Anda di halaman 1dari 8

Penggunaan Teknologi Image Matching dalam Sistem

Keamanan Biometrik pada Pengunci Layar Telepon


Pintar
Zaffa Hisa1)
1) Mahasiswa Teknik Geodesi S-1 Institut Teknologi Nasional Malang
hisazaffa@gmail.com

Abstrak

Kemajuan teknologi serta industri merupakan hasil dari budaya manusia. Kemajuan
teknologi tidak hanya membawa dampak postif namun memiliki dampak negatif.
Salah satu dampak negatifnya yaitu, kemajuan tersebut dimanfaatkan oleh sebagian
pihak pengguna untuk memudahkan sebuah kegiatan yang melanggar aturan, seperti
tindak kejahatan. Salah satu bentuk teknologi yang kemajuannya dapat langsung
dinikmati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah telepon genggam
atau pada zaman sekarang disebut smartphone. Faktor keamanan smartphone
merupakan perhatian utama bagi para pengguna, untuk menjaga data pribadi dari
risiko pencurian data terhadap smartphone tersebut. Semua smartphone zaman
sekarang sudah dibekali dengan teknologi sistem keamanan pada layar atau yang
disebut pengunci layar (lock screen). Dari beberapa sistem keamanan pengunci layar
smartphone, pengunci layar biometric adalah sistem keamanan yang menggunakan
algoritma Image Matching, sebuah algoritma yang menggunakan kecocokan gambar
stereo atau pencitraan ganda.

Kata Kunci: keamanan, pengunci layar, Image Matching

1. LATAR BELAKANG
Teknologi adalah salah satu aspek yang turut mempengaruhi setiap aktivitas,
tindakan, serta perilaku manusia. Teknologi mampu mengubah pola hubungan interaksi
antar manusia. Kehadiran teknologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Segala aktivitas manusia akan dipengaruhi oleh kehadiran
teknologi. Kemajuan teknologi dewasa ini ditandai dengan semakin canggihnya alat-
alat di dalam bidang informasi dan komunikasi, satelit, bioteknologi, pertanian,
peralatan di bidang kesehatan, bahkan rekayasa genetika. Munculnya masyarakat digital
dalam berbagai bidang kehidupan merupakan bukti dari kemajuan teknologi sebagai
hasil budaya pada manusia. Masyarakat dan negara-negara di dunia saling berlomba
untuk dapat menguasai teknologi tinggi (high tech) sebagai simbol kemajuan,
kekuasaan, kekayaan, dan prestise (Ngafifi, 2014). Dalam masyarakat Postmodern
berlaku hukum “barang siapa yang menguasai teknologi maka ia akan menguasai dunia”
(Setiawan & Sudrajat, 2018).
Dalam era globalisasi, kemajuan teknologi berlangsung sangat cepat sehingga
kadang kala manusia tidak sempat untuk beradaptasi dalam kemajuan tersebut.
Akibatnya terjadilah anomi dalam masyarakat karena mereka tidak mempunyai
pegangan hidup yang jelas. Masyarakat yang tidak mampu menguasai teknologi akan
mengalami cultural lag dan akan terancam eksistensinya (Ngafifi, 2014).
Kemajuan teknologi ibarat dua sisi mata uang, di mana satu sisi kemajuan
teknologi memberikan banyak manfaat positif bagi manusia untuk mempermudah
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun di sisi yang lain kemajuan
teknologi menimbulkan efek negatif yang kompleks melebihi manfaat dari teknologi itu
sendiri terutama terkait pola hidup manusia dalam dimensi sosial budaya. Selain itu,
teknologi merupakan suatu alat yang digunakan manusia untuk mempermudah dalam
melakukan sesuatu dalam aktivitas kehidupannya.
Salah satu manfaat positif dari kemajuan teknologi ini adalah salah satunya dalam
bidang komunikasi. Komunikasi merupakan sebuah proses dasar dalam sosial
kehidupan manusia. Satu hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan berinteraksi
setiap manusia. Tanpa adanya komunikasi manusia tidak akan berinteraksi dengan
sesamanya dan tidak akan berkembang.
Seperti yang kita lihat dewasa ini, banyak sekali perubahan berupa kemajuan
teknologi yang terjadi pada bidang komunikasi. Dimulai dari bentuk komunikasi yang
sangat sederhana hingga pada komunikasi elektronik. Perubahan yang cepat terutama
pada abad 20 ini oleh sejumlah ahli dikatakan sebagai revolusi komunikasi (Zamroni,
2009). Ilmu pengetahuan yang selama ini dipelajari akan selalu mengalami perubahan
dan perkembangan yang tidak mendadak.
Perubahan yang cepat ini juga didorong oleh adanya berbagai penemuan di bidang
teknologi sehingga apa yang dulu dianggap sebagai kendala dalam kegiatan bidang
komunikasi, sekarang sudah tidak lagi. Seseorang sudah dapat berhubungan dengan
seseorang atau sekelompok orang tanpa dibatasi oleh faktor waktu, jarak, jumlah,
kapasitas, dan kecepatan.
Teknologi komunikasi akan selalu berhubungan dengan teknologi informasi,
dimana jika berlangsung sebuah komunikasi pasti akan ada informasi yang terkandung
di dalamnya. Teknologi komunikasi yang sudah mengalami perubahan adalah telepon
genggam (handphone) atau masyarakat luas zaman sekarang mengenalnya dengan
sebutan telepon pintar (smartphone).
Telepon pintar sudah sangat mewakili perubahan teknologi di bidang komunikasi.
Telepon pintar kini sudah digunakan oleh banyak orang. MENRISTEKDIKTI
Mohamad Nasir menyebutkan jumlah pengguna telepon pintar di Indonesia mencapai
sekitar 25% dari total penduduk atau sekitar 65 juta orang (Yulianto, 2018). Ini
menunjukkan bahwa hampir setiap penduduk di Indonesia mempunyai dan
menggunakan telepon pintar dalam kehidupan sehari-harinya, urusan pribadi maupun
urusan pekerjaan atau sekolah. Oleh karena itu, pasti berbagai data yang penting
tersimpan di dalam telepon pintar untuk kemudahan sehari-hari yang berarti
penggunanya benar-benar tergantung dengan keberadaan telepon pintar ini.
Berbagai data penting ini harus diamankan dengan sebuah sistem keamanan di
dalam telepon pintar guna memproteksi data dari pihak yang tidak berhak dan tidak
bertanggung jawab. Sistem keamanan pada telepon pintar yang pertama dapat dilakukan
adalah sistem keamanan dengan pengunci layar (lock screen). Pengunci layar adalah
sebuah sistem keamanan yang mengunci telepon pintar sehingga fitur-fitur yang ada
tidak dapat digunakan secara utuh jika dalam keadaan terkunci, namun beberapa fitur
seperti melihat notifikasi aplikasi, telepon darurat, dan kamera biasanya dapat
digunakan tanpa harus membuka pengunci layar. Pada umumnya pengunci layar yang
disematkan pada telepon pintar berbasis pengaman PIN (Personal Identification
Number) atau kata sandi (password) (Thakur & Chauhan, 2017).
Pengunci layar ini memiliki beberapa macam, di antaranya adalah pengunci geser
(slide lock); kata sandi (password); PIN (Personal Identification Number); pengunci
pola (pattern lock); pengunci biometrik; Android smart lock; shake unlock; dan
beberapa macam pengunci layar yang dikembangkan oleh pihak ketiga (menggunakan
perangkat lunak lain). Survei yang dilakukan pada bulan Mei 2016 menunjukkan
pengguna pengunci layar pada telepon pintar terbagi menjadi 25% menggunakan PIN,
23% menggunakan sidik jari (biometrik), 9% menggunakan kata sandi, 9%
menggunakan pengunci pola, 2% menggunakan pengunci jenis lain, dan 28% sisanya
tidak menggunakan pengunci layar pada telepon pintarnya (Yulianto, 2018).
Angka 28% pada mereka yang tidak menggunakan pengunci layar pada telepon
pintarnya, salah satu penyebabnya adalah ketidakmudahan akses pengunci layar
tersebut seperti tidak ingat kata sandi sebagai pengunci layar mereka (Pew Research
Center, 2017). Namun diingat kembali bahwa teknologi akan selalu berkembang, seperti
pengunci layar jenis pengunci biometrik yang menggunakan fisik bawaan lahir pada
tubuh kita. Pengunci biometrik membebaskan pengguna telepon pintar dari mengingat
kata sandi untuk membuka pengunci layar mereka. Bawaan fisik pengguna yang
digunakan pada pengunci layar jenis ini adalah sidik jari, wajah, serta iris mata, yang
secara umum hanya pengguna telepon pintar yang memiliki ciri khas tersebut. Oleh
karena itu, pengunci biometrik menjadi pengunci layar terbaik (Thakur & Chauhan,
2017).
Pengunci biometrik ini menyimpan dan mengenali fisik sang penggunanya dengan
baik. Jika pengguna ingin membuka kunci telepon pintar miliknya, mereka cukup
menghadapkan wajah atau sidik jari mereka maka sistem keamanan ini akan
mengenalinya dan kunci layar pun terbuka.
Tentunya sistem keamanan pengunci biometrik ini menggunakan teknologi
pemindai fisik sang pengguna telepon pintar (sidik jari, wajah, dan iris mata) sebagai
alatnya, sehingga informasi mengenai fisik pengguna tersimpan di dalam sistem
keamanan ini. Image Matching adalah metode yang dipakai oleh metode pemindaian
biometrik ini. Melalui algoritma pencocokan gambar stereo pada citra ganda pada
metode Image Matching, maka sistem keamanan akan tetap mampu mendeteksi fisik
pengguna yang terotasi sekali pun.
Karya tulis ini menyajikan informasi mengenai metode yang digunakan pada
sistem keamanan pengunci layar biometrik, Image Matching.

2. PEMBAHASAN
Sistem keamanan pengunci biometrik telah menjadi perhatian luas dalam beberapa
dekade terakhir dengan meningkatnya permintaan identifikasi pribadi secara otomatis.
Biometrik adalah sebuah proses identifikasi individu menggunakan karakteristik atau
perilaku individu seperti sidik jari, wajah, iris, retina, pindaian telapak tangan, dan
sebagainya (Yulianto, 2018). Dari beberapa teknik biometrik yang ada, sidik jari adalah
salah satu yang populer dan berhasil digunakan dalam banyak aplikasi (Wayman, et
al., 2005). Teknologi pembaca sidik jari banyak sekali ditemukan pada telepon pintar.
Pembaca sidik jari tersebut diletakkan di bagian belakang telepon pintar, pada home
button, atau pada layar utama. Teknologi ini akan meminta pengguna telepon pintar
untuk memasukkan gambar sidik jari (registrasi) dan akan dijadikan sebagai gambar
sidik jari tersimpan untuk pencocokan gambar dengan gambar sidik jari terinput
nantinya. Pencocokan dua gambar ini yang disebut dengan Image Matching. Dalam
metode analisis Image Matching sendiri terdapat beberapa macam. Salah satu di
antaranya adalah area-based image matching yang di dalamnya terdapat metode
pendekatan feature-based dan correlation-based.
Saat ini, pendekatan utama terhadap teknik sidik jari, secara umum dapat
diklasifikasikan ke dalam pendekatan feature-based dan pendekatan correlation-
based. Pada teknik sidik jari pendekatan correlation-based, menggunakan algoritma
phase-based matching, sebuah teknik analisis Image Matching menggunakan
komponen fase dengan metode 2D Discrete Fourier Transforms (2D DFT) dari gambar
sidik jari yang ada (Ito, et al., 2005). Penggunaan 2D DFT ini mampu melakukan
pemindaian gambar sidik jari yang dapat diandalkan walau hanya menggunakan
kualitas gambar yang rendah dan sulit dilakukan pemindaian. Namun, teknik phase-
based ini didegradasi oleh penyimpangan nonlinier pada gambar sidik jari yang ada.
Prinsip kerja dari phase-based image matching menggunakan fungsi Band-Limited
Phase-Only Correlation (BLPOC) (Kuglin & Hines, 1975). Dengan dua gambar yang
sama, antara gambar yang sudah tersimpan dan gambar yang terinput, akan dihasilkan
dua fungsi matematis untuk perhitungan metode 2D DFT sebagai berikut.
Gambar (a) sidik jari tersimpan (N1) Gambar (b) sidik jari terinput (N2)

N1 adalah gambar sidik jari yang sudah teregistrasi atau tersimpan di dalam sistem
keamanan biometrik sedangkan N2 adalah gambar sidik jari yang diinput ketika akan
membuka sistem keamanan. Masing-masing gambar memiliki fungsi matematis, N1
adalah 𝑓(𝑛 , 𝑛 ) sedangkan N2 adalah 𝑔(𝑛 , 𝑛 ). Nilai dari 𝑛 dan 𝑛 adalah
koordinat atau lokasi kesamaan dari kedua gambar di atas. Sementara itu, dengan
komponen fase pada kedua gambar di atas, didapatkan fungsi matematis metode 2D
DFT masing-masing gambar 𝐹(𝑘 , 𝑘 ) dan 𝐺(𝑘 , 𝑘 ). Dengan fungsi-fungsi
matematis yang ada, akan dieliminasi komponen-komponen yang tidak berguna
dengan perhitungan cross-phase spectrum yang melekat pada masing-masing gambar.
Fungsi BLPOC ini akan menunjukkan suatu puncak korelasi yang tajam seperti pada
gambar (c) jika dua gambar terdapat persamaan. Begitu sebaliknya, fungsi BLPOC
akan menunjukkan puncak korelasi yang rendah seperti pada gambar (d) jika dua
gambar tersebut tidak sama (Ito, et al., 2005).

Gambar (c) Gambar (d)

Algoritma BLPOC pada phase-based image matching terdiri dari tiga tahap:
penyelarasan rotasi dan perpindahan; ekstraksi daerah yang bertampalan; dan
pencocokan nilai hitungan dengan rotasi yang tepat (Durai & Karnan, 2010).
Pertama, pada tahap penyelarasan rotasi dan perpindahan, diperlukan untuk
membenarkan rotasi dan perpindahan antara gambar sidik jari yang tersimpan
𝑓(𝑛 , 𝑛 ) dengan gambar sidik jari terinput 𝑔(𝑛 , 𝑛 ) untuk memperlihatkan
kecocokan sidik jari dengan akurasi yang tinggi. Dalam membenarkan rotasi gambar
sidik jari terinput, digunakan rentang sudut −50° ≤ 𝜃 ≤ 50°. Selanjutnya
membenarkan perpindahan antara gambar sidik jari terinput yang sudah dibenarkan
rotasinya dengan gambar sidik jari terinput 𝑔(𝑛 , 𝑛 ) sehingga didapat gambar terinput
yang sudah diselaraskan terhadap gambar tersimpan yang dapat dinotasikan sebagai
𝑓′(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔′(𝑛 , 𝑛 ).
Tahap kedua, ekstraksi daerah yang bertampalan atau daerah yang terdapat
perpotongan dari dua gambar 𝑓′(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔′(𝑛 , 𝑛 ) hasil tahap sebelumnya. Tahap
ini memperbaiki nilai akurasi kecocokan gambar sidik jari karena bagian daerah yang
tidak bertampalan menjadi komponen noise yang tidak berkorelasi pada fungsi
BLPOC. Jika terdapat daerah yang bertampalan antara gambar terinput dengan gambar
tersimpan, maka ekstraksi daerah yang bertampalan dinotasikan sebagai 𝑓′′(𝑛 , 𝑛 )
dan 𝑔′′(𝑛 , 𝑛 ).
Tahap terakhir, yaitu tahap pencocokan nilai hitungan dengan rotasi yang tepat.
Teknik phase-based image matching sangat sensitif terhadap rotasi gambar, karenanya
diperlukan pencocokan nilai dengan koreksi yang teliti dari rotasi gambar. Perhitungan
dari fungsi BLPOC akan menghasilkan banyak puncak korelasi pada deformasi
keluwesan sidik jari. Nilai hitungan akhir dari phase-based matching ini didefinisikan
sebagai nilai maksimum hasil perhitungan fungsi BLPOC pada 0 ≤ 𝑆 ≤ 1 (Ito, et al.,
2005). Secara garis besar, teknik phase-based image matching dapat digambarkan
seperti pada Gambar (e).

𝑔(𝑛 , 𝑛 )

𝑓(𝑛 , 𝑛 ) Sidik jari terinput

Sidik jari Mendeteksi sidik jari


tersimpan

Penyelarasan rotasi dan perpindahan

Tidak Cocok
Sistem keamanan
Cocok pengunci layar tidak
𝑓′(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔′(𝑛 , 𝑛 ) terbuka

Ekstraksi daerah yang bertampalan

Tidak Cocok
Sistem keamanan
Cocok pengunci layar tidak
𝑓′′(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔′′(𝑛 , 𝑛 ) terbuka

Pencocokan nilai hitungan


dengan rotasi yang tepat
BLPOC tidak 0 ≤ 𝑆 ≤ 1
Sistem keamanan
BLPOC 0 ≤ 𝑆 ≤ 1
pengunci layar tidak
terbuka

Sistem keamanan pengunci layar terbuka


Gambar (e)
Pada teknik sidik jari yang menggunakan feature-based matching, dimana detail
pada ridge ending dan ridge bifurcation, didapat dari gambar sidik jari yang tersimpan
dan gambar sidik jari yang terinput, serta jumlah detail gambar yang sama dari kedua
gambar tersebut digunakan untuk mengenali gambar sidik jari yang valid (Wayman, et
al., 2005). Penggunaan teknik feature-based matching sangat baik untuk
menghilangkan penyimpangan nonlinier namun kurang baik untuk pemindaian gambar
sidik jari kualitas rendah (kondisi jari yang kurang baik). Tujuan dari penggunaan
algoritma penentuan gambar sidik jari feature-based matching adalah untuk
mengekstraksi pasangan-pasangan detail yang sama antara gambar tersimpan
𝑓(𝑛 , 𝑛 ) dan gambar terinput 𝑔(𝑛 , 𝑛 ) serta menghitung nilai kecocokan
menggunakan BLPOC. Algoritma pada feature-based image matching terdiri dari
empat tahap: ekstraksi detail; penyamaan pasangan detail; pencocokan secara blok
menggunakan fungsi BLPOC; dan perhitungan nilai kecocokan.
Pada tahap ekstraksi detail, terdapat empat tahapan pengerjaan: orientasi ridge atau
mengestimasi frekuensi; membesarkan dan memasangkan sidik jari; menipiskan ridge
dan; ekstraksi detail dengan menghilangkan detail palsu (Ito, et al., 2005). Setiap
ekstraksi detail ditandai oleh vektor 𝑚 dengan koordinat (𝑛 , 𝑛 ), orientasi ridge yang
terdeteksi, dan tipenya (detail ridge ending atau ridge bifurcation). Tahap pertama ini
menghasilkan nilai detail dalam vektor yang diekstraksi dari 𝑓(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔(𝑛 , 𝑛 )
yaitu 𝑀 dan 𝑀 .
Tahap penyamaan pasangan detail menghitung nilai vektor 𝑚 antar detail satu
dengan detail lainnya dengan komponen jarak, jumlah ridge, arah sudut, dan tipe
detailnya. Semua detail harus diselaraskan dengan satu pasang koordinat detail
referensi menggunakan konversi nilai koordinat (𝑛 , 𝑛 ) ke dalam sistem koordinat
polar sehingga akan didapat nilai 𝑀′ dan 𝑀′ untuk dimasukkan ke dalam hitungan
sebagai berikut:

(𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑡𝑎𝑖𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎)


𝑆 =
𝑀 𝑥|𝑀 |

Hitungan di atas akan menghasilkan nilai kecocokan 0 ≤ 𝑆 ≤ 1.

Tahap ketiga adalah pencocokan secara blok menggunakan fungsi BLPOC. Tahap
ini dilakukan ekstraksi gambar yang berpasangan dari 𝑓(𝑛 , 𝑛 ) dan 𝑔(𝑛 , 𝑛 ) dengan
pusat pasangan detail yang sama. Setiap pasang dari gambar yang berpasangan ini
dilakukan penyelarasan rotasi gambar menggunakan informasi dari orientasi detail dan
perhitungan fungsi BLPOC antara gambar yang ada untuk mengevaluasi nilai
kecocokan sebagai nilai puncak korelasi. Perhitungan nilai rerata dari tiga nilai
kecocokan akan menghasilkan nilai dari pencocokan secara blok dengan rentang 0 ≤
𝑆 ≤ 1.
Tahap terakhir adalah perhitungan nilai kecocokan akhir, yaitu hitungan dari nilai
𝑆 dan 𝑆 .

𝑆 = 𝑆 𝑥𝑆

Untuk memperbaiki teknik pencocokan Image Matching pada kedua algoritma


berupa kualitas gambar yang rendah dan penyimpangan nonlinier, maka dilakukan
kombinasi antar teknik algoritma phase-based image matching dan algoritma feature-
based matching, yang secara garis besar dapat digambarkan dengan diagram pada
Gambar (f). Namun setiap teknik pencocokan memiliki karakteristik yang tetap mampu
dijadikan sebagai teknik pencocokan tunggal pada sistem keamanan.
Sidik jari tersimpan Sidik jari terinput

𝑓(𝑛 , 𝑛 ) 𝑔(𝑛 , 𝑛 )

Klasifikasi

Gambar sidik jari memiliki persamaan

Tidak
Sistem keamanan
tidak terbuka
Ya

Feature-based matching

Cocok Sistem keamanan


terbuka
Tidak Cocok

Phase-based matching

Cocok

Sistem keamanan
terbuka
Gambar (f)
Dapat dilihat bahwa pencocokan gambar sidik jari terinput dengan gambar sidik
jari tersimpan hanya memiliki kisaran tertentu (threshold) yang ditentukan oleh sistem
keamanan sehingga mampu membuka sistem keamanan pengunci layar yang terkunci.
Registrasi gambar sidik jari akan disimpan sebagai probabilitas oleh gambar sidik jari
yang akan terinput nantinya. Sistem keamanan sidik jari ini pun tidak akan bekerja
dengan baik jika kondisi jari basah maupun kotor.
Sistem keamanan biometrik lainnya pun sama. Sistem akan melakukan verifikasi
pencocokan data antara data tersimpan dengan data yang terinput menggunakan
teknologi image matching. Jika kecocokan data mencapai kisaran tertentu, maka sistem
keamanan pengunci layar akan terbuka.

3. KESIMPULAN
Kemampuan masing-masing teknologi berbeda, begitu pula pada berbagai macam
sistem keamanan pada pengunci layar telepon pintar. Karakteristik dari masing-masing
sistem keamanan sangat kompleks namun sangat mudah dalam pengoperasiannya.
Sistem keamanan biometrik adalah salah satu yang mudah dalam pengoperasiannya.
Hanya dengan identifikasi fisik pengguna, sistem keamanan ini dapat dijalankan. Fisik
pengguna yang digunakan di antaranya adalah sidik jari, wajah, iris, dan retina. Fisik
pengguna ini akan disimpan pada sistem saat melakukan registrasi data pada sistem
keamanan. Dengan begitu sistem keamanan akan terbuka jika data yang diinput
nantinya sama dengan data yang tersimpan pada sistem. Teknologi untuk penyamaan
ini adalah pencocokan gambar atau teknologi Image Matching. Image Matching adalah
sebuah algoritma dalam proses analisis pencocokan gambar. Algoritma yang dipakai
di dalam sistem keamanan biometrik adalah phase-based matching dan feature-based
matching. Digunakannya dua algoritma ini untuk memperbaiki kualitas gambar
terinput dan penyimpangan liniernya sehingga dapat dianalisis ke dalam gambar
tersimpan. Namun tetap memungkinkan jika hanya menggunakan salah satu dari
algoritma tersebut. Sistem akan melakukan verifikasi pencocokan data antara data
tersimpan dengan data yang terinput menggunakan teknologi image matching. Jika
kecocokan data mencapai kisaran tertentu (threshold), maka sistem keamanan
pengunci layar akan terbuka.

4. DAFTAR PUSTAKA

Durai, C. A. D. & Karnan, M., 2010. Iris Recognition Using Modified Hierarchical
Phase-Based Matching (HPM) Technique. International Journal of Computer
Science Issues, VII(3), pp. 43-48.
Ito, K. et al., 2005. A Fingerprint Recognition Algorithm Combining Phase-Based
Image Matching and Feature-Based Matching. LNCS 3832, pp. 316-325.
Kuglin, C. & Hines, D., 1975. The Phase Correlation Image Alignment Method. In:
Proc. of the IEEE Int. Conf. on Cybernetics and Society, pp. 163-165.
Ngafifi, M., 2014. Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif
Sosial Budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, II(1), pp.
33-47.
Setiawan, J. & Sudrajat, A., 2018. Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya
terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat, XXVIII(1), pp. 25-46.
Thakur, Y. & Chauhan, R. R., 2017. A Survey on Lock Screen for User
Authentication Method in Android. International Journal on Recent and Innovation
Trends in Computing and Communication, V(5), pp. 965-970.
Wayman, J., Jain, A., Maltoni, D. & Maio, D., 2005. Biometric Systems:
Technology, Design, and Performance Evaluation. 1st penyunt. Nottingham:
Springer.
Yulianto, D. A., 2018. Berbagai Macam Pengunci Layar (Lock Screen) Smartphone.
KNMP, Volume III, pp. 549-556.
Zamroni, M., 2009. Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya terhadap
Kehidupan. Jurnal Dakwah, X(2), pp. 195-211.

Anda mungkin juga menyukai