Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan
otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas). Stroke
merupakan masalah kesehatan mayor di dunia, menjadi penyebab kematian ketiga
setelah penyakit jantung dan kanker. . Stroke biasanya menyerang golongan
geriatrik, yaitu penderita sudah lanjut usia dan angka kematian makin meningkat
dua kali ganda setiap 10 tahun pada rentang usia 55-85 tahun. Menurut
patologisnya, stroke diklasifikasikan menjadi dua yaitu, stroke iskemik dan stroke
hemoragis. Kurang lebih 83% dari seluruh kejadian stroke berupa stroke iskemik,
dan kurang lebih 51% stroke disebabkan oleh trombosis arteri.

1.2 TUJUAN MAKALAH


1. Untuk mengetahui klasifikasi kejang
2. Untuk mengetahui patofisiologi kejang
3. Untuk mengetahui tatalaksana kejang
4. Untuk mengetahui klasifikasi stroke
5. Untuk mengetahui epidemiologi stroke iskemik
6. Untuk mengetahui etiologi stroke iskemik
7. Untuk mengetahui faktor resiko stroke iskemik
8. Untuk mengetahui patofisiologi stroke iskemik
9. Untuk mengetahui penegakan diagnosis pada stroke
10. Untuk mengetahui tatalaksana stroke iskemik
11. Untuk mengetahui komplikasi stroke iskemik
12. Untuk mengetahui prognosis stroke iskemik

1.3 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja klasifikasi kejang?
2. Bagaimana patofisiologi kejang?
3. Bagaimana tatalaksana kejang?
4. Apa saja klasifikasi stroke?
5. Bagaimana epidemiologi stroke?
6. Apa saja etiologi dari stroke iskemik?
7. Apa saja faktor resiko dari stroke iskemik?
8. Bagaimana patofisiologi dari stroke iskemik?
9. Apa saja penegakan diagnosis yang dilakukan untuk stroke iskemik?
10. Apa tatalaksana dari stroke iskemik?
11. Apa saja komplikasi stroke iskemik?
12. Bagaimana prognosis dari stroke iskemik?

1
BAB 2
TINHAUAN PUSTAKA

STROKE ISKEMIK

Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah
satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada
tahun 2013, terdapat sekitar 25,7 juta kasus stroke, dengan hampir separuh kasus (10,3
juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian
dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.

Kecacatan dapat berupa defisit neurologi yang berdampak pada gangguan emosiona l
dan sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga bagi keluarganya. Hal ini diperberat
dengan tingginya serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi
dengan baik.

PATOFISIOLOGI

Secara umum faktor risiko stroke terbagi menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang
dapat dimodifikasi atau dilakukan tata lak-sana, antara lain hipertensi, diabetes melitus
(DM), merokok, obesitas, asam urat, dan hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin, dan etnis.

1. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke tersering, sebanyak 60% penyandang


hipertensi akan mengalami stroke. Hipertensi dapat menimbulkan stroke iskemik
(50%) maupun stroke perdarahan (60%). Data menunjukkan bahwa risiko stroke
trombotik pada penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali lebih tinggi dibandingk a n
normotensi. Pada usia >65 tahun, penyandang hiper-tensi memiliki risiko 1,5 kali lebih
tinggi dibandingkan normotensi.
Patofisiologi hipertensi menyebabkan terjadinya perubahan pada pembuluh darah.
Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel
oleh hipertensi lama, terutama pada arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300-
500mm (cabang perforata). Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid
terutama kolesterol dan kolesterol oleat pada tunika muskularis yang menyebabkan
lumen pembuluh darah menyempit serta berkelok-kelok. Pada hipertensi kronik akan
terbentuk nekrosis fibrinoid menyebabkan kelemahan dan herniasi dinding arteriol,
serta ruptur tunika intima, sehingga terbentuk suatu mikroaneurisma yang disebut

2
Charcot-Bouchard. Kelainan ini terjadi terutama pada arteri yang berldii-ameter 100-
300mm (arteriol).

Pengerasan dinding pembuluh darah dapat mengakibatkan gangguan autoregulas i,


berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan tekanan darah
sistemik. Jika terjadi penurunan tekanan darah sistemik yang mendadak, tekanan
perfusi otak menjadi tidak adekuat, sehinggga menyebabkan iskemik jaringan otak.
Sebaliknya, jika terjadi peningkatan tekanan darah sistemik, maka akan terjadi
peningkatan tekanan perfusi yang hebat yang akan menyebabkan hiperemia, edema,
dan perdarahan.

2. Diabetes Melitus

Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat mengalami stroke. Suatu studi terhadap 472
pasien stroke selama 10 tahun menunjukkan adanya riwayat DM pada 10,6% laki-lak i
dan 7,9% perempuan. Penelitian menunjukan adanya peranan hiperglikemi dalam
proses aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa akumulasi sorbitol di
dinding pembuluh darah arteri. Hal ini menyebabkan gangguan osmotik dan
bertambahnya kandungan air di dalam sel yang dapat mengakibatkan kurangnya
oksigenisasi. Peranan genetik pada DM belum diketahui secara pasti. Dipikirk a n
terdapat abnormalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler secara
intrinsik berupa pemendekan usia kehidupan (life span) sel dan peningkatan proses
pergantian (turn-over) sel di dalam jaringan. Proses ini dapat juga terjadi pada sel
endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah. Penyandang DM sering disertai
dengan hiperlipidemia yang merupakan faktor risiko terjadinya proses aterosklerosis.
Pada penelitian oleh National Cholesterol Education Program (NCEP), kurang lebih
40% penyandang DM termasuk dalam kriteria hiperlipidemia serta 23% mengala mi
hipertrigliserida dan kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah.

3. Merokok
Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke sebesar
3,5 kali dan dihubungkan dengan banyaknya konsumsi rokok. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa mekanisme. Pertama, akibat derivat rokok yang sangat berbahaya, yakni
nikotin. Nikotin diduga berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik.
Dengan adanya nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan meningkat, termasuk jalur
simpatis sistem kardiovaskular, sehingga akan terjadi pe-ningkatan tekanan darah,
denyut jantung, dan meningkatnya aliran darah ke otak. Pengaruh nikotin terhadap
proses trombotik melalui enzim siklooksigenase, yang menyebabkan penuruna n
produksi prostasiklin dan tromboksan. Hal itu mengakibatkan peningkatan agregasi
trombosit dan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga memudahkan terjadinya
stroke iskemik.

4. Asam Urat

Salah satu penelitian di Jepang terhadap usia 50-79 tahun selama 8 tahun menunjukk a n
hiperurisemia merupakan faktor risiko penting terjadinya stroke. Penelitian kohort di

3
Honolulu dengan rentang usia 55-64 tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubunga n
bermakna antara asam urat, kadar kolesterol, tekanan darah sistolik, dan kadar
trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berulia penyakit jantung dan stroke.
Kondisi hiperurisemia diduga merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatk a n
agregasi trombosit.

5. Dislipidemia

Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan
kadar LDL yang tinggi. Kedua hal tersebut mempercepat aterosklerosis pembuluh
darah koroner dan serebral.

6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku Bangsa

Angka kejadian stroke meningkat seiring bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18- 44
tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai dengan
studi Framingham yang berskala besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya
aterosklerosis seiring peningkatan usia yang dihubungkan pula dengan faktor risiko
stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi dan hipertensi. AF dan hipertensi sering dijumpa i
pada usia lanjut. Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia lanjut. Prevalensi stroke
pada penduduk Amerika perempuan (tahun 1999-2000) berusia >75 tahun lebih tinggi
(84,9%) dibandingkan laki-laki (70,7%). Data pasien stroke di Indonesia juga
menunjukkan rerata usia perempuan (60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan laki-lak i
(57,5±12,7 tahun). Hal ini di-Pikirkan berhubungan dengan estrogen. Estrogen
berperan dalam pencegahan plak aterosklerosis seluruh pembuluh darah, termasuk
pembuluh darah serebral. Dengan demikian perempuan usia produktif memilik i
proteksi terhadap kejadian penyakit vaskular dan aterosklerosis yang menyebabkan
kejadian stroke lebih rendah dibandingkan lelaki. Namun, pada keadaan pre-
menopause dan menopause yang terjadi pada usia lanjut, produksi estrogen menurun
sehingga menurunkan efek proteksi tersebut. Berdasarkan suku bangsa, didapatkan
suku kulit hitam Amerika mengalami risiko stroke lebih tinggi dibandingkan kulit
putih. Insidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk dibandingk a n
147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Defisit neurologis yang ditimbulkan dapat bersifat fokal maupun global, yaitu:

Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan otot-otot


penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, bicara, dan
sebagainya

 Gangguan fungsi keseimbangan


 Gangguan fungsi penghidu

4
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi somatik sensoris
 Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya
 Gangguan global berupa gangguan kesadaran

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Kriteria diagnosids defisit stroke iskemik adalah terdapat gejala atau salah
satu/beberapa defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak dengan bukti gambaran
pencitraan otak (CT scan atau MRI). Adapun diagnosis banding paling sering, yakni
stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak).

Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta untuk eksplorasi


faktor risiko dan etiologi stroke iskemik berupa:
a) Elektrokardiogram (EKG)
b) Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan
perfusi dan difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
c) Doppler karotis dan vertebralis
d) Doppler transkranial (transcranial doppler/TCD)
e) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, dan
fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya di ruang perawatan dilakuka n
pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial, HbA1C, profil lipid,
CRP, dan laju endap darah. Pemeriksaan hemostasis, seperti activated partial thrombin
time (APTT), prothrombin time (PT), dan international normalized ratio (INR), enzim
jantung (troponin, creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes uji fungsi trombosit (uji
resistensi aspirin dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan atas indikasi.

TATA LAKSANA
Tata laksana Umum

1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

a) Pemantauan status neurologis, nadi tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen
secara kontinu dalam 72 jam pertama (ESO kelas IV, good clinical practice/GCP)
b) Pemberian oksigen jika saturasi oksigen <95% (ESO kelas IV, GCP)
c) Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar, pemberian bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penuruna n
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA kelas I,
level C).

5
d) Intubasi endotracheal tube (ETT) atau laryngeal mask airway (LMA) diperluka n
pada pasien dengan hipoksia (p02 <60mmHgatau pCO2 >50mmHg), syok, atau
pada pasien yang berisiko untuk mengalami aspirasi.
e) Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu, kalau lebih maka
dianjurkan dilakukan trakeostomi.

2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)


a) Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena (IV), dan hindari pemberian
cairan hipotonik seperti glukosa.
b) Dianjurkan pemasangan kateter vena sentral (central venous catheter/CVC),
upayakan tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) 5-12mmHg.
c) Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
d) Bila tekanan darah(TD) sistolik dibawah 120mmHg dan cairan sudah mencukup i,
dapat diberikan agen vasopresor secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target TD sistolik berkisar 140mmHg.
e) Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
setelah awitan serangan stroke iskemik (AHA/ASA kelas I, level B).
f) Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul kardiologi).

3. Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)


a) Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan memperhatik a n
perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan
stroke (AHA/ ASA kelas I, level B).
b) Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien dengan
penurunan kesadaran karena kenaikan TIK. (AHA/ASA kelas V, level C).
c) Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan tekanan perfusi otak (cerebral
perfusion pressure/CPP) >70mmHg.
d) Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi :
1. Meninggikan posisi kepala 20-30°
2. Memposisikan pasien dengan menghindari penelcanan vena jugulare
3. Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Menghindari hipertermia
5. Menjaga normovolemia
6. Pemberian osmoterapi atas indikasi:
• Manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi se-tiap 4-6 jam
dengan target os-molaritas 5.310mOsm/L (AHA/ ASA: kelas V, level C).
• Jika perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1mg/ kgBB IV
e) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40mmHg). Hiperventilas i
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
f) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi peningkatan T1K dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, atau bucking ventilato r
(AHA/ASA: kelas 111-V, level C). Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau
pankuronium yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih baik
digunakan (AHA/ASA kelas III-V level C). Pasien dengan kenaikan kritis TIK
sebaiknya diberikan pelemas otot (muscle relaxant) sebelum suction atau lidokain
sebagai alternatif.

6
g) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar (AHA/ASA kelas I, level B).
h) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulk a n
efek masa (AHA/ASA kelas 1, level B).

4. Pengendalian Kejang

a) Bila kejang, dilakukan pemberian diazepam IV bolus lambat 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan maksimum 50mg/menit.
b) Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproat, topiramat, atau
levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulit pada pasien.
c) Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.

5. Pengendalian Suhu Tubuh

a) Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik
(asetaminofen) dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA kelasl, level C).
b) Pada pasien demam berisiko ter-jadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah,
dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikular, analisis cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

6. Tata Laksana Cairan

a) Pemberian cairan isotonis seperti NaC10,9%, ringer laktat, dan ringer asetat,
dengan tujuan menjaga euvolemi. CVP di pertahankan antara 5-12mmHg.
b) Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari, kecuali pada
keadaan hipoglikemia.

7. Nutrisi

a) Nutrisi enteral paling lambat harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh
diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b) Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan
melalui pipa nasogastrik
c) Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-301dcal/kg/hari dengan komposisi:
1. Karbohidrat 30-40% dari total kalori.
2. Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%).
3. Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1,4-2,0g/ kgBB/har i
(pada gangguan fungsi ginjal <0,8 g/kgBB/hari).
d) Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
e) Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkink a n,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f) Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan
(misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang
mendapat warfarin).

8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi

7
a) Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, DVT emboli paru, dekubitus komplikasi ortopedik, dan
kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA level B dan C).
b) Berikan antibiotik atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA level A).
c) Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur
antidekubitus.
d) Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT seperti pasien dengan
trombofilia, perlu diberikan heparin subkutan 5.000IU dua kali sehari atau
10.000IU drip per24 jam, atau LMWH atau heparinoid. (AHA/ASA level A). Perlu
diperhatikan terjadinya risiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebra l.
Pada pasien yang tidak bisa menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada
pasien imobilisasi direkomendasikan penggunaan stoking eksternal atau Aspirin
(AHA/ ASA level A dan B).

9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain


a) Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mg/dL) pada stroke akut harus diatasi
dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C). Target yang harus dicapai
adalah normoglikemia.
b) Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV atau infus
glukosa 10-20%.
c) Manajemen hipertensi sesuai lesi stroke ngan protokol tata laksana hipertensi akut.
d) Jika gelisah lakukan terapi psikologi kalau perlu berikan major atau minor
tranquilizer, seperti atau benzodiazepin kerja cepat atau propofol.
e) Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
f) Pemberian antagonis H2 apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
g) Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau memandikan pasien
karena dapat mempengaruhi TIK.
h) Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
i) Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermitten.
j) Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara dan okupasi.
k) Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada.
l) Edukasi keluarga.
m) Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).

KEJANG

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba – tiba
yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika
gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.

Etiologi

 Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui


 Cryptogenic atau timbul dari penyebab yang diduga yang tidak diketahui atau
tidak jelas

8
 Gejala atau yang timbul dari otak yang dikenal kelainan
 Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran . Secara umum, tidak ada risiko jika
hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.
 Space Occupaying lesions

a. Tumor otak
b. Malformasi arteri vena (AVM)
c. Hematoma subdural
d. Neurofibromatosis

 Infeksi Cerebral

a. Bakteri atau virus meningitis.


b. Radang otak
c. Abses otak

 Kejang demam atipikal


 Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal
 Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
 Asidosis hipoksia
 Riwayat keluarga

Klasifikasi

Kejang telah di klasifikasikan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan etiologi baik itu
idiopatik (primer) atau gejala (sekunder). Klasifikasi kejang pertama kali diusulk a n
oleh Gastaut pada tahun 1970 dan kemudian disempurnakan berulang kali oleh
International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, dengan klasifikas i
sebagai berikut :

1. Kejang parsial sederhana


 Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala sensorik
 Dengan gejala otonomik
 Dengan gejala psikis
 Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
 Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
 Degan gangguan kesadaran sejak awal kejang
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
 Kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik, atau klonik)
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

9
 Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
 Lena absens
 Mioklonik
 Klonik
 Tonik
 Tonik-klonik
 Atonik/astatik
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum Kejang parsial


kompleks berkembang menjadi kejang umum

1. Kejang parsial simplek

Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:

 “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama


sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubih tertentu. - Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

2. Kejang parsial kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah


 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya

 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang- ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik
atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh
aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa
sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung.

10
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi
bagian dalam atau lidah.

Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat
pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.

4. Kejang absans / Petit Mal

Kejang ini di bagi menjadi kejang absans tipikal atau petit mal dan kejang
atipikal.Kejang absenstipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik motorik
anak secara tiba-tiba,kehilangan kesadaran sementara secara singkat,yang di sertai
dengan tatapan kosong.Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang
terjadi.Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik.Kejang ini jarang di jumpai pada
anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absans atipikal di tandai dengan gerakan
seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas dan
disertai dengan perubahan kesadaran.

5. Kejang Mioklonik

Kejang yang ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba-tiba dan di
sertai dengan flexi lengan.Kejang tipe ini dapat terjadi ratusan kali perhari

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya
penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama
kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan
serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “
café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” ,
“shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada
tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber
syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada
waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan
pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang
dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens
contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,


fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin
dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat
anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi
pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin

11
ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang
makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.

1.PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat


mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama
dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug
abuse”

2.PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan


elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman
pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut.
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.

3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance


Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural
diotak .

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh
karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan
T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan
saggital.

4. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan


akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan
bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.

12
Terapi

Obat anti epilepsi (AED) terapi, pengobatan utama untuk sebagian besar pasien,
memiliki empat tujuan: untuk menghilangkan kejang atau mengurangi frekuensi
mereka ke tingkat maksimum yang mungkin, untuk menghindari efek samping yang
berhubungan dengan pengobatan jangka panjang, dan untuk membantu pasien dalam
mempertahankan atau memulihkan kegiatan psikososial mereka , dan dalam menjaga
kestabilan kehidupan sehari –hari mereka.

Seizure Type Drug(s) of Choice Alternate Drug

Phenobarbital

Primidone

Gabapentin

Lamotrigine

Levetirectam
Partial Seizures Carbamazepine
Tiagabine
(including simple, complex and Valporic acid
secondarily generalized tonic- Topiramate
clonic seizures) Phenytoin
Zonisamide

Oxcarbazepine

Rufinamide

Lacosamide

Ezogabine

Phenobarbital

Valporic acid Primidone


Generalized Tonic-Clonic
Phenytoin Lamotrigine
(Grand Mal)
Carbamazepine Topiramate

Levetiracetam

Valporic acid (1st choice if


tonic-clonic seizures present)

General Absence (petit mal) Ethosuximide Lamotrigine

Clonazepam (not 1st choice


because of tolerance)

Clonazepam
Myoclonic Valporic acid
Lamotrigine

Lorazepam (i.v.) Phenytoin or Fosphenytoin


Status epilepticus (i.v.) (alone or in combination
Diazepam (i.v.) with diazepam)

13
14
EPILEPSI

Definisi

Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor predisposisi menetap
untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial dari kondisi ini (International League Against Epilepsy/ILAE,
2005). Berdasarkan konsensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi,
yaitu: (1) terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam;
(2) terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun risiko kejang selanjutnya
sama de-ngan risiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10
tahun mendatang; serta (3) sin-drom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).

Etiologi

Hampir setengah dari seluruh kasus epilepsi bersifat idiopatik. Beberapa penyebab
epilepsi yang dapat ditemukan adalah pengaruh genetik, trauma kepala, kelainan medis
(sebagai contoh akibat stroke maupun serangan jantung), demensia, meningitis,
ensefalitis, jejas prenatal, atau gangguan perkembangan (sindroma Down. autisme).

Klasifikasi dan Manifestasi Klinis

 Kejang dibagi menjadi 3:


 Kejang fokal/parsial
 Kejang umum
 Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan

• Kejang fokal dimulai dari cetusan epileptik di suatu area fokal di korteks.
Kejang fokal diklasifikasikan lebih lanjut menjadi:
 Kejang fokal sederhana
 Kesadaran tidak terganggu, manifestasi dapat berupa ganggua n
sensorik, motorik, otonomik. dan/atau psikis. Umumnya berlangs ung
beberapa detik hingga menit. Jika terjadi > 30 menit, dinamakan status
epileptikus fokal sederhana.
 Kejang fokal kompleks Kesadaran terganggu sehingga pasien tidak
ingat akan kejang. Biasanya diawali dengan henti gerak keseluruha n
tubuh sementara (behavioral arrest), dilanjutkan dengan automatis me
(men-gunyah, meracau, tatapan kosong, dan kebingungan postiktal
(postictal confusion). Kejang fokal kompleks umumnya berlangsun 60-
90 menit dan diikuti kebingungan postikta singkat.
 Secondary generalized seizure

Umumnya dimulai dengan aura yang berevolusi menjadi kejang fokal kompleks dan
kemudian menjadi kejang tonik klonik umum. Akan tetapi, kejang tokal kompleks

15
dapat berevolusi menjadi kejang umum, atau suatu aura dapat langsung berevolus i
menjadi kejang umum tanpa kejang fokal kompleks yang nyata.

 Kejang umum dimulai apabila cetusan epileptik terjadi secara bersamaan di kedua
hemisfer serebri. Kejang umurn diklasifikasikan lebih lanjut menjadi:

 Kejang absans
Episode-episode gangguan kesadaran singkat tanpa aura atau kebingunga n
post-iktal. Episode ini biasanya berlangsung kurang dari 20 detik dan dapat
disertai sedikit automatisme. Automatisme fasial adalah yang tersering dan
berkedip berulang adalah automatisme fasial yang tersering. Hiperventilasi atau
stimulasi photic seringkali memicu kejang ini.
 Kejang mioklonik
Pergerakan motorik singkat, j dari erking 1 detik. , tanpa irama, yang
berlangsung kurang ok dalam be-Kejang ini cenderung berkelomp berapa
menit. Jika kejang ini menjadi berirama, maka akan diklasifikasi sebagai kejang
klonik.
 Kejang klonik
Pergerakan motorik dengan gangguan kesadaran. Kejang tonik ekstensi atau
fleksi tonik kepala, batang tubuh, dan atau ekstremitas tiba-tiba selama
beberapa detik disertai gangguan kesadaran. Kejang seperti ini biasanya terjadi
saat mengantuk, segera setelah tidur, atau segera setelah bangun. Diasosiasik a n
dengan gangguan neurologis lain.
 Kejang umum tonik-klonik primer (grand mal)
Terdiri dari beberapa perilaku motorik, diantaranya ekstensi tonik urnum semua
ekstremitas selama beberapa detik diikuti gerakan ritmik klonik disertai
gangguan kesadaran dan kebingungan postiktal yang panjang. Tidak disertai
aura.
 Kejang atonik
Terjadi pada orang-orang dengan kelainan neurologis signifikan. Kejang ini
berupa kehilangan tonus postural singkat disertai gangguan kesadaran, sehingga
menyebabkan jatuh dan jejas.

Diagnosis

Anamnesis

 Riwayat penyakit paling baik didapatkan dari orang yang melihat langsung
kejadian kejang. Akan tetapi pasien juga dapat memberikan keterangan tentang
aura, kesadaran, dan keadaan post-iktal. Beberapa hal yang perlu diketahui
untuk mengklarifikasikan jenis kejang :
o Pertanda/penglihatan sebelum kejang
o Pencetus kejang
o Ingatan pasien mengenai kejangnya, respons pasien terhadap lingkunga n
selama kejang.

16
 Perhatikan tanda-tanda riwayat kejang lama seperti luka-luka pada ekskremitas
akibat akibat kejang umum yang berulang.

Pemeriksaan Penunjang

 Radiologi : CTscan dan MRI


 EEG, seringkali tidak memberikan hasil yang tidak spesifik

Diagnosis Banding

Kejang demarn, sinkop, gangguan metabolik, trti gren, TIA (transient ischemic attack),
stroke, pen akut psikiatrik.

Tata Laksana
• Tujuan tata laksana tanpa efek samping;
• Obat-obat lini pertama untuk epilepsi
 Karbamazepin, untuk kejang tonik klonik dan kejang fokal. Tidak
efektif untuk kejang absans dapat memperburuk kejang mioklonik.
Dosis total 600 - 1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis sehari.
 Lamotrigin, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik klonik. Dosis
100-200mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-
400 mg bila digunakan dengan fenitoin, fenobarbital, atau
karbamazepin.
 Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik klonik, dan
kejang absans. Dosis 400 -2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
 Obat-obat epilepsi yang tersedia di puskesmas:
o Fenobarbital (dapat dimulai dengan dosis 60 mg/hari per oral
dinaikkkan 30 mg tiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90 - 120
mg/hari);
o Fenitoin (300 - 600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua
dosis);
o Karbamazepin (800 - 1200 mg/hari per oral dibagi menjadi tiga
hingga empat dosis. Pilihan Karbamazepin merupakan obat untuk
pasien epilepsi pada kehamilan.
• Terapi nonfarmakologi - Diet ketogenik; - Vagal Nerve Stimulator.
• Terapi bedah - Lobektomi dan lesionektomi

17
BAB III
PEMBAHASAN

• Anamnesis
– Dilakukan aloanamnesis

– Wanita 53 tahun : merupakan salah satu faktor resiko


meningkatnya penyakit metabolik
– Datang dengan keluhan kejang 2 jam lalu selama 15 menit
– Pasien tidak sadar selama dan sesudah kejang
– Rps :
• Gejala awitan kejangnya
• Apa yang tampak selama awitan, kejangnya
seperti apa
• Keadaan setelah awitan
Sakit kepala dan muntah disangkal : tidak ada riwayat peningkatan tekanan
intrakranial

• Pemeriksaan Fisik

– Tekanan darah 175/90 : tekana darah tinggi meningkatkan


resiko stroke akibat rusaknya pembuluh darah

– Gula darah 556 : meningkatkan resiko terjadinya


atherosklerosis yang menyebabkan trombus yang dapat
menyumbat pembuluh darah

– Respirasi rate : 80x/menit : pernafasan cepat

– Hemipharesis dextra : kerusakan terjadi kontralateral


pada hemisfer cerebri sinistra

Afasia motorik : terjadi kerusaka lobus temporalis bagian broca

• Penegakan Diagnosis
– Diagnosis klinis : kejang pasca stroke, hemipharesis
dextra, afasia motoric, stroke iskemik
– Diagnosis topis : hemisfer cerebri sinistra
– Diagnosis etiologi : vaskular
Diagnosis pathology : infark

18
• Penegakan diagnosis untuk kejang pasca stroke belum dapat dipastikan
berupa epilepsi karena tidak diketahui apakah terdapat kejang
sebelumnya
• Kriteria diagnostik epilepsi :
– Paling sedikit terdapat 2 kali serangan dalam waktu > 24
jam tanpa provokasi
Satu kali bangkitan tanpa provokasi dan kemungkinan terjadi bangkitan
berikutnya hampis sama dengan resiko timbulnya bangkitan setelah 2 kali
bangkitan tanpa provokasi dalam 10 tahun

19
BAB IV
KESIMPULAN

20
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto chris, Liwang frans, Hanifati Sonia, Pradipta eka adip. Kapita
selekta kedokteran Essentials f medicines. Ed IV jilid 2 . 2016 .
Jakarta : penerbit FK UI.
2. Ropper A.H. samuels MA, Klein JP, Adams and Victors principles of
th
neuorology . 10 Ed. Pennylvania USA. Mcgrawltill education.2014
3. Aninditha tiara, Wiratman Winnugroho. Buku ajar neurologi .2017.
Jakarta : Penerbit kedokteran Indonesia.

21

Anda mungkin juga menyukai