Anda di halaman 1dari 26

“PERDARAHAN PASCA PERSALINAN”

Disusun Oleh:

Muhammad Afif Akbar

2015730089

KEPANITERAAN KLINIK STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR ......................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI.....................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I .................................................................................................................................. ii
PENDAHULUAN ............................................................................................................. ii
BAB II ................................................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 1
A. PERDARAHAN POST PARTUM ...................................................................... 1
2.1 Definisi ............................................................................................................... 1
2.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 1
2.3 Klasifikasi .......................................................................................................... 2
2.4 Faktor Resiko .................................................................................................... 2
2.5 Etiologi ............................................................................................................... 3
2.6 Diagnosis ............................................................................................................ 8
2.7 Tatalaksana ..................................................................................................... 11
2.8 Pencegahan ...................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

I
BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan dan melahirkan menimbulkan resiko kesehatan yang besar.


Sekitar 40% ibu hamil mengalami kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan
15% dari semua ibu hamil menderita komplikasi atau kondisi yang mengancam
jiwa. Penyebab klasik kematian ibu antara lain infeksi, preeklamsi dan perdarahan.
Diberbagai negara, seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh
perdarahan. Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya, 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian
besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.1 Perdarahan
pascapersalinan (PPP) adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah
bayi lahir.2
Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga
sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan pascapersalinan
terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum sudah memburuk,
akibatnya mortalitas tinggi.3 Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia adalah
650 ribu tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% disebabkan oleh karena perdarahan
pascapersalinan.1

ii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERDARAHAN POST PARTUM

2.1 Definisi
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau
lebih setelah bayi lahir. Definisi lain menyebutkan perdarahan pascapersalinan
adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah
plasenta lahir).
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang
dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks
sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak,
kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan
lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan
postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai.4

2.2 Epidemiologi
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya
dengan kehamilan, persalinan dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan.
Perdarahan pascapersalinan masih merupakan penyebab terbanyak kematian
maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap tahunnya. Secara
global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 200 mencapai 529
ribu yang tersebar di Asia 47,8%, Afrika 47,4%, Amerika latin dan Caribbean 4%
dan kurang dari 1% di negara maju. Di kawasan Asean, Indonesia menempati
urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran
hidup, jauh diatas negara Asean yang lain.13 Perdarahan pascapersalinan yang dapat
menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68
- 73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82 - 88% dalam dua minggu setelah
bayi lahir.5

1
Tabel 1. Insiden Global Komplikasi Mayor persalinan

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi klinis perdarahan pascapersalinan, yaitu:2
1. Perdarahan pascapersalinan primer, yaitu perdarahan pascapersalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pascapersalinan
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir, dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pascapersalinan sekunder, yaitu perdarahan pasca persalinan
yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Biasanya disebabkan oleh
infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.

2.4 Faktor Resiko


Riwayat perdarahan pascapersalinan pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga segala
upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa
faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan postpartum adalah:2
1. Regangan rahim berlebih karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau
anak terlalu besar
2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
3. Kehamilan grande-multipara

2
4. Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemia, atau menderita penyakit
menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis)

2.5 Etiologi
2,7,8
Penyebab perdarahan pascapersalinan dapat dibedakan menjadi:
 Perdarahan dari tempat impantasi plasenta
 Perdarahan karena laserasi/robekan
 Gangguan koagulasi (jarang)

1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta


a. Hipotoni sampai atoni uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi uterus
sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek, dan tidak
mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah dari tempat implantasi
plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Akibat dari atonia uteri ini adalah
terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari
pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas
sebagian atau lepas keseluruhan.6
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan
perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai
anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-
kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot
seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh
darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan
menyebabkan terjadinya pendarahan pascapersalinan. Beberapa hal yang
dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi:2
1. Akibat anestesi
2. Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidroamnion)

3
3. Partus lama, partus kasep
4. Partus presipitarus/partus terlalu cepat
5. Persalinan karena induksi oksitosin
6. Multiparitas
7. Korioamnionitis
8. Pernah atoni sebelumnya
b. Sisa plasenta
 Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
 Plasenta susenturiata
 Plasenta akreta,inkreta, perkreta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah
anak lahir disebut retensio plasenta. Retensio plasenta bisa disebabkan
oleh karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta
sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Plasenta belum lepas dari
dinding uterus karena plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus.2
o Plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch Layer
o Plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium
o Plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium

Gambar 1. Adhesi abnormal plasenta

Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25% dari


kasus perdarahan pascapersalinan. Faktor predisposisi terjadinya

4
plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah
kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta
masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan PPP primer atau sekunder.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi
plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam, sampai akhirnya tahap
ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan plasenta manual, meskipun kala III belum lewat setengah
jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala III berlangsung tidak lancar,
atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya
kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan
plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai
dengan keperluannya.
2. Trauma/laserasi
Sekitar 20% kasus perdarahan pascapersalinan disebabkan oleh trauma
jalan lahir.
a. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi. Faktor resiko yang bisa
menyebabkan ruptur uterus antara lain grande-multipara,
malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oxcytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan
parut sectio secarea sebelumnya.
b. Laserasi/ robekan jalan lahir

5
Laserasi dapat mengenai perineum, serviks, vagina, atau vulva
dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun
persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan
vakum atau forcep. Darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat
menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam
dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat
menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau
vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan
dan perbaikan episitomi.6,9
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perineum
totalis (sfringter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks
uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat
ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya
robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta.2
c. Inversi uterus
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan
perdarahan adalah terjadinya inversi uteri. Inversi uteri adalah
keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar
lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampat
komplit. Inversi uteri dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar
dari ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.
Faktor-faktor yang memungkinkan inversi uteri terjadi adalah
adanya atoni uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya

6
kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta
akreta, inkreta, perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras ke bawah)
atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (perasat crede) atau
tekanan intrabdominal yang keras dan tiba-tiba (karena batuk atau
bersin).2,7
Tanda-tanda pada inversi uteri
1. syok karena kesakitan
2. perdarahan yang bergumpal
3. divulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa
plasenta yang masih melekat
Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi
bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil
akan membuat uterus mengalamai iskemia, nekrosis dan infeksi
3. Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa:2,6,7
a. Trombofilia
b. Idiopathic trombocytopenic purpura (ITP)
c. HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count)
d. Solusio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
g. Disseminated Intravaskuler Coagulation
h. Dilutional coagulopathy, bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari
8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen
fibrin dan trombosit sudah rusak

Perdarahan pascapersalinan sekunder dapat disebabkan oleh infeksi


uterus, sisa plasenta, abnormalitas involusi uterus, atau oleh penyebab primer
di atas tetapi terlambat diidentifikasi. Tidak jarang perdarahan postpartum
sekunder bersifat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan ditangani segera.

7
2.6 Diagnosis

Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan pascapersalinan antara


lain :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah (hematokrit)
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum

Tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sebanyak definisi (>500 cc pada


persalinan pervaginam atau >1000 cc pada persalinan perabdominal) untuk
memulai penanganan perdarahan postpartum sebab menghentikan perdarahan lebih
dini akan memberikan prognosis lebih baik. Selain itu, perdarahan postpartum
bukanlah diagnosis melainkan sebuah kondisi yang harus dicari penyebabnya,
misalnya karena atonia uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta, gangguan koagulasi,
atau penyebab lain.6

8
Tabel 2. Diagnosis Perdarahan Postpartum14
Gejala dan tanda yang selalu Gejala dan Diagnosis
ada tanda penyerta

 Uterus tidak berkontraksi dan  Syok Atonia uteri


lembek
 Perdarahan segera setelah anak
lahir

 Uterus berkontraksi baik  Pucat Robekan jalan lahir
 Plasenta lahir lengkap  Lemah
 Perdarahan segera  Menggigil
Darah segar mengalir dan
pulsatif

 Perdarahan segera (pervaginam  Syok Ruptur uteri


atau intraabdominal)  Nyeri tekan
 Nyeri perut hebat perut
  Takikardi
 Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat Retensio plasenta
menit putus
 Uterus berkontraksi baik  Inversi uteri
 Perdarahan segera  Perdarahan
 lanjutan
 Plasenta atau sebagian selaput Uterus Sisa plasenta
lahir tidak lengkap berkontraksi
 Perdarahan segera tetapi tinggi
fundus tidak
berkurang
 Uterus tidak teraba  Syok Inversi uteri
 Lumen vagina terisi massa neurogenik
 Nyeri sedikit atau berat  Pucat
 Perdarahan segera
 Tampak tali pusat (jika
plasenta belum lahir)

 Sub-involusi uterus  Anemia Perdarahan terlambat
 Nyeri tekan perut bawah  Demam Endometritis/sisa plasenta
 Perdarahan > 24 jam setelah
persalinan; perdarahan
bervariasi (ringan atau berat,
terus menerus atau tidak
teratur)

9
 dan berbau (jika disertai
infeksi)

Perdarahan pascapersalinan dapat berupa perdarahan yang hebat sehingga


dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa
perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga
akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan
darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok.
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok.6
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta
lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan
lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar
jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk
mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.
Pada laserasi jalan lahir, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
melakukan inspeksi vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk
mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif
sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan
macet dan kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia
uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal.
Perdarahan akibat gangguan koagulasi baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai riwayat hal yang sama pada persalinan
sebelumnya, tendensi perdarahan pada bekas jahitan, bekas suntikan, atau timbul
hematoma. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil faal hemostasis
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation
Product). Predisposisi terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam rahim, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis.6 Berikut langkah-
7
langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan pascapersalinan.

10
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan uteri
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises
yang pecah.

2.7 Tatalaksana
Secara umumnya, bila terdapat perdarahan yang abnormal, apalagi telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah < 90 mmHg, atau nadi > 100x per
menit), maka penanganan harus segera dilakukan, demikian halnya pada
perdarahan postpartum. Komponen yang harus dilakukan secara simultan yaitu,
komunikasi, resusitasi, monitoring dan investigasi, dan menghentikan penyebab
perdarahan. Komunikasi bermakna meminta bantuan, memobilisasi seluruh tenaga
yang ada dan mempersiapkan fasilitas tindakan gawat darurat. Komunikasi dengan
pasien dan keluarganya juga penting seputar kondisi pasien dan tindakan yang akan
dilakukan.6
Tabel 3. Penanganan Umum Perdarahan Pascapersalinan

11
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan pascapersalinan
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin..

Terapi pada pasien dengan perdarahan pascapersalinan mempunyai 2 bagian


pokok:
1. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Resusitasi dilakukan dengan pendekatan ABC. Jalan napas (airway)
dipastikan bebas dan pernapasan (breathing) dengan. Akses sirkulasi
(circulation)
a) Oksigen konsentrasi tinggi (10-15 liter per menit) via
facemask
b) Pemberian cairan : berikan normal salin atau ringer laktat
c) Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed
red cell
d) Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin
dalam 1 jam 30 cc atau lebih)

2. Manajemen penyebab perdarahan postpartum


Tentukan penyebab perdarahan postpartum :
a. Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu
tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk
mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina.
Ketika diagnosis atonia uteri ditegakkan segera posisikan pasien
posisi Trendelenbrug, pasang oksigen dan akses vena, lakukan
perangsangan kontraksi uterus; memasase fundus uteri dan merangsang
puting susu, lakukan kompresi bimanual interna dan pastikan vesika
urinaria dalam keadaan kosong. Satu tangan pada dinding perut
menahan bagian posterior uterus, tangan yang lain pada korpus anterior
dari vagina, keduanya ditekan untuk mengkompresi uterus. Jika uterus

12
berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika tidak, teruskan
kompresi bimanual interna hingga 5 menit.

Gambar 2. Kompresi bimanual interna

Jika kompresi bimanual interna tidak berhasil, minta bantuan orang


lain melakukan kompresi bimanual eksterna sambil melakukan tahap
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya jika penolong hanya seorang
diri. Kompresi bimanual eksterna dilakukan dengan meletakkan satu
tangan pada dinding perut, sedapat mungkin meraba bagian belakang
uterus, tangan yang lain terkepal pada bagian depan korpus uteri,
kemudian jepit uterus di antara kedua tangan tersebut.7

Gambar 3. Kompresi bimanual eksterna

Kemudian pemberian uterotonika berupa injeksi metilergometrin


0,2 mg intramuskular dan pemberian drips oksitosin 20 IU dalam 500
cc larutan Ringer Laktat. Kepustakaan lain menganjurkan pemberian

13
misoprostol sebagai alternatif, dosisnya bervariasi dari 800 hingga 1000
mcg, diberikan per oral atau per rectal.7 Bila atonia tidak teratasi rujuk
segera ke rumah sakit sambil meneruskan pemberian cairan intravena
dan kompresi aorta abdominalis hingga ibu mencapai tempat tujuan.12

Gambar 4. Kompresi aorta abdominalis

Beberapa kepustakaan menganjurkan tamponade uterus misalnya


dengan balon untuk mengurangi bahkan menghentikan perdarahan.
Berbagai tipe kateter berbalon dapat digunakan misalnya kateter Foley,
Rusch, SOS Bakri, Sengstaken-Blakemore, atau menggunakan kondom
dan handscoen steril. Tampon kasa uterovaginal tidak dianjurkan
lagi.6,8,12

Gambar 5. A. Tampon balon hanscoen B. Tampon SOS Bakri


Di rumah sakit rujukan, ketika perdarahan masih terus berlangsung
maka segera dimulai tindakan operatif, mulai dari ligasi arteri uterina,

14
ligasi arteri ovarika, suturing hemostatis, hingga histerektomi bila
perlu.7,10

Gambar 6. Ligasi arteri uterine


Suturing hemostatik, salah satunya metode B-Lynch, terbukti efektif
mengontrol perdarahan pada atonia uteri dan mengurangi angka
histerektomi. Prinsip metode ini adalah kompresi uterus difus. Metode
B-Lynch mengkompresi uterus pada bagian anterior dan posterior
dengan dua jahitan jelujur vertikal menggunakan benang kromik.7

Gambar 7. B-Lynch suturing

Metode definitif menghentikan perdarahan postpartum adalah


histerektomi. Histerektomi merupakan langkah terakhir ketika berbagai
metode gagal. Histerektomi tanpa terapi bedah alternatif terlebih dahulu
mungkin saja dilakukan dengan mempertimbangkan keselamatan ibu.10
b. Retensio atau sisa plasenta

15
Kontraksi uterus yang efektif akan terjadi ketika plasenta mengalami
ekspulsi komplit termasuk tanpa bekuan darah di cavum uteri. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Pengeluaran plasenta dilakukan dengan
manual plasenta. Bila sebagian plasenta telah terlepas dan
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak segera antisipasi dengan
manual plasenta.6,9,11

Gambar 8. Manual plasenta

Sisa plasenta dan bekuan darah diduga bila kotiledon dan selaput
ketuban lahir tidak lengkap pada pemeriksaan plasenta, kontraksi baik,
robekan jalan lahir telah dijahit, tetapi masih ada perdarahan dari ostium
uteri eksternum. Sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual, kecuali
pada kondisi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Untuk memastikan
adanya sisa plasenta dapat dilakukan eksplorasi dengan tangan, kuret,
atau ultrasonografi
c. Robekan jalan lahir
Robekan perineum, vagina, hingga serviks umumnya mudah
diidentifikasi dengan inspeksi dan inspekulo. Semua sumber perdarahan
yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan catgut lapis
demi lapis sampai perdarahan berhenti. Umumnya penjahitan dilakukan
dengan anestesi lokal, kecuali bila penderita sangat kesakitan dan tidak
kooperatif, dapat dilakukan konsultasi dengan sejawat anestesi untuk
ketenangan dan keamanan saat hemostasis.6
Ruptur uteri dan robekan jalan lahir yang luas, dalam serta
melibatkan struktur sekitar misalnya rektum dan vesika urinaria,
membutuhkan intervensi bedah.8

16
d. Gangguan koagulasi
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri,
sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang
baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan
darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti seperti
trombosit, fibrinogen
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya
seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau
pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).6

Terapi pembedahan10

1 ) Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertikal ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk
memudahkan mengeksplorasi uterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari
tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya
ruptur.
Pastikan reparasi benar-benar menghentikan perdarahan dan tidak ada
perdarahan dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar
lewat vagina.
Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan
ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan
kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.

2) Ligasi arteri
a) Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang
mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan
kesuburan.
b) Ligasi arteri ovarii

17
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang
diberikan
c) Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus
genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar
pelvis. Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan
berikutnya adalah histerektomi.

3) Histerektomi
Merupakan tindakan kurative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini
walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan
subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila
berasal dari segmen bawah rahim, serviks, fornix vagina.

Tabel 4. Manajemen perdarahan pascapersalinan

18
2.8 Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor
resiko merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan pascapersalinan.
Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi
pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan.
Berbagai hal dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, antara
lain:2
1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan saat bersalin, misalnya
mengatasi anemia, mengatasi penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum

19
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum
maupun intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas
memadai.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamian resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
6. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama
menghadapi perdarahan postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana
mestinya.
Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif kala
tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan. Manajemen aktif
kala tiga mencakup: pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi
lahir, penegangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah
dorsokranial (manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui dinding
abdomen pasca kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan
menghasilkan kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan
mengurangi perdarahan pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif
(fisiologis), termasuk mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka
kematian maternal.
Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat dicegah
dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera
mengevakuasinya secara manual bila ditemukan.6

Gambar 9. Memeriksa kelengkapan plasenta

20
Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari pertolongan persalinan
yang manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir dapat terjadi saat kepala dan
bahu dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Pengendalian kecepatan dan
pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dengan menyokong perineum
dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat
mengurangi regangan berlebihan pada vagina dan perineum. Episiotomi rutin untuk
mencegah robekan berlebihan pada perineum tidak didukung oleh bukti-bukti
ilmiah yang cukup sehingga tidak dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko
robekan derajat tiga atau empat, meningkatkan jumlah darah yang hilang dan resiko
hematom.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sheris J. Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. PATH. Seattle, 2002
2. Wiknjosastro GH , Saifuddin AB , Rachimhadhi T . Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo, ed.4. cet 3. Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo , 2010.
3. Setiawan Y. Perdarahan pasca persalinan. Accessed on January 15th 2016
from: http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt12.html
4. Sarah BH, Poggi MD. Postpartum Hemorrhage & the Abnormal
Puerperium. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology
11th ed. 2007
5. Li XF, Fourtney JA, Kotelchuck M, Glover LH. The postpartum period: The
key to maternal death. Int J Gynaecol Obstet 1996; 54: 1-10
6. Made K. Perdarahan Pascapersalinan. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Ed 4, Jakarta, 2010: 522-9
7. POGI. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.,
Saifudin AB (ed). JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2002: 173-81
8. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth: A guide for
midwives and doctors. Vaginal bleeding after childbirth.p 25-34
9. Still DK., Postpartum Hemorrhage and Other Problems of the Third Stage,
High Risk Pregnacy Management Options, W.B.Saunders Company LTD,
London, 1996. p.1167-71
10. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum.
Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
11. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : Manual
Removal. of Placenta. Accessed on January 15th 2016
from: http://www.who.int/reproductivehealth/impac/Procedures/
12. Saifuddin, Abdul B. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002
13. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan ginekologi Sosial.
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005

22
14. Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Ed 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2002

23

Anda mungkin juga menyukai