Anda di halaman 1dari 62

Hasil Penelitian

KARAKTERISASI SENSOR SUHU TUBUH DAN KONTRAKSI OTOT


BERBASIS SERAT OPTIK POLIMER

KIKI RIZKIYAH AMALIYAH


H211 15 010

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Kasus demam di Indonesia semakin meningkat yang menyebabkan banyak


korban jiwa. Berdasarkan data untuk kasus demam di provinsi Jawa Tengah
mencapai 2-3% dari anak yang berusia 6 bulan–5 tahun pada tahun 2012-2013.
Dengan semakin meningkatnya demam, akan mengakibatkan kenaikan demam di
bagian tubuh yang lain misalnya otot dan kulit, yang akan menyebabkan terjadi
peningkatan kontraksi otot (kejang-kejang). Maka dari itu pengukuran suhu tubuh
yang akurat perlu dilakukan secara dini agar dapat mencegah adanya kejang-
kejang [1,2]. Masalah dengan fungsi otot mungkin tidak tampak dramatis sebagai
kegagalan organ vital seperti jantung, paru-paru, otak, dan ginjal. Namun pada
akhirnya mobilitas dan gaya hidup, seperti kemampuan bernapas, batuk, berbicara
dan menelan, semuanya tergantung pada fungsi otot. Selain itu, kelemahan dan
kelelahan dapat menghambat aktivitas fisik, mobilitas dan kualitas hidup [3].
Penelitian sebelumnya banyak digunakan berbagai konfigurasi serat optik,
diantaranya: sistem sensor suhu berbasis serat optik multi-channel menggunakan
timedomain optic reflectometer. Alat ini memiliki kelemahan dari segi harga yang
tidak ekonomis dan mempunyai keakuratan yang terbatas yakni dari 10-70 0C [4].
Pengukuran suhu berbasis PDMs (Polydimethylsiloxane), yang mempunyai
kelemahan dalam segi proses menyambung dua serat optik dan berpotensi
terjadinya degradasi termal bila tidak pas dalam menyambung [5]. Sensor suhu
berbasis singlemode-no-core-singlemode fibre structure and alcohol, yang
mempunyai kelemahan hanya dapat bekerja pada kisaran suhu 20-45 oC.
Disebabkan oleh suhu kerja efektif gel UV serta koefisien ekspansi termal yang
besar dari alkohol [6].
Pengukuran kontraksi otot, sensor electromyogram (EMG) yang umumnya
digunakan. Sensor ini melekat pada bagian tubuh seperti lengan atau kaki, dan
aktivitas yang terjadi selama kontraksi otot atau relaksasi diukur menggunakan
sinyal listrik. Namun, sensor EMG memerlukan tingkat pengambilan sampel yang

1
tinggi ketika sinyal dikumpulkan karena karakteristik frekuensinya. Selain itu,
sulit untuk menempatkan peralatan pada tempatnya karena elektroda melekat pada
kulit. Metode lain untuk mengukur aktivitas otot adalah tensiomiografi (TMG),
metode diagnosa non-invasif yang tidak menuntut upaya dari individu yang
menggunakannya. TMG digunakan untuk mengevaluasi kekakuan, karakteristik
mekanik, dan kapasitas kontraksi struktur otot permukaan yang dianalisis. Namun,
TMG tidak cocok digunakan sebagai sensor HRI (Human Robot Interfaces)
karena stimulasi listrik dan sensor perpindahan diperlukan untuk mengukur
kontraksi otot rangka, yang sulit untuk dicapai secara real time [7]. Selain EMG
dan TMG ada pula pengukuran aktivitas otot menggunakan sensor piezoelektrik,
yang mempunyai kelemahan sinyal keluaran bervariasi. Salah satu kemungkinan
sumber variasi ini adalah ketebalan jaringan kulit. Efek dari jaringan kulit yang
terlalu tebal yaitu sinyal keluaran menjadi terlalu besar. Hubungan antara kulit
dan otot disebut sebagai masalah viskoelastik multilayer. Masalah lain yang
menantang berbasis sensor piezoelektrik adalah thermal drift, yang juga
merupakan batasan sensor lainnya [8].
Penelitian ini akan berfokus pada pengukuran suhu tubuh dan kontraksi otot
dengan serat optik polimer, namun menggunakan metode yang berbeda. Metode
yang digunakan yaitu lekukan besar (macrobending) dan perubahan koefisien
muai termal pada serat optik. Semakin tinggi suhu badan dan kontraksi otot akan
menyebabkan perubahan fisik serat optik. Perubahan fisik ini akan menyebabkan
rugi-rugi daya pada sensor. Rugi-rugi daya pada sensor sebanding dengan
perubahan tegangan keluaran pada op-amp dan mikrokontroler.
Penggunaan serat optik polimer sebagai sensor mempunyai kelebihan antara
lain sensitivitas tinggi, biaya murah, fabrikasi mudah, tidak mudah patah
dibandingkan serat optik kaca, konektivitas mudah, ringan dan lentur [9,10,11].
Dalam penelitian ini akan dicari konfigurasi yang baik serta proses yang mudah
dan harga yang murah, serta mendapatkan hasil yang lebih baik daripada
penelitian sebelumnya.

2
I.2 Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini menggunakan suhu tubuh dan kontraksi otot sebagai
sampel pengujian. Penelitian ini dibatasi pada perancangan dan pembuatan sensor
pengukuran suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer, dan catu
daya pada rangkaian penguat.

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain:


1. Merancang dan membuat sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat
optik polimer.
2. Pengukuran dan pengujian sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat
optik polimer.
3. Menentukan karakteristik sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat
optik polimer.
4. Membuat program tampilan hasil pengukuran suhu tubuh dan kontraksi otot
pada komputer.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Serat Optik

Penggunaan teknologi serat optik sangat berkembang baik di bidang


telekomunikasi, aplikasi komputer, industri, peralatan kedokteran (medical
instrument), bidang aplikasi militer dan sebagai sensor. Teknologi ini merupakan
sistem jaringan komunikasi yang dalam pengiriman dan penerimaan sinyal
informasinya berupa berkas cahaya. Menggunakan sumber optik yang akan
mengubah sinyal listrik menjadi cahaya, dalam hal ini digunakan Laser Diode
(LD) maupun LED dan detektor cahaya [9].
Serat optik (fiber optic) merupakan suatu media pemandu gelombang
cahaya (light wave guide) yang terdiri dari kabel tembus pandang (transparant),
yang terdiri dari 3 bagian yaitu: jacket (pelindung), cladding (selubung) yang
membungkus bagian inti dan mempunyai bentuk seperti kulit ari , dan terakhir
yaitu core (inti). Adapun bentuk-bentuk dari core yaitu: pipih, segi tiga, segi
empat, serta lingkaran [10].
Kabel serat optik ini berbeda dengan yang lain, karena kabel serat optik
membawa isyarat data dalam bentuk berkas cahaya, kabel ini biasa digunakan
pada LAN berkecepatan gigabite per detik. Perlu diketahui cahaya mempunyai
kecepatan 300.000 km/detik dalam ruang hampa. Kecepatan cahaya dalam media
transmisi tergantung pada kepadatan media, semakin padat maka semakin lambat
kecepatannya [10].
Kecepatan transmisi dalam serat optik sangat tinggi sehingga sangat bagus
digunakan sebagai media komunikasi. Serat optik umumnya digunakan dalam
sistem telekomunikasi serta dalam pencahayaan, sensor, dan optik pencitraan.
Efisiensi dari serat optik ditentukan oleh kemurnian dari bahan penyusun gelas.
Semakin murni bahan gelas suatu serat optik, maka semakin sedikit cahaya yang
diserap oleh serat optik sehingga kecepatan transmisi cahaya nya semakin besar
[11].

4
Serat optik berdasarkan indeks bias nya dibagi menjadi 3 jenis (Gambar 2.1)
[9]:
1. Multimode Step Index, dengan jari-jari inti 25 – 60 μm, selubung 50 – 150 μm.
2. Multimode Graded Index, dengan jari-jari inti 10 – 35 μm, selubung 50 – 80
μm.
3. Monomode Step index, jari-jari core 1 -16 μm, cladding 10 – 100 μm.
Tipe-tipe serat optik berdasarkan penjalaran cahaya/gelombang
elektromagnetik terdiri dari: Singlemode Step Indeks, Multimode Gradded Indeks,
dan Multimode Step Indeks [9] yang dapat dilihat dari gambar berikut.

Gambar 2.1 Serat optik berdasarkan indeks bias [9].


Jenis-jenis serat optik berdasarkan bahan materialnya dibagi menjadi dua,
yaitu serat optik gelas, dan serat optik polimer. Pada sistem komunikasi serat
optik, setiap ujung serat terdapat sebuah konektor optik yang berfungsi untuk
menyambung dan memutuskan ujung-ujung serat. Konektor ini biasanya
digunakan pada titik-titik berakhirnya serat seperti pada pemancar, penerima,
sambungan antar serat, dan pada repeater. Konektor-konektor ini harus
memberikan hubungan dengan redaman (rugi-rugi) yang minimum serta dapat
dipasang dan dilepas dengan mudah [9].

5
II.1.1 Struktur Serat Optik
Struktur serat optik secara umum terdiri dari inti, selubung, serta jaket, yang
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut [12]:
a. Inti merupakan bagian yang paling utama dari serat optik. Cahaya yang dikirim
akan merambat pada bagian ini. Inti mempunyai indeks bias lebih tinggi dari
selubung. Bagian inti ini mempunyai fungsi sebagai media transmisi cahaya
dalam perambatannya dari satu titik ke titik yang lainnya. Dimeter inti
bervariasi antara 5–50 μm tergantung jenisnya. Ukuran inti akan berpengaruh
pada karakteristik serat optik.
b. Selubung merupakan bagian kedua yang berfungsi sebagai batas pemantul agar
cahaya yang merambat dapat dipantulkan total lagi ke dalam inti, sehingga
informasi tetap berada di dalam inti.
c. Jaket adalah bagian serat optik yang berfungsi sebagai pelindung serat optik
dari kerusakan akibat gangguan dari luar.
Selubung Jaket
Inti

Gambar 2.2 Struktur Serat Optik [13].

Serat optik mempunyai bahan silika yang murni, baik sebagai inti maupun
selubungnya. Untuk membedakan indeks bias inti dan selubung, bahan silika
murni tersebut diberi campuran dengan takaran yang berbeda untuk inti dan
selubung. Penampang kabel serat optik yang berbentuk lingkaran umumnya
mempunyai diameter sekitar 125 µm (10-6 meter) atau sekitar 1/8 mm [9].
Prinsip kerja serat optik yaitu, dengan adanya indeks bias inti yang lebih
tinggi dibanding indeks bias selubung. Maka sinar-sinar cahaya akan dipandu agar
masuk dalam inti melalui ujungnya. Sinar datang harus tegak lurus dengan
penampang inti serat optik, agar sinar tersebut masuk ke dalam inti dan
dipantulkan kembali ke selubung dengan sudut datang sebesar mungkin. Sehingga

6
sudut datang lebih besar daripada sudut kritisnya, yang akan menghasilkan
pemantulan sempurna terhadap bidang batas inti dan selubung. Selanjutnya
cahaya akan masuk ke inti dan dipantulkan kembali menuju selubung sehingga
tidak ada cahaya yang bocor atau keluar dari serat optik.

II.2 Karakteristik Serat Optik


II.2.1 Perambatan Cahaya

Perambatan cahaya di sepanjang serat optik terjadi karena pemantulan


internal cahaya yang terjadi pada perbatasan inti dan pembungkusnya. Pemantulan
ini disebabkan oleh indeks bias yang tidak sama antara inti dan selubung. Jika
seberkas cahaya memasuki medium dengan indeks bias yang berbeda, proses
pembiasan atau pemantulan cahaya yang terjadi dapat dijelaskan menggunakan
hukum Snellius sebagai berikut [12]:
𝑛1 sin𝜃1= 𝑛2 sin𝜃2 (2.1)
Perbesaran sudut datang 𝜃1, akan menyebabkan sinar bias akan semakin
menjauhi garis normal. Bila sinar bias mencapai bidang batas kedua medium
(besarnya sudut 𝜃2 mencapai 90o), maka sudut 𝜃1 disebut sudut kritis. Jadi dapat
didefinisikan sudut kritis adalah sudut antara sinar datang terhadap garis normal
dimana sinar tersebut akan dibiaskan dengan sudut 𝜃2= 90o, sehingga [12]:
𝑛
𝑛1 sin𝜃𝑐= 𝑛2 sin90 sehingga sin𝜃𝑐= 𝑛2 (2.2)
1

Penjalaran cahaya dengan sudut 𝜃1 lebih besar daripada sudut kritis, sinar
tidak lagi dibiaskan, tetapi akan terjadi pemantulan total [12].

Gambar 2.3 (a) Proses pemantulan dan pembiasan cahaya (b) Sudut kritis (c)
Pemantulan internal total [12].

7
Gambar 2.3 (a) menunjukan peristiwa pemantulan dan pembiasan cahaya,
terjadi jika sudut datang θ1 diperbesar, maka sinar bias akan semkain menjauhi
garis normal. Pada gambar 2.3 (b) menunjukan terbantuknya sudut kritis, terjadi
ketika sinar bias sejajar dengan bidang batas medium, maka sudut θ1 tersebut
dinamakan sudut kritis. Gambar 2.3 (c) dinamakan pemantulan internal total,
apabila sudut sinar datang terus diperbesar melampaui besarnya sudut θ1> θc,
maka sinar datang akan dipantulkan seluruhnya. Konsep pemantulan internal total
ini yang digunakan sebagai landasan pemandu gelombang optik yang ditujukan
untuk mentrasnmisikan gelombang cahaya melalui medium optik [8].
Sudut kritis dapat dihitung dengan mengambil nilai sudut bias sebesar 90o
dan memasukkannya ke dalam persamaan Hukum Snellius (Persamaan 2.1) [12].
Karena nilai Sin 900 adalah 1, maka persamaan 2.1 dapat disusun kembali menjadi
Persamaan 2.3 untuk mendapatkan Sin θ1 dan kemudian nilai sudut θ1 yang dalam
kasus ini adalah sudut kritis [10].

𝑛2
θ max = arc sin (2.3)
𝑛1
II.2.2 Celah Numerik

Cahaya yang masuk ke dalam inti serat optik membentuk sudut datang
tertentu terhadap poros serat optik. Sudut yang menuju ke arah permukaan serat
optik (nudara = 1), tidak semua diteruskan. Tetapi ada syarat tertentu agar sinar
yang datang tersebut dapat diteruskan. Gambar 2.4 menunjukkan adanya sudut
dimana sinar diterima oleh serat optik yang disebut sebagai Numerical Aperture
[14].
Sinar tidak dapat diterima jika melebihi wilayah θmax. Karena sinar yang
masuk memiliki sudut datang lebih besar dari θmax sehingga sinar tersebut masuk
namun tidak dapat berlanjut dan keluar . Sedangkan semua sinar yang berada di
wilayah θmax dapat masuk ke dalam serat optik, dengan batas kritis sejauh θmax
[14].

8
Gambar 2.4 Celah Numerik [14].

Penerapan dari hukum snellius, θmax dapat ditentukan dengan Persamaan


2.5 [14].
𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃0,𝑚𝑎𝑘 = 𝑛1 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑐 = (𝑛12 − 𝑛22 )1/2 (2.5)
𝜋
Dimana 𝜃𝑐 = 2 − 𝜃1

Persamaan 2.5 juga dapat digunakan untuk menghitung Numerical Aperture


(NA)
NA= 𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃0,𝑚𝑎𝑘 =𝑛1 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑐 = (𝑛12 − 𝑛22 )1/2 ≈ 𝑛1 √2∆ (2.6)
Parameter Δ dikatakan sebagai perbedaan indeks inti-selubung, didefinisikan
Sebagai [14].
𝑛1 = 𝑛2 (1 − ∆) (2.7)
Perbedaan indeks Δ lebih kecil dari 1. Ketika numerical aperture
berhubungan dengan sudut maksimal yang dapat diterima, persamaan itu dapat
digunakan untuk menjelaskan sinar yang diterima serat optik dan untuk
menghitung efisiensi sumber sinar menuju serat optik [14].

II.2.3 Pemandu Gelombang

Mekanisme terjadinya pemandu gelombang dapat dijelaskan dengan


pendekatan sinar optik maupun mode gelombang. Dalam pendekatan sinar optik,
gambaran mengenai mode-mode gelombang terpandu dapat dijelaskan sebagai
berkas yang terpandu melalui lintasan zig-zag di dalam film akibat pemantulan
total seperti pada gambar 2.5 [14].

9
Gambar 2.5 Mekanisme pemanduan gelombang dengan pendekatan sinar optik
[10].
Bentuk penyederhanaan bahan lapisan dalam pandu gelombang, bahan
memiliki sifat sebagai berikut: homogen yakni harga indeks bias tidak bergantung
pada posisi, isotropis yakni harga indeks bias tidak bergantung arah, linier yakni
harga indeks bias tidak bergantung pada kekuatan medan, serta lossless yakni
tidak terjadi absorbsi energi oleh bahan dan gelombang yang masuk mengalami
atenuasi [14].
Komponen utama pemandu gelombang optik adalah dua lapisan bahan kaca
silika atau plastik, yang dapat menahan agar cahaya dapat merambat di dalamnya
dan tidak menerobos keluar. Cahaya yang dimasukkan dalam optik akan
merambat dari satu ujung ke ujung yang lain [14].
Konsep pemandu gelombang optik sebagai media transmisi pada suatu
sistem komunikasi didasarkan pada Hukum Snellius untuk perambatan cahaya
pada media transparan. Pemandu gelombang optik dibentuk dari dua lapisan
utama yaitu plat dielektrik berupa lapisan tipis dengan indeks bias n1 yang
menempel pada bahan dengan indeks bias n2 yang lebih kecil dari n1 [14].
Hukum Snellius dimana cahaya yang datang pada dua media transparan
yang indeks biasnya berbeda akan mengalami pembiasan sebagai berikut: sinar
yang datang dari medium yang berindeks bias tinggi dengan sudut θ1 terhadap
garis normal menuju medium berindeks bias lebih rendah akan dibiaskan
menjauhi garis normal bidang batas antar medium dengan sudut θ2 [14].

II.2.4 Rugi-rugi Daya Serat Optik

Rugi-rugi pada serat optik antara lain akibat terjadinya kebocoran atau
karena kurangnya kejernihan bahan serat optik. Besaran pelemahan energi yang
dibawa oleh fiber optik dinyatakan dalam deci-Bell (dB). Faktor utama penyebab

10
pelemahan ini adalah: absorpsi (serapan), hamburan (scattering) dan bending
losses (rugi lekukan). Bending adalah pembengkokkan yang menyebabkan cahaya
yang merambat pada serat optik menyimpang dari arah transmisi semula dan
lenyap. Pembengkokan ini menyebabkan rugi-rugi yang dibedakan menjadi dua
macam yaitu [12] :
1. Pembengkokan Makro (Macrobending)
Macrobending terjadi ketika cahaya melalui serat optik yang dibengkokan
sehingga membentuk kelengkungan dengan radius yang lebih besar dari radius
serat optik, seperti terlihat pada gambar berikut [12].

Gambar 2.6 Macrobending [12].

Serat optik yang dibengkokkan akan mengalami tegangan (stress).


Tegangan ini mengakibatkan indeks bias bahan serat optik berubah menurut
formulasi yang diperoleh secara eksperimen [12].
2. Pembengkokan Mikro (Microbending)
Prinsip kerja dari microbending menimbulkan efek yang sama dengan
macrobanding, hanya saja ukuran dan penyebab terjadinya berbeda. Jari-jari
lekukan yang timbul dalam kasus ini adalah sama dengan atau kurang dari garis
tengah serat serat optik yang hanya terdiri dari inti, jaket dan buffer primer [12].
Permasalahan pembengkokan mikro pada umumnya timbul di dalam proses
pabrikasi. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan laju pemuaian dan
penyusutan antar serat optik dan pelindung-pelindung luarnya. Peristiwa serat
optik akibat pembengkokan makro dapat dilihat pada gambar 2.7 [14].

11
Gambar 2.7 Skema pembengkokan mikro [14].

II.3 Sensor Serat Optik Polimer

Penelitian dan pengembangan perangkat sensor serat optik telah diperluas


penggunaannya ke berbagai bidang teknologi, termasuk medis, kimia, bangunan
dan industri telekomunikasi. Sensor serat optik telah dikembangkan untuk
mengukur berbagai sifat fisik, seperti perubahan kimia, regangan, listrik dan
magnet bidang, suhu, tekanan, rotasi, perpindahan (posisi), radiasi, aliran, level
cairan, getaran, intensitas cahaya, dan warna. Sensor serat optik adalah perangkat
yang dapat melakukan kinerja lingkungan yang keras di mana sensor listrik dan
elektronik konvensional mengalami kesulitan [15]. Mereka tidak membutuhkan
kabel listrik untuk kinerja mereka. Secara teknis ideal untuk bekerja di lingkungan
yang buruk atau lingkungan korosif untuk aplikasi dalam penginderaan jauh [15].
Struktur dasar dari sistem sensor serat optik diilustrasikan pada Gambar 2.9
yang terdiri dari sumber optik, transduser dan penerima. Sumber optiknya
seringkali adalah laser dioda. Serat optik dan material curah digunakan sebagai
elemen modulator. Pada penerima, sebuah photodetector digunakan untuk
mendeteksi perubahan sinyal optik yang disebabkan oleh gangguan fisik sistem
dan sekaligus sebagai pengubah cahaya menjadi sinyal listrik [16].
Sensor serat optik adalah kandidat yang sangat baik untuk pemantauan
perubahan lingkungan. Sensor ini menawarkan banyak keuntungan lebih dari
sensor elektronik konvensional seperti yang tercantum di bawah ini [17]:
• Integrasi yang mudah ke dalam berbagai macam struktur, termasuk bahan
komposit, dengan sedikit gangguan karena ukurannya yang kecil dan geometri
silinder.
• Ketidakmampuan mengalirkan arus listrik.

12
• Kebal terhadap interferensi elektromagnetik dan radio gangguan frekuensi.
• Ringan.
• Kuat, lebih tahan terhadap lingkungan yang keras.
• Sensitivitas tinggi.
• Kemampuan multiplexing untuk membentuk jaringan penginderaan.
• Kemampuan penginderaan jauh.
• Kemampuan penginderaan multifungsi seperti ketegangan, sinyal tekanan,
korosi, suhu dan akustik.
sensor serat optik dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan lokasi
penginderaan yakni, serat optik ekstrinsik atau intrinsik. Dalam serat optik
ekstrinsik sensor (lihat Gambar 2.8), serat hanya digunakan untuk membawa
cahaya ke dan dari perangkat optik eksternal tempat penginderaan terjadi. Dalam
kasus ini, serat hanya bertindak sebagai alat membawa cahaya ke lokasi
penginderaan [17].

Gambar 2.8 Jenis sensor serat optik ekstrinsik dan intrinsik [17].

II.4 Suhu Tubuh

Suhu tubuh inti (Tcore) adalah parameter homeostatis yang kritis yang
memengaruhi fungsi seluler dan kelangsungan hidup organisme. Saraf pusat
merupakan bagian fundamental untuk mengatur perilaku dan otonom repertoar
yang mempertahankan Tinti selama tantangan termal. Berbagai saraf dan
modulator neurokimia melewati jalur fundamental untuk menghasilkan perubahan
dalam Tinti seperti demam saat sakit. Peningkatan Tinti terjadi selama stres dan
saat ovulasi, dan pengurangan Tinti terjadi saat tidur.

13
Status kesehatan seseorang ditandai dengan berbagai tanda-tanda vital
antara lain adalah suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah yang jatuh dalam
kisaran tertentu. Sebuah perubahan tanda-tanda vital mungkin mengindikasikan
perubahan dalam kesehatan tubuh. Suhu adalah sifat fisik materi yang
mengekspresikan secara kuantitatif tentang panas dan dingin. Pengukuran suhu
tubuh menunjukkan antara panas yang dihasilkan dan panas yang hilang dari
tubuh. Panas yang hilang dari suatu organisme dapat dilakukan dalam beberapa
cara seperti oleh konduksi, konveksi, radiasi dan penguapan [18].
Suhu tubuh berubah sepanjang hari, dan suhu tubuh normal adalah sekitar
37 °C atau 98,6 °F. Suhu tubuh terendah seseorang adalah di awal pagi, atau
sekitar dua jam sebelum orang biasanya bangun dan tertinggi adalah saat sore
hari. Suhu tubuh sangat sensitif terhadap kadar hormon. Suhu tubuh normal
dikelola oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus, dikenal sebagai euthermia atau
normothermia. Sebaliknya, menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal
American Asosiasi Medis dan Kesehatan Harvard tahun 2006 menemukan rata-
rata suhu normal untuk orang dewasa menjadi 98,2 °F, bukan 98,6 °F, dan
mengganti tanda demam 100,4 °F dengan ambang batas demam berdasarkan
waktu 5 hari. Konsep ini tergantung di mana pengukuran dibuat dan tingkat
aktivitas seseorang [19].
Pengukuran suhu tubuh menentukan tingkat panas seseorang juga respons
terhadap fisik dan tekanan psikologis. Tiga tempat suhu tubuh yang dapat diukur
adalah rongga mulut, ketiak dan daerah dubur. Suhu inti dapat diukur di berbagai
tempat seperti timpani, pendengaran eksternalmeatus, nasofaring, esofagus, dubur,
aksila (ketiak) dan sublingual. Semua punya kelebihan dan kekurangan dan semua
miliki nilai yang sedikit berbeda [19].

II.5 Aktivitas Otot

Otot yaitu suatu jaringan yang terbentuk dari kumpulan-kumpula sel yang
mempunyai fungsi sebagai alat gerak. Jaringan otot mempunai massa 40% dari
besar tubuh. Otot mempunyai fungsi untuk melakukan semua gerakan tubuh serta
berkontraksi. Otot juga memiliki sel-sel yang tipis dan panjang yang dapat

14
mengubah energi dalam lemak dan gula darah menjadi energi dan panas [20,21].
Otot mempunyai 4 sifat yaitu: elastis, dapat direnggangkan (extensible), dapat
direnggang, dapat berkontraksi. Otot terdiri dari 3 macam yaitu: otot skelet, otot
jantung, dan otot polos [21].
Aktivitas otot dibagi menjadi dua yaitu: kontraksi dan relaksasi. Adapun
pengertian dari kontraksi yaitu suatu proses terjadinya peningkatan miosin dan
aktin sehingga otot memendek. Sedangkan relaksasi yaitu kembalinya otot pada
keadaan istirahat setelah melakukan kontraksi yang ditandai dengan
memanjangnya otot kembali [21].
Kontraksi otot dibagi menjadi 2 yaitu isotonik dan isometrik. Isotonik yaitu
proses kontraksi yang dapat memendekkan otot, tonus otot tidak berubah, terjadi
pemendekan sarkomer yang terjadi saat menekuk siku untuk mengangkat beban.
Sedangkan isometrik yaitu proses kontraksi yang tidak memendekkan otot dan
tonus meningkat yang terjadi saat mendorong beban [21].
Kontraksi otot rangka dimulai dengan kontraksi isometrik yang mempunyai
peningkatan produksi kekuatan tanpa perubahan panjang otot. Begitu kekuatan
yang dihasilkan oleh otot melebihi beban, otot akan memendek secara isotonik
yang mempunyai kekuatan pada otot tetap sama seperti memendek. Kontraksi
eksentrik (juga disebut kontraksi pemanjangan) dapat terjadi ketika otot
menghasilkan kekuatan sebagai panjang otot meningkat. Misalnya, seorang yang
megalami kontraksi eksentrik biasanya terjadi di paha depan saat seseorang
duduk. Biasanya, semakin banyak myofibrils yang bisa dikemas di otot secara
paralel semakin banyak kekuatan otot bisa menghasilkan [8].

15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bengkel Elektronika, Departemen Fisika,


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin,
Makassar. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Juli
2019.

III.2 Alat dan Bahan


III.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu, sebagai berikut:


1. Tools kit, seperti cutter, solder, obeng, dan penghisap timah yang digunakan
untuk membuat rangkaian catu daya dan penguat differensial.
2. Multimeter
3. Termometer Digital
4. Arduino Uno
5. Timbangan Digital

III.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu:


1. Serat optik polimer moda jamak indeks tangga yang terbuat dari bahan
polymethyl metacrylate (PMMA) dengan diameter lapisan jaket, selubung, dan
inti masing-masing adalah 2,2 mm, 1 mm, dan 0,98 mm. Indeks bias inti dan
selubung masing-masing adalah ninti = 1,492 dan nselubung = 1,402 dengan nilai
celah numerik NA = 0,5.
2. LED infra merah yang digunakan jenis IF-E91A yang mentransmisikan cahaya
pada panjang gelombang 950 nm.
3. Fotodetektor yang digunakan jenis IF-D92 dengan panjang gelombang 400-
1100 nm.

16
4. Rangkaian catu daya digunakan ± 12 volt dan 5 volt sebagai sumber tegangan
listik untuk menyalakan LED dan mengaktifkan penguat operasional (OP-
AMP).

III.3 Prosedur Kerja

Penelitian sensor suhu tubuh dan kontraksi otot ini menggunakan serat optik
polimer yang berbasis pada modulasi cahaya. Sumber cahaya yang digunakan
yaitu LED inframerah jenis IF-EA91A yang mentransmisikan cahaya pada
panjang gelombang 950 nm. Jenis serat optik polimer adalah serat moda-jamak
indeks tangga (multi-mode step index) dengan diameter 1000 µm dengan indeks
bias inti 1,492 dan indeks bias selubung 1,402 serta nilai celah numerik NA = 0,5,
sementara detektor cahaya menggunakan fotodetektor jenis IF-D92.

III.3.1 Perancangan dan Pengujian Sensor

Penelitian ini dimulai dengan merancang sebuah sensor suhu tubuh dan
kontraksi otot dengan pembuatan penguat dan rangkaian catu daya. Sensor dibuat
dari serat optik polimer dengan panjang 25 cm dengan jaket yang dikupas
sepanjang 15 cm. Selanjutnya mengatur suhu tubuh pasien mulai dari 28 0C – 42
0
C dengan interval 1 0C , serta untuk kontraksi otot akan dilakukan di lengan yang
diberi beban mulai dari 0-5 kg dengan perubahan setiap 0,5 kg. Adapun diagram
blok pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Kontraksi Otot
Fotodetektor

LED Serat Optik Polimer


Op-Amp

Suhu Tubuh Arduino UNO

Komputer

Gambar 3.1. Diagram blok sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat
optik polimer.

17
Pengujian sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer
dilakukan dengan 2 konfigurasi, yaitu konfigurasi loop dan konfigurasi spiral.
Konfigurasi loop dilakukan dengan variasi diameter mulai dari 0,5, 1, dan 1,5 cm.
Sedangkan pada konfigurasi spiral dilakukan dengan variasi diameter dan jumlah
lekukan mulai dari 0, 0,5, dan 1 cm dengan lekukan mulai 2, 3, dan 4. Pada
konfigurasi spiral juga divariasikan dengan selubung dan tanpa selubung serta
dengan pencacatan mulai dari 1 sampai 4 pencacatan. Prinsip kerja sensor suhu
tubuh dan kontraksi otot dengan menggunakan metode lekukan besar dan
koefisien muai termal. Cahaya dari LED ditransmisikan melalui serat optik
polimer. Selanjutnya cahaya akan diterima oleh fotodetektor yang akan diteruskan
ke penguat selisih. Data yang dihasilkan diolah oleh Arduino UNO dan
selanjutnya akan ditampilkan oleh komputer. Perubahan pada suhu tubuh dan
kontraksi otot akan mengakibatkan adanya rugi daya. Rugi daya akan
menyebabkan perubahan intensitas yang diterima oleh fotodetektor. Atenuasi
cahaya pada sensor akibat adanya rugi daya akan menyebabkan tegangan keluaran
berubah pada alat ukur.
Skema sensor berbasis serat optik polimer untuk pengukuran suhu tubuh
dan kotraksi otot ditampilkan seperti pada Gambar 3.2

Catu daya LED Fotodetektor Penguat Selisih

Serat optik polimer Mikrokontroler

Kain Elastis Komputer

Gambar 3.2. Skema sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik
polimer.
Skema sensor yang ditampilkan pada Gambar 3.2, yaitu serat optik polimer
ditempelkan pada kain elastis yang selanjutnya akan ditempelkan pada tubuh
bagian ketiak untuk diukur suhunya. Pada kontraksi otot sensor akan ditempelkan
pada lengan trisep yang diberi beban. Selanjutnya akan dilihat berapa tegangan
keluaran yang dihasilkan dengan variasi suhu dan beban yang diberikan.

18
III.3.2 Perancangan Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis Serat
Optik Polimer Konfigurasi Loop dengan Variasi Diameter

Pertama yang dilakukan dalam pengujian sensor adalah melakukan


pengontrolan suhu tubuh yang diinginkan dan pembuatan beban untuk kontraksi
otot. Serat optik yang telah dibuka jaketnya dibentuk konfigurasi loop, selanjutnya
ditempelkan pada kain elastis. Pengujian sensor dilakukan dengan pegambilan
data tegangan keluaran yang dihasilkan oleh sensor suhu tubuh dan kontraksi otot.
Perancangan sensor dengan konfigurasi loop ditampilkan pada Gambar 3.3.

LED Fotodetektor

Serat optik
polimer
Kain elastis

Gambar 3.3. Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer
konfigurasi loop.
III.3.3 Perancangan Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis Serat
Optik Polimer Konfigurasi Spiral dengan Selubung Variasi Diameter
dan Lekukan

Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot ini juga dirancang dengan
konfigurasi spiral dengan selubung. Pengujian dan proses pengukuran sensor
dengan konfigurasi spiral dilakukan seperti prosedur sebelumnya. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.4.
Kain elastis

Serat optik

LED Fotodetektor

Gambar 3.4. Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer
konfigurasi spiral dengan selubung variasi diameter dan lekukan.

19
III.3.4 Perancangan Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis Serat
Optik Polimer Konfigurasi Spiral Tanpa Selubung

Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot ini juga dirancang dengan konfigurasi
spiral tanpa selubung. Pengujian dan proses pengukuran sensor dengan
konfigurasi spiral tanpa selubung dilakukan seperti prosedur sebelumnya, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Serat optik
Kain elastis

LED

Fotodetektor

Gambar 3.5. Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer
konfigurasi spiral tanpa selubung.

III.3.5 Perancangan Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis Serat
Optik Polimer Konfigurasi Spiral dengan Selubung Variasi
Pencacatan

Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot ini juga dirancang dengan konfigurasi
spiral dengan selubung variasi pencacatan. Pencacatan ini mempunyai kedalaman
0,1 mm dan panjang 1 mm. Pengujian dan proses pengukuran sensor dengan
konfigurasi spiral tanpa selubung dilakukan seperti prosedur sebelumnya. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Sensor suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis serat optik polimer
konfigurasi spiral dengan selubung variasi pencacatan.

20
III.4 Bagan Alur Penelitian
Bagan alur yang dilakukan pada sensor pengukuran suhu tubuh dan
kontraksi otot berbasis serat optik polimer adalah sebagai berikut :

Mulai

Perancangan dan pembuatan sensor


suhu tubuh dan kontraksi otot berbasis
serat optik polimer

Pangujian sensor suhu


tubuh dan kontraksi otot
berbasis serat optik polimer

Pengambilan data Pengambilan data Pengambilan data


Pengambilan data sensor serat optik sensor serat optik sensor serat optik
sensor serat optik konfigurasi spiral konfigurasi spiral konfigurasi spiral
konfiguarsi loop dengan selubung tanpa selubung dengan selubung
dengan variasi variasi diameter dan variasi pencacatan
diameter lekukan

Menganalisis Data

Karakterisasi Sensor

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.7. Bagan alur penelitian

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Perancangan Sensor

Sensor berbasis serat optik polimer (SOP) untuk pengukuran suhu tubuh dan
kontraksi otot, dirancang untuk menentukan tingkat suhu tubuh dan kontraksi otot
dengan memanfaatkan sebuah media transmisi cahaya yaitu serat optik polimer.
Sumber cahaya yang digunakan dalam penelitian ini yaitu LED inframerah jenis
IF-E91A yang memancarkan cahaya melalui SOP dan diteruskan ke fotodetektor
jenis S120C, untuk dikonversi menjadi sinyal listrik. Sinyal listrik akan diteruskan
ke penguat dan datanya diolah oleh mikrokontroler arduino uno untuk ditampilkan
di komputer. Alat pengujian tingkat suhu tubuh yang digunakan yaitu
thermometer digital merek General Care tipe YD-201.
Serat optik yang digunakan dibuat menjadi dua konfigurasi, yaitu konfigurasi
loop dan konfigurasi spiral. Masing-masing dari kedua konfigurasi dibuat menjadi
beberapa variasi, untuk konfigurasi loop dibuat variasi diameter, sedangkan untuk
konfigurasi spiral dibuat dengan variasi dengan selubung dan tanpa selubung,
variasi lekukan, variasi diameter dan variasi pencacatan. Pengujian dilakukan
dengan cara meletakkan sensor di tubuh, untuk pengujian suhu tubuh diletakkan
di ketiak sedangkan untuk kontraksi otot diletakkan di lengan yang diberi beban.
Pengukuran suhu tubuh mulai dari 280C -420C dengan perubahan setiap 1 0C,
sedangkan untuk kontraksi otot digunakan beban mulai dari 0 - 50 Newton dengan
perubahan setiap 5 Newton.
Data yang diperoleh dari pengujian sensor suhu tubuh dan kontraksi otot
berbasis serat optik polimer digunakan untuk menganalisis karakteristik sensor
yang meliputi perhitungan nilai range tegangan keluaran, sensititvitas, dan
resolusinya. Nilai range tegangan keluaran untuk sensor tersebut ditentukan
dengan menggunakan persamaan berikut [9]:
∆ = Vmax - Vmin (4.1)
dimana Vmax sebagai tegangan keluaran pada tingkat suhu dan beban maksimum
dan Vmin sebagai tegangan keluaran pada tingkat suhu dan beban minimum.

22
Sensitivitas sensor adalah pengukuran untuk mengetahui seberapa besar
kepekaan sensor terhadap besaran yang diukur. Sensitivitas sensor suhu tubuh dan
kontraksi otot dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut [9]:

𝑉 −𝑉
𝑆 = 𝐾𝑚𝑎𝑥 −𝐾𝑚𝑖𝑛 (4.2)
𝑚𝑎𝑥 𝑚𝑖𝑛

dimana 𝐾𝑚𝑎𝑥 yaitu nilai maksimum dari besaran (Celcius dan Newton) yang akan
diukur, sedangkan 𝐾𝑚𝑖𝑛 yaitu nilai minimum dari besaran yang akan diukur.
Selanjutnya menghitung resolusi sensor untuk mengetahui nilai besaran terkecil
yang dapat diukur oleh sensor. Resolusi sensor dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut [9]:
𝑁
𝑅= (4.3)
𝑆

dengan N sebagai nilai skala terkecil dari mikrokontroler arduino UNO yang
digunakan, yaitu 0,001 volt dan S adalah nilai sensitivitas dari sensor suhu tubuh
dan kontraksi otot.

IV.2 Hasil Uji Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis SOP
Konfigurasi Loop Variasi Diameter

IV.2.1 Data Sensor Suhu Tubuh Berbasis SOP Konfigurasi Loop Variasi
Diameter

Sensor suhu tubuh berbasis SOP untuk konfigurasi loop dibuat dengan
menggunakan variasi diameter mulai dari 0,5 cm, 1 cm, dan 1,5 cm. Serat optik
yang telah dibuka jaketnya dibentuk menjadi konfigurasi loop diuji dengan
meletakkan sensor di ketiak untuk pengukuran suhu tubuh. Hasil uji sensor suhu
tubuh berbasis SOP konfigurasi loop ditampilkan pada Gambar 4.1 berikut.

23
loop 0,5 cm
loop 1cm
loop 1,5 cm
3.65

3.60

3.55

Vout(volt) 3.50

3.45

3.40

26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
Temperatur

Gambar 4.1 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi loop.
Hasil grafik pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa penurunan tegangan
keluaran sebanding dengan peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi pada semua
sensor dengan diameter yang berbeda-beda. Karakteristik sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi loop ditampilkan pada Tabel IV.1.

Tabel IV.1 Karakteristik sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi loop

Variasi Diameter Range (Volt) Sensitivitas (Volt/0C) Resolusi (0C)

0,5 0,203 0,014 0,071


1 0,189 0,013 0,076
1,5 0,130 0,009 0,111

Hasil data pada Tabel IV.1 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan diameter 0,5 cm dengan nilai range 0,203 Volt, nilai
sensitivitas 0,014 Volt/0C, dan resolusi 0,071 0C. Semakin mengecilnya diameter
loop maka range yang diperoleh sensor semakin besar, sensivitasnya juga semakin
besar, dan resolusi semakin mengecil.

24
IV.2.2 Data Sensor Kontraksi Otot Berbasis SOP Konfigurasi Loop Variasi
Diameter

Sensor kontraksi otot berbasis SOP untuk konfigurasi loop dibuat dengan
menggunakan variasi diameter mulai dari 0,5 cm, 1 cm, dan 1,5 cm. Serat optik
yang telah dibuka jaketnya dibentuk menjadi konfigurasi loop diuji dengan
meletakkan sensor di lengan yang diberi beban. Hasil uji sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi loop ditampilkan pada Gambar 4.2 berikut.

Diameter 1,5 cm
4,46 Diameter 1 cm
Diameter 0,5 cm
4,44

4,42

4,40

4,38
Vout (Volt)

4,36

4,34

4,32

4,30

4,28

4,26

0 10 20 30 40 50
Beban (N)

Gambar 4.2 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi loop.

Hasil grafik pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa penurunan tegangan


keluaran sebanding dengan peningkatan beban pada kontraksi otot. Hal ini terjadi
pada semua sensor dengan diameter yang berbeda-beda. Karakteristik sensor
kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi loop ditampilkan pada Tabel IV.2.
Tabel IV.2 Karakteristik sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi loop
Konfigurasi Loop
Karakteristik sensor Variasi Diameter loop
1,5 cm 1 cm 0,5 cm
Range (Volt) 0,082 0,094 0,171
Sensitivitas(Volt/N) 0,016 0,018 0,034
Resolusi (N) 0,062 0,056 0,029

Hasil data pada Tabel IV.2 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan diameter 0,5 cm dengan nilai range 0,171 Volt, nilai
sensitivitas 0,034 Volt/N, dan resolusi 0,029 N. Semakin mengecilnya diameter

25
loop maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitas juga semakin besar,
dan resolusi semakin mengecil.

IV.3 Hasil Uji Sensor Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot Berbasis SOP
Konfigurasi Spiral dengan Selubung dan Tanpa Selubung Variasi
Lekukan, Diameter, dan Pencacatan

IV.3.1 Data Sensor Suhu Tubuh Berbasis SOP Konfigurasi Spiral Diameter
1 cm

Sensor suhu tubuh berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan selubung
dibuat dengan menggunakan diameter 1 cm dengan variasi lekukan mulai dari 2
sampai 4 lekukan. Serat optik yang telah dibuka jaketnya dibentuk menjadi
konfigurasi spiral diuji dengan meletakkan sensor di ketiak untuk pengukuran
suhu tubuh. Hasil uji sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral diameter
1 cm ditampilkan pada Gambar 4.3 berikut.

2 lekukan
3 lekukan
2.670
4 lekukan
2.665
2.660
2.655
2.650
Tegangan Keluaran (Volt)

2.645
2.640
2.635
2.630
2.625
2.620
2.615
2.610
2.605
2.600
2.595
2.590
2.585
2.580

26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
0
Suhu Tubuh ( C)

Gambar 4.3 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 1 cm.
Hasil grafik pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa penurunan tegangan
keluaran sebanding dengan peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi pada semua
sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 1 cm ditampilkan pada Tabel IV.3.

26
Tabel IV.3 Karakteristik sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 1 cm
Variasi Lekukan Range (Volt) Sensitivitas (Volt/0C) Resolusi (0C)
2 0,019 0,001 1,000
3 0,020 0,001 1,000
4 0,079 0,005 0,200

Hasil data pada Tabel IV.3 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan 4 lekukan dengan nilai range 0,079 Volt, nilai
sensitivitas 0,005 Volt/0C, dan resolusi 0,200 0C. Semakin banyaknya variasi
lekukan maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitasnya juga semakin
besar, dan resolusi semakin mengecil.

IV.3.2 Data Sensor Kontraksi Otot Berbasis Serat Optik Polimer Konfigurasi
Spiral Diameter 1 cm

Sensor kontraksi otot berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan


selubung diameter 1 cm dengan variasi lekukan mulai dari 2 sampai 4 lekukan.
Serat optik yang telah dibuka jaketnya dibentuk menjadi konfigurasi spiral diuji
dengan meletakkan sensor di lengan bagian atas yang telah diberi beban. Hasil uji
sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral ditampilkan pada Gambar
4.4 berikut.
lekukan 1
2.38 lekukan 2
lekukan 3
2.36

2.34

2.32
tegangan keluaran (volt)

2.30

2.28

2.26

2.24

2.22

2.20

2.18

2.16

2.14

2.12
0 1 2 3 4 5
Beban (N)

Gambar 4.4 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 1 cm.

27
Hasil grafik pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa penurunan tegangan
keluaran sebanding dengan peningkatan beban pada kontraksi otot. Hal ini terjadi
pada semua sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik
sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 1 cm ditampilkan
pada Tabel IV.4.
Tabel IV.4 Karakteristik sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 1 cm
Spiral diameter 1 cm
Karakteristik Sensor Variasi Jumlah lekukan
2 3 4
Range (Volt) 0,113 0,164 0,209
Sensitivitas (Volt/N) 0,022 0,032 0,041
Resolusi (N) 0,044 0,030 0,023

Hasil data pada Tabel IV.4 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan variasi 4 lekukan dengan nilai range 0,209 Volt, nilai
sensitivitas 0,041 Volt/N, dan resolusi 0,023 N. Semakin banyaknya jumlah
lekukan maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitasnya juga semakin
besar, dan resolusi semakin mengecil.

IV.3.3 Data Sensor Suhu Tubuh Berbasis SOP Konfigurasi Spiral Diameter
0,5 cm

Sensor suhu tubuh berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan selubung
dibuat menggunakan diameter 0,5 cm dengan variasi lekukan mulai dari 2 sampai
4 lekukan. Sensor diuji dengan meletakkan serat optik di ketiak untuk pengukuran
suhu tubuh. Hasil uji sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral diameter
0,5 cm ditampilkan pada Gambar 4.5.

28
2 lekukan
3.66 3 lekukan
4 lekukan

3.64

Tegangan Keluaran (Volt)


3.62

3.60

3.58

3.56

3.54

26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
0
Suhu Tubuh ( C)

Gambar 4.5 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0,5 cm.
Hasil grafik pada Gambar 4.5 menunjukkan bahwa penurunan tegangan
keluaran sebanding dengan peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi pada semua
sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0,5 cm ditampilkan pada Tabel IV.5.
Tabel IV.5 Karakteristik sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 0,5 cm

Variasi Lekukan Range (Volt) Sensitivitas (Volt/0C) Resolusi (0C)

2 0,026 0,001 1.000

3 0,029 0,002 0,500

4 0,108 0,007 0,142

Hasil data pada Tabel IV.5 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan 4 lekukan dengan nilai range 0,108 Volt, nilai
sensitivitas 0,007 Volt/0C, dan resolusi 0,142 0C. Semakin banyak jumlah lekukan
maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitasnya juga semakin besar,
dan resolusi semakin mengecil.

29
IV.3.4 Data Sensor Kontraksi Otot Berbasis SOP Konfigurasi Spiral
Diameter 0,5 cm

Sensor kontraksi otot berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan


selubung dibuat menggunakan diameter 0,5 cm dengan variasi lekukan mulai dari
2 sampai 4 lekukan. Sensor diuji dengan meletakkan sensor Serat optik di lengan
atas yang diberi beban. Hasil uji sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi
spiral diameter 0,5 cm ditampilkan pada Gambar 4.6 berikut.

Lekukan 2
Lekukan 3
4.76 Lekukan 4
4.74
4.72
4.70
Tegangan Keluaran (Volt)

4.68
4.66
4.64
4.62
4.60
4.58
4.56
4.54
4.52
4.50
4.48
0 10 20 30 40 50
Beban (N)

Gambar 4.6 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0,5 cm.

Hasil grafik pada Gambar 4.6 menunjukkan bahwa penurunan tegangan


keluaran sebanding dengan peningkatan beban pada kontraksi otot. Hal ini terjadi
pada semua sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik
sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0,5 cm ditampilkan
pada Tabel IV.6.
Tabel IV.6 Karakteristik sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 0,5 cm
Spiral diameter 0,5 cm
Karakteristik Sensor Variasi Jumlah lekukan
2 3 4
Range (Volt) 0,153 0,196 0,234
Sensitivitas(Volt/N) 0,031 0,039 0,046
Resolusi (N) 0,033 0,025 0,021

30
Hasil data pada Tabel IV.6 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan variasi 4 lekukan dengan nilai range 0,234 Volt, nilai
sensitivitas 0,046 Volt/N, dan resolusi 0,021 N. Semakin banyak jumlah lekukan
maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitas juga semakin besar, dan
resolusi semakin mengecil.

IV.3.5 Data Sensor Suhu Tubuh Berbasis SOP Konfigurasi Spiral Diameter
0 cm dengan Selubung dan Tanpa Selubung

Sensor suhu tubuh berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan selubung
dan tanpa selubung dibuat menggunakan diameter 0 cm dengan variasi lekukan
mulai dari 2 sampai 4 lekukan. Untuk tanpa selubung hanya dibuat dari lekukan
terbaik yakni 4 lekukan. Sensor diuji dengan meletakkan sensor serat optik di
ketiak. Hasil uji sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm
ditampilkan pada Gambar 4.7 berikut.

2 lekukan dengan selubung


3 lekukan dengan selubung
2.85 4 lekukan dengan selubung
2.80 4 lekukan tanpa selubung
2.75
2.70
2.65
Tegangan Keluaran (Volt)

2.60
2.55
2.50
2.45
2.40
2.35
2.30
2.25
2.20
2.15
26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
0
Suhu Tubuh ( C)

Gambar 4.7 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm dengan selubung dan
tanpa selubung.

Hasil grafik pada Gambar 4.7 menunjukkan bahwa penurunan tegangan


keluaran sebanding dengan peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi pada semua

31
sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm ditampilkan pada Tabel IV.7.
Tabel IV.7 Karakteristik sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 0 cm dengan selubung dan tanpa selubung

Variasi Dengan Selubung/ Range Sensitivitas


Resolusi (0C)
Lekukan Tanpa Selubung (Volt) (Volt/0C)

2 lekukan Dengan Selubung 0,157 0,011 0,089


3 lekukan Dengan Selubung 0,349 0,024 0,041
4 lekukan Dengan Selubung 0,421 0,030 0,033
4 lekukan Tanpa Selubung 0,590 0,042 0,023

Hasil data pada Tabel IV.7 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan 4 lekukan tanpa selubung dengan nilai range 0,590
Volt, nilai sensitivitas 0,042 Volt/0C, dan resolusi 0,023 0C. Semakin banyak
jumlah lekukan maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitasnya juga
semakin besar, dan resolusi semakin mengecil.

IV.3.6 Data Sensor Kontraksi Otot Berbasis SOP Konfigurasi Spiral


Diameter 0 cm dengan Selubung dan Tanpa Selubung

Sensor kontraksi otot berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dengan


selubung dan tanpa selubung dibuat menggunakan diameter 0 cm dengan variasi
lekukan mulai dari 2 sampai 4 lekukan. Untuk sensor tanpa selubung dibuat
dengan variasi lekukan terbaik yakni 4 lekukan. Sensor diuji dengan meletakkan
serat optik polimer di lengan trisep yang diberi beban. Hasil uji sensor kontraksi
otot berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm ditampilkan pada Gambar 4.8
berikut.

32
2 lekukan dengan selubung
3 lekukan dengan selubung
3.45 4 lekukan dengan selubung
3.40 4 lekukan tanpa selubung

3.35

3.30

Tegangan Keluaran (Volt)


3.25

3.20

3.15

3.10

3.05

3.00

2.95

2.90

2.85

0 10 20 30 40 50
Beban (N)

Gambar 4.8 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm.
Hasil grafik pada Gambar 4.8 menunjukkan bahwa penurunan tegangan
keluaran sebanding dengan peningkatan beban pada kontraksi otot. Hal ini terjadi
pada semua sensor dengan variasi lekukan yang berbeda-beda. Karakteristik
sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral diameter 0 cm ditampilkan
pada Tabel IV.8.
Tabel IV.8 Karakteristik sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral
diameter 0 cm dengan selubung dan tanpa selubung
Spiral diameter 0 cm
Karakteristik Jumlah lekukan Spiral 4
Lekukan Tanpa
2 3 4 selubung
Range (Volt) 0,171 0,217 0,357 0,519
Sensitivitas (Volt/N) 0,034 0,043 0,071 0,103
Resolusi (N) 0,029 0,023 0,014 0,009

Hasil data pada Tabel IV.8 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan variasi 4 lekukan tanpa selubung dengan nilai range
0,519 Volt, nilai sensitivitas 0,103 Volt/N, dan resolusi 0,009 N. Semakin
banyaknya jumlah lekukan maka range yang dihasilkan semakin besar,
sensitivitasnya juga semakin besar, dan resolusi semakin mengecil.

33
IV.3.7 Data Sensor Suhu Tubuh Berbasis SOP Konfigurasi Spiral Variasi
Pencacatan

Sensor suhu tubuh berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dibuat dengan
variasi pencacatan mulai 1-4 cacatan. Sensor yang dicacati diambil dari
konfigurasi spiral terbaik dari variasi diameter dan lekukan, dimana yang terbaik
yaitu variasi diameter 0 cm dengan 4 lekukan. Serat optik dengan sensitivitas
terbaik diambil dan dicacati dengan kedalaman 0,1 mm dan lebar 1 mm,
selanjutnya diuji dengan meletakkan sensor di ketiak. Hasil uji sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan ditampilkan pada Gambar 4.9
berikut.

pencacatan 1
3.2 pencacatan 2
pencacatan 3
pencacatan 4
3.1

3.0
tegangan keluaran (volt)

2.9

2.8

2.7

2.6

2.5
26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
suhu tubuh

Gambar 4.9 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor suhu tubuh
berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan.

Hasil grafik pada Gambar 4.9 menunjukkan bahwa penurunan tegangan


keluaran sebanding dengan peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi pada semua
sensor dengan variasi pencacatan yang berbeda-beda. Karakteristik sensor suhu
tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan ditampilkan pada Tabel
IV.9.

34
Tabel IV.9 Karakteristik sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi spiral
variasi pencacatan
Variasi
Range (Volt) Sensitivitas (Volt/0C) Resolusi (0C)
Pencacatan
1 0,461 0,032 0,031
2 0,486 0,034 0,029
3 0,505 0,036 0,027
4 0,548 0,039 0,025

Hasil data pada Tabel IV.9 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan 4 pencacatan dengan nilai range 0,548 Volt, nilai
sensitivitas 0,039 Volt/0C, dan resolusi 0,025 0C. Semakin banyaknya jumlah
pencacatan maka range semakin besar, sensivitas juga semakin besar, dan resolusi
semakin mengecil.

IV.3.8 Data Sensor Kontraksi Otot Berbasis SOP Konfigurasi Spiral Variasi
Pencacatan

Sensor kontraksi otot berbasis SOP untuk konfigurasi spiral dibuat dengan
variasi pencacatan mulai 1-4 cacatan. Sensor yang dicacati diambil dari
konfigurasi spiral terbaik dari variasi diameter dan lekukan, dimana yang terbaik
yaitu variasi diameter 0 cm dengan 4 lekukan. Serat optik dengan sensitivitas
terbaik diambil dan dicacati dengan kedalaman 0,1 mm dan lebar 1 mm,
selanjutnya diuji dengan meletakkan sensor di lengan atas yang diberi beban.
Hasil uji sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan
ditampilkan pada Gambar 4.10 berikut.

35
pencacatan 1
pencacatan 2
3.15 pencacatan 3
pencacatan 4
3.10

3.05

3.00

tegangan keluaran (volt)


2.95

2.90

2.85

2.80

2.75

2.70

2.65

2.60
0 1 2 3 4 5
Beban (N)

Gambar 4.10 Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap sensor kontraksi otot
berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan.

Hasil grafik pada Gambar 4.10 menunjukkan bahwa penurunan tegangan


keluaran sebanding dengan peningkatan beban pada kontraksi otot. Hal ini terjadi
pada semua sensor dengan variasi pencacatan yang berbeda-beda. Karakteristik
sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral variasi pencacatan
ditampilkan pada Tabel IV.10.
Tabel IV.10 Karakteristik sensor kontraksi otot berbasis SOP konfigurasi spiral
variasi pencacatan

Konfigurasi spiral dengan pencacatan


Karakteristik Jumlah Pencacatan
1 2 3 4

Range (Volt) 0,372 0,410 0,448 0,484

Sensitivitas (Volt/N) 0,074 0,082 0,089 0,096


Resolusi (N) 0,013 0,012 0,011 0,010

Hasil data pada Tabel IV.10 menunjukkan bahwa karakteristik sensor yang
paling baik adalah dengan variasi 4 pencacatan dengan nilai range 0,484 volt, nilai
sensitivitas 0,096 Volt/N, dan resolusi 0,010 N. Semakin banyaknya jumlah
pencacatan maka range yang dihasilkan semakin besar, sensitivitasnya juga
semakin besar, dan resolusi semakin mengecil.

36
IV.4 Program Tampilan ke Komputer
Program untuk tampilan ke komputer diperoleh dengan menggabungkan
Arduino Uno dan Delphi 7. Program ini akan langsung menampilkan keluaran
suhu tubuh dan kontraksi otot secara bersamaan pada komputer. Program ini juga
akan menampilkan bilangan biner dan tegangan keluaran dari Arduino Uno, serta
dapat menampilkan grafik perubahan suhu tubuh dan kontraksi otot.
Untuk programnya dapat dilihat dibawah ini.

37
38
Program di atas akan dimasukkan persamaan untuk mengkonversi dari
tegangan keluaran (volt) ke nilai suhu tubuh dan kontraksi otot. Persamaan yang
digunakan yaitu persamaan garis lurus.
𝑌 = 𝐴𝑋 + 𝐵 (4.4)
dimana Y= nilai suhu tubuh, X= tegangan keluaran (volt), dan B = kemiringan
grafik (slope)

39
IV.5 Tampilan Suhu Tubuh dan Kontraksi Otot

Tampilan suhu tubuh dan kontraksi otot di komputer dapat dilihat dari
gambar di bawah ini.

Gambar 4.11 Tampilan suhu tubuh dan kontraksi otot di komputer


Gambar 4.11 diatas dapat dilihat display suhu tubuh dan kontraksi otot.
Untuk kolom bagian atas menunjukkan bilangan biner dari Arduino Uno,
sedangkan untuk yang di tengan yaitu nilai tegangan keluaran (volt) dari Arduino
Uno, dan untuk yang bagian bawah yaitu nilai suhu tubuh dan kontraksi otot yang
telah dikonversi. Dalam tampilan ini juga terdapat grafik dari perubahan suhu dan
kontraksi otot. Pengiriman data yang sangat cepat dari Arduino Uno ke komputer
memungkinkan untuk pembacaan suhu tubuh dan kontraksi otot secara real time.

40
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Penelitian yang telah dilakukan yaitu sensor suhu tubuh dan kontraksi otot
berbasis serat optik polimer, maka dapat disimpulkan:

1. Telah berhasil membuat dan merancang sensor suhu tubuh dan kontraksi otot
berbasis serat optik polimer dengan menggunakan dua jenis konfigurasi yaitu
loop dan spiral dengan variasi selubung, diameter, lekukan, dan pencacatan.
2. Semakin tinggi suhu tubuh dan beban pada kontraksi otot maka tegangan
keluaran yang dihasilkan juga semakin berkurang. Akibat adanya rugi-rugi
daya pada sensor suhu tubuh dan kontraksi otot.
3. Karakteristik sensor yang terbaik diperoleh pada konfigurasi spiral 4 lekukan
dengan diameter 0 cm tanpa selubung dengan nilai range 0,590 volt, nilai
sensitivitas 0,042 Volt/0C, dan resolusi 0,023 0C untuk suhu tubuh, sedangkan
untuk kontraksi otot didapatkan nilai range 0,519 Volt, nilai sensitivitas 0,103
Volt/N, dan resolusi 0,009 N.
4. Telah berhasil membuat program untuk menampilkan hasil keluaran berupa
suhu tubuh dan kontraksi otot pada komputer.

V.2 Saran
Harapan penulis untuk penelitian sensor suhu tubuh dan kontraksi otot
selanjutnya agar dapat diterapkan pada pasien dan lebih dikembangkan metode
yang lebih baik serta konfigurasi yang lebih bervariasi.

41
DAFTAR PUSTAKA

[1] Depkes RI., 2019, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.


[2] Dinkes Jateng., 2013, Profil Kesehatan Jawa Tengah, Semarang: Depkes
Jateng.
[3] Carolyn, A, G., David. A. J., 2016, Muscle Physiology and Contraction,
Surgery.
[4] H, J, Kim., H, Byun., Y, B., Song., et.all., 2018, Multi-channel Fiber-optic
Temperature System Using an Optical Time Domain Reflector (OTDR),
Results in Physics, vol. 11, pp. 743-748.
[5] Han Gao., Haifenh Hu., Yong Zhao., et.all., 2018, Highly-sensitive Optical
Fiber Temperature Sensor Based on PDMS/ Silica Hybrid Fiber Structures,
Sensor and Actuators A:Physical, vol. 284, pp. 22-27.
[6] Ke Tian., Gerald, Farrel., Xianfan, Wang., et.all., 2018, High Sensitivity
Temperature Sensor Based on Singlemode-nocore-singlemode Fiber
Structure and Alcohol, Sensors and Actuators, 0924-4247.
[7] W, S, Kim., H, D, Lee., D, H, Lim., et.all., 2014, Development of a Muscle
Circumference Sensor to Estimate Torque of The Human Elbow Joint,
Sensors and Actuators A: Physical, vol. 208, pp. 95-103.
[8] Han, H., Kim, J., 2013, Active Muscle Stiffness Sensor Based on
Piezoelectric Resonance for Muscle Contraction Estimation, Sensor and
Actuators a:Physical, vol. 194, pp. 212-219.
[9] Arifin, A., Hatta, A, M., Muntini, M, S., and Rubiyanto, A., 2014, Bent of
Plastic Optical Fiber with Structural Imperfections for Displacement Sensor.
Indian Journal of Pure & Applied Physics, Vol. 52: 520-524.
[10] Thorat P, V., Warulkar, S., and Thombre, P, A., 2014, Plastic Optical Fiber,
International Journal of Engineering Research and Reviews, Vol. 2, No. 4:
95-105.
[11] Parola I., et.all., 2017, Fabrication and Characterization of Polymer Optical
Fibers Doped with Perylene-Derivatives for Fluorescent Lighting
Applications. MDPI Fibers, Vol. 5, No. 28 : 1-11.
[12] Hanafiah, A, R., 2006, Teknologi Serat Optik. Jurnal Sistem Teknik
Industri, Vol. 7 no.1.
[13] Wahyudi, M., 2003, Mengenal Teknologi Kabel Serat Optik (Fiber Optic),
Jakarta.
[14] Dwi, P., 2009, Serat Optik, Universitas Sriwijaya, Palembang.
[15] Ida, bagus., A, P, Nyoman, W., 2017, Rugi-Rugi Serat Optik Berdasarkan
Efek Gelombang Evanescent, Universitas Udayana, Bali.

42
[16] Dian, Y, N., 2005, Studi Pengukuran Rugi-Rugi Serat Optik Pada Empat
Rute STO Di Jawa Tengah Dengan Menggunakan OTDR Tektronix Type
Tekranger TFS3031, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
[17] Dewi, M, S., 2010, Kajian Karakteritik Rugi-Rugi Pada Serat Optik Telkom
Karena Pembengkokan Makro, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
[18] Hisham, K, H., 2018, Optical Fiber Sensing Technology: Basics,
Classifications, and Applications, American journal of remote sensing, vol.
6, pp. 1-5.
[19] Jesus, C, U., 2012, Optical Fiber Sensors, InTech, Mexico.
[20] Fidabboylu, K., and Efendioglu, H, S., Fiber Optic Sensors and Their
Applications, 5th International Advanced Technologies Symposium
(IATS’09) , May 13-15, 2009, Karabuk, Turkey.
[21] Shaun, F, M., 2016, Central Control of Body Temperature, F1000Research.
[22] Prabhjot, saini., Sandeep, Kaur., Bindu, K., et.all., 2014. Effect of
Controlled Room Temperatue on Oral and Axillary Body Temperature
among Healthy Young People, Nursing and Midwifwry Research Journal,
vol. 10, pp. 4.
[23] Wibowo, D, S., 2008, Anatomi Tubuh Manusia, Grasindo, Jakarta.
[24] Soesy, A, S., 2002, Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia, UPI, Bandung.

43
LAMPIRAN

44
Lampiran 1. Data hasil pengukuran suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi loop
variasi diameter

Tegangan Keluaran (Volt)


Suhu Tubuh (0C) Konfigurasi Loop Variasi Diameter
loop 0,5 cm loop 1cm loop 1,5 cm
28 3,636 3,636 3,636

29 3,621 3,629 3,632


3,617
30 3,609 3,619

31 3,590 3,602 3,608

32 3,572 3,589 3,604

33 3,554 3,575 3,598


3,553
34 3,538 3,590

35 3,514 3,521 3,580

36 3,502 3,518 3,570

37 3,493 3,502 3,559


3,498
38 3,475 3,544

39 3,465 3,472 3,541

40 3,455 3,465 3,528

41 3,443 3,456 3,514


3,447
42 3,433 3,506

45
Lampiran 2. Data hasil pengukuran sensor kontraksi otot berbasis SOP
konfigurasi loop variasi diameter

Tegangan Keluaran (Volt)

Variasi Beban Konfigurasi Loop


(N) Variasi Diameter

1,5 1 0,5

0 4,440 4,440 4,440

5 4,435 4,433 4,429

10 4,429 4,426 4,409

15 4,424 4,412 4,396

20 4,413 4,399 4,383

25 4,408 4,389 4,368

30 4,395 4,379 4,340

35 4,386 4,369 4,321

40 4,370 4,360 4,300

45 4,361 4,349 4,280

50 4,358 4,346 4,269

46
Lampiran 3. Data hasil pengukuran sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi
spiral dengan selubung variasi jumlah lekukan dengan diameter 1 cm

Tegangan Keluaran (Volt)


Suhu Tubuh (0C) Konfigurasi Spiral Variasi Lekukan
2 lekukan 3 lekukan 4 lekukan
28 2,664 2.664 2,664
29 2,663 2.662 2,654
30 2,662 2.66 2,653
31 2,661 2.658 2,65
32 2,660 2.656 2,647
33 2,656 2.654 2,643
34 2,655 2.653 2,64
35 2,654 2.652 2,636
36 2,653 2.651 2,629
37 2,652 2.649 2,625
38 2,651 2.648 2,617
39 2,649 2.647 2,609
40 2,648 2.646 2,601
41 2,647 2.645 2,593
42 2,645 2.644 2,585

47
Lampiran 4. Data hasil pengukuran sensor kontraksi otot berbasis SOP
konfigurasi spiral dengan selubung variasi jumlah lekukan dengan diameter 1 cm

Tegangan Keluaran (Volt)


Konfigurasi Spiral diameter 1 cm
Variasi Beban (N)
Variasi Jumlah lekukan
2 3 4

0 2,354 2,354 2,354

5 2,343 2,336 2,327


10 2,327 2,317 2,306

15 2,314 2,305 2,288


20 2,302 2,292 2,269

25 2,296 2,272 2,252

30 2,286 2,256 2,232


35 2,27 2,247 2,207

40 2,259 2,22 2,187


45 2,254 2,205 2,169

50 2,241 2,19 2,145

48
Lampiran 5. Data hasil pengukuran sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi
spiral dengan selubung variasi jumlah lekukan dengan diameter 0,5 cm

Tegangan Keluaran (Volt)


0
Suhu Tubuh ( C) Konfigurasi spiral 0,5 cm variasi Lekukan
2 lekukan 3 lekukan 4 lekukan
28 3,644 3,644 3,644
29 3,640 3,639 3,635
30 3,638 3,635 3,626
31 3,637 3,633 3,620
32 3,636 3,632 3,613
33 3,635 3,631 3,605
34 3,634 3,630 3,603
35 3,633 3,629 3,599
36 3,632 3,626 3,592
37 3,630 3,624 3,586
38 3,629 3,623 3,576
39 3,627 3,620 3,565
40 3,626 3,618 3,554
41 3,623 3,617 3,549
42 3,618 3,615 3,539

49
Lampiran 6. Data hasil pengukuran sensor kontraksi otot berbasis SOP
konfigurasi spiral dengan selubung variasi jumlah lekukan dengan diameter 0,5
cm

Tegangan Keluaran (Volt)

Konfigurasi Spiral diameter 0,5 cm


Variasi Beban (N)
Variasi Jumlah Lekukan

2 3 4

0 4,742 4,742 4,742

5 4,730 4,726 4,711

10 4,723 4,709 4,690

15 4,711 4,693 4,659

20 4,696 4,667 4,638

25 4,684 4,649 4,607

30 4,667 4,630 4,588

35 4,645 4,607 4,565

40 4,626 4,584 4,541

45 4,604 4,572 4,516

50 4,589 4,546 4,508

50
Lampiran 7. Data hasil pengukuran sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi
spiral dengan selubung dan tanpa selubung variasi jumlah lekukan dengan
diameter 0 cm

Tegangan Keluaran (Volt)


Suhu Tubuh (0C) Konfigurasi Spiral Variasi Lekukan dengan selubung
2 lekukan 3 lekukan 4 lekukan
28 2,790 2,790 2,79
29 2,782 2,760 2,738
30 2,775 2,736 2,706
31 2,760 2,714 2,681
32 2,746 2,678 2,657
33 2,738 2,656 2,632
34 2,720 2,637 2,597
35 2,703 2,594 2,565
36 2,694 2,571 2,547
37 2,685 2,557 2,512
38 2,668 2,534 2,486
39 2,659 2,513 2,452
40 2,650 2,498 2,421
41 2,641 2,464 2,398
42 2,633 2,441 2,369

Tegangan Keluaran (volt)


0
Suhu Tubuh ( C) spiral tanpa selubung
4 lekukan
28 3,032
29 3,016
30 2,963
31 2,924
32 2,884
33 2,844
34 2,804
35 2,765
36 2,724
37 2,685
38 2,648
39 2,600
40 2,544
41 2,490
42 2,442

51
Lampiran 8. Data hasil pengukuran sensor kontraksi otot berbasis SOP
konfigurasi spiral dengan selubung dan tanpa selubung variasi jumlah lekukan
dengan diameter 0 cm

Tegangan Keluaran (Volt)


Variasi Beban Konfigurasi spiral diameter 0 cm dengan selubung
(N) Variasi Jumlah lekukan
2 3 4
0 3,388 3,388 3,388
5 3,363 3,359 3,344
10 3,349 3,339 3,309
15 3,323 3,311 3,269
20 3,315 3,293 3,230
25 3,292 3,270 3,190
30 3,276 3,250 3,151
35 3,269 3,231 3,119
40 3,245 3,203 3,082
45 3,236 3,192 3,052
50 3,217 3,171 3,031

Tegangan Keluaran (Volt)


Variasi Beban (N) Spiral diameter 0 cm 4 lekukan
Tanpa Selubung
0 3,032
5 2,965
10 2,923
15 2,886
20 2,835
25 2,785
30 2,725
35 2,665
40 2,617
45 2,564
50 2,513

52
Lampiran 9. Data hasil pengukuran sensor suhu tubuh berbasis SOP konfigurasi
spiral dengan selubung variasi pencacatan

Tegangan Keluaran (Volt)


Suhu Tubuh
Konfigurasi spiral Variasi Pencacatan
(0C)
Pencacatan 1 Pencacatan 2 Pencacatan 3 Pencacatan 4
28 3,131 3,131 3,131 3,131

29 3,083 3,053 2,995 2,978

30 3,055 3,002 2,975 2,928

31 3,013 2,957 2,943 2,887

32 2,964 2,932 2,907 2,864

33 2,918 2,883 2,863 2,838

34 2,871 2,852 2,837 2,803

35 2,825 2,815 2,803 2,778

36 2,803 2,787 2,762 2,739

37 2,780 2,772 2,755 2,713

38 2,750 2,740 2,722 2,675

39 2,730 2,721 2,706 2,640

40 2,710 2,695 2,672 2,621

41 2,691 2,675 2,647 2,609

42 2,670 2,645 2,626 2,583

53
Lampiran 10. Data hasil pengukuran sensor kontraksi otot berbasis SOP
konfigurasi spiral dengan selubung variasi pencacatan

Tegangan Keluaran (Volt)

Variasi Beban Konfigurasi spiral diameter 0 cm 4 lekukan


(N) Variasi Jumlah pencacatan

1 2 3 4

0 3,131 3,131 3,131 3,131

5 3,096 3,021 2,986 2,973

10 2,998 2,978 2,962 2,947

15 2,978 2,952 2,932 2,917

20 2,946 2,923 2,904 2,882

25 2,891 2,877 2,865 2,848

30 2,874 2,853 2,832 2,809

35 2,857 2,823 2,794 2,762

40 2,811 2,796 2,753 2,726

45 2,789 2,763 2,713 2,686

50 2,759 2,721 2,683 2,647

54
Lampiran 11. Serat optik polimer, LED (Biru), Fototdetektor (Hitam)

Lampiran 12. Arduino Uno

55
Lampiran 13. Rangkaian catu daya dan penguat

Lampiran 14. Serat optik konfigurasi loop variasi diameter

56
Lampiran 15. Serat optik konfigurasi spiral dengan selubung diameter 1 cm

Lampiran 16. Serat optik konfigurasi spiral dengan selubung diameter 0,5 cm

57
Lampiran 17. Serat optik konfigurasi spiral dengan selubung diameter 0 cm

Lampiran 18. Serat optik konfigurasi spiral tanpa selubung diameter 0 cm

58
Lampiran 29. Serat optik konfigurasi spiral dengan selubung variasi pencacatan

Lampiran 20. Pengambilan data dan sampel untuk pengukuran suhu tubuh

59
Lampiran 21. Pengambilan data dan sampel untuk pengukuran kontraksi otot

Lampiran 22. Termometer digital

60
Lampiran 23. Tampilan suhu tubuh dan kontraksi otot di komputer

61

Anda mungkin juga menyukai