Anda di halaman 1dari 12

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Lupus Eritematosus Sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum

diketahui (Kasjmir et al., 2012). SLE juga sering diartikan sebagai penyakit

kompleks multisistem autoimun yang seringkali menyebabkan kerusakan

ireversibel dan penurunan kualitas hidup. Manifestasi klinis, perjalanan penyakit

dan prognosis pada penyakit ini beragam sesuai dengan ras atau etnis dan status

ekonomi pasien (Pons-Estel et al., 2018). Penyakit ini terutama menyerang wanita

usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik,

imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi

SLE.

Insiden SLE di seluruh dunia untuk semua kelompok umur adalah 4,43 per

100.000 populasi. Insiden pada pria dan wanita dari semua kelompok umur adalah

1,26 dan 7,69 per 100.000 populasi. Prevalensi SLE 47,99 per 100.000 yang

diamati pada tahun 2000 dan telah meningkat menjadi 90 per 100.000 pada

populasi dunia di tahun 2015. Menurut berbagai sumber, kejadian SLE pada

wanita adalah sekitar enam kali lebih tinggi daripada pada pria (Fatoye, Gebrye

and Svenson, 2018). Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS),

pada tahun 2016 diketahui bahwa teradapat 2.166 pesien rawt inap yang

didiagnosis penyakit lupus, dengan 550 pasien diantaranya meninggal dunia.

Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia (PESLI) mendapatkan rata-rata

insiden kasus baru SLE sebesar 10,5%. Penyakit lupus kebanyakan menyerang

wanita pada usia 15-50 tahun (usia masa produktif), namun lupus juga dapat

menyerang anak-anak dan pria.


Penyebab lupus saat ini belum diketahui tapi beberapa literature

menyampaikan terdapat kelainan faktor genetik, imunitas, hormonal dan

lingkungan. Faktor imunitas yang terlibat dalam patogenesis SLE meliputi

disregulasi imunitas alami, dan imunitas adaptif. Kemajuan dramatis telah dicapai

dalam pemahaman tentang fenotipe sel dan molekul dalam patogenesis SLE. Sel

B limfosit memainkan peran penting dalam respon imunitas adaptif. Sel B terlibat

dalam produksi autoantibodi, presentasi autoantigen dan aktifasi sel T

autoreactive. Selain itu, T limfosit memainkan peran melalui Co-stimulator-yang

mediasi jalur signaling dan sitokin yang disekresikan oleh subset dari sel T. Peran

respons imun alami dalam patogenesis SLE juga telah diperhatikan, terutama

penemuan Toll like Receptor (TLR) pada Plasmacytoid Dendritic Cell (pDC) yang

dapat diaktifkan oleh kompleks kekebalan tubuh, menginduksi produksi IFN-α dan

pembentukan Neutrophil Extracellular Traps (NETs) (Pan et al., 2019). Kelainan

ini berjalan bersamaan dan saling melengkapi.

Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap

terjadinya SLE pada manusia adalah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor

(MHC). Penelitian populasi menunjukan bahwa kepekaan terhadap SLE

melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II.

Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik

yang berbeda, dengan risiko relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5.

Gen HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu seperti anti-

Sm (small nuclear ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nusclear

ribonuclear protein) dan anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya mengkode

komponen komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada kelompok etnik

tertentu. Penderita dengan homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar

belakang etnik, merupakan risiko tinggi perkembangan SLE. Selain itu SLE

berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2. Penurunan


aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap antigen diri sendiri (self

antigen) maupun antigen asing. Beban antigen melebihi kapasitas regulasi dari

sistem imun memungkinkan autoimunitas terjadi.

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE, lupus) adalah penyakit autoimun yang

diperantarai sel B, ditandai oleh autoantibodi terhadap antigen nucleus dan reaksi

hipersensitivitas tipe III yang mengarah ke peradangan sistemik kronis. Penyakit

ini bersifat polygenik dan sangat kompleks, membutuhkan interaksi antara

beberapa faktor imunopatogenik termasuk autoantigen host dan komponen

imunitas selular dan humoral yang berkontribusi terhadap terjadinya hiperinflamasi

yang mengakibatkan kerusakan organ dan jaringan (Gottschalk, Tsantikos and

Hibbs, 2015). Deposisi kompleks autoantibodi-autoantigen yang bersirkulasi dapat

terjadi di berbagai jaringan dan organ tubuh, mengakibatkan respons peradangan

lokal dan kerusakan jaringan yang parah. Organ yang sering terkena dampak

termasuk kulit (Cutaneous Lupus), sistem saraf (SSP Lupus), sendi dan otot

(rheumatoid lupus, rhupus), dan ginjal (Lupus ginjal), yang memberikan kontribusi

yang paling signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas.

Faktor lingkungan juga berpengaruh, faktor lingkungan yang sangat

berpengaruh ialah agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV). Hal ini

menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molekuler (moleculer mimicry) dan

gangguan terhadap regulasi imun. Diet mempengaruhi produksi mediator

inflamasi. Toksin dan obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogensi

dari self antigen dan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat

menyebabkan inflamasi yang akan memicu apoptosis sel dan kerusakan jaringan.

Faktor hormonal berhubungan dengan metabolism esterogen yang

abnormal, dimana peningkatan hidroksila 16 dari esterogen mengakibatkan

peningkatan yang bermakna konsentrasi 16 hidroksiestron. Metabolit 16a lebih


kuat dan merupakan feminizing esterogen. Perempuan dengan SLE juga

mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosterone,

dehidrostestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron

sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi

testoteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi

androgen berkorelasi negative dengan aktivitas penyakit, Konsentrasi

testosterone plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinizing

hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi esterogen

yang berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-

laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon

imun.

Konsenterasi progesterone yang didapatkan lebih rendah pada penderita

SLE dibandingkan dengan kontrol sehat. Menariknya, selain dari hormon estrogen

itu sendiri faktor yang berkaitan dengan kromosom X juga mungkin penting dalam

predisposisi perempuan untuk SLE. Setidaknya tiga varian gen predisposisi yang

terletak pada kromosom X telah diidentifikasi (IRAK1, MECP2, TLR7). Ada juga

bukti untuk efek dosis gen, karena prevalensi XXY (Sindrom Klinefelter) meningkat

14 kali lipat pada pria dengan SLE bila dibandingkan dengan populasi umum pria,

sedangkan XO (sindroma Turner) adalah kurang terwakili pada wanita.

Kemungkinan lain harus diperhitungkan yang dapat menjelaskan predileksi

perempuan dari penyakit ini termasuk X-inaktivasi, demethylation kromosom X, X

atau Y Modulator genetik kromosom, metilasi diferensial DNA dan asetilasi

histones terikat pada DNA, pengaruh intrauterin, perbedaan kronobiologik,

kehamilan, dan menstruasi (Aydin, 2014).

Hormonal adjuvant yang digunakan untuk induksi ovulasi dan fertilisasi in

vitro dapat menyebabkan eksaserbasi pada SLE. Hormon sex steroid, yaitu

estradiol, testosteron, progesteron, dehydroepiandrosterone (DHEA), dan hormon


hipofisis, termasuk prolaktin, memiliki peran imunoregulator oleh karena itu dapat

memodulasi insiden dan keparahan dari SLE. Penggunaan agen kontrasepsi

yang mengandung estrogen dikaitkan dengan peningkatan 50 persen risiko

perkembangan dari SLE.

SLE dapat menyerang semua jaringan pada tubuh. Salah satu yang kurang

menjadi perhatian pada SLE yakni Premature Ovarian Failure (POF) atau sering

disebut menopause dini. Sedangkan jika dilihat dari artinya POF ialah amenore

yang terjadi pada wanita sebelum usia 40 karena kegagalan ovarium, hal ini

disebabkan oleh penyakit spontan, heterogen. Manifestasi utama adalah

amenore, infertilitas dan sindrom perimenopausal karena rendahnya estrogen.

Etiologi dan patogenesis dari POF belum diketahui, dan diyakini bahwa hal ini

terjadi berkaitan dengan kerusakan permanen ovarium. Faktor risikonya termasuk

trauma, radioterapi dan kemoterapi. Studi epidemology menemukan bahwa sekitar

30% dari POF berkaitan dengan kelainan imun. Deteksi dini POF adalah kunci

untuk diagnosis dan pengobatan. Dalam beberapa tahun terakhir, sitokin telah

menjadi minat yang tinggi untuk diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa interleukin-6

(IL-6) dan interleukin-21 (IL-21) memainkan peran penting dalam penyakit terkait

immunitas, hormon anti-müllerian (AMH) adalah penanda serologi untuk menilai

fungsi cadangan ovarium (Sun et., 2018).

Penelitian lain telah menemukan bahwa TCD4+ subset limfosit dan antigen

ovarium mengubah konsentrasi antibodi anti-ovarium, sel imun dan sitokin yang

dirangsang oleh sistem imun, dianggap memiliki hubungan penting dengan

terjadinya POF. Selain itu, telah ditemukan bahwa jumlah limfosit CD8 + T limfosit

meningkat dalam darah perifer pada pasien POF primer. Dalam pengamatan

kepadatan limfosit CD8 pada sel T meningkat secara signifikan, menunjukkan

bahwa POF disebabkan oleh kelainan imun. IL-21 adalah anggota dari sitokin IL-

2 dan IL-21 berikatan dengan reseptor Il-21r untuk menghasilkan efek biologi. IL-
21 memiliki hubungan penting dengan beberapa penyakit autoimun (RA, Crohn

dan SLE), dan berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit (Niu et al., 2010).

Studi ini menemukan bahwa kadar serum IL-21 pada pasien dengan POF secara

signifikan lebih tinggi daripada di kelompok kontrol, menunjukkan bahwa IL-21

dapat dikaitkan dengan mekanisme immunitas POF. Carpenter et al, 2015

mengemukakan bahwa biopsi jaringan ovarium pasien POF menunjukkan infiltrasi

sel inflamasi folikuler matang (limfosit, sel plasma). Peningkatan kadar IL-21 dalam

serum pasien dengan POF dapat dimediasi oleh reseptor sel inflamasi pada

permukaan ovarium, mengaktifkan jalur sinyal [MAPK 18, PI3K/AKt dan

JAK1/JAK3], mengatur immunitas jaringan.

POF merupakan kondisi yang menyebabkan penurunan konsentrasi

estrogen pada wanita berumur <40 tahun. POF dicirikan oleh gangguan

menstruasi, meningkatnya Gonadotropin, dan menurunnya estradiol. Kadar

Folikuler Stimulating Hormon (FSH) digunakan sebagai standar emas dalam

diagnosis POF. Pasien mungkin mengeluh hot flushes dan gejala lain yang terkait

dengan keadaan pascamenopause klasik, seperti gangguan mood, kesulitan

dalam konsentrasi, kelelahan, kognitif atau gangguan seksual, inkontinensia urin,

vulvovaginal atrofi, dan penambahan berat badan (Carpenter et al., 2015).

Diperkirakan bahwa ketidakseimbangan disosiasi hormon dengan POF

mempengaruhi seksual perempuan, fungsi seksual, dan hubungan seksual.

Berkurangan konsentrasi estrogen dan androgen berkontribusi pada

berkurangnya keinginan dan gairah, vagina kering, kesulitan dalam mencapai

orgasme, dan sakit saat berhubungan (Pacello et al., 2013). Hipoestrogenisme

berkontribusi terhadap penurunan respons klitoris, gangguan reaktivitas dinding

vagina, serta penurunan kontraksi vagina . Selain itu, gangguan pelumasan dan

atrofi vagina menyebabkan dyspareunia dan cedera ketika hubungan seksual

(Benetti‐Pinto et al., 2015). Studi kasus kontrol pada 58 wanita POF dilaporkan
penurunan nilai psychological and physical health domains in the World Health

Organisation Quality of Life questionnaire (WHOQOL-100), bila dibandingkan

dengan kontrol sehat. Sebaliknya, tidak ada perbedaan dalam hubungan sosial,

kualitas hidup pada umumnya, kesehatan secara umum, dan lingkungan.

Kelompok pasien POF dilaporkan adanya frekuensi yang lebih tinggi dari perasaan

negatif seperti keputusasaan, kecemasan, dan depresi bila dibandingkan dengan

kontrol (p = 0,015) (Benetti-Pinto, 2011). Demikian pula, dalam studi kasus kontrol

lain mengevaluasi kualitas hidup dan fungsi seksual dari 80 perempuan POF,

secara signifikan mengalami penurun kualitas fisik, psikologis dan kesejahteraan

bila dibandingkan dengan kontrol. Penurunan nilai dari kehidupan seksual pasien

tersebut berimplikasi signifikan pada interaksi sosial. Dari semua parameter

kehidupan seksual yang dinilai, domain psikologis, seperti orgasme dan kepuasan

seksual, yang bertentangan dengan fisik seperti rasa sakit dan lubrikasi, yang

paling berkorelasi dengan kualitas hidup. Female Sexual Functioning Index

(FSFI) juga berkorelasi positif dengan kualitas hidup (Yela, 2018).

Melihat peran esterogen yang sangat dibutuhkan untuk organ reproduksi

pada penderita SLE maka derivate esterogen harus selalu diberikan. Tetapi

derivate murni esterogen belum efektif karena derivate murni esterogen tidak

dapat menurunkan tingkat keparahan dari SLE (Sánchez-Guerrero et al., 2007).

Melihat hal ini maka perlu dilakukan inovasi terkait hormon esterogen sebagai

terapi SLE dan menunda menopause pada penderita SLE. Salah satu bahan alami

yang dapat dimanfaatkan sebagai anti inflamasi dan mengandung homon

esterogen. Bahan alami itu ialah kacang merah (Phaseoulus vulgaris L. sp.).

Kacang merah dapat tumbuh di Indonesia dengan subur, bahkan pemnafaatan

kacang merah masih belum dimanfaatkan secara optimal. Saat ini kacang merah

hanya dimanfaatkan sebagai makanan pendamping saja bukan sebagai bahan


makanan utama. Studi epidemiologi telah menunjukkan hubungan yang kuat

antara konsumsi kacang-kacangan dan pencegahan risiko kanker, serta

pengurangan diabetes dan risiko kardiovaskular melalui normalisasi lipid darah

dan profil glukosa (Ombra et al., 2016). Wedick et al. (2012) menunjukkan bahwa,

di antara flavonoid, intake yang lebih tinggi dari anthocyanin dapat secara

signifikan dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari diabetes tipe 2.

Pengobatan POF saat ini yang telah disetujui ialah dengan Hormonal

Replacement Therapy (Behnoud et al., 2018). Sedangkan sistematik review yang

dilakukan Cochrane melaporkan bahwa Replacemen Therapy sangat berguna

bagi pasien yang mengalami POF akibat kemoterapi (Cocharane., 2015). Tujuan

terapi penggantian hormon (HRT) pada pasien dengan POF adalah untuk

mengembalikan konsentrasi estrogen serum sesuai dengan usia (Machura et al.,

2018). Pada gadis usia prepubertas, substitusi estrogen diperlukan untuk

menginduksi pubertas dan mencapai kepadatan tulang maksimal. Terapi

hormonal mengambil bagian dalam pencegahan penyakit kardiovaskular dan

osteoporosis, dan mengurangi risiko morbiditas jangka panjang. HRT harus

diberikan pada saat diagnosis POF dan terus sampai usia rata-rata menopause

(Webber, Davies and Anderson, 2016). Transdermal estradiol dan oral atau vagina

progesteron merupakan terapi seks paling fisiologis untuk penggantian steroid.

Pandangan pasien dan referensi harus sesuai dengan rute pemberian, dosis, dan

rejimen pengobatan untuk mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi.

Derivat esterogen yang digunakan sebagai hormone replacement terapi

mempunyai beberapa efek samping ketika digunakan terlalu lama. Efek samping

dari penggunaan replacement hormonal terapi ialah memicu terjadinya kanker

payudara, dimana derivate ini akan menurunkan gen BRCA1/2. Tidak hanya

memicu kanker payudara, derivate ini juga dapat memicu kanker endometrium dan

hyperplasia endometrium. Hal ini telah dilakukan metaanalisis oleh Cochrane.


Selain itu derivate esterogen juga berkontribusi terhadap terjadinya stroke dan

thrombosis.

Kacang merah atau Phaseolus vulgaris adalah tanaman herbal taunan

yang berasal dari America utara dan selatan. Di Indonesia kacang merah sangat

mudah ditemui dan telah tersebar luas di Indonesia. Kcang merah merupakan

sumber utama karbohidrat kompleks, serat, protein, dan mineral seperti kalium,

magnesium, dan seng. Kacang-kacangan menarik banyak perhatian yaitu kacang

merah yang mengandung konsentrasi tinggi esterogen dan isoflavon. Isoflavon

yang terkandung termasuk biochanin A dan formonentin. Coumestrol, sebuah

coumestan dengan aktivitas estrogenik tinggi, biasanya ditemukan dalam

beberapa biji polong dan kecambah. Beberapa komponen tanaman lainnya,

termasuk Lignan secoisolariciresinol dan matairesinol, memiliki metabolit

estrogenik (enterodiol dan enterolactone). Isoflavonoid dan flavonoid pada

tanaman dianggap fitoestrogen jika dapat berinteraksi dengan reseptor estrogen

(ER) dan menunjukkan aktivitas estrogenik. Ada dua jenis reseptor estrogen pada

manusia, hER dan hERβ, dengan distribusi jaringan yang berbeda seluruh tubuh

Hewitt and Korach, 2018). Phytoestrogen dapat menunjukkan aktivitas estrogenik

lemah pada urutan 10-2-10-3 dari 17β-estradiol tergantung pada subtipe reseptor,

tetapi mungkin berada dalam plasma pada konsentrasi 100-lipat lebih tinggi dari

estrogen endogen.

Melihat pemanfaatan kacang merah yang kurang optimal di Indonesia dan

derivat esterogen sebagai hormonal therapy belum efisien. Peneliti mencoba

menginovasi kacang merah degan kandungan fitoesterogen dan flavonoid sebagai

agen penunda menoupause pada wanita yang terdiagnosis SLE. Peneliti berharap

dengan kandungan flavonoid yang terkandung pada kacang merah dapat


mengurangi tingkat keparahan dari SLE. Sehingga pemanfaatan kacang merah

dapat lebih berguna lagi.

1.1 Rumusan Masalah

Umum:

Bagaiamana pengaruh kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dalam

menurunkan inflamasi dan menunda premature ovarian failure pada hewan

coba model SLE?

Khusus:

1. Apakah pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dapat

menurunkan kadar TNF  pada tikus model penderita SLE?

2. Apakah pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dapat

meningkatkan kadar INF  pada tikus model penderita SLE?

3. Apakah pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dapat

meningkatkan kadar IL-10 pada penderita SLE?

4. Apakah pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dapat

menurunkan kadar anti FSH di dalam darah?

1.2 Tujuan

Umum:

Mengetahui pengaruh kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp. dalam

menurunkan inflamasi dan menunda Premature Ovarian Failure pada SLE.

Khusus:

1. Mengetahu efek pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp.

dapat menurunkan kadar TNF  pada tikus model penderita SLE

2. Mengetahu efek pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp.

dapat meningkatkan kadar INF  pada tikus model penderita SLE


3. Mengetahu efek pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp.

dapat meningkatkan kadar IL-10 pada penderita SLE

4. Mengetahu efek pemberian kacang merah Phaseoulus vulgaris L. sp.

dapat menurunkan kadar anti FSH di dalam darah

1.3 Manfaat

Dengan selesainya penelitian ini diharapkan mempunyai arti penting

dalam:

1.4.1 Pengembangan ilmu pengetahuan

 Memberikan sumbangan wawasan keilmuan bahwa kacang merah

mengandung fitohormon, khususnya esterogen.

 SLE mempunyai peran terjadinya premature ovarian failure sehingga

diperlukan pencegahan.

 Memberikan sumbangan ilmu bahwa kacang merah dapat menunda

premature ovarian failure pada penderita SLE.

 Memberikan sumbangan ilmu bahwa kacang merah mencegah penderita

SLE kedalam keadaan yang flare.

1.4.2 Manfaat Klinis

 Membuka wawasan patomekanisme terjadinya premature ovarian failure

pada penderita SLE, kepada klinikus dan masyarakat, sehingga dapat

dilakukan upaya pencegahan dan pengobatan dini premature ovarian

failure sehingga dapat menekan angka kejadian premature ovarian failure

pada penderita SLE.

 Membuka wawasan bagi klinikus dan masyarakat bahwa kacang merah

mengandung fitoesterogen dan flavonoid yang dapat mencegah terjadinya

premature ovarian failure dan menjaga penderita SLE tidak jatuh pada

keadaan yang flare.

Anda mungkin juga menyukai