Anda di halaman 1dari 10

Definisi PPP adalah perdarahan yang melebbihin 500 ml setelah bayi

dilahirkan. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai


sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis
lebi baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi
telah menyababkan perubahan bila tanda vital ( seperti kesadaran menurut, pucat,
limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi <90 mmHg dan nadi >100/menit
), maka penanganan harus segera dilakukan. Sarwono

Pritvhard dkk, menggunakan tiga metode pengukuran yan akurat dan


menemukan bahwa sekitar 5% perempuan melahirkan pervaginam kehilaangan lebih
dari 1000 mL darah. Mereka juga melaporkan bahwa hasil perkiraan kehilangan
volume darah umumnya hanya separuh volume kehilangan darah yang sebenarnya.
Karena perkiraan kehilangan darah yang melebihi 500 mL harus diwaspadi sebagai
ibu yang mengalami perdarahan berlebihan. Teledon dkk, telah memperlihatkan
bahwa drape yang dikalibrasi dengan penanda ukuran memperbaiki akurasi
perkiraan. Namun,seperti yang diperlihatkan oleh peneliti oleh Sosa dkk, tehnik ini
tetap perlu rendah memperkiranya volume kehilangan darah jika dibandingkan
dengan metode yang lebih akurat,seperti yang digambarkan oleh Pritchard dkk.

Efek perdarahan terhadap ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu
hmail, sebesar tingkat hipervolemi yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin
sebelumnya. Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta
fasilitas transfuse darah yang masih menyebabkan PPP akan mengganggu
penyembuhan pada masa nifas, proses involusi, dan laktasi. PPP bukanlah suatu
diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Misalnya PPP
karena atonia uteri, PPP oleh karena robekan jalan lahir, PPP oleh karena sisa
plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan PPP bisa
banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikt
demi sedikit tanpa henti.
PPP menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi
dilahirkan, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dua minggu
setelah bayi lahir.

Kausanya dibedakan atas:

1. Perdarahan dari tempat implantasi


 Hipotoni sampai atonia uteri
o Akibat anasstesi
o Distensi berlebihan ( gameli, anak besar, hidarmnion)
o Partus lama, partu kasep
o Partus presipitatus/ partus terlalu cepat
o Persalinan karena induksi oksitosin
o Multiparitas
o Pernah atonia sebelumnya
 Sisa plasenta
o Kotiledon atau selaput tersisa
o Plasenta susenturiata
o Plasenta akreta, inkreta, prekreta
 Perdarahan karena robekan
o Episiotomy yang melebar
o Robekan pada perineum, vagina dan serviks
o Rupture uteri
 Gangguan koagulasi
o Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan,
mislanya pada kasus trombofilia, sindrom HELLP,
preeklamsia, solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, dan emboli air ketuban.
Berdasarkan saat terjadinya PPP dibagi me njadi PPP primer, yang terjadi
dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai
robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa
karena inversion uteri. PPP skunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan,
biasanya oleh karena sisa plasenta.

Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah
darah yang hilang. Perdarahan aktif dan merembes terus dalam waktu lam
saat melakukan prosedur tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan hematocrit untuk memperkirakan
jumlah perdarahan yang terjadi saat perslainan di bandingkan dengan keadaan
prapersalinan.

A. ATONIA UTERI
Kegagalan uterus untuk berkontraksi secara adekuat setelah pelahiran
merupakan penyebab tersering perdarahan obstetric. Pada banyak perempuan,
atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik jauh sebelum
pelahiran. Meskipun factor resiko diketahui dengan baik, kemampuan untuk
,mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami atonia masih
terbatas. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi Rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi lahir.
Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus setelah
pelahiran. Jadi perempuan dengan janin besar, multiple atau hidramnion
rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh
aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga
beresiko mengalami perdarahan masif akibat atonia pascapartum.
Paritas tinggi merupakan fator resiko
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :
 Melakukan secara rutin manajemen kalla III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca
persalinan akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg ) segera setelah
bayi lahir.

Factor predisposisi addalah sebagai berikut :

1. Regangan Rahim berlebihan karena gamelli, poolihidramnion, atau anak


terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kesep
3. Kehamilan grande-multipara
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakut
menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi Rahim
6. Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
funsus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu
juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh
darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan
dalam kalkulasi pemberian pengganti.

Tindakan
Banyaknya darah yang hilag akan mempengaruhi keadaan umum pasien.
Pasien bisa mashi dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok
hipovolemik berat. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada
keadaan kliniknya. Pada umunya dilakukan secara stimultan (bila pasien
syok) hal-hal sebagai berikut:

 Sikap trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan


oksigen.
 Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
o Masase fundus uteri dan merangsang putting susu
o Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara
i.m, i.v, atau s.c
o Memberikan derivate prostaglandin F2α (carboprost
tromethamine ) yang kadang memberikan efek samping berupa
diare, hipertensi, mual dan muntah, febris dan takikardia.
o Pemberian misoprostol 800-1000 µg per-rektal.
o Kompensasi bimanual eksternal dan /atau internal.
o Kompresi aorta abdominalis.
o Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri
disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan
diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan
dan menghindari tindakan operatif.
 Bila semua tindakan itu gagal, makan dipersilahkan untuk dilakukan
tindakan operatif laparatomi dengan pilihan bedah konservatif
(mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternative
berupa:
o Ligasi arteria uterine atau arteria ovarika
o Operasi ransel B lynch
o Histerektomi supravagina
o Histerektomi total abdominal

Robekan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauna. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulaif dan traumatic akan mempermudah robekan jalan
lahir dan karena itu dihhindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,, robekan spontan
perineum, trauma forceps atau vakum ekstrasi atau karena versi ekstrasi.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet,laserasi), luka episiotomy, robekan perineum
spontan drajat ringan sampai rupture perinei totalis ( sfingter ani terputus , robekan
pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan utera dan
bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan
hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya
robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat karena adda robekan atau sisa palsenta.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina,
dan serviks dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri
warna merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan kerena rupture uteri
dapat diduga pada perslainan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris
resistemsia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua
sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan
cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.

Tehnik penjahitan memerlukan asisten,anestesi local, penerangan lampu yang cukup


serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka.

Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif
kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut
sebagai palsenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch
Layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus myometrium
dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium.

Faktor predisposisi terjadinya plasenta akretra adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta
masih tertinggal dalam uterus disebut rest palcenta dan dapat menimbulkan PPP
primer atau (lebih sering) skunder. Proses kala III didahului dengan tahap
pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara
pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam
(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum lepas maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan
palsenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.

Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri bersalngsung tidak lancer, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap
pada saat pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum
pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara menual/digital atau kuret dan
pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberikan
transfusi darah sesuai dengan kebutuhannya.

Inversi Uterus
Kegawatdaruratan pda kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya
inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan uterus (endometrkium)
turun dan keluar lewat ostium, uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai
komplit.

Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menariik fundus kebawah
(misalnya karena plasenta akreta,inkreta dan prekreta, yang tali pusatnya ditark keatas
dari bawah) atau adanya tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau
tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin)

Inversion uteri ditandai dengan tanda-tanda :

 Syok karena kesakitan


 Perdarahan banyak bergumpal
 Divulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.
 Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadian cukup
lama, maka jepitan yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia,
nekrosis dan infeksi.

Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut:

1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah


pengganti dan pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium
ke atas masuk ke vagina dan uterus melewati seviks sampai tangan masuk
kedalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu
plasenta sudah terlepas atau tidak.
3. Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atai
i.m tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kemabali normal dan
tanagan operator baru dilepaskan,
4. Pemberian anibiotik dan transfuse darah sesuai keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang kerass
menyebabkan maneuver diatas tidak bisa dikerjakan , maka dilakukan
lapatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus
sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

Perdarahan kareana gangguan pembekuan darah

Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang
lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang
sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan
setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul
hematoma pada bekas jahitan,suntikan,perdarahan dari gusi,rongga hidung dan
lain-lain.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil hasil faal hemostasis yang


abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan deteksi adanaya FDP ( fibrin
degradation product ) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial
tromboplastin time).

Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kadungan, eklampsia, emboli cairan ketuban,dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfuse darah dan produknya seperti plasma beku
segar, trombosit, fibrinogen dan hipertensi atau pemberian heparinisasi atau
pemberian atau pemberian EACH (epsilon amino caproic acid).
Pencegahan

Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan


penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil
saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan
mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses
persalinan, semua kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi
persalinan, salah satu adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal
tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi


setiap penyakit kronis,anemia,dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal factor predisposisi PPP serta multiparitas, anak besar,hamil kembar
hidramnion, bekas seksio,ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan resiko
tinggi lainnya yang resikonya muncul akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan ditenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai