Anda di halaman 1dari 19

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

(STIKes PERTAMEDIKA)
ABDUL AZIZ
21218134/Akt. IX/2019
Program Profesi SI Keperawatan

LAPORAN PENDAHULUAN THALASEMIA

A. KONSEP PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada
hemoglobin. dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah
sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari) (Yuwono, 2012).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin (Suryadi dan rita, 2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif (Arif Manjoer, 2000).
Thalasemia kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang
ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis satu rantai polipeptida hemoglobin
atau lebih diklasifikasikan menurut rantai yang terkena (alfa, beta, gamma) ; dua
kategori mayor adalah alfa-dan beta-thalasemia, alfa-t, thalasemia yang
disebabkan oleh penurunan kecepatan sintesis rantai alfa hemoglobin (Kamus
Dorlan,2000).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
menjadi pendek (kurang dari 120 hari). Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb
yang tidak normal sebagai akibat dari gangguan dalam pembentukan jumlah
rantai globin atau struktur Hb (Nursalam,2005).
Thalasemia merupakan keadaan yang diwarisi, yaitu diwariskan dari
keluarga kepada anak. Kecacatan gen menyebabkan haemoglobin dalam sel
darah merah menjadi tidak normal. Mereka yang mempunyai penyakit
Thalasemia tidak dapat menghasilkan haemoglobin yang mencukupi dalam
darah mereka. Haemoglobin adalah bahagian sel darah merah yang mengangkut
oksigen daripada paru-paru keseluruh tubuh. Semua tisu tubuh manusia
memerlukan oksigen. Akibat kekurangan sel darah merah yang normal akan
menyebabkan pesakit kelihatan pucat kerana paras hemoglobin (Hb) yang
rendah (anemia).
2. PATOFISIOLOGI
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb A dengan polipeptida rantai
alfa dan dua rantai beta . Pada beta thalasemia adalah tidak adanya atau
kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan
kemampuan eritrosit membawa oksigen. Adanya suatu kompensator yang
meningkat dalam rantai alfa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus-
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defective. Ketidakseimbangan
polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan
atau hemosiderosis.
Kelebihan dalam rantai alfa ditemukan pada thalasemia beta dan
kelebihan rantai beta dan gamma ditemukan pada thalasemia alfa. Kelebihan
rantai polipeptida kini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin intra
eritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida
alfa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stbil badan Heinz, merusak
sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Produksi dalam hemoglobin
menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi
yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropoetik
aktif. Kompensator produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik.
Dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.

3. ETIOLOGI
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang
diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang
disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia
kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah
gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-
beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila
kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal
dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya
dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing
pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang
berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita
thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari
ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain
adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah
penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh
pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor
genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat
Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak
mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan
menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang
diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat
menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada yang
mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang
normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor

4. KLASIFIKASI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia
terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu
gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16
mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total empat gen α). Oleh karena
itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua subunit β. Secara normal
setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuantitas protein yang
dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein yang seimbang.
Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi protein globin
subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan
defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat
menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang
mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek secara
delesi dan nondelesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak, 2007).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16,
maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi pada
Thalassemia α maka terminologi untuk Thalassemia α tergantung terhadap
delesi yang terjadi, apakah pada satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada
dua gen, kemudian dilihat lokai kedua gen yang delesi berada pada
kromosom yang sama (cis) atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α
dilabel α+ sedangkan pada dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α
sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu
pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu
tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa menurunkan kepada anaknya
(Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik
dan anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan
merasa normal dan mereka merupakan karier yang bisa menurunkan gen
kepada anak (Wiwanitkit, 2007).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering
memerlukan transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar
antara produksi rantai α dan β menyebabkan akumulasi rantai β di dalam
eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H
(Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya
meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang
biasanya diakibatkan oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai α
menyebabkan kelebihan rantai γ (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan
rantai β menghasilkan masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu
Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen sangat tinggi)
(Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva, 2006).

b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada
kromosom 11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β
disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006).
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah
tropis dan subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemik
(Wiwanitkit, 2007).
1) Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan. Satu
pertiga penderita Thalassemia mengalami tipe ini.
2) Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi.
Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan
pada keadaan ini.

Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS


PRECISE, 2010)
a. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor
merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin
dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa
menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi
cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan
memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita
thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa
muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies
cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang
hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang
yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.
Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih
khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani
transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang
baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8
bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi
tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat
penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi
darah.
b. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia,
namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak
muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah
dengan thalasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25%
anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan
ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering
mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan
akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan
transfusi darah di sepanjang hidupnya
Secara molekuler talasemia dibedakan atas: (Behrman et al, 2004)
a. Talasemia a (gangguan pembentukan rantai a).
b. Talasemia b (gangguan pembentukan rantai b).
c. Talasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen-nya
diduga berdekatan).
d. Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d).

5. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
a. Thalasemia Mayor
1) Pucat
2) Lemah
3) Anoreksia
4) Sesak napas
5) Peka rangsang
6) Tebalnya tulang kranial
7) Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
8) Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
9) Disritmia
10) Epistaksis
11) Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
12) Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
13) Kadar besi serum tinggi
14) Ikterik
15) Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung
lebar dan datar.

b. Thalasemia Minor
1) Pucat
2) Hitung sel darah merah normal
3) Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di
bawah kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang

6. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung.
Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar
besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan
fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat
trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti
leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan
sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila
ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test.
Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi
pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan
berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%,
spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate
8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit,
2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh
sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13
mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar
MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan.
Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah
dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1
95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini
tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor
Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan
Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun,
elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit,
2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography
(HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun
terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa
Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya
serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2
(Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia
malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

8. PENATALAKSANAAN
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat
besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi
dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena,
namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
Splenectomy dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi).
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya
sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada
bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang.
Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan
dan Alatas, 2002; Herdata, 2008)
Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin
serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar
10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5
hari berturut setiap selesai transfusi darah.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan
efek kelasi besi.
Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang
umur sel darah merah
Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita
thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah 15
tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok dengan
saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.
Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini
akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat
akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania).
Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling
banyak diderita.
b. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada
umur sekitar 4 – 6 tahun.
c. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport.
d. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia
jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia
mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada
keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan
rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan.
Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
e. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
f. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
g. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia,
maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu,
konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
h. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat.
Apabila diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko
yang mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan
diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
i. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya
adalah:
1) Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah
aanak seusianya yang normal.
2) Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.Mata dan konjungtiva terlihat pucat
kekuningan. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
3) Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
4) Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan
hati ( hepatosplemagali).Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk
umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih
kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
5) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia
kronik.
6) Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat
transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat
adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

2. MASALAH KEPERAWATAN
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
O2 dan kebutuhan.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah normal.
d. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
f. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.

3. INTERVENSI
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi palpitasi
b. Kulit tidak pucat
c. Membran mukosa lembab
d. Keluaran urine adekuat
e. Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f. Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g. Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran
mukosa, dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada
pasien dengan hipotensi).
c. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan
memori, bingung.
e. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh
hangat sesuai indikasi.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai
O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi,
pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi
a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
b. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c. Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d. Berikan lingkungan yang tenang.
e. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas
sesuai toleransi.
k. Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi
nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
b. Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
a. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
b. Observasi dan catat masukan makanan pasien.
c. Timbang BB tiap hari.
d. Beri makanan sedikit tapi sering.
e. Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
f. Pertahankan higiene mulut yang baik.
g. Kolaborasi dengan ahli gizi.
h. Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin,
Protein, dll.
i. Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian
Fe tidak dianjurkan.

Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan


sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil :
Kulit utuh.
Intervensi :
a. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna,
aritema dan ekskoriasi.
b. Ubah posisi secara periodik.
c. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat:


penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada drainage purulen atau eritema
c. Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
a. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b. Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d. Pantau dan batasi pengunjung.
e. Pantau tanda-tanda vital.
f. Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.

Anda mungkin juga menyukai