Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal, kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda – beda.

Di indonesia menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian rata- rata ada 20 perempuan yang menjadi
korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang mungkin mengejutkan adalah bahwa adalah lebih
dari ¾ dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan
dengan korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka -angka tersebut merupakan fenomena gunung
es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan juah lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di
masyarakat. Banyak korban enggan melapor mungkin karenamalu, takut disalahkan, mengalami
trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan


seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan. Pelaporan tentu hanya merupakan langkah
awal dari rangkaian panjang dalam mengungkapkan suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu
komponen penting dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang
dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan intepretasi bukti bukti fisik kekerasan seksual.
Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki peranyang
besar dalam pembuatan visum et repertum dan membuat terang suatu perkarabagi aparat penegak
hukum. Karena itu, hendaknya setiap dokter – baik yang berada di kota besar maupun di daerah
terpencil, baik yang berpraktik di rumah sakit maupun tempat praktik pribadi memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam melakukanpemeriksaan dan penatalaksanaan
korban kekerasan seksual.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kejahatan seksual?


2. Apa saja jenis-jenis dalam kejahatan seksual persetubuhan dan bukan persetubuhan?
3. Bagaimana pembuktian adanya persetubuhan?
4. Definisi pemerkosaan?
5. Bagaimana pola perlukaan pada kejahatan seksual?
6. Bagaimana aspek hukum mengenai kejahatan seksual?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Umum

Tujuan umum penyusunan referat ini agar tenaga medis memahami mengenai tentang
kejahatan seksual baik pada dewasa.

1.3.2 Khusus

1. Mengetahui definisi kejahatan seksual


2. Mengetahui apa saja jenis-jenis dalam kejahatan seksual persetubuhan dan bukan
persetubuhan
3. Mengetahui bagaimana pembuktian mengenai adanya persetubuhan
4. Mengetahui definisi pemerkosaan
5. Mengetahui pola perlukaan pada kekerasan seksual
6. Mengetahui bagaimana aspek hukum dan medikolegal mengenai kejahatan seksual

1.4 Manfaat

1.4.1 Bidang Ilmu Pengetahuan

Menambah pengetahuan memgenai kejahatan seksual, mulai dari pengertian, jenis –


jenis, perbedaan pada pemeriksaan fisik pada anak dengan dewasa, hingga aspek hukum dan
medikolegalnya.

2
1.4.2 Pemerintah

Menjadi masukan dan dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk menegakkan hukum
dan keadilan dalam menangani kasus – kasus kejahatan seksual baik pada anak maupun
dewasa.

1.4.3 Masyarakat

Menambah wawasan dan pemahaman masyarakat terhadap kejahatan seksual

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi kejahatan seksual

Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda.

Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan
orang lain. Kejahatan seksual adalah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan

II.2 Kategori Kejahatan Seksual

Terdapat dua macam bentuk kejahatan seksual , yaitu ringan dan berat.

1. Macam-macam kejahatan seksual ringan :


 Gurauan porno
 Siulan , ejekan dan julukan
 Tulisan / gambar
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban ,melecehkan dan atau
menghina korban
 Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat
2. Menurut Syaulia , et al.2008 , terdapat macam-macam kejahatan seksual berat :
 Pelecehan , kontak fisik : raba , sentuh organ seksual ,cium paksa ,rangkul
 Perbuatan yang rasa jijik ,terteror ,terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dengan cara tidak disukai , merendahkan dan atau menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain , pelacuran tertentu .
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban .

4
 Tindakan seksual dan kekerasan fisik , dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit,luka, atau cedera.

Kejahatan seksual berdasarkan jenis nya : senggama dan non-senggama.

 Senggama : selingkuh, perkosaan, wanita tidak berdaya, wanita dibawah umur, incest
 Non-senggama : perbuatan cabul

II.3 Kejahatan seksual berat

Salah satu bentuk kejahatan seksual berat adalah tindak pemerkosaan. Pemerkosaan dalam
kosakata bahasa Indonesia yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan
kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna
yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi
dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.

Pengertian menurut Sofwan Dahlan, perkosaan sebagai perbuatan bersenggama yang


dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan (fear) atau dengan cara
memperdaya (fraud). Bersenggama dengan wanita yang memiliki gangguan mental (embecit) juga
termasuk perkosaan (statory rape), tidak mempersoalkan apakah wanita tersebut menyetujui atau
menolak bersenggama, sebab kondisi mental seperti itu tidak mungkin yang bersangkutan mampu
atau berkompeten memberikan reaksi yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.

Menurut Dahlan,S.,2007 ,Tindak pidana kasus perkosaan di Indonesia harus memenuhi


berbagai unsur berikut :

 Unsur Pelaku :
o Harus laki-laki
o Mampu melakukan persetubuhan
 Unsur korban :
o Harus perempuan
o Bukan istri pelaku

 Unsur Perbuatan

5
Persetubuhan dengan paksa ,pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan
kekerasan fisik atau ancaman kekerasan

II. 4 Persetubuhan dan Bukan Persetubuhan

Persetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati vestibulum. Pencabulan adalah setiap penyerangan
sexual tanpa terjadi persetubuhan ( bukan persetubuhan )

Syarat persetubuhan yang legal :

1. Wanita adalah istri yang sah


2. Mendapat izin dari wanita yang bersangkutan, izin yang sah :
o Sadar (conscius)
o Wajar (naturally)
o Tidak ada keraguan (unequivocal)
o Atas kemauan sendiri (voluntary)
3. Wanita tersebut sudah cukup umur
4. Sehat akalnya ,tidak ada cacat mental
5. Wanita tersebut tidak terikat perkawinan dengan orang lain
6. Bukan anggota keluarga dekat

II.5 Tanda Persetubuhan

Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum
pernah melahirkan atau multipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyababkan
terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar
sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya
penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukan adanya erosi yang dapat
disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman.Tidak ditemukannya
luka-luka tersebut pada korban yang bukan multipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya
penetrasi.Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun
adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi
persetubuhan.Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen
cairan mani.

6
II.6 Faktor yang Mempengaruhi Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diserrtai ejakulasi.

Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh berbagai
factor antara lain :

1. Besarnya penis dan derajat penitrrasinya


2. Bentuk dan elastisitas selaput dara ( hymen)
3. Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulasi itu sendiri
4. Posisi persetubuhan
5. Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan

Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin sebab dengan berlangsungnya waktu


tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan,
dokter hendaknya mendapat izin tertulis dari pihak – pihak yang diperiksa.Jika korban adalah
seorang anak izin dapat diminta dari orang tua atau walinya.

II.7 Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang

mudah dimengerti oleh korban. Anamnesis dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus. Pada

anamnesis umum dapat ditanyakan :

- Umur atau tanggal lahir,

- Status pernikahan,

- Riwayat paritas dan/atau abortus,

- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian

kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),

- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta

7
- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual

yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:

• What &How:

- Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),

- Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,

- Adanya upaya perlawanan,

- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,

- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah

kejadian,

- Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),

- Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,

- Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,

- Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,

- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan kondom,

dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah

buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.

• When:

- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan

- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

• Where:

- Tempat kejadian, dan


8
- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian

yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

• Who:

- Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,

- Jumlah pelaku,

- Usia pelaku, dan

- Hubungan antara pelaku dengan korban

II.7.1 Anamnesis pada Dewasa

 Anamnesis diperoleh baik dari korban maupun pengantar. Anamnesis dilakukan dalam

ruangan terpisah.

 Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam

memberikan jawaban)

 Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan waktu

pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan seks

terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian

 Kronologis urutan kejadian

 Gali informasi tentang:

- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah

tidur, murung, agresif dan suka menyendiri

- Keadaan kesehatan setelah trauma

- Adakah riwayat seperti ini sebelumnya

- Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya

9
 Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari

psikiatri

II.8 Pemeriksaan Umum dan Khusus

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”.Artinya, pemeriksaan

fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.Pelaksanaan

pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar

atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan

dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu.

Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum meliputi :

- Keadaan Umum : Tingkat kesadaran, penampilan secara keseluruhan, keadaan emosional

(tenang, sedih / gelisah)

- Tanda vital

- Periksa gigi-geligi (pertumbuhan gigi ke 7 & 8)

- Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum, lakukan

swab pada laring dan tonsil

- Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut pubis)

- Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan dalam

amplop

- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada

bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar

10
Gambar 1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan

kekerasan seksual yang diakui korban, prosedurnya meliputi :

- Posisi litotomi

- Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak

atau bercak cairan mani;

- Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada jaringan lunak,

bercak cairan mani)

- Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop

- Rambut pubis disisir, rambut yang lepas dimasukkan dalam amplop

11
- Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop, cabut 3-

10 lembar rambut dan masukkan dalam amplop lain

- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada

jaringan lunak atau bercak cairan mani;

- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah

ada perlukaan;

- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya

perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan

hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan

korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan

adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;

- Swab daerah vestibulum, buat sediaan hapus

- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;

- Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya

cairan atau lendir;

- Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;

- Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani

atau air liur dari pelaku; serta

- Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut

- Tanda kehilangan kesadaran (pemberian obat tidur / bius) needle marksindikasi

pemeriksaan darah dan urin

12
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan

selaput dara.Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi.Pada jenis-jenis selaput dara

tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara

dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran

tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan.Pada

penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan

tepi yang tajam.

1. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau bila

dilakukan dengan kasar dapat merusak selap

2. Lendir daerah vulva dan vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette.

Robekan selaput dara akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda

kemerahan disekitar robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang

elastis sehingga tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala

jika : korban dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa

sudah lama, korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.

13
Gambar 2. Beragam jenis selaput dara

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.Selain

melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang

ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan,

korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter

mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai.

14
Menentukan ada tidaknya persetubuhan:

 Tanda langsung

- Adanya robekan selaput dara

- Luka lecet atau memar di lliang senggama

- Ditemukan sperma

 Tanda tidak langsung

- Kehamilan

- Penyakit hubungan seksual

II.9 Pemeriksaan Korban

II.9.a. Pemeriksaan tubuh

Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila

ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah

sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking,

jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran

orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati

ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada

sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-

kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut

Voight adalah minimal 9 cm.

Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat

dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan

15
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda

lain yang masuk ke dalam vagina.

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat

tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan

tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma, maka

pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan

terhadap ejakulat tersebut.

Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim

asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun spermin

bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh karena

ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih

dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal

dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam

fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.

Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan

persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya

pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat

dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula

menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter

harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan

tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang

tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak

dapat ditemukan.

16
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat

terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang

sangat penting di dalam proses penyidikan.

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat

bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36

jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi

korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari

proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut

dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.

II.9.b. Pemeriksaan pakaian

Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan

pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut

dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah

ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.

II.10 Pemeriksaan Pelaku

II.10.a. Pemeriksaan tubuh

Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat

dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga

dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.

17
II.10.b. Pemeriksaan pakaian

Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.

Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu

ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi.

Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada

pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk

pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu

Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan

penyegelan.

II.11 Pembuktian Kekerasan

Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi

korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah

mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada

alat genital.

Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan

(bite marks) serta luka-luka memar.

Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak

berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita

korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat

tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak

ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada

18
kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau

bekas tersebut sudah hilang.

Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya

merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut

pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,

pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.

II.12 Pola Perlukaan pada Kejahatan Seksual

II.13 KUHP Kejahatan Seksual dan Perlindungan Anak


II.13.1 Undang-undang Pemerkosaan

Pasal 284 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal

diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal

diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa

yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal

diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW (Burgerlyk

Wetboek) berlaku baginya.

19
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,dan bila

bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), dalam tenggang waktu tiga bulan

diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan belum

dimulai.

(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan tidak

diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan

yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 27 BW

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan

sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

 Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita

bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah

terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan

apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi

ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat

paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan

20
paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum

merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat

menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga

tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah terjadi.

 Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal

diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu

persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat

mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi

pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah

korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban

menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di

bawah pengaruh obat-obatan.

Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau

tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan

membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

 Pasal 89 KUHP

21
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak

melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh

perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

 Pasal 287 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal

diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau

kalau umurnya tidak ternyata, bahwa mampu dikawin, diancam pidana penjara paling lama

sembilan tahun

 Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui

atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama

delapan tahun

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika

suami melakukan pemaksaan seksual terhadap istri, maka tidak termasuk dalam hukum

undang-undang perkosaan, tetapi termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga seperti

undang-undang sebagai berikut :

Undang undang Republik Indonesia Nomor 23 \Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga :

22
 Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. kekerasan fisik

b. kekerasan psikis

c. kekerasan seksual

d. penelantaran rumah tangga

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan

dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat

tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab

kematiannya.

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat timbul

permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu

pengertian secara biologis dan pengertian menurut undang-undang. Secara biologis

seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat

memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum

pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan menurut undang-undang

perkawinan, maka batas umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk

melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat

menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang

dimaksud dalam pasal 288 KUHP.

23
II.14.2 Undang Undang Perlindungan Anak

Ketentuan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang

berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan anak)

dan Pasal 76E (pencabulan anak), sebagai berikut :

 Pasal 76D Undang-Undang perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

 Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak sebagai Berikut:

 Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang

yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

24
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidanannya ditambah

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana

karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban

lebih dari 1 (satu) orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,

terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku

dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat

(5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai

tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

Diantara pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi

sebagai berikut:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana
pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan

25
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

 Pasal 82 Undang Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E, Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak diatas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk

dilaporkan oleh korbannnya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan

pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat

diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Pasal 294 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak

angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa, atau dengan orang yang

belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penja-gaannya diserahkan

26
kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan

27
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan

diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat dan tidak memandang usia .

Komponen penting dari pengungkapan kasus kejahatan seksual adalah visum et repertum yang

dibuat oleh dokter. Visum et repertum memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai bukti-

bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, adanya tanda-

tanda persetubuhan sehingga dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat penegak

hukum.

Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis mengenai kronologi

kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus untuk mencari bukti-bukti fisik

kekerasan, serta pemeriksaan penunjang untuk pembuktian persetubuhan. Anamnesis pada korban

anak dan dewasa dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Posisi pemeriksaan forensik sera

temuan pemeriksaan hymennya pada korban dewasa dan anak juga berbeda.

Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi

(penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air mani

didalam vagina/anus. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan

mani sendiri.

Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-zat

yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

membuktikan hal tersebut adalah pemeriksaan dengan reaksi fosfatase asam, reaksi berberio,

reaksi Florence.

Pemeriksaan untuk spermatozoa dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung maupun

dengan menggunakan pewarnaan malachite green 1 % maupun pewarnaan baecchi.

28
III.2 Saran

 Masyarakat
o Agar lebih waspada terhadap banyaknya kasus kejahatan seksual
o Setelah mengalami kejahatan seksual, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang
agar dokter yang memeriksa dapat menemukan bukti sebanyak - banyaknya
 Kedokteran forensik
o Agar selain mengobati korban kejahatan seksual juga mengetahui prinsip – prinsip
pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya agar tidak membuat bnayak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan
o Lebih teliti dalam melakuakn identifikasi temuan klinis dalam kasus kejahatan seksual
o Akan lebih baik bila dalam kasus kejahatan seksual dapat dilengkapi dengan visum
yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape síndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping ( umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai “lingkaran dalam” korban kareba berkesempatan
menangkap akutualitas penderitaan korban.
 Pemerintah dan pihak kepolisian
o Lebih intensif dalam memberantas kasus perkosaan dengan tujuan menurunnya kasus
kejahatan seksual

Daftar Pustaka

Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6 November 2007 dari
http://www.nusantara.co.id (diakses tanggal 25 Juli 2016)

29
Budiyanto. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Indonesia,
1997.

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : EGC, 2010.

Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors.
Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL): CRC
Press; 2009. h. 3-23.

Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2004:
h.130-131.

Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. 2008

Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta : Binarupa aksara, 2004.

Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011.h. 1-5.

Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta:Bumi Aksara. 2003.h. 106.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap


pasal demi pasal.1996.Bogor : Politeia. h. 212.

Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah.2011; 11(1); 187-


200.

30

Anda mungkin juga menyukai