IMPOR SAMPAH
Masuknya sampah impor ini, dikatakan Suherman, menjadi beban tambahan bangsa. Sebab,
Indonesia sendiri belum usai dengan pengelolaan sampah dalam negeri, masih ditambah
dengan urusan sampah impor. Bahkan, sampah yang masuk ada yang terkontaminasi B3.
Masuknya sampah yang tidak masuk dalam daftar yang diizinkan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan importir. Pemerintah dalam hal ini di level strategis yakni Menko
Maritim dan Menteri Perdagangan harus turun tangan dan memberikan laporan apa yang telah
terjadi selama ini. Sementara di level operasional, pemerintah provinsi diharapkan dapat
melakukan pengawasan dan mengatur tata ruang di wilayahnya. Sedangkan di level praktis,
pemkot/pemkab sebagai daerah penerima sampah harus bisa mengontrol sampah yang masuk
dan memastikan apakah wilayahnya diperuntukan untuk hal tersebut atau tidak.
Sementara bagi pemegang izin impor juga harus bertanggung jawab memastikan sampah yang
akan diimpor tidak mengandung limbah plastik dan bahan yang masuk kategori bahan
berbahaya dan beracun (B3). Apabila ada sampah yang tidak masuk daftar yang diizinkan
maka harus dilakukan pengiriman kembali ke negara asal.
Industri jeans memerlukan kapas, dan dalam jumlah besar dan cepat.
Karena itu diperlukan insektisida, herbisida dan pupuk dalam jumlah
besar. Juga diperlukan air dalam jumlah besar pula, karena tanaman
kapas butuh air yang sangat banyak.
Pemberian warna atau dyeing. Benang untuk bahan denim diwarnai dulu
sebelum dipintal, biasanya dengan warna indigo/biru tua. Dan ini
dilakukan beberapa kali, lalu dilapisi dengan bahan yang membuatnya
lebih kuat, sebelum akhirnya dipintal bersama dengan benang tanpa
warna. Setiap tahun, ratusan ton bahan pewarna indigo digunakan untuk
proses ini, makin gelap jeansnya, makin banyak pewarna yang
digunakan.
Pemintalan. Ini juga butuh energi yang banyak dan murah, dan dalam
proses ini, bahan kimia juga banyak digunakan. Dalam proses akhirnya,
bahan akan 'digosok' supaya benang yang longgar dan bahan pelapisnya
hilang.
Lalu dicuci dengan deterjen supaya kainnya menjadi lebih lembut. Itulah
sebabnya ada istilah abrasion (proses penggosokan
celana/pengamplasan), acid wash (penyelesaian dengan merendam batu
apung dalam chlorine untuk menciptakan efek kontras), bleach (untuk
menimbulkan efek warna memudar), atau sanding (proses melembutkan
kain dengan menggosokkan kertas berisi semacam butiran pasir secara
agresif). Untuk kancing, 'paku' dan resliting, biasanya terbuat dari
tembaga, dimana penambangannya juga merupakan masalah bagi
lingkungan.
Tidak membuang celana jeans kita dengan begitu mudah. Jika berlubang,
tambal saja, malah makin keren. Makin lawas makin belel. Atau sudah
bosan modelnya? Hibahkan saja, pasti ada yang mau memakainya.
Jika mau membeli baru, usahakan tidak memilih yang belel, dengan
begitu kita memakai celana dengan lebih sedikit proses kimia.
Limbah dari bahan dan serat sisa proses pembuatan jeans kadang bisa
didaur ulang menjadi kertas, tapi secara keseluruhan, bahan jeans yang
sudah mengandung banyak sekali bahan kimia itu susah sekali untuk
didaur ulang. Pabrik-pabrik juga sudah menggunakan baja sebagai
kancing dan resliting jeans mereka untuk mengurangi pemakaian
tembaga.
ANALISIS
Hal ini tidak bisa disepelekan lagi mengingat bahwa sampah makanan
dapat menguraikan menjadi zat metana. Gas metana 25 kali lebih kuat
daripada gas karbondioksida (CO2) yang menyumbang pembentukan
emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan efek rumah kaca dan
perubahan iklim di dunia.
Ancaman krisis makanan juga akan terjadi jika kebiasaan masyarakat yang
sering membuang makanan karena sifat konsumtif yang membuat
pemborosan. Bau busuk yang dihasilkan dari sampah makanan juga dapat
mengganggu kestabilan ekosistem dan menjadi pencemaran pada tanah
dan air.
Tidak hanya itu, FAO pada 2016 juga mengungkapkan bahwa Indonesia
membuang 13 juta metriks ton makanan setiap tahunnya. Artinya, sampah
makanan tersebut dapat memberi makan sekitar 11% populasi atau sekitar
28 juta penduduk Indonesia setiap tahunnya.
Sering kali juga para petani dan pedagang hanya memikirkan peningkatan
produksi makanan tanpa memikirkan ketahanan pangan (food security)
yang berdampak pada tingkat food loss and waste. Hal tersebut dapat
berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Tak jauh berbeda dengan negara kita. Di satu sisi sekelompok arang
dengan lahap menyantap berbagai hidangan lezat. Tanpa rasa
bersalah karena sudah kekenyangan mereka membuang makanan sisa
begitu saja. Namun, di sisi lain kita sering melihat anak jalanan, dan
gelandangan yang kelaparan.
Efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang
akan menyebabkan peningkatan pemanasan global. Karena itu
makanan yang terbuang di tempat sampah berkontribusi cukup besar
terhadap pemanasan global.
Pemanasan global yang terjadi tentu saja tidak akan berdampak baik
untuk seluruh umat manusia. Menjaga dan melindungi bumi adalah
tanggung jawab kita sebagai manusia. Bumilah satu-satunya tempat
tinggal kita. Sehingga sudah menjadi kebutuhan kita untuk mejaga
tempat tinggal kita.
Kelestarian bumi ada di tangan kita. Kalau bukan kita yang akan
menjaga siapa lagi? Kehidupan kita juga bergantung pada kelestarian
bumi. Jika bumi musnah, apa lagi kita. Jadi kitalah yang menentukan
nasib, serta kitalah yang berhak menuliskan kisah kehidupan dengan
kelestarian.
Baca selengkapnya di artikel "DKI Hasilkan 4 Ribuan Ton Sampah Makanan Per
Hari", https://tirto.id/cjti
Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Lumpur Lapindo dan Urusan Ganti Rugi
yang Belum Tuntas", https://tirto.id/ecn4
Laporan badan pangan PBB, Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) menyebut Indonesia menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah
makanan setiap tahunnya.
Konon, 13 juta ton sampah makanan dapat diperuntukkan bagi 28 juta orang
Indonesia.
(Pixabay Rita E)