Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

DISFAGIA

Pembimbing :
Kol (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL
Letkol CKM dr. Moh Andi F, Sp.THT-KL

Disusun oleh:

Fitri Rahmadani
110 2012 090

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN


RS TK II MOH RIDWAN MEURAKSA
PERIODE 2 SEPTEMBER – 5 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
BAB I
PENDAHULUAN

Disfagia berasal dari kata Yunani yang berarti gangguan makan. Disfagia biasanya
mengacu pada kesulitan dalam makan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan.
Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko aspirasi
pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah
etiologi telah dikaitkan dengan disfagia pada populasi dengan kondisi neurologis dan non-
neurologic.
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses menelan pada
fase oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik dengan
teliti sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaan leher, mulut, orofaring, dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan.
Pemeriksaan endoskopi serat optik pada proses menelan mungkin diperlukan. Gangguan
menelan mulut dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan
pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan jarang diindikasikan untuk pasien dengan
gangguan menelan. Pada pasien dengan gangguan berat, makanan sulit melewati rongga mulut
dan faring secara keseluruhan dan pemberian nutrisi enteral mungkin diperlukan. Pilihan
meliputi gastrostomy endoskopi perkutan dan kateterisasi intermiten oroesophageal. Disfagia
telah dilaporkan dalam beberapa jenis gangguan, dan dapat digolongkan sebagai neurologis dan
non neurologis. Gangguan menelan neurologis ditemui lebih sering pada unit rehabilitasi medis
dari pada spesialisasi kedokteran lainnya.
Pemeriksaan endoskopi serat optik pada proses menelan mungkin diperlukan. Gangguan
menelan mulut dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan
pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan jarang diindikasikan untuk pasien dengan
gangguan menelan. Pada pasien dengan gangguan berat, makanan sulit melewati rongga mulut
dan faring secara keseluruhan dan pemberian nutrisi enteral mungkin diperlukan. Pilihan
meliputi gastrostomy endoskopi perkutan dan kateterisasi intermiten oroesophageal.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
1. Anatomi Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan superior tulang hyoid
inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal dan pangkal lidah, dan perbatasan
posterior dibentuk oleh otot-otot konstriktor superior dan media dan mukosa faring.2
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran masuk orofaringeal, yang
menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal terbuat dari lipatan palatoglossal lateral, tepat di
anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal dari
palatum mole itu sendiri dan mukosa diatasnya. 2
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah, meneruskan perbatasan
anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang antara pangkal lidah dan epiglotis,
membentuk perbatasan inferior dari orofaring. Ini biasanya setara dengan tulang hyoid. 2
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina di fosa anterior
yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh lipatan palatopharyngeal. Tonsil
adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam respon imun lokal untuk patogen oral. 2
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot konstriktor faring
superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya yang saling tumpang tindih. Saraf
glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus memasuki faring pada perbatasan antara
konstriktor superior dan tengah. Faring terdiri atas2 :

Gambar 1. Anatomi Faring2

3
2. Anatomi Hipofaring
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang hyoid dan sfingter
esofagus atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan otot krikofaringeus di bagian inferior. 2
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring, yang meliputi epiglotis dan
kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan arytenoid. Permukaan posterior dari kartilago
arytenoid dan pelat posterior kartilago krikoid merupakan perbatasan anteroinferior dari
hipofaring. Lateral kartilago arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis, yang
dibatasi oleh tulang rawan lateral tiroid. 2
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan inferior dan selaput lendir
diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago krikoid, otot cricopharyngeus membentuk
UES. Otot ini kontraksi tonik selama istirahat dan relaksasi saat menelan untuk memungkinkan
bolus makanan masuk ke esofagus. 2

3. Anatomi Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring dengan lambung. Esophagus
berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi oleh jaringan merah muda yang lembab disebut
mukosa. Esophagus berjalan di belakang trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang.
Tepat sebelum memasuki lambung, esofagus melewati diafragma. 3

Gambar 2. Anatomi Esofagus3


Diunduh dari http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus.

4
Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di bagian atas esofagus. Otot-
otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter), digunakan ketika bernapas, makan,
bersendawa, dan muntah. 3
Sfingter esophagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES) adalah sekumpulan otot
pada akhir bawah dari esofagus, yang mana berbatasan langsung dengan gaster. Ketika LES
ditutup, dapat mencegah asam dan isi gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak
berada di bawah kontrol volunter. 3

4. Vaskularisasi Faring dan Esofagus


A. Faring
Pasokan arteri ke faring berasal dari 4 cabang dari arteri karotis eksternal. Kontribusi utama
adalah dari arteri faring asenden, yang berasal dari arteri karotis eksternal yang tepat berada
diatas bifurkasio (percabangan) karotis dan melewati posterior selubung karotis, memberikan
cabang ke faring dan tonsil. 2
Cabang arteri palatina memasuki faring tepat diatas dari muskulus konstriktor faring superior.
Arteri fasialis juga bercabang menjadi arteri palatina asenden dan arteri tonsilaris, yang
membantu pasokan untuk muskulus konstriktor faring superior dan palatum. Arteri maksilaris
bercabang menjadi arteri palatina mayor dan cabang pterygoideus, dan arteri lingualis dorsalis
berasal dari arteri lingual memberi sedikit kontribusi. 2
Darah mengalir dari faring melalui pleksus submukosa interna dan pleksus faring eksterna yang
terkandung dalam fasia buccopharyngeal terluar. Pleksus mengalir ke vena jugularis interna dan,
sesekali, vena fasialis anterior. Hubungan yang luas terjadi antara vena yang terdapat di
tenggorokan dan vena-vena pada lidah, esofagus, dan laring. 2
B. Esofagus
Esofagus mendapat perdarahan dari arteri secara segmental. Cabang-cabang dari arteri tiroid
inferior memberikan pasokan darah ke sfingter esofagus atas dan esofagus servikal. Kedua arteri
aorta esofagus atau cabang-cabang terminal dari arteri bronkial memperdarahi esofagus bagian
toraks. Arteri gaster sinistra dan cabang dari arteri frenikus sinistra memperdarahi sfingter
esophagus bagian bawah dan segmen yang paling distal dari esofagus. Arteri yang memperdarahi
akhir esofagus dalam jaringan sangat luas dan padat di submukosa tersebut. Suplai darah
berlebihan dan jaringan pembuluh darah yang berpotensi membentuk anastomosis dapat
menjelaskan kelangkaan dari infark esofagus. 4
Vaskularisasi vena juga mengalir secara segmental. Dari pleksus vena submukosa yang padat
darah mengalir ke vena cava superior. Vena esofagus proksimal dan distal mengalir ke dalam

5
sistem azygos. Kolateral dari vena gaster sinistra, cabang dari vena portal, menerima drainase
vena dari mid-esofagus. Hubungan submukosa antara sistem portal dan sistem vena sistemik di
distal esofagus membentuk varises esofagus pada hipertensi portal. Varises submukosa ini yang
merupakan sumber perdarahan GI utama dalam kondisi seperti sirosis. 4

5. Persarafan Faring dan Esofagus


A. Faring
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan dibentuk oleh cabang
dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX), nervus vagus (saraf kranial X), dan serat
simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf
glossopharingeus, semua otot-otot faring dipersarafi oleh nervus vagus.2
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang nervus vagus, kecuali
untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari cabang eksternal dari nervus laringeus
superior, juga dari cabang nervus vagus.2
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan glossopharingeus untuk persarafan
sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring, menerima baik sensasi rasa dan sensasi
somatik dari nervus glossopharingeus. Otot krikofaringeus (UES) menerima persarafan
parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan persarafan simpatis untuk kontraksi dari
serabut post ganglionik dari ganglion servikalis superior.2
B. Esofagus
Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus. Esophagus menerima persarafan
parasimpatis dari nucleus ambiguus dan inti motorik dorsal nervus vagus dan memberikan
persarafan motor ke mantel otot esofagus dan persarafan secretomotor ke kelenjar. Persarafan
simpatis berasal dari servikal dan rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan
pembuluh darah, kontraksi sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas
kelenjar dan peristaltik.4
Pleksus Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal dan melingkar dari
tunika muskularis myenteric bekerja mengatur kontraksi lapisan otot luar. Pleksus Meissner,
yaitu ganglia yang terletak dalam submukosa bekerja mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik
dari mukosa muskularis.4

6. Aliran Limfatik Faring dan Esofagus


A. Faring

6
Aliran limfatik faring mengalir ke KGB servikalis profunda (deep cervical lymph node)
sepanjang selubung karotis. Aliran limfatik pada hipofaring juga dapat mengalir ke KGB
paratrakeal. Pembuluh limfatik laring mengalir ke kelenjar servikalis profunda, nodus
pretracheal, dan nodus prelaryngeal.2
B. Esofagus
Limfatik dari sepertiga proksimal esofagus mengalir ke kelenjar getah bening servikal profunda,
dan kemudian menjadi duktus toraksikus. Limfatik dari sepertiga tengah esofagus mengalir ke
nodus mediastinum superior dan posterior. Limfatik sepertiga distal esofagus mengikuti arteri
gaster kiri ke kelenjar getah bening gaster dan celiac.4
Ada interkoneksi yang cukup besar antara ketiga wilayah drainase terutama karena asal
embryologic ganda jalur limfatik dari branchiogenic dan mesenkim tubuh. Aliran getah bening
dua arah di daerah ini bertanggung jawab untuk penyebaran keganasan dari esofagus bawah ke
kerongkongan bagian atas.4

2.2 FISIOLOGI
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut5:
1) Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik

2) Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan

3) Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi

4) Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring

5) Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke
arah lambung

6) Usaha untuk membersihkan kembali esofagus.

Proses menelan di mulut, faring, laring dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara
berkesinambungan. Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu5:
1. Fase oral

Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur
akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah,
terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.5
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring (passavant’s

7
ridengane) akan terangkat pula. Bolus terdorong keposterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglossus yang menyebabkan ismus faucium
tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik
ke rongga mulut.5

2. Fase Faringeal

Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirotiroid dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup
epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan
plika vokalis tertutup karena m.ariepiglotika dan m.arietenoid obligus. Bersamaan dengan
ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat
pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya
bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah
dalam keadaan lurus.5

3. Fase Esofagal

Fase esofagal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung.
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus
makanan pada fase akhir faringeal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus
esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan
lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada
waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks
dapat dihindari.5
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi
m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan
didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan istirahat sfingter
esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 milimeter Hg lebih dari
tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.5
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya
peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah
bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.5

8
2.3 DEFINISI
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan padat atau cair dari
mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit menelan atau makanan terasa tidak
turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan dengan odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia
dapat disebabkan oleh gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal
dan fase esofageal.5

9
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung,
terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia fase
esofageal, pasien mampu menelan tetapi terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau
tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama
terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada
makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural.
Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan
neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses
keganasan.5

2.4 ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi5 :
1. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.
Penyebab : sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing, peradangan mukosa
esofagus, striktur lumen esofagus, penekanan esofagus dari luar (pembesaran kelenjar timus,
kelenjar tiroid, kelenjar getah bening dimediastinum, pembesaran jantung dan elongasi
aorta), dan letak a.subklavia yang abnormal (disfagia Lusoria).5
2. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang berperan dalam proses
menelan ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ).
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan skleroderma
esofagus.5
3. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal sebagai globus
histerikus.5

Berdasarkan fase letaknya6 :


1. Fase orofaringeal
kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan
oleh fungsi abnormal dari proksimal ke kerongkongan. Pasien mengeluh kesulitan memulai
menelan, regurgitasi nasal, dan aspirasi trakea diikuti oleh batuk.6

2. Fase esofageal
kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas
baik atau obstruksi mekanis.6

10
2.5 TANDA DAN GEJALA
1. Disfagia Oral atau faringeal7
- Batuk atau tersedak saat menelan
- Kesulitan pada saat mulai menelan
- Makanan lengket di kerongkongan
- Sialorrhea
- Penurunan berat badan
- Perubahan pola makan
- Pneumonia berulang
- Perubahan suara (wet voice)
- Regurgitasi Nasal
2. Disfagia Esophageal7
- Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada
- Regurgitasi Oral atau faringeal
- Perubahan pola makan
- Pneumonia rekuren

Keluhan lain : mual, muntah, rasa panas di dada, hematemesis, melena, odinofagia ( rasa nyeri
saat menelan ), hipersalivasi.7

 Kesulitan dalam membersihkan faring posterior, sering disertai dengan regurgitasi nasal dan
aspirasi pulmoner, hampir selalu berkaitan dengan kelainan neuromuskular orofaring. Pada
kasus-kasus demikian, makanan padat dan cair keduanya dapat mencetuskan gejala-gejala.7
 Disfagia untuk makanan padat dan cair pada penderita yang dapat membersihkan faring
posterior mengarah pada kelainan esofagus seperti spasme esofagus difus, akalasia atau
skleroderma. Disfagi khas bersifat intermiten dan tidak progresif.7
 Disfagi yang progresif lambat, pada awalnya terbatas untuk makanan padat, pada penderita
dengan riwayat refluks gastro-esofagus sebelumnya, mengarah pada striktur peptik.7
 Disfagi yang cepat progresif, terutama pada penderita tua, khas untuk lesi obstruktif ganas.7
 Nyeri dada disertai dengan disfagi mempunyai nilai diagnostik terbatas dan terjadi baik pada
spasme esofagus maupun pada tiap lesi obstruktif.7

11
2.6 PATOGENESIS
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang berperan dalam
proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Keberhasilan
mekanisme menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu5:
a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltik esofagus
d. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular mulai dari
susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan
esktrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot esofagus bekerja dengan baik, sehingga
aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan
aktivitas komponen orofaring, otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena
otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor
n.vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi
sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat peregangan langsung dinding esofagus.5

2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesa yang cermat untuk menentukan
diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya disfagia. Jenis makanan yang
menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik
mula-mula kesulitan menelan hanya terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan
tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan air dan pada sumbatan lebih lanjut, cairan pun
akan sulit ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, maka harus
dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus. Sebaliknya pada disfagia motorik,
yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus esofagus, keluhan sulit menelan makanan padat dan
cairan terjadi dalam waktu yang bersamaan.5
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat disebabkan oleh peradangan.
Disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan penurunan berat badan yang dapat dicurigai
adanya keganasan di esofagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun-tahun untuk makanan

12
padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang bersifat jinak atau di esofagus bagian distal (lower
esophageal muscular ring).5
Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan esofagus bagian
torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, makan kelainannya dapat di faring, atau esofagus
bagian servikal. Gejala lain yang menyertai disfagia, seperti masuknya cairan ke dalam hidung
waktu minum menandakan adanya kelumpuhan otot-otot faring.5
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya massa tumor atau
pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan esofagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti,
apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat
mengganggu proses menelan. Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus
faring yang disebabkan oleh gangguan di pusat menelan maupun pada saraf otak N.V, N.VII,
N.IX, N.X dan N.XII. Pembesaran jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri dan
pembesaran kelenjar limfa mediastinum, dapat menyebabkan keluhan disfagia.5
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan penunjang, foto polos esofagus dan yang memakai zat kontras, dapat
membantu menegakkan diagnosis kelainan esofagus. Pemeriksaan ini tidak invasif. Dengan
pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan dinding esofagus, adanya gangguan peristaltik,
penekanan lumen esofagus dari luar, isi lumen esofagus dan kadang-kadang kelainan mukosa
esofagus. Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma stadium dini. Akhir-akhir
ini pemeriksaan radiologi esofagus lebih maju lagi. Untuk memperlihatkan adanya gangguan
motilitas esofagus dibuat cine-film atau video tapenya. Tomogram dan CT scan dapat
mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan disekitarnya. MRI (magnetic resonance imaging)
dapat membantu melihat kelainan di otak yang menyebabkan disfagia motorik.5
4.Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen esofagus dan
keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang kaku (rigid esophagoscope) atau yang
lentur (flexible fiberoptic esophagoscope). Karena pemeriksaan ini berisfat invasif, maka perlu
persiapan yang baik. Dapat dilakukan dengan analgesia (lokal atau anastesia umum). Untuk
menghindari komplikasi yang mungkin timbul perlu diperhatikan indikasi dan kontraindikasi
tindakan. Persiapan pasien, operator peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan. Risiko
dari tindakan, seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsi harus dipertimbangkan.5
5.Pemeriksaan manometrik

13
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik esofagus. Dengan
mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter esofagus dapat dinilai gerakan
peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif.5
6. Videofluoroskopi Swallow Assessment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah pemeriksaan
yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini
menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring dan esofagus
bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus kecil dengan berbagai
konsistensi yang dicampur dengan barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan
dengan memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan
beberapa manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optimal dalam proses
menelan.5
7. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optik
lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat
dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan. Tahap pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap5:
1) Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assessment) untuk menilai
fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui kelainan fase oral.
2) Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi makanan, dinilai
kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa yang paling aman untuk pasien,
3) Pemeriksaan terapi dengan mengapplikasikan berbagai manuver dan posisi kepala
untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan menelan.
Pemeriksaan FEES dapat menilai 5 proses fisiologi dasar, yaitu5:
1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan terjadinya
aspirasi.
2. Spillage (preswallowing leakage) : masuknya makanan ke dalam hipofaring sebelum
refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi aspirasi.
3. Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus piriformis kanan dan
kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan tersebut akan mudah
masuk ke jalan napas pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
4. Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati pita suara.
Sehingga menyebabkan mudah masuknya makanan ke jalan napas saat inhalasi.
5. Aspirasi : masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang sangat berperan
dalam terjadi komplikasi paru.

14
2.8 PENATALAKSANAAN
Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia. Pertama dokter dan
speech-language pathologists yang menguji dan menangani gangguan menelan menggunakan
berbagai pengujian yang memungkinkan untuk melihat bergagai fungsi menelan. salah satu
pengujian disebut dengan, laryngoscopy serat optik, yang memungkinkan dokter untuk melihat
kedalam tenggorokan. Pemeriksaan lain, termasuk video fluoroscopy, yang mengambil video
rekaman pasien dalam menelan dan ultrasound, yang menghasikan gambaran organ dalam tubuh,
dapat secara bebas nyeri memperlihakab tahapan-tahapan dalam menelan.8
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat diberikan. Jika
dengan mengobati penyebab dysphagia tidak membantu, dokter mungkin akan mengirim pasien
kepada ahli patologi hologist yang terlatih dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan
menelan.8
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot facial atau untuk
meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat melibatkan pelatihan menelan dengan
cara khusus. Sebagai contoh, beberapa orang harus makan denan posisi kepala menengok ke
salah satu sisi atau melihat lurus ke depan. Meniapkan makanan sedemikian rupa atau
menghindari makanan tertentu dapat menolong orang lain. Sebagai contoh, mereka yang tidak
dapat menelan minuman mungkin memerlukan pengental khusus untukminumannya. Orang lain
mungkin garus menghindari makanan atau minuman yang panan ataupun dingin.8
Untuk beberapa orang untuk mengkonsumsi makanan dan minuman lewat mulut sudah
tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Biasanya ini memerlukan suatu sistem pemberian makanan, seperti suatu selang makanan
(nasogastric tube/NGT), yang memotong bagian menelan yang tidak mampu bekerja normal.8
Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal pada dewasa.
Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah digambarkan. Pendekatan langsung
biasanya melibatkan makanan, pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.8

Modifikasi diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia. Suatu diet makanan
yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi
mereka yang memiliki retensi faringeal untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan
sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi-padat sampai konsistensi
normal.8

15
Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat menyebabkan malnutrisi.
Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan nutrisi. Bahan-bahan
pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika
asupan nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan pemberian parenteral.8

Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi pasien sangat
penting dan cairan intravena diberikan jika terdapat dehidrasi8

Pembedahan
- Pembedahan gastrostomy
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan laparotomy dengan
anestesi umum ataupun lokal.9
- Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan unutk mengurangi
tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan mengincisi komponen otot utama
dari PES. Injeksi botulinum toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari
CPM.9

16
BAB III
KESIMPULAN

Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan yang disadarinya dalam mengalirkan makanan


padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita mengeluh sulit menelan atau makanan
terasa tidak turun ke lambung. Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung
dari fase menelan yang dipengaruhinya ataupun faktor lain yang mengakibatkan kesulitan untuk
menelan makanan. Penderita harus segera mendapat pertolongan agar nutrisi yang dipelukan
tubuh tetap terpenuhi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Dysphagia. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/324096-


overview#showall. Pada tanggal 16 september 2019, pukul 19.45 WIB

2. Throat anatomy. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1899345-


overview#showall. Pada tanggal 16 september 2019, pukul 20.30 WIB

3. Digestive Disorders Health Center: Human Anatomy. Diunduh dari


http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus. Pada tanggal 16
september 2019, pukul 19.00 WIB
4. Esophagus - anatomy and development. Diunduh dari
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo6.html. Pada tanggal 16 september
2019, pukul 20.00 WIB
5. Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Edisi 7. 2012. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
6. Dysphagia.
http://www.merckmanuals.com/professional/sec02/ch012/ch012b.html#v891324. Pada
tanggal 16 september 2019, pukul 19.50 WIB

7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid I. 2009. Interna Publishing: Jakarta
8. Mary Courtney Moore. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi Edisi II.
9. Hayes C. Peter, dkk. Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi. 1988. Binarupa
Aksara : Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai