Anda di halaman 1dari 22

Makalah Kelompok VI

GADAI (RAHN) DAN TITIPAN (WADIAH)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Fiqh Muamalat
Dosen Pengampu: M. Khori Ridlwan, MHI.

Disusun Oleh :

FITRI NURUL AZIZAH


1804120766

ADI TEGUH SAPUTRA


1804120778

LESTIA RAHMAH AGUSTIN


1804120750

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. dan atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Gadai dan Titipan” dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana.
Pada kesempatan kali ini izinkan penulis untuk menyampaikan rasa
terimakasihkepada bapak “M. Khori Ridlwan, MHI.” selaku dosen pengampu
matakuliah “Fiqh Muamalat” dan semua pihak yang membantu kami dalam
penyelesaian makalah ini. Harapan kami dengan adanya makalah ini bisa menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua.
Penulis mengakui makalah ini masih memiliki banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh karena itu, penulis harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan saran serta masukan dari para pembaca
demi tersusunnya makalah yang lebih baik lagi.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini, penulis berharap
semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Aamiin Yaa Robbal A’lamin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Palangka Raya, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
D. Metode Penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Pengertian Rahn ................................................................................. 3


B. Sifat Rahn ........................................................................................... 4
C. Rukun dan Syarat Rahn ...................................................................... 5
D. Dasar Hukum Rahn ............................................................................ 7
E. Manfaat Rahn ..................................................................................... 8
F. Pengertian Wadiah ............................................................................. 9
G. Rukun dan Syarat Wadiah................................................................ 10
H. Dasar Hukum Wadiah ...................................................................... 11
I. Hukum Menerima Barang Titipan ................................................... 12
J. Rusak dan Hilangnya Benda Titipan................................................ 14

BAB III PENUTUP .................................................................................... 16

A. Kesimpulan ...................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam mengenal kata “muamalah” yang artinya hubungan
manusia dalam interaksi sosial yang dilakukan sesuai syari’at. Dalam
hubungan dengan manusia lainnya, manusia dibatasi oleh syari’at, yang
terdiri atas hak dan kewajiban. Dalam arti luas muamalah adalah aturan untuk
manusia yang berasal dari Allah guna manusia berinteraksi antar sesama.
Dalam arti khususnya, yaitu aturan dari Allah kepada manusia lain untuk
mengembangkan harta benda.
Muamalah merupakan hukum-hukum Allah yang mengatur tentang
hubungan, tindakan, dan pergaulan antar manusia. Dalam agama Islam,
hukum muamalah ada yang berhubungan dengan jihad, hukum keluarga,
hukum perdata, ataupun hukum pidana. Namun, seiring berjalannya waktu
tujuan muamalah sering tidak sepenuhnya terlaksana. Banyak masalah-
masalah yang terjadi karena proses dari muamalah ini, diantaranya ada pihak
yang dirugikan, karena tidak paham bagaimana aturan dalam muamalah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu adanya pembelajaran serta
pemahaman mengenai hal tersebut. Sehingga, dapat terhindar dari terjadinya
penyimpangan tersebut. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas
mengenai transaksi muamalah mengenai rahn (gadai) dan wadiah (titipan).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari rahn?
2. Apa sifat dari rahn?
3. Apa saja syarat dan rukun rahn?
4. Apa dasar hukum rahn?
5. Apa manfaat rahn?
6. Apa pengertian dari wadiah?
7. Apa saja syarat dan rukun wadiah?

1
8. Apa dasar hukum wadiah?
9. Bagaimana hukum menerima barang titipan?
10. Bagaimana jika barang titipan rusak dan hilang?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian rahn.
2. Untuk mengatahui sifat rahn.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun rahn.
4. Untuk mengetahui dasar hukum rahn.
5. Untuk mengetahui manfaat rahn.
6. Untuk mengetahui pengertian wadiah.
7. Untuk mengetahui syarat dan rukun wadiah.
8. Untuk mengetahui dasar hukum wadiah.
9. Untuk mengetahui hukum menerima barang titipan.
10. Untuk mengetahui hal yang dilakukan saat barang titipan rusak dan
hilang.
D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
dengan mencari ke perpustakaan (library research) sebagai referensi yang
ada kaitannya atau hubungannya dengan pembuatan makalah ini dan
disimpulkan dalam bentuk makalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn
Pengertian rahn menurut bahasa adalah ats-tsubut atau ad-dawam,
artinya tetap, kekal, dan menggadaikan. Ada pula yang mengartikan makna
rahn adalah terkurung atau terjerat.
Adapun secara istilah ada beberapa pengertian rahn, yaitu:
1. Pengertian rahn menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah:
“Menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan untuk mengambil
manfaat darinya.”
2. Pengertian rahn menurut Sayyid Sabiq, adalah:
“Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai
jaminan atas hutang selama masih ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.”
3. Pengertian rahn menurut Taqiyuddin, adalah:
“Menjadikan harta sebagai jaminan.”1
Jadi, bisa diambil kesimpulan bahwa rahn atau gadai merupakan suatu
kegiatan untuk menjadikan harta atau benda berharga yang kita miliki sebagai
jaminan yang memiliki manfaat.
Rahn atau yang dikenal dengan gadai. Gadai lebih dikenal dengan
istilah jaminan atau pinjaman. Menurut istilah ulama fikih, sebagai berikut:
1. Menurut istilah Hanafiyah rahn adalah menjadikan barang sebagai
jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai pembayaran
piutang, baik seluruhnya atau sebagiannya.2
2. Menurut ulama Malikiyah rahn adalah harta pemilik yang dijadikan
sebagai jaminan utang yang memiliki sifat mengikat. Menurut mereka,
yang dijadikan jaminan bukan hanya barang yang bersifat materi, bisa
juga barang yang bersifat manfaat tertentu. Barang yang dijadikan
jaminan tidak harus diserahkan secara tunai, tetapi boleh juga

Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011. Hlm. 91-92
1
2
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2017. Hlm.
160

3
penyerahannya secara aturan hukum, sebuah contoh ada sebidang tanah
kosong sebagai jaminan, maka yang dijadikan jaminan adalah sertifikat
hak atas tanah tersebut.
3. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah rahn adalah menjadikan barang
pemilik sebagai jaminan utang, yang bisa dijadikan sebagai pembayar
utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi utangnya.
Pengertian rahn yang dikemukakan ulama Syafi’iyah ini memberi
pengertian bahwa barang yang bisa dijadikan jaminan utang hanyalah
harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang
dikemukakan ulama Malikiyah.3
Jadi, bisa diambil kesimpulan bahwa rahn menurut ulama fikih, yaitu
menjadikan barang sebagai jaminan utang dan bisa dijadikan pembayaran
utang jika tidak bisa melunasi utangnya. Menurut ulama Malikiyah,jaminan
tidak hanya berupa barang yang sifatnya materi, namun bisa juga barang yang
memiliki manfaat. Akan tetapi, ulama Syafi’iyah berbeda pendapat mengenai
hal ini, menurutnya barang yang bisa dijadikan jaminan utang hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat.
B. Sifat Rahn
Secara umum kata rahn digolongkan sebagai perjanjian yang
bersyarat ataupun pemberian, sebab apa yang telah diberikan oleh penggadai
kepada penerima gadai tidak dapat diganti dengan sesuatu. Barang yang telah
diserahkan pihak penggadai kepada penerima gadai bukanlah penukaran atas
barang yang telah digadaikan, akan tetapi sebagai utang.4
Rahn juga termasuk dalam perjanjian yang bersifat ainiyah, yakni
perjanjian yang tidak cukup hanya dengan keikhlasan pelaku tetapi juga harus
dilakukan secara sempurna setelah menyerahkan barang yang dijadikan akad,
seperti hibah. Semua itu termasuk dalam aqad tabarru yang merupakan akad
didasarkan pada keinginan untuk menolong. Akad tabarru tidak dapat

3
Ibid.,Hlm. 160-161
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001. Hlm. 159
4

4
dikatakan dilakukan secara sempurna, apabila barang yang bersangkutan
tidak dilakukan pemegangan atas barang tersebut.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang telah diberikan penggadai
kepada penerima gadai tidak dapat diganti. Barang yang telah diserahkan
bukan penukaran atas barang gadaian, akan tetapi sebagai utang. Dan rahn
bersifat ainiyah yang artinya perjanjian tidak cukup hanya melalui keikhlasan
si penggadai akan tetapi, harus dilakukan secara sempurna, maksudnya adalah
memiliki suatu tujuan, semisal melalui pada akad keinginan untuk menolong.
C. Rukun dan Syarat Rahn
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya terdiri dari
ijab dan qabul.6 Sedangkan, menurut para ulama, rukun rahn atau gadai itu
ada empat:
1) Sighat yaitu lafal penyerahan dan penerimaan,
2) Rahin yaitu yang menggadaikan dan murtahin yang menerima gadai,
3) Marhun yaitu barang yang dijadikan jaminan,
4) Marhun bih yaitu utang.7
Terdapat beberapa syarat dalam melakukan rahn, yaitu:
1) Sighat, menurut ulama Hanafiyah rahn tidak boleh dikaitkan dengan
syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa mendatang karena perjanjian
rahn sama dengan perjanjian jual beli. Jika perjanjian tersebut diikuti
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa mendatang, maka
syaratnya tidak sah/batal, sedang perjanjiannya tetap sah. Contohnya,
orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah
habis dan utang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu bulan,
atau pemberi utang mensyaratkan barang jaminan itu boleh ia
manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan
bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran

5
Ibid., Hlm. 160
6
Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011. Hlm. 94
7
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2017. Hlm.
161

5
perjanjian, maka syarat tersebut dibolehkan, tetapi apabila syarat tersebut
bertentangan dengan perjanjian rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat
dalam contoh tentang perpanjangan rahn satu bulan dan jaminan boleh
dimanfaatkan, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan perjanjian yang
sedang berlaku, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang
dibolehkan itu sebuah contoh, untuk syahnya rahn itu pihak pemberi
utang minta agar perjanjian itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedang
syarat yang batal, sebuah contoh, disyaratkan bahwa jaminan itu tidak
boleh dijual apabila masih dalam waktu jatuh tempo, dan orang yang
berutang tidak mampu membayarnya.8
2) Rahin dan murtahin, syarat orang yang berakad harus cakap bertindak
hukum, kecakapan bertindak hukum menurut ulama adalah orang yang
sudah baligh dan berakal. Sedang menurut ulama Hanafiyah, kedua belah
pihak tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal sehat. Oleh sebab itu,
menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz dalam artian bisa
membedakan, boleh melakukan perjanjian rahn, dengan syarat perjanjian
rahn yang dilaksanakan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat
persetujuan dari walinya.
3) Marhun, barang yang dijadikan jaminan menurut ulama fikih disyaratkan,
sebagai berikut:
a. Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya sesuai dengan besar
utangnya, tetapi dengan syarat sudah melewati jatuh tempo yang telah
disetujui dalam perjanjian,
b. Barang jaminan itu harus memiliki nilai dan manfaat, boleh
dimanfaatkan dengan persetujuan orang yang menggadaikan. Oleh
karena itu, barang yang tidak ada manfaat, dan membahayakan bagi
kehidupan, serta tidak bertentangan dengan Islam,
c. Barang jaminan harus jelas dan tertentu,
d. Barang jaminan adalah milik sah orang yang menggadaikan,9

8
Ibid., Hlm. 161-162
9
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001. Hlm. 162

6
e. Barang jaminan itu bukan milik orang lain (masih dalam sengketa),
f. Barang jaminan boleh diserahkan baik bendanya maupun surat
kepemilikannya.
4) Marhun bih, jumlah utang yang ditanggung oleh orang yang utang
disyaratkan:
a. Berkewajiban mengembalikan sejumlah uang atau pun barang yang
menjadi tanggungannya,
b. Utang boleh dibayar dengan barang jaminan,
c. Utang itu jumlah dan barangnya harus jelas.10
Jadi, dapat diambil kesimpulan syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam rukun tersebut adalah sighat yaitu lafal penyerahan dan penerimaan,
rahin yaitu yang menggadaikan dan murtahin yang menerima gadai, marhun
yaitu barang yang dijadikan jaminan,marhun bih yaitu utang
D. Dasar Hukum Rahn
Akad rahn ini telah mendapatkan kebolehan dari al-Qur’an, sunnah
dan juga ‘ijma. Adapun landasan dari al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat
dalam surah al-Baqarah ayat 283:
َ ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َِجدُوا َكاتِبًا فَ ِرهَان َم ْقبُو‬
...‫ضة‬ َ ‫علَ ٰى‬
َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis (hutang) maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Sedangkan, landasan dari hadits Rasulullah saw. diterangkan bahwa
suatu hari beliau pernah membeli makanan tidak secara kontan dari seorang
Yahudi dengan menukar baju besinya sebagai jaminan sebagaimana dalam
riwayat al-Bukhari:
...‫سله َم ِم ْن َي ُهودِي َط َعا ًما َو َر َهنَهُ د ِْرعًا ِم ْن َحدِيد‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
‫سو ُل ه‬
ُ ‫َر‬
“Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
menggadaikan baju besi kepadanya.”11

10
Ibid., Hlm. 163
Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011. Hlm. 92-93
11

7
Lalu, dari ‘Ijma, para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh dan
tidak terdengar ada seseorang yang menyalahinya.12
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa diatas merupakan beberapa
contoh dasar hukum rahn berdasarkan yang terdapat pada al-Qur’an, yang
mana, ketika sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai
batas waktu tertentu, dan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu
harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Lalu, di dukung pula
dengan hadits al-Bukhari mengenai Rasulullah yang membeli makanan
dengan menggadaikan baju besinya, juga para ‘ijma yang telah sepakat bahwa
menggadaikan sesuatu diperbolehkan.
E. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip gadai (rahn)
sebagai berikut:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu aset atau barang jaminan (marhun) yang
dipegang oleh bank.
c. Jika gadai (rahn) diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang
tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di
daerah-daerah.
Sedangkan, manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya
konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan
aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan penahanan barang bergerak
sebagai jaminan pembayaran, nasabah juga harus membayar biaya asuransi
yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa manfaat yang dapat diambil
oleh bank dari rahn, yaitu agar bisa menjaga jika nasabah melakukan
kelalaian terhadap pembiayaan dari bank, memberi keamanan pada penabung

12
Siti Nur Fatoni, Pengantar Ilmu Ekonomi, Bandung: Pustaka Setia, 2014. Hlm. 238

8
dan pemegang deposito agar dananya tidak hilang ketika nasabah ingkar janji,
dan rahn pun dapat membantu orang-orang yang kesulitan dana. Manfaat
yang di dapat dari bank langsung adalah biaya nyata yang dibayarkan nasabah
agar aset tersebut dapat dijaga dan mendapat keamanan.
F. Pengertian Wadiah
Wadiah dalam artian sehari-hari disebut juga dengan penitipan barang,
menurut bahasa wadiah atau titipan berarti menempatkan sesuatu barang yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Menurut istilah
terdapat dua pengertian wadiah menurut ahli fikih, yaitu:13
1. Menurut ulama Hanafiyah, wadiyah atau titipan adalah mengikutsertakan
orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan jelas, melalui
tindakan, maupun melalui isyarat. Sebuah contoh, seseorang berkata
kepada orang lain “Malik menitipkan laptop kepada Ihsan”, kemudian
Ihsan menjawab “ya saya terima”, maka terpenuhilah akad (perjanjian)
wadiah, atau contoh lainnya seperti, Halim menitipkan bukunya kepada
Heli, kemudian Helim selaku orang yang dititipi diam saja atau tidak
menjawab itu artinya setuju.
2. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Wadiah adalah
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu juga.14
Jadi, dapat diambil kesimpulan dari pengertian wadiah menurut ahli
fikih ini, yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah memiliki
pengertian yang sama yaitu menjaga barang titipan milik orang lain dengan
cara tertentu. Sedangkan, menurut ulama Hanafiyah adalah mengajak orang
lain menjaga barang titipan, bisa melalui ungkapan, tindakan maupun melalui
isyarat. Bahkan, jika orang yang dititipi itu diam saja itu berarti setuju untuk
menjaganya.

13
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2017. Hlm.
169-180
14
Ibid., Hlm. 180

9
G. Rukun dan Syarat Wadiah
Dalam pelaksanaan sehari-hari wadiah (titipan) harus memenuhi
rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Menurut ulama Hanafiyah rukun
wadiah (titipan) hanya satu, yaitu ijab yaitu ucapan penitipan barang dari
pemilik, seperti “saya titipkan tas dan buku ini kepada” saya terima, dan
qabul yaitu ucapan menerima titipan oleh yang dititipi, seperti “ya saya
terima titipan tas dan buku saudara”, sedangkan yang lainnya syarat dan tidak
termasuk rukun.
Menurut Hanafiyah, dalam sighat ijab dianggap sah apabila ijab
(penyerahan) tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas atau dengan
perkataan sindiran. Hal ini juga berlaku untuk qabul (menerima), disyaratkan
bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan sama-sama mukallaf
(orang yang bisa dibebani). Tidak sah apabila yang menitipkan dan yang
menerima barang titipan itu orang gila atau anak yang belum dewasa (anak
kecil).15
Menurut para ulama fikih bahwa rukun wadiah atau titipan ada tiga,
yaitu:
a. Orang yang berakad. Menurut pendapat ulama Hanafiyah bahwa yang
menjadi syarat bagi kedua orang yang berakad adalah harus berakal.
Apabila anak kecil yang telah berakal dan diizinkan oleh walinya untuk
melakukan transaksi wadiah atau titipan, maka hukumnya sah, mereka
tidak mensyaratkan baligh dalam persoalan wadiah. Akan tetapi, anak
kecil yang belum berakal, atau orang yang tidak cakap bertindak seperti
orang gila, tidak sah melakukan wadiah ini.
Adapun menurut para ulama, pihak-pihak yang melakukan wadiah
disyaratkan telah baligh, berakal, dan cerdas, karena akad wadiah
merupakan akad yang banyak mengandung risiko penipuan. Oleh sebab
itu, anak kecil sekalipun berakal tidak dibenarkan melakukan akan
wadiah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai

15
Ismail Nawawi,Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia,
2012. Hlm. 205

10
orang yang menerima titipan barang. Di samping itu, para ulama juga
mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal
dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, tidak sah untuk melakukan akad
wadiah (titipan).
b. Barang yang dititipkan. Syarat barang yang dititipkan itu harus jelas dan
diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara.
Apabila seseorang menitipkan ikan yang ada di laut, tambak, atau sungai,
sekalipun ditentukan jenis, jumlah, dan identitasnya, hukumnya tidak
sah, karena ikan itu tidak dapat dikuasai oleh orang yang dititipi.
Menurut ulama fikih, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap
penting karena terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang
mungkin akan timbul atau barang itu hilang selama dalam penitipan.
Apabila barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi,
kemudian hilang dan rusak, maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban di pengadilan.
c. Sighat ijab dan qabul, disyaratkan dimengerti oleh kedua orang tua yang
berakad, baik dengan jelas maupun sindiran.16
Jadi, dapat diambil kesimpulan pelaksanaan wadiah dalam kehidupan
sehari hari memiliki syarat dan rukun tertentu. Rukun wadiah hanya ada satu,
sedangkan yang lainnya merupakan syarat wadiah. Suatu sighat ijab dianggap
telah sah apabila dalam penyerahan barang tersebut jelas, baik dalam
perkataan ataupun dengan sindiran. Beberapa ulama fikih berpendapat bahwa
rukun wadiah terbagi menjadi tiga, yaitu adanya orang yang berakad,
terdapatnya barang yang dititipkan, dan terjadinya sighat ijab dan qabul.
H. Dasar Hukum Wadiah
Adapun dalil dibolehkannya melakukan transaksi wadi’ah adalah ayat
dan Hadits sebagai berikut:
Firman Allah Swt. surah An-Nisa’ ayat 58:
...‫ت ا ِٰلى أ َ ْه ِل َهاا‬
ِ ‫إِنه هللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا اْأل َ َمانَا‬

16
Ibid., Hlm. 205-206

11
“Sungguh Allah memerintahkanmu untuk menyampaikan amanat
kepada orang yang berhak menerimanya”
Hadits riwayat Abu Dawud, yang berbunyi:
َ‫ا َ ِد ْاْلَ َمانَةَ ا ِٰلى َم ِن ائْت َ َمنَكَ َو َْل ت َ ُخ ْن َم ْن َخانَك‬
“Laksanakanlan amanat dari orang yang memberi amanat tersebut
kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang telah meng-
khianatimu”
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa transaksi wadiah itu
diperbolehkan yang mana dasar hukumnya telah terdapat dalam al-Qur’an
dan Hadits.
I. Hukum Menerima Barang Titipan
Adapun hukum menerima barang titipan dari orang yang menitipkan
kepadanya adalah sebagai berikut:
1. Wajib, jika memenuhi dua syarat berikut :
a. Apabila tidak didapatkan orang lain yang bersifat jujur dan dapat
dipercaya selain dirinya dalam jarak masafah a’dwa (yaitu jarak 84
kilo dari tempat dia berada).
b. Apabila pemilik barang merasa takut kehilangan hartanya jika barang
itu tetap ada pada dirinya.17
2. Sunnah, apabila dia bukan satu satunya yang bersifat jujur dan dapat
dipercaya oleh orang yang akan menitipkan barang itu, akan tetapi dia
juga menemukan orang lain yang jujur dan dapat di percaya selain dia,
maka sunnah hukumnya jika dia mengambil barang titipan tersebut
karena dengan begitu dia telah membantunya, dengan syarat dia harus
yakin dengan kejujuran serta amanahnya dalam menjaga barang tersebut
baik pada waktu itu atau di masa mendatang.

17
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2017. Hlm.
182-186

12
3. Mubah, apabila orang yang menerima titipan itu tidak yakin dapat
menjaga kejujuran serta amanah dirinya dalam menjaga barang yang
dititipkan kepadanya dan si pemilik mengetahui akan hal itu.
4. Makruh, apabila orang yang menerima barang titipan tersebut tidak yakin
dapat menjaga amanah dirinya dalam menjaga barang yang dititipkan
kepadanya di kemudian hari, sedangkan si pemilik barang titipan tidak
mengetahui akan hal itu, adapun jika pemiliknya mengetahui dengan
ketidakyakinan dirinya akan kejujurannya di masa mendatang maka
hukum menerimanya adalah mubah sebagaimana diketahui sebelumnya.
5. Haram, apabila orang yang menerima titipan tersebut yakin bahwa
dirinya akan mengkhianatinya terkait dengan barang titipannya tersebut
pada saat menerima barang titipan tersebut, sedangkan pemiliknya tidak
tahu akan hal itu, maka haram atasnya menerima barang titipan tersebut,
begitu pula jika dia tidak mampu menjaganya karena dalam dua hal
tersebut akan menyebabkan barang titipan tersebut hilang atau rusak.18
Dan apabila dia sudah bersedia dan menerima barang titipan tersebut,
maka wajib baginya untuk menyimpannya di tempat yang semestinya
sebagaimana umumnya orang meletakkan barang yang semacam itu, dan
antara satu benda dengan benda lainnya berbeda tempat penyimpanannya
tergantung kepada barang titipan serta kekuatan pemerintahan di tempat dia
berada, misalnya barang titipannya berupa uang maka harus disimpan dalam
lemari atau mobil, maka dalam garasi atau dalam pagar rumah, atau makanan
maka dalam kulkas dan lain-lain, dan jika di tempat yang kuat keamanannya
seperti di Negara Saudi maka meletakkan mobil depan rumah atau dipinggir
jalanpun sudah termasuk telah meletakkan pada tempat semestinya karena di
sana aman.
Sedangkan jika tidak meletakkanya di tempat yang semestinya
sebagaimana yang telah diterangkan di atas maka jika hilang atau rusak dia
harus menggantinya.
18
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005. Hlm 183-
184

13
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum menerima barang titipan
memiliki 5 hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Namun,
apabila barang titipan tersebut telah diterimanya, ia harus menyimpan barang
titipan itu ditempat yang aman dan cocok. Jika meletakkan barang titipan di
sembarang tempat, lalu barang tersebut hilang maka yang menjaganya harus
menggantinya.
J. Rusak dan Hilangnya Benda Titipan
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan
telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus
disertai dengan sumpah supaya perkataan itu kuat kedudukannya menurut
hukum, namun Ibnu Al-munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas
sudah dapat menerima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya
sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda
titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara
hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri maka orang yang menerima
benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat ini didasarkan pada
atsar bahwa Umar r.a. pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik r.a
ketika barang titipanya yang ada pada Anas r.a dinyatakan hilang, sedangkan
harta Anas r.a sendiri masih ada.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda
titipan orang lain dan benda tersebut tidak dapat ditemukan, maka ini
merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli
warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisanya sendiri yang berisi pengakuan
benda titipan maka surat tersebut dijadikan pegangan karena tulisan dianggap
sama dengan perkataan apabila tulisan itu ditulis oleh dirinya sendiri.19
Bila seseorang menerima benda titipan, sudah sangat lama waktunya,
sehinggga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda titipan
tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar tetapi tidak

19
Ismail Nawawi,Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia,
2012. Hlm. 207

14
diperoleh keterangan yang jelas, maka benda titipan tersebut dapat digunakan
untuk kepentingan agama Islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling
penting diantara masalah-masalah yang penting.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan jika orang yang menerima benda titipan
tersebut rusak tanpa disengaja, maka ia harus bersumpah dengan ucapannya.
Lalu, jika si penerima barang mengaku bahwa barang titipan telah dicuri akan
tetapi harta yang dikelolanya masih ada, maka ia wajib menggantinya. Dan,
jika orang yang menerima barang titipan telah meinggal dunia, sedangkan
barang tersebut telah hilang, maka ahli waris yang harus menggantinya.
Kemudian, jika orang yang menitipkan barangnya sudah sangat lama dan si
penerima benda titipan telah mencari orang yang telah menitipkan barang tapi
orang tersebut tetap ditemukan, maka barang tersebut dapat digunakan untuk
kepentingan agama Islam.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rahn berasal dari bahasa arab yang memiliki arti tetap dan
menggadaikan. Rahn atau gadai merupakan interaksi antara dua orang atau
lebih yang ingin menggadaikan suatu barang, yang memiliki manfaat untuk
dijadikan jaminan dalam melakukan peminjaman. Para ulama fikih
berpendapat bahwa gadai merupakan menjadikan barang yang dimiliki
seseorang sebagai jaminan utang yang akan dijadikan sebagai alat pengikat
untuk melunasi hutangnya.
Rahn memiliki sifat bersyarat, yaitu dalam melakukan pinjaman
terdapat syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan rahn, yaitu
terdapatnya barang yang dijadikan sebagai alat penguat pinjaman. Tidak
cukup hanya dengan niat untuk saling tolong-menolong dapat dikatakan
sebagai rahn.
Pelaksanaan rahn harus memenuhi syarat dan rukun tertentu. Menurut
para ulama, rukun dalam pelaksanaan rahn terbagi menjadi empat, yaitu
sighat, rahin, marhun dan marhun bih. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat
mengenai rukun rahn, para ulama menyebutkan bahwa rukun rahn hanya ada
dua, yaitu ibab dan qabul. Ketika hendak melakukan rahn terdapat syarat
yang harus dipenuhi, yaitu terdapatnya sighat, rahin dan murtahin, marhun,
dan marhun bih.
Dasar hukum terjadinya rahn adalah mubah, berdasarkan surah al-
Baqarah ayat 283 dan hadist Nabi Rasulullah Saw. Suatu hari pernah
Rasulullah membeli makanan secara tidak langsung kepada seorang Yahudi
dengan menggadaikan baju besi miliknya. Berdasarkan hadist ini para ulama
berpendapat bahwa hukum terjadinya rahn adalah mubah atau boleh.
Pelaksanaan rahn memiliki beberapa manfaat, yaitu menjaga
keamanan bagi nasabah karena dikhawatirkan akan terjadinya kelalaian
dalam penggunaan fasilitas yang diberikan oleh bank, terdapatnya sebagian

16
nasabah yang memerlukan uang tunai secara cepat sehingga rahn akan sangat
membantu karena proses pencairan dana yang relatif singkat.
Wadiah dikenal juga sebagai penitipan barang. Para ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah menjelaskan bahwa wadiah merupakan
mewakilkan orang tertentu dengan cara tertentu juga. Hal ini berbeda
pendapat dengan ulama Hanafiyah yang menjelaskan bahwa wadiah adalah
melibatkan orang lain atau orang ke tiga dalam memelihara harta yang akan
dititipkan baik melalui tindakan, ucapan maupun isyarat.
Pelaksanaan wadiah dalam kehidupan sehari-hari harus memenuhi
syarat dan rukun tertentu. Menurut ulama Hanafiyah rukun terjadinya wadiah
hanya satu, yaitu terdapatnya ijab dan qabul antara kedua belah pihak. Sighat
dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan atau sindiran
yang jelas, tidak samar-samar. Terjadinya wadiah tidak lepas dari syarat
tertentu, yaitu terdapatnya orang yang akan melakukan akad, terdapatnya
barang yang akan dititipkan, dan adanya ijab dan qabul antara kedua belah
pihak.
Dasar hukum wadiah pada dasarnya adah mubah atau boleh.
Berdasarkan hadist Rasulullah Saw. yang menjelaskan bahwa laksanakanlah
amanah orang yang telah memberimu amanah tersebut, janganlah sekali-kali
kamu mengkhianatinya. Berdasarkan hadist ini para ulama berpendapat
bahwa hukum terjadinya wadiah adalah mubah.
Penerimaan hukum dalam menerima menitipkan barang berbeda-beda
tergantung situasi yang dialami. Hukumnya akan menjadi wajib apabila tidak
terdapat orang yang lain yang jujur dan pemilik merasa takut kehilangan.
Hukumnya akan menjadi sunah apabila di kawasan tersebut terdapat
beberapa orang yang jujur. Hukumnya akan menjadi mubah apabila orang
yang akan menerima barang merasa tidak mampu untuk menjaga barang yang
akan dititipkan. Hukumnya menjadi makruh apabila orang yang menerima
merasa khawatir akan tidak dapat berlaku amanah terhadap barang yang
dititipkan. Hukumnya menjadi haram apabila telah diniatkan sejak awal akan
mengkhianati.

17
Pelaksanaan wadiahi terkadang tidak lepas akan terjadinya hal yang
tidak diinginkan, seperti barang yang dititipkan hilang ataupun rusak. Apabila
barang yang dititipkan tersebut rusak tanpa unsur kesengajaan maka harus
disertai sumpah agar dapat dibuktikan kebenarannya. Jika barang tersebut
rusak maka akan wajib untuk menggantinya. Namun, tergantung bagaimana
kerusakan yang dialami. Apabila kerusakan yang dialami tidak terlalu
nampak maka boleh menanyakan apakah harus mengganti barang tersebut
atau tidak.
B. Saran
Demikian itulah yang dapat disampaikan oleh penulis pada makalah
ini. Tentunya masih banyak yang harus ditambahkan agar semakin
mengetahui tentang gadai dan titipan. Penulis menyarankan agar pembahasan
ini akan berlanjut, karena mengingat perlunya pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai pembahasan ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al Hadi, Abu Azam, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: Rajawali Pers, 2017.
Fatoni, Siti Nur, Pengantar Ilmu Ekonomi, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Huda, Qomarul, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.
Suhendi, Hendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

19

Anda mungkin juga menyukai