Anda di halaman 1dari 6

UMKM TERHADAP PAJAK

Pendahuluan
Berbagai kalangan seperti akademisi, praktisi, politisi, negarawan serta pengamat ekonomi,
telah mengemukakan bahwa untuk menjadi bangsa yang maju sedikitnya dibutuhkan entrepreneur
sebanyak 2% dari populasi penduduknya. Karena kehadiran pengusaha atau entrepreneur bisa
menjadi motor penggerak pembangunan, menjaga stabilitas perekonomian dan faktor penentu
untuk meningkatkan kesejahteraan. Saat ini jumlah pengusaha di Indonesia sekitar 1,65% dari jumlah
penduduk. Jumlah ini kalah jauh bila dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya Singapura
sebesar 7 persen, Malaysia 5 persen dan Thailand sebesar 4 persen dari jumlah penduduk masing-
masing negara tersebut. Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat jumlah
pengusahanya 11 persen dan China sebesar 12 persen.
Untuk mendorong tumbuhnya jumlah pengusaha, pemerintah sendiri sudah mencanangkan
Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) sebagai upaya untuk mendukung terciptanya pengusaha
tangguh, mampu meningkatkan perekonomian nasional, dan mampu menciptakan lapangan kerja.
Saat ini dari jumlah pengusaha yang ada di Indonesia, sebanyak 98 persen diantaranya masih dalam
skala mikro atau dinamakan dengan istilah UKM/UMKM.
Dengan kondisi tersebut dilihat dari sisi perpajakan, bagaimanakah aspek perpajakan untuk usaha
kecil menengah ini? Apakah mereka juga harus membayar pajak? Apabila ditinjau dari sisi kebutuhan
peningkatan jumlah pengusaha, tentulah perlu ada kebijakan yang bisa menjadi pendorong, namun
di sisi lain negara juga membutuhkan penerimaan pajak. Sesuai UU KUP bahwa semua Wajib Pajak
yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan
perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai
wajib pajak dan mendapatkan NPWP. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak. Dengan demikian
apabila UKM/UMKM telah memenuhi syarat objektif maka diwajibkan mendaftar ke Direktorat
Jenderal Pajak untuk mendapatkan NPWP dan melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan
tersebut diatas. Dengan demikianUKM/UMKM tersebut juga harus membayar pajak.
Berdasarkan situasi di atas, maka Makalh ini akan mencoba untuk menerangkan hubungan
antara UMKM terhadap perpajakan. Makalah ini akan berfokus terhadap penyelenggaraan serta pro
dan kontra terhadap PP 46

Pembahasan
I. Definisi dan perkembangan UMKM
UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UMKM diatur dalam UU no
20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Menurut UU tersebut, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro. Kriteria Usaha Mikro adalah memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari
Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang. Kriteria Usaha Kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 sampai
dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang. Kriteria Usaha Menengah adalah memiliki kekayaan
bersih lebih dari Rp500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, Atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00.

UMKM sendiri berkembang dan memberikan banyak peran penting dalam perekonomian di
Indonesia. Pemerintah Indonesia pun memandang penting keberadaan para pelaku UMKM.
Buktinya, UMKM Bersama dengan Koperasi memiliki wadah secara khusus di bawah Kementrian
Koperasi dan UKM. Perhatian tinggi yang diberikan ini juga tidak lain sebagai wujud pemerintah
dalam menyangga ekonomi rakyat kecil.

Salah satu peran UMKM yang penting dalam ekonomi Indonesia adalah memberikan
pemasukan devisa bagi negara. Saat ini, UMKM di Indonesia sangat maju. Pangsa pasarnya tidak
hanya skala nasional, namun internasional.

Data Dari kementrian Koperasi dan UKM di tahun 2017 menunjukkan tingginya devisa negara
dari pelaku UMKM, mencapai kurang lebih 88 Miliar.

II. UMKM Terhadap Pajak


Terkait dengan UMKM, sebelumnya sudah ada ketentuan perpajakan yang mengatur tarif khusus PPh
untuk UMKM tapi hanya berlaku untuk berbentuk badan usaha., dalam UU no.36 tahun 2008 pasal
31E dinyatakan bahwa wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana
diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU Ph yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai Rp
4,8 miliar.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu diterbitkan untuk menggantikan tarif pajak yang berlaku sebelumnya. Beberapa pokok-
pokok penting yang diatur dalam PP yang diberlakukan efektif mulai 1 Juli 2013 tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap
yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.8 milyar
dalam 1 (satu) Tahun Pajak, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%.
2. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan

3. Dikecualikan dari pengenaan PPh Final berdasarkan ketentuan ini adalah penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh:

o tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

o pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan
penari;

o olahragawan;

o penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

o pengarang, peneliti, dan penerjemah;

o agen iklan;

o pengawas atau pengelola proyek

o perantara

4. Tidak termasuk dalam pengertian Wajib Pajak yang dikenakan dengan PP ini adalah:

 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan


dan / atau jasa yang dalam usahanya:

 menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik


yang menetap maupun tidak menetap; dan

 menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang


tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Contoh: pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di
trotoar dan sejenisnya.

o Wajib Pajak badan:

 yang belum beroperasi secara komersial; atau

 yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi seara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4,8 milyar.

5. PP ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang selama ini telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiiki peredaran bruto
tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK). Hingga saat penulisan artikel ini, PMK dimaksud belum terbit.

Rencana menjadikan UMKM sebagai fokus atau target pemajakan telah terdengar sejak
petengahan tahun 2011. Saat itu sumber data menunjukkan bahwa UMKM menyumbang 61% dari
Produk Domestik Bruto tetapi kontribusinya terhadap total penerimaan pajak hanya 5%. Oleh karena
itu kuat dugaan bahwa terbitnya PP 46 Tahun 2013 adalah karena potensi penerimaan pajak dari
sektor UMKM belum tergali secara maksimal. Hal ini sedikit berbeda dengan penjelasan Menteri
Keuangan yang dikutip beberapa harian nasional dan media elektronik yang mengatakan bahwa
keputusan Pemerintah mengenakan tarif 1% terhadap UMKM bukanlah alasan penerimaan negara
tetapi bermaksud meningkatkan status UMKM menjadi sektor formal sehingga lebih mudah
memperoleh akses keuangan, permodalan maupun kredit perbankan. Penjelasan Menteri Keuangan
ini patut dipertanyakan karena maksud tersebut tidak tercemin dalam konsiderans (pertimbangan)
terbitnya PP 46 Tahun 2013

III. Pro dan Kontra PP 46

Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 46 tahun 2013, sulit dipungkiri bahwa yang
menjadi target pemajakan dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp.4,8 milyar dalam PP tersebut
yang masih dalam lingkup pengertian UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha
dengan peredaran maksimum Rp.50 milyar dalam setahun.

Pertimbangan Pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1% dari peredaran usaha setiap
bulan dan bersifat final terhadap UMKM sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum PP 46
Tahun 2013 adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik
bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi
dan moneter. Tidak terdapat aspek keadilan yang menjadi faktor pertimbangan terbitnya PP ini.
Pengenaan PPh yang bersifat final bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari
peredaran bruto setiap bulan, kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan
final.

Ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan (equity principle), pengenaan PPh Final tidak
sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay).
Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang
harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976).
Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-
biaya pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang
berlaku (Mansury R, 1996). Berhubung PPh Final dihitung langsung dari peredaran bruto maka
pemajakan tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dalam pemajakan. Betapa tidak, besar
kecilnya penghasilan neto seseorang atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak
yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran
bruto. Bahkan dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh Final seseorang atau badan usaha
tetap harus membayar pajak.

Penerapan PPh Final 1% terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari
Rp.4,8 milyar setahun adalah tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dalam penghitungan pajak
bagi kelompok perorangan dan badan usaha yang selama ini kesulitan menyelenggarakan
pembukuan. Namun bagi UMKM perorangan atau badan usaha yang selama ini telah
menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung PPh dari penghasilan kena pajak yang
senyatanya dari hasil pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal, ketentuan ini menjadi suatu
kemunduran bagi mereka. Betapa tidak, untuk kelompok ini, konsep self - assessment yang memberi
kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan
sendiri kewajiban pajaknya jelas menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap
UMKM mundur dan tidak selaras dengan tujuan utama dari sistim self – assesment yaitu kepatuhan
membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance).

Semangat pemerintah dalam mengejar target penerimaan negara lebih dominan terlihat
dalam penerbitan PP 46 Tahun 2013. Jadi, lebih dari sekedar memberi kemudahan kepada UMKM
dalam melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang, dan
tidak pula tampak jelas dalam rangka mendorong UMKM mudah dalam akses ke sektor keuangan,
permodalan dan kredit perbankan.

IV. Kesimpulan

Tata cara penghitungan pajak terutang PP 46 tahun 2013 lebih sederhana sehingga lebih
memudahkan wajib pajak dalam menghitung pajak terutangnya dan dilihat dari segi waktu yang
digunakan PP 46 tahun 2013 ini lebih efisien bagi wajib pajak jika dibandingkan dengan penerapan
Pasal 17 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dan penerapan PMK Nomor 01/PMK.03/2007
menggunakan NPPN. Penerimaan negara meningkat jika semua wajib pajak PP 46 tahun 2013 sudah
mulai menerapkan PP 46 tahun 2013

Namun di sisi lain, PP no 46, tahun 2013 ini memiliki spirit yang kurang tepat terutama dalam hal
“fairness” dimana besaran pajak ditentukan secara berjenjang sesuai dengan laba dari wajib pajak
yang bersangkutan. Sebagaimana umum diketahui, setiap jenis bisnis memiliki margin yang jauh
berbeda; makanan saji terkadang memiliki margin sampai lebih dari 100% dan bisnis pulsa yang
terkadang hanya 1%.

Secara garis besar, PP 46 tahun 2013 ini juga memberikan efek negatif (disincentive) bagi
pertumbuhan start-up di Indonesia. Alasan utama nya adalah karena banyak inovasi start-up yang
bersifat sebagai “jasa makelar”, seperti Amazon (menghubungkan penjual dan pembeli buku), e-bay
(menghubungkan pembeli dan penjual barang bekas/baru). dimana jika dihitung secara omzet
menjadi amat besar, namun dengan margin kecil

Anda mungkin juga menyukai