REPRODUKSI
Tujuan diet adalah untuk meningkatkan gizi baik ibu maupun bayi serta
untuk peningkatan mutu generasi yang akan datang.
DIET HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Hiperemesis adalah suatu keadaan pada awal kehamilan yang ditandai
dengan rasa mual dan muntah yang berlebihan dalam waktu relatif lama
yang bila tidak diatasi akan menyebabkan dehidrasi dan penurunan
berat badan.
Ciri khas diet ini adalah penekanan pada pemberian makanan yang
bersumber karbohidrat kompleks Tu pagi hari serta menghindari
makanan berlemak, gorengan menekan rasa mual dan muntah.
DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS GRAVIDARUM
Pertimbangkan keadaan berikut :
1. Bukan DM tipe 2,
2. Gangguan toleransi glukosa ringan sebelum kehamilan dan bertambah
berat selama kehamilan
3. Toleransi glukosa normal sebelum kehamilan dan abnormal dengan ↑
umur kehamilan
4. Tidak terdiagnosis menderita DM tipe 1 pada saat kehamilan
Ciri khas diet ini adalah memperhatikan asupan garam dan protein
Tujuan nya adalah mencapai dan mempertahankan statsu gizi optimal,
tekanan darah normal, mencapai keseimbangan nitrogen.
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal
dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%.
DEFENISI STUNTING
SITUASI NASIONAL
Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang
mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di
Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase
tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi
dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang
masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum
mengumpulkan data.
Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health
Survey tahun 2015, antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian
besar remaja kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering
mengkonsumsi makanan berpenyedap (75,7%). Selain itu, remaja juga
cenderung menerapkan pola sedentary life, sehingga kurang melakukan
aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal ini meningkatkan risiko seseorang menjadi
gemuk, overweight, bahkan obesitas. Obesitas meningkatkan risiko
penyakit tidak menular seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain yang berimplikasi
pada penurunan produktifitas dan usia harapan hidup. Pada prinsipnya,
sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur pola dan porsi
makan dan minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur, banyak
melakukan aktivitas fisik, hindari stres dan cukup tidur. Dalam
paparannya, Menkes menegaskan bahwa seluruh masyarakat perlu
memahami pentingnya gizi untuk kesehatan dalam setiap siklus
kehidupan, karena gizi adalah investasi bangsa.
d. Gastrointestinal
Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring
dengan meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas
usia 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya
penyerapan vitamin dan zat besi berkurang sehingga berpengaruh
pada kejadian osteoporosis dan osteomalasia pada lansia.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari
faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk
fungsi tersebut (Guyton&Hall,2004). Pada manusia lanjut usia,
reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya makanan. Hal
ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong
makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan esofagus
terlambat (Darmojo,2010)
Berat total usus halus (di atas usia 40 tahun) berkurang, namun
penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal,
kecuali kalsium dan zat besi (di atas usia 60 tahun). Di usus halus
juga ditemukan adanya kolonisasi bakteri pada lansia dengan
gastritis atrofi yang dapat menghambat penyerapan vitamin B. Selain
itu, motilititas usus halus dan usus besar terganggu sehingga
menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia (Setiati,2000).
e. Hematologi
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut
sebagai akibat dari proses menua pada sistem hematopoetik.
Berdasarkan pengamatan klinik dan laboratorik, didapatkan bukti
bahwa pada batas umur tertentu, sumsum tulang mengalami
involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada usia lanjut
menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah lengkap (full
blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah merah
(MCV,MCH,MCHC), hitung leukosit,trombosit menunjukkan
perubahan yang berhubungan dengan umur.
Anemia kekurangan zat besi adalah salah satu bentuk kelainan
hematologi yang sering dialami pada lansia . Penyebab utama anemia
kekurangan zat besi pada usia lanjut adalah karena kehilangan darah
yang terutama berasal dari perdarahan kronik sistem
gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti tukak
peptik, varises esofagus, keganasan lambung dan
kolon(Darmojo,2010).
Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-
enzim pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein
tidak efisien.
2. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia
Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan,
pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan
tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang
digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi
(kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu
makanan yang harus diberikan pada seseorang. Mengkaji status gizi usia
lanjut sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil
kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang
terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit,
riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan
makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat
buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat
mengganggu asupan makanan (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
b. Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran,
berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk
mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta
mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi pada seseorang.
(Nurachmah,2001).
Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk
menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan, berat badan,
tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit (pengukuran
skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan
banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh
(IMT) (Fatmah,2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat
dilakukan pada lansia adalah sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi
Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui
dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang
penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac
stick) faktor umur dapat dikesampingkan.
Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm
dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran
dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas
kaki.
2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling
sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat
memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahu
indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan
timbangan injak seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga
data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang
tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada
usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis,
sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2006). Dari
tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan
rumus persamaan Chumlea (1988):
Sumber: prediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut
dalam Fatimah (2010)
Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun)
+(2,02 – tinggi lutut dalam cm)
c. Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai
biokimia seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum
transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini,
bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu
memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi
seseorang (Arisman,2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status
nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang
dari 3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol
(Nurachmah,2001).
1) Hemoglobin dan Hematokrit
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi.
Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan
oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.
Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru
ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah
pengukuran yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan
nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar hemoglobin dapat
mencerminkan status protein. Pengukuran hemoglobin
menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit
menggunakan satuan persen. Adapun kadar normal hemoglobin
berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut WHO
dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5. Kadar Normal Hemoglobin
Kelompok Umur Kadar Normal (gr/dl)
Anak 6 bulan-6 tahun 11,0
Anak 6 tahun-14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0 – 17,0
Ibu Hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0-15,0
Sumber: WHO dalam Arisman (2004)
2) Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang
digunakan dalam mengkaji status protein viseral. Serum
transferin dihitung menggunakan kapasitas total ikatan zat besi
atau total iron binding capacity (TIBC), dengan
menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah,2001)
Sejak 1950 pola menu seimbang dengan nama Empat Sehat Lima
Sempurna oleh Prof. dr. Poerwo Soedarmo.
Tahun 1995 dikembangkan menjadi Pedoman Umum Gizi Seimbang
yang memuat 13 pesan dasar gizi seimbang.
Masalah gizi ganda :
Gizi kurang (empat masalah gizi)
Gizi lebih
Rekomendasi Kongres Gizi Internasional di Roa tahun 1992 dan
Cyprus 1995 : Setiap negara menyusun PUGS
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993: Konsep PUGS
dibahas
Pentingnya gizi seimbang dan PUGS pedoman utama penyuluhan gizi,
Tahun 1995 tim lintas sektor dan konsultan menyusun PUGS.
DEFENISI PUGS
MANFAAT PUGS
FORMAT PUGS
Susunan pangan sehari-hari yg mengandung zat gizi dlm jenis dan jlh
yg sesuai dgn kebutuhan tubuh, dgn memperhatikan prinsip
keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih &
memantau berat badan secara teratur dlm rangka mempertahankan
berat badan normal utk mencegah masalah gizi.
PESAN UMUM DAN KHUSUS GIZI SEIMBANG
Biasakan Sarapan