contoh gambaran CT scan toraks pada pasien COVID-19. 22

Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi pleura, efusi perikardium,

limfadenopati, kavitas, CT halo sign, dan pneumotoraks. Walaupun gambaran-gambaran

tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan progresivitas penyakit. Studi

ini juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih sering memiliki gambaran

konsolidasi. Gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:20

1. Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal,

predominan gambaran ground-glass. Penebalan septum interlobularis, efusi pleura, dan

limfadenopati jarang ditemukan.

2. Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan gambaran ground-

27
glass. Efusi pleura 5%, limfadenopati 10%.

3. Dua minggu sejak onset gejala: masih predominan gambaran ground-glass, namun

mulai terdeteksi konsolidasi

4. Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-glass dan pola retikular.

Dapat ditemukan bronkiektasis, penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati.

C. Pemeriksaan Diagnostik SARS-CoV-2

Pemeriksaan Antigen-Antibodi

Ada beberapa perusahaan yang mengklaim telah mengembangkan uji serologi untuk

SARS-CoV-2, namun hingga saat ini belum banyak artikel hasil penelitian alat uji serologi

yang dipublikasi. 21

Salah satu kesulitan utama dalam melakukan uji diagnostik tes cepat yang sahih adalah

memastikan negatif palsu, karena angka deteksi virus pada rRT-PCR sebagai baku emas

tidak ideal. Selain itu, perlu mempertimbangkan onset paparan dan durasi gejala sebelum

memutuskan pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6

setelah onset gejala, sementara IgG mulai hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan

jenis ini tidak direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama. Pasien negatif

serologi masih perlu observasi dan diperiksa ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular.21

Pemeriksaan Virologi

Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang

termasuk dalam kategori suspek. Pemeriksaan pada individu yang tidak memenuhi

kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh dikerjakan dengan mempertimbangkan aspek

epidemiologi, protokol skrining setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan pemeriksaan

molekuler membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2 (BSL-2), sementara untuk kultur

minimal BSL-3.76 Kultur virus tidak direkomendasikan untuk diagnosis rutin.22

Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah amplifikasi asam nukleat

28
dengan real-time reversetranscription polymerase chain reaction (rRT- PCR) dan dengan

sequencing. Sampel dikatakan positif (konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada

minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARS- CoV-2; ATAU rRT-PCR

positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau seluruh genom

virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.22

Berbeda dengan WHO, CDC sendiri saat ini hanya menggunakan primer N dan

RP untuk diagnosis molekuler.Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat

juga telah menyetujui penggunaan tes cepat molekuler berbasis GenXpert® yang diberi

nama Xpert® Xpress SARS-CoV-2.Perusahaan lain juga sedang mengembangkan

teknologi serupa. Tes cepat molekuler lebih mudah dikerjakan dan lebih cepat karena

prosesnya otomatis sehingga sangat membantu mempercepat deteksi.23

Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat terjadi bila kualitas pengambilan atau

manajemen spesimen buruk, spesimen diambil saat infeksi masih sangat dini, atau

gangguan teknis di laboratorium. Oleh karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan

kemungkinan infeksi SARS- CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang

tinggi.23

Gambar 7. Gambaran foto toraks pada COVID-19.

29
Gambar 8. Gambaran CT Scan pada COVID-19. Tampak gambaran ground-glass bilatera

Tabel 3. Profil studi-studi serologi untuk deteksi SARS-CoV-2


Studi Subjek Metode Parameter Knntrol Sensitivitas Spesifisitas
Zhengtu, dkk72 525 PDP LFIA Deteksi IgM dan/atau IgG rRT-PCR 88,6% 90,63%
Pan Y, dkk73 27 Colloidal gold-based Deteksi IgM dan/atau IgG onset rRT-PCR 11,1% 55%
ICG 1-7 hari
28 8-14 hari 92,9% 16,6%
31 > 14 hari 96,8% 28,5%
Xiang J, dkk74 98 ELISA Deteksi IgM dan/atau IgG rRT-PCR 87,3% 100%
126 GICA 82,4% 100%
Xia N, dkk75 638 ELISA Total Antibodi Tidak dijelaskan 94,8% 100%
IgM saja 86,9% 100%
341 GICA Total Antibodi 96,2% 95,2%
IgM saja 87,9% 98,1%
583 Chemilumi-nescence Total Antibodi 86,9% 99,2%
IgM saja 74,3% 99,2%
Keterangan: LFIA: lateral flow immunoassay; ICG: immunochromatographic; GICA: gold-based ICG assay; ELISA: enzyme-linked immunoassay

Pengambilan Spesimen

WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada dua lokasi, yaitu dari

saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau saluran napas bawah [sputum,

bronchoalveolar lavage (BAL), atau aspirat endotrakeal]. Sampel diambil selama 2 hari

berturut turut untuk PDP dan ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan

klinis. Pada kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada hari 1 dan hari 14.20

Zou, dkk. melaporkan deteksi virus pada hari ketujuh setelah kontak pada pasien

asimtomatis dan deteksi virus di hari pertama onset pada pasien dengan gejala demam. Titer

virus lebih tinggi pada sampel nasofaring dibandingkan orofaring.Studi lain melaporkan

30
titer virus dari sampel swab dan sputum memuncak pada hari 4-6 sejak onset gejala.

Bronkoskopi untuk mendapatkan sampel BAL merupakan metode pengambilan sampel

dengan tingkat deteksi paling baik. Induksi sputum juga mampu meningkatkan deteksi virus

pada pasien yang negatif SARS-CoV-2 melalui swab nasofaring/orofaring. Namun, tindakan

ini tidak direkomendasikan rutin karena risiko aerosolisasi virus.21

Sampel darah, urin, maupun feses untuk pemeriksaan virologi belum

direkomendasikan rutin dan masih belum dianggap bermanfaat dalam praktek di lapangan.

Virus hanya terdeteksi pada sekitar <10% sampel darah, jauh lebih rendah dibandingkan

swab.Belum ada yang berhasil mendeteksi virus di urin. SARS- CoV-2 dapat dideteksi

dengan baik di saliva. Studi di Hong Kong melaporkan tingkat deteksi 91,7% pada pasien yang

sudah positif COVID-19, dengan titer virus paling tinggi pada awal onset. 22

3.9 DIAGNOSIS

Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu pada panduan

yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang mengadopsi dari

WHO (dirangkum dalam Tabel 5). Kasus probable didefinisikan sebagai PDP yang

diperiksa untuk COVID-19 tetapi hasil inkonklusif atau seseorang dengan dengan hasil

konfirmasi positif pancoronavirus atau betacoronavirus. Kasus terkonfirmasi adalah bila

hasil pemeriksaan laboratorium positif COVID-19, apapun temuan klinisnya. Selain itu,

dikenal juga istilah orang tanpa gejala (OTG), yaitu orang yang tidak memiliki gejala

tetapi memiliki risiko tertular atau ada kontak erat dengan pasien COVID-19.23

Tabel 5. Definisi operasional PDP dan ODP24

Pasien dalam Pengawasan/PDP (suspek)


Temuan Orang dalam Pemantauan (ODP)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4
1. Demam/riwayat demam Ya Ya Ya - Salah satu dari
2. Batuk/pilek/nyeri tenggorok/ Ya - Ya - kedua poin ini, Ya
sesak (salah satu) tidak ada
sebab lain
yang jelas
3. Perjalanan ke area/negara Ya - - Ya Ya
terjangkit (14 hari terakhir)
4. Kontak dengan kasus - Ya Ya - Ya
konfirmasi COVID-19
5. Pneumonia/ISPA berat tanpa - - - Ya

31
sebab lain
Keterangan: informasi area terjangkit terkini dapat diakses di https://infeksiemerging.kemkes.go.id/

Kontak erat didefinisikan sebagai individu dengan kontak langsung secara fisik tanpa

alat proteksi, berada dalam satu lingkungan (misalnya kantor, kelas, atau rumah), atau

bercakap-cakap dalam radius 1 meter dengan pasien dalam pengawasan (kontak erat

risiko rendah), probable atau konfirmasi (kontak erat risiko tinggi). Kontak yang

dimaksud terjadi dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala hingga 14 hari setelah kasus

timbul gejala. 24

Song, dkk. mencoba membuat skor COVID-19 Early Warning Score (COVID-19 EWS)

berdasarkan 1311 orang yang melakukan pemeriksaan SARS-CoV-2 RNA di China, seperti

pada lampiran 1. Skor ini memasukkan gambaran pneumonia pada CT scan toraks, riwayat

kontak erat, demam, gejala respiratorik bermakna, suhu tertinggi sebelum masuk rumah

sakit, jenis kelamin laki-laki, usia, dan rasion neutrofil limfosit (RNL) sebagai parameter yang

dinilai. Nilai skor COVID-19 EWS miminal 10 menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk

dugaan awal pasien COVID-19. 24

Diagnosis komplikasi seperti ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada pasien COVID-19

dapat ditegakkan menggunakan kriteria standar masing-masing yang sudah ditetapkan.

Tidak terdapat standar khusus penegakan diagnosis ARDS, sepsis, dan syok sepsis

pada pasien COVID-19.24

3.10 TATALAKSANA

Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-19, termasuk

antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah terapi simtomatik dan

oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi mekanik. National Health

Commission (NHC) China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi mengatasi infeksi

SARS-CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-α), lopinavir/ritonavir (LPV/r), ribavirin

(RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ), remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga

32
terdapat beberapa obat antivirus lainnya yang sedang dalam uji coba di tempat lain.

A. Terapi Etiologi/Definitif

Biarpun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji klinis, China telah

membuat rekomendasi obat untuk penangan COVID-19 dan pemberian tidak lebih dari 10

hari. Rincian dosis dan administrasi sebagai berikut:

• IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2 kali/hari

secara inhalasi;

• LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral;

• RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan dengan IFN-alfa

atau LPV/r;

• Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/hari per oral;

• Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/hari per oral.

Selain China, Italia juga sudah membuat pedoman penanganan COVID-19

berdasarkan derajat keparahan penyakit:

1. Asimtomatis, gejala ringan, berusia <70 tahun tanpa faktor risiko: observasi klinis dan

terapi suportif.

2. Gejala ringan, berusia >70 tahun dengan faktor risiko dan bergejala demam, batuk,

sesak napas, serta rontgen menunjukkan pneumonia: LPV/r 200 mg/50 mg, 2 x 2

tablet per hari; atau Darunavir/ritonavir (DRV/r) 800 mg/100 mg, 1 x 1 tablet per

hari; atau Darunavir/cobicistat 800 mg/150 mg, 1 x 1 tablet per hari; DAN

klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari atau hidroksiklorokuin (HCQ) 2 x 200 mg/hari.

Terapi diberikan selama 5-20 hari berdasarkan perubahan klinis.

Pada kasus membutuhkan terapi oksigen atau perburuk secara cepat, terapi poin 2

dihentikan dan diganti remdesivir (RDV) 200 mg (hari 1) dilanjutkan 100 mg (hari 2-

10) dan klorokuin 2 x 500 mg/hari atau HCQ 200 mg, 2 kali perhari. Obat selama 5-

33
20 hari, berdasarkan perubahan klinis. Jika nilai Brescia- COVID respiratory severity

scale (BCRSS) ≥2, berikan deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10

mg/hari selama 5 hari dan/atau tocilizumab.

3. Pneumonia berat, ARDS/gagal napas, gagal hemodinamik, atau membutuhkan ventilasi

mekanik: RDV 200 mg (hari 1), 100 mg (hari 2-10); DAN klorokuin fosfat 2 x 500

mg/hari atau HCQ 2 x 200 mg/ hari. Kombinasi diberikan selama 5-20 hari. Jika RDV

tidak tersedia, berikan suspensi LPV/r 5 mL, 2 kali per hari atau suspensi DRV/r; DAN

HCQ 2 x 200 mg/hari.

4. Terapi ARDS: deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari

selama 5 hari atau tocilizumab. Rekomendasi dosis tocilizumab adalah 8 mg/kgBB

pada ≥ 30 kg dan 12 mg/kgBB pada < 30 kg. Dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan

jarak 8 jam bila dengan satu dosis dianggap tidak ada perbaikan.

WHO sedang merencanakan uji klinis tidak tersamar dan multinasional terkait COVID-19

bernama SOLIDARITY. Uji tersebut akan membuat empat kelompok, yaitu kelompok

LPV/r dan IFN-beta, kelompok LPV/r, kelompok CLQ atau HCQ, dan kelompok remdesivir.

Daftar uji klinis yang sedang berlangsung dapat dilihat pada Lampiran. Berikut adalah

obat-obat yang diduga dapat bermanfaat untuk COVID-19:

1. Lopinavir/Ritonavir (LPV/r)

Chu, dkk. menunjukkan kombinasi RBV dan LPV/r menurunkan angka kematian

ARDS pada SARS-CoV dibandingkan RBV pada hari ke-21 pasca onset gejala.

Kemudian, Cao, dkk. melakukan uji klinis tak tersamar pada 199 subjek untuk menilai

LPV/r dibandingkan pelayanan standar pada pasien COVID-19. Tidak terdapat

perbedaan bermakna pada waktu perbaikan klinis. Pada penilaian mortalitas 28-hari

didapatkan angka yang lebih rendah pada kelompok LPV/r (19.2% vs 25.0%).

Baden, dkk berpendapat bahwa LPV/r memiliki kemampuan inhibisi replikasi,

34
bukan supresi jumlah virus.Oleh karena itu, mereka mengusulkan perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan efektivitasnya.

2. Remdesvir (RDV)

Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang telah digunakan secara luas untuk

virus RNA, termasuk MERS/SARS-CoV, penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat

menginhibisi infeksi virus secara efektif. Uji klinis fase 3 acak tersamar terkontrol plasebo

pada pasien COVID-19 telah dimulai di China. Studi ini membandingkan remdesivir dosis

awal 200 mg diteruskan dosis 100 mg pada 9 hari dan terapi rutin (grup intervensi) dengan

plasebo dosis sama dan terapi rutin (grup kontrol). Uji klinis ini diharapkan selesai pada

April 2020. Obat ini juga masuk dalam uji klinis SOLIDARITY.

3. Klorokuin (CQ/CLQ) dan Hidroksiklorokuin (HCQ)

Klorokuin, obat antimalaria dan autoimun, diketahui dapat menghambat infeksi virus

dengan meningkatkan pH endosomal dan berinteraksi dengan reseptor SARS-CoV.

Efektivitas obat ini semakin baik karena memiliki aktivitas immunomodulator yang

memperkuat efek antivirus. Selain itu, klorokuin didistribusi secara baik di dalam tubuh,

termasuk paru.

Yao, dkk. mengajukan HCQ sebagai alternatif klorokuin. Studi in vitro tersebut

menelaah efektivitas kedua obat. Hasil studi menunjukkan HCQ lebih baik dalam

pengobatan yang dibuktikan dengan nilai EC50 yang lebih rendah (0.72 vs 5.47 μM).

Selain itu, HCQ lebih ditoleransi. Penelitian pada manusia direkomendasikan dengan dosis

anjuran yang memiliki potensi tiga kali lipat dibandingkan klorokuin, yaitu hidroklorokuin

400 mg dua kali sehari sebagai dosis awal dilanjutkan 200 mg dua kali sehari selama 4 hari

sebagai dosis lanjutan.

Uji klinis tak tersamar tanpa acak yang dilaporkan Gautret, dkk. meneliti efektivitas HCQ

35
terhadap jumlah virus SARS-CoV-2 yang dilakukan evaluasi setiap harinya sampai 6 hari pasca

perekrutan. Total sampel 42 dengan rincian 26 masuk kelompok HCQ. Dari 20 kelompok

HCQ, enam diantaranya mendapat azitromisin sebagai profilaksis bakteri. Hasil penelitian

menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kadar virus pada kelompok HCQ dan kelompok

dengan tambahan azitromisin menunjukkan supresi virus sebanyak 100% dibandingkan

kelompok HCQ. Hasil yang menjanjikan ini dapat menjadi landasan penggunaan HCQ

sebagai pengobatan COVID-19. Namun, hasil ini perlu diwaspadai juga karena 6 dari pengguna

HCQ lost to follow-up dan tidak dianalisis (termasuk 1 meninggal dan 3 dipindahkan ke

perawatan intensif). Perlu juga diperhatikan interaksi obat HCQ dan azitromisin, karena

penggunaan bersama dapat menyebabkan pemanjangan

gelombang QT.

4. Favipiravir (FAVI)

Favipiravir merupakan obat baru golongan inhibitor RNA-dependent RNA polymerase

(RdRp) yang dapat menghambat aktivitas polimerasi RNA. Hasil penelitian sementara di

China menunjukkan bahwa favipiravir lebih poten dibandingkan LPV/r dan tidak terdapat

perbedaan signifikan reaksi efek samping. Studi uji klinis tanpa acak tak tersamar

menunjukkan favipiravir lebih baik dalam median waktu bersihan virus dibandingkan

LPV/r (4 hari vs 11 hari). Selain itu, favipiravir juga lebih baik dalam perbaikan

gambaran CT scan dan kejadian lebih sedikit efek samping.

5. Umifenovir (Arbidol®)

Obat antivirus ini merupakan terapi rutin pada kasus influenza yang telah diketahui

kemampuan inhibisinya pada SARS-CoV-2 berdasarkan penelitian in vitro. Chen, dkk. telah

melakukan komparasi LPV/r dan umifenovir pada tatalaksana COVID-19, dan menemukan

36
tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbaikan gejala atau kadar virus.

6. Oseltamivir

Guan, dkk menemukan bahwa dari 1.099 pasien di China, 393 (35.8%)

diberikan oseltamivir dan 36 di antaranya masuk ICU, menggunakan ventilator atau

meninggal. Studi ini tidak melanjutkan dengan analisis sehingga tidak dapat disimpulkan

manfaat dari oseltamivir. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa kelompok inhibitor

neuraminidase tidak memiliki aktivitas antivirus pada coronavirus.

7. Interferon-α (IFN-α)

IFN-α terbukti menghambat produksi SARS-CoV secara in vitro. Uji klinis

penggunaannya sedang berlangsung.

8. Tocilizumab (inhibitor reseptor IL-6)

Obat ini telah dicoba pada 21 pasien COVID-19 berat atau kritis di China dalam studi

observasi. Tocilizumab digunakan bersamaan dengan terapi standar lainnya, yaitu LPV/r

dan metilprednisolon. Dilaporkan bahwa demam pada semua pasien hilang dalam satu hari

setelah mendapatkan tocilizumab, diikuti dengan perbaikan klinis dan radiologis. Demikan

juga dengan kadar CRP, kebutuhan dan saturasi oksigennya. Laporan ini tentunya

menjanjikan, tetapi perlu disikapi dengan cermat karena studi masih dalam skala kecil dan

tidak ada kelompok pembanding.

9. Meplazumab/antibodi anti-CD147

Antibodi anti-CD147 diketahui mampu menghambat kemotaksis sel T yang diinduksi

CyPA dan berdampak berkurang inflamasi. Selain itu, antibodi ini juga dapat

menghambat replikasi SARS-CoV-2 berdasarkan studi in vitro yang membuat

pengetahuan baru, ada kemungkinan virus masuk melalui reseptor CD147. Bian, dkk.

37
menunjukkan penambahan meplazumab mempercepat waktu rawat, perbaikan klinis

dan bersihan virus.

10. Nitazoxanide

Wang, dkk. melakukan uji in vitro guna mengetahui efektivitas nitazoxanide. Obat

antiprotoza ini diketahui memiliki potensi antivirus karena dapat menghambat SARS-CoV-2

(EC50=2.12 µM) dengan meningkatkan regulasi mekanisma antivirus bawaan via amplifikasi

jalur IFN tipe I dan sensing sitoplasmik RNA. Dosis yang diajukan 600 mg, 2 kali sehari

atau 500 mg, 3 kali sehari selama 7 hari.

11. Direct-acting Antiviral (DAA)

Sofosbuvir, salah satu obat DAA yang biasanya digunakan untuk terapi HCV, diketahui

memiliki kemampuan untuk menempel pada tempat aktif RdRp, bersaing dengan nukleotida

fisiologis. Efilky melakukan uji genetik untuk melihat kekuatan afinitas sofosbuvir dan obat

lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa sofosbuvir memiliki afinitas yang kuat terhadap

COVID-19 dan SARS- CoV dan atas dasar ini sofosbuvir berpotensi sebagai antivirus

SARS-CoV-2.

12. Imunoglobulin Intravena (IVIg)

Cao W, dkk. melaporkan serial kasus COVID-19 yang menambahkan IVIg (dosis

0,3-0,5 g/kgBB) selama lima hari pada terapi standar. Seluruh pasien yang diberikan

merupakan pasien kategori berat. Hasil terapi menunjukkan terdapat percepatan

perbaikan klinis demam dan sesak napas serta perbaikan secara CT-scan.

13. Obat Lain

Obat lain yang sedang dalam uji klinis dan berpotensi dalam penanganan SARS-CoV-2

adalah darunavir, type II transmembrane serine protease inhibitor (TMSPSS2) dan BCR-

ABL kinase inhibitor imatinib. Darunavir terbukti menghambat replikasi virus pada

penelitian in vitro. TMPSPSS2 bekerja dengan menghambat jalur masuk virus dan imatinib

38
menghambat fusi virus dengan membran endosomal namun untuk dua obat ini belum

terdapat studinya.

Penggunaan obat-obatan secara bersamaan harus diperhatikan karena interaksi satu

sama lain. Lopinavir/ ritonavir menyebabkan peningkatan konsentrasi klorokuin atau HCQ.

Tidak diperbolehkan mengombinasikan klorokuin dan HCQ karena efek samping jantung

berupa pemanjangan QT atau interval PR. Oleh karena itu, setiap pemberian klorokuin atau

HCQ perlu dilakukan pemantauan elektrokardiografi secara berkala.

Oseltamivir diketahui tidak memiliki interaksi dengan obat COVID-19 lainnya.

Penggunaan bersamaan dengan metotreksat harus berhati-hati karena meningkatkan efek

samping. Penggunaan bersama dengan klopidogrel dapat menurunkan kadar oseltamivir

dalam darah. Interaksi minor terjadi pada penggunaan bersama dengan probenecid dan

warfarin.

B. Manajemen Simtomatik dan Suportif

1. Oksigen

Pastikan patensi jalan napas sebelum memberikan oksigen. Indikasi oksigen adalah

distress pernapasan atau syok dengan desaturase, target kadar saturasi oksigen >94%.

Oksigen dimulai dari 5 liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan sampai

mencapai target. Pada kondisi kritis, boleh langsung digunakan nonrebreathing mask.

2. Antibiotik

Pemberian antibiotik hanya dibenarkan pada pasien yang dicurigai infeksi bakteri dan

bersifat sedini mungkin. Pada kondisi sepsis, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam.

Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik empirik berdasarkan dengan profil mikroba lokal

3. Kortikosteroid

Shang, dkk. merekomendasikan pemberian kortiksteroid. Landasannya adalah studi

Chen, dkk.110 pada 401 penderita SARS yang diberikan kortiksteroid, 152 di antaranya

39
termasuk kategori kritis. Hasil studi menunjukkan kortikosteroid menurunkan mortalitas

dan waktu perawatan pada SARS kritis. Dosis yang diberikan adalah dosis rendah-sedang

(≤0.5-1 mg/kgBB metilprednisolon atau ekuivalen) selama kurang dari tujuh hari. Dosis ini

berdasarkan konsensus ahli di China. Russel CD, dkk. justru merekomendasikan untuk

menghindari pemberian kortikosteroid bagi pasien COVID-19 karena buti yang belum kuat

dan penyebab syok pada COVID-19 adalah sekuens non-vasogenik. Hal ini didukung studi

telaah sistematik Stockman, dkk. yang menyatakan bahwa belum dapat disimpulkan

apakah terapi ini memberi manfaat atau justru membahayakan.

Australia melaporkan studi observasional terapi ortikosteroid pada 11 dari 31 pasien

yang berasal dari China. Tidak didapatkan hubungan kortikosteroid dengan waktu

pembersihan virus, lama perawatan dan durasi gejala. Pedoman di Italia merekomendasikan

deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari selama 5 hari pada

kasus pasien COVID-19 dengan ARDS. Society of Critical Care Medicine

merekomendasikan hidrokortison 200 mg/hari boleh dipertimbangkan pada kasus COVID-

19 yang kritis.

4. Vitamin C

Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik yang luas. Kadar vitamin C

suboptimal umum ditemukan pada pasien kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan

luaran buruk. Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi yang

mendeplesi absorbsi vitamin C. Kondisi ini diperburuk dengan peningkatan konsumsi

vitamin C pada sel somatik. Oleh karena itu, dipikirkan pemberian dosis tinggi vitamin C

untuk mengatasi sekuens dari kadar yang suboptimal pada pasien kritis.

CITRIS-ALI merupakan studi terbaru yang menilai efektivitas dosis tinggi

vitamin C pada sepsis dan gagal napas. Hasil studi menunjukkan tidak terdapat perbedaan

40
antara grup vitamin C dengan dosis 50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 96 jam dengan

plasebo pada penurunan skor SOFA. Namun, terdapat perbedaan bermakna pada

mortalitas 28-hari, bebas ICU sampai 28 hari dan bebas perawatan rumah sakit sampai 60

hari

Oleh karena itu, dosis tinggi vitamin C dapat dipertimbangkan pada ARDS walaupun

perlu dilakukan studi pada populasi khusus COVID-19. Saat ini, terdapat satu uji klinis

yang melihat efektivitas vitamin C dosis 12 gram terhadap waktu bebas ventilasi pada

COVID-19.

5. Ibuprofen dan Tiazolidindion

Muncul kontroversi akibat artikel yang menuliskan ibuprofendan golongan tiazolidindion

dapat meningkatkan ekspresi ACE2 sehingga dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih

berat.Pernyataan ini dibuat tanpa sitasi bukti yang sahih sehingga saat ini tidak ada

rekomendasi untukmelarang penggunaan kedua obat ini.

6. Profilaksis Tromboemboli Vena

Profilaksis menggunakan antikoagulan low molecular-weight heparin (LMWH)

subkutan dua kali sehari lebih dipilih dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi, WHO

menyarankan profilaksis mekanik, misalnya dengan compression stocking.

7. Plasma Konvalesen

Plasma dari pasien yang telah sembuh COVID-19 diduga memiliki efek terapeutik

karena memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2. Shen C, dkk. melaporkan lima serial

kasus pasien COVID-19 kritis yang mendapatkan terapi plasma ini. Seluruh pasien

mengalami perbaikan klinis, tiga diantaranya telah dipulangkan. Biarpun studi masih skala

kecil dan tanpa control. plasma konvalesen telah disetujui FDA untuk terapi COVID-19

yang kritis. Donor plasma harus sudah bebas gejala selama 14 hari, negatif pada tes deteksi

41
SARS-CoV-2, dan tidak ada kontraindikasi donor darah

8. Imunoterapi

Wang C, dkk melakukan identifikasi antibodi yang berpotensial sebagai vaksin dan

antibodi monoklonal. Mereka menggunakan ELISA untuk menemukan antibodi yang sesuai,

sampel berasal dari tikus percobaan. Hasil akhir menemukan bahwa antibodi 47D11

memiliki potensi untuk menetralisir SARS-CoV-2 dengan berikatan pada protein S.

Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mempelajari perannya dalam COVID-19.

C. Manajemen Pasien COVID-19 yang Kritis

Median waktu onset gejala sampai masuk intensive care unit (ICU) adalah 9 – 10 hari

dengan penyebab utama ARDS. Faktor risiko meliputi usia di atas 60 tahun, memiliki

komorbid, umumnya hipertensi, penyakit jantung dan diabetes melitus, dan neonatus.

Umumnya anak memiliki spektrum penyakit ringan. Tatalaksana pasien kritis COVID-19

memiliki prinsip penanganan yang sama dengan ARDS pada umumnya. Pedoman penangan

meliputi:

 Terapi cairan konservatif

 Resusitasi cairan dengan kristaloid;

 Norepinefrin sebagai lini pertama agen vasoaktif pada COVID-19 dengan syok;

 Antibiotik spektrum luas sedini mungkin pada dugaan koinfeksi bakteri sampai

ditemukan bakteri spesifik;

 Pilihan utama obat demam adalah acetaminofen;

 Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasma konvalesen COVID-19

telah dilaporkan, tetapi belum direkomendasikan rutin;

 Mobilisasi pasien setiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus;

 Berikan nutrisi enteral dalam 24-48 jam pertama.

Pada kondisi pelayanan tidak memadai untuk ventilasi invasif, dapat dipertimbangkan

42
pemberian oksigen nasal dengan aliran tinggi atau ventilasi noninvasif dengan tetap

mengutamakan kewaspadaan karena risiko dispersi dari aerosol virus lebih tinggi.

D. Ventilasi Mekanik pada COVID-19

Saat melakukan ventilasi mekanik invasif, operator wajib waspada, mengenakan alat

pelindung diri lengkap, dan memakai masker N95 ketika prosedur intubasi. Upayakan

rapid sequence intubation (RSI). Strategi ventilasi yang direkomendasikan Society of Critical

Care Medicine pada Surviving Sepsis Campaign:

 Pertahankan volume tidal rendah (4-8 mL/kg berat-badan prediksi);

 Target plateau pressure(Pplat) < 30 cm H O 2

 PEEP lebih tinggi pada pasien ARDS berat, waspada barotrauma;

 Ventilasi posisi pronasi selama 12-16 jam (dikerjakan tenaga ahli);

 Agen paralitik dapat diberikan pada ARDS sedang/ berat untuk proteksi ventilasi paru.

Hindari infus kontinu agen paralitik. Bolus intermiten lebih dipilih;

 Untuk hipoksemia refrakter, dipertimbangkan venovenous extracorporeal membrane

oxygenation (VV ECMO).

Ventilasi mekanik noninvasif dapat dipertimbangkan jika didukung dengan sistem fasilitas

kesehatan yang dapat memastikan tidak terjadi penyebaran secara luas dari udara ekshalasi

pasien. Teknik ini dapat digunakan pada pasien derajat tidak berat dan patut

dipertimbangkan mengganti ke ventilasi mekanik noninvasif jika tidak terdapat perbaikan.

E. Perawatan di Rumah (Home Care)

Pasien dengan infeksi ringan boleh tidak dirawat di rumah sakit, tetapi pasien harus

diajarkan langkah pencegahan transmisi virus. Isolasi di rumah dapat dikerjakan sampai

pasien mendapatkan hasil tes virologi negatif dua kali berturut-turut dengan interval

pengambilan sampel minimal 24 jam. Bila tidak memungkinkan, maka pasien diisolasi

hingga dua minggu setelah gejala hilang.

43
Beberapa pertimbangan indikasi rawat di rumah antara lain: pasien dapat dimonitor

atau ada keluarga yang dapat merawat; tidak ada komorbid seperti jantung, paru, ginjal,

atau gangguan sistem imun; tidak ada faktor yang meningkatkan risiko mengalami

komplikasi; atau fasilitas rawat inap tidak tersedia atau tidak adekuat.

Selama di rumah, pasien harus ditempatkan di ruangan yang memiliki jendela yang

dapat dibuka dan terpisah dengan ruangan lainnya. Anggota keluarga disarankan tinggal di

ruangan yang berbeda. Bila tidak memungkinkan, jaga jarak setidaknya satu meter. Penjaga

rawat (caregiver) sebaiknya satu orang saja dan harus dalam keadaan sehat. Pasien tidak

boleh dijenguk selama perawatan rumah.

Pasien sebaiknya memakai masker bedah dan diganti setiap hari, menerapkan etika batuk,

melakukan cuci tangan dengan langkah yang benar, dan menggunakan tisu sekali pakai saat

batuk/bersin. Penjaga rawat menggunakan masker bedah bila berada dalam satu ruangan

dengan pasien dan menggunakan sarung tangan medis bila harus berkontak dengan sekret,

urin, dan feses pasien. Pasien harus disediakan alat makan tersendiri yang setiap pakai

dicuci dengan sabun dan air mengalir. Lingkungan pasien seperti kamar dan kamar mandi

dapat dibersihkan dengan sabun dan detergen biasa, kemudian dilakukan desinfeksi dengan

sodium hipoklorit 0,1%.

F. Kriteria Pulang dari Rumah Sakit

WHO merekomendasikan pasien dapat dipulangkan ketika klinis sudah membaik dan

terdapat hasil tes virologi yang negatif dua kali berturut-turut. Kedua tes ini minimal dengan

interval 24 jam.

3.12 PENCEGAHAN

COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu pengetahuan

terkait pencegahannya masih terbatas. Kunci pencegahan meliputi pemutusan rantai

penularan dengan isolasi, deteksi dini, dan melakukan proteksi dasar.

44
Vaksin

Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin guna

membuat imunitas dan mencegah transmisi.Saat ini, sedang berlangsung 2 uji klinis fase I

vaksin COVID-19. Studi pertama dari National Instituteof Health (NIH) menggunakan

mRNA-1273 dengan dosis 25, 100, dan 250 µg.Studi kedua berasal dari China

menggunakan adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan, sedang dan tinggi.

Deteksi dini dan Isolasi

Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak dengan

pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas kesehatan. WHO juga

sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi petugas kesehatan yang menangani

pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko

tinggi, direkomendasikan pemberhentian seluruh aktivitas yang berhubungan dengan pasien

selama14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada elompok risiko rendah,

dihimbau melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu dan gejala

pernapasan selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat.Pada tingkat

masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul massa pada acara

besar (social distancing).

Higiene, Cuci Tangan, dan Disinfeksi

Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah melakukan proteksi

dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga

jarak dengan seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau

bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi

jarak yang harus dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan kecurigaan COVID-19

juga harus diberi jarak minimal satu meter dari pasien lainnya, diberikan masker bedah,

diajarkan etika batuk/bersin, dan diajarkan cuci tangan

45
Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan pada lima

waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur, setelah terpajan

cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien. Air

sering disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak

cukup untuk menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus RNA

dengan selubung lipid bilayer.

Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik seperti lemak atau

minyak.Selain menggunakan air dan sabun, etanol 62-71% dapat mengurangi

infektivitas virus.Oleh karena itu, membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub

berbasis alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih ketika secara kasat

mata tangan tidak kotor sedangkan sabun dipilih ketika tangan tampak kotor.

Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut dengan

permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat

menjadi portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai ketika bersin

atau batukuntuk menghindari penyebaran droplet.

Alat Pelindung Diri

SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung diri (APD) merupakan

salah satu metode efektif pencegahan penularan selama penggunannya rasional. Komponen

APD terdiri atas sarung tangan, masker wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan

gaun nonsteril lengan panjang. Alat pelindung diri akan efektif jika didukung dengan

kontrol administratif dan kontrol lingkungan dan teknik.

Penggunaan APD secara rasional dinilai berdasarkan risiko pajanan dan dinamika

transmisi dari patogen. Pada kondisi berinteraksi dengan pasien tanpa gejala

pernapasan, tidak diperlukan APD. Jika pasien memiliki gejala pernapasan, jaga jarak

minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis disarankan

46
menggunakan APD lengkap.Alat seperti stetoskop, thermometer, dan spigmomanometer

sebaiknya disediakan khusus untuk satu pasien. Bila akan digunakan untuk pasien lain,

bersihkan dan desinfeksi dengan alcohol 70%.

World Health Organization tidak merekomendasikan penggunaan APD pada masyarakat

umum yang tidak ada gejala demam, batuk, atau sesak.

3.13 KOMPLIKASI

Komplikasi utama pada pasien COVID-19 adalah ARDS, tetapi Yang, dkk.145

menunjukkan data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas ARDS, melainkan

juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas kardiak (23%), disfungsi hati

(29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain yang telah dilaporkan adalah syok sepsis,

koagulasi intravaskular diseminata (KID), rabdomiolisis, hingga pneumomediastinum.

Pankreas

Liu, dkk.menunjukkan bahwa ekspresi ACE2 di pankreas tinggi dan lebih dominan

di sel eksokrin dibandingkan endokrin. Hal ini juga diperkuat data kejadian pankreatitis

yang telah dibuktikan secara laboratorium dan radiologis. Bila ini memang berhubungan,

maka perlu perhatian khusus agar tidak berujung pada pankreatitis kronis yang dapat

memicu inflamasi sistemik dan kejadian ARDS yang lebih berat. Namun, peneliti belum

dapat membuktikan secara langsung apakah SARS-CoV-2 penyebab kerusakan pankreas

karena belum ada studi yang menemukan asam nukleat virus di pankreas.

Miokarditis

Miokarditis fulminan telah dilaporkan sebagai komplikasi COVID-19. Temuan terkait

ini adalah peningkatan troponin jantung, myoglobin, dan n-terminal brain natriuretic

peptide. Pada pemeriksaan lain, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, penurunan fraksi

ejeksi, dan hipertensi pulmonal. Miokarditis diduga terkait melalui mekanisme badai

47
sitokin atau ekspresi ACE2 di miokardium.

Kerusakan Hati

Peningkatan transaminase dan biliriubin sering ditemukan, tetapi kerusakan liver

signifikan jarang ditemukan dan pada hasil observasi jarang yang berkembang menjadi hal

yang serius. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada kasus COVID-19 berat. Elevasi ini

umumnya maksimal berkisar 1,5 - 2 kali lipat dari nilai normal. Terdapat beberapa faktor

penyebab abnormalitas ini, antara lain kerusakan langsung akibat virus SARS- CoV-2,

penggunaan obat hepatotoksik, ventilasi mekanik yang menyebabkan kongesti hati akibat

peningkatan tekanan pada paru.

3.14 PROGNOSIS

Prognosis COVID-19 dipengaruhi banyak faktor. Studi Yang X, dkk. melaporkan

tingkat mortalitas pasien COVID-19 berat mencapai 38% dengan median lama perawatan

ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari. Peningkatan kasus yang cepat dapat membuat

rumah sakit kewalahan dengan beban pasien yang tinggi. Hal ini meningkatkan laju

mortalitas di fasilitas tersebut. Laporan lain menyatakan perbaikan eosinofil pada pasien yang

awalnya eosinofil rendah diduga dapat menjadi prediktor kesembuhan.

Reinfeksi pasien yang sudah sembuh masih kontroversial. Studi pada hewan

menyatakan kera yang sembuh tidak dapat terkena COVID-19, tetapi telah ada laporan yang

menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-13 hari setelah negatif dua kali berturut-

turut dan dipulangkan dari rumah sakit. Hal ini kemungkinan karena reinfeksi atau hasil

negatif palsu pada rRT-PCR saat dipulangkan. Peneliti lain juga melaporkan deteksi SARS-

CoV-2 di feses pada pasien yang sudah negatif berdasarkan swab orofaring.

48
BAB IV

KESIMPULAN

COVID-19 adalah penyakit baru yang telah menjadi pandemi. Penyakit ini harus

diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat mortalitas yang tidak

dapat diabaikan, dan belum adanya terapi definitif. Masih banyak knowledge gap dalam

49
bidang ini sehingga diperlukan studi-studi lebih lanjut.

Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, ditemukan agen penyebab Covid-19

yaitu SARS-CoV-2. Virus masuk ke dalam tubuh inang melalui ikatan antara protein S

dengan ACE2 yang diekspresikan oleh sel epitel inang. Gejala utama Covid-19 yaitu

demam, batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala. Selain gejala-gejala

tersebut, dilaporkan pula gejala pada traktus gastrointestinal dan manifestasi neurologis.

Gambaran CT-Scan toraks pada pasien Covid-19 yaitu opasitas ground-glass. Leukopenia,

limfositopenia, dan trombositopenia pada pasien Covid-19 juga dilaporkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease

(COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020; published online March 3. DOI:

10.1016/j.jaut.2020.102433.

2. Ren L-L, Wang Y-M, Wu Z-Q, Xiang Z-C, Guo L, Xu T, et al. Identification of a novel

50
coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study. Chin Med J. 2020;

published online February 11. DOI: 10.1097/CM9.0000000000000722.

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients infected

with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020;395(10223):497-506.World

Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-19) and the virus that

causes it [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2020 [cited 2020 March 29].

Available from: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-

coronavirus-2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus- disease-(covid-2019)-

and-the-virus-that-causes-it.

3. World Health Organization. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 70

[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available from:

https://www.who.int/ docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200330- sitrep-

70-covid-19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_2

4. World Health Organization. WHO Director-General’s opening remarks at the media

briefing on COVID-19 - 11 March 2020 [Internet]. 2020 [updated 2020 March 11].

Available from: https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general- s-opening-

remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11- march-2020.

5. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus

Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72314 Cases

From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020; published

online February 24. DOI: 10.1001/jama.2020.2648.

6. World Health Organization. Situation Report – 10 [Internet]. 2020 [updated 2020

January 30; cited 2020 March 15]. Available from: https://www.who.int/docs/default-

source/ coronaviruse/situation-reports/20200130-sitrep-10-ncov. pdf?

sfvrsn=d0b2e480_2.
51
7. World Health Organization. Situation Report – 42 [Internet]. 2020 [updated 2020

March 02; cited 2020 March 15]. Available from: https://www.who.int/docs/default-

source/ coronaviruse/situation-reports/20200302-sitrep-42-covid-19. pdf?

sfvrsn=224c1add_2.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging Kementerian

Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available

from: https:// infeksiemerging.kemkes.go.id/.

9. World Health Organization. Novel Coronavirus (2019-nCoV) Situation Report - 54

[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 15; cited 2020 March 30]. Available from:

https://www.who.int/ docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200314- sitrep-

54-covid-19.pdf?sfvrsn=dcd46351_2.

10. Istituto Superiore di Sanità. Epidemia COVID-19 aggiornamento nazionale 19 marzo 2020

– ore 16:00. Roma: Istituto Superiore di Sanità; 2020.

11. Korea Centers for Disease Control and Prevention. Updates on COVID-19 in Republic of

Korea, 18 March 2020 [Internet]. 2020

[updated 2020 March 18; cited 2020 March 21]. Available from:

https://www.cdc.go.kr/board/board.s?mid=a30402000000&bid

=0030&act=view&list_no=366586&tag=&nPage=1.

12. Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical

Microbiology. 28th ed. New York: McGraw- Hill Education/Medical; 2019. p.617-22.

13. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus from

Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;382(8):727-33.

14. Gorbalenya AE, Baker SC, Baric RS, de Groot RJ, Drosten C, Gulyaeva AA, et al. The

species Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus: classifying 2019-nCoV

52
and naming it SARS-CoV-2. Nat Microbiol. 2020; published online March 2. DOI:

10.1038/s41564-020-0695-z

15. Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al. A pneumonia outbreak

associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature. 2020;579(7798):270-

3.

16. Zhang T, Wu Q, Zhang Z. Probable Pangolin Origin of SARS- CoV-2 Associated with

the COVID-19 Outbreak. Curr Biol. 2020; published online March 13. DOI:

10.1016/j.cub.2020.03.022

17. Chan JF-W, Kok K-H, Zhu Z, Chu H, To KK-W, Yuan S, et al. Genomic characterization

of the 2019 novel human-pathogenic coronavirus isolated from a patient with atypical

pneumonia after visiting Wuhan. Emerg Microbes Infect. 2020;9(1):221-36.

18. Zhang H, Penninger JM, Li Y, Zhong N, Slutsky AS. Angiotensin- converting enzyme 2

(ACE2) as a SARS-CoV-2 receptor: molecular mechanisms and potential therapeutic target.

Intensive Care Med. 2020; published online March 3. DOI: 10.1007/s00134-020-

05985-9

19. World Health Organization. Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus

Disease 2019 (COVID-19). Geneva: World Health Organization; 2020.

20. Han Y, Yang H. The transmission and diagnosis of 2019 novel coronavirus infection

disease (COVID-19): A Chinese perspective. J Med Virol. 2020; published online March 6.

DOI: 10.1002/ jmv.25749

21. van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN,

et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N Engl J

Med. 2020; published online March 17. DOI: 10.1056/NEJMc2004973

22. Liu Y, Gayle AA, Wilder-Smith A, Rocklöv J. The reproductive number of COVID-19 is

53
higher compared to SARS coronavirus. J Travel Med. 2020;27(2).

23. Bai Y, Yao L, Wei T, Tian F, Jin D-Y, Chen L, et al. Presumed Asymptomatic Carrier

Transmission of COVID-19. JAMA. 2020; published online February 21. DOI:

10.1001/jama.2020.2565

24. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics and

intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine pregnant women:

a retrospective review of medical records. Lancet. 2020;395(10226):809-15.

25. Xiao F, Tang M, Zheng X, Liu Y, Li X, Shan H. Evidence for gastrointestinal infection of

SARS-CoV-2. Gastroenterology. 2020; published online March 3. DOI:

10.1053/j.gastro.2020.02.055

26. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface

Environmental, and Personal Protective Equipment Contamination by Severe Acute

Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) From a Symptomatic Patient. JAMA.

2020; published online March 4. DOI: 10.1001/jama.2020.3227

27. Kampf G, Todt D, Pfaender S, Steinmann E. Persistence of coronaviruses on inanimate

surfaces and their inactivation with biocidal agents. J Hosp Infect. 2020;104(3):246-51.

28. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and diagnosis of

COVID-19. J Pharm Anal. 2020; published online March 5. DOI:

10.1016/j.jpha.2020.03.001

54

Anda mungkin juga menyukai