Anda di halaman 1dari 49

REFERAT

NEUROVASCULAR DISEASE DAN GANGGUAN MEMORI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Penyakit Saraf

Pembimbing:
dr. Desi Nuraini Justika, Sp.S

Disusun Oleh
Desmawita Lestari 030.13.051

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
PERIODE 19 AGUSTUS 2019 – 20 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

Referat dengan judul:

”Neurovascular Disease Dan Gangguan Memori”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

Periode 19 Agustus 2019 – 20 September 2019

Disusun oleh:

Desmawita Lestari

(030.13.051)

Tegal, Agustus 2019

Mengetahui,

dr. Desi Nuraini Justika, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T yang telah mengizinkan referat ini terlaksana, karena

berkat anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Neurovascular

Disease Dan Gangguan Memori”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah

Kardinah Kota Tegal, periode 19 Agustus 2019 – 20 September 2019.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Desi Nuraini Justika, Sp.S, sebagai

pembimbing, dokter dan staf-staf Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah

Kota Tegal, teman-teman sesama koasisten Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah

Kardinah Kota Tegal, dan semua pihak yang turut serta memberikan bantuan, doa, semangat,

dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar

pengharapan penulis bagi pembaca untuk memberikan masukan dan kritikan yang akan saya

pertimbangkan untuk memperbaiki referat ini menjadi lebih baik. Terima kasih dan Tuhan

memberkati.

Tegal, Agustus 2019


Penulis

Desmawita Lestari

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................8

2.1 Neurovascular Disease .......................................................................... 8

2.1.1 Definisi........................................................................................8

2.1.2 Epidemiologi.............................................................................. 8

2.1.3 Faktor Risiko................................................................................8

2.1.4 Klasifikasi ..................................................................................9

2.1.5 Penegakan Diagnosis................................................................19

2.1.6 Sistem Skoring Stroke................................................................21

2.1.7 Tatalaksana...................... ........................... .............................25

2.2 Gangguan Memori ................................................................................30

2.2.1 Definisi......................................................................................30

2.2.2 Demensia.................................................................................. 30

2.2.3 Sindrom Amnestik......................................................................38

2.2.4 Transient Amnesia....................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 40

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi Stroke Iskemik.........................................................13

Gambar 2.2 Lokasi Sumbatan pada Stroke Iskemik.........................................14

Gambar 2.3 Patofisiologi Stroke Iskemik.........................................................13

Gambar 2.4 Skor Djoenaedi.............................................................................24

Gambar 2.5 Diagnosis Banding Demensia......................................................34

Gambar 2.6 Algoritma Tatalaksana Demensia................................................38

v
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebrovascular Disease atau yang pada umumnya disebut Stroke menurut definisi

World Health Organization (WHO) adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam

atau lebih dan dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain

vaskuler. Stroke adalah suatu keadaan darurat medis yang serius. Sekitar 30% dari penderita

stroke meninggal dalam jangka waktu tiga bulan. Namun, lebih dari 50% pasien yang selamat

bisa memulihkan kemampuan perawatan diri mereka dan kurang dari 20% pasien yang menderita

cacat berat. Faktor yang memengaruhi pemulihan tergantung pada tingkat keparahan kerusakan

otak (termasuk jenis stroke dan area tubuh yang terpengaruh), komplikasi yang terjadi, dan

kemampuan perawatan diri pasien sebelum stroke terjadi. Selain itu, sikap pasien dan dukungan

dari keluarga/perawat mereka serta perawatan rehabilitasi yang sesuai juga bisa memberikan efek

yang signifikan.(1)

Stroke merupakan masalah kesehatan mayor di dunia, menjadi penyebab kematian ketiga
setelah penyakit jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan utama. Belum ada data
pasti stroke di Indonesia, namun riset kesehatan dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan
Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-
rumah sakit di Indonesia.29 Prevalensi stroke di India diperkirakan 203 pasien per 100.000
penduduk, sedangkan di China insidennya 219 per 100.000 penduduk. Kemajuan teknologi
kedokteran berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke, namun angka kecacatan akibat
stroke cenderung tetap bahkan meningkat. Diperkirakan terdapat 2 juta penderita pasca stroke di
Amerika dengan biaya perawatan 65,5 miliar dolar pada tahun 2008. Secara umum, angka kejadian
Stroke semakin meningkat. Berdasarkan data RISKESDAS Kemenkes Republik Indonesia terdapat
peningkatan Prevalensi Stroke dari 8,3 Juta (tahun 2007) menjadi 12,2 Juta (tahun 2013) (2)
Angka Kejadian stroke hemoragik di Asia lebih tinggi dibandingkan di negara barat. Hal
ini disebabkan tingginya anmgka kejadian hipertensi pada populasi asia. Berdasarkan data Stroke
Registry di Indonesia, yang dimulai sejak tahun 2012 sebagai kerjasama antara PERDOSSI dengan

6
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014
didapatkan 5411 kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebanyak
33%.(1)

Prevalensi gangguan memori, terutama Demensia Alzheimer yang meningkat cepat sesuai
dengan meningkatnya umur harapan hidup. Saat ini diperkirakan setiap detik dapat ditemukan
tujuh kasus demensia baru di dunia, dan sebagian besar orang dengan demensia ini tinggal di
negara dengan pendapat rendah dan menengah termasuk Indonesia. Demensia menyebabkan
gangguan kognisi, perilaku dan aktivitas fungsional keseharian dengan konsekuensi berat pada
aspek fisik, mental, psikososial baik pada pasien maupun keluarga dan masyarakat. Walaupun
demikian, pengenalan kasus demensia pada tahap dini oleh masyarakat dan juga tenaga kesehatan
masih merupakan tantangan saat ini. Disamping itu, kasus-kasus demensia yang terdiagnosis
sering tidak mendapat penatalaksanaan yang memadai sehingga tidak tercapai kualitas hidup
(3)
optimal.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NEUROVASCULAR DISEASE

2.1.1 Definisi

Cerebrovascular Disease atau yang pada umumnya disebut Stroke menurut WHO adalah

manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak baik fokal maupun global yang berlangsung

dengan cepat, dengan gejala berlangsung >24 jam, dapat menyebabkan kematian, tanpa

adanya penyebab lain selain vaskuler. (1)

2.1.2 Epidemiologi (2)

Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut, dan salah

satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Di negara

berkembang, secara umum angka kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi, yakni 81%

dan 75,2%. Menurut RISKESDAS 2013 prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3%

pada tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun 2014.

American Heart Association (AHA) tahun 2016 melaporkan sebanyak 87% stroke

iskemik, dan sisanya adalah hemoragik (intraserebral, dan subaraknoid). Hal ini sesuai

dengan data Stroke Registry 2012-2014 yang menyebutkan dari 5411 pasien stroke di

Indonesia, 67% nya adalah pasien dengan stroke iskemik.

Center for Disease Control and Prevention yang dilaporkan oleh Chang dkk

menyebutkan bahwa stroke menyebabkan 5% dari 4200 kematian ibu terkait kehamilan di

Amerika Serikat tahub 1991-1997 dan merupakan penyebab 2,5% rawat inap untuk

morbiditas berat pada ibu hamil di Amerika Serikat dari tahun 1991 sampai 2003.

2.1.3 Faktor Resiko (4)

Faktor resiko stroke dibagi atas modified dan unmodified. Faktor resiko modified dibagi

8
menjadi mayor, hipertensi, DM, dan riwayat merokok. Sedangkan faktor resiko modified

minor dibagi menjadi anemia, hiperkolestrolemia, hiperurisemia, obesitas, dll. Faktor resiko

unmodified terdiri dari usia (>50tahun), jenis kelamin, genetik, dan ras.

2.1.4 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu:

A. Stroke iskemik

Stroke iskemik penderita dengan gangguan neurologik fokal yang mendadak

karena obstruksi atau penyempitan pembuluh darah arteri otak dan menunjukkan

gambaran infark pada CT-Scan kepala. Aliran darah ke otak terhenti karena plak

aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau

bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak.

Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju

ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri

vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. (5)

Penyumbatan ini dapat disebabkan oleh :

- Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri

karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat

serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal

memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas

daridinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri

yanglebih kecil.

- Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa

juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat

lain,misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli

serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering

9
terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita

kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).

- Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan

ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.

- Peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang

menuju ke otak.

- Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit

pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.

- Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran

darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa

terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi

jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau

pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal. (6)

Jenis Stroke Iskemik(7) :

- TIA (Transient Ischemic Attack)

: Episode singkat disfungsi neurologis yang disebabkan gangguan setempat pada

otak yang terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, tanpa adanya infark, serta

meningkatkan resiko terjadinya stroke di masa depan.

- RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)

: Defisit neurologis lebih dari 24 jam namun kurang dari 72 jam.

- Stroke in Evolution

: ditandai dengan gejala dan tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48

jam. Kelainan atau defisit neurologik yang timbul berlangsung secara bertahap

dari bersifat ringan menjadi lebih berat.

- Completed Stroke

: yaitu kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak berkembang
10
lagi. Kelainan neurologis yang timbul bermacam-macam, tergantung pada daerah

otak mana yang mengalami infark.

1. Stroke akibat trombosis serebri(8)

Stroke yang disebabkan adanya penyumbatan lumen pembuluh darah

otak karena trombus yang makin menebal, sehingga aliran darah tidak lancar,

dan menyebabkan iskemik. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah

yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.

Trombosis diawali adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan

kolagen di bawahnya. Trombosis terjadi akibat interaksi antara trombosit dan

dinding pembuluh darah, adanya kerusakan endotel pembuluh darah.

Endotel normal bersifat antitrombosis karena adanya glikoprotein dan

proteoglikan melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel

bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang rusak,

darah berhubungan dengan serat kolagen pembuluh darah, merangsang

agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat- zat yang

terdapat di dalam granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal

dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada

trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen

pembuluh darah.

Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima

perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang

diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan

kegiatan neuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa,

disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan

11
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme

tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit

aktivitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak

dimulai, dan lebih dari 9 menit akan meninggal.

Bila aliran darah jaringan otak berhenti, oksigen dan glukosa yang

diperlukan untuk pembentukan ATP menurun, terjadi penurunan Na-

KATPase, sehingga membran potensial menurun. K+ berpindah ke ruang CES

sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan

permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi.

Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap

terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jairngan otak.

Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun di bawah ambang batas

kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga di bawah 0,10

ml/100 g/menit.

Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan

gangguan fungsi enzim- enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis

menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama

jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi

peningkatan resistensi vaskular dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi

sehingga terjadi perluasan daerah iskemik.

12
Gambar 2.1 Patofisiologi Stroke Iskemik

2. Emboli serebri(8)

Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral,

infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi

atheromatus yang terletak pada pembuluh darah yang lebih distal. Gumpalan-

gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke

tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang

terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah fragmen

distal akan berhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal karena

kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke.

dapat diakibatkan dari embolisasi dari arteri di sirkulasi pusat dari

berbagai sumber. Selain gumpalan darah, agregasi trombosit, fibrin, dan

potongan-potongan plak atheromatous, bahan-bahan emboli yang diketahui

masuk ke sirkulasi pusat termasuk lemak, udara, tumor atau metastasis,

bakteri, dan benda asing. Tempat yang paling sering terserang embolus serebri

13
adalah arteri serebri media, terutama bagian atas.

Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh

darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi, dan

umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah.

Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak)

akan menyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung

pada adanya pembuluh darah yang adekuat.

3. Hipoperfusi sistemik(8)

Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi

iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau

hipovolemik. Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh

karena adanya gangguan denyut jantung.

Gambar 2.2 Lokasi Sumbatan pada Stroke Iskemik

B. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik adalah suatu kelainan yang terjadi secara mendadak

dan disebabkan oleh kelainan vascular akibat pecahnya pembuluh darah pada

otak. Penyebab stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh penyakit hipertensi


14
kronik. (9)

Angka Kejadian stroke hemoragik di Asia lebih tinggi dibandingkan di

negara barat. Hal ini disebabkan tingginya anmgka kejadian hipertensi pada

populasi asia. Berdasarkan data Stroke Registry di Indonesia, yang dimulai sejak

tahun 2012 sebagai kerjasama antara PERDOSSI dengan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014

didapatkan 5411 kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke

hemoragik sebanyak 33%.(2)

Patofisiologi Stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan

dinding pembuluh darah kecil otak akibat hipertensi. Hipertensi kronik

menimbulkan terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses

turbulensi aliran darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu

nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi matrix fibrin. Terjadi pula herniasi

dinding arteriol dan rupture tunika intima, sehingga terbentuk mikro aneurisma

yang disebut Charcot- Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat

tekanan darah arteri meningkat mendadak. (10)

Pada kondisi normal, otak mempunyai system autoregulasi pembuluh

darah serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah

sistemik meningkat, system ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh

darah serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, akan terjadi

vasodilatasi pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah

meningkat cukup tinggi selama berbulan – bulan atau ber tahun – tahun. Hal ini

mengakibatkan terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah,

sehingga pembuluh darah akan kehilangan elsastisitasnya. Kondisi ini berbahaya

karena pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan

fluktuasi pembuluh darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak


15
akan dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah. (11)

Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah

(hematom) di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah,

sehingga memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta

menyebabkan peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien

yang umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang

terus berlangsung dengan edema disekitarnya, serta efek desak ruang hematom

yang mengganggu metabolism dan aliran darah.

Pada hematom yang besar, efek desak ruang menyebabkan pergeseran

garis tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan

iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat menekan

system ventrikel otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder. (12)

Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan

perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke

iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau

koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.

Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus

dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel. (13)

Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang

terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri

dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan

preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika

belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis

kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong

bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan

pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.


16
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan

kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam

tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan

cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus,

mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan

sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan

diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral

dan kontralateral tubuh. (14)

A. Perdarahan Intraserebral(15)

Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar

setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah,

sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan

atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang

terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan,

kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi

satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung.

Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang

berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya

kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.

Pada Perdarahan Intraserebral, lokasi perdarahan dapat menunjukkan gejala


neurologis tertentu seperti :
1. Sistem Karotis
 Perdarahan striata atau putamen dan kapsula interna yang berdekatan. Gejala
yang sering dijumpai diantaranya nyeri kepala, muntah, parese otot wajah, gangguan
bicara, penurunan kesadaran, hemianopia homonim, hemihipestesia, hemiplegia.
Bila perdarahan terbatas pada nukleus caudatus, defisit neurologis kurang berat dan
bersifat sementara.

17
 Perdarahan Talamus. Defisit neurologis yag biasa dijumpai adalah hemihipestesia,
hemiparese/hemiplegi, gaze palsy keatas (pada waktu istirahat posisi mata kea
bawah), pupil kecil, tidak berekasi terhadap cahaya, bila sisi dominan yang terkenan
maka akan dapat dijumpai afasia atau disfasia global, sedangkan pada sisi non
dominan akan didapatkan anosognosia.
 Perdarahan pada lobus hemisfer serebri. Terjadi paling sering di daerah temporo-
oksipital. Defisit neurologis yang terjadi bervariasi tergantung lobus mana yang
terkena.

2. Sistem Vertebrobasiler
 Perdarahan mesensefalon. Defisit neurologis yang didapatkan seperti kelumpuhan
N III ipsilateral dan ganguan traktis kortikospinalis kontralateral (Sindrom Weber).
 Perdarahan Pons. Defisit neurologis yang terjadi diantaranya onset koma yang
dalam tanpa didahului nyeri kepala atau gejala prodormal lainnya, gangguan traktus
piramidalis bilateral, desrebrasi, refleks gerakan mata hilang, pinpoin pupil tetapi
bereksi terhdap cahaya dan kematian terjadi dalam beberapa jam.
 Perdarahan Medula Oblongata
 Perdarahan Serebelum. Biasanya berjalan cepat dan fatal. Namun dapat juga
ditemukan gejala-gejala berupa nyeri kepala, dizzines, vertigo, muntag berulang,
ataksia, gangguan gerakan mata, gangguan keseimbangan, nistagmus. Jarang
dijumpai hemiparese atau hemiplegia.
 Perdarahan lobus oksipitalis. Gejalanya berupa nyeri kepala, hemianopia dengan
atau tanpa gejala traktus kortikospinalis yang minimal pada sisi yang sama dengan
gangguan lapang pandang.

18
B. Perdarahan Subaraknoid (16)

Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala

kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya

sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-

tanda peringatan, seperti berikut:

 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang

disebut sakit kepala halilintar)

 Sakit pada mata atau daerah fasial

 Penglihatan ganda

 Kehilangan penglihatan tepi

Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum

pecahnya aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang

tidak biasa ke dokter segera.

Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba

parah dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti

dengan kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang

terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap

berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa

bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita

mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan. (17)

Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak

mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan

leher kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri

pinggang.

Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang


19
mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:

 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)

 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa

Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam

beberapa menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10

hari pertama. Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa

masalah serius lainnya, seperti:

 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan

subaraknoid dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di

sekitar otak (cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya

tidak. Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan

dalam tengkorak. Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala

seperti sakit kepala, mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah

dan dapat meningkatkan risiko koma dan kematian.

 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak

dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian,

jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati,

seperti pada stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip

dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu

sisi tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan

koordinasi terganggu.

 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam

seminggu.

Parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan

prognosis pada Perdarahan Subarachnoid seperti skala Hunt dan Hess yang
20
bisa digunakan.

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk

mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah

di kepala pada pemeriksaan CT scan.

21
2.1.5 Penegakan Diagnosis(18)

 Anamnesis

- Adanya keluhan deficit neurologis fokal yang terjadi secara mendadak

(kelemahan tubuh sesisi,mulut mencong, bicara pelo, gangguan menelan,

pandangan ganda, tidak bisa bicara)

- Apakah ada kemungkinan presipitasi (apa yang pasien sedang lakukan pada

saat onset dan tidak lama sebelum onset)

- Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai (misalnya: nyeri kepala,

kejang epileptic, panik dan anxietas, muntah, nyeri dada)

- Apakah ada riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit keluarga yang

relevan.(riwayat TIA/stroke terdahulu, hipertensi, hypercholesterolemia, DM,

infark miokard, arteritis, riwayat penyakit vaskular atau trombolitik pada keluarga)

- Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang relevan (merokok, konsumsi

alkohol,diet, aktivitas fisik, obat-obatan seperti: kontrasepsi oral, obat

trombolitik,antikoagulan, amfetamin).

 Pemeriksaan Fisik

- Kesadaran dengan Glasgow Coma Scale

22
- Tanda Vital: pada Stroke hemoragic dapat ditemukan trias cushing yaitu

hipertensi, bradikardi, dan pernafasan irregular yang merupakan tanda tanda dari

peningkatan TIK

- Pemeriksaan Generalis terutama :

 Sistem pembuluh perifer. Lakukan asukultasi pada arteria karotis

untuk mencari adanya bising.

 Jantung, lakukan pemeriksaan aukultasi jantung untuk mencari

murmur dan disritmia, serta EKG.

 Retina, lakukan pemeriksaan ada tidaknya cupping diskus optikus,

perdarahanretina, kelainan diabetes.

 Ekstremitas, lakukan evaluasi ada tidaknya sianosis dan infark

sebagai tanda-tanda embolus perifer.

- Pemeriksaan Neurologik :

 Kesadaran: pada pasien dengan peningkatan TIK dapat terjadi

penurunan kesadaran

 Pemeriksaan Motorik: pada umumnya ditemukan hemiparesis

(kelemahan tubuh sesisi)

 Pemeriksaan Sensorik: pada umumnya gangguan sensoris yang

dihasilkan adalah hemi hipoestesi

 Pemeriksaan Reflek Fisiologis: dikarenakan stroke merupakan lesi

Upper Motor Neuron maka pada pada stroke akan didapatkan

peningkatan reflex fisiologis

 Pemeriksaan Reflek Patologis: dikarenakan stroke merupakan lesi

Upper Motor Neuron maka pada pada stroke akan didapatkan reflex

patologis yang positif (babinsky group: babinsky, chaddok, gordon.

Gonda, dan scheaffeur)


23
 Pemeriksaan Nervus Kranialis

 Pemeriksaan Koordinasi & Keseimbangan

- Pemeriksaan Penunjang :

 CT – Scan Kepala tanpa kontras untuk menyingkirkan perdarahan. Pada


stroke Iskemik akan ditemukan gabarang hypodense (warna gelap) yang
akan menandakan daerah yang infark. Sedangkan pada stroke
hemmoragic ditemukan lesi hiperdense (putih) pada intrakranial jika
perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan
memberikan gambaran yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis
perdarahan akan memberikan gambaran hipodense yang mirip seperti
Cerebrovascular Fluid.

-
- Gambar 2.3 pencitraan CT-Scan pada perdarahan Intraserebral

Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume


elipsoid yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan
diameter hematoma terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari
slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan ketebalan slice. Pada penelitian
Kothari didapati bahwa volume PIS dapat diestimasi dengan menggunakan
rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya terhadap
computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui volume
perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis
dari suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

24
 Analisis laboratorium: Darah rutin, urianalisis , HDL, LED, panel

metabolik dasar (Na, K, Cl,bikarbonat, glukosa, nitrogen urea darah, dan

kreatinin), profil lemak serum.

 Pemeriksaan Rontgen toraks untuk mendeteksi pembesaran jantung.

 Pemeriksaan EKG

25
2.1.6 Sistem Skoring Stroke (18)

 Siriraj Stroke Score

PARAMETER KATEGORI SKOR


Tingkat Compos Mentis 0

Kesadaran Somnolen – 1

Sopor

Koma 2

Muntah Ada 1

Tidak 0

Nyeri Kepala Ada 1

Tidak 0

Ateroma Ada 1

Tidak 0

Total Skor Lebih dari 1 : Hemoragik

Kurang dari 1 Iskemik

-1 s/d 1 Meragukan

 Rumus Perhitungan Skor :

Jumlah Score Siriraj =


(2,5 x Kesadaran) + (2 x Muntah) + (2 x Nyeri Kepala)
+ (0,1 x Tekanan Diastolik) + (3 x Ateroma) – 12

26
 Alogaritma Stroke Gajah Mada

Gambar 2.3 Algoritma Stroke Gajah Mada

27
 Skor Djonaedi

Gambar 2.4 Skor Djoenaedi

28
 Skor Hasanudin

No. KRITERIA SKOR


1. Tekanan Darah
- Sistole ≥ 200 ; Diastole ≥ 110 7,5
- Sistole < 200 ; Diastole < 110 1
2. Waktu Serangan
- Sedang bergiat 6,5
- Tidak sedang bergiat 1
3. Sakit Kepala
- Sangat hebat 10
- Hebat 7,5
- Ringan 1
- Tidak ada 0
4. Kesadaran Menurun
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 10
- 1 jam s/d 24 jam setelah onset 7,5
- Sesaat tapi pulih kembali 6
- ≥ 24 jam setelah onset 1
- Tidak ada 0
5. Muntah Proyektil
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 10
- 1 jam s/d < 24 jam setelah onset 7,5
- ≥ 24 jam setelah onset 1
- Tidak ada 0

Interpretasi:
< 15 Stroke Iskemik
≥ 15 Stroke hemoragic

- NB: Nilai terendah = 2 ; nilai tertinggi = 44


- Penggunaan skor Hasanuddin turut dilakukan dalam membantu mendiagnosa stroke pada sebelum
atau tanpa adanya CT scan.

2.1.7 Tatalaksana(19)

Jika terdapat pasien dengan gejala stroke maka pasien tersebut harus dibawa

ke IGD yang memiliki fasilitas untuk CT Scan kepala secepatnya dikarenakan semakin

cepat ditangani maka semakin banyak sel otak yang dapat terselamatkan. Oleh karena

itu prinsip penatalaksanaan stroke adalah “Time is Brain”. CT scan kepala dilakukan

hanya untuk menyingkirkan perdarahan dikarenakan stroke iskemik dan hemoragic

memiliki tatalaksana yang sangat berbeda.

A. Stroke Iskemik

- Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Stabilisasi Jalan Nafas dan Pernapasan

29
 Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat dilakukan pemasakan pipa

endotracheal untuk menjaga patensi jalan nafas pasien

 Dipastikan kemampuan menelan pasien, jika terjadi gangguan

menelan atau jika pasien dalam keadaan tidak sadar, perlu dilakukan

pemasangan pipa nasogastrik untuk mencegah pneumonia aspirasi

 Stabilisasi Hemodinamik

1. Tidak menurunkan tekanan perfusi serebral

2. Pemberian cairan kristaloid atau koloid IV, hindari cairan hipotonik

seperti glukosa

3. Pemasangan central venous catheter (CVC) bila diperlukan, untuk

memantau kecukupan cairan serta sebagai sarana memasukan cairan dan nutrisi

dengan target tekanan 5-12mmHg

4. Optimalisasi tekanan darah

5. Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah,suhu, dan saturasi

oksigen dalam 72 jam

- Penatalaksanaan Khusus

 Trombolisis

Trombolisis adalah melisis thrombus dengan menggunakan trombolitik

rTPA (recombinant tissue plasminogen activator). rTPA merupakan

katalisator konversi plasminogen menjadi plasmin sehingga meningkatkan

kecepatan melisis fibrin yang menyumbat pembuluh darah otak pada saat

terjadi stroke iskemik.

Trombolotis dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan

reperfusi dan lisisnya thrombus dan perbakan sel serebral yang bermakna.

American Heart Association dan American Academy of Neurology

30
merekomendasikan penggunaan rTPA sebagai trombolisis untuk terapi stroke

dalam 3 jam setelah onset gejala pada pemberian intravena dan 6 jam setelah

onset pada pemberian intraarterial. Pemberian IV rTPA dosis 0,9 mg/kgBB

(maksimal 90 mg), 10% dari dosis total diberikan sebagai bolus inisial dan

sisanya diberikan sebagai infuse selama 60 menit, terapi tersebut harus

diberikan dalam rentang waktu 3 jam dari onset (AHA/ASA, class 1, level of

evidence A) atau 4,5 jam. 12

 Antikoagulan

Antikoagulan adalah terapi untuk mencegah terjadinya

thrombus pada arteri kolateral. Antikoagulan dipergunakan untuk

stroke emboli yang embolinya berasal dari jantung (arterial

fibrilasi), antikoagulan berfungi untuk mencegah terjadinya stroke

emboli pada arteri kolateral dan tidak bisa melisis thrombus pada

arteri yang telah mengalami penyumbatan akibat emboli

sebelumnya. Antikoagulan yang bisa dipakai adalah heparin,

warfarin atau golongan LMWH (low weight molecular heparin).

Rekomendasi untuk pasien dengan stroke kardioemboli dengan

faktor risiko iskemik miokard dan thrombus pada ventrikel kiri

jantung berdsarkan hasil EKG atau pemeriksaan pencitraan jantung

lainnya harus diberi pengobatan dengan antikoagulan oral (target

INR 2,5; rentang sampai 3) untuk sekurang-kurangnya selama 3

bulan (AHA/ASA, class 1, level of evidence B).

 Antiplatelet

Pemberian antiplatelet bertujuan untuk meminimalisasi

perluasan atau mencegah pembentukan thrombus baru. Obat yang

31
termasuk antiplatelet diantaranya aspirin, clopidogrel dan

dipiridamol. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam

24-48 jam setelah onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke

iskemik (AHA/ASA, class 1, level of evidence A). jika

direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.

Pemberian clopidogrel saja atau kombinasi dengan aspirin pada

stroke iskemik akut tidak dianjurkan, kecuali pada pasien dengan

indikasi spesifik misalnya angina pectoris tidak stabil, non Q wave

MI, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian

(AHA/ASA, class 1, level of evidence A).

 Neuroprotektan

Neuroprotektan merupakan golongan obat yang bersifat

neuroprotektif, artinya bisa menghambat proses sitotoksik yang

merusak sel saraf dan sel glia pada area penumbra. Citicoline

merupakan neuroprotektan yang sering digunakan. Citicoline

merupakan obat yang bekerja dalam mengurangi iskemia jaringn

dengan menstabilkan membrane dan mencegha pembentukan

radikal bebas. Namun berdasarkan studi meta-analisis hanya pada

penderita stroke iskemik sedang-beart yang mendapatkan citicoline

yang mengalami kemajuan yang bermakna dibandingkan dengan

placebo. Sementara pada penderita stroke ringan- sedang ada

perbaikan namun tidak signifikan. Penggunaan citicoline dengan

dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000

mg selama 3 minggu.

B. Stroke Hemoragic
32
- Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

 Stabilisasi Jalan Nafas dan Pernapasan

 Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat dilakukan pemasakan pipa

endotracheal untuk menjaga patensi jalan nafas pasien

 Dipastikan kemampuan menelan pasien, jika terjadi gangguan menelan atau

jika pasien dalam keadaan tidak sadar, perlu dilakukan pemasangan pipa nasogastrik

untuk mencegah pneumonia aspirasi

 Stabilisasi Hemodinamik

1. Tidak menurunkan tekanan perfusi serebral

2. Pemberian cairan kristaloid atau koloid IV, hindari cairan hipotonik seperti glukosa

3. Pemasangan central venous catheter (CVC) bila diperlukan, untuk memantau

kecukupan cairan serta sebagai sarana memasukan cairan dan nutrisi dengan target

tekanan 5-12mmHg

4. Optimalisasi tekanan darah

5. Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah,suhu, dan saturasi oksigen dalam

72 jam

 Tatalaksana peningkatan TIK

1. Elevasi kepala 30o

2. Menghindari penekanan vena jugularis

3. Mannitol 0,25- 0,5g/kgBB, selama 20 menit, diulangi setiap 4-6jam dengan target

osmolaritas darah ≤310 mOsm/L.

4. Agen osmolaritas lainnys dapat digunakan NaCl 3%

5. Intubasi untuk menjaga normoventilasi

 Pengendalian suhu tubuh

 Tatalaksana cairan

1. Kebutuhan cairan 30mL:/kgBB/Hari


33
2. Pemberian cairan isotonic seperti NaCl 0,9% untuk menjaga euvolemia

- Penatalaksanaan Khusus

 Perawatan di Stroke unit

 Koreksi Koagulopati

 Tekanan darah

1. Pada rentang tekanan darah sistolik 150 – 220 target sistoliknya 140 mmHG

2. Pada tekanan darah >220 tidak boleh diturunkan dengan cepat

 Penatalaksanaan bedah:

1. Dilakukan Craniotomy untuk evakuasi hematom

2. Hematom serebelar dengan diameter >3cm yang disertai penekanan batang otak

dana tau hidrosefalus harus dilakukan sesegera mungkin

3. Perdarahan dengan kelainan structural seperti aneurisma atau avm

4. Perdarahan lobaris dengan ukuran sedang besar yang terletak dekat dengan korteks

(<1cm) pada pasien usia <45 tahun dengan GCS 9-12

C. Tatalaksana Rehabilitatif Pasca Stroke

Meliputi rehabilitasi medikal, sosial, dan vokasional. Rehabilitasi medik

merupakan upaya mengembalikan kemampuan klien secara fisik pada keadaan

semula sebelum sakit dalam waktu sesingkat mungkin. Rehabilitasi sosial merupakan

upaya bimbingan sosial berupa bantuan sosial guna memperoleh lapangan kerja

Rehabilitasi vokasional merupakan upaya pembinaan yang bertujuan agar penderita

cacat menjadi tenaga produktif serta dapat melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan

kemampuannya

Tahap Rehabilitasi:

1). Rehabilitasi stadium akut


34
Programnya dijalankan oleh tim, biasanya latihan aktif dimulai sesudah prosesnya

stabil, 24-72 jam sesudah serangan, kecuali perdarahan. Sejak awal Speech terapi

diikutsertakan untuk melatih otot-otot menelan yang biasanya terganggu pada

stadium akut. Psikolog dan Pekerja Sosial Medik untuk mengevaluasi status psikis

dan membantu kesulitan keluarga.

2). Rehabilitasi stadium subakut

Pada stadium ini kesadaran membaik, penderita mulai menunjukan tanda-tanda

depresi, fungsi bahasa mulai dapat terperinci..

3).Rehabilitasi stadium kronik

Pada saat ini terapi kelompok telah ditekankan, dimana terapi ini biasanya sudah

dapat dimulai pada akhir stadium subakut. Keluarga penderita lebih banyak

dilibatkan, pekerja medik sosial, dan psikolog harus lebih aktif. Mobilisasi adalah hal

yang menyebabkan bergeraknya sesuatu.

Tujuan mobilisasi pada pasien stroke adalah:

a. Mempertahankan range of motion.

b. Memperbaiki fungsi pernafasan dan sirkulasi.

c. Menggerakkan seseorang secara dini pada fungsi aktifitas meliputi gerakan di

tempat tidur, duduk, berdiri dan berjalan.

d. Mencegah masalah komplikasi.

e. Meningkatkan kesadaran diri dari bagian hemiplegi

f. Meningkatkan kontrol dan keseimbangan duduk dan berdiri.

g. Memaksimalkan aktivitas perawatan diri

Program mobilisasi segera dijalankan dimulai sesudah prosesnya stabil, 24-72 jam

sesudah serangan kecuali pada perdarahan. Tindakan mobilisasi pada perdarahan

subarachnoid dimulai 2-3 minggu sesudah serangan. Pasien dengan stroke harus

dimobilisasi dan dilakukan fisioterapi sedini mungkin, bila kondisi klinis neurologis
35
dan hemodinamik stabil. Untuk Rehabilitasi Pasien Pasca Stroke fisioterapi pasif

pada klien yang belum boleh, perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap dua jam

untuk mencegah dekubitus. Latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali

sehari untuk mencegah kontraktur.

2.2 GANGGUAN MEMORI

2.2.1 Definisi (20)

Gangguan memori adalah kondisi di mana otak memiliki kesulitan untuk

menyimpan, mengendalikan, dan mengingat kembali memori.

2.2.2 Demensia(20)

Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya yang

cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan profesional yang tercermin dalam

aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak

disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor. Diagnosis klinis demensia

ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior, pemeriksaan fisik neurologis dan pola

gangguan kognisi. Pemeriksaan biomarka spesifik dari likuor serebrospinalis untuk penyakit

neurodegeneratif hanya untuk penelitian dan belum disarankan dipakai secara umum di

praktik klinik. Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu

gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari gangguan memori

terutama kemampuan belajar materi baru yang sering merupakan keluhan paling dini.

Memori lama bisa terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami

disorientasi di sekitar rumah atau lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat

keputusan dan pengertian diri tentang penyakit juga sering ditemukan. Keluhan non-kognisi

meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok behavioral neuropsychological symptoms of

dementia (BPSD). Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan nonagresif

seperti wandering, disihibisi, sundowning syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering

adalah depresi, gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan
36
motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya dapat ditemukan

disamping keluhan kejang mioklonus.

Faktor resiko demensia:

 Usia

 Riwayat keluarga

 Apolipoprotein e genotipe

 Down syndrome

A. Penyakit Alzheimer(19)

Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang tersering

ditemukan (60-80%). Karateristik klinik berupa berupa penurunan progresif memori

episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap

akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian

menyusul gangguan memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini

mengenai terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih

muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%)

walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak

neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle

(hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan

pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-

amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.

B. Demensia Vaskular(19)

Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat defisit

kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan

dengan faktor risiko vaskuler.5 Penuntun praktik klinik ini hanya fokus pada demensia

vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk

37
infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan,

gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi

vaskuler).6 Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis

dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan

faktor risiko untuk terjadinya DV. 7 CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy 4

with subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease usia

dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter

C. Demensia lewy body dan demensia penyakit parkinson(19)

Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan. Sekitar

15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini.8,9 Gejala inti demensia

ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata (vivid) dan

terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung

diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi

dan atau halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan

patologi antara DLB dan PA. 10 Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung

mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori

verbalnya relatif baik jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal.

Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan.

Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis,

sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism

harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi

bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun).

D. Demensia Frontotemporal(19)

Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus

Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur

65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan
38
progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang

menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau

inersia, kehilangan 5 simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual,

hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan memori dan

visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.11 Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan

atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism

pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik (DS) dan Primary

Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai

gangguan perilaku lainnya. Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing

adalah 40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.

E. Demensia Tipe Campuran(19)

Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-28%

orang dengan PA dari klinik demensia yang diotopsi.12 Pada umumnya pasien demensia

tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi Penyakit

Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang dengan DLB memiliki

patologi PA

Demensia seringkali sulit dibedakan dengan delirium. Walaupun delirium dan

demensia dapat terjadi bersamaan, demensia harus dibedakan dari delirium dan depresi.

39
Gambar 2.5 Diagnosis Banding Demensia

Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan kecurigaan gangguan

kognitif yaitu dalam keadaan sebagi berikut:

 Pasien dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik yang dilaporkan

oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang lainnya

 Gejala pikun yang progresif.

 Pasien yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan pemeriksaan

oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun subjek tidak mengeluhkan adanya

keluhan kognitif atau memori

 Pasien yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat keluarga dengan

demensia)

40
Pemeriksaan status mental harus terlebih dulu dilakukan sebelum melakukan

pemeriksaan fungsi kognisi. Ada banyak tes fungsi kognitif singkat yang dapat digunakan

untuk mengukur gangguan kognisi.

a. Mini Mental State Examination (MMSE)

Merupakan tes fungsi kognisi yang paling sering digunakan. Skor MMSE

dan nilai cut off dipengaruhi beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, usia dan

etnis. Beberapa komponen MMSE dapat lebih diandalkan untuk mengarahkan

diagnosis daripada skor total. Nilai cut off untuk MMSE harus disesuaikan menurut

tingkat pendidikan. Nilai cut off 27 memberikan sensitivitas 0.9, spesitifitas 0.9,

PPV 0.8, NPV 0.9. Nilai cut off 28 (sensitivitas 0.78, spesifisitas 0.8, PPV 0.6, NPV

0.9) pada subjek dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memberikan akurasi

diagnostik yang lebih tinggi, baik pada subjek dengan kognisi intak maupun

terganggu di etnis Kaukasia yang menggunakan bahasa Inggris. Nilai area under the

curve (AUC) MMSE berkisar antara 0.9 sampai 1.0, mengindikasikan akurasi yang

baik dalam mengidentifikasi demensia pada populasi dengan beragam usia dan

tingkat pendidikan.

b. Clock Drawing Test

Clock drawing test (CDT) merupakan instrumen penapisan demensia yang

dapat diandalkan namun dipengaruhi usia, jenis kelamin dan edukasi. Pada subjek

usia lanjut dengan tingkat pendidikan kurang dari 4 tahun kurang valid untuk

dijadikan alat penapisan demensia. Tes ini dapat dilakukan dengan cara menggambar

mengikuti perintah atau meniru gambar yang ada. Kedua cara ini menunjukkan

AUC-Receiver Operating Characteristic (ROC) yang tinggi yaitu 84% dan 85%

secara berurutan. Tes ini memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan DFT

dari DA dan subjek normal, dapat mengidentifikasi 88,9% kasus DFT dan 76%
41
kasus DA dengan prediksi akurasi 83,6%. (Level III, good)71

c. Montreal Cognitive Assessment

Tes Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan tes penapisan yang

sederhana yang lebih baik dalam mengidentifikasi MCI (Sn 90%, Sp 87%) dan awal

DA (Sn 100%; Sp 87%) dibandingkan dengan MMSE (MCI (Sn 18%) dan DA (Sn

78%)). MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien dengan

Penyakit Parkinson (PP). Nilai cut off untuk MCI adalah 26/27, pada populasi di

negara Barat dengan pendidikan minimal 12 tahun. Angka ini harus divalidasi sesuai

latar belakang pendidikan subjek, seperti yang didapatkan di Korea bahwa akurasi

yang lebih baik didapatkan pada nilai cut off yang lebih rendah (22/23; Sn 89% dan

98% untuk MCI dan DA secara berurutan, dengan Sp 84%). Nilai normal MoCA

INA sudah pernah diteliti di Universitas Indonesia, dan ternyata hasilnya

dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Sebaiknya tes ini

dipakai pada mereka dengan pendidikan > 6 tahun. Median nilai MoCA INA untuk

tingkat pendidikan >6 tahun berkisar antara 22 – 27. Maka untuk penggunaan praktis

sebaiknya dipakai cut off 24. Bila nilai kurang dari 24 dianggap ada gangguan.

Terapi farmakologi pada demensia harus sejalan dengan intervensi

spikososial untuk memperbaiki kognisi, fungsi dan perilaku. Setelah terapi dimulai,

pasien harus dinilai secara berkala setiap 6 bulan. Pemeriksaan kognisi, fungsi secara

global dan perilaku harus dilakukan berkala. Penilaian keluarga terhadap kondisi

pasien baik saat sebelum mulai terapi dan saat follow up harus diperhatikan.

Umumnya diberikan penguat kognisi. Penguat kognisi bekerja melalui 2

cara yang berbeda. Kolinesterase Inhibitor (AChEI) bekerja dengan meningkatkan

kadar asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik.

Mekanisme lain adalah dengan stimulasi terus-menerus pada reseptor NMDA. 126

Kolinesterase Inhibitor direkomendasikan untuk demensia ringan hingga sedang.


42
Hanya donepezil yang disetujui untuk demensia berat. Memantin, sebuah antagonis

reseptor NMDA disetujui untuk demensia sedang hingga berat 38 Menurut NICE

technology appraisal 2006, meski AChEI direkomendasikan untuk mereka dengan

DA ringan hingga sedang, sebaiknya jangan bergantung pada MMSE dalam

memutuskan memulai terapi.

a. Alzheimer:

 Donepezil

 Rivastigmin

 Galantamin

 Memantin

b. Demensia Vaskular

Selain diberikan penguat kognisi juga diberikan obat yang mengontrol factor riziko

vascular

c. Demensia Lewy Body

 Rivastigmin

d. Demensia Frontotemporal

 Kolinesterase inhibitor

 Memantin

43
Gambar 2.6 Algoritma Tatalaksana Demensia

2.2.3 Sindrom Amnestik(20)

Sindrom amnestik mengacu pada kehilangan memori episodik baru yang sangat

banyak atau jangka pendek. Pasien-pasien sindrom amnestik, sebagian besar memiliki

kerusakan hippocampal bilateral, memiliki rentang memori segera dan bekerja normal dan

sebagian besar memiliki kemampuan normal untuk mengingat memori jangka panjang dan

seperti pendidikan dan masa kecil mereka. Fungsi kognitif atau kortikal yang lebih tinggi

lainnya mungkin sepenuhnya utuh (Perhatian, fungsi eksekutif, bahasa), yang membedakan

pasien ini dari mereka yang menderita demensia seperti penyakit Alzheimer. Memori

prosedural atau motorik cenderung tetap dipertahankan pada pasien dengan sindrom

44
amnestik, yang mungkin diajarkan untuk melakukan keterampilan motorik baru seperti

menulis di cermin. Ketika diminta untuk melakukan keterampilan yang baru dipelajari lagi,

pasien biasanya tidak akan ingat mengetahui cara melakukannya, tetapi keterampilan

motorik tetap ada dan pasien dapat dengan mudah menunjukkan keterampilan tersebut.

Gejala lain yang lebih bervariasi dari sindrom amnestik termasuk potensi disorientasi ke

waktu dan tempat. Sindrom amnestik dapat mencakup perundingan, atau membuat informasi

yang tidak disediakan oleh sistem memori. Pasien amnestik dapat berinteraksi, berbicara

dengan cerdas, dan bernalar dengan tepat, tetapi mereka tidak mengingat apa pun tentang

interaksi beberapa menit setelah itu berakhir.

Tatalaksana pada pasien ini merupakan terapi pada etiologi yang mendasarinya.

2.2.4 Transient Amnesia(20)

Transient Amnesia adalah versi sementara dari sindrom amnestik. Contoh amnesia

transien yang paling umum adalah sindrom transient amnesia global, yang berlangsung

hingga 24 jam. Dalam sindrom ini, seseorang yang secara kognitif masih utuh secara tiba-

tiba kehilangan ingatan untuk peristiwa baru-baru ini, mengajukan pertanyaan berulang

tentang lingkungannya, dan kadang-kadang berselisih. Selama episode tersebut, pasien

mengalami amnesia anterograde dan retrograde, seperti pada sindrom amnestik permanen.

Ketika pemulihan terjadi, bagaimanapun, bagian retrograde "menyusut" ke periode singkat,

meninggalkan celah permanen dalam memori amnesia retrograde singkat sebelum episode

dan periode tidak belajar selama episode. Sindrom ini tidak diketahui penyebabnya tetapi

dapat ditiru secara cermat oleh gangguan etiologi yang diketahui seperti kejang kompleks

parsial, migrain, dan kemungkinan iskemia sementara dari hippocampus di satu atau kedua

sisi. Beberapa pasien terakhir dengan amnesia global sementara yang diamati di rumah sakit

kami telah memiliki studi MRI tertimbang difusi normal, kecuali untuk dua pasien yang

memiliki pemulihan tidak lengkap; kedua pasien ini telah meninggalkan infark temporal

medial. Migrain konfusional, epilepsi , keracunan obat, "pemadaman" alkoholik, dan cedera
45
kepala ringan juga dapat menghasilkan amnesia sementara.

Tatalaksana pada pasien ini merupakan terapi pada etiologi yang mendasarinya.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T. Cerebrovascular disease


in the community: results of a WHO collaborative study. Bull World Health Organ. 1980;
58:113–30.

2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.

3. Misbach J, Jannis J, Soertidewi L. 2011. Epidemiologi Stroke, dan Anatomi Pembuluh Darah
Otak dan Patofisiologi Stroke dalam Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen.
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

4. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Guideline Stroke 2007.
Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.

5. Morgenstern, Lewis B., Hemphill J.C., et al. 2010.Guidelines for the Management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association / American Stroke Association. Journal of the American Heart Association.
(http://stroke.ahajournals.org/content/41/9/2108. Diakses Maret 18, 2017).

6. Misbach, dr.H. Jusuf. 1999. Stroke: Aspek Diagnotik, Patofisiologi, Manajemen. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, Indonesia.

7. Mardjono, Prof. dr. Mahar. Prof. dr. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar cetakan ke-13.
Dian Rakyat, Jakarta, Indonesia.

8. Magistris, Fabio. Stephanie Bazak, Jason Martin. 2013. Intracerebral Hemmorhage:


Pathophysiology, Diagnosis and Management (Clinical Review). MUMJ. Vol 10 No.1 halaman
15-22.

47
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis cetakan ke-4.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.

10. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology.Edisi 8. BAB 4. Major
Categories of Neurological Disease:Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New York, 2005.

11. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape.

12. Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, E/6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

13. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

14. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB 4. Major
Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New York.2005.

15. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. (Http://www.merck.com/ mmhe/sec06/ch086/ch086d.html.


Diakses Maret 18, 2017).

16. Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM, 2006.


(Http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.pdf/13Perjal
ananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html. Diakses Maret 18, 20147.

17. Mesiano, Taufik. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM,


2007.(Http://images.omynenny.multiply.multiplycontent.com Diakses Maret, 2017).

18. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan perdarahan intraserebral
supratentorial dari infark. (Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/. Diakses
Maret 18, 2017).

48
19. Basuki, Andi dan Dian Sofiati (ed.). Neurology in Daily Practice. 2010. Bandung: Bagian Ilmu
Pena Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD

20. Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Neurologi. Jakarta :EGC

49

Anda mungkin juga menyukai