Anda di halaman 1dari 4

1

HARMONI HATI DAN ILMU

“Orang yang benar butuh permulaan yang benar. Permulaan yang benar butuh
keikhlasan, dan keikhlasan itu ada pada niat suci, sementara kesucian niat ada
pada hati yang bersih.
(Kalam Hikmah)

Saudaraku, ibarat orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya


akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Adapun
kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapanpun ia tak ‘kan
sampai ke tujuan.

Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah
akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin biji mangga
menumbuhkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.

Demikianlah Saudaraku, sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya


akan tumbuh dari biji bernama kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran
bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan.

Terus, bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada
diri seseorang ? Kalam Hikmah di atas mengatakan : “butuh keikhlasan !”.

Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran; keduanya terlahir dari


rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan; dimana ada kebenaran di situ ada
keikhlasan, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan oleh
apapun dan siapapun. Kebenaran tanpa keikhlasan adalah fatamorgana, dan
keikhlasan tanpa kebenaran adalah utopia bahkan tipu daya.

Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak


pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih”
tercinta bernama keikhlasan.

Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh
sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering bahkan mati,
yang tidak bisa memberi manfaat sedikit pun untuk kita, bahkan keberadaannya
akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-
taih.

Tidak demikian halnya bila keikhlasan ikut menyertai, kebenaran akan


memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasakan tidak hanya oleh si-empunya
kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kebenaran akan
berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetesbasahi setiap diri yang
kerontang dalam keringnya jiwa.
2

Lantas, dari manakah kita bisa memperoleh keikhlasan ini ? Jawabannya adalah
dari niat yang suci.

Niat adalah kesengajaan melakukan amal, dan “suci” tiada lain adalah
Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki
kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subhaanallaah, Maha Suci Engkau ya Allah.

Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal


semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama
sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu kesenangan duniawi.

Terus, dimana kita bisa menemukan kesucian niat ini ?

Kesucian niat hanya bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging


bernama hati, dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang betul-betul bersih
dari berbagai kotoran.

Dari hati yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang
mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan
ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri
kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan
perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.

Saudaraku, kalam hikmah di atas memberikan kesimpulan kepada kita,


bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati
yang bersih

Cukupkah hanya dengan hati bersih ?

Tentu belum, gambarannya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang
yang memberi sebuah gelas yang sangat bersih kepada kita, akan tetapi di dalam
gelas bersih tersebut tak terdapat air setetespun.

Apalah artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus ?! Tetap saja ia
kehausan.

Berarti kita harus mengisi “air” kedalam “gelas” hati kita ? Ya, air kehidupan,
yaitu ilmu pengetahuan.

Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada
di hati yang kotor adalah air yang kita tuangkan kedalam gelas kotor. Keduanya
tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun saat kita kehausan.

Lantas, mana yang harus kita dahulukan ? membersihkan hati terlebih


dahulu atau mengisinya ? Ibarat gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus
membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mengisinya dengan air.
3

Allah Ta’ala berfirman : “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada
mereka, mensucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan
hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (Al Jumu’ah : 2)

Saudaraku, ketika seseorang membiarkan dirinya disirami air ilmu


pengetahuan, dalam keadaan gelas hatinya dipenuhi kotoran, maka yang akan
timbul dari dirinya adalah satu diantara lima kemungkinan berikut ini :

Kemungkinan I : Seperti Gelas Terbalik.


Gelas terbalik ketika diisi air, maka akan tumpah tak terarah.

Siapakah kelompok pertama ini ? Ada dua kemungkinan, (pertama) orang-


orang kafir, sebab sekotor-kotor hati adalah hati orang kafir, (kedua) orang Islam
tapi phobia terhadap Islam, mereka menolak bahkan membenci apa saja yang
berbau Islam.

Kemungkinan II : Seperti Gelas Tertutup.


Gelas tertutup adalah gelas yang ketika kita tuangkan air, dia tidak bisa
menampung air tersebut.
Siapakah mereka ?

Mereka adalah orang yang sok tahu. Kesimpulan sok tahu ini terjadi
karena mereka merasa hidup di tengah-tengah orang alim, lingkungan mereka
adalah ilmu pengetahuan, bergaul dengan ahli ilmu, namun keyataannya tak ada
satu tetespun ilmu yang membasahi kerongkongan hatinya. Mereka mencukupkan
bahkan membanggakan diri dengan berteman bersama orang alim, mengoleksi
buku-buku tentang ilmu tapi tidak pernah mempelajarinya.

Kemungkinan III : Seperti gelas terbuka tapi bocor bagian bawahnya.


Air tersebut akan tumpah kemana-mana.
Siapakah mereka ?

Mereka adalah orang yang ngaku-ngaku tahu. Mereka bersikap demikian


karena mereka merasa bahwa mereka betul-betul sudah mengaji dan mengkaji
ilmu. Namun ilmu tersebut satu tetes pun tidak ada yang tertampung. Mengapa
demikian ? Bisa jadi karena mereka salah motivasi, salah niat. Mengaji dengan
tujuan hanya sekedar pujian dan popularitas.

Mereka semangat mengaji dan mengkaji ilmu hanya untuk memenuhi


kepuasan telinganya semata. Mereka mengisi telingannya dengan berbagai ilmu
pengetahuan, sementara hatinya dibiarkan berlobang membusuk karena kotoran
ma’shiyat dan dosa.
4

Akibatnya ? Bertahun-tahun mengaji, tetapi tidak ada hasil yang bisa


dijumpai, baik dalam bentuk ziyadatul ilmi (bertambahnya ilmu) ataupun
taghyirul amal (berubahnya amal ke arah yang lebih baik).

Kemungkinan IV : Seperti gelas yang sudah terpenuhi air.


Seandainya ke dalam gelas tersebut kita tuangkan air, maka air itu akan melimpah
tak tentu arah.
Siapakah mereka ?

Mereka adalah orang-orang yang memang sesungguhnya memiliki ilmu


pengetahuan yang mendalam dan melimpah, namun sayang, ilmu yang banyak
tersebut membuat mereka jadi sombong. Akibatnya mereka cenderung menolak
ilmu yang diberikan orang lain bahkan meremehkannya.

Kemungkinan V : Seperti gelas kosong yang diisi air.

Gelas seperti ini awalnya akan bisa menampung air yang dituangkan ke
dalamnya, namun lama kelamaan air tersebut pastilah akan memenuhi gelas.
Seandainya air tetap dituangkan maka akibatnya sama persis seperti gelas ke
empat di atas.

Demikianlah lima kemungkinan yang terjadi ketika seseorang mengaji dan


mengkaji ilmu, namun membiarkan hatinya dalam keadaan kotor. Selamanya ilmu
yang dimilikinya tidak akan membuahkan amal, perubahan, kebaikan juga
kemanfaatan.
Na’uudzu Billaah.

Ya Allah, lindungi kami dari segala yang mengotori hati. Cegahlah kami dari
ilmu-ilmu yang hanya menjadi beban bagi kami. Jadikan setiap ilmu yang kami
miliki membuat kami semakin mengenal-Mu, mencintai-Mu dan mentaati-Mu.

Anda mungkin juga menyukai