Disusun Oleh:
2015730089
I
BAB I
PENDAHULUAN
ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau
lebih setelah bayi lahir. Definisi lain menyebutkan perdarahan pascapersalinan
adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah
plasenta lahir).
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang
dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks
sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak,
kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan
lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan
postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai.4
2.2 Epidemiologi
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya
dengan kehamilan, persalinan dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan.
Perdarahan pascapersalinan masih merupakan penyebab terbanyak kematian
maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap tahunnya. Secara
global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 200 mencapai 529
ribu yang tersebar di Asia 47,8%, Afrika 47,4%, Amerika latin dan Caribbean 4%
dan kurang dari 1% di negara maju. Di kawasan Asean, Indonesia menempati
urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran
hidup, jauh diatas negara Asean yang lain.13 Perdarahan pascapersalinan yang dapat
menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68
- 73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82 - 88% dalam dua minggu setelah
bayi lahir.5
1
Tabel 1. Insiden Global Komplikasi Mayor persalinan
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi klinis perdarahan pascapersalinan, yaitu:2
1. Perdarahan pascapersalinan primer, yaitu perdarahan pascapersalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pascapersalinan
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir, dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pascapersalinan sekunder, yaitu perdarahan pasca persalinan
yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Biasanya disebabkan oleh
infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
2
4. Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemia, atau menderita penyakit
menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
2.5 Etiologi
2,7,8
Penyebab perdarahan pascapersalinan dapat dibedakan menjadi:
Perdarahan dari tempat impantasi plasenta
Perdarahan karena laserasi/robekan
Gangguan koagulasi (jarang)
3
3. Partus lama, partus kasep
4. Partus presipitarus/partus terlalu cepat
5. Persalinan karena induksi oksitosin
6. Multiparitas
7. Korioamnionitis
8. Pernah atoni sebelumnya
b. Sisa plasenta
Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
Plasenta susenturiata
Plasenta akreta,inkreta, perkreta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah
anak lahir disebut retensio plasenta. Retensio plasenta bisa disebabkan
oleh karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta
sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Plasenta belum lepas dari
dinding uterus karena plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus.2
o Plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch Layer
o Plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium
o Plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium
4
plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah
kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta
masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan PPP primer atau sekunder.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi
plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam, sampai akhirnya tahap
ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan plasenta manual, meskipun kala III belum lewat setengah
jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala III berlangsung tidak lancar,
atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya
kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan
plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai
dengan keperluannya.
2. Trauma/laserasi
Sekitar 20% kasus perdarahan pascapersalinan disebabkan oleh trauma
jalan lahir.
a. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi. Faktor resiko yang bisa
menyebabkan ruptur uterus antara lain grande-multipara,
malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oxcytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan
parut sectio secarea sebelumnya.
b. Laserasi/ robekan jalan lahir
5
Laserasi dapat mengenai perineum, serviks, vagina, atau vulva
dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun
persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan
vakum atau forcep. Darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat
menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam
dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat
menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau
vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan
dan perbaikan episitomi.6,9
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perineum
totalis (sfringter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks
uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat
ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya
robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta.2
c. Inversi uterus
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan
perdarahan adalah terjadinya inversi uteri. Inversi uteri adalah
keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar
lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampat
komplit. Inversi uteri dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar
dari ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.
Faktor-faktor yang memungkinkan inversi uteri terjadi adalah
adanya atoni uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya
6
kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta
akreta, inkreta, perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras ke bawah)
atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (perasat crede) atau
tekanan intrabdominal yang keras dan tiba-tiba (karena batuk atau
bersin).2,7
Tanda-tanda pada inversi uteri
1. syok karena kesakitan
2. perdarahan yang bergumpal
3. divulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa
plasenta yang masih melekat
Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi
bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil
akan membuat uterus mengalamai iskemia, nekrosis dan infeksi
3. Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa:2,6,7
a. Trombofilia
b. Idiopathic trombocytopenic purpura (ITP)
c. HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count)
d. Solusio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
g. Disseminated Intravaskuler Coagulation
h. Dilutional coagulopathy, bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari
8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen
fibrin dan trombosit sudah rusak
7
2.6 Diagnosis
8
Tabel 2. Diagnosis Perdarahan Postpartum14
Gejala dan tanda yang selalu Gejala dan Diagnosis
ada tanda penyerta
9
dan berbau (jika disertai
infeksi)
10
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan uteri
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises
yang pecah.
2.7 Tatalaksana
Secara umumnya, bila terdapat perdarahan yang abnormal, apalagi telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah < 90 mmHg, atau nadi > 100x per
menit), maka penanganan harus segera dilakukan, demikian halnya pada
perdarahan postpartum. Komponen yang harus dilakukan secara simultan yaitu,
komunikasi, resusitasi, monitoring dan investigasi, dan menghentikan penyebab
perdarahan. Komunikasi bermakna meminta bantuan, memobilisasi seluruh tenaga
yang ada dan mempersiapkan fasilitas tindakan gawat darurat. Komunikasi dengan
pasien dan keluarganya juga penting seputar kondisi pasien dan tindakan yang akan
dilakukan.6
Tabel 3. Penanganan Umum Perdarahan Pascapersalinan
11
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan pascapersalinan
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin..
12
berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika tidak, teruskan
kompresi bimanual interna hingga 5 menit.
13
misoprostol sebagai alternatif, dosisnya bervariasi dari 800 hingga 1000
mcg, diberikan per oral atau per rectal.7 Bila atonia tidak teratasi rujuk
segera ke rumah sakit sambil meneruskan pemberian cairan intravena
dan kompresi aorta abdominalis hingga ibu mencapai tempat tujuan.12
14
ligasi arteri ovarika, suturing hemostatis, hingga histerektomi bila
perlu.7,10
15
Kontraksi uterus yang efektif akan terjadi ketika plasenta mengalami
ekspulsi komplit termasuk tanpa bekuan darah di cavum uteri. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Pengeluaran plasenta dilakukan dengan
manual plasenta. Bila sebagian plasenta telah terlepas dan
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak segera antisipasi dengan
manual plasenta.6,9,11
Sisa plasenta dan bekuan darah diduga bila kotiledon dan selaput
ketuban lahir tidak lengkap pada pemeriksaan plasenta, kontraksi baik,
robekan jalan lahir telah dijahit, tetapi masih ada perdarahan dari ostium
uteri eksternum. Sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual, kecuali
pada kondisi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Untuk memastikan
adanya sisa plasenta dapat dilakukan eksplorasi dengan tangan, kuret,
atau ultrasonografi
c. Robekan jalan lahir
Robekan perineum, vagina, hingga serviks umumnya mudah
diidentifikasi dengan inspeksi dan inspekulo. Semua sumber perdarahan
yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan catgut lapis
demi lapis sampai perdarahan berhenti. Umumnya penjahitan dilakukan
dengan anestesi lokal, kecuali bila penderita sangat kesakitan dan tidak
kooperatif, dapat dilakukan konsultasi dengan sejawat anestesi untuk
ketenangan dan keamanan saat hemostasis.6
Ruptur uteri dan robekan jalan lahir yang luas, dalam serta
melibatkan struktur sekitar misalnya rektum dan vesika urinaria,
membutuhkan intervensi bedah.8
16
d. Gangguan koagulasi
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri,
sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang
baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan
darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti seperti
trombosit, fibrinogen
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya
seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau
pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).6
Terapi pembedahan10
1 ) Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertikal ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk
memudahkan mengeksplorasi uterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari
tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya
ruptur.
Pastikan reparasi benar-benar menghentikan perdarahan dan tidak ada
perdarahan dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar
lewat vagina.
Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan
ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan
kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.
2) Ligasi arteri
a) Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang
mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan
kesuburan.
b) Ligasi arteri ovarii
17
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang
diberikan
c) Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus
genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar
pelvis. Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan
berikutnya adalah histerektomi.
3) Histerektomi
Merupakan tindakan kurative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini
walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan
subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila
berasal dari segmen bawah rahim, serviks, fornix vagina.
18
2.8 Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor
resiko merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan pascapersalinan.
Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi
pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan.
Berbagai hal dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, antara
lain:2
1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan saat bersalin, misalnya
mengatasi anemia, mengatasi penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum
19
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum
maupun intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas
memadai.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamian resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
6. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama
menghadapi perdarahan postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana
mestinya.
Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif kala
tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan. Manajemen aktif
kala tiga mencakup: pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi
lahir, penegangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah
dorsokranial (manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui dinding
abdomen pasca kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan
menghasilkan kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan
mengurangi perdarahan pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif
(fisiologis), termasuk mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka
kematian maternal.
Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat dicegah
dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera
mengevakuasinya secara manual bila ditemukan.6
20
Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari pertolongan persalinan
yang manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir dapat terjadi saat kepala dan
bahu dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Pengendalian kecepatan dan
pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dengan menyokong perineum
dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat
mengurangi regangan berlebihan pada vagina dan perineum. Episiotomi rutin untuk
mencegah robekan berlebihan pada perineum tidak didukung oleh bukti-bukti
ilmiah yang cukup sehingga tidak dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko
robekan derajat tiga atau empat, meningkatkan jumlah darah yang hilang dan resiko
hematom.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sheris J. Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. PATH. Seattle, 2002
2. Wiknjosastro GH , Saifuddin AB , Rachimhadhi T . Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo, ed.4. cet 3. Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo , 2010.
3. Setiawan Y. Perdarahan pasca persalinan. Accessed on January 15th 2016
from: http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt12.html
4. Sarah BH, Poggi MD. Postpartum Hemorrhage & the Abnormal
Puerperium. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology
11th ed. 2007
5. Li XF, Fourtney JA, Kotelchuck M, Glover LH. The postpartum period: The
key to maternal death. Int J Gynaecol Obstet 1996; 54: 1-10
6. Made K. Perdarahan Pascapersalinan. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Ed 4, Jakarta, 2010: 522-9
7. POGI. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.,
Saifudin AB (ed). JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2002: 173-81
8. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth: A guide for
midwives and doctors. Vaginal bleeding after childbirth.p 25-34
9. Still DK., Postpartum Hemorrhage and Other Problems of the Third Stage,
High Risk Pregnacy Management Options, W.B.Saunders Company LTD,
London, 1996. p.1167-71
10. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum.
Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
11. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : Manual
Removal. of Placenta. Accessed on January 15th 2016
from: http://www.who.int/reproductivehealth/impac/Procedures/
12. Saifuddin, Abdul B. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002
13. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan ginekologi Sosial.
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005
22
14. Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Ed 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2002
23