Anda di halaman 1dari 45

PERTEMUAN KE 7 : MASALAH GIZI PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI DALAM KESEHATAN

REPRODUKSI

 Pada wanita hamil normal terjadi banyak sekali perubahan hormonal


dan metabolik untuk perkembangan dan pertumbuhan fetus yang
optimal  diet wanita hamil.

 Tujuan diet adalah untuk meningkatkan gizi baik ibu maupun bayi serta
untuk peningkatan mutu generasi yang akan datang.
DIET HIPEREMESIS GRAVIDARUM
 Hiperemesis adalah suatu keadaan pada awal kehamilan yang ditandai
dengan rasa mual dan muntah yang berlebihan dalam waktu relatif lama
yang bila tidak diatasi akan menyebabkan dehidrasi dan penurunan
berat badan.

 Ciri khas diet ini adalah penekanan pada pemberian makanan yang
bersumber karbohidrat kompleks Tu pagi hari serta menghindari
makanan berlemak, gorengan  menekan rasa mual dan muntah.
DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS GRAVIDARUM
Pertimbangkan keadaan berikut :
1. Bukan DM tipe 2,
2. Gangguan toleransi glukosa ringan sebelum kehamilan dan bertambah
berat selama kehamilan
3. Toleransi glukosa normal sebelum kehamilan dan abnormal dengan ↑
umur kehamilan
4. Tidak terdiagnosis menderita DM tipe 1 pada saat kehamilan

DIET DIABETES DALAM KEHAMILAN


Pada kehamilan normal, terjadi kadar glukosa plasma ibu yang lebih rendah
secara bermakna karena :
a. Ambilan glukosa sirkulasi plasenta meningkat
b. Produksi glukosa dari hati menurun
c. Produksi alanin (salah satu prekursor glukoneogenesis) menurun
d. Aktifitas ekskresi ginjal meningkat
e. Hormon plasenta
f. Perubahan metabolisme lemak dan asam amino

PENGATURAN POLA MAKAN


 Rencana makanan harus diatur agar dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi minimum untuk kehamilan dan untuk mencapai target gula
darah tanpa menginduksi penurunan atau peningkatan berlebih BB,
 Masukan energi yang adekuat yg mampu meningkatkan BB secukupnya
direkomendasikan selama kehamilan,
 Pengaturan pola makan sebaiknya diresepkan oleh ahli gizi yang
memenuhi syarat dengan managemen DMG,
DIET HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

 Ciri khas diet ini adalah memperhatikan asupan garam dan protein
 Tujuan nya adalah mencapai dan mempertahankan statsu gizi optimal,
tekanan darah normal, mencapai keseimbangan nitrogen.

MACAM DIET DAN INDIKASI PEMBERIAN


 Diet PE I
Diberikan pada pasien PEB, diberikan dalam bentuk cair yg tdd susu
dan sari buah. Jumlah cairan plg sedikit 1500 ml sehari/ oral, dan
kekurangannya diberikan parenteral. Makanan ini kurang energi dan
zat gizi  diberikan 1 -2 hari
 Diet PE II
Makanan perpindahan dari diet PE I atau kepada PE yang tidak terlalu
berat. Makanan berbentuk saring atau lunak diberikan sebagai diet
rendah garam 1. makanan ini cukup energi dan zat gizi lainnya.
 Diet PE III
Makanan perpindahan dari diet PE II atau kepada PER. Mengandung
protein tinggi dan rendah garam. Diberikan dalam bentuk lunak atau
biasa. Makanan ini cukup semua zat gizi. Jumlah energi disesuaikan
dengan kenaikan berat badan.

DIET IBU HAMIL DENGAN ANEMIA

 Anemia def. Besi  paling banyak ditemui.


 Disebabkan oleh def. Zat besi untuk pembentukan hemoglobin.
 Insufisiensi mineral ini mengakibatkan penurunan jumlah serta
ukuran sel darah merah dan mengurangi kandungan Hb di dalamnya.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


 Ibu hamil dan ibu menyusui harus makan telur sedikitnya sekali
sehari dan hati seminggu sekali. kedua jenis makanan ini kaya akan
zat besi
 Mengkonsumsi tablet Fe tanpa disertai dengan konsumsi kafein, teh
 menghambat absorpsi Fe dalam darah
 Sangat dianjurkan saat konsumsi tablet fe dg Vit C  membentuk
gugus besi askorbat yang tetap larut dalam PH yang lebih tinggi dalam
duodenum.
PERTEMUAN KE 8 : MASALAH GIZI PADA BAYI, BALITA DAN ANAK PRA SEKOLAH DALAM
KESEHATAN REPRODUKSI

SITUASI STUNTING DI INDONESIA

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan


salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun
2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.
Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal
dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%.

DEFENISI STUNTING

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau


tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur
dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi
sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang
optimal.

SITUASI NASIONAL

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama


yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi
dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016
yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita
pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali
meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek
selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga
menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh
pemerintah.
Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan
dan capaian program. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita
pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada
tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali
meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di


Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari
tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan
balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita
sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa
Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.

SITUASI BAYI DAN BALITA DI INDONESIA


Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak
terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu
(ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor
terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping
ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan
keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang
mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di
Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase
tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi
dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang
masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum
mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun


2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif
terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase
terendah terdapat pada Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di
bawah angka nasional. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan
pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.

Grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth


faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita
di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan.
Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5%
mengalami defisit ringan.
PERTEMUAN KE 9 : MASALAH GIZI PADA REMAJA DAN USIA LANJUT SEKOLAH DALAM
KESEHATAN REPRODUKSI

MASALAH GIZI REMAJA


1. Remaja Kurang Zat Besi (Anemia)

Salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah


gizi mikronutrien, yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja
perempuan mengalami anemia, yang sebagian besar diakibatkan
kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi). Anemia di kalangan remaja
perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki. Anemia pada remaja
berdampak buruk terhadap penurunan imunitas, konsentrasi, prestasi
belajar, kebugaran remaja dan produktifitas. Selain itu, secara khusus
anemia yang dialami remaja putri akan berdampak lebih serius, mengingat
mereka adalah para calon ibu yang akan hamil dan melahirkan seorang
bayi, sehingga memperbesar risiko kematian ibu melahirkan, bayi lahir
prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR). Anemia dapat dihindari
dengan konsumsi makanan tinggi zat besi, asam folat, vitamin A, vitamin C
dan zink, dan pemberian tablet tambah darah (TTD). Pemerintah memiliki
program rutin terkait pendistribusian TTD bagi wanita usia subur (WUS),
termasuk remaja dan ibu hamil.

2. Remaja Harus Sadar Tinggi akan Badan

Remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka


memiliki tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi
anak Indonesia lebih pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu
lebih pendek 12,5cm pada laki-laki dan lebih pendek 9,8cm pada
perempuan. Stunting ini dapat menimbulkan dampak jangka pendek,
diantaranya penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh,
dan gangguan system metabolism tubuh yang pada akhirnya dapat
menimbulkan risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus,
jantung koroner, hipertensi, dan obesitas. Oleh karena itu, pencegahan dan
penanganan stunting menjadi salah satu prioritas nasional guna
mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan manusia Indonesia yang
tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.

3. Remaja Kurus atau Kurang Energi Kronis (KEK)

Remaja yang kurus atau kurang energi kronis bisa disebabkan


karena kurang asupan zat gizi, baik karena alasan ekonomi maupun alasan
psikososial seperti misalnya penampilan. Kondisi remaja KEK
meningkatkan risiko berbagai penyakit infeksi dan gangguan hormonal
yang berdampak buruk di kesehatan. KEK sebenarnya dapat dicegah
dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang.

4. Kegemukan atau Obesitas

Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health
Survey tahun 2015, antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian
besar remaja kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering
mengkonsumsi makanan berpenyedap (75,7%). Selain itu, remaja juga
cenderung menerapkan pola sedentary life, sehingga kurang melakukan
aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal ini meningkatkan risiko seseorang menjadi
gemuk, overweight, bahkan obesitas. Obesitas meningkatkan risiko
penyakit tidak menular seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain yang berimplikasi
pada penurunan produktifitas dan usia harapan hidup. Pada prinsipnya,
sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur pola dan porsi
makan dan minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur, banyak
melakukan aktivitas fisik, hindari stres dan cukup tidur. Dalam
paparannya, Menkes menegaskan bahwa seluruh masyarakat perlu
memahami pentingnya gizi untuk kesehatan dalam setiap siklus
kehidupan, karena gizi adalah investasi bangsa.

MASALAH GIZI USIA LANJUT


A. Status Gizi pada Lansia
Status gizi merupakan keseimbangan antara asuapan zat gizi dan kebutuhan
akan zat gizi tersebut. Status gizi juga didefenisikan sebagai keadaan kesehatan
seseorang sebagai refleksi konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
Status Gizi pada lanjut usia dipengaruhi oleh berbagai hal. Perubahan
fisiologis, komposisi tubuh, asupan nutrisi dan keadaan ekonomi merupakan hal-
hal yang dapat memicu terjadinya berbagai masalah gizi pada lanjut usia
(Potter&Pierry, 2005).
1. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan
terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organ tubuhnya
makin besar. Peneliti Andres dan Tobin (dalam Kane, Ouslander, & Brass,
2004) menjelaskan bahwa fungsi organ- organ akan menurun sebanyak
satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun.
Penurunan fungsional dari organ-organ tersebut akan
menyebabkan lebih mudah timbulnya masalah kesehatan pada lanjut
usia. Masalah gizi yang seringkali terjadi pada lanjut usia juga
dipengaruhi oleh sejumlah perubahan fisiologis (Darmojo,2010). Adapun
perubahan fisiologis tersebut sebagai berikut:
a. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan
tingkat kebugaran jasmani seseorang. Pada abad ke-19 ditemukan
berbagai senyawa kimiawi yang ternyata ada pula pada jaringan dan
cairan tubuh (Darmojo,2010).
Akibat penuaan pada lansia massa otot berkurang sedangkan
massa lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak
berkurang sebanyak 6,3%, sedangakan sebanyak 2% massa lemak
bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah
cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang
muda menjadi 45% dari berat badan wanita usia lanjut.(Kawas &
Brookmeyer, 2001; Arisman,2004 )
Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan
kebutuhan energi yang terlihat pada lansia. Keseimbangan energi
pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh aktifitas fisik yang
menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai keadaan tersebut
penting dalam membantu lansia mengelola berat badan mereka
(Darmojo,2010).
b. Gigi dan Mulut
Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat
kesehatan dan gizi yang baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada
jaringan keras gigi sesuai perubahan pada gingiva anak-anak. Setelah
gigi erupsi, morfologi gigi berubah karena pemakaian atau aberasi
dan kemudian tanggal digantikan gigi permanen. Pada usia lanjut gigi
permanen menjadi kering, lebih rapuh, berwarna lebih gelap, dan
bahkan sebagian gigi telah tanggal (Arisman,2004).
Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan
oklusi gigi atas dan bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah
menurun yang semula maksimal dapat mencapai 300 poinds per
square inch dapat mencapai 50 pound per square inch. Selain itu,
terjadinya atropi gingiva dan procesus alveolaris yang menyebabkan
akar gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa sakit semakin
memperparah penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran
pencernaan tidak dapat mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi
kunyah sehingga akan mempengaruhi kesehatan umum
(Darmojo,2010).
c. Indera Pengecap dan Pencium
Dengan bertambahnya umur, kemampuan mengecap, mencerna,
dan mematobolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap
dan pencium pada lansia menyebabkan sebagian besar kelompok
umur ini tidak dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan.
Gangguan rasa pengecap pada proses penuaan terjadi karena
pertambahan umur berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’
atau tunas pengecap pada lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto
(1996) dalam Darmojo (2010) menyatakan 80% tunas pengecap
hilang pada usia 80 tahun. Wanita pasca monopause cenderung
berkurang kemampuan merasakan manis dan asin. Keadaan ini
dapat menyebabkan lansia kurang menikmati makanan dan
mengalami pemurunan nafsu makan dan asupan makanan.Gangguan
rasa pengecap juga merupakan manifestasi penyakit sistemik pada
lansia disebabkan kandidiasis mulut dan defisiensi nutrisi terutama
defisiensi seng (Seymour,2006).

d. Gastrointestinal
Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring
dengan meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas
usia 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya
penyerapan vitamin dan zat besi berkurang sehingga berpengaruh
pada kejadian osteoporosis dan osteomalasia pada lansia.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari
faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk
fungsi tersebut (Guyton&Hall,2004). Pada manusia lanjut usia,
reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya makanan. Hal
ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong
makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan esofagus
terlambat (Darmojo,2010)
Berat total usus halus (di atas usia 40 tahun) berkurang, namun
penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal,
kecuali kalsium dan zat besi (di atas usia 60 tahun). Di usus halus
juga ditemukan adanya kolonisasi bakteri pada lansia dengan
gastritis atrofi yang dapat menghambat penyerapan vitamin B. Selain
itu, motilititas usus halus dan usus besar terganggu sehingga
menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia (Setiati,2000).
e. Hematologi
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut
sebagai akibat dari proses menua pada sistem hematopoetik.
Berdasarkan pengamatan klinik dan laboratorik, didapatkan bukti
bahwa pada batas umur tertentu, sumsum tulang mengalami
involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada usia lanjut
menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah lengkap (full
blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah merah
(MCV,MCH,MCHC), hitung leukosit,trombosit menunjukkan
perubahan yang berhubungan dengan umur.
Anemia kekurangan zat besi adalah salah satu bentuk kelainan
hematologi yang sering dialami pada lansia . Penyebab utama anemia
kekurangan zat besi pada usia lanjut adalah karena kehilangan darah
yang terutama berasal dari perdarahan kronik sistem
gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti tukak
peptik, varises esofagus, keganasan lambung dan
kolon(Darmojo,2010).
Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-
enzim pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein
tidak efisien.
2. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia
Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan,
pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan
tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang
digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi
(kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu
makanan yang harus diberikan pada seseorang. Mengkaji status gizi usia
lanjut sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil
kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang
terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit,
riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan
makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat
buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat
mengganggu asupan makanan (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
b. Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran,
berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk
mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta
mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi pada seseorang.
(Nurachmah,2001).
Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk
menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan, berat badan,
tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit (pengukuran
skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan
banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh
(IMT) (Fatmah,2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat
dilakukan pada lansia adalah sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi
Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui
dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang
penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac
stick) faktor umur dapat dikesampingkan.
Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm
dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran
dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas
kaki.

2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling
sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat
memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahu
indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan
timbangan injak seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga
data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang
tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada
usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis,
sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2006). Dari
tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan
rumus persamaan Chumlea (1988):
Sumber: prediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut
dalam Fatimah (2010)
Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun)
+(2,02 – tinggi lutut dalam cm)

Tinggi Badan (perempuan) = 84,88 - (0,24-usia dalam tahun)


+(1,83 – tinggi lutut dalam cm)
4) Tebal lipatan Kulit
Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu
cara menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh
merupakan penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah
satu indikator yang bisa digunakan untuk memantau keadaan
nutrisi melalui kadar lemak dalam tubuh. Pengukuran lipatan
kulit mencerminkan lemak pada jaringan subkutan, massa otot
dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga digunakan untuk
mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal atau
obesitas (Nurachmah,2001).
Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah
jangka lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit
yang telah ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran
Skinfold menurut Heyward Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam
Supariasa, Bakri, & Fajar, (2002) ada sembilan tempat, yaitu
dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep,
paha, dan betis. Tabel 1 menunjukkan tempat-tempat dan
petunjuk pengukuran skinfold.

Tabel 1. Tempat-Tempat dan Petunjuk Pengukuran Skinfold


No Tempat Arah Lipatan Pengukuran
1. Dada Diagonal Lipatan diambil antara axilla dan puting susu,
setinggi mungkin, sejajar dengan lipatan bagian
depan dengan ukuran 1 cm dibawah jari tangan.
2. Subskapula Diagonal Lipatan diambil sepanjanggaris cleavage tepat
dibawah scapula dengan ukuran 1 cm dibawah
jari tangan.
3. Midaksila Horizontal Lipatan diambil pada garis midaxillaris tepat
pada pertemuan xiphisternal
Lipatan diambil ke arah belakang garis
4. Suprailiaka Miring midaxilaris dan ke atas iliac, dengan ukuran 1 cm
di bawah jari tangan
Lipatan 3 cm disamping tali pusat dan 1 cm ke
pusat umbilicus
5. Abdominal Horizontal Lipatan kulit diambil dengan arah vertikal pada
jarak antara penonjolan lateral dari prosessus
6. Trisep Vertikal acronial dan batas inferior dari prosessus
olecranon dan diukur pada bagian lateral lengan
dengan bahu bersudut 900 menggunakan pita
pengukur. Titik tengah ditandai pada sisi samping
lengan. Pengukuran diambil 1 cm diatas tanda
tersebut.
7. Bisep Vertikal Arah lipatan kulit diambil secara vertikal diatas
bisep brachii yang sejajar dengan trisep di bagian
belakang. Pengukuran dilakukan 1 cm di bawah
jari.
Lipatan diambil pada tengah paha, antara lipatan
8. Paha Vertikal inguinal dan batas dari patella. Pengukuran
dilakukan 1 cm di bawah jari.
Lipatan diambil pada lingkaran betis yang paling
lebar, pada bagian tengah dari betis dengan lutut
9. Betis Vertikal bersudut 900.
Sumber :Heyward Vivian H. Dan Stolarckzyk L.M.1996 Applied Body
composition Assesment dalam Supariasa, Bakri, & Fajar (2002)

Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada


empat sisi tubuh yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula
dapat digunakan untuk melihat presentase lemak tubuh melalui
rumus matematis menurut Durmin & Wormersley dalam
Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004).
Tabel 3. Klasifikasi Presentase Lemak Bawah Kulit
Umur (tahun)
Pria
18-25 26-35 36-45 46-55 56-65 66+
Kurang 4-13 8-18 10-21 12-23 15-24 15-23
Normal 14-21 19-24 22-26 24-28 25-28 24-27
Lebih 22-37 25-37 27-38 29-38 29-38 28-38
Umur (Tahun)
Wanita
18-25 26-35 36-45 46-55 56-65 66+
Kurang 13-23 13-23 15-26 18-28 18-30 16-29
Normal 24-28 24-30 27-32 29-34 31-36 30-35
Lebih 29-43 31-48 33-48 35-49 37-46 36-40
Sumber: Body Fat Percentage for Men and Women Morrow et al (2005)

Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh


yang ditemukan oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran
tebal lemak bawah kulit berdasarkan empat titik pada tubuh ini
telah banyak digunakan dalam penelitian luar maupun dalam
negeri. Manandhar, Anklesaria, dan Ismail (1997) dalam
penelitiannya tentang karakteristik gizi pada lansia di Mumbai
India, menggunakan persamaan matematis dari Durmin &
Wormersley untuk mengetahui total lemak tubuh pada lansia
prasejahtera di India. Penelitian lain yang menggunakan
persamaan persentasi total lemak tubuh ini adalah Yusof et al
(2007) yang melakukan survey status gizi di Semenanjung Grik,
Malaysia.
Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) juga menggunakan
persamaan Durmin & Wormersley untuk melihat pengaruh
latihan fisik terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia
di Yogyakarta. Selain itu, penelitian tentang berbagai persamaan
yang biasa dilakukan untuk memprediksikan total lemak tubuh
oleh Visser, Heuvel, & Deurenberg (1993) menunjukkan bahwa
persamaan Durmin & Wormersley merupakan persamaan yang
valid dan bisa digunakan untuk memprediksi persentase total
lemak tubuh termasuk pada golongan lanjut usia.
5) Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang
digunakan untuk menilai status nutrisi. Pengukuran LLA
dilakukan dengan menggunakan sentimeter kain (tape around).
Pengukuran dilakukan pada titik tengah lengan yang tidak
dominan (Nurachmah,2001). Menurut Depkes RI (1994), nilai
normal lingkar lengan atas pada lansia adalah 21 hingga 22 cm.

6) Indeks Massa Tubuh


IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka
digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa diatas umur
18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan
persen lemak dalam tubuh (Fatmah, 2010). IMT juga merupakan
sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum
digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam
kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight
(kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau
cara menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam
kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2)
(Andaka,2008).
Berat Badan
IMT
Tinggi badan (m)2

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan


dengan ketelitian hingga 0,5 kg dengan pakaian seminimal
mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat
menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan kepekaan 0,1
cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa
menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan
indeks IMT.
Tabel 3. Kategori Status Gizi Lansia Berdasarkan IMT
(Depkes RI,2005)
Status Gizi IMT (kg/m2)
Gizi Kurang < 18,50
Gizi Normal 18,50-25,00
Gizi Lebih > 25,00
Sumber: Depkes RI dalam Fatmah (2010)

c. Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai
biokimia seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum
transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini,
bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu
memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi
seseorang (Arisman,2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status
nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang
dari 3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol
(Nurachmah,2001).
1) Hemoglobin dan Hematokrit
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi.
Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan
oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.
Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru
ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah
pengukuran yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan
nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar hemoglobin dapat
mencerminkan status protein. Pengukuran hemoglobin
menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit
menggunakan satuan persen. Adapun kadar normal hemoglobin
berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut WHO
dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5. Kadar Normal Hemoglobin
Kelompok Umur Kadar Normal (gr/dl)
Anak 6 bulan-6 tahun 11,0
Anak 6 tahun-14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0 – 17,0
Ibu Hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0-15,0
Sumber: WHO dalam Arisman (2004)
2) Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang
digunakan dalam mengkaji status protein viseral. Serum
transferin dihitung menggunakan kapasitas total ikatan zat besi
atau total iron binding capacity (TIBC), dengan
menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah,2001)

Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43

Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah


miligram/desiliter. Nilai normal transferin serum adalah 170-250
mg/dl.
3) Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status
nutrisi dan sintesa protein. Kadar albumin rendah sering terjadi
pada keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi
kerja hepar, ginjal, dan saluran pencernaan.
4) Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk
menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam
keadaan normal tubuh memperoleh nitrogen melalui makanan
dan mengeluarkannya melalui urine dalam jumlah yang relatif
sama setiap hari.
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein
melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari maka
keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Bila nilai keseimbangan
nitrogen yang negatif berlangsung secara terus menerus maka
pasien beresiko mengalami malnutrisi protein
(Nurachmah,2001).
d. Mini Nutritional Assesment
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk
screening gizi yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang
lansia mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang
diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan
metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan mudah
dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien
preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat
dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas
tinggi dapat menapis pasien yang mempunyai resiko menderita
malnutrisi.
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan
pasien dalam keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau
malnutrisi berat. MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening
dan assesment, dimana penjumlahan semua skor akan menentukan
seorang lansia pada status gizi baik, beresiko malnutrisi atau
beresiko underweight (Darmojo,2010).
e. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang
berhubungan dengan adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang
digunakan adalah ”cephalo caudal” atau ”head to feet” yaitu dari
kepala ke kaki. Tanda-tanda dan gejala- gejala klinik defisiensi
nutrisi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 6. Tanda-Tanda Klinik kekurangan Nutrisi
No Bagian Tubuh Tanda Klinik Kemungkinan
Kekurangan
1. Tanda Umum a. Penurunan berat a. Kalori
badan, lesu
b. Dehidrasi,haus b. Air
2. Rambut Kekuningan, Protein
kekurangan
pigmen,kusut
3. Kulit a. Dermatitis a. niasin,riboflavin,biotin
b. Dermatosis pada b.lemak
bayi
4. Mata a. Photopobia a. Riboflavin
b. Rabun senja b. Vitamin A
5. Mulut a. Stomatitis a. Riboflavin
b. Glossitis b. Niasin,asam folic,vit
B12
6. Gigi Gigi karies Flour
7. Neuromuskular a. Kejang otot a. Vitamin D
b. Lemah otot b. Potassium
8. Tulang Riketsia Vitamin D
9. Gastrointestinal a. Anoreksia a. Thiamin
b. Mual b. Garam dapur (Nacl)
dan/ata
u muntah
10. Endokrin Gondok Iodium
11. Kardiovaskular a. Perdarahan a. Vitamin K
b. Penyakit Jantung b. Thiamin
c. Anemia c. Pyridoxine dan zat
besi
12. Sistem saraf Kelainan mental dan Vitamin B12
kelainan saraf perifer
Sumber: tanda-tanda klinik kekurangan nutrisi, dalam Fundamental of nursing
(Kozier,B.,& erb,G.2004)

3. Peran Penilaian Status Gizi dalam Identifikasi Masalah Kesehatan


Lansia di Masyarakat
Penilaian status gizi pada kelompok individu dalam suatu
wilayah tertentu merupakan usaha mengumpulkan informasi mengenai
status gizi pada masyarakat dan indikator lain yang mempengaruhi
status gizi tersebut (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
Dinamika masyarakat yang beragam serta tingkat pendidikan
dan ekonomi yang tidak merata pada masyarakat menimbulkan adanya
kelompok masyarakat rawan gizi. Menurut Depkes RI (2000),
masyarakat yang termasuk kelompok rawan gizi adalah bayi, balita, ibu
hamil, ibu menyusui, anak usia sekolah, dan lansia.
Timbulnya kerentanan terhadap masalah gizi pada lansia
disebabkan oleh penurunan kondisi fisik, baik anatomis maupun
fungsionalnya. Penelitian studi komparatif yang dilakukan di daerah
jawa barat tentang masalah gizi lansia menyebutkan lebih dari 50%
lansia di daerah perkotaan dan pedesaan memiliki pola makan tidak
baik. Kejadian status gizi kurang, cukup tinggi pada lansia di pedesaan
(25,2%) (Bardosono,2000).
Gangguan kesehatan yang rentan terjadi pada usia lanjut
menyebabkan lansia dapat mengalami masalah gizi kurang secara
mendadak. Selain itu, berbagai penyakit degenaratif yang angka
kejadiannya semakin meningkat diketahui merupakan salah satu
dampak dari masalah gizi lebih yang juga sering terjadi pada manusia
usia lanjut (Christiani,2003).
Penilaian status gizi yang dilakukan pada masyarakat termasuk
lansia diharapkan mampu mencegah berbagai penyakit akibat berbagai
masalah gizi dan atau dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan
intervensi-intervensi kesehatan sehubungan dengan penyakit yang telah
diderita oleh individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Sukmaniah,2004)
PERTEMUAN KE 13 : PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG GIZI DALAM KESEHATAN
REPRODUKSI, PEDOMAN UMUM GIZI SEIMBANG DAN PENYUSUNAN
MENU SEIMBANG

PEDOMAN UMUM GIZI SEIMBANG (PUGS)


LATAR BELAKANG

 Sejak 1950 pola menu seimbang dengan nama Empat Sehat Lima
Sempurna oleh Prof. dr. Poerwo Soedarmo.
 Tahun 1995 dikembangkan menjadi Pedoman Umum Gizi Seimbang
yang memuat 13 pesan dasar gizi seimbang.
 Masalah gizi ganda :
 Gizi kurang (empat masalah gizi)
 Gizi lebih
 Rekomendasi Kongres Gizi Internasional di Roa tahun 1992 dan
Cyprus 1995 :  Setiap negara menyusun PUGS
 Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993: Konsep PUGS
dibahas
 Pentingnya gizi seimbang dan PUGS pedoman utama penyuluhan gizi,
 Tahun 1995 tim lintas sektor dan konsultan menyusun PUGS.

DEFENISI PUGS

 PUGS adalah penyempurnaan slogan 4 sehat 5 sempurna yang dikenal


sejak tahun 1950-an sesuai dengan kemajuan IPTEK.
 PUGS adalah pedoman dasar yang bersifat umum, bagaimana memilih
makanan dengan ‘benar’ dan ‘sehat’
 Pedoman dasar berisi 13 pesan dasar untuk berbagai keperluan dan
golongan yang perlu dijabarkan

MANFAAT PUGS

 Melaksanakan kebijakan prog. & perbaikan gizi,


 Mendukung prog. deversifikasi pangan Dalam rangka ketahanan
pangan,
 Mendukung program perbaikan gizi mllui KIE gizi,
 Mengantisipasi dampak negatif & globalisasi pola makan di perkotaan
yg cenderung tdk seimbang, tinggi lemak & rendah serat & tinggi
alkohol,
 Mengantisipasi dampak negatif & gaya hidup kurang gerak di
perkotaan akibat kemajuan ekonomi & teknologi,
 Mempertahankan ASI sbgi makanan bayi trbaik.

FORMAT PUGS

 Buku 13 pesan dasar


 Ditujukan untuk penentu kebijakan
 Berisi penjelasan singkat tentang pesan dasar
 Buku panduan 13 pesan dasar :
 Ditujukan untuk petugas penyuluhan di lapangan
 Menguraikan lebih rinci tentang 13 Pesan Dasar
 Penjabaran Angka Kecukupan Gizi
 Telaahan pola makan daerah

THEMA SLOGAN DAN LOGO

 Thema : Gizi seimbang Modal untuk Sehat, Cerdas, dan Produktif


 Slogan : Seimbang Giziku, Sehat Tubuhku
 Logo Triguna makanan :
 Zat tenaga : padi-padian, umbi-umbian dan tepung
digambarkan di dasar kerucut.
 Zat pengatur : sayuran dan buah digambarkan pada bagian
tengah kerucut,
 Zat pembangun : kacang-kacangan, makanan hewani dan hasil
olah digambarkan pada bagian atas kerucut.
MAKSUD DAN TUJUAN PGS

1. Panduan konsumsi makanan sehari-hari dan berperilaku sehat,


berdasarkan Prinsip Gizi Seimbang
2. Acuan bagi : Pemerintah, Pemda, Tenaga Kesehatan dan pihak terkait
dalam penyelenggaraan gizi seimbang

KONSEP DASAR GIZI SEIMBANG

 Untuk hidup berkualitas setiap orang memerlukan 5 kelompok zat gizi


yaitu: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral.
 Secara alami komposisi zat gizi setiap jenis bahan makanan memiliki
keunggulan dan kelemahan tertentu.
 Konsumsi makanan sehari-hari hendaknya beraneka ragam,
kekurangan konsumsi zat gizi pada satu jenis makanan dapat
dilengkapi oleh jenis makanan lain,
 Setiap jenis makanan memiliki peranan masing-masing dalam
menyeimbangkan masukan zat gizi sehari-hari.
PRINSIP GIZI SEIMBANG

 Susunan pangan sehari-hari yg mengandung zat gizi dlm jenis dan jlh
yg sesuai dgn kebutuhan tubuh, dgn memperhatikan prinsip
keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih &
memantau berat badan secara teratur dlm rangka mempertahankan
berat badan normal utk mencegah masalah gizi.
PESAN UMUM DAN KHUSUS GIZI SEIMBANG

Pesan Umum Gizi Seimbang


Syukuri dan nikmati anekaragam makanan

Perbanyak makan sayuran dan cukup buah-buahan

Biasakan mengonsumsi laukpauk mengandung Protein Tinggi

Biasakan mengonsumsi anekaragam Makanan Pokok

Batasi Konsumsi pangan Manis, Asin dan Berlemak

Biasakan Sarapan

Bisakan minum air putih yang cukup dan aman

Biasakan membaca Label pd kemasan pangan

Cuci tangan dengan air bersih mengalir


Lakukan aktifitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan
normal
PESAN KHUSUS GIZI SEIMBANG

Anda mungkin juga menyukai