Anda di halaman 1dari 19

Styrofoam atau sterefoam Sang Sampah Abadi

Mengenal Styrofoam atau Sterefoam. Sampai sekarang saya tidak


mengetahui bahasa Indonesia dari styrofoam. Beberapa orang
mengalihbahasakannya menjadi sterefoam, meskipun sepertinya kata
tersebut tetap tidak tertera dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Namun styrofoam atau sterefoam sudah jamak kita temukan dan gunakan.
Styrofoam banyak digunakan mulai pada pengemasan barang-barang
elektronik hingga sebagai kemasan makanan.
Styrofoam (disebut juga polystyrene) umumnya berwarna putih bersih.
Bentuknya simpel dan ringan. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer
styrene ini kerap dijadikan bungkus makanan lantaran mampu mencegah
kebocoran dan mampu mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain
itu, bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi
tetap nyaman dipegang. Bentuknya yang ringan menjadikan styrofoam
mudah dibawa. Makanan yang disimpan di sana juga tetap segar dan utuh.
Tidak hanya itu, alasan dipilihnya styrofoam sebagai bahan pembungkus
makanan terlebih karena biaya pengemasannya yang murah.

Dengan segala kelebihannya itulah, styrofoam kini menjadi pilihan utama


dalam membungkus makanan. Mulai dari restoran cepat saji, pedagang
jajanan di pinggir jalan, hingga dalam berbagai acara dan kegiatan,
styrofoam sering kali menjadi pilihan.

Namun di balik kelebihannya itu, styrofoam ternyata sangat berbahasa


bagi kesehatan. Komponen styrofoam (benzen, carsinogen, dan styrene)
dapat menimbulkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang,
menimbulkan anemia dan mengurangi produksi sel darah merah hingga
meningkatkan resiko kanker. Komponen ini mudah terlepas saat
styrofoam bersentuhan dengan panas, lemak, atau minyak.
Styrofoam Sampah Abadi yang Tidak Terurai. Di samping
berbahaya bagi tubuh, styrofoam atau sterefoam pun berbahaya bagi
lingkungan. Jika sampah plastikmembutuhkan waktu hingga 500-an
tahun untuk dapat terurai di dalam tanah, styrofoam justru tidak pernah
dapat terurai. Sehingga sebungkus sampah styrofoam di dalam tanah akan
tetap pada bentuknya, tidak berubah, apalagi hancur hingga kapanpun,
mungkin hingga kiamat tiba.
Dengan jumlah styrofoam yang kita gunakan dalam seharinya, dikalikan
jumlah penduduk bumi, dikalikan jumlah hari, dapat kita bayangkan
berapa banyak sampah styrofoam yang kemudian akan menumpuk
mencemari tanah, air, dan laut di bumi. Dengan berbagai kandungan
kimia yang terdapat di dalamnya, berapa banyak organisme bumi yang
akan menerima dampaknya?. Dengan konsumsi sampah styrofoam kita
saat ini, bisa jadi puluhan tahun yang akan datang, bumi berubah menjadi
daratan styrofoam.
Saat ini telah ditemukan styrofoam yang disebut Oxodegradable
Polystyrene, yang katanya lebih ramah lingkungan. Styrofoam jenis ini
telah diberi tambahan bahan oxium sehingga dapat terurai meskipun
membutuhkan waktu hingga 4 tahun.
Namun yang pasti kita semua meski memahami bahwa kita sebenarnya
harus membayar sangat mahal dengan semakin banyaknya timbunan
sampah abadi yang tidak akan terurai seiring dengan penggunaan
stryofom yang katanya praktis dan murah. Akankah kita mewariskan
‘bumi styrofoam’ pada cucu-cucu kita?.

IMPOR SAMPAH

Pernahkah kita berpikir ke manakah berakhirnya sampah yang dibawa


petugas kebersihan dari rumah kita? Bagi kita yang tinggal di negara
berkembang, mungkin hanya berpikir bahwa sampah atau limbah kita
berakhir di TPA. Bagi negara-negara maju, mungkin tak terpikir di benak
mereka bahwa sampah-sampah mereka berakhir di luar negeri, diekspor
ke negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara ketiga
lainnya.

Meski faktanya tak sesederhana itu. Sampah-sampah yang ada, terutama


sampah plastik, berakhir pada tubuh jutaan biota laut hingga tinja
manusia. Terdapat 1 juta burung laut, 100.000 mamalia laut, dan juga
ikan-ikan yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya dalam setiap
tahunnya. PCB (polychlorinated biphenyl) yang tidak terurai dalam
sampah plastik; walaupun sudah termakan oleh para hewan dan
tumbuhan akan menjadi suatu racun berantai sesuai urutan makanannya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia, termasuk kita sendiri, ada
di dalam rantai makanan tersebut.

Sampah menjadi persoalan dunia. Setiap negara berupaya "mensterilkan"


wilayahnya dari sampah, meski memakai cara-cara keji. Pada
pertengahan Juni lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh berita impor
sampah plastik dari beberapa negara. Indonesia diperkirakan menerima
sedikitnya 300 kontainer yang sebagian besar menuju ke Jawa Timur
setiap harinya. Padahal berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia
berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang
mencapai sebesar 187,2 juta ton, setelah Cina yang mencapai 262,9 juta
ton. Namun dengan jumlah besar itu, Indonesia masih mengimpor
sampah dari 43 negara di dunia.

Berdasarkan data Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah


Ecoton, masuknya sampah dengan merk dan lokasi jual di luar Indonesia
diduga akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari
sejumlah negara di Uni Eropa dan Amerika yang mengakibatkan sampah
plastik beralih tujuan ke negara-negara di ASEAN. Meski berdalih bahwa
sampah yang diimpor adalah bahan baku industri, namun banyak pihak
mengecam hal ini. Terlebih, penelusuran Yayasan Ecoton di Jawa Timur,
sampah plastik yang mengotori impor kertas daur ulang bisa mencapai
30-40 persen. Ditemukan sampah popok bayi hingga berbagai limbah
plastik lainnya.

Impor sampah atau limbah memang legal menurut Peraturan Menteri


Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non
Bahan Beracun Berbahaya. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan
kebutuhan bahan baku bagi industri plastik nasional mencapai 5,6 juta ton
per tahun. Sebanyak 2,3 juta ton dipenuhi dari virgin plastic (bijih plastik
murni), impor bijih plastik 1,67 juta ton, dan pemenuhan material plastik
daur ulang dalam negeri 1,1 juta ton. Artinya, industri plastik masih
kekurangan material sebanyak 600.000 ton yang selama beberapa waktu
dipenuhi dari impor "sampah plastik" berupa scrap sebanyak 110.000 ton.

Sebenarnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan bahan baku ini


tanpa impor jika pengelolaan sampah diurus serius oleh pemerintah.
Menurut penelitian Sustainable Waste Indonesia pada 2017, Indonesia
menghasilkan 6,5 juta ton sampah per hari, dengan 14% (910 ribu ton) di
antaranya adalah plastik dan 9% kertas. Hanya saja, sampah-sampah
tersebut tak terkelola dengan baik. Sebesar 69% masuk Tempat
Pembuangan Akhir tanpa dikelola dengan benar, 24% tak terkelola sama
sekali, dan hanya 7% sampah yang didaur ulang.

Solusi Setengah Hati

Berbagai solusi untuk mengatasi problem sampah dilakukan. Pada akhir


April 2019 Indonesia telah mengikuti Konferensi Basel di Jenewa. Melalui
konvensi tersebut, soal perdagangan sampah plastik kini melibatkan
langsung otoritas pemerintah pengekspor ke otoritas pemerintah
pengimpor. Indonesia juga telah memiliki perundangan nasional sejak 11
tahun lalu yang melarang impor sampah plastik. Selain itu, secara swasta
rakyat sedang giat mencanangkan hidup zero waste, gerakan daur ulang
sampah, menemukan berbagai bahan ramah lingkungan pengganti plastik
atau styrofoam, dan lain-lain.

Namun, tampaknya berbagai solusi di atas masih gagal. Indonesia belum


mampu mengelola dengan benar sampah dan limbah dalam negeri. Pun
sebagai negara ketiga, pemerintah tampak lemah di hadapan negara-
negara besar pengekspor sampah.

Para peneliti dari Universitas Georgia Amerika Serikat menggunakan


data-data perdagangan dunia dan menemukan negara maju mengekspor
sampah plastik (70 persen pada 2016) ke negara berpendapatan rendah
di Asia Timur dan Pasifik selama bertahun-tahun, termasuk Indonesia.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan, Indonesia harus
siap-siap menjadi lokasi tujuan pembuangan sampah dunia. Ini karena
pada Juli 2018 pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan
dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021.

Persoalan "Indonesia negara tempat sampah" bukan sekadar persoalan


perubahan gaya hidup dan persoalan lingkungan belaka. Namun, terdapat
aspek politis di dalamnya. Maraknya impor sampah menjadi bukti begitu
lemahnya posisi Indonesia dalam politik dan ekonomi internasional.
Wibawa negeri ini begitu lemah di hadapan negara-negara dan
pengusaha-pengusaha Amerika dan Uni Eropa. Padahal Indonesia adalah
negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Lalu, sampai kapankah pemerintah akan bersikap lemah dan membiarkan
Indonesia menjadi "tempat sampah" negara-negara maju?

 PBB memutuskan Konvensi Basel pada 10 Mei 2018, produsen


sampah plastik besar harus mendapatkan persetujuan sebelum
mengekspor sampah beracun mereka ke negara-negara berkembang
 Negara-negara maju mengekspor sampahnya ke Asia, termasuk
Indonesia
 Indonesia makin banyak mengimpor sampah dari sejumlah negara
untuk keperluan industri daur ulang
 Di lapangan, sampah-sampah yang diimpor dari luar negeri ini ada
yang digunakan usaha kecil oleh warga, dan berisiko
membahayakan kesehatan dan lingkungan.

Kebocoran sampah impor dari industri ke warga

Mongabay Indonesia beberapa kali mempublikasikan kebocoran impor


sampah ini ke warga termasuk sampah plastik, tanpa disadari dampak
pembakarannya.

Ecoton mencatat sampah kertas dan plastik impor membanjiri


Indonesia sejak Tiongkok menghentikan impor sampah dari Inggris
Januari 2018. Pemerintah Tiongkok menghentikan impor sampah
lantaran menimbulkan masalah bagi kesehatan.

Pada 2017 Inggris mengekspor sampah ke Tiongkok 85.000 ton.


Setelah pelarangan, sampah dialihkan ke sejumlah negara di Asia
Tenggara, seperti Malaysia importir terbesar sekitar 70.000 ton dan
Indonesia 20.000 ton.

Pada 2018, impor sampah makin meningkat. Di Jawa Timur, terdapat


delapan industri kertas yang mengimpor bahan baku dari luar negeri.
Pabrik tersebar di Mojokerto, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Nganjuk dan
Malang. Sampah plastik impor ini disembunyikan dalam tumpukan
kertas.

Volume sampah plastik mencapai 60% dari dibanding sampah kertas.


Dalam sebulan sekitar 9.000-an kontainer sampah impor masuk Jawa
Timur. Pabrik daur ulang kertas juga mengimpor plastik ilegal.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengajukan izin rekomendasi


impor sampah ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti
Nurbaya tertanggal 1 November 2018. Airlangga dalam surat
menyebutkan, kebutuhan bahan baku plastik nasional 5,6 juta ton,
bahan baku plastik virgin bisa terpenuhi 2,3 juta ton, impor 1,6 juta ton.
Jadi, masih perlu sisa (skrap, reja) plastik impor sebagai bahan baku
industri plastik.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu


(2/2/2019) menyatakan memahami industri sangat perlu bahan baku
dalam jumlah banyak. Namun, harus memperhatikan masalah
lingkungan. Impor skrap pastik bisa dibuka asal tak menimbulkan
masalah baru dan jadi sampah di negeri ini.

Masuknya sampah impor ini, dikatakan Suherman, menjadi beban tambahan bangsa. Sebab,
Indonesia sendiri belum usai dengan pengelolaan sampah dalam negeri, masih ditambah
dengan urusan sampah impor. Bahkan, sampah yang masuk ada yang terkontaminasi B3.

Sementara pakar hukum internasional sekaligus pemerhati hukum lingkungan internasional


UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., menyebutkan masuknya sampah
plastik dan tidak bisa didaur ulang dari luar negeri bukan kali pertama di Indonesia.
Sebelumnya juga telah terjadi pada tahun 2007, 2011, 2015, dan 2016.

Masuknya sampah yang tidak masuk dalam daftar yang diizinkan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan importir. Pemerintah dalam hal ini di level strategis yakni Menko
Maritim dan Menteri Perdagangan harus turun tangan dan memberikan laporan apa yang telah
terjadi selama ini. Sementara di level operasional, pemerintah provinsi diharapkan dapat
melakukan pengawasan dan mengatur tata ruang di wilayahnya. Sedangkan di level praktis,
pemkot/pemkab sebagai daerah penerima sampah harus bisa mengontrol sampah yang masuk
dan memastikan apakah wilayahnya diperuntukan untuk hal tersebut atau tidak.

Sementara bagi pemegang izin impor juga harus bertanggung jawab memastikan sampah yang
akan diimpor tidak mengandung limbah plastik dan bahan yang masuk kategori bahan
berbahaya dan beracun (B3). Apabila ada sampah yang tidak masuk daftar yang diizinkan
maka harus dilakukan pengiriman kembali ke negara asal.

Nur mendesak pemerintah untuk segera memperketat regulasi


mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor; juga
memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali
secara ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat, ujarnya, harus
segera mengeluarkan aturan untuk menghentikan produksi
plastik kemasan sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi produksi
sampah plastik.
Sudah bertahun-tahun kasus ini terjadi, bahkan sampah menjadi tertumpuk
khususnya di tiga Kabupaten di Jawa Timur. Kasus yang terjadi ini
merupakan sebuah pelanggaran terhadap peraturan UU RI No. 18 Tahun
2008 pasal 29 ayat a dan b yang melarang memasukkan sampah ke dalam
wilayah NKRI dan adanya impor sampah. Adanya celah dari Permendag No.
31 tahun 2016 ini membuat mudah masuknya sampah-sampah tak berguna
ke Indonesia.

BAHAN PERUSAK OZON


Membeli celana jins baru
Cosmo ada fakta yang cukup mengagetkan: ternyata, dibutuhkan sekitar 2900
galon air untuk menghasilkan satu pasang celana jins. Duh, air sebanyak itu bisa
mengisi 70 bak mandi, lho. The sad fact is, 1 dari 9 orang di dunia belum
memiliki akses air bersih. Maka dari itu, coba pertimbangkan untuk
mendonasikan celana jins kamu yang jarang terpakai atau menyimpan celana
jins jadul kamu dengan baik. Siapa tahu, model tersebut akan
kembali trending tahun depan!
Wow… betapa menyenangkannya mengenakan sepasang celana jeans
bagi penyuka jeans, pasti tau betul nilai plus yang didapatkannya bila
memakai celana jeans. Keliatan modis, berjiwa muda, gaul, dsb. Apalagi
pengikut tren fashion, mengikuti model celana jeans yang selalu
berubah-ubah merupakan suatu keharusan kalo gak mau dibilang
ketinggalan jaman.

Pernahkah terpikir, bagaimana sih proses pembuatan celana jeans? Asal


tau saja, prosesnya tidak sesederhana pembuatan pakaian lainnya.
Bahkan bagi pabrik jeans terkemuka di dunia, sepasang celana jeans bisa
berkelana dari satu negara ke negara lainnya dalam proses
pembuatannya. Misalnya, penanaman kapas sebagai bahan baku jeans di
India atau Pakistan, lalu penjahitannya di pabrik yang terletak di Tunisia.

Yang bikin penasaran adalah, bagaimana sepasang celana jeans bisa


terlihat belel, yang keliatan keren itu? Hmm… mari kita cari tau
prosesnya, secara umum saja, dan dampaknya bagi bumi kita.

Industri jeans memerlukan kapas, dan dalam jumlah besar dan cepat.
Karena itu diperlukan insektisida, herbisida dan pupuk dalam jumlah
besar. Juga diperlukan air dalam jumlah besar pula, karena tanaman
kapas butuh air yang sangat banyak.

Pemberian warna atau dyeing. Benang untuk bahan denim diwarnai dulu
sebelum dipintal, biasanya dengan warna indigo/biru tua. Dan ini
dilakukan beberapa kali, lalu dilapisi dengan bahan yang membuatnya
lebih kuat, sebelum akhirnya dipintal bersama dengan benang tanpa
warna. Setiap tahun, ratusan ton bahan pewarna indigo digunakan untuk
proses ini, makin gelap jeansnya, makin banyak pewarna yang
digunakan.
Pemintalan. Ini juga butuh energi yang banyak dan murah, dan dalam
proses ini, bahan kimia juga banyak digunakan. Dalam proses akhirnya,
bahan akan 'digosok' supaya benang yang longgar dan bahan pelapisnya
hilang.

Penjahitan dan pembuatan model tertentu (sewing and styling). Semakin


belel celana yang dibuat maka akan semakin banyak bahan kimia yang
digunakan, semakin banyak limbah yang dihasilkan. Setelah menjadi
sebuah celana, jeans akan digosok dengan batu apung/pumice
stone/stone washing (bayangkan berapa banyak batu apung yang
digunakan, dan proses pencariannya yang merusak lingkungan), lalu
diberikan bahan kimia potassium permanganate agar bisa kelihatan
pudar.

Lalu dicuci dengan deterjen supaya kainnya menjadi lebih lembut. Itulah
sebabnya ada istilah abrasion (proses penggosokan
celana/pengamplasan), acid wash (penyelesaian dengan merendam batu
apung dalam chlorine untuk menciptakan efek kontras), bleach (untuk
menimbulkan efek warna memudar), atau sanding (proses melembutkan
kain dengan menggosokkan kertas berisi semacam butiran pasir secara
agresif). Untuk kancing, 'paku' dan resliting, biasanya terbuat dari
tembaga, dimana penambangannya juga merupakan masalah bagi
lingkungan.

Penyelesaian/finishing. Setelah dicuci dengan deterjen dan disetrika uap,


celana diberi label lalu dipak untuk didistribusikan ke toko-toko.

Masalah terbesar dari pembuatan jeans adalah apabila proses


pengelolaan limbah pabrik jeans yang banyak itu tidak dikelola dengan
baik. Bagi pabrik-pabrik besar merk yang telah mendunia, pasti punya
alat pengelola limbah yang bagus, sehingga buangan limbahnya hanya
berupa air. Tapi bagi pabrik-pabrik kecil sangat sedikit yang mempunyai
unit tersebut karena harganya yang mahal, sehingga mereka membuang
limbahnya di sungai atau saluran air sehingga air dan tanah di sekitarnya
terpolusi dengan parah, sampai-sampai sudah tak bisa ditanami lagi
karena beracun.

Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan, yaitu:

Tidak membuang celana jeans kita dengan begitu mudah. Jika berlubang,
tambal saja, malah makin keren. Makin lawas makin belel. Atau sudah
bosan modelnya? Hibahkan saja, pasti ada yang mau memakainya.
Jika mau membeli baru, usahakan tidak memilih yang belel, dengan
begitu kita memakai celana dengan lebih sedikit proses kimia.

Tetap ingin yang belel? Cobalah telaten sedikit, berburulah barang


second. Lebih ekonomis dan lebih ramah lingkungan.

Usahakan membeli jeans yang bermerk terkenal. Bukan untuk gengsi


dan gaya, tapi karena jeans keluaran pabrik terkemuka yang memiliki
unit pengelolaan limbah sendiri lebih ramah lingkungan untuk kita.
Walaupun pasti mahal harganya.

Mendaur Ulang Limbah Jeans

Limbah dari bahan dan serat sisa proses pembuatan jeans kadang bisa
didaur ulang menjadi kertas, tapi secara keseluruhan, bahan jeans yang
sudah mengandung banyak sekali bahan kimia itu susah sekali untuk
didaur ulang. Pabrik-pabrik juga sudah menggunakan baja sebagai
kancing dan resliting jeans mereka untuk mengurangi pemakaian
tembaga.

ANALISIS

Ini adalah Masalah yang saling berkaitan. Tidak mudah untuk


mengendalikan dampak produksi Celana Jeans. Karena Akan melibatkan
berbagai industri seperti Kayu, kapas dan Kegiatan Ekpsor-Impor di
Dunia. Untuk Menjaga Bumi kita dari dampak lingkungan tersebut,
Perlu Dukungan dari Pemerintah di setiap Negara untuk memberikan
Edukasi Bagi Pemilik Industri dan Menetapkan UU dengan Tegas, selain
itu Masyarakat juga harus berperan dengan menghemat membeli celana
jeans, maka laju penebangan hutan akan berkurang, tentunya produksi
kapas berkurang dan begitu pula dengan produksi Jeans.

Mengurangi Kerusakan Lingkungan Akibat


Sampah Makanan
Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk yang banyak di
dunia. Ia memiliki proses penyelesaian sampah di kota besarnya yang
selalu berujung pada metode land filling atau sistem kumpul-angkut-
buang.

Padahal volume dan lahan yang tersedia sebagai tempat penampungan


terakhir yang digunakan untuk sistem ini sangat terbatas. Hal ini
mengingat volume timbunan sampah yang dihasilkan akan makin
bertambah dan minimnya lahan yang tersedia di perkotaan.

Menurut Supply Chain Indonesia, negara Indonesia ini hanya mempunyai


kapasitas gudang makanan dingin sebesar 200.000 ton. Padahal
kebutuhan akan gudang penyimpanan makanan adalah sebesar 1,7 juta
ton.

Dalam pengelompokan sampah berdasarkan jenisnya, sampah dapat


digolongkan menjadi sembilan golongan, yaitu: sampah makanan, sampah
kebun, sampah kertas, sampah plastik, sampah kain, sampah kayu,
sampah logam, sampah gelas dan keramik, dan sampah berupa abu dan
debu.

Dari berbagai jenis sampah yang ada, banyak yang menyepelekan


keberadaan sampah tersebut, terutama pada jenis sampah makanan yang
dengan mudah dan tidak sadar orang-orang membuangnya. Padahal
sampah makanan sebenarnya dapat menjadi ancaman yang cukup besar
bagi keseimbangan lingkungan.

Lalu seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh sampah makanan?

Pengertian sampah makanan menurut FAO (Food and Agriculture


Oranitation of the United Nations) adalah jumlah sampah yang dihasilkan
pada saat pembuatan makanan maupun setelah kegiatan yang
berhubungan dengan perilaku penjual dan konsumennya (Parfit et al,
2010).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit


tahun 2016, dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil
sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi di posisi
pertama. Rata-rata masyarakat Indonesia membuang sampah sebanyak
300 kg makanan setiap tahunnya.

Hal ini tidak bisa disepelekan lagi mengingat bahwa sampah makanan
dapat menguraikan menjadi zat metana. Gas metana 25 kali lebih kuat
daripada gas karbondioksida (CO2) yang menyumbang pembentukan
emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan efek rumah kaca dan
perubahan iklim di dunia.

Ancaman krisis makanan juga akan terjadi jika kebiasaan masyarakat yang
sering membuang makanan karena sifat konsumtif yang membuat
pemborosan. Bau busuk yang dihasilkan dari sampah makanan juga dapat
mengganggu kestabilan ekosistem dan menjadi pencemaran pada tanah
dan air.

Tidak hanya itu, FAO pada 2016 juga mengungkapkan bahwa Indonesia
membuang 13 juta metriks ton makanan setiap tahunnya. Artinya, sampah
makanan tersebut dapat memberi makan sekitar 11% populasi atau sekitar
28 juta penduduk Indonesia setiap tahunnya.

Angka tersebut hampir sama dengan jumlah penduduk miskin Indonesia


pada tahun 2015. FAO mencatat kontribusi terbesar terbuangnya
makanan disumbang oleh hotel, restoran, katering, supermarket, gerai
ritel, dan perilaku masyarakat yang gemar tidak menghabiskan makanan
yang sudah diambilnya.

Catatan akan banyaknya makanan yang terbuang juga dikarenakan budaya


masyarakat yang terdapat pada negara Indonesia saat mengadakan sebuah
acara.

Dalam acara tersebut, tentu terdapat jamuan makanan untuk para


undangannya. Makanan yang disajikan pada setiap acara yang disediakan
selalu dikali-lipatkan dari jumlah undangan. Tentu hal tersebut sangat
berpotensi terdapat makanan yang berlebih.

Selain pola konsumsi masyarakat, proses produksi hingga distribusi juga


berpotensi makanan tersebut terpaksa dibuang, bahkan sebelum sampai
pada tangan konsumen.

Kondisi negara Indonesia yang agraris menjadi sebuah kesulitan dalam


pemerataan distribusi makanan pada wilayah-wilayah yang susah diakses
karena kurangnya infrastruktur untuk mendistribusikan makanan ke
pusat populasi. Sehingga makanan yang akan didistribusikan kerap kali
tertahan dan berkurangnya kualitas makanan tersebut sebelum
terdistribusi.

Sering kali juga para petani dan pedagang hanya memikirkan peningkatan
produksi makanan tanpa memikirkan ketahanan pangan (food security)
yang berdampak pada tingkat food loss and waste. Hal tersebut dapat
berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mengatasi permasalaham tersebut, pemerintah juga seharusnya


turut aktif untuk mengurasi sampah makanan yang ada pada negara ini.

Tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti memberlakukan


denda pada pelaku usaha makanan yang menghasilkan sampah makanan
yang banyak. Selain itu, dari pihak pelaku usaha makanan juga dapat
memberlakukan aturan, seperti membayar denda pada konsumennya jika
tidak menghabiskan makanannya.

Meski secara umum masyarakat Indonesia masih lemah akan kesadaran


akan masalah sampah makanan, namun di Surabaya terdapat sebuah
gerakan food bank yang menjadi pusat kordinasi makanan berlebih.

Gerakan tersebut berguna untuk membantu mengurasi sampah makanan


yang dihasilkan oleh perusahaan hospitality untuk dibagikan kepada
orang-orang yang membutuhkan dan mengurangi angka kelaparan yang
ada di Indonesia.

Makanan yang dibagikan oleh gerakan tersebut bukanlah makanan sisa


dari makanan yang sudah dimakan oleh orang, tetapi makanan yang
berlebih, seperti toko roti atau bakery yang rotinya bersisa tidak terjual
atau dari acara hajatan seperti nikahan atau acara kampus yang terdapat
makanan berlebih yang bukan dari sisa makanan yang sudah dimakan
yang biasanya berbentuk prasmanan yang masih utuh pada wadah-wadah
yang ada pada acara tersebut.

Dengan adanya gerakan ini, tentu dapat membantu untuk


mengampanyekan agar masyarakat tidak membuang-buang makanan
hanya karena lapar mata saat puasa, salah pesan, tidak doyan dengan
menu makanan, atau terlalu lama disimpan dan menjadi busuk.

Langkah yang paling penting untuk mengurangi sampah makanan


tersebut adalah pada setiap individu masyarakat dengan selalu
bertanggung jawab akan makanan dan harus selalu menghabiskannya.

Salah satu cara untuk mengurangi sampah makanan dengan mengambil


porsi makanan secukupnya saja saat akan makan. Selain itu, jika makan di
suatu restoran harus memastikan porsi pada pelayan sesuai dengan porsi
yang sesuai dengan kebutuhan kita.

Kita juga dapat melakukan hal yang bermafaat dengan membagikan


makanan-makanan yang berlebih yang kita punya dengan
membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Kebiasaan ini
harus ditanamkan pada setiap individu agar sadar akan pentingnya
menghabiskan makanan agar tidak menjadi sampah yang berdampak pada
keseimbangan lingkungan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat, setidaknya


ada 1,3 miliar ton makanan yang terbuang dalam setahun. Menurut
World Resources Institute, lembaga penelitian lingkungan, dibalik 1,3
miliyar ton makanan yang terbuang setiap tahun diseluruh dunia,
terdapat 45 triliun galon air yang juga terbuang. Angka tersebut
mewakili 24 persen air yang digunakan untuk agrikultur. Sektor tersebut
menggunakan 70 persen air bersih di seluruh dunia.

Bukankah begitu besar jumlah makanan yang terbuang? Padahal di


belahan Afrika saudara-saudara kita kelaparan. Di sisi lain, ada satu
dari setiap tujuh orang di dunia menderita kelaparan. Serta lebih dari
20.000 anak di bawah usia lima tahun yang mati kelaparan setiap
harinya. Sungguh terlihat tidak adil. Mereka kelaparan sementara kita
membuang-buang makanan.
Orang-orang Amerika membuang rata-rata sekitar 209-254 pon
makanan setiap tahun. Singapura membuang hingga hampir 600.000
ton makanan per tahun sementara orang-orang Jepang dan Australia
membuang seperempat dari semua volume makanan dan masing-
masing makanan itu bernilai 6 miliar dolar.

makanan yang disia-siakan oleh orang Australia benar-benar dapat


memberi makan seluruh negeri itu selama tiga minggu, 5% dari sisa
makanan orang Amerika cukup untuk memberi makan 4 juta orang
selama sehari, sisa makanan orang Prancis dapat memenuhi seluruh
Kongo dan sisa makanan orang Italia dapat memberi makan Ethopia
yang kekurangan gizi.

Tak jauh berbeda dengan negara kita. Di satu sisi sekelompok arang
dengan lahap menyantap berbagai hidangan lezat. Tanpa rasa
bersalah karena sudah kekenyangan mereka membuang makanan sisa
begitu saja. Namun, di sisi lain kita sering melihat anak jalanan, dan
gelandangan yang kelaparan.

Mungkin masih banyak orang yang menganggap melimbahkan makan


hanya memboroskan keadaan ekonomi. Namun, sebenarnya
melimbahkan makanan juga berkontribusi dalam pencemaran
lingkungan.

Menurut Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut


Teknologi Surabaya (ITS), FAO memperkirakan bahwa sepertiga dari
produksi pangan global akan terbuang atau hilang. Limbah makanan itu
menguras potensi sumber daya alam yang besar, namun justru
menjadi kontributor terhadap dampak lingkungan yang negatif.

Setelahberadadi tempat pembuangan sampah, makanan


rusakakanmenghasilkangasmetan, Metana 23 kali lebih kuat daripada
C02 untuk menyumbang pembentukan emisi gas rumah kaca.

Karena efek rumah kaca, sinar matahari memancarkan radiasi


ultraviolet ke bumi yang akan diterima oleh bumi dan dipantulkan
kembali dalam bentuk radiasi inframerah. Atmosfer akan meneruskan
radiasi inframerah ini ke luar angkasa. Namun karena terdapat gas
rumah kaca yang terperangkap di atmosfer akan menghalanginya
sehingga dipantulkannya kembali radiasi infeamerah ini ke bumi.
Ditambah dengan radiasi ultraviolet dari matahari, akan menyebabkan
naikknya suhu permukan bumi.

Efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang
akan menyebabkan peningkatan pemanasan global. Karena itu
makanan yang terbuang di tempat sampah berkontribusi cukup besar
terhadap pemanasan global.

Pemanasan global yang terjadi tentu saja tidak akan berdampak baik
untuk seluruh umat manusia. Menjaga dan melindungi bumi adalah
tanggung jawab kita sebagai manusia. Bumilah satu-satunya tempat
tinggal kita. Sehingga sudah menjadi kebutuhan kita untuk mejaga
tempat tinggal kita.

Kelestarian bumi ada di tangan kita. Kalau bukan kita yang akan
menjaga siapa lagi? Kehidupan kita juga bergantung pada kelestarian
bumi. Jika bumi musnah, apa lagi kita. Jadi kitalah yang menentukan
nasib, serta kitalah yang berhak menuliskan kisah kehidupan dengan
kelestarian.

Berikut beberapa tips untuk menghindari makanan bersisa:

1. Jika anda hendak makan direstoran, pilihlah restoran yang


menyajikan makanan sesuai dengan porsi makan anda. Hanya
memesan makanan yang sekiranya benar-benar akan dimakan dan
habis.
2. Jika anda hendak mengadakan sebuah acara jamuan makan atau
pesta perkirakan jumlah tamu yang akan datang dan sesuaikan
dengan banyaknya makanan yang akan dihidangkan. Sisa hidangan
pesta yang masih memungkinkan bisa simpan di lemari pendingin.
Sehingga nanti bisa dimasak kembali dengan resep yang berbeda
sehingga tidak bosan.
3. Sesuaikan belanjaan bahan makanan dengan menu yang kan
dibuat.
4. Jangan pernah membeli makanan yang cepat busuk jika tidak ingin
segera mengolahnya.
5. Jika tidak dapat menghindari limbah makanan anda bisa mengubah
nasib makanan yang terbuang itu dan mengolahnya menjadi pupuk
kompos.

Seandainya seorang penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi saja dalam


satu kali makan, maka sudah ada 249 juta butir nasi yang terbuang sia-sia. Jika
satu gram beras berisi 50 butir, maka ada 4.980 kg beras yang dibuang tiap hari.
Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Friends Of
Earth (FOE) pada Januari 2016 merilis dalam satu tahun produksi sampah
makanan di dunia mencapai 1,3 miliar ton. Dampak terburuk dari sampah
makanan itu selain kerusakan lingkungan, meningkatnya gas metana dan
pemborosan, adalah ancaman krisis pangan. Sumber Sampah Makanan Di
Jakarta, kondisi seperti itu sudah berlangsung lama. Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah Jakarta pada 2011 pernah merilis jumlah sampah di
DKI Jakarta. Dalam sehari produksi sampah mencapai 7.500 ton. Mirisnya, lebih
dari 54 persen atau 4.050 ton adalah sampah makanan. Sampah makanan itu
tidak hanya dari sisa makanan yang sudah dikonsumsi, tetapi juga sisa sampah
makanan saat produksi. Penyumbang besar sampah masih berasal dari rumah
tangga. Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2011 mencatat dari total sampah di
Jakarta, 65 persennya berasal dari perumahan. Parama Maharddhika, penggiat
Creata, sebuah organisasi yang fokus pada masalah sampah, mengatakan
banyaknya produksi sampah itu bermula pada perilaku masyarakat. Terutama
sampah dari rumah tangga. Saat memasak makanan misalnya, ada bagian dari
sayur yang dibuang karena tidak disukai atau tidak layak makan. “Ada juga sisa
minyak setelah digunakan. Ini yang berbahaya, karena masuk kategori B3. Kita
beli makanan yang menggunakan bungkus pasti juga ada sampah. Minyak itu
pasti ada plastik pembungkusnya,” kata Parama, awal Februari lalu. Sedangkan
sampah dari konsumsi biasanya dari makanan yang tidak habis atau makanan
yang tidak layak dikonsumsi, biasanya karena masa kadaluwarsa telah lewat. Di
sisi lain pola konsumsi makanan yang masih berpatok pada seberapa banyak
porsi makanan, bukan pada kebutuhan kalori, turut berperan meningkatkan
jumlah sampah. “Waktu lapar, beli atau masak makanan banyak. Tapi setelah
kenyang, banyak sisanya. Seharusnya kita bisa mengukurnya: berapa kebutuhan
kalori untuk sehari. Kalau sesuai kebutuhan, sisa jadi semakin minim,” kata
Parama. Selain dari rumah tangga, sampah makanan juga datang dari warung
makan atau restoran. Masalahnya juga sama, sisa makanan masih tidak bisa
dicegah. Pada pengujung 2015, Creata pernah melakukan riset terhadap
produksi sampah salah satu restoran cepat saji di Depok, Jawa Barat. Riset itu
dilakukan selama delapan hari sebagai proyek percobaan mengenai restoran
tanpa sampah di Depok. Selama delapan hari, jumlah sampah itu mencapai 267
kg. Dari jumlah itu 138,9 kg adalah sampah organik, berasal dari sisa makanan.
Lainnya sampah campuran, plastik, kertas dan residu. Bagian menarik lain dari
penelitian itu adalah 98 persen dari sampah tersebut bisa didaur ulang atau
digunakan kembali. “Ini hanya pilot project, tentu hasil dari restoran lain berbeda.
Bedanya biasanya pada pengelolaan sampahnya, ada restoran yang sudah
punya pengelolaan sampah yang baik,” kata Parama. Buruknya Pengelolaan
Sampah Jika Anda berjalan di sepanjang trotoar Jalan Sabang pada malam hari,
Anda akan mencium baru harum masakan, tumis terasi, bawang atau asap sate
yang bikin perut keroncongan. Tapi coba Anda menyusuri kawasan Sabang pada
siang hari. Anda bakal mencium bau busuk menyengat di beberapa titik. Namun,
bagian terburuk dari sampah itu bukan pada bau menyengat, melainkan
pencemaran tanah akibat limbah sampah makanan yang sulit terurai, seperti
kuah berminyak. Imbasnya pada kualitas air di kawasan tersebut yang tambah
buruk. Bandingkan jika apa yang dicontohkan di Sabang juga terjadi di kawasan
kuliner kota Anda, di tempat kerja Anda, di rumah Anda, yang ujungnya berimbas
pada pencemaran sungai dan lingkungan. Ini sudah jadi perhatian global.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menaksir, setiap tahun, sepertiga
makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia di dunia berakhir menjadi
sampah, atau jumlahnya 1,3 miliar ton. Ini termasuk 45% dari buah dan sayuran,
35% dari makanan laut, 30% dari sereal, 20% dari produk susu, dan 20% dari
daging. PBB mewanti-wanti, dengan proyeksi populasi dunia mencapai 9,6 miliar
pada 2050, dan pertumbuhan tercepat di negara-negara berkembang termasuk
di Indonesia, problem pemimpin negara saat ini dan ke depan: Bagaimana kita
memproduksi cukup makanan bagi setiap orang? Jawabannya, demikian
menurut PBB, bukanlah memproduksi cukup makanan, melainkan menyetop
sampah makanan yang telah kita ciptakan selama ini. Masalah sampah makanan
di pelbagai kota padat penduduk seperti Jakarta adalah pencemaran lingkungan
lantaran pengelolaannya yang semrawut. Hasil pemantauan air tanah dari Balai
Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2015
menunjukkan pada lapisan akuifer bebas cekungan air tanah (CAT) Jakarta, dari
85 lokasi sumur yang dipantau, hanya ada 16 lokasi yang memenuhi baku mutu.
Masih ada sampah yang menumpuk di sungai-sungai di Jakarta. Bahkan saat ini
sampah di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang semakin menggunung.
Menurut Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta, saat ini ada
25 juta meter kubik sampah di Bantar Gebang. Luasnya mencapai 110 hektar
dengan tinggi tumpukan 30 meter. Kepala dinas Isnawa Adji mengatakan saat ini
pemerintah sudah mengupayakan pembangunan ITF (Intermediate Treatment
Facility) sebagai solusi mengonversi sampah menjadi energi. “Kita ingin Jakarta
salah satu yang mempunyai ITF. Itu semacam pusat pengolahan sampah.
Kisarannya antara 500, 750, sampai dengan 2.000 ton per hari. ITF ini tentunya
kami cari teknologinya yang ramah lingkungan,” kata Isnawa, 6 Februari lalu.
Pemerintah hendak mencari satu solusi praktis untuk memecahkan kerumitan
mengelola sampah. Padahal dalam urusan pemilahan sampah untuk
mempermudah daur ulang dan pengelolaan pun masih kacau. Usaha beberapa
warga di kawasan perumahan atau permukiman dengan memilah sampah,
organik dan non-organik, terkadang sia-sia. Sebab, pada proses pengangkutan,
sampah makanan, kaca, dan plastik tetap dijadikan satu. Beberapa warga yang
sudah memiliki kesadaran pengelolaan sampah berkelanjutan akhirnya
mempercayakan pengelolaan sampah kepada swasta. Waste4Change adalah
salah satu perusahaan pengelolaan sampah di Bekasi yang mengambil alih
peran pengelolaan sampah. Semula perusahaan ini berfokus pada kampanye
dan konsultan pengelolaan sampah. Namun belakangan mereka juga
menggarap pengelolaan sampah. Hana Nur Auliana dari Waste4Change
mengatakan saat ini pihaknya memiliki sekitar 1.200 pelanggan dari rumah
tangga. Mereka menjemput sampah secara berkala dari rumah-rumah pelanggan
dengan syarat sampah sudah dipilah menjadi tiga: sampah organik, kertas dan
plastik, serta pecah belah. “Dulu kita kampanye supaya ada pemilahan sampah
dari warga, tapi setelah dipilah, jadi sia-sia karena waktu diambil truk sampah
tetap dijadikan satu. Dari situ akhirnya kita bikin juga pengelolaan sampah,” kata
Hana saat ditemui di kantor Waste4Change, awal Februari lalu. Untuk sampah
kertas dan plastik serta pecah belah, Waste4Change memiliki rekanan untuk
mengelolanya. Sedangkan khusus untuk sampah organik dikelola sendiri
menjadi kompos. Mereka memberdayakan pemulung sampah di Bantar Gebang.
Sebagian dari hasil kompos itu dijual, sebagian lain dipakai sendiri untuk kebun
pepaya seluas 4 hektare milik perusahaan. Apa yang dilakukan Waste4Change
sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri, mengandalkan prakarsa
mandiri, dikerjakan secara komunitas, justru ketika pemerintah malas bekerja.

Baca selengkapnya di artikel "DKI Hasilkan 4 Ribuan Ton Sampah Makanan Per
Hari", https://tirto.id/cjti

emburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas yang


terjadi sejak 29 Mei 2006 membuat sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur,
terpaksa menutup sejarah dengan kisah pilu. Puluhan ribu warga harus
mengungsi dan merintis kehidupan baru di tempat lain. Bahkan, hingga 13 tahun
berselang, urusan ganti-rugi tak kunjung selesai. Pusat lumpur panas
menyembur berlokasi di Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer sebelah selatan
Kota Sidoarjo. Kawasan ini merupakan permukiman padat penduduk serta salah
satu area industri utama di Jawa Timur. Beberapa ruas jalan raya, jalan tol, dan
jalur kereta api juga turut terdampak. Kerugian yang teramat besar pun tak
terelakkan. Penyebab terjadinya semburan lumpur panas masih menjadi
perdebatan dan belum diperoleh kepastiannya. Ada dua teori yang dikemukakan
oleh pihak Lapindo terkait hal ini. Pertama, semburan lumpur terjadi lantaran
kesalahan prosedur saat pengeboran. Kedua, lumpur panas menyembur secara
kebetulan saat pengeboran, tapi penyebabnya belum diketahui. Di luar dua teori
itu, muncul hipotesis lainnya ihwal dugaan penyebab semburan lumpur ini, yaitu
terkait dengan proses panas bumi, bisa pula dipicu gempa bumi berkekuatan 5,9
Skala Richter yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006,
hanya berselang dua hari sebelum Sidoarjo tersembur lumpur.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Lumpur Lapindo dan Urusan Ganti Rugi
yang Belum Tuntas", https://tirto.id/ecn4

1. Menghasilkan belasan ton sampah makanan


(Pixabay Alteregointelegencia)

Laporan badan pangan PBB, Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) menyebut Indonesia menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah
makanan setiap tahunnya.

Sampah makanan tersebut berasal dari katering, ritel dan restoran.

2. Sampah sisa makanan dapat dikonsumsi 28 juta orang Indonesia

Konon, 13 juta ton sampah makanan dapat diperuntukkan bagi 28 juta orang
Indonesia.

3. Penghasil sampah makanan terbanyak ke-2 di muka bumi

Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang begitu buruk membuat produksi


sampah makanan kian meningkat setiap tahunnya.
Bahkan laporan Economist Intelligence Unit (EIU) menyebut pada tahun
2016, Indonesia menempati peringkat kedua penghasil sampah terbanyak di
muka bumi setelah Arab Saudi.

4. Limbah makanan bernilai Rp 27 triliun

(Pixabay Rita E)

Beberapa sumber menyebut, limbah sisa makanan di Indonesia dalam


rentang 10 bulan dapat bernilai setara Rp 27 triliun.

Artinya, jika pemerintah Indonesia memiliki regulasi yang baik untuk


memaksimalkan pengolahan sampah makanan dari ritel, restoran dan
bermacam produsen makanan lainnya, kita sanggup menghemat Rp 27 triliun
kurang dari satu tahun.

Anda mungkin juga menyukai