Anda di halaman 1dari 2

Suatu hari Mukhsin diminta majikannya yang bermukim di Bululawang, untuk mengantarnya ke

Pasuruan.

Majikannya mau berkunjung ke kediaman salah satu kiai besar yang sudah kesohor derajat kewaliannya.

Sebagai sopir yang baik dan rajin bekerja, Mukhsin mengantar sang majikan. Menempuh perjalanan
sekitar satu jam, akhirnya mereka sampai di pondok pesantren Kiai Hamid bin Abdullah bin Umar.

Mukhsin tak mengantar majikannya masuk ke dalam ruang tamu sang kiai. Sebab sebagai seorang sopir,
ia merasa sebaiknya menunggu sang majikan di luar saja.

Ternyata Kiai Hamid tak mau menerima majikannya jika Mukhsin tak diajak masuk ke ruang tamu.
Akhirnya sang majikan menghampiri Mukhsin dan memintanya ikut masuk.

“Kiai Hamid tidak mau menerima kedatanganku, kalau kamu tidak ikut masuk,” ujar sang majikan kepada
Mukhsin.

Mukhsin pun heran. Ia bertanya dalam hati, “Kenapa kiai itu tidak mau menerima majikanku, kalau aku
tidak ikut ke dalam?”

Akhirnya Mukhsin ikut masuk ke ruang tamu. Barulah Kiai Hamid menyambut sang majikan dan dirinya
dengan hangat.

Saat mengobrol, tiba-tiba Kiai Hamid bertanya kepada Mukhsin amalan-amalan apa yang dijalaninya
selama ini.

Mukhsin menjawab, ia hanya menjalani berbagai amalan yang dilakukan oleh masyarakat pada
umumnya.
“Tadi kenapa Kiai menolak kedatangan saya, ketika saya masuk sendirian ke kediaman Anda? Dan Anda
bilang tidak akan menerima kedatangan saya apabila tidak mengajaknya (sopir) juga?,” tanya sang
majikan.

"Anak ini akan jadi wali dan akan memiliki pondok pesantren yang besar. Saya sudah melihat tanda-
tandanya. Makanya saya menolak kedatanganmu kalau tak kamu ajak sang wali," ujar Kiai Hamid
menjelaskan

Anda mungkin juga menyukai