Anda di halaman 1dari 45

BAROTRAUMA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuba eustakius normalnya selalu tertutup. Namun dapat terbuka pada gerakan

menelan, mengunyah dan menguap. Pada perubahan tekanan udara tuba eustakius

terbukanya tuba dapat menyamakan tekanan udara luar dan didalam telinga.

Kegagalan tuba membuka pada keadaan ini akan menyebabkan kelainan yang disebut

dengan barotrauma.1 Kegagalan ini sering terjadi pada peristiwa penerbangan dan

penyelaman.

Kasus barotrauma di Amerika Serikat dapat ditemukan pada 2,28 kasus per

10.000 penyelaman pada kasus berat. Sedangkan pada kasus ringan tidak diketahui

karena banyak penyelam tidak mencari pengobatan. Resiko Barotrauma ini

meningkat pada penyelam dengan riwayat asma, selain itu juga meningkat 2,5 kali

pada pasien dengan paten foramen ovale. Kematian akibat Barotrauma di pesawat

militer telah dilaporkan terjadi pada tingkat 0,024 per juta jam penerbangan. Tingkat

insiden dekompresi untuk rata-rata penerbangan sipil sekitar 35 per tahun. Sedangkan

pada departemen pertahan Australia dapat ditemukan 82 insiden per juta jam waktu

terbang. Sedangkan pada barotrauma akibat menyelam tidak ada informasi yang

tersedia di seluruh dunia.

1
Komplikasi yang mungkin ditemukan berupa infeksi telinga akut, hilangnya

pendengaran, ruptur atau perforasi dari gendang telinga dan vertigo.2

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan klinis dari

penulis dan untuk memenuhi tugas pendidikan kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok- Kepala-Leher.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 ANATOMI TELINGA

2.1.1 Anatomi Telinga Luar

Gambar 1. Anatomi Telinga7

Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu : 1) Telinga luar; 2) Telinga tengah; 3)

Telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, kelenjar minyak (berfungsi

menghasilkan serumen untuk melindungi memberan timpani), liang telinga sampai

membran timpani. Daun telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai

membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang

telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,

sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-

kira 2,5 – 3 cm.1

3
Gambar 2. Anatomi Auricula7

Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan

rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada duapertiga bagian

dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1

2.1.2 Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari:1

1) Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.

Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik

terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani dibagi atas 2 bagian yaitu bagian

atas disebut pars flasida (membrane sharpnell) dimana lapisan luar merupakan

lanjutan epitel kulit liang telinga sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus

bersilia, dan pars tensa merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis

lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.

4
Gambar 3. Anatomi Membrana Tympani7

2) Cavum tympani

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas-batas : 1) Batas luar : membran

timpani; 2) Batas depan : tuba eustakius; 3) Batas bawah : vena jugularis; 4)

Batas belakang : aditus ad antrum; 5) Batas atas : tegmen timpani; 6) Batas

dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,

kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round

window) dan promontorium.

5
Gambar 4. Bangunan pada cavum tympani7

3) Tulang pendengaran (Ossicula auditoria) yang terdiri dari maleus, incus dan

stapes. Tulang pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.

Gambar 5. Ossicula Audotoria7

4) Tuba eustakius, yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring


2.1.3 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah

lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau

puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan

skala vestibuli.1

6
Gambar 6. Anatomi Telinga Dalam7

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala

vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus

koklearis) diantaranya.1

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media

berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan

endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi akan natrium dan rendah kalium,

sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan rendah natrium. Hal ini penting untuk

pendengaran.1

Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s

Membrane) sedangkan skala media adalah membran basalis. Pada membran ini

terletak organ corti yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme

saraf perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000)

dan tiga baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang

lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong.

7
Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada

permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di

atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai

membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung

yang terletak di medial disebut sebagai limbus.1

Gambar 7. Anatomi Organ Korti7

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran

tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut

dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.1

2.1.4 Anatomi Sinus Paranasalis

8
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi

karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus

paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid

dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi

tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus

mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.8

9
Gambar 8. Anatomi Sinus Paranasalis8

10
2.2 DEFINISI

Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan untuk

menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti telinga

tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan

pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga,

wajah (sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di

dalamnya.1, 2, 3, 4

2.3 EPIDEMIOLOGI

Barotrauma paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini terutama karena

rumitnya fungsi tuba eustakius. Barotrauma pada telinga tengah dapat terjadi saat

menyelam ataupun saat terbang. Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki

pertama di bawah air setara dengan perubahan tekanan pada ketinggian 18.000

kaki pertama di atas bumi. Dengan demikian, perubahan tekanan lingkungan

terjadi lebih cepat pada saat menyelam dibandingkan dengan saat terbang. Hal ini

dapat menjelaskan realitf tingginya insidens barotrauma pada telinga tengah pada

saat menyelam. Barotrauma telinga tengah merupakan cedera terbanyak yang

dialami saat menyelam, terjadi sekitar 30% pada saat menyelam pertama kali dan

10 % pada penyelam yang telah sering melakukan penyelaman.2,3

Kasus barotrauma di Amerika Serikat dapat ditemukan pada 2,28 kasus per

10.000 penyelaman pada kasus berat. Sedangkan pada kasus ringan tidak

diketahui karena banyak penyelam tidak mencari pengobatan. Resiko Barotrauma

ini meningkat pada penyelam dengan riwayat asma, selain itu juga meningkat 2,5

kali pada pasien dengan paten foramen ovale. Kematian akibat Barotrauma di

11
pesawat militer telah dilaporkan terjadi pada tingkat 0,024 per juta jam

penerbangan. Tingkat insiden dekompresi untuk rata-rata penerbangan sipil

sekitar 35 per tahun. Sedangkan pada departemen pertahan Australia dapat

ditemukan 82 insiden per juta jam waktu terbang. Sedangkan pada barotrauma

akibat menyelam tidak ada informasi yang tersedia di seluruh dunia.9,10

2.4 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas dalam tubuh menjadi

ruang tertutup dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi yang normal.

Kelainan ini terjadi pada keadaan-keadaan:5

2.4.1 Saat menyelam


Ada beberapa tekanan yang berpengaruh saat orang menyelam yaitu tekanan

atmosfer dan tekanan hidrostatik. Tekanan atmosfer yaitu tekanan yang ada di atas

air. Tekanan hidrostatik yaitu tekanan yang dihasilkan oleh air yang berada di atas

penyelam. Barotrauma dapat terjadi baik pada saat penyelam turun ataupun naik.

Diver’s depth gauges digunakan hanya untuk mengetahui tekanan hidrostatik

(kedalaman air) dan berada pada angka nol pada permukaan laut. Ini tidak dapat

mengetahui 1 atmosfer (1 ATA) diatasnya. Jadi, gauge pressure selalu 1 atmosfer

lebih rendah dari tekanan yang sebenarnya dan tekanan absolut.9


1. Tekanan atmosfer
Tekanan atmosfer yang ada di laut yaitu 1 atmosfer atau 1 bar. 1 Atmosfer

diperkirakan mendekati dengan 10 meter kedalaman laut, 33 kaki kedalaman

air laut, 34 kaki kedalaman air segar, 1 kg/cm 2, 14,7 Ibs/in2 psi, 1 bar, 101,3

kilopascals, 760 mmHg.9


Suatu kolom udara dengan luas penampang 6,45 cm2 (1 inci persegi) pada

permukaan laut sampai puncak atmosfer, mempunyai berat sekitar 6,66 kg,

12
setara dengan berat kolom Hg setinggi 760 mm. Tekanan 760 mmHg disebut

tekanan normal.
Tabel 1. Tekanan atmosfer dan Tekanan Gauge di bawah laut
9

Tekanan Absolute Tekanan Gauge Kedalaman Laut


1 ATA 0 ATG Permukaan
2 ATA 1 ATG 10 meter (33ft)
3 ATA 2 ATG 20 meter (66 ft)
4 ATA 3 ATG 30 meter (99 ft)

Gambar 9. Tekanan di berbagai lapisan bumi9


2. Tekanan Absolut
Tekanan absolut merupakan tekanan total yang dialami seorang penyelam

ketika berada di kedalaman laut yang merupakan jumlah dari tekanan atmosfer

yang berada di permukaan air ditambah tekanan yang dihasilkan oleh massa

air di atas penyelam (tekanan hidrostatik). Tekanan total yang dialami

penyelam disebut tekanan absolut. Tekanan ini menggambarkan keadaan

atmosfer dan disebut sebagai absolut atmosfer atau ATA.9


3. Tekanan Gauge
Seperti yang telah dijelaskan, tekanan hidrostatik pada pada penyelam

secara umum diukur dengan suatu tekanan atau depth gauge. Seperti alat ukur

13
yang telah dijelaskan tekanan pada permukaan laut dan mengabaikan tekanan

atmosfer (1 ATA). Tekanan gauge dapat diubah menjadi tekanan absolute

dengan menambahkan 1 tekanan atmosfer. 9


4. Tekanan Parsial
Pada campuran gas, proporsi tekanan total yang dimiliki oleh masing-

masing gas disebut sebagai tekanan parsial (bagian atas tekanan). Tekanan

parsial yang dimiliki oleh masing-masing gas sebanding dengan persentase

campuran. Setiap gas memiliki proporsi yang sama dengan tekanan total

campuran, seperti proporsinya dalam komposisi campuran. Misalnya, udara

pada 1 ATA mengandung oksigen 21%, maka tekanan parsial oksigen adalah

0,21 ATA dan udara pada 1 ATA mengandung nitrogen 78%, maka tekanan

parsial nitrogen adalah 0,78 ATA.9


Barotrauma pada saat menyelam dapat terjadi pada saat turun ke dalam air

yang disebut sebagai squeeze, sedangkan barotrauma pada saat naik ke

permukaan air secara cepat disebut reverse squeeze atau overpressure.9


2.4.1 Saat penerbangan
Seseorang dalam suatu penerbangan akan mengalami perubahan ketinggian

yang mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara sekitar. Tekanan udara

akan menurun pada saat lepas landas (naik/ascend) dan meninggi saat pendaratan

(turun/descend). Tekanan Lingkungan yang menurun, menyebabkan udara dalam

telinga tengah mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba auditiva.

Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan teralu besar,

maka tuba auditiva akan menciut. Untuk memenuhi regulasi tekanan yang

adekuat, terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfir yang

besar selama lepas landas dan mendarat, menyebabkan ekstensi maksimal

membran tympani, dan dapat mengakibatkan pendarahan. Pada ekstensi

14
submaksimal, akan timbul perasaan penuh dalam telinga dan pada ekstensi

maksimal berubah menjadi nyeri.11


Berdasarkan letak anatomisnya, barotrauma dapat dibagi menjadi: 1)

Barotrauma Telinga; 2) Barotrauma Sinus Paranasalis; 3) Barotrauma Pulmonal;

4) Barotrauma Odontalgia.10

2.5 PATOFISIOLOGI

Penyakit yang disebabkan oleh perubahan tekanan secara umum ditemukan

oleh hukum fisika Boyle dan Henry. Hukum boyle menyatakan “suatu penurunan

atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan

(secara berurutan) suatu volume gas dalam ruang tertutup” atau P 1 x V1 = P2 x V2,

dimana P adalah tekanan dan V adalah volume.3

Perubahan tekanan terjadi ketika menyelam, pada ruang hipo dan hiperbarik,

perjalanan udara, dan pada beberapa pendakian serta pada lift yang cepat.

Tekanan meningkat sebesar 1 atmosfer setiap kedalaman laut 33 ft (10 m). Hal ini

menunjukkan bahwa balon (atau paru-paru) dengan volume udara 1 kaki kubik

pada kedalaman 33 kaki akan memiliki volume 2 kaki kubik pada permukaan laut.

Jika udara ini terperangkap, udara tersebut akan mengembang dan memberi

tekanan yang hebat pada dinding ruang tersebut. Pada pendakian cepat, insiden

pneumotoraks dan pneumomediastinum serta penekanan sinus dan trauma telinga

dalam dapat terjadi. Penekanan sinus beserta disfungsi dari tuba eustakius akan

menyebabkan perdarahan pada telinga dalam, robekan membran labirin, atau

fistula perilimfatik.2,3,12

Normalnya, tekanan udara di luar dan di dalam telinga sama. Tuba eustakius,

berfungsi sebagai penyeimbang kedua sisi tersebut dengan mengeluarkan atau

15
memasukkan udara ke telinga tengah. Barotrauma dapat terjadi ketika ruang-

ruang bersis gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) menjadi ruang tertutup

dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi normal. Bila gas tersebut terdapat

dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi

ataupun kompresi. Paling sering terjadi pada telinga tengah, karena rumitnya

fungsi tuba eustakius. Tuba eustakius secara normal selalu tertutup namun dapat

terbuka pada gerakan menelan, mengunyah, menguap, dan dengan manuver

Valsava. 1,2,4

Tabel 2. Peningkatan Tekanan

Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal

aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Jika perbedaan tekanan antaara rongga

telinga tengah dan lingkungan sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai 100

mmHg), maka bagian kartilaginosa dari tuba eustakius akan sangat menciut. Jika

tidak ditambhakan udara melalui tuba eustakius untuk memulihkan volume

telinga tengah, maka struktur-struktur dalam telinga tengah dan jaringan

didekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya perbedaan tekanan.

16
Pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, dimana mula-

mula membran timpani tertarik ke dalam menyebabkan membran teregang dan

pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga cairan keluar dari pembuluh

darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah,

sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah dan tampak

sebagai gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gendang telinga. Dengan

makin meningkatnya tekanan, pembuluh-pembuluh darah kecil pada mukosa

telinga tengah juga akan berdilatasi dan pecah, menimbulkan hemotimpanum.

Kadang-kadang tekanan dapat menyebabkan ruptur membran timpani.1,2

Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan barotrauma pada telinga

dalam. Ketika penyelam menyelam ke bawah dan mengalami kesulitan dalam

menyeimbangkan tekanan dan terus melanjutkan menyelam lebih dalam, dalam

usaha menyeimbangkan tekanan, dapat terjadi terbukanya tuba eustakius secara

tiba-tiba sehingga udara masuk ke telinga tengah. Hal ini akan menyebabkan

17
rupturnya salah satu tingkap antara telinga tengah dan telinga dalam entah fenestra

rotundum ataupun fenestra ovalis ke telinga dalam. Kebalikannya, jika penyelam

menyelam lebih dalam dengan kesulitan untuk menyeimbangkan tekanan dan tuba

eustakius tidak terbuka, maka tekanan diteruskan melalui cairan spinal, menuju ke

saluran koklear ke ruang perlimfatik pada telinga dalam. tingkap bundar atau

lonjong dapat ruptur.12

Untuk pasien dengan barotrauma pada penerbangan, skenario yang mungkin

adalah saat penumpang pesawat mengalami infeksi pernafasan dan pembengkakan

mukosa tuba eustakius. Saat lepas landas, tekanan udara di lingkungan turun dan

tekanan pada telinga tengah sangat tinggi. Akan tetapi, tekanan akan turun oleh

tuba eustakius ketika menelan, dan gejala menjadi tidak terlalu berat. Sayangnya,

mukosa tuba bertindak sebagai keran satu arah, dan masalah yang sebenarnya

terjadi ketika pesawat mendarat. Pada saat pesawat hendak mendarat, tekanan

atmosfer di lingkungan meningkat secara cepat dan tuba eustakius yang bengkak

pada nasofaring mencegah aerasi telinga tengah. Hal ini menyebabkan kolapsnya

gendang telinga ke dalam, dan pembuluh darah pada telinga tengah dapat ruptur

dan mengalami perdarahan kemudian menyebabkan hemotimpanum. Hal ini dapat

berlangsung hingga berhari-hari.1

Hukum henry menyatakan bahwa daya larut udara pada cairan secara langsung

sebanding dengan tekanan pada udara dan cairan. Sehingga, ketika tutup botol

soda dibuka, terbentuk gelembung pada saat udara dilepaskan dari cairan. Sebagai

tambahan, ketika nitrogen pada tank udara penyelam larut pada jaringan lemak

atau cairan sinovial penyelam saat menyelam, nitrogen akan dilepaskan dari

18
jaringan tersebut ketika penyelam naik menuju lingkungan dengan tekanan yang

lebih rendah.

Hal ini akan terjadi secara perlahan dan bertahap jika penyelam naik secara

perlahan dan bertahap, dan nitrogen akan memasuki pembuluh darah dan menuju

ke paru-paru dan dikeluarkan saat bernafas. Akan tetapi, jika penyelam naik

secara cepat, nitrogen akan keluar dari jaringan secara cepat dan membentuk

gelembung udara. Gelembung yang terbentuk akan mempengaruhi jaringan dalam

banyak cara. Gelembung dapat membentuk obstruksi pada pembuluh darah yang

dapat mengarah ke cedera iskemik. Hal ini dapat berakibat fatal bila terjadi pada

area tertentu pada otak.

Kehilangan pendengaran (tuli mendadak) dapat terjadi bila gelembung udara

membentuk oklusi pada pembuluh darah arteri labirin yang kemudian

meyebabkan iskemik pada koklea. Gelembung juga dapat membentuk suatu

permukaan dimana protein dari pembuluh darah dapat melekat, terurai, dan

membentuk gumpalan atau sel-sel radang. Sel-sel radang ini dapat menyebabkan

kerusakan endotel dan kerusakan jaringan yang permanen.3

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Anamnesis
Pada anamnesis umumnya didapatkan adanya riwayat menyelam atau

penerbangan dimana terdapat perubahan cepat pada tekanan lingkungan. Secara

spesifik, barotrauma juga dapat ditemukan riwayat ventilasi tekanan positif yang

mengakibatkan peningkatan tekanan paru sehingga menyebabkan terjadinya

pulmonary barotrauma. Pasien dengan barodontalgia biasanya memiliki satu atau

lebih keadaan sebagai berikut yaitu karies, inflamasi periapikal akut maupun

19
kronik, kista gigi residual, sinusitis, maupun riwayat operasi gigi dalam waktu

dekat. Riwayat infeksi telinga tengah maupun luar juga dapat menjadi penanda

barotrauma telinga tengah maupun luar. Pada sinus barotrauma biasanya pasien

memiliki riwayat rhinitis dan polip nasi.9,10

2.6.2 Manifestasi Klinis dan Mekanisme


Tiga gejala klinis yang terdapat pada barotrauma secara umum adalah : efek

pada sinus atau telinga tengah, penyakit dekompresi, dan emboli gas arteri.

Barotrauma yang terjadi pada saat penurunan disebut squeeze. Gejala Knilis pada

barotrauma bergantung pada daerah yang mengalami gangguan, yaitu sebagai

berikut:
1. Barotrauma saat turun (Squeeze) Telinga Luar
Barotrauma pada telinga luar dapat terjadi bila telinga bagian luar mengalami

obstruksi, sehingga volume gas tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi

selama proses turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung

yang ketat, wax pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau eksostosis atau

menggunakan penutup telinga. Biasanya obstruksi pada saluran telinga bagian

luar ini akan menyebabkan penonjolan membran timpani disertai perdarahan,

swelling dan hematom pada kulit yang melapisi saluran telinga bagian luar.

Kondisi seperti ini dapat ditemukan pada saat menyelam dengan kedalaman

sedikitnya 2 meter.9,13

20
Gambar 10. Barotrauma saat turun (squeeze) pada telinga luar14
Gambar di atas menunjukkan patofisiologi pada telinga luar dimana

adanya obstruksi pada telinga luar (seperti penutup telinga) dapat menimbulkan

suatu ruang udara yang dapat berubah volumenya sebagai respon terhadap

perubahan tekanan lingkungan. Ketika menyelam, volume pada ruang ini

menurun dan menyebabkan membran timpani terdorong keluar (ke arah meatus

eksterna). Hal ini dapat menyebabkan nyeri dan perdarahan kecil pada membran

timpani.14
Blok atau obstruksi pada telinga luar mungkin dapat mencegah suatu

penyamaan tekanan saat menyelam. Oleh karena itu, penutup telinga tidak boleh

digunakan saat menyelam. Gejala yang ditemukan dapat berupa perdarahan pada

telinga luar hingga perdarahan pada membran timpani. Tidak ada terapi spesifik

yang diperlukan dan penyelamam dapat dilakukan kembali ketika jaringan telah

sembuh.15

2. Barotrauma saat turun (Squeeze) Telinga Tengah


Barotrauma pada telinga tengah merupakan barotrauma yang paling umum.

Membran Timpani merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang

21
telinga tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar gendang

telinga, untuk menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan udara harus mencapai

bagian dalam dari gendang telinga, melalui tuba eustakius. Ketika tabung

eustakius ditutupi oleh mukosa, maka telinga tengah memenuhi empat syarat

terjadinya barotrauma (adanya gas dalam rongga, dinding yang kaku, ruang

tertutup, penetrasi pembuluh darah). 9,13


Pada saat seorang penyelam terus turun pada kedalaman, maka akan terjadi

ketidakseimbangan tekanan. Jika terjadi peningkatan tekanan maka gendang

telinga akan terdorong ke dalam, awalnya akan terjadi penekanan gas yang

berada pada telinga tengah, sehingga pada batasan tertentu terjadi tekanan pada

telinga tengah lebih rendah dari tekanan air diluar, menciptakan vakum relatif

dalam ruang telinga tengah. Tekanan negatif ini menyebabkan pembuluh darah

pada gendang telinga dan lapisan pertama telinga tengah akan terjadi kebocoran

dan akhirnya dapat pecah. Jika terus menurun, selain pecahnya gendang telinga

yang menyebabkan udara atau air dapat masuk kedalam telinga tengah untuk

menyamakan tekanan, dapat pula terjadi pecahnya pembuluh darah dan

menyebabkan perdarahan ke dalam telinga tengah untuk menyamakan tekanan.9,13


Gejala yang dapat ditemukan jika terjadi tekanan pada telinga tengah yaitu

nyeri akibat terjadi peregangan pada gendang telinga. Rasa sakit sering dirasakan

sebelum pecahnya gendang telinga. Gejala tersebut dapat sedikit berkurang

dengan berhenti untuk menyelam yang lebih dalam dan segera naik beberapa

meter secara perlahan. Jika penyelaman ke bawah terus berlanjut, meskipun ada

rasa sakit, dapat terjadi pecahnya gendang telinga. Ketika pecah terjadi, nyeri

akan berkurang dengan cepat. Kecuali penyelam memakai pakaian diving dengan

22
topi keras, rongga telinga tengah dapat terkena air ketika pecahnya gendang

telinga tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi telinga tengah, dan

disarankan agar tidak menyelam sampai kerusakan yang terjadi sembuh. Pada saat

membran timpani pecah, penyelam dapat tiba-tiba mengalami vertigo. Hal

tersebut dapat menyebabkan disorientasi, mual dan muntah.9,13


Vertigo ini terjadi akibat adanya gangguan dari maleus, inkus dan stapes, atau

dengan air dingin yang merangsang mekanisme keseimbangan telinga bagian

dalam. Barotrauma pada telinga tengah terjadi tidak harus disertai dengan

pecahnya membran timpani. 9,13

Gambar 11. Barotrauma saat turun (Squeeze) pada telinga tengah14


Masalah yang paling sering terjadi ketika penerbangan dan menyelam adalah

kegagalan dalam menyamakan tekanan antara telinga tengah dan tekanan

lingkungan. Persamaan tekanan terjadi melalui tuba eustakius, yang merupakan

jaringan lunak berbentuk tabung yang berasal dari belakang hidung hingga ruang

telinga tengah. Kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan kecepatan dari

perubahan tekanan lingkungan. Ketika penyelam menyelam hanya 2,6 kaki

dengan kesulitan menyamakan tekanan pada telinga tengahnya, membran timpani

23
dan tulang-tulang pendengaran akan tertarik, dan penyelam merasakan suatu

tekanan dan rasa nyeri. Pada tekanan yang lebih tinggi, tuba eustakius mungkin

tertutup oleh tekanan negatif dari telinga tengah. Hal ini dapat terjadi pada

kedalaman 3,9 kaki dibawah laut. Peningkatan yang lebih tinggi lagi dapat

menyebabkan ruptur membran timpani.14


Gejala dari barotrauma berupa nyeri dan ketulian. Tinnitus dan vertigo tidak

terlalu terlihat pada kasus ini. Tergantung pada luas cederanya, pada otoskopi

dapat terlihat injeksi pembuluh darah atau perdarahan pada membran timpani,

perforasi membran timpani, atau darah pada telinga tengah. Audiometri

memberikan suatu diagnosis tuli konduktif tanpa komponen sensorineural.

Pengobatan yang dilakukan adalah berdasarkan gejalanya. Dalam beberapa hari

hingga minggu, gejala menghilang dan penampilan membran timpani dapat

kembali normal.15
3. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Dalam
Terjadi bila pada saat penyelam naik ke permukaan dengan cepat sehingga

tekanan pada membran timpani diteruskan pada tingkap bulat dan lonjong

sehingga meningkatkan tekanan telinga dalam. Ruptur tingkap bulat dan lonjong

dapat terjadi dan mengakibatkan gangguan telinga dalam sehingga gejala yang

ditemukan adalah gangguan keseimbangan dan pendengaran seperti vertigo

persisten dan kehilangan pendengaran. 9,13


Gejala klinis yang biasa terjadi pada barotrauma telinga dalam yaitu adanya

tinnitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, adanya vertigo, mual dan muntah.

Kehilangan pendengaran juga dapat disebabkan oleh adanya emboli pada

pembuluh darah arteri labirin yang mensuplai darah pada koklea. Dimana fungsi

koklea sangat sensitif terhadap pembuluh darah yang memberi suplai ke koklea.

24
Adanya emboli pada arteri labirin yang mensuplai koklea akan mengganggu

fungsi dari koklea. Emboli, trombus, penurunan aliran darah atau vasospasme

pada pembuluh darah arteri labirin dapat menyebabkan kehilangan

pendengaran.2,16

Gambar 12. Barotrauma telinga dalam14


Cedera pada telinga dalam selama penyelaman dikaitkan dengan adanya

ketidakmampuan untuk menyamakan telinga tengah. Perubahan tekanan yang

tiba-tiba dan besar pada teling tengah dapat diteruskan ke telinga dalam,

meyebabkan kerusakan pada mekanisme telinga dalam dan dapat menimbulkan

vertigo berat dan ketulian. Terdapat dua mekanisme teori unutk menjelaskan

telinga dalam : implosif dan eksplosif. Pada teori implosif, tekanan diteruskan

melalui retraksi ke dalam membran timpani, menyebabkan tulang-tulang

pendengaran bergerak menuju telinga dalam pada tingkap lonjong. Tekanan ini

diteruskan ke telinga dalam dan menyebabkan pendorongan pada tingkap bundar.

Jika penyelam melakukan manuver politzer dan tuba eustakius terbuka secara

tiba-tiba, tekanan telinga tengah meningkat dengan sangat cepat.


Hal ini menyebabkan tulang pendengaran kembali ke posisi semula,

sehingga tingkap bundar rusak. Sedangkan pada teori ekslosif, penyelam tidak

dapat membuka tuba eustakius, sehingga tekanan intrakranial terus meningkat

selama penyelam melakukan manuver politzer. Karena cairan otak berhubungan

dengan cairan pada telinga dalam, maka tekanan ini akan diteruskan ke telinga

dalam, dan menyebabkan tingkap bundar ataupun tingkap lonjong telinga dalam

pecah.14,15
4. Barotrauma saat turun (Squeeze) Sinus Paranasalis
Barotrauma pada sinus terjadi bila pasase yang menghubungkan sinus dan

25
ruangan lainnya tertutup karena mukosa maupun jaringan. Gejala yang ditemukan

adalah adanya nyeri pada sinus yang terkena dan pendarahan dari hidung yang

berasal dari sinus yang terkena. 9,17


Barotrauma yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat

disebut reverse squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk

mengeluarkan isi dari ruangan untuk menyesuaikan tekanan. Overpressure

memiliki beberapa gejala yang berbeda dengan squeeze yaitu:


1. Barotrauma saat naik (Overpressure) Telinga Tengah
Pada overpressure telinga tengah, peregangan dan ruptur membran timpani

dapat terjadi dan mengakibatkan nyeri yang sama dengan squeeze. Sebagai

tambahan, dapat terjadi facial baroparesis dimana peningkatan tekanan

mengakibatkan kurangnya suplai darah pada nervus facialis karena tekanan pada

telinga tengah diteruskan ke os temporalis. Dibutuhkan overpressure selama 10

sampai 30 menit untuk gejala dapat terjadi, dan fungsi nervus facialis kembali ke

normal setelah 5 - 10 menit setelah penurunan overpressure. 9,13


2. Barotrauma saat naik (Overpressure) Sinus Paranasalis
Gejala pada overpressure sinus sama dengan squeeze pada sinus.9

Kedua mekanisme yang menyebabkan barotrauma telinga dalam akan

menyebabkan terbentuknya fistula perilimfatik. Tingkap bundar lebih sering

terkena dibandingkan tingkap lonjong, tetapi biasanya keduanya dapat ruptur.

Gejala berupa tinnitus, vertigo dengan mual dan muntah, hilang pendengaran,

akan muncul ketika menyelam. Biasanya barotrauma telinga tengah telah terjadi,

tetapi membran timpani mungkin terlihat normal. Tuli berupa tuli sensorineural,

diikuti oleh nistagmus dan tes fistula yang positif.18,19

2.6.3 Pemeriksaan fisis

26
Pemeriksaan fisis harus disesuaikan dengan riwayat pasien. Pemeriksaan

fisis secara umum harus dilakukan dengan menekankan pada telinga, sinus, dan

leher serta paru-paru, kardiovaskular, dan sistem neurologi. Inspeksi dan palpasi

ekstremitas, dan pergerakan sendi. Pada sinus, inspeksi mukosa nasal untuk polip,

perdarahan atau lesi. Palpasi dan transluminasi sinus untuk memeriksa adanya

perdarahan. Perkusi gigi atas dengan spatel untuk melihat adanya nyeri tekan pada

sinus.

Pada telinga inspeksi secara hati-hati membran timpani, lihat apakah ada

tanda-tanda: kongesti di sekitar umbo, berapa persen membran timpani yang

rusak, jumlah perdarahan di belakang gendang telinga, bukti ruptur membran

timpani. Pemeriksaan fisis dapat ditemukan retraksi, eritema, dan injeksi atau

perdarahan pada membran timpani. Gejala yang lebih berat berupa otitis,

hemotimpanum, dan perforasi membran timpani. Selama inspeksi pada telinga,

dapat ditemukan penonjolan ringan ke arah luar atau ke dalam dari gendang

telinga. Jika kondisi memberat, mungkin didapatkan darah atau memar di

belakang gendang telinga. Palpasi untuk mencari nyeri tekan pada tuba eustakius.
3,19,20

Kelainan membran timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan otoskopi.

Membran timpani tampak mengalami injeksi dengan pembentukan bleb

hemoragic atau adanya darah di belakang gendang telinga. Kadang-kadang

membran timpani akan mengalami perforasi. Bila gejala menetap setelah

perjalanan udara tersebut, biasanya tes garputala audiometrik akan menunjukkan

tuli konduktif ringan di telinga yang terkena. Periksa keseimbangan dan

27
pendengaran pasien. Serta mengevaluasi membran timpani berdasarkan skala

Teed:3

1. Teed 0 – tidak ada kerusakan yang terlihat, telinga normal

2. Teed 1– kongesti sekitar umbo, tampak hiperemis, pembuluh darah melebar

terjadi ketika perbedaan tekanan 2 pound/inci2 (PSI)

3. Teed 2 – kongesti seluruh membran timpani, hiperemis, edema pada membran

timpani, terjadi ketika perbedaan tekanan 2-3 PSI

4. Teed 3 – tampak bercak-bercak perdarahan pada membran timpani

5. Teed 4– terdapat darah di cavum timpani, menyebabkan membran timpani

terdorong keluar (bomban); darah yang terakumulasi pada cavum timpani

mendorong membran timpani hingga ruptur

6. Teed 5 – Terdapat darah yang banyak di meatus akustikus eksternus akibat

rupturnya membran timpani.

Gambar 13. Barotrauma otitik (hemotimpanum)21

Pada gambar di atas, membran timpani tampak kebiruan karena ada darah pada

telinga tengah. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memventilasi

28
telinga tengah yang diikuti oleh fungsi abnormal dari tuba eustakius. Barotrauma

otitik biasanya terjadi pada saat pesawat mendarat atau pada penyelam. Tidak ada

pengobatan khusus pada kasus ini. Jika terdapat infeksi yang terkait pada

pernafasan atas ataupun alergi, dekongestan dengan antihistamin mungkin dapat

membantu.21

2.6.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita barotrauma adalah

pemeriksaan lab berupa:2,3,4,18,19,22

1. Darah Lengkap

Pasien yang memiliki hematokrit lebih dari 48% memiliki sekuele

neurologis yang persisten selama 1 bulan setelah perlukaan.

2. Analisa Gas Darah

Untuk mengevaluasi gradien alveolus-arteri untuk mengetahui terjadinya

emboli gas.

3. Kadar Serum Creatinin Phosphokinase

Peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase menandakan peningkatan

kerusakan jaringan karena mikroemboli

4. Foto Thoraks dan CT Scan

Foto x-ray thorax jika pasien mengeluh adanya kesulitan bernafas.

Pemeriksaan penunjang lainnya berupa CT-Scan kepala untuk melihat apakah

terdapat embolisme udara pada otak.

5. PTA

29
PTA dilakukan untuk menentukan apakah terjadi tuli konduktif atau tuli

sensorineural.

6. Timpanometri

Timpanometri dilakukan untuk melihat apakah ada cairan di dalam cavum

timpani serta untuk melihat fungsi dari tuba

7. OAE

Untuk melihat apakah ada kerusakan di telinga dalam

2.7 PENATALAKSANAAN
Penanganan prehospital dapat dipertimbangkan termasuk menstabilkan ABC

dan mengkoreksi setiap kondisi yang dapat mengancam nyawa serta

mempertahankan oksigenase dan perfusi yang adekuat. Pasien harus diberi aliran

oksigen yang besar dan infus dengan akses vena yang besar untuk memelihara

tekanan darah dan nadi. Intubasi dapat dilakukan pada pasien dengan jalan nafas

yang tidak stabil atau hipoksia persisten meski dengan oksigen 100%. Pipa

torakostomi dapat dilakukan pada pneumotoraks atau hemotoraks. Needle

decompression dapat dilakukan bila dicurigai tension pneumotoraks. Kateterisasi

pasien dengan shok untuk memantau volume dan hidrasi pasien, juga pada pasien

DCS yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih karena kerusakan saraf

pada kandung kemih.3


Walaupun kasus-kasus ringan dapat diobati dengan menghirup 30% O2 pada

tekanan permukaan, pengobatan terpenting adalah rekompresi. Tiba di RUBT

maka rekompresi dengan 30% O2 dengan tekanan paling sedikit kedalaman 18

meter (2,8 ATA) adalah pilihan utama pada banyak kasus PD (Penyakit

Dekompresi). Bila sesudah 10 menit penderita belum sembuh sempurna, maka

30
terapi diperpanjang sampai 100 menit dengan diselingi tiap 20 menit bernapas 5

menit udara biasa. Setelah ini dilakukan dekompresi dari 18 meter ke 9 meter

selama 30 menit dan mengobservasi penderita. Selanjutnya penderita dinaikkan

kepermukaan selama 30 menit. Seluruh waktu pengobatan dapat berlangsung

kurang dari 5 jam. 9,10


Rekompresi mengurangi diameter gelembung sesuai Hukum Boyle dan ini

akan menghilangkan rasa sakit dan mengurangi kerusakan jaringan. Selanjutnya

gelembung larut kembali dalam plasma sesuai Hukum Henry. O2 yang digunakan

dalam terapi mempercepat sampai 10 kali pelarutan gelembung dan membantu

oksigenasi jaringan yang rusak dan iskemik. Dalam kasus darurat yang jauh dari

fasilitas RUBT dapat dilakukan rekompresi dalam air untuk mengobati PD

langsung ditempat. Rekompresi dilakukan pada kedalaman maksimum 9 meter

selama 30-60 menit.


Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan bila gejalanya kambuh,

tetaplah berada di kedalaman tersebut selama 30 menit sebelum meneruskan naik

kepermukaan. Setiba di permukaan, penderita diberi O2 selama 1 jam, kemudian

bernafas dengan udara selama 1 jam, demikian seterusnya hingga 12 jam.

Walaupun dapat dan telah dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan

menurunkan penyelam di dalam air untuk rekompresi, namun cara ini tidak dapat

dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderita tidak dapat menolong

dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medis bila ia memburuk dan

terbatasnya suplai gas. Oleh karena ini usaha untuk mengatasi PD sering kali tidak

berhasil dan malahan beberapa pebderita lebih memburuk keadaannya. Bila terjadi

tuli mendadak akibat oklusi arteri labirin, sebaiknya dilakukan terapi hiperbarik.

31
Interval waktu Antara saat kejadian dan gejala sangat penting dalam pemberian

terapi hiperbarik oksigen. 9,10,23


Terapi Oksigen hiperbarik pertamakali oleh Behnke 1930 digunakan untuk

rekompresi (mengembalikan tekanan) para penyelam untuk menghilangkan

simptom penyakit dekompresi (Caisson’s Disease) setelah menyelam. Penyakit

dekompresi adalah penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan. Misalnya saat

kita menyelam atau kalo kita naik pesawat terbang tekanan naik), akan terjadi

pelepasan dan mengembangnya gelembung2 gas dalam organ. Jika kita kembali

ke tekanan awal, maka akan terjadi perubahan tekanan yang dapat menganggu

fungsi beberapa organ tubuh / penyakit dekompresi.


Pemakaian Oksigen Hiperbarik dikembangkan sebagai komplemen terhadap

efek radiasi pada perawatan kanker oleh Churchill Davidson pada tahun 1950

selain dikenal sebagai perawatan penunjang selama pembedahan jantung,

perawatan gas gangrene klostridial, dan perawatan terhadap keracunan karbon

monoksida. Oksigen hiperbarik mulai dikenal untuk menunjang penyembuhan

luka pada tahun 1965 pada korban luka akibat ledakan pada tambang minyak

dengan keracunan karbon monoksida diketahui dengan penggunaan oksigen

hiperbarik, penyembuhan terjadi lebih cepat.


Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori

Toricelli yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm

adalah 760 mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara

yang terkandung di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2)

21%. Dalam pernafasan kita pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen

ruangan yang disediakan mengandung Oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga

32
berdasarkan teori fisika dasar dari hukum-hukum Dalton, Boyle, Charles dan

Henry.
Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya

O2 pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua

organisme. Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam

tubuh melalui cara pertukaran gas. Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri

dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi dan diffusi. Dengan kondisi tekanan

oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu

organisme mendapatkan kondisi yang optimal.


Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah terapi medis dimana pasien dalam

suatu ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau pada tekanan

barometer tinggi (hyperbaric chamber). Kondisi lingkungan dalam HBOT

bertekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam

jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu

menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang

dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan penyakit klinis.

Individu yang mendapat pengobatan HBOT adalah suatu keadaan individu yang

berada di dalam ruangan bertekanan tinggi ( 1 ATA) dan bernafas dengan oksigen

100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut sebesar 1 atm. Setiap penurunan

kedalaman 33 kaki, tekanan akan naik 1 atm. Seorang ahli terapi hiperbarik,

Laksma Dr. dr. M. Guritno S, SMHS, DEA yang telah mendalami ilmu oksigen

hiperbarik di Perancis selama 5 tahun menjelaskan bahwa terdapat dua jenis dari

terapi hiperbarik, efek mekanik dan fisiologis. Efek fisiologis dapat dijelaskan

melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke

33
jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma.

Mekanisme HBOT
HBOT memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel

endotel. Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet vaskuler

endotel growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH

yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis

proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada

proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.

Gambar 14. Alat yang digunakan pada Terapi Oksigen Hiperbarik


Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT

yaitu untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang

mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam

jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena

hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya

akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah

34
kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia.

Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan

VEGF. IFN- γ menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada B-cell

sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis

leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada luka,

HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema.

Gambar 15. Terapi Oksigen Hiperbarik


Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO2

100%, tekanan 2 – 3 Atm . Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan

decompresion sickness. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka,

hipoksia sekitar luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa

kolagen, rasio RNA/DNA, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang

menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan

dan perbaikan aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga

daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan

terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen

hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya pun cukup memuaskan, yaitu

penyembuhan jaringan luka. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien

35
dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena

buruknya perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di distal.


Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBOT adalah untuk mempercepat

penyembuhan penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis,

intoksikasi karbonmonoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang

sudah nekrotik, Skin graft dan flap, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.
Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90

dengan O2 intermitten akan mencegah keracunan O2. Menurut Paul Bert,

efeksamping biasanyaakan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual,

kedutan pada otot muka dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith,

efek samping bisamengenai paru-paru yaitu batuk, sesak dan nyeri substernal.
Perawatan HBOT berfungsi untuk :
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada

aliran darah yang berkurang


2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran

darah pada sirkulasi yang berkurang.


3. Menyebabkan pelebaran arteri rebound sehingga meningkatkan diameter

pembuluh darah, dibanding pada permulaan terapi.


4. Merangsang fungsi adaptif pada peningkatan superoxide dismutase (SOD),

merupakan salah satu anti oksidan dalam tubuh untuk pertahanan terhadap

radikal bebas dan bertujuan mengatasi infeksi dengan meningkatkan kerja sel

darah putih sebagai antibiotic pembunuh kuman.


Periode emas dari terbloknya pembuluh darah oleh thrombus atau emboli

yang dapat memberikan suatu disfungsi neurologik adalah 3 jam. Hal ini di

defenisikan sebagai periode reperfusi pertama. Periode reperfusi kedua dimulai

saat 3 sampai 5 jam setelah terjadi oklusi. Obat-obatan yang dapat diberikan

selama rekompresi adalah infuse cairan (dekstran, plasma) bila ada dehidrasi atau

36
syok, steroid (deksamethason) bila ada edema otak, obat anti pembekuan darah

(heparin), digitalis bila terjadi gagal jantung, anti oksidan (vitamin E, C, beta

karoten) untuk mengantisipasi pembekuan oksidan (radikal bebas) yang merusak

sel tubuh pada terapi oksigen hiperbarik. 9,10,23


Pada kasus yang tidak gawat darurat, pengobatan biasanya cukup dengan

cara konservatif saja, yaitu dengan memberikan dekongestan, menghindari

menyelam atau terbang sampai pasien dapat menyeimbangkan kembali fungsi

telinga tengah, atau dengan melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat

infeksi di jalan napas atas. Tetapi bila terdapat tanda-tanda ketulian dan vertigo,

pemberian steroid harus dimulai. Apabila cairan yang bercampur darah menetap di

telinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkan untuk tindakan

miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi (Grommet). 1,2,12


Antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi pula perforasi di dalam air

yang kotor. Pasien dilarang untuk menyelam sampai telinga tengah sembuh dan

pasien dapat dengan mudah menyesuaikan tekanan pada telinga tengah. Jika

terjadi perforasi, pasien harus menunggu hingga perforasi sembuh dan membran

timpani utuh kembali.1,2,12


Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membarana

nasalis dapat mengerut dengan semprotan dekongestan dan dapat diusahakan

menginflasi tuba eustakius dengan perasat politzer. Kemudian pasien diberikan

dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya selama 1-2 minggu atau

sampai gejala menghilang. Bila pasien menderita infeksi traktus respiratorius atas,

diindikasikan terapi serupa tetapi tuba eustakius tidak boleh diinflasi sampai

infeksi teratasi sempurna. Harus diberikan antibiotika bila terdapat faringitis atau

rhinitis bakterialis.

37
Pada keadaan yang jarang dengan perforasi membran timbani, biasanya

penyembuhan terjadi secara spontan, tetapi pasien dianjurkan diperiksa ulang dan

dicegah masuknya air ke dalam telinga sampai ia normal kembali. Bila pasien

tetap harus terbang dalam keadaan pilek, pasien dianjurkan minum preparat

dekongestan-antihistamin setengah jam sebalum berangkat dan selanjutnya setiap

3-4 jam pada penerbangan yang lama. Disamping itu ia dianjurkan membawa

inhaler propel heksedrin(bensedrex) dan menyedot 3-4 kali melalui tiap-tiap

lubang hidung tepat sebelum naiknya dan pada waktu mulai turunnya pesawat.22
Barotrauma sinus diterapi dengan dekongestan, oral dan nasal. Nyeri

dikontrol dengan NSAIDs atau obat analgesik narkotik. Pada barotrauma telinga

tengah, pengobatan didasarkan pada skala Teed. Untuk kasus ringan (Teed 0-2) :

dekongestan, nasal (0,05% oxymetazoline hydrochloride spray 2 kali sehari

selama 3 hari) dan oral (pseudoephedrine 60-120 mg dua atau tiga kali sehari).
Untuk kasus Sedang (Teed 3-4) pengobatan sama dengan diatas, tapi dapat

ditambahkan dengan oral steroid, seperti prednisone 60 mg/hari selama 6 hari lalu

diturunkan hingga 7-10 mg per hari. Jika membran timpani ruptur atau air

terkontaminasi, dapat diberi antibiotik sesuai dengan pengobatan otitis media

akut.Pada kasus berat (Teed 5) pengobatan sama seperti diatas. Dapat

dipertimbangkan miringotomi jika pengobatan gagal. Kontrol nyeri dengan

Tylenol dengan kodein (asetaminofen 300 mg dengan kodein fosfat 30 mg) 1-2

tablet setiap 4-6 jam.3,18


Dokter umum dapat mendiagnosa dan mengobati gangguan ini dengan

dekongestan dan manuver valsava. Kasus berulang memerlukan konsultasi dari

ahli THT, dengan opsi bedah miringotomi, meskipun kebanyakan kasus membaik

secara spontan.24

38
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk barotrauma adalah adanya infeksi pada telinga

ataupun pada sinus. Penyakit infeksi dapat berupa otitis eksterna, otitis media

maupun sinusitis. Pada barotrauma, gejala yang muncul disertai dengan adanya

riwayat perubahan tekanan yang dialami oleh penderita baik oleh karena

menyelam ataupun riwayat bepergian dengan pesawat terbang. Selain itu, pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda infeksi pada otitis

eksterna, otitis media maupun sinusitis.3

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin ditemukan berupa infeksi telinga akut, hilangnya

pendengaran, ruptur atau perforasi dari gendang telinga dan vertigo..20

2.10 PROGNOSIS

Kasus-kasus berat memerlukan waktu hingga 4-6 minggu untuk menyembuh,

tapi umumnya dapat sembuh dalam dua atau tiga hari. Barotrauma biasanya

sembuh sendiri. Hilangnya pendengaran sebagian besar bersifat temporer.2,20

2.11 PREVENTIF

Barotrauma dapat dicegah dengan menghindari terbang ataupun menyelam

pada waktu pilek dan menggunakan teknik pembuka tuba eustakius yang tepat.

Setiap kali akan naik ke permukaan, seorang penyelam harus melakukan

akualisasi pada jarak 5 meter untuk membuka tuba eustakius. Jika terasa nyeri,

agaknya tuba eustakius telah menciut. Yang harus dikerjakan jika ini terjadi pada

saat menyelam adalah hentikan menyelam atau naiklah beberapa kaki dan

mencoba menyeimbangkan tekanan kembali. Hal ini tidak dapat dilakukan jika

39
sedang terbang dalam pesawat komersial, maka perlu untuk mencegah penciutan

tuba eustakius. 2,12,21,24

Metode terbaik adalah dengan mulai melakukan maneuver pembuka tuba

eustakius dengan hati-hati beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Jika pasien

harus terbang dalam keadaan pilek, maka sebaiknya menggunakan dekongestan

semprot hidung atau oral.. Tindakan preventif terdiri atas nasal spray

vasokonstriktor 12 jam sebelum penerbangan, dekongestan oral dan mengunyah

permen karet ketika mendarat.2,12,21,24

Selain itu, usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu

mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsava, terutama sewaktu

pesawat terbang mulai turun untuk mendarat.1

BAB III

KESIMPULAN

Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat

yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara, yang diakibatkan oleh kegagalan

40
tuba eustachius untuk menyamakan tekanan dari bagian telinga tengah dengan

adekuat dan terjadi paling sering selama turun dari ketinggian atau naik dari

bawah air saat menyelam. Dapat terjadi saat menyelam dan saat penerbangan.

Manifestasi klinis yang timbul berupa nyeri pada telinga, rasa tidak nyaman pada

salah satu atau kedua telinga, penurunan pendengaran ringan, rasa penuh pada

telinga, pusing, hingga keluarnya cairan dari dalam telinga yang menunjukan

ruptur membran timpani.

Penatalaksanaan non medikamentosa pada kasus ini yaitu dengan mengunyah,

menelan, menghisap ataupun melakukan manuver Valsava untuk membuka tuba

eustakius. Sedangkan untuk medikamentosa dilakukan apabila penanganan

dengan non medikamentosa tidak berhasil dilakukan. Komplikasi yang dapat

terjadi yaitu infeksi telinga akut, hilangnya pendengaran, ruptur atau perforasi dari

gendang telinga dan vertigo. Pada kasus yang ringan prognosis akan lebih baik

karena kondisi ini dapat sembuh dalam 2-3 hari, namun pada kasus yang berat

dapat sembuh dalam 4-6 minggu.

ALGORITMA PENANGANAN BAROTRAUMA

Riwayat Penerbangan Gejala dan Tanda


atau Menyelam Barotrauma

41
Gawat Darurat Tidak Gawat Darurat

Manajemen Jalan
Melakukan manuver valsava
napas (A,B,C)
Menghindari menyelam atau
terbang sampai pasien
mampu menyeimbangkan
Melakukan
kembali telinga tengah
Rekompresi
Pemberian dekongestan
Apabila ada gejala vertigo
Apabila tuli perlu diberikan steroid.
mendadak

Lakukan tindakan
reperfusi

Terapi oksigen Terapi obat-obatan 3-5 jam


hiperbarik 3 jam berikutnya dengan:
pertama Infus cairan (dextran,
plasma) bila dehidrasi atau
syok
Steroid (dexametasone) bila
edema otak
Anti platelet (heparin)
Digitalis, bila terjadi gagal
jantung

DAFTAR PUSTAKA

42
1. Soepardi E, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2007. Hal. 10-13, 65

2. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.

1997. Hal. 90-2.

3. Kaplan J. Barotrauma.

http://www.emedicine.medscape.com/article/768618.htm (diakses tanggal 29

Juli 2015).

4. Safer, D. Barotrauma. Spain: EBSCO Publishing. 2011.

5. Aly, Rusly, dr. Barotrauma. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Universitas

Syiah Kuala. 2010;35-8.

6. Cummings, Charles W. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery

Fourth Edition. Maryland: Elsevier.2005.

7. Netter, F. Interactive Atlas Of Human Anatomy. England : Novahte. 2004. P.

215-26

8. Dosen Bagian Ilmu Penyakit THT. Anatomi Sinus Paranasalis. Medan: Bagian

Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2012;1-

13.

9. Edmonds, Carl MD, et al. Physics Diving Chapter 2 dalam Diving Medicine

for SCUBA Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013;

11-28.

43
10. Direction of Commander, Naval Sea Systems of Command. Mixed Gas

Surface Supplied Diving Operations in US Navy Diving Manual Revision 6.

2011; 180-199.

11. Ajeng, Darmafindi dan Indriawati Ratna. Pengaruh Frekuensi Penggunaan

Pesawat Terbang dengan Kejadian Barotrauma. Yogyakarta: Bagian Fisiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2011.;1-6.

12. Ballenger, JJ. Etc. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery.

USA: PMPH-USA. 2009. P. 215-6

13. Edmonds, Carl MD, et al. Ear Barotrauma Chapter 9 dalam Diving Medicine

for SCUBA Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013;

90-107.

14. Bentz, BG. Barotrauma. American Hearing Research Foundation. 2012

15. Becker, G. Medical Aspect of Scuba Diving. Current concepts in

otolaryngology. P. 40-54

16. Bailey, BT. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Londong : Lippincott

Williams & Wilkins . 2006. P.4-5

17. Edmonds, Carl MD, et al. Sinus Barotrauma Chapter 10 dalam Diving

Medicine for SCUBA Divers 5th Edition. Australia: National Library of

Australia. 2013; 108-112.

18. Mirza, S. etc. Otic Barotrauma from Air Travel. UK : The Journal of

Laryngology & Otology. 2005.

19. Lalwani, AK. Current Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and

Neck Surgery. 2nd Edition. NY: The McGraw Hill Companies. 2007. P. 57

44
20. MedlinePlus. Ear Barotrauma.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001064.htm (diakses tanggal

29 Juli 2015)

21. Metin, TO. Diagnosis in Othorhinolaryngology- An Illustrated Guide. Turkey :

Springer. 2009. P. 33

22. Andrianto P. Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 1993. Hal. 114-5

23. Zhang, JH.Oxygen Therapy in Ischemic Stroke.American Heart Association

Journal. 2003

24. Menner, AL. A Pocket Guide to The Ear. New York : Thieme Stuttgart. 2003.

P. 85

45

Anda mungkin juga menyukai