Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MAKALAH

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

BAROTRAUMA (AEROTITIS) PADA DESA NURUWE

Disusun oleh :

Jeams Trysky. Manuputty

NIM.2016-84-036

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas kasih dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat

dengan judul Barotrauma ini dengan baik. Makalah ini dibuat dalam rangka tugas

kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

Universitas Pattimura Ambon tahun 2018.

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun penulis harapkan, dan semoga referat

ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah

membantu penulis dalam penyelesaian penyusuna makalah ini.

Ambon, November 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Barotrauma yaitu kerusakan jaringan tubuh yang berongga dan terisi udara,

seperti telinga tengah dan sinus, akibat perubahan tekanan barometrik yang terjadi

pada saat menyelam ataupun pada saat terbang. Tubuh manusia mengandung gas

dan udara dalam jumlah yang signifikan. Beberapa diantaranya larut dalam cairan

tubuh. Udara sebagai gas bebas yang terdapat di rongga tubuh volumenya akan

bertambah dengan bertambahnya ketinggian.[1]

Ekspansi gas yang terperangkap di dalam sinus bisa menyebabkan sakit

kepala, ekspansi gas yang terperangkap dalam telinga tengah bisa menyebabkan

nyeri telinga, dan perasaan kembung atau penuh pada perut jika ekspansi gas terjadi

di saluran pencernaan.[1] Barotrauma telinga tengah adalah cedera yang paling

sering ditemukan pada penyelaman dan terbang. Hal ini terutama karena

terdapatnya fungsi ventilasi tuba Eustachius. Dikenal dua bentuk barotrauma

telinga yaitu barotrauma telinga waktu turun (descent) dan barotrauma telinga

waktu naik (ascent).[2]

Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki pertama di bawah air setara

dengan perubahan tekanan pada ketinggian 18.000 kaki diatas bumi. Dengan

demikian, perubahan tekanan lingkungan terjadi lebih cepat pada saat menyelam

dibandingkan dengan saat terbang. Hal ini dapat menjelaskan relatif tingginya

insiden barotrauma pada telinga tengah pada saat menyelam.[4,5,15] Barotrauma

telinga tengah terjadi pada 30% penyelam pemula dan 10% pada penyelam

3
berpengalaman.[5] Kecepatan dan besarnya perubahan tekanan berpengaruh

terhadap terjadinya barotrauma. Makin cepat perubahan tekanan yang terjadi dan

makin besar perbedaan tekanan yang ada, maka makin mudah barotrauma

terjadi.[4,6]

Goplen et al [7] melakukan penelitian di Statens dykkerskole (Norwegian State

Diving Schol) menemukan 17 (36%) dari 47 penyelam mengalami barotrauma

telinga tengah. Di Indonesia, Prasetyo et al[2] menemukan angka kejadian

barotrauma pada penyelam tradisional di banyuwangi sebanyak 32,4% (24 orang)

dari 74 orang penyelam, dengan barotruma telinga tengah sebanyak 83,3%. Derajat

barotrauma berdasarkan pemeriksaan telinga terbanyak pada derajat 1 (75%) dan

derajat 0 (12,5%), derajat 2 (12,5%), derajat 3-5 presentasenya nol. Sedangkan

Pitoyo et al[6] melakukan penelitian pada calon penerbang di Jakarta dan

mendapatkan angka kejadian barotrauma sebesar 48,64% (18 orang) dari 37

sampel. Derajat barotrauma paling banyak pada derajat 1 sebanyak 12 telinga

(16,2%) dan di ikuti dengan derajat 4 sebanyak 8 telinga (10,8%), derajat 2

sebanyak 4 telinga (5,4%), dan derajat 3 sebanyak 1 telinga (1,4%), sedangkan

yang tidak mengalami barotrauma pada derajat 0 sebanyak 49 (66,2%).

1.2. Tujuan

Mengingat insiden yang cukup tinggi tersebut maka referat ini bertujuan

untuk mengetahui mengenai barotrauma, definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis

serta diagnosis, bagaimana penatalaksaannya serta pencegahan dari barotrauma.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


Secara umum telinga terbagi atas tiga bagian yaitu: telinga luar, telinga tengah

dan telinga dalam.[3]

Gambar 2.1. Anatomi Telinga [8]

1. Telinga Luar [3]

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai

membran timpani.

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga

berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,

sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.

Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm.

5
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat

terdapat pada seluruh kulit liang telinga.

Pada dua pertiga bagian dalam hanya terdapat sedikit kelenjar

serumen.

2. Telinga tengah[3]

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

1. Batas luar : membran timpani

2. Batas depan : tuba eustachius

3. Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

4. Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

5. Batas atas : tegmen timpani (meningen / otak)

6. Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,

tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan

promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah

liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas

disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars

tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar

ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel

kubus bersilia, seperti epitel saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis

lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat

6
elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkular pada bagian

dalam.[3]

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani

disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of

light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan

pukul 5 untuk membran timpani kanan. Terdapat dua macam serabut di

membran timpani, sirkular dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan

timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.[3]

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang

tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.[3]

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.

Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat

pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap

lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang

pendengaran merupakan persendian.[3]

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini

terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah

dengan mastoid.[3]

Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.[3]

7
Gambar 2.2. Anatomi telinga tengah[8]

3. Telinga dalam[3]

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak

koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan

skala vestibuli. [3]

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea

tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala

media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,

sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di

perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah

membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. [3]

8
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut

membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri

dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk

organ Corti. [3]

Gambar 2.3. Anatomi telinga dalam [8]

2.2. Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang mengamplifikasi getaran

melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran

timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan

diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada

skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

9
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion

terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmiter

ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu

dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di

lobus temporalis.[1,3]

2.3 Barotrauma telinga tengah

2.3.1 Defenisi

Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan untuk

menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti telinga

tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan

pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga,

wajah (sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di

dalamnya. Barotrauma pada telinga adalah keadaan dengan terjadinya perubahan

tekanan yang tiba-tiba diluar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau saat

menyelam yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka.[1,3,6,11]

Hukum Boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada

tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan) suatu

volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur,

maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi ataupun kompresi. Barotrauma

dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-

10
paru) menjadi ruang tertutup dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi

normal.[1,11,15]

2.3.2 Epidemiologi

Barotrauma memiliki prevalensi tertinggi pada masalah kesehatan yang

berhubungan dengan penerbangan dan telah menjadi salah satu faktor dari

kecelakaan penerbangan. Sekitar 65% dari anak-anak dan 46% dari orang dewasa

melaporkan adanya rasa tidak nyaman atau nyeri di telinganya saat penerbangan.

Insiden dari barotrauma pada penerbang yang sehat mencapai 1,9-9%. Dalam satu

penerbangan, 31% merasakan adanya rasa tidak nyaman di telinganya saat takeoff

dan 85% saat landing.[9] Tingginya jumlah penumpang yang bepergian dengan

menggunakan pesawat menyebabkan banyaknya orang yang berisiko mengalami

barotrauma. Barotrauma telinga tengah juga merupakan cedera terbanyak yang

dialami saat menyelam. Sekitar 30% terjadi saat menyelam pertama kali dan 10%

terjadi pada penyelam yang sudah sering melakukan penyelaman. Pada penelitian

penyelam tradisional (penyelam yang menggunakan kompresor udara) di

kepulauan Seribu, pulau Panggang dan pulau Pramuka tahun 1994-1996 didapatkan

28 orang mengalami barotrauma telinga, 19 orang mengalami penyakit dekompresi

tipe I dan II, serta 23 orang menunjukkan osteonekrosis disbarik. Penelitian Kartono

13 pada nelayan penyelam di pulau Karimun Jawa tahun 2007 menyebutkan

barotrauma yang paling banyak terjadi adalah gangguan pendengaran 43,2%,

gangguan saluran hidung 16,9% dan gangguan paru 14,9%. Data yang dikumpulkan

Dit Sepim Kesma Depkes sampai dengan tahun 2008, dari 1.026 penyelam

ditemukan 93,9% penyelam pernah menderita gejala awal penyakit penyelaman,

11
yaitu sebanyak 29,8% menderita nyeri sendi, 39,5% menderita gangguan

pendengaran dan 10,3% menderita kelumpuhan.[2,10]

2.3.3 Patofisiologi

Dalam keadaan normal, tuba Eustachius membantu menjaga agar tekanan di

kedua tempat tersebut tetap sama dengan cara membiarkan udara dari luar masuk

ke telinga tengah atau sebaliknya. Untuk memelihara tekanan yang sama pada

kedua sisi dari gendang telinga yang intak, diperlukan fungsi tuba yang normal. Jika

tuba Eustachius tersumbat, tekanan udara di dalam telinga tengah berbeda dari

tekanan di luar gendang telinga, menyebabkan barotrauma.[1,4,11,12,13]

Barotrauma telinga tengah terjadi akibat kegagalan tuba eustachius untuk

menyamakan tekanan antara telinga tengah dan lingkungan saat terjadi perubahan

tekanan. Kecepatan dan besarnya perubahan tekanan berpengaruh terhadap

terjadinya barotrauma. Makin cepat perubahan tekanan yang terjadi dan makin

besar perbedaan tekanan yang ada, maka makin mudah barotrauma terjadi. Faktor-

faktor yang dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba adalah adanya proses infeksi

saluran napas atas seperti rinitis, sinusitis, faringitis, hipertrofi adenoid dan infeksi

telinga tengah, adanya riwayat alergi, sumbatan jalan napas seperti septum deviasi

dan massa tumor pada daerah telinga, hidung dan tenggorok dan hal lain yang juga

penting adalah perasat Toynbee dan Valsava yang dilakukan kurang optimal.[1,4,6]

Barotrauma dapat terjadi pada waktu seseorang menyelam turun (descend),

maupun pada waktu naik (ascent). Maka berdasarkan patogenesanya dikenal:

a) Barotrauma waktu turun

12
Barotrauma waktu turun saat pesawat landing, tekanan atmosfer

kembali ke normal. Karena itu, udara di telinga tengah akan berkurang. Pada

proses ini udara tidak secara pasif memasuki telinga tengah. Hal inilah yang

menyebabkan barotrauma lebih sering terjadi saat pesawat atau penyelam

turun. Untuk membuka tuba diperlukan aktifitas dari otot dengan cara

menguap atau menelan. Tuba juga bisa dibuka dengan melakukan perasat

Valsava.[1,12,13]

Pada perbedaan tekananan 60 mmHg dimana tekanan atmosfer lebih

tinggi dibandingkan tekanan telinga tengah akan timbul rasa penuh pada

telinga tengah dan penumpang akan merasakan rasa tidak nyaman di

telinganya. Saat perbedaan tekanan 80 mmHg, ujung jaringan lunak

nasofaring akan tertutup dengan tekanan yang lebih besar dari kekuatan otot

untuk membuka tuba. Hal itu akan menyebabkan tuba tetap tertutup dan usaha

untuk menyeimbangkan tekanan sia-sia. Lebih dari ini, perubahan

patofisilogi dari barotrauma akan terjadi. Perbedaan tekanan yang

menyebabkan terjadinya proses penutupan tuba ini berbeda-beda tiap

individu, tergantung dari kekuatan otot dilator tuba masing-masing.[12,13,14]

Jika perbedaan tekanan mencapai 100-500 mmHg, membran timpani

akan ruptur dan biasanya menyebabkan hilangnya rasa sakit dan tekanan pada

telinga namun dapat menyebabkan gejala lanjutan berupa tuli, vertigo, dan

muntah. King melaporkan bahwa 4,2% membran timpani ruptur pada 897

telinga yang mengalami barotrauma. Sebagian besar perforasi tersebut dapat

menutup spontan.[8] Peristiwa barotrauma akibat turun ini dikenal juga sebagai

13
“Sequeeze”. Jadi sequeeze umumnya terjadi pada waktu seseorang penyelam

turun dan mendapatkan pertambahan tekanan.

b) Barotrauma waktu naik

Saat pesawat naik, tekanan atmosfer turun dan udara di telinga tengah

akan mengembang sesuai dengan hukum Boyle. Jika tuba Eustachius tidak

terbuka, seperti contohnya saat sedang menelan, udara di telinga tengah,

dengan tekanannya yang relatif positif, akan terus mengembang sampai

membran timpani terdorong ke lateral. Tuba Eustachius yang normal akan

membuka secara pasif pada perbedaan tekanan 15 mmHg dan melepaskan

tekanan udara positif sehingga menyeimbangkan tekanan udara di telinga

tengah. Proses pelepasan tekanan secara pasif ini jarang menjadi masalah saat

penerbangan dan hanya timbul setiap peningkatan ketinggian 122 m. Namun

jika tuba Eustachius terganggu akan terdapat rasa tidak nyaman dan nyeri di

telinga saat proses tersebut terjadi.[ 1,9,12,13]

Barotrauma macam ini umumnya menimbulkan nyeri mendadak akibat

kenaikan tekanan dalam rongga dan terdapat bahaya terjadinya emboli vena.

Barotrauma yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat

disebut reverse squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk

mengeluarkan isi dari ruangan untuk menyesuaikan tekanan.[12]

14
Gambar 2.4. Patofisiologi barotrauma[11]

Barotrauma auris waktu turun dan naik ini masing-masing juga dibagi

lagi menurut anatomi telinga yang kita kenal sebagai: [15,16]

 Barotrauma auris eksterna

Karena auris eksterna berhubungan dengan dunia luar, maka pada

waktu turun air dapat masuk kedalam meatus akustikus eksternus. Bila meatus

akustikus eksternus tertutup, air tak dapat masuk dan terdapat udara yang

terperangkap dalam kanalis akustikus eksternus. Pada waktu tekanan

bertambah, udara yang terperangkap didalam tidak mungkin dapat

menyamakan tekanan dengan membuat kolaps kanalis akustikus eksternus.

Hal ini berakibat terjadinya kongesti. Perdarahan dalam kanalis akustikus

eksternus serta tertariknya membran timpani ke lateral. Peristiwa ini mulai

terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan air dan tekanan udara dalam rongga

kanalis akustikus eksternus sebesar ±150 mmHg atau lebih (sedalam selama

1,5- 2 meter). [15,16]

Sebaliknya ketika pada waktu naik, sesuai dengan hukum Boyle akan

terjadi pengembangan volume udara dalam rongga-rongga tubuh. Secara

15
fisiologis pengembangan udara dalam kavum timpani dapat disalurkan ke

nasofaring lewat tuba eustachius. Tekanan positif dalam kavum timpani akan

membuka tuba eustachius tanpa kesulitan. Bila mana pada waktu naik tuba

eustachii tidak mau membuka, udara yang mengembang dalam kavum

timpani akan terperangkap dan meningkatkan tekanan dalam kavum timpani.


[10]

 Barotrauma auris media

Barotrauma auris media waktu turun adalah yang paling sering dialami

oleh para penyelam, terutama para pemula. Barotrauma ini biasanya dialami

pada kedalaman 10 meter pertama, sesuai dengan hukum Boyle didaerah

tersebut terjadi perubahan tekanan udara yang terbesar. Kavum timpani

dipisahkan dari auris eksterna oleh membran timpani. [15,16]

Kavum timpani mempunyai hubungan dengan dunia luar (nasofaring)

lewat tuba eustachius. Dalam keadaan normal tuba eustachii merupakan satu-

satunya saluran untuk fungsi ekualisasi tekanan udara dalam kavum timpani

dengan tekanan udara disekelilingnya. [15,16]

Secara fisiologis memompakan udara dari nasofaring lewat tuba

kedalam kavum timpani adalah lebih sulit daripada mengeluarkan udara dari

kavum timpani ke nasofaring. Dengan demikian ekualisasi auris media pada

waktu turun adalah lebih sulit dari pada waktu naik. Ini disebabkan adanya

valve action dari muara tuba di daerah nasofaring yang normalnya menutup.
[15,16]

 Barotrauma auris interna

16
Barotrauma ini biasanya adalah komplikasi dari barotrauma auris media

waktu turun, karena melakukan manuver valsava yang terlalu dipaksakan,

tekanan akan meningkat ketika turun membran timpani terdorong kearah

kavum timpani. Hal ini menyebabkan footplate dari stapes terdorong

kedalam, yang selanjutnya menekan perilimfe dan mengakibatkan membran

foramen rotundum terdorong ke luar. [10]

Bila pada saat itu penyelam melakukan manuver valsava dengan keras,

maka tekanan didalam kavum timpani akan meningkat dengan cepat, dan

membran timpani akan kembali ke posisi normal dengan cepat, dan stapes

akan tertarik keluar dan membran foramen rotundum akan terdorong

kedalam. Aliran balik (reversed flog) dari perilimfe tidak secepat aliran akibat

dari tekanan yang terjadi. Hal ini mengakibatkan ruptura dari membran

foramen rotundum yang berakibat bocornya cairan perilimfe. [15,16]

2.3.4 Gejala

Gejala-gejala barotrauma telinga tengah termasuk nyeri, rasa penuh dan

berkurangnya pendengaran. Diagnosis dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga

tampak mengalami injeksi dengan pembentukan bleb hemoragik atau adanya darah

di belakang gendang telinga. Kadang-kadang membran timpani akan mengalami

perforasi. Dapat disertai gangguan pendengaran konduktif ringan. [15,16]

Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorineural

adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tidak

jarang menimbulkan kerusakan telinga dalam yang merupakan masalah serius dan

mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah kehilangan pendengaran yang

17
menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan barotrauma

harus menjalani uji pendengaran dengan rangkaian penala untuk memastikan

bahwa gangguan pendengaran bersifat konduktif dan bukannya sensorineural.

episode-episode vertigo singkat yang terjadi saat naik atau turun disebut vertigo

alternobarik. Hal ini sering dikeluhkan dan lazim menyertai barotrauma telinga

tengah. Selama vertigo dapat mereda dalam beberapa detik, tidak diperlukan

pengobatan ataupun evaluasi lebih lanjut. [15,16]

Gejala barotrauma dapat dibagi berdasarkan letak kelainan pada telinga.

 Barotrauma auris eksterna: [15]

1) Perdarahan berupa ptechie

2) Perdarahan sub kutan

3) Mungkin kongesti pembuluh darah pada membran timpani bila

perdarahan sub kutan besar.

 Barotrauma auris media: [15]

1) Nyeri yang bervariasi intensitasnya pada telinga yang terkena

barotrauma.

2) Kadang-kadang dijumpai darah disekitar hidung atau mulut akibat

perdarahan dari kavum timpani yang terdorong waktu naik.

3) Perasaan buntu/ tuli.

Biasanya berupa tuli konduksi ringan sementara akibat gangguan pada

tulang-tulang pendengaran dalam kavum timpani. Dan bisa diharapkan

kesembuhan dalam waktu 1 minggu. [15]

 Barotrauma auris interna: [15]

18
1) Perasaan buntu (Blokade)

2) Ketulian tipe sensori

Ketulian ini bisa total atau hanya pada frekuensi tinggi (4000- 8000 Hz).

Juga ketulian ini dapat terjadi seketika atau perlahan-lahan.

3) Tinnitus

4) Gejala-gejala gangguan vestibular seperti vertigo, ataksia, dan

disorientasi.

2.3.5 Diagnosis

1. Anamnesis [1,4,9,10,15,16,17]

Pada anamnesis umumnya didapatkan adanya keluhan pasien berupa rasa

nyeri pada telinga, autofoni, perasaan ada air dalam telinga, penurunan

pendengaran, tinnitus, sakit kepala, mual, muntah dan vertigo, yang terjadi

setelah menyelam atau penerbangan dimana terdapat perubahan cepat pada

tekanan lingkungan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi membran timpani dengan otoskop. Untuk evaluasi membran

timpani digunakan Skala Teed : [2,6,9,13,15]

1. Derajat I : eritema pada pars flaksida

2. Derajat II : eritema pada seluruh bagian membran timpani

3. Derajat III : hematom pada membran timpani

4. Derajat IV : hematotympanum

5. Derajat V : ruptur membran timpani

19
Gambar 2.5. Skala Teed untuk derajat barotrauma telinga tengah [18]

b. Tes pendengaran

Semua orang yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan

barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rangkaian penala

untuk memastikan jenis gangguan pendengarannya apakah konduktif

jika hanya terbatas pada telinga tengah atau sensorineural jika telah

mengenai telinga dalam.[1,3,16]

c. Tes fistula

Tes fistula ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan (fistula)

antara telinga tengah dengan telinga dalam.Caranya adalah dengan

memberikan tekanan positif dan negatif pada membran timpani yang

intak dengan menggunakan otoskop pneumatisasi atau otoskop Siegel.

20
Dikatakan tes fistula ini positif jika terjadi nistagmus. Pada fistula

membran foramen maka akan tampak nistagmus yang ringan dengan durasi

yang cepat. [3]

d. Pemeriksaan penunjang

 Audiometri nada murni[3]

Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan audiometer untuk

menentukan dengan pasti jenis dan derajat ketulian. Pasien akan

mendengar nada murni yang diberikan pada frekuensi yang berbeda

melalui sebuah headphone. Intensitas nada berangsur-angsur

dikurangi sampai ambang dengar yaitu titik dimana suara terkecil

dapat didengar dan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam decibel dan

dimasukkan ke dalam bentuk audiogram.

Hasil pemeriksaan dapat menentukan bahwa terjadi tuli konduktif,

sensorineural atau campuran, bergantung pada lokasi barotrauma serta

derajat ketulian, apakah tuli ringan (>25-40dB), sedang (>40-55db),

berat (>70-90dB) atau tuli sangat berat (>90dB).

 Timpanometri [3,6,9]

Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk menilai kondisi telinga tengah

yakni kelenturan membran timpani dan fungsi tuba. Gambaran

timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di

telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran

konduktif. Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang

pada liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga

21
berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh

gendang telinga.

Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu tipe A (Normal), AD

(diskontinuitas tulang-tulang pendengaran), As (kekakuan rangkaian

tulang pendengaran), B (cairan di dalam telinga tengah) dan tipe C

(gangguan fungsi tuba eustachius).

 Pencitraan

Pemeriksaan penunjang ini dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan adanya tumor nasofaring atau sinusitis. Pencitraan

menggunakaan High resolution computerized tomography (HRCT)

merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat

memperlihatkan hemotympanum pada telinga tengah dan fistula pada

labirin karena potongan CT scan yang tipis (<1mm). Normalnya,

daerah tersebut merupakan ruangan berisi udara dan tampak hipodens

pada CT Scan. Jika daerah tersebut tampak hiperdens maka dapat

simpulkan bahwa terdapat cairan di area tersebut dan diagnosis dapat

ditegakkan.[19]

22
Gambar 2.6. CT scan mastoid[19]

Keterangan : bilateral hiperdens pada cavum timpani (panah putih)

2.3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding barotrauma meliputi fistula periliymphe kongenital atau

didapat karena trauma yang lain, fraktur tulang temporal, penyakit dekompresi

telinga dalam dan otitis media akut.[11]

2.3.6 Penatalaksanaan

Untuk mengurangi nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, pertama-

tama yang perlu dilakukan adalah berusaha untuk membuka tuba Eustachius dan

mengurangi tekanan dengan mengunyah permen karet, menguap, pemberiana

dekongestan atau melakukan perasat Valsava selama tidak ada infeksi saluran nafas

atas .[3,20] Saat seseorang sudah berada di darat dan masih terdapat keluhan

telinganya terasa penuh walaupun belum terdapat transudat, maka ventilasi yang

adekuat harus segera diberikan. Politzerisation biasanya dapat menjadi ventilasi

23
yang adekuat jika dengan Valsava tidak berhasil. Cara melakukan perasat politzer

yakni satu lubang hidung dimasukkan kateter yang ujungnya dihubungkan dengan

kantung udara, sedangkan lubang hidung yang lain ditekan dengan jari. Pasien

diminta menyebutkan huruf K atau kokakola saat udara dimasukkan ke dalam

lubang hidung. Jika positif, peningkatan tekanan di nasofaring dialirkan ke telinga

tengah. Jika belum berhasil sebaiknya diulang lagi beberapa hari kemudian sampai

ventilasi yang optimal tercapai.[9,20]

Pada kasus yang ringan, NSAID atau steroid digunakan untuk mengurangi

edema mukosa tuba eustachius dan meredakan nyeri. Antibiotik pada kasus

perdarahan atau perforasi membran timpani juga dapat diberikan agar mencegah

infeksi pada telinga tengah.[9,13,16,17] Perforasi pada membran timpani dapat tertutup

dengan spontan, jika diobservasi perforasi tersebut tidak kunjung sembuh maka

dapat dilakukan timpanoplasty.[5,9,13,16,17]

Apabila ada cairan atau cairan yang bercampur darah menetap pada telinga

tengah sampai beberapa minggu maka dianjurkan untuk tindakan miringotomi dan

bila perlu memasang pipa ventilasi.[3,9]

2.3.7 Pencegahan

Selama dalam pajanan perubahan tekanan atmosfer, seseorang harus

melakukan gerakan-gerakan fisiologis seperti menelan atau menguap jika telinga

mulai terasa penuh. Jika gerakan tersebut gagal menghilangkan keluhan, maka

seseorang harus melakukan perasat Valsava selama tidak ada infeksi saluran nafas

atas.[1,9,20] Teknik ini paling sering digunakan karena mudah dan efektif. Dilakukan

dengan cara meniupkan dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet serta

24
mulut ditutup. Hal ini menimbulkan tekanan di faring, memaksa udara masuk ke

cavum telinga tengah lewat tuba Eustachius yang terbuka. Perasat ini tidak boleh

dilakukan apabila terdapat infeksi saluran pernapasan atas. [1,3,9,10,20]

Kelemahan dari teknik Valsava adalah bahwa jika digunakan terlalu kuat dan

tiba-tba, secara teoritis kemungkinan bahwa telinga bagian dalam dapat rusak.

Kelemahan lain adalah bahwa hidung harus di tekan menggunakan jari tangan, hal

ini tidak mudah dilakukan oleh penyelam yang menggunakan helm atau masker.
[1,3,9,10,20]

Perasat tonybee: perasat ini dilakukan dengan cara menelan ludah sambil

hidung dipencet serta mulut ditutup. Tuba Eustachius akan terbuka, memungkinkan

udara untuk memasuki atau meninggalkan telinga tengah. Tuba Eustachius terbuka

hanya sebentar dengan manuver ini dan hal itu menyebabkan tekanan negatif di

faring, sehingga hanya sejumlah kecil udara dapat masuk ke dalam cavum telinga

tengah. Akibatnya, manuver ini tidak seefektif manuver Valsava. [1,3,9,10,20,21]

Infeksi saluran pernapasan atas yang menyebakan disfungsi tuba eustachius

merupakan faktor predisposisi terjadi barotrauma. Pencegahannya yakni tidak

menyelam atau berpergian dengan pesawat. Beberapa obat telah digunakan untuk

memfasilitasi equalisasi ketika terdapat gangguan yakni vasokonstriktor hidung

seperti penylephrine dan oxymetazoline. Beberapa obat-obatan oral seperti

pseudoephedrine memiliki efek yang sama.[9,10,11]

Seorang yang memiliki faktor-faktor predisposisi suatu gangguan fungsi tuba

seperti penderita infeksi atau alergi hidung dan tenggorokan, sebaiknya sesaat

sebelum melakukan penerbangan atau mengikuti simulasi dalam ruang bertekanan,

25
menyemprotkan ke setiap sisi hidung dengan dekongestan topikal, lalu beberapa

menit kemudian dilakukan penyemprotan ulang. Sebaiknya dekongestan tersebut

dapat mencapai daerah nasofaring, sehingga efek vasokonstriksi dapat diperoleh.[20]

2.3.8 Komplikasi [11]

Infeksi bakteri pada telinga tengah dapat terjadi melalui peforasi membran

timpani atau lewat jalur tuba eustachius yang mengalami edema pada mukosa dan

produksi sekret berlebih. Keterlibatan telinga dalam lewat ruptur membran foramen

dapat menyebabkan disfungsi cochleovestibular yang permanen.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Boies LR, Higler Effendi H editors. Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC. 1997: 90-2.
2. Prasetyo A.T, Soemantri BJ, Lukmantya. Pengaruh Kedalaman dan Lama
Menyelam Terhadap Ambang-Dengar Penyelam Tradisional Dengan
Barotruma Telinga. ORLI Vol. 42 No. 2 .2012.
3. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012
4. Fyntanaki O, Alevitsovitis G, Angelakis L, Moutevelis V. Acute Barotitis
Media in Flight: Pathophysiology, Symptoms, Prevention, Treatment.
Balkan Military Medical Review. 2013;16(1): 50-55
5. Lynch JH, Bove AA. Diving Medicine : A review of current evidence :
Clinical Review. JABFM. 2009;22(4)399-407
6. Pitoyo Y, Bashiruddin J, Hafil AF, Haksono H, Bardosono S. Hubungan
nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma pada calon
penerbang. Divisi Neurotologi Departemen THT FKUI-RSCM. 2009
7. Goplen FK, Gronning M, Aasen T, Nordahl SHG. Vestibular effects of
diving – a 6-year prospective study.Occ Med J. 2010;60:43-48
8. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. Ed.13.
Hoboken: John Wiley & Sons, 2012
9. Mirza S, Richardson H. Otic barotrauma from air travel. The J of Laryngol
& Otology, UK. 2005; 119:366.
10. Edmonds, Carl MD, et al. Physics Diving Chapter 2 dalam Diving Medicine
for SCUBA Divers 5 th Edition. Australia: National Library of Australia.
11. Grever G, Probst R, Iro H. Basic Otolaryngology: Step by step learning.
Thieme Medical Publisher Inc: New York. 2006;6,154-231
12. Kanick SC, Doyle WJ. Barotrauma during air travel: predictions of a
mathematical model. J Appl Physiol. 2005;98:1592-1602.

27
13. Koriwchak MJ, Werkhaven JA. Middle ear barotrauma in scuba divers.
Vanderbilt university medical center USA. 1994; 389-398
14. Becker GD, Parel. GJ. Barotrauma Of The Ears And Sinuses After Scuba
Diving. Eur Arch Otorhinolaryngol (2001) 258:159-163
15. Abshor U. Pengaruh barotrauma auris terhadap gangguan pendengaran pada
nelayan penyelam di Kecamatan puger Kabupaten Jember. Fakultas
Kedokteran Universitas Jember. 2008
16. Bentz BG, Hughes CA. Barotrauma. [Serial Online]. 2016. [Cited 2016
November 24]; [5 screens] Available from URL: http://american-
hearing.org/disorders/barotrauma/
17. Azizi MH. Ear disorders in scuba divers. The Int J of Occ and Enviro Med,
Iran. 2011;2:1,20-7,
18. Hyperbaric information. Teed Scale for describing the severity of otologic
barotrauma. [Serial online] [2016 November 24] Avaliable from :
http://www.hyperbaricinformation.com/HBO-Articles/Ear-Clearing-
Barotrauma/TEED-SCALE-for-Describing-the-Severity-of-Otologic-
Barotraum.pdf
19. Balatsouras D, Dimitropoulos P, Fasolis A, Kloutsos G, Economou NC,
Korres S, Kaberos A. Bilateral spontaneous hemotympanum : case report.
Head and Face Med J, 2006;2(31)1-4
20. Devine JA, Rock PB, Cymerman A. The use of tympanometry to detect
aerotitis media in hypobaric chamber operations. Aviation, Space, and
Environment Med. 1990:251-5.
21. Evens RA, Bardsley B, Manchaiah VKC. Auditory complaints in scuba
divers : an overview. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg, 2011;64(1)72-
7

28

Anda mungkin juga menyukai