CORONA VIRUS
Oleh :
dr. Muh. Fadel Sesario Muskamal
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 3
BAB II
LAPORAN KASUS................................................................................ 6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 10
BAB IV
KESIMPULAN....................................................................................... 49
Daftar Pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui pasti, tetapi
kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan. 1 Dugaan awal hal ini terkait
dengan pasar basah yang menjual ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain. Pada 10
Januari 2020
penyebabnya mulai teridentifikasi dan didapatkan kode genetiknya yaitu virus corona baru.
Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat
penyebab Severe Acute Respitatory Syndrome (SARS) yang mewabah di Hongkong pada
tahun 2003.1 Tidak lama kemudian mulai muncul laporan dari provinsi lain di Cina bahkan
di luar Cina, pada orang- orang dengan riwayat perjalanan dari Kota Wuhan dan Cina yaitu
Malaysia hingga total 25 negara termasuk Prancis, Jerman, Uni Emirat Arab, Vietnam dan
penularan antar manusia (human to human transmission) pada dokter dan petugas medis
yang merawat pasien tanpa ada riwayat berpergian ke pasar yang sudah ditutup.3
WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease
3
(COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).3
mengenai Covid- 19 masih berlanjut hingga saat ini. Berdasarkan penelitian Xu dkk., (2020)
dan Zhu dkk., (2020), ditemukan bahwa agen penyebab Covid-19 berasal dari genus
betacoronavirus, yang merupakan genus yang sama dengan agen penyebab Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Virus
dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring, kemudian memasuki
berkunjung ke Jepang disertai bukti lain terdapat penularan pada kontak serumah pasien di
luar Cina dari pasien terkonfirmasi dan pergi ke Kota Wuhan kepada pasangannya di
Amerika Serikat. Penularan langsung antar manusia (human to human transmission) ini
menimbulkan peningkatan jumlah kasus yang luar biasa hingga pada akhir Januari 2020
Informasi tentang virus ini tentunya masih sangat terbatas karena banyak hal masih
4
dalam penelitian dan data epidemiologi akan sangat berkembang juga, untuk itu tinjauan
ini merupakan tinjauan berdasarkan informasi terbatas yang dirangkum dengan tujuan
untuk memberi informasi dan sangat mungkin akan terdapat perubahan kebijakan dan hal
terkait lainnya sesuai perkembangan hasil penelitian, data epidemiologi dan kemajuan
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 36 tahun
Alamat : Taraweang
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Laki-laki berusia 36 datang ke Puskesmas dengan keluhan demam dan menggigil sejak 3
hari terakhir. Keluhan demam dirasakan hilang timbul sepanjang hari. Pasien sempat
mengonsumsi obat paracetamol tapi demam tidak turun. Pasien mengeluh badan terasa lemas
dan tidak nafsu makan keluhan ini dirasakan sejak 3 hari terakhir. keluhan disertai batuk kering,
nyeri kepala dan nyeri otot. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
Sebelumnya Pasien riwayat keluar kota dan kontak dengan orang banyak setelah melalukan
rapat pertemuan dengan karyawan pemadam kebakaran di makassar sejak 5 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Tidak ada
Riwayat Kehidupan Personal :
Pasien adalah seorang karyawan pemadam kebakaran. Sehari-hari saat bekerja
pasien mengaku kurang menjaga protocol Kesehatan dengan memakai masker dan
mencuci tangan serta menjaga jarak dengan karyawan yang lainnya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
6
Tanda Vital
Napas : 24x/menit
Suhu : 38,0 0C
BB : 50 kg
TB : 165 cm
Kepala : Normosefal
Thoraks
Perkusi
7
Paru kanan : Pekak
Jantung
Perkusi
Abdomen
Ekstremitas
Akral hangat
8
Edem dorsum pedis (-/-)
Sianosis (-)
Wasting (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan Rapid Antigen : Reaktif
Pemeriksaan Anjuran
Swab PCR
Foto Thoraks / CT Scan
Pemeriksaan Hematologi Rutin
E. DIAGNOSIS KERJA
Covid-19
F. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi
Menyarankan pasien untuk menerapkan pola makan yang teratur, olahraga dan
melakukan isolasi mandiri.
Farmakologi
Favipavir 200mg 2x2 setelah makan
Paracetamol 500mg 3x1 setelah makan
Vitamin C 1000mg/Hari setelah makan
Vitamin D 5000 iu 1x1 setelah makan
Vitamin B kompleks 2x1 setelah makan
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikel 60-140 nm melakukan
memanfaatkan rangkaian genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari pasien yang
SARS- CoV dan MERS-CoV. Hasilnya, beberapa rangkaian genom 2019-nCoV yang
diteliti nyaris identik satu sama lain dan 2019-nCoV berbagi rangkaian genom yang lebih
homolog dengan SARS-CoV dibanding dengan MERS- CoV. Penelitian lebih lanjut
dilakukan untuk mengetahui asal dari 2019-nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus
Penelitian serupa untuk mengetahui agen penyebab wabah di Wuhan juga dilakukan.
Hasil mikrograf elektron dari partikel untai negatif 2019-nCoV menunjukkan bahwa
morfologi virus umumnya berbentuk bola dengan beberapa pleomorfisme. Diameter virus
bervariasi antara 60-140 nm. Partikel virus memiliki protein spike yang cukup khas, yaitu
sekitar 9-12 nm dan membuat penampakan virus mirip seperti korona matahari. Morfologi
Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh menunjukkan hasil yang sama dengan
penelitian bahwa virus ini masuk dalam genus betacoronavirus dengan subgenus yang sama
10
protein non struktural. Virus Corona menyediakan messenger RNA (mRNA) yang dapat
membantu proses translasi dari proses replikasi/transkripsi. Gen yang berperan dalam
prosesreplikasi/transkripsi ini mencakup 2/3 dari rangkaian RNA 5’-end dan dua Open
Reading Frame (ORF) yang tumpang tindih, yaitu ORF1a dan ORF1b. Dalam tubuh inang,
virus Corona melakukan sintesis poliprotein 1a/1ab (pp1a/pp1ab). Proses transkripsi pada
membran ganda dan juga berlangsung melalui sintesis rangkaian RNA subgenomik.
Terdapat 16 protein non struktural yang dikode oleh ORF. Bagian 1/3 lainnya dari
rangkaian RNA virus, yang tidak berperan dalam proses replikasi/transkripsi, berperan
dalam mengkode 4 protein struktural, yaitu protein S (spike), protein E (envelope), protein
Jalan masuk virus ke dalam sel merupakan hal yang esensial untuk transmisi.
Seluruh virus Corona mengode glikoprotein permukaan, yaitu protein spike (protein S),
yang akan berikatan dengan reseptor inang dan menjadi jalan masuk virus ke dalam sel.
Untuk genus betacoronavirus, terdapat domain receptor binding pada protein S yang
memediasi interaksi antara reseptor pada sel inang dan virus. Setelah ikatan itu terjadi,
protease pada inang akan memecah protein S virus yang selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya fusi peptida spike dan memfasilitasi masuknya virus ke dalam tubuh inang.6
struktural dan protein struktural. Penelitian telah menekankan bahwa protein non-
struktural mampu untuk memblok respon imun innate inang. Protein E pada virus memiliki
peran krusial pada patogenitas virus. Protein E akan memicu pengumpulan dan pelepasan
virus.8
3.1 EPIDEMIOLOGI
11
setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya
kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah
hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.7 Tanggal 30 Januari 2020, telah
terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari
berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja,
Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada,
dua kasus.9 Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528
kasus dan 136 kasus kematian.8 Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%,
angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.5,7 Per 30 Maret 2020, terdapat
693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah
menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China.
dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020
disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling
3.2 VIROLOGI
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini utamanya
menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya
wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu
HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East
12
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam
subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute
Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini,
Gambar 2. Struktur genom virus. ORF: open reading frame, E: envelope, M: membrane, N: nucleocapsid9
Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya
(Gambar 2). Sekuens SARS- CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang
diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari
kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia Mamalia dan burung
coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus kelelawar
homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-
CoV.9
struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang hampir identik
dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap
13
kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor ACE2. Studi
3.3 ETIOPATOGENESIS
virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS CoV, tetapi dari hasil
evaluasi genomik isolasi dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99% yang
menunjukkan suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan bat-
dan bat-SL- CoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina bagian Timur,
kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi dengan MERS-CoV (50%).
memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada
14
pengikatan protein S ke reseptor selular dan priming protein S ke protease selular.
dalam sel mirip dengan SARS.4 Hai ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara
SARS dan COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini menarget Angiotensin Converting
Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease TMPRSS2
untuk priming S protein, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut4,10
Proses imunologik dari host selanjutnya belum banyak diketahui. Dari data kasus
yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil terjadinya
badai sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh
ini, ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta (IL-1β),
(misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain
dan TNFα yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU.
Hal ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi COVID-19 berkaitan dengan derajat
keparahan penyakit.10
Gambar 4. Skema replikasi dan patogenesis virus, diadaptasi dari berbagai sumber.10
15
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,
target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2,
yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung
Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang
hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas
ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa
SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia
dibandingkan dengan SARS-CoV. Periode inkubasi untuk COVID- 19 antara 3-14 hari.
Ditandai dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta
pasien belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah,
terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan
gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk
dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru.
Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome(ARSD),
sepsis, dan komplikasi lain. Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan usia (di atas 70
tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hipertensi,
dan obesitas.11,12
Sistem imun innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I- like receptors,
NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi
16
produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor anti viral seperti sel CD8+, sel
Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV
dan MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang
terlambat, terutama oleh sel dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya
diikuti oleh peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progress penyakit. 11,12
Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada inang.
Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut “badai sitokin”. Badai
sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan dimana terjadi produksi sitokin
yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai respon dari suatu infeksi. Dalam
kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya penundaan sekresi sitokin dan kemokin
oleh sel imun innate dikarenakan blokade oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya,
hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF- α,
IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit.
Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel NK,
proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan paru yang
menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan ini dapat
berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat menyebabkan
Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah melalui droplet.
Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui fekal-oral. Penelitian oleh Xiao
dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73 pasien yang dirawat karena Covid- 19, terdapat
53,42% pasien yang diteliti positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29%
dari pasien tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya
meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut,
17
penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 yang berlimpah pada sel
glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus
pada epitel gaster, duodenum, dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga
dapat menginfeksi saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui
fekal-oral.12
3.4 Transmisi
dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada COVID-19 belum diketahui dengan pasti
proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data filogenetik memungkinkan COVID-19
manusia (human to human), yaitu diprediksi melalui droplet dan kontak dengan virus yang
dikeluarkan dalam droplet. Hal ini sesuai dengan kejadian penularan kepada petugas
kesehatan yang merawat pasien COVID-19, disertai bukti lain penularan di luar Cina dari
seorang yang datang dari Kota Shanghai, Cina ke Jerman dan diiringi penemuan hasil
positif pada orang yang ditemui dalam kantor. Pada laporan kasus ini bahkan dikatakan
penularan terjadi pada saat kasus indeks belum mengalami gejala (asimtomatik) atau masih
dalam masa inkubasi. Laporan lain mendukung penularan antar manusia adalah laporan 9
kasus penularan langsung antar manusia di luar Cina dari kasus index ke orang kontak erat
Penularan ini terjadi umumnya melalui droplet dan kontak dengan virus kemudian
virus dapat masuk ke dalam mukosa yang terbuka. Suatu analisis mencoba mengukur laju
penularan berdasarkan masa inkubasi, gejala dan durasi antara gejala dengan pasien yang
diisolasi. Analisis tersebut mendapatkan hasil penularan dari 1 pasien ke sekitar 3 orang di
pasien ke orang sekitar lebih lama sehingga risiko jumlah kontak tertular dari 1 pasien
18
mungkin dapat lebih besar. 13
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari
pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin.22 Selain
itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui
(R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R sebesar
3,28.13
namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait transmisi dari karier
asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19.13 Beberapa
peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari
ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data
amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan
negatif.14
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada
sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23%
pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi
pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi
secara fekal-oral.14
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-CoV.
Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk.15 menunjukkan SARS- CoV-2 lebih stabil
pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus
(24 jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada
19
kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di
gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun
tidak pada sampel udara.14 Persistensi berbagai jenis coronavirus lainnya dapat dilihat pada
Tabel 1.
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,
jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.
Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi
perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada
Diaz JH43 menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor
20
blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini,
European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan
untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-
2.Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi
agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit
hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit
COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Studi Guan, dkk. menemukan
bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko
mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini belum
ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2. Hubungan infeksi SARS-
CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan. Belum ada
studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-
CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, dkk menunjukkan
bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-
19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak
kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis
merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus
COVID-19 adalah tenaga medis.Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi,
21
dengan mortalitas sebesar 0,6%.16
Covid-19 menjadi perhatian penting pada bidang medis, bukan hanya karena
penyebarannya yang cepat dan berpotensi menyebabkan kolaps sistem kesehatan, tetapi juga
Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala sangat ringan,
hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan respirasi akut yang
mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan support di Intensive Care Unit (ICU).
Ditemukan beberapa kesamaan manifestasi klinis antara infeksi SARS-CoV-2 dan infeksi
tersebut diantaranya demam, batuk kering, gambaran opasifikasi ground-glass pada foto
toraks. 17
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19, diantaranya yaitu demam,
batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala (Lapostolle dkk., 2020;
Lingeswaran dkk., 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk. (2020),
gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk
(76%), dan myalgia atau kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun
tidak begitu sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah
5%, dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea.17
Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan oleh Kumar dkk.
(2020). Sakit abdominal merupakan indicator keparahan pasien dengan infeksi COVID-19.
Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien mengalami diare, 5,6%
Meskipun manifestasi neurologis tersebut merupakan presentasi awal. Virus Corona dapat
22
masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang juga diekspresikan oleh sel neuron dan
sel glial(Farley & Zuberi, 2020; Vollono dkk., 2020). Pada penelitian Vollono dkk. (2020),
epilepticus sebagai presentasi awal. Pasien memiliki riwayat status epileptikus pada dua
tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan asam valproat dan levetiracetam
dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun. Tidak ada gejala saluran pernapasan seperti
pneumonia dan pasien tidak membutuhkan terapi oksigen. Penelitian oleh Farley dan Zuberi
(2020) juga menunjukkan manifestasi neurologis pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu
status epileptikus pada pasien lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan
ground- glass dengan atau tanpa gabungan abnormalitas. CT toraks mengalami abnormalitas
bilateral, distribusi perifer, dan melibatkan lobus bawah. Penebalan pleural, efusi pleura, dan
Individu yang terinfeksi namun tanpa gejala dapat menjadi sumber penularan SARS-
CoV-2 dan beberapa diantaranya mengalami progres yang cepat, bahkan dapat berakhir
pada ARDS dengan case fatality rate tinggi (Meng dkk., 2020). Penelitian yang dilakukan
oleh Mengdkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 58 pasien tanpa gejala yang dites positif
Covid- 19 pada saat masuk RS, seluruhnya memiliki gambaran CT-Scan toraks abnormal.
Penemuan tersebut berupa gambaran opasitas ground-glass dengan distribusi perifer, lokasi
unilateral, dan paling sering mengenai dua lobus paru. Setelah follow up dalam jangka
waktu singkat, 27,6% pasien yang sebelumnya asimptomatik mulai menunjukkan gejala
penelitian Huang dkk. (2020), ditemukan hitung sel darah putih kurang dari 4x109/L pada
23
25% pasien, serta limfositopenia pada 63% pasien dengan hitung limfosit kurang dari
1x109/L dan Penelitian oleh Guan dkk., (2020)juga menemukan leukopenia pada 33,7%
pasien, limfositopenia pada 83,2% pasien, dan trombositopenia pada 36,2% pasien.
Dilaporkan kasus trombositopenia berat yang muncul pada masa perawatan pasien Covid-19
oleh Nham dkk., (2020) dengan trombositopenia yang terjadi pada 16 dari 194 pasien dan
hitung platelet pada 3 dari 16 pasien tersebut kurang dari 50.000/mm3. Dilaporkan juga
trombositopenia ringan oleh Holshue dkk., (2020) dengan hitung platelet 122.000/mm3 pada
hari ke-7 infeksi. Trombositopenia dapat terjadi karena infeksi virus itu sendiri atau
disebabkan oleh obat yang digunakan untuk mengobati pneumonia. Trombositopenia sendiri
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok
sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan
sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui.20 Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum),
anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak
membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare
dan muntah seperti terlihat pada tabel 3. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2)
distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien
24
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada
sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.1 Berdasarkan data 55.924
kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.21 Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19
memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih
dari 39°C.3 Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14
hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit
menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar
melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-
paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi
empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan
mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat
dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak
terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi
lainnya.22
A. Pemeriksaan Laboratorium
25
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi ginjal,
elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai
dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai
pasien dengue. Yan, dkk.67 di Singapura melaporkan adanya pasien positif palsu serologi
dengue, yang kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala awal COVID-19 tidak
khas, hal ini harus diwaspadai. Profil temuan laboratorium pada pasien COVID-19 dapat
26
Gambar 6. Skema perjalanan penyakit COVID-19, diadaptasi dari berbagai sumber
B. Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed
Tomography Scan (CT- scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti
dan atelectasis, seperti terlihat pada Gambar 6. Foto toraks kurang sensitif dibandingkan CT
scan, karena sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks.22
Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan utama.
Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang. Studi lain mencoba
menggunakan 18
F-FDG PET/CT, namun dianggap kurang praktis untuk praktik sehari-
hari.Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi, dkk. temuan utama pada CT scan toraks
adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa konsolidasi, sesuai dengan
lebih sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih perifer (76%). Penebalan septu,
penebalan pleura, bronkiektasis, dan keterlibatan pada subpleural tidak banyak ditemukan.
Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi pleura, efusi perikardium,
tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan progresivitas penyakit. Studi
ini juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih sering memiliki gambaran
2. Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan gambaran ground-
27
glass. Efusi pleura 5%, limfadenopati 10%.
3. Dua minggu sejak onset gejala: masih predominan gambaran ground-glass, namun
4. Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-glass dan pola retikular.
Pemeriksaan Antigen-Antibodi
Ada beberapa perusahaan yang mengklaim telah mengembangkan uji serologi untuk
SARS-CoV-2, namun hingga saat ini belum banyak artikel hasil penelitian alat uji serologi
yang dipublikasi. 21
Salah satu kesulitan utama dalam melakukan uji diagnostik tes cepat yang sahih adalah
memastikan negatif palsu, karena angka deteksi virus pada rRT-PCR sebagai baku emas
tidak ideal. Selain itu, perlu mempertimbangkan onset paparan dan durasi gejala sebelum
memutuskan pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6
setelah onset gejala, sementara IgG mulai hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan
jenis ini tidak direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama. Pasien negatif
serologi masih perlu observasi dan diperiksa ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular.21
Pemeriksaan Virologi
Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
termasuk dalam kategori suspek. Pemeriksaan pada individu yang tidak memenuhi
kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh dikerjakan dengan mempertimbangkan aspek
molekuler membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2 (BSL-2), sementara untuk kultur
Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah amplifikasi asam nukleat
28
dengan real-time reversetranscription polymerase chain reaction (rRT- PCR) dan dengan
sequencing. Sampel dikatakan positif (konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada
minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARS- CoV-2; ATAU rRT-PCR
positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau seluruh genom
Berbeda dengan WHO, CDC sendiri saat ini hanya menggunakan primer N dan
juga telah menyetujui penggunaan tes cepat molekuler berbasis GenXpert® yang diberi
teknologi serupa. Tes cepat molekuler lebih mudah dikerjakan dan lebih cepat karena
Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat terjadi bila kualitas pengambilan atau
manajemen spesimen buruk, spesimen diambil saat infeksi masih sangat dini, atau
gangguan teknis di laboratorium. Oleh karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan infeksi SARS- CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang
tinggi.23
29
Gambar 8. Gambaran CT Scan pada COVID-19. Tampak gambaran ground-glass bilatera
Pengambilan Spesimen
saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau saluran napas bawah [sputum,
bronchoalveolar lavage (BAL), atau aspirat endotrakeal]. Sampel diambil selama 2 hari
berturut turut untuk PDP dan ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan
klinis. Pada kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada hari 1 dan hari 14.20
Zou, dkk. melaporkan deteksi virus pada hari ketujuh setelah kontak pada pasien
asimtomatis dan deteksi virus di hari pertama onset pada pasien dengan gejala demam. Titer
virus lebih tinggi pada sampel nasofaring dibandingkan orofaring.Studi lain melaporkan
30
titer virus dari sampel swab dan sputum memuncak pada hari 4-6 sejak onset gejala.
dengan tingkat deteksi paling baik. Induksi sputum juga mampu meningkatkan deteksi virus
pada pasien yang negatif SARS-CoV-2 melalui swab nasofaring/orofaring. Namun, tindakan
direkomendasikan rutin dan masih belum dianggap bermanfaat dalam praktek di lapangan.
Virus hanya terdeteksi pada sekitar <10% sampel darah, jauh lebih rendah dibandingkan
swab.Belum ada yang berhasil mendeteksi virus di urin. SARS- CoV-2 dapat dideteksi
dengan baik di saliva. Studi di Hong Kong melaporkan tingkat deteksi 91,7% pada pasien yang
sudah positif COVID-19, dengan titer virus paling tinggi pada awal onset. 22
3.9 DIAGNOSIS
WHO (dirangkum dalam Tabel 5). Kasus probable didefinisikan sebagai PDP yang
diperiksa untuk COVID-19 tetapi hasil inkonklusif atau seseorang dengan dengan hasil
hasil pemeriksaan laboratorium positif COVID-19, apapun temuan klinisnya. Selain itu,
dikenal juga istilah orang tanpa gejala (OTG), yaitu orang yang tidak memiliki gejala
tetapi memiliki risiko tertular atau ada kontak erat dengan pasien COVID-19.23
31
sebab lain
Keterangan: informasi area terjangkit terkini dapat diakses di https://infeksiemerging.kemkes.go.id/
Kontak erat didefinisikan sebagai individu dengan kontak langsung secara fisik tanpa
alat proteksi, berada dalam satu lingkungan (misalnya kantor, kelas, atau rumah), atau
bercakap-cakap dalam radius 1 meter dengan pasien dalam pengawasan (kontak erat
risiko rendah), probable atau konfirmasi (kontak erat risiko tinggi). Kontak yang
dimaksud terjadi dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala hingga 14 hari setelah kasus
timbul gejala. 24
Song, dkk. mencoba membuat skor COVID-19 Early Warning Score (COVID-19 EWS)
berdasarkan 1311 orang yang melakukan pemeriksaan SARS-CoV-2 RNA di China, seperti
pada lampiran 1. Skor ini memasukkan gambaran pneumonia pada CT scan toraks, riwayat
kontak erat, demam, gejala respiratorik bermakna, suhu tertinggi sebelum masuk rumah
sakit, jenis kelamin laki-laki, usia, dan rasion neutrofil limfosit (RNL) sebagai parameter yang
dinilai. Nilai skor COVID-19 EWS miminal 10 menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk
Diagnosis komplikasi seperti ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada pasien COVID-19
Tidak terdapat standar khusus penegakan diagnosis ARDS, sepsis, dan syok sepsis
3.10 TATALAKSANA
Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-19, termasuk
antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah terapi simtomatik dan
oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi mekanik. National Health
Commission (NHC) China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi mengatasi infeksi
(RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ), remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga
32
terdapat beberapa obat antivirus lainnya yang sedang dalam uji coba di tempat lain.
A. Terapi Etiologi/Definitif
Biarpun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji klinis, China telah
membuat rekomendasi obat untuk penangan COVID-19 dan pemberian tidak lebih dari 10
secara inhalasi;
• RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan dengan IFN-alfa
atau LPV/r;
1. Asimtomatis, gejala ringan, berusia <70 tahun tanpa faktor risiko: observasi klinis dan
terapi suportif.
2. Gejala ringan, berusia >70 tahun dengan faktor risiko dan bergejala demam, batuk,
sesak napas, serta rontgen menunjukkan pneumonia: LPV/r 200 mg/50 mg, 2 x 2
tablet per hari; atau Darunavir/ritonavir (DRV/r) 800 mg/100 mg, 1 x 1 tablet per
hari; atau Darunavir/cobicistat 800 mg/150 mg, 1 x 1 tablet per hari; DAN
Pada kasus membutuhkan terapi oksigen atau perburuk secara cepat, terapi poin 2
dihentikan dan diganti remdesivir (RDV) 200 mg (hari 1) dilanjutkan 100 mg (hari 2-
10) dan klorokuin 2 x 500 mg/hari atau HCQ 200 mg, 2 kali perhari. Obat selama 5-
33
20 hari, berdasarkan perubahan klinis. Jika nilai Brescia- COVID respiratory severity
mekanik: RDV 200 mg (hari 1), 100 mg (hari 2-10); DAN klorokuin fosfat 2 x 500
mg/hari atau HCQ 2 x 200 mg/ hari. Kombinasi diberikan selama 5-20 hari. Jika RDV
tidak tersedia, berikan suspensi LPV/r 5 mL, 2 kali per hari atau suspensi DRV/r; DAN
pada ≥ 30 kg dan 12 mg/kgBB pada < 30 kg. Dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan
jarak 8 jam bila dengan satu dosis dianggap tidak ada perbaikan.
WHO sedang merencanakan uji klinis tidak tersamar dan multinasional terkait COVID-19
bernama SOLIDARITY. Uji tersebut akan membuat empat kelompok, yaitu kelompok
LPV/r dan IFN-beta, kelompok LPV/r, kelompok CLQ atau HCQ, dan kelompok remdesivir.
Daftar uji klinis yang sedang berlangsung dapat dilihat pada Lampiran. Berikut adalah
1. Lopinavir/Ritonavir (LPV/r)
Chu, dkk. menunjukkan kombinasi RBV dan LPV/r menurunkan angka kematian
ARDS pada SARS-CoV dibandingkan RBV pada hari ke-21 pasca onset gejala.
Kemudian, Cao, dkk. melakukan uji klinis tak tersamar pada 199 subjek untuk menilai
perbedaan bermakna pada waktu perbaikan klinis. Pada penilaian mortalitas 28-hari
didapatkan angka yang lebih rendah pada kelompok LPV/r (19.2% vs 25.0%).
34
bukan supresi jumlah virus.Oleh karena itu, mereka mengusulkan perlu dilakukan
2. Remdesvir (RDV)
Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang telah digunakan secara luas untuk
virus RNA, termasuk MERS/SARS-CoV, penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat
menginhibisi infeksi virus secara efektif. Uji klinis fase 3 acak tersamar terkontrol plasebo
pada pasien COVID-19 telah dimulai di China. Studi ini membandingkan remdesivir dosis
awal 200 mg diteruskan dosis 100 mg pada 9 hari dan terapi rutin (grup intervensi) dengan
plasebo dosis sama dan terapi rutin (grup kontrol). Uji klinis ini diharapkan selesai pada
April 2020. Obat ini juga masuk dalam uji klinis SOLIDARITY.
Klorokuin, obat antimalaria dan autoimun, diketahui dapat menghambat infeksi virus
Efektivitas obat ini semakin baik karena memiliki aktivitas immunomodulator yang
memperkuat efek antivirus. Selain itu, klorokuin didistribusi secara baik di dalam tubuh,
termasuk paru.
Yao, dkk. mengajukan HCQ sebagai alternatif klorokuin. Studi in vitro tersebut
menelaah efektivitas kedua obat. Hasil studi menunjukkan HCQ lebih baik dalam
pengobatan yang dibuktikan dengan nilai EC50 yang lebih rendah (0.72 vs 5.47 μM).
Selain itu, HCQ lebih ditoleransi. Penelitian pada manusia direkomendasikan dengan dosis
anjuran yang memiliki potensi tiga kali lipat dibandingkan klorokuin, yaitu hidroklorokuin
400 mg dua kali sehari sebagai dosis awal dilanjutkan 200 mg dua kali sehari selama 4 hari
Uji klinis tak tersamar tanpa acak yang dilaporkan Gautret, dkk. meneliti efektivitas HCQ
35
terhadap jumlah virus SARS-CoV-2 yang dilakukan evaluasi setiap harinya sampai 6 hari pasca
perekrutan. Total sampel 42 dengan rincian 26 masuk kelompok HCQ. Dari 20 kelompok
HCQ, enam diantaranya mendapat azitromisin sebagai profilaksis bakteri. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kadar virus pada kelompok HCQ dan kelompok
kelompok HCQ. Hasil yang menjanjikan ini dapat menjadi landasan penggunaan HCQ
sebagai pengobatan COVID-19. Namun, hasil ini perlu diwaspadai juga karena 6 dari pengguna
HCQ lost to follow-up dan tidak dianalisis (termasuk 1 meninggal dan 3 dipindahkan ke
perawatan intensif). Perlu juga diperhatikan interaksi obat HCQ dan azitromisin, karena
gelombang QT.
4. Favipiravir (FAVI)
(RdRp) yang dapat menghambat aktivitas polimerasi RNA. Hasil penelitian sementara di
China menunjukkan bahwa favipiravir lebih poten dibandingkan LPV/r dan tidak terdapat
perbedaan signifikan reaksi efek samping. Studi uji klinis tanpa acak tak tersamar
menunjukkan favipiravir lebih baik dalam median waktu bersihan virus dibandingkan
LPV/r (4 hari vs 11 hari). Selain itu, favipiravir juga lebih baik dalam perbaikan
5. Umifenovir (Arbidol®)
Obat antivirus ini merupakan terapi rutin pada kasus influenza yang telah diketahui
kemampuan inhibisinya pada SARS-CoV-2 berdasarkan penelitian in vitro. Chen, dkk. telah
melakukan komparasi LPV/r dan umifenovir pada tatalaksana COVID-19, dan menemukan
36
tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbaikan gejala atau kadar virus.
6. Oseltamivir
Guan, dkk menemukan bahwa dari 1.099 pasien di China, 393 (35.8%)
meninggal. Studi ini tidak melanjutkan dengan analisis sehingga tidak dapat disimpulkan
7. Interferon-α (IFN-α)
Obat ini telah dicoba pada 21 pasien COVID-19 berat atau kritis di China dalam studi
observasi. Tocilizumab digunakan bersamaan dengan terapi standar lainnya, yaitu LPV/r
dan metilprednisolon. Dilaporkan bahwa demam pada semua pasien hilang dalam satu hari
setelah mendapatkan tocilizumab, diikuti dengan perbaikan klinis dan radiologis. Demikan
juga dengan kadar CRP, kebutuhan dan saturasi oksigennya. Laporan ini tentunya
menjanjikan, tetapi perlu disikapi dengan cermat karena studi masih dalam skala kecil dan
9. Meplazumab/antibodi anti-CD147
CyPA dan berdampak berkurang inflamasi. Selain itu, antibodi ini juga dapat
pengetahuan baru, ada kemungkinan virus masuk melalui reseptor CD147. Bian, dkk.
37
menunjukkan penambahan meplazumab mempercepat waktu rawat, perbaikan klinis
10. Nitazoxanide
Wang, dkk. melakukan uji in vitro guna mengetahui efektivitas nitazoxanide. Obat
antiprotoza ini diketahui memiliki potensi antivirus karena dapat menghambat SARS-CoV-2
(EC50=2.12 µM) dengan meningkatkan regulasi mekanisma antivirus bawaan via amplifikasi
jalur IFN tipe I dan sensing sitoplasmik RNA. Dosis yang diajukan 600 mg, 2 kali sehari
Sofosbuvir, salah satu obat DAA yang biasanya digunakan untuk terapi HCV, diketahui
memiliki kemampuan untuk menempel pada tempat aktif RdRp, bersaing dengan nukleotida
fisiologis. Efilky melakukan uji genetik untuk melihat kekuatan afinitas sofosbuvir dan obat
lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa sofosbuvir memiliki afinitas yang kuat terhadap
COVID-19 dan SARS- CoV dan atas dasar ini sofosbuvir berpotensi sebagai antivirus
SARS-CoV-2.
Cao W, dkk. melaporkan serial kasus COVID-19 yang menambahkan IVIg (dosis
0,3-0,5 g/kgBB) selama lima hari pada terapi standar. Seluruh pasien yang diberikan
perbaikan klinis demam dan sesak napas serta perbaikan secara CT-scan.
Obat lain yang sedang dalam uji klinis dan berpotensi dalam penanganan SARS-CoV-2
adalah darunavir, type II transmembrane serine protease inhibitor (TMSPSS2) dan BCR-
ABL kinase inhibitor imatinib. Darunavir terbukti menghambat replikasi virus pada
penelitian in vitro. TMPSPSS2 bekerja dengan menghambat jalur masuk virus dan imatinib
38
menghambat fusi virus dengan membran endosomal namun untuk dua obat ini belum
terdapat studinya.
sama lain. Lopinavir/ ritonavir menyebabkan peningkatan konsentrasi klorokuin atau HCQ.
Tidak diperbolehkan mengombinasikan klorokuin dan HCQ karena efek samping jantung
berupa pemanjangan QT atau interval PR. Oleh karena itu, setiap pemberian klorokuin atau
dalam darah. Interaksi minor terjadi pada penggunaan bersama dengan probenecid dan
warfarin.
1. Oksigen
Pastikan patensi jalan napas sebelum memberikan oksigen. Indikasi oksigen adalah
distress pernapasan atau syok dengan desaturase, target kadar saturasi oksigen >94%.
Oksigen dimulai dari 5 liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan sampai
mencapai target. Pada kondisi kritis, boleh langsung digunakan nonrebreathing mask.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik hanya dibenarkan pada pasien yang dicurigai infeksi bakteri dan
bersifat sedini mungkin. Pada kondisi sepsis, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam.
Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik empirik berdasarkan dengan profil mikroba lokal
3. Kortikosteroid
Chen, dkk.110 pada 401 penderita SARS yang diberikan kortiksteroid, 152 di antaranya
39
termasuk kategori kritis. Hasil studi menunjukkan kortikosteroid menurunkan mortalitas
dan waktu perawatan pada SARS kritis. Dosis yang diberikan adalah dosis rendah-sedang
(≤0.5-1 mg/kgBB metilprednisolon atau ekuivalen) selama kurang dari tujuh hari. Dosis ini
berdasarkan konsensus ahli di China. Russel CD, dkk. justru merekomendasikan untuk
menghindari pemberian kortikosteroid bagi pasien COVID-19 karena buti yang belum kuat
dan penyebab syok pada COVID-19 adalah sekuens non-vasogenik. Hal ini didukung studi
telaah sistematik Stockman, dkk. yang menyatakan bahwa belum dapat disimpulkan
yang berasal dari China. Tidak didapatkan hubungan kortikosteroid dengan waktu
pembersihan virus, lama perawatan dan durasi gejala. Pedoman di Italia merekomendasikan
19 yang kritis.
4. Vitamin C
Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik yang luas. Kadar vitamin C
suboptimal umum ditemukan pada pasien kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan
luaran buruk. Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi yang
vitamin C pada sel somatik. Oleh karena itu, dipikirkan pemberian dosis tinggi vitamin C
untuk mengatasi sekuens dari kadar yang suboptimal pada pasien kritis.
vitamin C pada sepsis dan gagal napas. Hasil studi menunjukkan tidak terdapat perbedaan
40
antara grup vitamin C dengan dosis 50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 96 jam dengan
plasebo pada penurunan skor SOFA. Namun, terdapat perbedaan bermakna pada
mortalitas 28-hari, bebas ICU sampai 28 hari dan bebas perawatan rumah sakit sampai 60
hari
Oleh karena itu, dosis tinggi vitamin C dapat dipertimbangkan pada ARDS walaupun
perlu dilakukan studi pada populasi khusus COVID-19. Saat ini, terdapat satu uji klinis
yang melihat efektivitas vitamin C dosis 12 gram terhadap waktu bebas ventilasi pada
COVID-19.
dapat meningkatkan ekspresi ACE2 sehingga dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih
berat.Pernyataan ini dibuat tanpa sitasi bukti yang sahih sehingga saat ini tidak ada
subkutan dua kali sehari lebih dipilih dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi, WHO
7. Plasma Konvalesen
Plasma dari pasien yang telah sembuh COVID-19 diduga memiliki efek terapeutik
karena memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2. Shen C, dkk. melaporkan lima serial
kasus pasien COVID-19 kritis yang mendapatkan terapi plasma ini. Seluruh pasien
mengalami perbaikan klinis, tiga diantaranya telah dipulangkan. Biarpun studi masih skala
kecil dan tanpa control. plasma konvalesen telah disetujui FDA untuk terapi COVID-19
yang kritis. Donor plasma harus sudah bebas gejala selama 14 hari, negatif pada tes deteksi
41
SARS-CoV-2, dan tidak ada kontraindikasi donor darah
8. Imunoterapi
Wang C, dkk melakukan identifikasi antibodi yang berpotensial sebagai vaksin dan
antibodi monoklonal. Mereka menggunakan ELISA untuk menemukan antibodi yang sesuai,
sampel berasal dari tikus percobaan. Hasil akhir menemukan bahwa antibodi 47D11
Median waktu onset gejala sampai masuk intensive care unit (ICU) adalah 9 – 10 hari
dengan penyebab utama ARDS. Faktor risiko meliputi usia di atas 60 tahun, memiliki
komorbid, umumnya hipertensi, penyakit jantung dan diabetes melitus, dan neonatus.
Umumnya anak memiliki spektrum penyakit ringan. Tatalaksana pasien kritis COVID-19
memiliki prinsip penanganan yang sama dengan ARDS pada umumnya. Pedoman penangan
meliputi:
Norepinefrin sebagai lini pertama agen vasoaktif pada COVID-19 dengan syok;
Antibiotik spektrum luas sedini mungkin pada dugaan koinfeksi bakteri sampai
Pada kondisi pelayanan tidak memadai untuk ventilasi invasif, dapat dipertimbangkan
42
pemberian oksigen nasal dengan aliran tinggi atau ventilasi noninvasif dengan tetap
mengutamakan kewaspadaan karena risiko dispersi dari aerosol virus lebih tinggi.
Saat melakukan ventilasi mekanik invasif, operator wajib waspada, mengenakan alat
pelindung diri lengkap, dan memakai masker N95 ketika prosedur intubasi. Upayakan
rapid sequence intubation (RSI). Strategi ventilasi yang direkomendasikan Society of Critical
Agen paralitik dapat diberikan pada ARDS sedang/ berat untuk proteksi ventilasi paru.
Ventilasi mekanik noninvasif dapat dipertimbangkan jika didukung dengan sistem fasilitas
kesehatan yang dapat memastikan tidak terjadi penyebaran secara luas dari udara ekshalasi
pasien. Teknik ini dapat digunakan pada pasien derajat tidak berat dan patut
Pasien dengan infeksi ringan boleh tidak dirawat di rumah sakit, tetapi pasien harus
diajarkan langkah pencegahan transmisi virus. Isolasi di rumah dapat dikerjakan sampai
pasien mendapatkan hasil tes virologi negatif dua kali berturut-turut dengan interval
pengambilan sampel minimal 24 jam. Bila tidak memungkinkan, maka pasien diisolasi
43
Beberapa pertimbangan indikasi rawat di rumah antara lain: pasien dapat dimonitor
atau ada keluarga yang dapat merawat; tidak ada komorbid seperti jantung, paru, ginjal,
atau gangguan sistem imun; tidak ada faktor yang meningkatkan risiko mengalami
komplikasi; atau fasilitas rawat inap tidak tersedia atau tidak adekuat.
Selama di rumah, pasien harus ditempatkan di ruangan yang memiliki jendela yang
dapat dibuka dan terpisah dengan ruangan lainnya. Anggota keluarga disarankan tinggal di
ruangan yang berbeda. Bila tidak memungkinkan, jaga jarak setidaknya satu meter. Penjaga
rawat (caregiver) sebaiknya satu orang saja dan harus dalam keadaan sehat. Pasien tidak
Pasien sebaiknya memakai masker bedah dan diganti setiap hari, menerapkan etika batuk,
melakukan cuci tangan dengan langkah yang benar, dan menggunakan tisu sekali pakai saat
batuk/bersin. Penjaga rawat menggunakan masker bedah bila berada dalam satu ruangan
dengan pasien dan menggunakan sarung tangan medis bila harus berkontak dengan sekret,
urin, dan feses pasien. Pasien harus disediakan alat makan tersendiri yang setiap pakai
dicuci dengan sabun dan air mengalir. Lingkungan pasien seperti kamar dan kamar mandi
dapat dibersihkan dengan sabun dan detergen biasa, kemudian dilakukan desinfeksi dengan
WHO merekomendasikan pasien dapat dipulangkan ketika klinis sudah membaik dan
terdapat hasil tes virologi yang negatif dua kali berturut-turut. Kedua tes ini minimal dengan
interval 24 jam.
3.12 PENCEGAHAN
COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu pengetahuan
44
Vaksin
Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin guna
membuat imunitas dan mencegah transmisi.Saat ini, sedang berlangsung 2 uji klinis fase I
vaksin COVID-19. Studi pertama dari National Instituteof Health (NIH) menggunakan
mRNA-1273 dengan dosis 25, 100, dan 250 µg.Studi kedua berasal dari China
menggunakan adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan, sedang dan tinggi.
Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak dengan
pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas kesehatan. WHO juga
sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi petugas kesehatan yang menangani
pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko
selama14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada elompok risiko rendah,
dihimbau melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu dan gejala
pernapasan selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat.Pada tingkat
masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul massa pada acara
dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga
jarak dengan seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau
bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi
jarak yang harus dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan kecurigaan COVID-19
juga harus diberi jarak minimal satu meter dari pasien lainnya, diberikan masker bedah,
45
Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan pada lima
waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur, setelah terpajan
cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien. Air
sering disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak
cukup untuk menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus RNA
Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik seperti lemak atau
infektivitas virus.Oleh karena itu, membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub
berbasis alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih ketika secara kasat
mata tangan tidak kotor sedangkan sabun dipilih ketika tangan tampak kotor.
Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut dengan
permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat
menjadi portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai ketika bersin
SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung diri (APD) merupakan
salah satu metode efektif pencegahan penularan selama penggunannya rasional. Komponen
APD terdiri atas sarung tangan, masker wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan
gaun nonsteril lengan panjang. Alat pelindung diri akan efektif jika didukung dengan
Penggunaan APD secara rasional dinilai berdasarkan risiko pajanan dan dinamika
transmisi dari patogen. Pada kondisi berinteraksi dengan pasien tanpa gejala
pernapasan, tidak diperlukan APD. Jika pasien memiliki gejala pernapasan, jaga jarak
minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis disarankan
46
menggunakan APD lengkap.Alat seperti stetoskop, thermometer, dan spigmomanometer
sebaiknya disediakan khusus untuk satu pasien. Bila akan digunakan untuk pasien lain,
3.13 KOMPLIKASI
Komplikasi utama pada pasien COVID-19 adalah ARDS, tetapi Yang, dkk.145
menunjukkan data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas ARDS, melainkan
juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas kardiak (23%), disfungsi hati
(29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain yang telah dilaporkan adalah syok sepsis,
Pankreas
Liu, dkk.menunjukkan bahwa ekspresi ACE2 di pankreas tinggi dan lebih dominan
di sel eksokrin dibandingkan endokrin. Hal ini juga diperkuat data kejadian pankreatitis
yang telah dibuktikan secara laboratorium dan radiologis. Bila ini memang berhubungan,
maka perlu perhatian khusus agar tidak berujung pada pankreatitis kronis yang dapat
memicu inflamasi sistemik dan kejadian ARDS yang lebih berat. Namun, peneliti belum
karena belum ada studi yang menemukan asam nukleat virus di pankreas.
Miokarditis
ini adalah peningkatan troponin jantung, myoglobin, dan n-terminal brain natriuretic
peptide. Pada pemeriksaan lain, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, penurunan fraksi
ejeksi, dan hipertensi pulmonal. Miokarditis diduga terkait melalui mekanisme badai
47
sitokin atau ekspresi ACE2 di miokardium.
Kerusakan Hati
signifikan jarang ditemukan dan pada hasil observasi jarang yang berkembang menjadi hal
yang serius. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada kasus COVID-19 berat. Elevasi ini
umumnya maksimal berkisar 1,5 - 2 kali lipat dari nilai normal. Terdapat beberapa faktor
penyebab abnormalitas ini, antara lain kerusakan langsung akibat virus SARS- CoV-2,
penggunaan obat hepatotoksik, ventilasi mekanik yang menyebabkan kongesti hati akibat
3.14 PROGNOSIS
tingkat mortalitas pasien COVID-19 berat mencapai 38% dengan median lama perawatan
ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari. Peningkatan kasus yang cepat dapat membuat
rumah sakit kewalahan dengan beban pasien yang tinggi. Hal ini meningkatkan laju
mortalitas di fasilitas tersebut. Laporan lain menyatakan perbaikan eosinofil pada pasien yang
Reinfeksi pasien yang sudah sembuh masih kontroversial. Studi pada hewan
menyatakan kera yang sembuh tidak dapat terkena COVID-19, tetapi telah ada laporan yang
menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-13 hari setelah negatif dua kali berturut-
turut dan dipulangkan dari rumah sakit. Hal ini kemungkinan karena reinfeksi atau hasil
negatif palsu pada rRT-PCR saat dipulangkan. Peneliti lain juga melaporkan deteksi SARS-
CoV-2 di feses pada pasien yang sudah negatif berdasarkan swab orofaring.
48
BAB IV
KESIMPULAN
COVID-19 adalah penyakit baru yang telah menjadi pandemi. Penyakit ini harus
diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat mortalitas yang tidak
dapat diabaikan, dan belum adanya terapi definitif. Masih banyak knowledge gap dalam
49
bidang ini sehingga diperlukan studi-studi lebih lanjut.
Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, ditemukan agen penyebab Covid-19
yaitu SARS-CoV-2. Virus masuk ke dalam tubuh inang melalui ikatan antara protein S
dengan ACE2 yang diekspresikan oleh sel epitel inang. Gejala utama Covid-19 yaitu
demam, batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala. Selain gejala-gejala
tersebut, dilaporkan pula gejala pada traktus gastrointestinal dan manifestasi neurologis.
Gambaran CT-Scan toraks pada pasien Covid-19 yaitu opasitas ground-glass. Leukopenia,
DAFTAR PUSTAKA
1. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease
10.1016/j.jaut.2020.102433.
2. Ren L-L, Wang Y-M, Wu Z-Q, Xiang Z-C, Guo L, Xu T, et al. Identification of a novel
50
coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study. Chin Med J. 2020;
Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-19) and the virus that
causes it [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2020 [cited 2020 March 29].
coronavirus-2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus- disease-(covid-2019)-
and-the-virus-that-causes-it.
[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available from:
70-covid-19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_2
briefing on COVID-19 - 11 March 2020 [Internet]. 2020 [updated 2020 March 11].
remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11- march-2020.
From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020; published
sfvrsn=d0b2e480_2.
51
7. World Health Organization. Situation Report – 42 [Internet]. 2020 [updated 2020
sfvrsn=224c1add_2.
Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available
[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 15; cited 2020 March 30]. Available from:
54-covid-19.pdf?sfvrsn=dcd46351_2.
10. Istituto Superiore di Sanità. Epidemia COVID-19 aggiornamento nazionale 19 marzo 2020
11. Korea Centers for Disease Control and Prevention. Updates on COVID-19 in Republic of
[updated 2020 March 18; cited 2020 March 21]. Available from:
https://www.cdc.go.kr/board/board.s?mid=a30402000000&bid
=0030&act=view&list_no=366586&tag=&nPage=1.
12. Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical
Microbiology. 28th ed. New York: McGraw- Hill Education/Medical; 2019. p.617-22.
13. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus from
14. Gorbalenya AE, Baker SC, Baric RS, de Groot RJ, Drosten C, Gulyaeva AA, et al. The
52
and naming it SARS-CoV-2. Nat Microbiol. 2020; published online March 2. DOI:
10.1038/s41564-020-0695-z
15. Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al. A pneumonia outbreak
3.
16. Zhang T, Wu Q, Zhang Z. Probable Pangolin Origin of SARS- CoV-2 Associated with
the COVID-19 Outbreak. Curr Biol. 2020; published online March 13. DOI:
10.1016/j.cub.2020.03.022
17. Chan JF-W, Kok K-H, Zhu Z, Chu H, To KK-W, Yuan S, et al. Genomic characterization
of the 2019 novel human-pathogenic coronavirus isolated from a patient with atypical
18. Zhang H, Penninger JM, Li Y, Zhong N, Slutsky AS. Angiotensin- converting enzyme 2
05985-9
19. World Health Organization. Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus
20. Han Y, Yang H. The transmission and diagnosis of 2019 novel coronavirus infection
disease (COVID-19): A Chinese perspective. J Med Virol. 2020; published online March 6.
21. van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN,
et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N Engl J
22. Liu Y, Gayle AA, Wilder-Smith A, Rocklöv J. The reproductive number of COVID-19 is
53
higher compared to SARS coronavirus. J Travel Med. 2020;27(2).
23. Bai Y, Yao L, Wei T, Tian F, Jin D-Y, Chen L, et al. Presumed Asymptomatic Carrier
10.1001/jama.2020.2565
24. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics and
25. Xiao F, Tang M, Zheng X, Liu Y, Li X, Shan H. Evidence for gastrointestinal infection of
10.1053/j.gastro.2020.02.055
26. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface
surfaces and their inactivation with biocidal agents. J Hosp Infect. 2020;104(3):246-51.
10.1016/j.jpha.2020.03.001
54