PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa bahasan diatas mengenai risiko ataupun manajemen risiko
tentunya tidak berbeda dengan apa yang ada di tempat pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini Rumah sakit ataupun Puskesmas merupakan tempat kerja yang
unik dan kompleks, tidak saja menyediakan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, tetapi juga merupakan tempat pendidikan dan penelitian
kedokteran. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi suatu rumah sakit
maka semakin kompleks peralatan dan fasilitasnya. Kerumitan yang meliputi
segala hal tersebut menyebabkan rumah sakit mempunyai potensi yang
bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan tenaga medis, risiko ini
juga membahayakan pengunjung rumah sakit tersebut.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di
industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit
pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi, dan
sebagainya. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada
pekerja rumah sakit yaitu sprains, strains: 52%; contussion, crushing,
bruising: 11%; cuts, laceration, puncture: 10,8%; fractures: 5,6%; multiple
injuries: 2,1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1,9%; infections:
1,3%; dermatitis : 1,2%; dan lain-lain: 12,4% (US Departement of
Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).
Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya
di tempat pelayanan kesehatan baik di rumah sakit ataupun di Puskesmas
belum tergambar dengan jelas namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan
dari para petugas di rumah sakit, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada
di rumah sakit. Selain itu, Gun (1983) memberikan catatan bahwa terdapat
beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas rumah sakit, yaitu
hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran
kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita), serta nyeri tulang
belakang dan pergeseran discus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa
terdapat beberapa kasus penyakit akut yanng diderita petugas rumah sakit
lebih besar 1,5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan
parasit, saluran pernapasan, saluran cerna, dan keluhan lain seperti sakit
telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak,
gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang
rangka. Oleh karena itu, diperlukan sistem manajemen risiko yang benar-
benar jelas, kontinyu, serta konsekuen dengan misi yang diemban, yaitu
mengurangi nilai kecelakaan kerja, termasuk penyakit akibat kerja, bahkan
dapat dieliminasikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang disebutkan, maka makalah ini
mempunyai batasan-batasan permasalahan yang diangkat, antara lain:
1. Pengertian Manajemen Resiko
2. Gambaran umum/identifikasi potensi bahaya di tempat pelayanan
kesehatan?
3. Pedoman Manajemen risiko di tempat kerja?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian manajemen Resiko
2. Untuk mengetahui gambaran umum/identifikasi potensi bahaya di tempat
pelayanan kesehatan
3. Untuk mengetahui pedoman manajemen risiko di tempat kerja
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Hazard
PENILAIAN SESUAI HAZARD
TINGKAT BAHAYA
E. Respon Manajemen
Setelah risiko-risiko yang mungkin terjadi diidentifikasi dan dianalisa,tim
manajerial akan mulai memformulasikan strategi penanganan risiko yang tepat.
Strategi ini didasarkan kepada sifat dan dampak potensial / konsekuensi dari risiko
itu sendiri. Adapun tujuan dari strategi ini adalah untuk memindahkan dampak
potensial risiko sebanyak mungkin dan meningkatkan kontrol terhadap risiko.
G. Tujuan Penerapan
Tujuan dari diterapkannya Sistem Manajemen K3 yang termasuk di dalamnya
manajemen resiko ini pada Rumah Sakit adalah terciptanya cara kerja, lingkungan
kerja yang sehat, aman, nyaman, dan dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan karyawan RS. Kesehatan kerja menurut Suma’mur didefinisikan sebagai
spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya, agar masyarakat
pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental
maupun sosial dengan usaha-usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-
penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan
dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum. Adapun tujuan
keselamatan kerja menurut Suma’mur (1987) adalah sebagai berikut :
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan
untuk kesejahteraan hidup dan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas
nasional.
2. Menjamin setiap keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.
3. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
Menurut WHO / ILO (1995), Kesehatan kerja bertujuan,
1. Untuk peningkatan dan pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan sosial yang
setinggi-tingginya bagi pekerja disemua jenis pekerjaan
2. Pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi
pekerjaan
3. Perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari resiko akibat faktor yang
merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.
Adapun beberapa hal strategis yang harus diperhatikan dan dilaksanakan
dalam kebijakan keselamatan kerja tersebut, antara lain :
1. Orientasi karyawan, untuk meningkatkan pengetahuan keselamatan kerja
karyawan tersebut
2. Penggunaan alat pelindung diri
3. Penataan tempat kerja yang baik dan aman
4. Pertolongan pertama pada kecelakaan, meliputi latihan, kelengkapan peralatan
P3K, pertolongan pada kasus luka dan mengatasi perdarahan, pada kasus patah
tulang, terkilir, luka bakar, cedera otot dan persendian, kasus cedera mata
5. Pencegahan kebakaran
6. Perizinan, yaitu perizinan untuk kegiatan yang dapat menimbulkan sumber
nyala api, perizinan untuk penggalian, untuk kelistrikan.
H. Pedoman Manajemen K3
Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja menurut Peraturan
Menteri Kesehatan 2007 terdiri atas meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tahap persiapan (komitmen dan kebijakan)
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas
dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan rumah sakit.
Manajemen rumah sakit mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber
daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya
program K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 di rumah sakit diwujudkan dalam
bentuk wadah K3RS dalam struktur organisasi rumah sakit. Untuk
melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 rumah sakit, perlu disusun
strategi antara lain:
a. Advokasi sosialisasi program K3 rumah sakit
b. Menetapkan tujuan yang jelas
c. Organisasi dan penugasan yang jelas
d. Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 rumah sakit pada setiap
unit kerja di lingkungan rumah sakit
e. Sumber daya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f. Kajian resiko secara kualitatif dan kuantitatif
g. Membuat program kerja K3 rumah sakit yang mengutamakan upaya
peningkatan dan pencegahan
h. Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala
2. Tahap perencanaan
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas
dan dapat diukur. Perencanaan K3 di rumah sakit dapat mengacu pada
standar sistem manajemen K3RS diantaranya self assesment akreditasi K3
rumah sakit. Perencanaan meliputi:
a. Identifikasi sumber bahaya dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan:
1) Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya
2) Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi Penilaian
faktor resiko, yaitu proses untuk menentukan ada tidaknya resiko
dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang
menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan kerja.
Pengendalian faktor risiko, dilakukan melalui empat tingkatan
pengendalian risiko yaitu menghilangkan bahaya, menggantikan
sumber risiko dengan sarana/peralatan lain yang tingkat risikonya
lebih rendah /tidak ada (engneering/rekayasa), administrasi dan
alat pelindung pribadi (APP)
b. Membuat peraturan, yaitu rumah sakit harus membuat, menetapkan dan
melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan,
perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus
dievaluasi, diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan
pada karyawan dan pihak yang terkait.
c. Tujuan dan sasaran, yaitu rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan
perundang-undangan, bahaya potensial, dan risiko K3 yang bisa diukur,
satuan/indikator pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu
pencapaian (SMART)
d. Indikator kinerja, harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3
rumah sakit.
e. Program kerja, yaitu rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan proram
K3 rumah sakit, untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan
dicatat serta dilaporkan.
A. Kesimpulan
Rumah sakit dan puskesmas adalah sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat berfungsi sebagai
tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Rumah sakit merupakan
salah satu tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan dengan berbagai fasilitas dan peralatan kesehatannya.
Potensi bahaya di rumah sakit, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada
potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah
sakit, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan
dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cedera lainnya), radiasi, bahan-
bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anestesi, gangguan psikososial, dan
ergonomi. Semua potensi-potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa bagi
kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para
pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit. Rumah sakit mempunyai
karakteristik khusus yang dapat meningkatkan peluang kecelakaan. Misalnya,
petugas acapkali menggunakan dan menyerahkan instrumen benda-benda
tajam tanpa melihat atau membiarkan orang lain tahu apa yang sedang mereka
lakukan. Ruang kerja yang terbatas dan kemampuan melihat apa yang sedang
terjadi di area operasi bagi sejumlah anggota tim (perawat instrumen atau
asisten) dapat menjadi buruk. Hal ini dapat mempercepat dan menambah stres
kecemasan, kelelahan, frustasi dan kadang-kadang bahkan kemarahan. Pada
akhirnya, paparan atas darah acapkali terjadi tanpa sepengetahuan orang
tersebut, biasanya tidak diketahui hingga sarung tangan dilepaskan pada akhir
prosedur yang memperpanjang durasi paparan. Pada kenyataannya, jari jemari
acap kali menjadi tempat goresan kecil dan luka, meningkatkan risiko infeksi
terhadap patogen yang ditularkan lewat darah.
B. Saran
Mengelolah risiko harus dilakukan secara komprehensif melalui
pendekatan manajemen risiko sebagaimana terlihat dalam Risk management
standard AS/NZS 4360,yang meliputi:
1. Penentuan konteks
2. Identifikasi risiko
3. Analisa risiko
4. Evaluasi risiko
5. Pengendalian risiko
6. Komunikasi,dan
7. Pemantauan dan tinjaun ulang
DAFTAR PUSTAKA
Internal Auditor. 2005. ERM: a Status Report. February 2005. The Institute of
Internal auditor. Florida.
Susilo, Leo J. dan Victor Riwu Kaho.2010. Manajemen Risiko Berbasis ISO 31000.
Ppm Manajemen. Jakarta.