Anda di halaman 1dari 9

Selalu banyak ibroh dari perjalanan kehidupan seorang shaleh.

Tindakan
mereka adalah teladan. Ucapan mereka tuntunan. Bahkan takdir yang mereka
alami pun membuahkan faidah pelajaran. Seorang tabi’in (murid para sahabat
Nabi) yang bernama Muhammad bin Sirin rahimahullah adalah salah satu di
antara mereka.

Ayahnya masuk ke wilayah Islam dengan status seorang budak tawanan


perang. Tapi dari sanalah jariyah sang ayah dilahirkan. Anaknya, Muhammad,
hidup di tengah sahabat Rasulullah. Terlahir dengan status sebagai anak
budak menyandang status sosial terendah. Kemudian melejit melampaui
bintang tsurayya di langit sana. Sang anak menjadi seorang faqih, ahli hadits,
dan Syaikhul Islam. Inilah di antara kejaiban-keajaiban takdir Allah untuk
manusia.

Kisah Awal Kehidupan


Muhammad bin Sirin al-Anshari al-Anasi al-Bashri berkun-yah Abu Bakr. Ia
adalah seorang imam panutan dan Syaikhul Islam. Ayahnya adalah bekas
sahaya Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Anas membelinya dari Khalid bin al-
Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar.
Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila ia mampu membayar
sejumlah uang. Sirin pun berhasil melunasinya hingga menjadi seorang yang
merdeka. Adapun Ibu Muhammad bin Sirin bernama Shaffiyah. Sang ibu
pernah menjadi sahaya Abu Bakar.

Nasab dan status sosial rendah tidak menghalangi seseorang dari kemuliaan.
Kedua orang tua Muhammad bin Sirin adalah bekas budak, namun sang anak
menjadi tokoh terkemuka. Diingat hingga sekarang, belasan abad lamanya.
Siapa yang nasabnya tinggi, memiliki jabatan dan kedudukan, tapi jauh dari
ketakwaan, hal itu hanyalah kebanggaan yang tak bermanfaat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ومن بطع به عمله لم يسرع به نفسه‬

“… Siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
(HR. Muslim, No. 6299).

Anas bin Sirin -saudara Anas- berakta, “Saudaraku, Muhammad, dilahirkan dua
tahun sebelum kekhalifahan Umar berakhir. Sedangkan aku dilahirkan satu
tahun setelahnya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/606).
Mengenal Muhammad bin Sirin
Diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya bahwa Muhammad bin Sirin
adalah seorang yang sibuk setiap harinya (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra,
7/149). Beliau adalah seorang yang sering was-was. Sampai-sampai kalau
berwudhu, ia mencuci kakinya hingga betis (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-
Nubala, 4/618).
Di zaman dulu, orang-orang membuat stempel (bisa mewakili tanda tangan)
dengan cincin yang mereka pakai. Karena itu, cincinnya biasanya diberi nama.
Muhammad bin Sirin pun demikian. Ia menamai cincinnya dengan kun-yahnya
Abu Bakr. Dan ia kenakan cincin itu di tangan kirinya (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam
an-Nubala, 4/618). Ia juga terbiasa menggunakan syal. Di musim dingin ia
memaki jubah putih, imamah putih, dan pakaian dari kulit hewan (Ibnu Saad:
ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153). Sulaiman bin al-Mughirah mengatakan, “Aku
melihat Ibnu Sirin mengenakan pakaian tebal, syal, dan imamah (Ibnu Saad:
ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153).

Kehati-hatian Dalam Mencari Rezeki


Dari as-Sirri bin Yahya, ia berkata, “Muhammad bin Sirin pernah meninggalkan
nilai keuntungan 40.000 dalam suatu permasalahan yang masih
diperselisihkan oleh seorang ulama.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar Salaf ash-
Shalih. Tahqiq Dr. Karom bin Hilmi. Cet. Dar ar-Rayah li an-Nasyr wa at-Tauzi,
Riyadh. Hal: 920).

Terkadang ada suatu permasalahan yang diperselisihkan hukum fikihnya.


Apakah ini mubah atau makruh. Kasus lainnya, ini makruh atau haram. Dalam
kasus Muhammad bin Sirin, banyak ulama menyebutkan keuntungan dari
usaha yang ia lakukan adalah sah. Namun ada minoritas ulama yang
menyebutkan cara memperoleh keuntungan tersebut adalah cara yang tidak
sah. Artinya, keabsahannya diperselisihkan. Walaupun dominannya
menyatakan sah. Tapi untuk kehati-hatian Muhammad bin Sirin lebih memilih
meninggalkannya.

Kerendahan Hati
Muhammad bin sirin adalah seseorang yang dikenal memiliki kemampuan
menafsirkan mimpi. Suatu hari Ma’mar berkata, “Ada seseorang yang datang
menemui Ibnu Sirin. Ia berkata, ‘Aku melihat dalam mimpiku ada seekor
merpati memakan mutiara. Keluarlah dari merpati itu sesuatu yang lebih besar
dari apa yang dia makan. Aku lihat merpati lain yang juga memakan Mutiara.
Kemudian keluar sesuatu yang lebih kecil dari apa yang dia makan. Setelah itu,
kulihat merpati lain memakan Mutiara. Kemudian keluar darinya sesuatu yang
sama besarnya dengan yang ia makan.” Muhammad bin Sirin berkata, “Yang
pertama, itu adalah al-Hasan. Ia mendengar hadits dan ia perbagus
pengucapannya. Kemudian ia dapatkan hikmah-hikmahnya. Adapun yang
kecil, itu adalah aku. Aku mendengar hadits, namun aku lupa hadits tersebut.
Adapun yang keluar sama dengan yang masuk, itu adalah Qatadah. Ia adalah
orang yang paling kuat hafalannya.” (Khalid ar-Ribath/Sayid Azat Id: al-Jami’ li
Ulumi al-Imam Ahmad, 18/469).

Mimpi Ma’mar ini ditafsirkan oleh Muhammad bin Sirin dengan bagaimana
para pewarta (perawi) hadits tatkala menerima hadits. Di antara nama yang
beliau sebutkan adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi,
dan beliau sendiri. Yang paling terbaik dalam menerima hadits adalah al-
Hasan. Ia hafal teksnya secara utuh. Dan mampu memahami kandungannya
dengan baik. Sementara Qatadah di bawah al-Hasan. Dan ia sendiri
menyatakan bahwa dua tabi’in tersebut lebih baik darinya.

Berbakti Pada Ibu


Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin sendiri bahwa setiap ibunya
memandang dan berbicara dengannya, pasti ia menunduk dan merendah
pada ibunya (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf ash-Shalih. Hal: 923).

Hisyam bin Hasan berkata, Hafshah binti Sirin (saudari Muhammad) berkata,
“Ibu Muhammad bin Sirin adalah ibu Muhammad al-Hijaziyah. Sang ibu
sangat suka dengan pakaian yang diwantek. Apabila Muhammad bin Sirin
membeli pakaian, ia akan belikan pakaian terbaik untuk ibunya. Saat tiba hari
Id, ia wantek pakaian itu. Aku tak pernah melihatnya meninggikan suara
kepada ibu. Saat ia bicara dengannya, ia bicara penuh dengan kelembutan.”
(Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/216).

Diriwayatkan, apabila Muhammad bin Sirin bersama ibunya dan orang yang
tak mengenalnya melihat hal itu, pastilah orang orang itu menyangka dia
sedang sakit. Karena ia menundukkan suaranya saat berbicara dengan sang
ibu.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/148).

Wara’ (Menjauhi Yang Haram dan Syubhat)


Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu
asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan
perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga
meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.
Dari Bakr bin Abdullah al-Mazini, ia berkata, “Siapa yang senang melihat orang
yang paling wara’ di zamannya, maka lihatlah Muhammad bin Sirin. Demi
Allah, kami tidak menemui orang yang lebih wara’ melebihi dirinya.” (al-Ka’bi:
Qubul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/213).

Dari Ashim al-Ahul, ia mendengar Muriqan al-Ujli berkata, “Aku tak pernah
melihat seorang yang paling paham tentang wara’ dan paling wara’ dalam
fikihnya melebih Muhammad bin Sirin.” (al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh
Baghdad, 3/283).

Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman al-Buti, ia berkata, “Tidak ada seorang pun
di Kota Bashrah yang paling berilmu tentang hukum melebihi Ibnu Sirin.”
(Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/608).

Asy’ats berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin ditanya tentang perkara halal
dan haram, rona wajahnya berubah. Sampai orang-orang berkata, ‘Seakan-
akan itu bukan dia’.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/153).

Ketika orang mendesaknya untuk memutuskan hukum suatu permasalahan,


apakah halal, haram, mubah, atau makruh, ia tidak senang dengan hal itu.
Karena ia tidak bermudah-mudahan dalam berfatwa.

Hisyam bin Hasan, “Suatu hari Muhammad bin Sirin tampak murung dan
bersedih. Ada yang bertanya, ‘Mengapa murung seperti ini, Abu Bakr (kun-yah
Ibnu Sirin)?’ Ia menjawab, ‘Kesedihan ini dikarenakan dosa yang kulakukan 40
tahun yang lalu’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/226).

Dari ucapan Ibnu Sirin ini, kita mengetahui dari mana datangnya perasaan
sedih dan gundah yang sering kita alami. Itu adalah buah pahit dari dosa yang
telah kita lakukan. Bedanya adalah kita tidak mengetahui gundah tersebut
akibat dosa yang mana. Karena terlalu banyak kita melakukan perbuatan dosa.
Kita tak mampu menunjuk dari dosa mana kesedihan itu berasal. Sedangkan
Muhammad bin Sirin, ia bisa tahu gundah itu berasal dari dosa yang mana.
Karena sedikitnya perbuatan dosa yang ia lakukan, masyaallah… Seperti halnya
Nabi Ibrahim, ia mampu mengingat jumlah kebohongannya. Karena beliau
sedikit sekali berbohong. Sementara kita tak bisa menghitung lagi berapa
jumlah kebohongan kita. Karena terlalu banyak untuk diingat.

Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh aku tahu dosa mana yang
membuatku memiliki utang. 40 tahun yang lalu aku pernah berkata pada
seseorang, ‘Hai orang yang bangkrut’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 43/545-
546). Ucapan ini serupa dengan riwayat sebelumnya. Menunjukkan betapa
beliau sedikit berbicara. Kalaupun berbicara, ia jaga lisannya sehingga sedikit
terjatuh dalam salah ucapan.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, “Tidak ada orang Kufah atau
Bashrah yang memiliki sifat wara’ semisal Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi:
Siyar A’lam an-Nubala, 4/610).

Ibnu Syubrimah berkata, “Aku berjumpa dengan Muhammad bin Sirin di


Wasath. Aku tak pernah melihat seorang yang ‘pelit’ dalam fatwa dan paling
mampu menafsir mimpi melebihi dirinya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-
Nubala, 4/614). Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab
permasalahan agama. Walaupun ia seorang ulama yang diakui keilmuannya.

Yunus bin Ubaid berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin dihadapkan pada dua
perkara tentang jaminan/perjanjian, pastilah ia ambil salah satu yang paling
yakin ia mampu tunaikan.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614).

Hisyam berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang paling teguh
pendiriannya di hadapan penguasa melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Tarikh
al-Islam, 3/155).

Teguh pendirian di hadapan penguasa tidaklah mudah. Kita sendiri saja sering
goyah ketika berhadapan dengan teman kita. Teman kita meminta suatu hal,
padahal urusan tersebut menimbulkan dosa, tapi karena merasa tidak enak,
kita pun melakukannya. Banyak orang yang tahu hukum jabat tangan dengan
non mahram itu haram, tapi karena tidak enak beda sendiri, ia pun jabat
tangan non mahram tersebut. Baru diuji dengan teman saja kita sudah tak
mampu mempertahankan prinsip. Apalagi diuji berhadapan dengan penguasa.
Wallahul musta’an.

Menjaga Kehormatan dan Wibawa


Ada yang mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin tidak makan di hadapan
banyak orang. Saat ia diundang, ia akan datang namun tidak makan. Apabila
Muhammad bin Sirin diundang ke sebuah acara, beliau masuk ke rumahanya
dan berkata, “Beri aku sedikit minuman.” Orang-orang bertanya mengapa
hanya sedikit saja. Ia menjawab, “Aku tidak suka memuaskan rasa laparku
dengan mengambil jatah makan orang.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf
as-Shalihin, Hal: 921). Mungkin kondisi di zaman dulu, jamuan makan itu tidak
sebanyak di zaman sekarang. Sehingga ia lebih mengedepankan orang lain
dibanding dirinya.

Muhammad bin Sirin mendengar seseorang yang mencela al-Hajjaj bin Yusuf,
ia datangi orang tersebut dan berkata, “Ada apa? Di akhirat nanti, dosa terkecil
yang pernah kau lakukan lebih berat bagimu dari dosa terbesarnya al-Hajjaj.
Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Adil. Kalau Allah
menyiksa al-Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang lain, pasti Allah juga
akan mengadzab seseorang yang menzalimi al-Hajjaj. Karena itu, jangan
sibukkan dirimu dengan mencela seorang pun.” (ash-Shufdi: al-Wafi bil
Wafiyat, 11/241).

Pemimpin yang zalim akan dihisab bahkan diadzab karena kezalimannya. Tapi
hal itu tidak membuat mencelanya dihadapan orang-orang atau di sosial
media menjadi halal dan legal. Mencela orang tetaplah perbuatan tercela. Dan
akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Ibadahnya
Ibnu Sirin punya kebiasaan membaca tujuh wirid di malam hari. Kalau ada
bacaan tersebut yang ia lewatkan, maka akan ia baca di siang hari (Ibnu Saad:
ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Ia terbiasa berpuasa satu hari dan tidak puasa
di hari berikutnya (puasa Dawud) (Ibnu Asakit: Tarikh Dimasyq, 53/210). Hal ini
menunjukkan konsistennya dalam menunaikan amalan hariannya. Dan amalan
yang utama adalah amalan yang dilakukan secara konsisten.

Dari Bisyr bin Umar, ia berkata, “Ummu Ibad istri dari Hisyam bin Hasan
menyampaikan padaku, ‘Kami pernah singgah bersama Muhammad bin Sirin
di suatu tempat. Kami mendengar tangisnya di malam hari dan tawanya di
siang hari’.” (Jamaluddin al-Mizzi: Tahdzib al-Kamal fi Asma-i ar-Rijal, 25/352).
Artinya, saat ia menyendiri dengan mengagungkan Allah, ia menunjukkan rasa
takut dan merenungi kesalahan-kesalahannya. Saat bersama dengan manusia
di siang hari, ia menunjukkan wajah yang ceria. Bukan sebaliknya. Ia tidak
bersedih-sedih menampilkan keshalehan dan rasa takut saat bersama orang-
orang. Tapi, saat sendiri tak ada manusia yang melihat malah berbuat dosa.

Kalau lewat di pasar dan bertemu orang-orang, ia ingatkan mereka untuk


bertasbih mensucikan Allah dan mengingat-Nya Azza wa Jalla (Khatib al-
Baghdadi: Tarikh Baghdad, 2/420). Inilah di antara gambaran pasa di zaman
salaf. Aktivitas pedagang dan pengunjung tidak hanya membicarakan dunia
semata. Tapi juga tetap berdzikir bahkan terdapat riwayat mereka ngobrol-
ngobrol permasalahan fikih di pasar. Masyaallah…

Diriwayatkan pula bahwa Muhammad bin Sirin rahimahullah tidaklah


memasuki pasar di siang hari kecuali dalam keadaan bertakbir, bertasbih, dan
berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kemudian seseorang berkata padanya, “Hai Abu
Bakr, apakah di waktu seperti ini?” Ia menjawab, “Ini adalah waktu dimana
banyak orang sedang lalai.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin,
Hal: 923).

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang demikian:

‫ب‬ ‫صقلهة قوهإيقتاًهء اللزقكاًهة قيقخاًبفوقن قيلومماً قتقتققلل ب‬


‫ب هفيهه اللبقبلو ب‬ ‫هرقجاًعل قل تبللههيههلم هتقجاًقرعة قوقل قبليعع قعلن هذلكهر الللهه قوهإققاًهم ال ل‬
‫قواللقلب ق‬
‫صاًبر‬

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli
dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Bercanda
Dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian. Penasihat. Kuat memegang
kebenaran. Semua itu bukan berarti beliau tak memiliki selera humor yang
baik. Bahkan ia dikenal sebagai seorang yang suka tertawa dan bercanda. (al-
Ka’bi: Qabul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/215).

Sebagian orang kalau sudah menjadi tokoh hilanglah selera humornya. Ia


menganggap wibawanya akan jatuh kalau sesekali bercanda dan tertawa.
Padahal canda tan tawa adalah pemanis interaksi. Dan merekatkan hubungan.
Selama itu tidak berlebihan.

Tafsir Mimpi
Sebagian orang dikaruniakan Allah memiliki ketajaman firasat dan
kemampuan menafsirkan mimpi dengan tepat. Di antara orang tersebut
adalah Muhammad bin Sirin. Pernah ada seseorang bertanya padanya, “Aku
bermimpi bahwa aku menjilat madu dari sebuah gelas minum yang terbuat
dari permata.” Ibnu Sirin menjawab, “Bertakwalah kepada Allah. Ulangilah
hafalan Alquranmu. Karena sesungguhnya engkau membacanya kemudian
melupakannya.”
Ada seorang yang bertanya, “Aku bermimpi buang air kecil darah.” Ia
menjawab, “Apakah kau mendatangi istrimu dalam keadaan haidh?” “Iya”,
jawabnya. “Bertakwalah kepada Allah dan jangan kau ulangi hal itu,” kata Ibnu
Sirin.

Ibnu Sirin bermimpi seolah melihat bintang al-jauza mendahului bintang


tsurayya. Kemudian ia berwasiat. Dan berkata, “al-Hasan al-Bashri akan wafat.
Kemudian aku. Dan dia lebih mulia dariku.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf
as-Shalihin, Hal: 924-925).

Ada seseorang yang berkata pada Ibnu Sirin, “Aku bermimpi bahwa aku
memegang gelas terbuat dari kaca yang berisi air. Kemudian gelas itu pecah.
Tapi airnya tetap ada.” Ibnu Sirin menanggapi, “Bertakwalah pada Allah.
Engkau tidak mimpi apapun.” “Subhanallah,” kata orang tersebut. Ibnu Sirin
melanjutkan, “Siapa yang dusta, aku tidak menanggungnya. Tapi istrimu akan
melahirkan kemudian meninggal. Sementara anaknya tetap hidup.” Saat orang
tersebut pergi, ia berkata, “Demi Allah, aku memang tak memimpikan
apapun.” Kemudian istrinya melahirkan dan meninggal (Ibnu Asakir: Tarikh
Dimasyq, 53/232).

Wafat
Sejarawan sepakat kalau Muhammad bin sirin wafat di Kota Bashrah pada
tahun 110 H. Tepat 100 hari setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri. Muhammad
bin Zaid berkata, “Hasan wafat di awal Rajab tahun 110 H. Kemudian
Muhammad bin Sirin wafat 9 hari setelah berlalu bulan Syawal tahun 110 H
(An-Nawawi: Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/84 dan adz-Dzahabi: Tarikh al-
Islami, 3/159).

Wasiat Muhammad bin Sirin rahimahullah untuk keluarganya sepeninggalnya


adalah agar mereka bertakwa kepada Allah. Dan memperbaiki hubungan
sesama mereka. Kemudian agar mereka menaati Allah dan Rasul-Nya kalau
mereka benar-benar orang yang beriman. Ia juga mewasiati keluarganya
dengan wasiat Ibrahim dan Ya’qub kepada keluarganya:

‫طفى لقبكبم الهدديقن قفل قتبموتبلن هإلل قوأقلنتبلم بم ل‬


‫سهلبموقن‬ ‫ص ق‬
‫ي هإلن الللقه ا ل‬
‫قياً قبهن ل‬

“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ia juga mewasiatkan agar keluarganya menjadi saudara yang saling menolong
dan mencintai di atas agama. Dan mengatakan bahwa menjaga kesucian diri
dan jujur adalah lebih baik, lebih kekal, dan lebih mulia dari zina dan dusta
(Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153-154).

Read more https://kisahmuslim.com/6339-muhammad-bin-sirin-tabiin-yang-


utama.html#more-6339

Anda mungkin juga menyukai