PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal, kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda – beda.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3.1 Umum
Tujuan umum penyusunan referat ini agar tenaga medis memahami mengenai tentang
kejahatan seksual baik pada dewasa.
1.3.2 Khusus
1.4 Manfaat
2
1.4.2 Pemerintah
Menjadi masukan dan dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk menegakkan hukum
dan keadilan dalam menangani kasus – kasus kejahatan seksual baik pada anak maupun
dewasa.
1.4.3 Masyarakat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda.
Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan
orang lain. Kejahatan seksual adalah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan
Terdapat dua macam bentuk kejahatan seksual , yaitu ringan dan berat.
4
Tindakan seksual dan kekerasan fisik , dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit,luka, atau cedera.
Senggama : selingkuh, perkosaan, wanita tidak berdaya, wanita dibawah umur, incest
Non-senggama : perbuatan cabul
Salah satu bentuk kejahatan seksual berat adalah tindak pemerkosaan. Pemerkosaan dalam
kosakata bahasa Indonesia yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan
kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna
yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi
dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
Unsur Pelaku :
o Harus laki-laki
o Mampu melakukan persetubuhan
Unsur korban :
o Harus perempuan
o Bukan istri pelaku
Unsur Perbuatan
5
Persetubuhan dengan paksa ,pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan
kekerasan fisik atau ancaman kekerasan
Persetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati vestibulum. Pencabulan adalah setiap penyerangan
sexual tanpa terjadi persetubuhan ( bukan persetubuhan )
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum
pernah melahirkan atau multipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyababkan
terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar
sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya
penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukan adanya erosi yang dapat
disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman.Tidak ditemukannya
luka-luka tersebut pada korban yang bukan multipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya
penetrasi.Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun
adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi
persetubuhan.Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen
cairan mani.
6
II.6 Faktor yang Mempengaruhi Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diserrtai ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh berbagai
factor antara lain :
II.7 Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang
mudah dimengerti oleh korban. Anamnesis dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus. Pada
- Status pernikahan,
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),
7
- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual
• What &How:
- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah
kejadian,
- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan kondom,
dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah
• When:
- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
• Where:
• Who:
- Jumlah pelaku,
Anamnesis diperoleh baik dari korban maupun pengantar. Anamnesis dilakukan dalam
ruangan terpisah.
Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam
memberikan jawaban)
Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan waktu
pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan seks
terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian
- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah
9
Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari
psikiatri
fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.Pelaksanaan
pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar
atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum meliputi :
- Tanda vital
- Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum, lakukan
- Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut pubis)
- Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan dalam
amplop
- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar
10
Gambar 1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan
- Posisi litotomi
- Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak
- Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada jaringan lunak,
- Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop
11
- Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop, cabut 3-
- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada
- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah
ada perlukaan;
- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya
perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan
hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan
korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan
- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
- Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya
- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani
12
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan
selaput dara.Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi.Pada jenis-jenis selaput dara
tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara
dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan.Pada
penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan
1. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau bila
2. Lendir daerah vulva dan vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette.
Robekan selaput dara akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda
kemerahan disekitar robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang
elastis sehingga tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala
jika : korban dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa
sudah lama, korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.
13
Gambar 2. Beragam jenis selaput dara
melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang
ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan,
korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter
14
Menentukan ada tidaknya persetubuhan:
Tanda langsung
- Ditemukan sperma
- Kehamilan
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila
ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking,
jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran
orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati
ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada
sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-
kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
15
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma, maka
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun spermin
bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh karena
ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih
dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal
dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter
harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan
tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak
dapat ditemukan.
16
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36
jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi
korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari
proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
17
II.10.b. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi.
Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada
pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu
Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi
korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah
mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada
alat genital.
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak
berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita
korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat
tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak
ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada
18
kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya
merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut
pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW (Burgerlyk
19
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,dan bila
bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), dalam tenggang waktu tiga bulan
diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan belum
dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan
Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan
sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah
terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan
apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi
ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat
paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan
20
paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum
merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat
menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu
persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat
mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi
pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah
korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau
tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan
Pasal 89 KUHP
21
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak
melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak ternyata, bahwa mampu dikawin, diancam pidana penjara paling lama
sembilan tahun
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika
suami melakukan pemaksaan seksual terhadap istri, maka tidak termasuk dalam hukum
undang-undang perkosaan, tetapi termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga seperti
22
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
a. kekerasan fisik
b. kekerasan psikis
c. kekerasan seksual
Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan
dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat
kematiannya.
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat timbul
permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu
seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat
memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum
perkawinan, maka batas umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk
menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang
23
II.14.2 Undang Undang Perlindungan Anak
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang
berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan anak)
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
24
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidanannya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban
lebih dari 1 (satu) orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku
dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai
Diantara pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana
pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan
25
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum, sosial, dan kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E, Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang
Perlindungan Anak diatas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk
dilaporkan oleh korbannnya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan
pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat
angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa, atau dengan orang yang
26
kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
27
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat dan tidak memandang usia .
Komponen penting dari pengungkapan kasus kejahatan seksual adalah visum et repertum yang
dibuat oleh dokter. Visum et repertum memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai bukti-
bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, adanya tanda-
tanda persetubuhan sehingga dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat penegak
hukum.
Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis mengenai kronologi
kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus untuk mencari bukti-bukti fisik
kekerasan, serta pemeriksaan penunjang untuk pembuktian persetubuhan. Anamnesis pada korban
anak dan dewasa dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Posisi pemeriksaan forensik sera
temuan pemeriksaan hymennya pada korban dewasa dan anak juga berbeda.
Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi
(penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air mani
didalam vagina/anus. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan
mani sendiri.
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-zat
yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membuktikan hal tersebut adalah pemeriksaan dengan reaksi fosfatase asam, reaksi berberio,
reaksi Florence.
28
III.2 Saran
Masyarakat
o Agar lebih waspada terhadap banyaknya kasus kejahatan seksual
o Setelah mengalami kejahatan seksual, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang
agar dokter yang memeriksa dapat menemukan bukti sebanyak - banyaknya
Kedokteran forensik
o Agar selain mengobati korban kejahatan seksual juga mengetahui prinsip – prinsip
pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya agar tidak membuat bnayak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan
o Lebih teliti dalam melakuakn identifikasi temuan klinis dalam kasus kejahatan seksual
o Akan lebih baik bila dalam kasus kejahatan seksual dapat dilengkapi dengan visum
yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape síndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping ( umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai “lingkaran dalam” korban kareba berkesempatan
menangkap akutualitas penderitaan korban.
Pemerintah dan pihak kepolisian
o Lebih intensif dalam memberantas kasus perkosaan dengan tujuan menurunnya kasus
kejahatan seksual
Daftar Pustaka
Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6 November 2007 dari
http://www.nusantara.co.id (diakses tanggal 25 Juli 2016)
29
Budiyanto. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Indonesia,
1997.
Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors.
Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL): CRC
Press; 2009. h. 3-23.
Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2004:
h.130-131.
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta : Binarupa aksara, 2004.
Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011.h. 1-5.
Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta:Bumi Aksara. 2003.h. 106.
30