Efek perdarahan terhadap ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu
hmail, sebesar tingkat hipervolemi yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin
sebelumnya. Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta
fasilitas transfuse darah yang masih menyebabkan PPP akan mengganggu
penyembuhan pada masa nifas, proses involusi, dan laktasi. PPP bukanlah suatu
diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Misalnya PPP
karena atonia uteri, PPP oleh karena robekan jalan lahir, PPP oleh karena sisa
plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan PPP bisa
banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikt
demi sedikit tanpa henti.
PPP menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi
dilahirkan, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dua minggu
setelah bayi lahir.
Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah
darah yang hilang. Perdarahan aktif dan merembes terus dalam waktu lam
saat melakukan prosedur tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan hematocrit untuk memperkirakan
jumlah perdarahan yang terjadi saat perslainan di bandingkan dengan keadaan
prapersalinan.
A. ATONIA UTERI
Kegagalan uterus untuk berkontraksi secara adekuat setelah pelahiran
merupakan penyebab tersering perdarahan obstetric. Pada banyak perempuan,
atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik jauh sebelum
pelahiran. Meskipun factor resiko diketahui dengan baik, kemampuan untuk
,mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami atonia masih
terbatas. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi Rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi lahir.
Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus setelah
pelahiran. Jadi perempuan dengan janin besar, multiple atau hidramnion
rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh
aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga
beresiko mengalami perdarahan masif akibat atonia pascapartum.
Paritas tinggi merupakan fator resiko
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :
Melakukan secara rutin manajemen kalla III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca
persalinan akibat atonia uteri.
Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg ) segera setelah
bayi lahir.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
funsus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu
juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh
darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan
dalam kalkulasi pemberian pengganti.
Tindakan
Banyaknya darah yang hilag akan mempengaruhi keadaan umum pasien.
Pasien bisa mashi dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok
hipovolemik berat. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada
keadaan kliniknya. Pada umunya dilakukan secara stimultan (bila pasien
syok) hal-hal sebagai berikut:
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauna. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulaif dan traumatic akan mempermudah robekan jalan
lahir dan karena itu dihhindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,, robekan spontan
perineum, trauma forceps atau vakum ekstrasi atau karena versi ekstrasi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet,laserasi), luka episiotomy, robekan perineum
spontan drajat ringan sampai rupture perinei totalis ( sfingter ani terputus , robekan
pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan utera dan
bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan
hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya
robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat karena adda robekan atau sisa palsenta.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina,
dan serviks dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri
warna merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan kerena rupture uteri
dapat diduga pada perslainan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris
resistemsia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua
sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan
cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif
kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut
sebagai palsenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch
Layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus myometrium
dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akretra adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta
masih tertinggal dalam uterus disebut rest palcenta dan dapat menimbulkan PPP
primer atau (lebih sering) skunder. Proses kala III didahului dengan tahap
pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara
pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam
(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum lepas maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan
palsenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri bersalngsung tidak lancer, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap
pada saat pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum
pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara menual/digital atau kuret dan
pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberikan
transfusi darah sesuai dengan kebutuhannya.
Inversi Uterus
Kegawatdaruratan pda kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya
inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan uterus (endometrkium)
turun dan keluar lewat ostium, uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai
komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menariik fundus kebawah
(misalnya karena plasenta akreta,inkreta dan prekreta, yang tali pusatnya ditark keatas
dari bawah) atau adanya tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau
tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin)
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang
lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang
sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan
setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul
hematoma pada bekas jahitan,suntikan,perdarahan dari gusi,rongga hidung dan
lain-lain.
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kadungan, eklampsia, emboli cairan ketuban,dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfuse darah dan produknya seperti plasma beku
segar, trombosit, fibrinogen dan hipertensi atau pemberian heparinisasi atau
pemberian atau pemberian EACH (epsilon amino caproic acid).
Pencegahan