Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAAN

Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara
berkembang maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun
paling sering terjadi pada wanita hamil dan anak-anak.Anemia merupakan salah satu
indikator buruknya nutrisi dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat
meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak, menghambat perkembangan kognitif
dan psikologis anak, dan menurunkan produktifitas seseorang.1
Secara global, berdasarkan data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia
diderita oleh 1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum
sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan
salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia.2
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi. Diagnosis
anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas. 1,2
Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria,
thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing. Akupunktur dapat
menangani anemia, yaitu dengan menggunakan titik Zusanli (ST 36). Penelitian
menunjukkan titik Zusanli (ST 36) dapat meningkatkan kadar ferritin serum dan
mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). 1,2
Anemia merupakan salah satu faktor komorbid penting yang sering ditemukan
pada pasien dengan gagal jantung. Definisi anemia berdasarkan World Health
Organization (WHO) dikutip dari 1 adalah Hb < 13 gr% untuk laki-laki, dan < 12
gr% untuk perempuan. Prevalensi anemia pada gagal jantung bervariasi dari 12-55 %.
Luasnya variasi prevalensi anemia ini disebabkan oleh ketidakseragaman definisi
yang dipakai sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis anemia pada berbagai studi
yang dilakukan. Beberapa studi menggunakan definisi berdasarkan WHO sebagai
dasar diagnosis anemia, sementara studi lain menggunakan batasan Hb < 12 gr%
sebagai definisi anemia secara umum, tanpa memandang jenis kelamin maupun umur
penderita. 3
Tatalaksana pasien anemia dengan rawat inap, komplikais yang paling sering
adalah Pneumonia. Pneumonia komunitas merupakan proses inflamasi yang terjadi di
parenkim paru yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada lanjut usia,
Berdasarkan WorldHealth organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan kematian
pada usia lanjut berkisar 167 per 100.000 penduduk, di mana sekitar 70 persennya
terjadi di negara-negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara. Di
Amerika Serikat terdapat 5-10 juta kasus CAP (Community acquired pneumonia)
setiap tahunnya dan dirawat di rumah sakit sebanyak 1,1 juta serta 45.000 setiap
tahunnya meninggal dunia. CAP juga merupakan infeksi utama penyebab kematian di
negara-negara berkembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANEMIA GRAVIS
1. Definisi
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih.Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah
yang cepat dan hebat.Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak.
Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh
anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis,
anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi
kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria,
cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak
bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-
paru3,4

2. Epidemiologi
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar
penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut
Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia
Kelompok Populasi Angka Pravalensi
Anak prasekolah (balita) 30-40%
Anak usia sekolah 23-35%
Wanita dewasa 30-40%
Wanita hamil 50-70%
Laki-laki dewasa 20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

Anak prasekolah (balita) 30-40% Anak usia sekolah 23-35% Wanita dewasa
30-40% Wanita hamil 50-70% Laki-laki dewasa 20-30% Pekerja berpenghasilan
rendah 30-40% Sumber. Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil
yaitu sebanyak 50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak
20-30%. 5
Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa
kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam
darah dan sumsum tulang. Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi
tergantung pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial
ekonomi masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO
mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi.5

3. Patofisiologi Anemia Gravis


a) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga mengakibatkan
eritrosit berbentuk bulan sabit. Sickle cell anemia ditandai dengan adanya
hemoglobin abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S
mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan
bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat
dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia6
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita dipertahankan
antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita6
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis rantai
betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa
peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif
sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat).
Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan
merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk
mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan
jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui
terapi transfusi 6
c) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan
karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis Factor
(TNF)dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh
kanker sendiri.7
d) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi yang berlebihan
dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat besi,
berkurangnya sediaan zat dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi
atau kehilangan darah yang kronis. 8
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen
tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada kebanyakan negara
berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi, tetapi
ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada negara berkembang adalah
akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui
saluran cerna atau saluran kemih. 8
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar
hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan
beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.8

e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan yang
dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia17. Leukemia adalah
keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan differensiasi
(maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi
ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada
leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang
ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan
kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga
menimbulkan gejala anemia gravis9
f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada dalam usus
manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada
luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan
kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia. 10
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat perdarahan
saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing tambang dan
Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna dan
seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi. 10
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan terjadi
sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal sel darah
merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek pada
beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis
herediter; semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi
spektrin yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran internal
sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki
membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya
luas permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk
sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa.10
h) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum
tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur
pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit
akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak
hiposeluler. Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan
jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala
anemia .10
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena
kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi
penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena
fungsinya yang menurun.10

4. Manifestasi Klinis

Secara umum gejala klinis anemia yang muncul merefleksikan gangguan fungsi

dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan

neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan

kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak.

Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan

berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni

lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang

terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian

kelopak mata bawah). 3,5

Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala

terasa melayang. Namun pada anemia berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan

jantung.

5. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan darah:3,5,8

a. Pemeriksaan darah lengkap meliputi hemoglobin, hematokrit, leukosit

(White Blood Cell / WBC), trombosit (platelet), eritrosit (Red Blood Cell
/ RBC), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap Darah atau

Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), hitung Jenis Leukosit (Diff

Count), Platelet Disribution Width (PDW) dan Red Cell Distribution

Width (RDW).

b. Pemeriksaan darah rutin meliputi Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht),

Leukosit: hitung leukosit (leukocyte count) & hitung jenis (differential

count), hitung trombosit / platelet count, laju endap darah (LED) /

erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan hitung eritrosit (di beberapa

instansi).

2) Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity serum

3) Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis

serta sumber kehilangan darah kronis.

6. Tatalaksana

Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar


yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia
dengan berbagai indikasi.12
1. Farmakologi12
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
 FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
 CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
 Fereous Sulfate
 Carbonyl Iron
 Iron Dextran Complex
 Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis.
Transfusiadalahpaliatifdantidak boleh digunakansebagai penggantiuntuk
terapitertentu. Pada penyakitkronis yang berhubungan dengananemiagravis,
erythropoietindapat membantu dalammencegah ataumengurangitransfusi 12
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hiduppada pasien inimeningkat, dan kelainanhematologimembaik.
Alogeniktransplantasi sumsum tulangberhasilmemperbaikiekspresi
fenotipikdaripenyakit sel sabitdantalasemiadan meningkatkan harapan hidup
pada pasienyang berhasil transplantasi. 12
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang
adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan
manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein
berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena
itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan
yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi11,12
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari
tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan
suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate
selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin
sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi
38%. 12
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu
absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya
status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan
untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut
dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan
vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat
infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin
kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di
tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis. 12
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-
sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya
susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti
papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel. 12
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka
kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia
semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin C dapat
meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. 12
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C
juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati11, 12
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya
buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran
hijau. 12
d. Zat Besi

Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai


faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang
disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk
zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total
besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu
mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan
tubuh12
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-
kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks heme-
protein.Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi
yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya12
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-
aminobenzoat dan asam glutamat. Sumber makanan asam folat banyak
terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama
sayur-sayuran berwarna hijau. 12
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan
DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan
penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast.
Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti
eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya
kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast).
Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg13
f. Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan
bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari
1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu.
Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-
masing terikat pada cobal14
Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua
reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk
enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase
membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-
CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis
hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi
vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-
CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic
acid oleh suatu enzim hydrolase15
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan
sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan
cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang
bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi
vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak
normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi
anemia 15
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari,
pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun
sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui
memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain15

5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitaspasien dengananemia beratharusdibatasisampaisebagian anemia
dapat disembuhkan. Transfusisering dapatdihindaridengan bed rest,
terapidapat dilakukanuntuk pasiendengananemiayang dapat
disembuhkan(misalnya anemia pernisiosa). 12,15

7. Komplikasi
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat
berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada
bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
pada perilaku dan fungsi intelektual anak1. Anemia gravis akibat defisiensi
besi menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada bayi dan
menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi telah
dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada hewan
coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku dan fungsi
neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan
psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang
diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ
(Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan
dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia
defisiensi besi. 12,13
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan
myelin.Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung
baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami
kekurangan besi.Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.
Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini
terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi
dan kontrol motorik.Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi
protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak
dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin
luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki. 12,13
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah
menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac
output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu
konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena13
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan
hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.
Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen
extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran
darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. Kompensasi
mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain terjadi penurunan
afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik, peningkatan preload
akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi ventrikel kiri yang
berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor inotropik.
Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan
pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri13

Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi


terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik.Manifestasi kardiovaskular pada
pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada
pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat,
bisa terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan
dapat terjadi murmur sistolik.Pada keadaan anemia, venous return jantung
akan meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan
miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan
memperbesar stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling13
Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya
terjadi peningkatan tekanan dinding jantung yang mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi
yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric
hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi
jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung13

3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik
lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada
sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang
diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat.Perubahan teganagan oksigen
dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen
fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran
kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan,
PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam
kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar
penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan13
Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi
jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang.
Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah
yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam
darah vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada
yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal12

8. Prognosis

Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,


keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan peranan
penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan faktor
penyerta lainnya. 12,13

Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus. Sekitar 30% pasien dengan
sirosis meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien denganpenyakit
hatikelasChildCmemiliki tingkat kematian50%. Tingkat perdarahan ulang pada
pasien yang diobati secara medis adalah lebih dari 70%. 12,13

 Anemia akibat Ruptur Aorta


Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat
kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki
prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah
yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi, seringkali lebih
dari 80%. 8,12,13
 Sickle cell anemia
Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena
mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan
heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya
mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim8
 Thalasemia
Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau
talasemia mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan
thalasemia lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa
tahunterakhir telah ditemukankemajuandalam pengobatanthalassemia,
terutama denganterapikhelasizat besi, yang
memungkinkanpasienthalassemiauntuk hidupsehat sampai dewasa.
 Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan
produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang
lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki
prognosis buruk. Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang
akibat defisiensi nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12,
asam folat atau zat besi mengarah pada penyembuhan anemia jika etiologi
yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis antifolic atau
inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.13
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang
dapat merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun
lebih sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di
sumsum tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di
mitokondria untuk sintesis heme 13
Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia
refrakter bertahun-tahun, namun beberapa kelompok akhirnya berkembang
menjadi leukimia myelogenous akut8
 Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia
karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika
kemungkinan etiologi adalah hemoglobinurianokturnalparoksismalatauanti-
insektisida. Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa
pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis.
Tingkat kematian untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70%
tanpa tranplantasi sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif
8
.
 Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat
drastic, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk
mempertahankan tingkat hemoglobin normal 9

 Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus


Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral.
Pasien denganpenyakit hatikelasChildCmemiliki tingkat kematian50%.
Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis adalah
lebih dari 70%.
 Anemia akibat Ruptur Aorta
Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat
kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki
prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah
yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi, seringkali lebih
dari 80%.
 Sickle cell anemia
Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena
mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan
heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya
mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim8
 Thalasemia
Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau
talasemia mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan
thalasemia lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa
tahunterakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia,
terutama dengan terapi khelasi zat besi, yang memungkinkan pasien
thalassemia untuk hidupsehat sampai dewasa. 8,12,13
 Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan
produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang
lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki
prognosis buruk. Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang
akibat defisiensi nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12,
asam folat atau zat besi mengarah pada penyembuhan anemia jika etiologi
yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis antifolic atau
inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.13
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang
dapat merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun
lebih sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di
sumsum tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di
mitokondria untuk sintesis heme 13
Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia
refrakter bertahun-tahun, namun beberapa kelompok akhirnya berkembang
menjadi leukimia myelogenous akut8
 Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia
karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika
kemungkinan etiologi adalah hemoglobinurianokturnalparoksismalatauanti-
insektisida. Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa
pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis.
Tingkat kematian untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70%
tanpa tranplantasi sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif
8
.
 Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat
drastic, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk
mempertahankan tingkat hemoglobin normal. 9

B. Heart Failure
1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi
gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium
ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya
mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat
menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. 16,17
Penyebab dari gagal jantung adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan
Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit jantung
koroner, biasanya akibat infark miokard yang merupakan penyebab paling sering
pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. 16, 17

2. Klasifikasi

Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam


pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi
berdasarkan tampilan klinis yaitu17
 Klasifikasi Forrester
 Stevenson
 NYHA.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,
dengan pembagian:17,18
 Derajat I : tanpa gagal jantung
 Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
 Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
 Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis) kongesti
paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.17,18
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena
juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal
yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava.
Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus
alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien
yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien
dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).
Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:17,18
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Menurut New York Heart Association ( NYHA ), gagal jantung di
klasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.
Kelas I : sesak nafas ketika aktivitas berat
Kelas II : sesak nafas ketika aktivitas sedang
Kelas III : sesak nafas ketika aktivitas ringan
Kelas IV : sesak nafas ketika istirahat

3. Etiologi

Tabel 1. Penyebab gagal jantung 19,20,21


Jantung kiri primer Jantung kanan primer
 Penyakit jantung iskemik  Gagal jantung kiri
 Penyakit jantung hipertensi  Penyakit pulmonari kronik
 Penyakit katup aorta  Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup mitral  Penyakit katup trikuspid
 Miokarditis  Penyakit jantung kongenital
 Kardiomiopati (VSD,PDA)
 Amyloidosis jantung  Hipertensi pulmonal
 Embolisme paru masif
Gagal output rendah Gagal output tinggi
 Kelainan miokardium  Inkompetensi katup
 Penyakit jantung iskemik  Anemia
 Kardiomiopati  Malformasi arteriovenous
 Amyloidosis  Overload volume plasma
 Aritmia
 Peningkatan tekanan
pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup
 Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder

4. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada
ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin –
Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini
timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi
dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus
vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi
natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.19,20,21
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan
tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya
sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan
pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor
yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan
dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan
kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor
yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki
kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul
sendiri. 19,20,21

5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai

dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.20,21

a. Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun

kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi

gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin

disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk

berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan

keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk

memenuhi kebutuhan oksigen.

b. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung

yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja

pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan

paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.

Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru

sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka

dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan

gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring)

terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh

yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari

ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru

lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya


edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari

gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.

c. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada

posisi berbaring.

d. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri

khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah

paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.

e. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi

akibat distensi vena.

f. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena

sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena

leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat

secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat

menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama

inspirasi.

g. Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat

peregangan kapsula hati.

h. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual

dapat disebabkan kongesti hati dan usus.

i. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.

Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan

terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari)
yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan

dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi

ginjal pada waktu istirahat.

j. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema

anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena

sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun

manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh

retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.

k. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat

mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia

ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem

saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian

mendadak dalam situasi ini.

l. Anemia dalam CHF

1) Definisi

Anemia merupakan salah satu faktor komorbid penting yang sering ditemukan.

Definisi anemia berdasarkan World Health Organization (WHO) adalah Hb < 13 gr%

untuk laki-laki, dan < 12 gr% untuk perempuan. Anemia pada gagal jantung

menyebabkan makin berkurangnya toleransi terhadap beban kerja, memperburuk klas

fungsional gagal jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA)

functional class, serta menyebabkan meningkatnya hospitalisasi dan kematian akibat

gagal jantung.3-5 Resiko kematian pada penderita gagal jantung dilaporkan


meningkat 2-3% pada setiap penurunan hematokrit 1%.6 Hal ini menjadikan anemia

potensial untuk dijadikan target pengobatan, bersama-sama dengan pengobatan

terhadap gagal jantungnya sendiri. 22,23

2) Epidemiologi

Prevalensi anemia pada gagal jantung bervariasi dari 12-55 %. Luasnya variasi

prevalensi anemia ini disebabkan oleh ketidakseragaman definisi yang dipakai

sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis anemia pada berbagai studi yang

dilakukan. Beberapa studi menggunakan definisi berdasarkan WHO sebagai dasar

diagnosis anemia, sementara studi lain menggunakan batasan Hb < 12 gr% sebagai

definisi anemia secara umum, tanpa memandang jenis kelamin maupun umur

penderita. 2 Faktor lain yang menyebabkan variabilitas ini adalah adanya perbedaan

populasi penderita yang diikutsertakan dalam studi, dimana prevalensi anemia

meningkat pada populasi yang didominasi pasien gagal jantung dengan usia tua, jenis

kelamin perempuan, serta adanya riwayat gangguan ginjal. Prevalensi anemia juga

meningkat bermakna dengan makin beratnya gagal jantung. 22,23

3) Etiologi

Terdapat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap resiko terjadinya anemia

pada penderita gagal jantung. Insufisiensi ginjal merupakan faktor komorbid penting

yang sering ditemukan pada gagal jantung, dan merupakan prediktor kuat

meningkatnya resiko anemia pada gagal jantung. Perkiraan jumlah penderita gagal

ginjal kronik dengan laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit pada populasi penderita

gagal jantung adalah 20- 40%.7,8 Faktor lain yang berhubungan dengan resiko
terjadinya anemia pada gagal jantung adalah: usia tua, jenis kelamin perempuan,

adanya penurunan indeks massa tubuh, penggunaan obat-obat angiotensin converting

enzyme–inhibitor (ACE-inhibitor) dan angiotensin receptor blocker (ARB), serta

gagal jantung tingkat lanjut. 1,2,9 Sebagian besar (50-60%) anemia pada gagal

jantung merupakan anemia normokrom normositer akibat penyakit kronik dan anemia

renal. Penyebab anemia lainnya adalah defisiensi besi (30%) akibat kurangnya asupan

maupun absorbsi besi, serta kehilangan darah kronik akibat konsumsi obatobatan anti

platelet. Pada gagal jantung terjadi peningkatan volum plasma yang berakibat

hemodilusi dan menyebabkan ”anemia” tanpa penurunan aktual volum sel darah

merah. 22,23,24

4) Patogenesis

Inflamasi memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya anemia pada

gagal jantung. Sitokin proinflamasi seperti TNF-ά, interleukin-1 dan interleukin-6

meningkat pada gagal jantung, dan menyebabkan gangguan pada berbagai aspek

eritropoiesis seperti mengurangi sekresi eritropoietin serta menurunkan aktifitas

ertropoietin pada prekursor eritrosit dalam sumsum tulang. Sitokin proinflamasi juga

meningkatkan kadar hepcidin, suatu peptida yang dihasilkan oleh hepatosit. Hepcidin

menyebabkan gangguan absorbsi besi di duodenum, meningkatkan ambilan besi ke

dalam makrofag serta menghambat pelepasan besi dari makrofag. Hal ini

menyebabkan besi terperangkap dalam makrofag sehingga mengurangi

bioavailabilitas cadangan besi untuk sintesis hemoglobin. Gagal ginjal ditemukan

pada sekitar 50% penderita gagal jantung. Pada penderita gagal ginjal dengan laju
filtrasi glomerulus < 35-40 ml/menit akan terjadi anemia sebagai konsekuensi

gangguan sintesis eritropoietin yang terutama berlangsung di sel endotel peritubular

ginjal.1 Patofisiologi yang mendasari belum jelas, diduga akibat terjadinya fibrosis

tubulointerstisial ginjal, adanya kerusakan tubuli, serta obliterasi pembuluh darah.


22,23,24

Eritropoietin merupakan komponen utama dalam sistem homeostasis, dan

dapat mencegah apoptosis sel progenitor eritrosit, serta menstimulasi proses

proliferasi, maturasi, dan diferensiasi eritrosit. Gangguan terhadap produksi

eritropoietin oleh ginjal atau berkurangnya respons sumsum tulang terhadap

eritropoietin menyebabkan terjadinya anemia. 22,23,24

Pada penderita gagal jantung terdapat resiko terjadinya defisiensi besi akibat

terganggunya absorbsi besi di usus halus. Mekanisme yang mendasari keadaan ini

adalah adanya iskemi pada mukosa usus, penebalan dinding usus akibat edema, serta

peranan mediator proinflamasi yang menghambat absorbsi besi. 22,23,24

Sistem renin-angiotensin memainkan peranan penting terhadap regulasi volum

plasma dan eritrosit. Peningkatan pengkodean angiotensin II pada ginjal merobah

tekanan oksigen peritubuler yang merupakan faktor regulasi penting terhadap sekresi

eritropoietin. Penurunan tekanan oksigen peritubuler pada korteks adrenal

menyebabkan peningkatan aktifitas hypoxia inducible factor-1 (HIF-1) dan ekspresi

gen eritro-poietin. Angiotensin II meningkatkan sekresi eritropoietin dengan

menurunkan aliran darah ginjal dan meningkatkan reabsorbsi sodium di tubuli

proksimal. Angiotensin II juga mempunyai efek stimulasi langsung terhadap


prekursor eritrosit di sumsum tulang. Penghambatan sistem renin angiotensin dengan

obat-obatan ACE inhibitor ataupun ARB berhubungan dengan penurunan produksi

eritrosit sehingga menyebabkan anemia. 22,23,24

Anemia pada gagal jantung sering berhubungan dengan gejala dan tanda

kongesti, sehingga peningkatan volum plasma mungkin berkontribusi terhadap

terjadinya anemia pada gagal jantung melalui proses hemodilusi. Pada suatu

penelitian terhadap 37 penderita anemia dengan gagal jantung kongestif yang tidak

disertai edema, didapatkan 46% penderita mempunyai nilai hematokrit yang rendah

dengan jumlah eritrosit yang normal, sehingga anemia pada pasien-pasien ini

diakibatkam oleh peningkatan volum plasma yang berakibat hemodilusi. 22,23,24

5) Manifestasi Klinis

Anemia menyebabkan abnormalitas fungsi dan struktur jantung. Iskemi perifer

akibat anemia menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Keadaan ini

akan mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, menyebabkan penurunan

aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, serta meningkatkan absorbsi air dan

garam. Meningkatnya volum cairan ekstrasel akibat retensi cairan menyebabkan

hemodilusi dan semakin rendahnya kadar Hb. Overload plasma menyebabkan beban

jantung bertambah dan mengakibatkan dilatasi ventrikel. Pada perlangsungan yang

lama, terjadi hipertrofi ventrikel kiri, kematian otot jantung dan gagal jantung yang

selanjutnya memperburuk anemia.1.2 Konsentrasi Hb merupakan petunjuk penting

terhadap distribusi oksigen ke otot rangka selama aktifitas. Pada pasien dengan gagal

jantung kemampuan kompensasi fisiologik terhadap penurunan kadar Hb berkurang,


sehingga terjadi penurunan kapasitas aerobik sebagai respons terhadap anemia.

Beberapa peneliti melaporkan adanya hubungan antara penurunan Hb dengan makin

memburuknya klas fungsional gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA. 22,23,24

Remodeling jantung merupakan penanda dari gagal jantung yang progresif.

Anemia yang berlangsung lama dan tidak diobati menyebabkan peningkatan curah

jantung, dilatasi dan peningkatan massa ventrikel kiri, serta mengakibatkan hipertrofi

ventrikel kiri. Massa jantung meningkat 25 % pada tikus coba dengan anemi kronik.

Hubungan terbalik antara penurunan kadar Hb dan hipertrofi ventrikel kiri telah

diperlihatkan pada berbagai studi klinis terhadap penderita gagal ginjal kronik (GGK)

predialisis maupun dengan hemodialisis rutin. Studi dari Randomized Etanercept

North American Strategy to Study Antagonism of Cytokines (RENAISSANCE)

memperlihatkan peningkatan 1 gr% Hb berhubungan dengan penurunan 4,1 gr/m2

massa ventrikel kiri setelah 24 minggu. 22,23,24

6) Tatalaksana

Transfusi darah

Penggunaan transfusi darah untuk pengobatan anemia pada penderita dengan

penyakit kardiovaskular masih kontroversial. Menurut guidelines dari American

College of Physicians and the American Society of Anesthesiologist, transfusi

diberikan bila kadar Hb < 8gr%. Penelitian Hebert dkk pada 838 pasien dengan

penyakit kritis (26 % diantaranya dengan penyakit kardiovaskuler) menunjukkan


bahwa mempertahankan Hb pada nilai 10-12 gr% tidak memberikan hasil lebih baik

terhadap penurunan angka kematian. 25

Pemberian preparat eritropoietin

Anemia pada gagal jantung berespons terhadap pemberian suplemen

eritropoietin. Mekanisme utama stimulasi eritroproietin terhadap produksi eritrosit

adalah melalui inhibisi apoptosis dari progenitor eritrosit dalam sumsum tulang.

Dengan demikian dapat terjadi proliferasi, pertumbuhan dan maturasi dari

proeritroblas dan normoblas, dengan hasil akhir kenaikan kadar Hb. 25

Dewasa ini terdapat tiga jenis eritropoietin yang telah digunakan sebagai

pengobatan terhadap anemia, yaitu: epoetin-α, epoetin-β (keduanya merupakan

recombinant human erythropoietin [rHuEPO]) dan darbepoetin-α. Pada tahun 1985

rHuEPO pertama kali disintesis, dan mulai digunakan pada tahun 1988 untuk

penderita anemia dengan GGK stadium akhir. Waktu paruh rHuEPO setelah

pemberian intravena adalah 6-8 jam, sedangkan pada pemberian subkutan mencapai

24 jam. Jumlah rHuEPO yang diperlukan untuk mencapai target Hb pada pasien

GGK kira-kira 25% lebih kurang dibanding dengan pemberian intravena.

Darbepoietin-α merupakan eritropoietin dengan waktu kerja yang panjang,

merupakan suatu N-linked supersialylated analog dari human erythropoietin, dan

mulai digunakan pada tahun 2001 sebagai pengobatan anemia pada GGK.

Dibandingkan dengan rHuEPO, darbepoetin-α mempunyai afinitas yang lebih kuat

terhadap reseptor eritropoietin, dan waktu paruh lebih panjang yaitu sampai 48 jam;
sebagai konsekuensi dapat diberikan dengan interval lebih lama yaitu 1-2 minggu

selama pengobatan pemeliharaan. 25

Efek pengobatan rHuEPO pada penderita gagal jantung dengan anemia pertama

kali dilaporkan oleh Silverberg dkk.17 Dalam penelitiannya mereka menemukan

bahwa pemberian rHuEPO subkutan dengan dosis 5000 IU dan besi sukrosa

intravena 200 mg sekali seminggu selama 28 minggu menghasilkan peningkatan Hb

2 gr%, perbaikan klas fungsional, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan

berkurangnya kebutuhan diuretik pada 26 pasien yang diteliti, dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Mancini dkk18 menemukan pada 23 pasien gagal jantung dengan

anemia, pemberian rHuEPO subkutan 5000 IU tiga kali perminggu meningkatkan

hematokrit dari < 35% menjadi > 45% dalam tiga bulan. Disamping itu terjadi

peningkatan puncak ambilan oksigen dan perpanjangan durasi treadmill. Peningkatan

kadar hematokrit berhubungan linier dengan peningkatan ambilan oksigen. 25

Pemberian suplementasi besi

Meskipun defisiensi besi hanya ditemukan pada sebagian kecil (< 30%) kasus

anemia pada gagal jantung, defisiensi besi fungsional yang dikarakteristik oleh

penurunan efektifitas cadangan besi untuk eritropoiesis merupakan masalah pada

penderita gagal jantung. Sejumlah studi memperlihatkan adanya peningkatan Hb

yang bermakna sebagai respons terhadap pemberian rHuEPO dan suplementasi besi.

National Kidney Foundation merekomendasikan penggunaan besi intravena untuk

mempertahankan kadar ferritin serum >100 ng/mL dan saturasi transferin >20%

untuk mengoptimalkan respons klinik terhadap pemberian preparat eritropoietin.


Meskipun demikian, kelebihan cadangan besi harus diwaspadai karena beresiko

terhadap terjadinya infeksi dan gangguan kardiovaskuler lebih lanjut. 25

Pemberian diuretik

Pada penderita gagal jantung dengan anemia yang disebabkan oleh

hemodilusi,pemberian preparat eritropoietin akan menaikkan massa eritrosit yang

berakibat peningkatan volum darah total, yang akan memperberat gagal jantung. Pada

penderita dengan hemodilusi, pemberian diuretik yang agresif akan menurunkan

volum plasma sehingga anemia dapat terkoreksi.3 Pemberian transfusi darah, preparat

eritropoietin, suplementasi besi atau diuretik memerlukan pertimbangan yang matang

serta kekhususan untuk setiap kasus yang dihadapi. 25

6. Diagnosis

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan


secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria
mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat
diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan penyakit seperti
hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau sindroma nefrotik.17,18
Tabel 1. Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema malleolus bilateral
Distensi vena leher Dyspnea pada exersi biasa
Krepitasi Takikardia(.120/min)
S3 gallop Batuk nocturnal
Kardiomegali (rasio kardiotorak Hepatomegaly
.50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut Efusi pleura
Reflux hepatojugular Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(.16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan

Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,


pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan. 17,18

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 17,18


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan
pemeriksaan gula darah, profil lipid.

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave).
EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV17,18

3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan
kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner
dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. .
17,18

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV
yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga
bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner,
dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap
anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian
massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi
LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume).
Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli.
Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur
kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi
mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang
bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF
normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF
berkurang secara bermakna (<30-40%). 17,18
7. Tatalaksana

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi

penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.

Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan

untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun

penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta

beratnya kondisi. 26

Terapi : 27

a. Non Farmakalogi :

- Anjuran umum :

 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan

pengobatan.

 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat

dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan

profesi yang masih bisa dilakukan.

 Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :

 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung

ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada

gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
 Hentikan rokok

 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada

yang lainnya.

 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-

30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan

beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung

ringan dan sedang).

 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi

akut.

b. Farmakologi

Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin

II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat

inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia. 26,27

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan

paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat

digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,

dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau

kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,

spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi

mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat

(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.


b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi

sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,

dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.

Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa

minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya

diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas

fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,

bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan

penghambat ACE dan diuretik.

d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada

intoleransi terhadap ACE ihibitor.

e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal

jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan

fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor,

beta blocker.

f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk

pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial

dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan

pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,


trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak

dan aneurisma ventrikel.

g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang

asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas

I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.

Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk

terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial

dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium

antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal

jantung.

C. Community Acquired Pneumonia (CAP)

1. Definisi

Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim dari paru-

paru. Di samping penyakit ini merupakan penyebab yang signifikan morbiditas dan

mortalitas, pneumonia kadang salah terdiagnosis, salah dalam penatalaksanaannya

dan kadang dianggap penyakit yang tidak penting. 28

Pneumonia yang didapat masyarakat (CAP) adalah penyebab morbiditas dan

mortalitas yang signifikan pada orang dewasa. CAP didefinisikan sebagai infeksi

parenkim paru yang tidak diperoleh di rumah sakit, fasilitas perawatan jangka

panjang, atau kontak baru lainnya dengan sistem perawatan kesehatan.29


2. Klasifikasi30

3. Epidemiologi

Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia

dan merupakan penyebab kematian ke tujuh di Amerika Serikat. Penyakit ini adalah

penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit menular di Amerika Serikat.

Setiap tahun di Amerika Serikat, ada sekitar 1-2.000.000 kasus Community Acquired

Pneumonia mengarah ke sebanyak 1,1 juta pasien di rawat inap dan 45.000

mengalami kematian.8Pada tahun 2006, ada sekitar 4,2 juta kunjungan perawatan

rawat jalan untuk CAP di Amerika Serikat, dengan Streptococcus pneumoniae

sebagai patogen yang paling sering diidentifikasi.29

Insidens CAP adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim, yaitu sekitar

915.900 kasus pada pasien berusia > 65 tahun setiap tahun di Amerika Serikat. Angka

kematian kurang dari 1% untuk orang dengan CAP yang tidak memerlukan rawat

inap, namun rata-rata angka kematian dari 12% sampai 14% di antara sakit pasien
dengan CAP yang dirawat di rumah sakit. Di antara pasien yang dirawat di unit

perawatan intensif (ICU), atau pasien bacteremic, atau yang berasal dari panti jompo,

rata-rata angka kematian meningkat menjadi 30% sampai 40%.30

4. Faktor Resiko dan Etiologi

Faktor resiko untuk CAP adalah konsumsi alkohol, asma, imunosupresi,

institusionalisasi, usia lebih dari 60 tahun.31

Di bawah ini adalah tabel hubungan antara faktor resiko pada Community

Acquired Pneumonia dengan jenis patogen tersering yang menjadi etiologinya serta

gambar selanjutnya menunjukkan etiologi CAP tersering di dunia.

Faktor Resiko Patogen Paling Sering


Pengkonsumsi Alkohol Streptococcus pneumoniae, bakteri
anaerob oral, bakteri gram negatif,
Mycobacterium tuberculosis
PPOK / Perokok S. pneumoniae, Hemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Legionella
Tinggal di Panti Asuhan atau Panti S. pneumoniae, bakteri gram negatif, H.
Jompo influenzae, Staphylococcus aureus,
bakteri anaerob, Chlamydia
pneumoniae, Mycobacterium
tuberculosis
Kebersihan Gigi yang Buruk Anaerobes Epidemic Legionnaire's
disease Legionella spp
Paparan terhadap kelelawar Histoplasma capsulatum
Paparan terhadap unggas Chlamydia psittaci, Cryptococcus
neoformans, H. Capsulatum
Paparan terhadap kelinci Francisella tularensis
Demensia, Stroke, penurunan Bakteri anaerob oral, bakteri gram negatif
kesadaran enteric
Paparan terhadap hewan ternak atau Coxiella burnetii (Q fever)
kucing yang melahirkan
Influenza aktif di lingkungan sekitar Influenza, S. pneumoniae, S. aureus, H.
Influenzae
Curiga aspirasi dalam jumlah besar Bakteri anaerob, chemical pneumonitis,
atau obstruksi
Penyakit paru struktural P. aeruginosa, Pseudomonas cepacia,
(bronchiectasis, cystic fibrosis, etc.) atau S. Aureus
Pengguna obat jarum suntik S. aureus, bakteri anaerob,
Mycobacterium tuberculosis,
Pneumocystis carinii
Obstruksi endobronkial Bakteri anaerob
Pengobatan antibiotik sebelumnya Drug-resistant pneumococci, P.
Aeruginosa

Tabel 1 Hubungan antara Faktor Resiko pada Community Acquired


Pneumonia dengan Jenis Patogen Penyebabnya dari Data Epidemiologi.28

Gambar 1. Etiologi tersering pada CAP29

Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa

bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita CAP adalah bakteri Gram

negatif.Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia

(Medan, Jakarta,Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan

dan metode pemeriksaanmikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan

sputum sebagai berikut :32

 Klebsiella pneumoniae 45,18%

 Streptococcus pneumoniae 14,04%

 Streptococcus viridans 9,21%


 Staphylococcus aureus 9%

 Pseudomonas aeruginosa 8,56%

 Steptococcus hemolyticus 7,89%

 Enterobacter 5,26%

 Pseudomonas spp 0,9%

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan CAP dapat

mengalami infeksi lebih dari satu pathogen yang membutuhkan terapi untuk semua

patogen yang teridentifikasi, tetapi tidak dapat didiagnosis secara dini dengan kultur

spesimen yang sudah ada. Infeksi campuran dapat melibatkan lebih dari satu spesies

bakteri, atau dapat juga campuran antara bakteri dan virus patogen.

5. Patogenesis33

Pneumonia terjadi akibat dari proliferasi patogen mikrobial pada tingkat

alveolus dan respon dari tingkat host terhadap patogen ini. Mikroorganisme dapat

masuk ke saluran pernafasan bawah melalui beberapa jalan. Yang paling sering ialah

akibat aspirasi dari orofaring. Sejumlah kecil aspirasi terjadi paling sering ketika tidur

(terutama pada orang tua) dan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.

Banyak patogen yang terinhalasi sebagai droplet yang terkontaminasi. Selain itu,

pneumonia juga dapat terjadi melalui penyebaran hematogen (seperti endocarditis

tricuspid) atau dari penyebaran dari infeksi pleural atau ruang mediastinum.
Faktor mekanis sangat penting dalam menentukan sistem pertahanan tubuh

penderita. Rambut dan turbinasi dari lubang hidung menangkap partikel yang lebih

besar yang terinhalasi sebelum mereka mencapai saluran pernafasan bawah, dan

cabang dari trakeobronkial menangkap juga partikel dari saluran pernafasan tersebut,

dimana klirens mukosiliar dan factor lokal antibakterial juga membersihkan atau

membunuh pathogen potensial. Reflex dan mekanisme batuk juga dapat melindungi

dari aspirasi. Flora normal yang menempel pada sel mukosa dari orofaringjuga dapat

mencegah bakteri patogen dalam mengikat dan dapat menurunkan risiko pneumonia.

Ketika perlindungan tersebut dihadapi oleh mikroorganisme yang cukup kecil

untuk terinhalasi pada tingkat alveolus, makrofag alveolar setempat secara efisien

membersihkan dan membunuh pathogen. Makrofag dibantu oleh protein lokal

(seperti surfactant protein A dan D) yang mempunyai kemampuan aktivitas

antibakterial. Patogen tersebut dieliminasi bisa melalui sistem mukosiliar atau

limfatik dan dapat menunjukan reaksi dari inflamasinya. Hanya ketika kapasitas dari

makrofag alveolar untuk membunuh mikroorganisme melebihi kemampuan,

pneumonia secara klinis baru bermanifestasi. Pada situasi ini, makrofag alveolar

memulai respons inflamasi untuk meningkatkan system pertahanan dari saluran

pernafasan bawah. Respon inflamasi tersebut dapat memicu timbulnya manifestasi

klinis dari pneumonia. Pengeluaran dari mediator inflamasi seperti Interleukin (IL)

dan tumor necrosis factor dapat menyebabkan terjadinya demam. Kemokin seperti L-

8 dan granulocyte colony-stimulating factor dapat merangsang pengeluaran dari

netrofil dan cara kerja mereka di paru yang menghasilkan leukosit perifer dan
meningkatkan sekresi purulen. Mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh makrofag

dan netrofil yang terbaru dapat membuat kebocoran kapiler alveolar yang sama

seperti pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).meskipun pada pneumonia

kebocoran yang terjadi bersifat terlokalisasi. Bahkan eritrosit dapat menembus juga

melalui membrane kapiler alveolar dengan hemoptisis konsekuen. Kebocoran kapiler

dapat menyebabkan munculnya infiltrate pada gambaran radiologi dan ronkhi yang

terdengar pada auskultasi dan juga hipoksemia yang disebabkan karena alveolar yang

terisi. Bahkan ada beberapa patogen yang dapat berperan langsung pada vasokontriksi

hipoksik yang secara normal terjadi pada alveoli yang terisi cairan dan dapat

menyebabkan hipoksemia.

Sebagian besar masyarakat yang memperoleh Pneumonia (CAP) adalah bakteri

dalam asal dan sering mengikuti saluran pernapasan atas virus singkat infeksi. Pada

posisi tegak, lobus bawah memiliki ventilasi terbaik oleh karena itu pengendapan

organisme mikro yang dihirup lebih tinggi di lobus ini. Pneumonia inhalasi paling

sering disebabkan mikroorganisme (a) yang dapat tetap tersuspensi di udara sehingga

menjadi diangkut jauh, (b) bertahan cukup lama saat dalam perjalanan, (c) memiliki

ukuran kurang dari 5 µm (d) membawa inokulum tinggi, dan (e) menghindari

mekanisme pertahanan tuan rumah lokal. Infeksi oleh intraseluler bakteri seperti

Mycoplasma pneumoniae , Chlamydophila dan Coxiella burnetii terjadi melalui

inhalasi aerosol yang terkontaminasi rute. CAP karena Streptococcus pneumoniae ,

Haemophilus dan basil gram negatif terjadi melalui aspirasi mikro.


Peningkatan pernafasan pada Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)

dapat menyebabkan alkalosis respiratori. Penurunan compliance karena kebocoran

kapiler, hypoxemia, peningkatan pernafasan, peningkatan sekresi dan bronkospasm

dapat memicu terjadinya dyspnea. Jika terjadi cukup parah, perubahan struktur

mekanis dari paru juga dapat terjadi seperti penurunan dari volume paru dan

compliance dan shunting aliran darah intrapulmoner dapat menyebabkan kematian

pada pasien.

6. Diagnosis CAP

Anamnesis

Gejala umumnya demam, batuk yang produksi mukopurulen sputum, dan nyeri

dada pleuritik.29

Demam tinggi (lebih dari 104° F [40° C]), pria, keterlibatan multilobus paru, and

kelainan GIT dan neurologi bisa disebabkan oleh CAP karena infeksi Legionella

.Manifestasi klinis CAP is sering pada orang tua dan diantaranya tidak disertai gejala

umum, mereka hanya menunjukkan terjadi kelemahan dan penurunan status mental.7
Pasien dengan COPD (chronic obstructive pulmonary disease) atau dengan HIV

(human immunodeficiency virus ) akan meningkatkan kejadian CAP. Perlu ditayakan

pada pasien pekerjaan, paparan hewan, riwayat seksual guna membantu penyebab

agen infeksius. Riwayat berpergian (paling dikit 2 minggu) dapat membantu

identifikasi kearah pneumonia Legionella yang mana khas sekali muncul aibat tinggal

di hotel atau di kapal pesiar.29

Pemeriksaan fisik

Demam, perkusi redup, egofoni, takikardi, dan takipneu. Suara nafas

asimetris,pleural rubs, dan peningkatan fremitus vokal yang jarang terjadi tapi sangat

membantu dalam mendiagnosis ke arah pneumonia.Suara nafas bronkial dan ronkhi

(rales) pada paru sangat membantu tetapi tidak spesifik sehingga memerlukan

pemeriksaan penunjang yaitu dengan radiografi paru (chest x-ray). Takipneu muncul

pada pasien tua 70% kebanyakan lebih dari 65 tahun. Jika suspek CAP maka cek

dengan pulse oksimetri.29

Pemeriksaan Radiologi

ini penting untuk menegakkan diagnosis, serta membedakan CAP dari penyakit paru

lain yang juga memberikan gambaran batuk dan demam seperti bronkitis akut. Selain

itu dari pemeriksaan radiologi kita dapat menduga agen penyebab infeksi, prognosis,

diagnosis banding, dan kondisi lain yang berhubungan.

Menentukan etiologi pasti dapat dilakukan dengan cara kultur darah, kultur

sputum, atau kultur cairan pleura. Selain itu dapat pula dilakukan non bronchoscopic
bronchovascular lavage (BAL). 87% kultur dari BAL adalah positif, bahkan pada

pasien yang telah menerima pengobatan antibiotik. Indikasi untuk melakukan BAL,

protected specimen brushing, dan transthoracic lung aspiration ini adalah pada pasien

immunocompromise dan CAP gagal pengobatan.28

Gambar 2. Pasien dengan Penyakit akut respirasi yang bermanfaat dengan Xray

dada29

Gambaran infiltrat pada paru biasanya pada foto thoraks. Konsolidasi lobus,

kavitasi, dan efusi pleura menunjukkan etiologi ke arah bakteri. Keterlibatan

parenkim difus lebih sering dikaitkan dengan Legionella atau virus peradangan paru.

Karena terlalu sering menggunakan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran

pernapasan atas meningkatkan resistensi obat dan dapat memiliki efek samping,

mengidentifikasi pasien yang akan mendapat manfaat dari terapi antimikroba adalah

penting.29

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak telalu bermanfaat tetapi dapat membantu

sperti yang tertera di gambar 3 dibawah ini:


Gambar 3. Rekomendasi pemeriksaan yang dilakukan untuk pasien dengan dugaan

CAP 29

Hipoglikemia (kadar glukosa darah kurang dari 70 mg per dL [3,89 mmol per

L]) dikaitkan dengan peningkatan mortalitas 30 hari, termasuk penyakit komorbid

dan skor Pneumonia Severity Index (PSI) . Tingkat prokalsitonin meningkat pada

banyak pasien dengan infeksi bakteri, dan beberapa penelitian menunjukkan tes

prokalsitonin berpotensi bermanfaat pada CAP. Kultur darah tidak dianjurkan untuk

sebagian besar pasien rawat inap dengan CAP dan harus dilakukan sesuai dengan

rekomendasi pada gambar 3. Hasil dari kulturdarah yang paling umum pada pasien

dengan CAP adalah S. pneumoniae.Infectious Diseases Society of American /

American Thoracic Society (IDSA / ATS) pedoman merekomendasikan bahwa

spesimen sputum diperoleh sebelum memulai terapi antibiotik pada pasien rawat

inap. Hasil kultur sputum negatif dari sampel berkualitas baik (yaitu, positif untuk

neutrofil, tetapi kurang dari 25 sel epitel) adalah bukti kuat bahwa basil gram negatif
dan Staphylococcus aureus tidak ada. Necrotizing atau radang kavitas paru mungkin

disebabkan oleh resisten methicillinS. aureus (MRSA). Dokter harus

mempertahankan kecurigaan klinis yang tinggi untuk pneumonia MRSA pada pasien

dengan riwayat lesi kulit MRSA atau faktor risiko lainnya. Pada pasien dengan

dugaan Legionella pneumonia, kultur sputum dapat membantu mengidentifikasi

paparan lingkungan kausal. Pada pasien dengan efusi pleura lebih besar dari 5 cm

pada radiografi toraks lateral, cairan baiknya dikirim untuk pewarnaan Gram dan

aerobik dan anaerobik.29

Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,

foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti CAP ditegakkan jika pada foto toraks

terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di

bawah ini :32

• Batuk-batuk bertambah

• Perubahan karakteristik dahak / purulen

• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan

ronki

• Leukosit > 10.000 atau < 4500

Atau secara ringkas di rangkum pada gambar di bawah ini :


Gambar 4. Kriteria untuk CAP berat 29

Penilaian derajat kerahan penyakit CAP dapat dilakukan dengan

menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome

Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini :

Gambar 5. sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT10


Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi

rawat inap CAP adalah :

1. Skor PORT lebih dari 70

2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai

salah satudari kriteria dibawah ini.

• Frekuensi napas > 30/menit

• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg

• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA. 32

Kriteria perawatan intensif

Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah

penderita yang mempunyai palingsedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu

(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam) atau 2 dari

3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks

parumenunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria

minor dan mayor yang lainbukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat

Intensif.32

Gambar dibawah ini merangkum CURB-65 (kebingungan, uremia, laju

pernapasan, tekanan darah), skor prediksi yang dikembangkan oleh British Thoracic
Society ini lebih sederhana daripada PSI tetapi tidak secara khusus menjelaskan

penyakit kronis dekompensasi yang terjadi dengan CAP. CURB-65 telah terbukti

memprediksi kematian dari CAP di rumah sakit dan pengaturan rawat jalan.

Baru-baru ini, SMART-COP (tekanan darah sistolik, radiografi dada

multilobar, tingkat albumin, laju pernapasan, takikardia, kebingungan, tingkat

oksigen, pH arteri) diciptakan untuk memprediksi pasien mana yang memerlukan

dukungan pernafasan atau vasopresor intensif (gambar 7) .Skor SMART-COP dari 3

atau lebih poin mengidentifikasi92 persen dari mereka yang akan menerima

dukungan pernapasan atau vasopressor intensif, sedangkan sensitivitas untuk PSI dan

CURB-65 adalah 74 dan 39 persen, masing-masing. Pasien yang dirawat di unit

perawatan intensif (ICU) dengan CAP lebih cenderung menjadi pria yang memiliki

gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik.

Gambar 6. Tabel CURB-65 untuk pasien CAP29


Namun ada beberapa kategori sehingga pasien dengan resiko kematian rendah
perlu di rawat jalan:
1. Terdapat komplikasi dari pneumonia tersebut
2. Terdapat eksaserbasi dari penyakit lain yang mendasarinya misalnya PPOK,
Dekompensasio Kordis, atau Diabetes Melitus.
3. Tidak mampu untuk mengkonsumsi obat oral atau menjalani pengobatan
rawat jalan
4. Faktor resiko multipel yang mendekati batas skor

CRB-65 score Tingkat kematian (%) Rekomendasi


0 0.9 Resiko kematian sangat rendah; biasanya tidak
perlu dirawat di rumah sakit
1 5.2 Resiko kematian meningkat; perlu
2 12.0 dipertimbangkan untuk dirawat inap
3 or 4 31.2 Resiko kematian tinggi; perlu secepatnya dirawat
inap.
CRB-65 = Confusion, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and older.
Tabel 2. CRB-65 untuk pasien CAP 12,13
Gambar 7. Skoring SMART-COP untuk memprediksi IRVS pada pasien dengan
CAP29

Faktor Resiko Nilai

Usia

Pria usia (th)

Wanita usia (th) −10

Tinggal dalam panti jompo atau panti asuhan +10

Penyakit komorbid lain

Penyakit Keganasan +30

Penyakit Hepar +20

Penyakit Ginjal +10

Penyakit Cerebrovaskular +10

Gagal Jantung Kongestif +10

Pemeriksaan Fisik

Gangguan mental +20

Takipneu (>30 kali/menit) +20

Hipertensi Sistolik (<90 mm Hg) +20

Suhu tubuh (<35° atau >40° C) +15

Detak jantung >125 beats/min +10

Laboratorium dan Hasil Radiografi

pH darah (arterial) <7.35 +30

Hipoxemia (arterial Pao2<60 mm Hg atau saturasi O2<90%) +10

Serum urea nitrogen (BUN) >30 mg/dL +20


Na <130 mEq/L +20

Gula darah >250 mg/dL +10

Anemia (hematokrit <30%) +10

Efusi pleura 10

Tabel 3. Pneumonia Severity Index (PSI)34

Kelas Resiko Poin Tingkat kematian (%)

I 0 0.1

II <70 0.6

III 71-90 2.8

IV 91-130 8.2

V >130 29.2

Tabel 4 Pneumonia Severity Index: Resiko kematian dalam 30 hari berdasarkan


PSI14

Pasien dengan CAP grade I dan II menurut PSI dapat menjalani rawat jalan

saja apabila tidak ada instabilitas hemodinamik, tidak memerlukan oksigen tambahan

secara kronis, imunokompeten, dan dapat mengkonsumsi obat oral. Pasien grade III

harus dipertimbangkan untuk rawat inap sementara atau dapat rawat jalan, diputuskan

sesuai dengan kondisi klinisnya, sedangkan pasien grade IV dan V direkomendasikan

untuk rawat inap.

Selain itu dapat pula seorang pasien yang perlu dirawat inap karena

hipoksemia, atau pasien dengan skor PSI rendah (I-III) yang perlu dirawat inap
karena syok, dekompensasi dari penyakit lain, efusi pleura, masalah sosial dan

masalah pengasuhan di rumah karena pasien memerlukan pengasuhan khusus, serta

riwayat respon yang tidak adekuat terhadap antibiotik empiris. Pada pasien pengguna

jarum suntik, muntah terus menerus yang sulit diatasi, penyakit psikiatri berat, tidak

dapat berfungsi dengan baik secara sosial dan kognitif.

7. Tatalaksana CAP

Gambar 8. Terapi empiris pada CAP29

Gambar 9. Terapi pada CAP yang tidak ada perbaikan7


. Pasienharus ditinjaudalam 24 jamdari bila direncanakan untuk pulang, dan

merekatidak bolehmemiliki lebihdari satudari karakteristik berikutini: suhu >37.80C,

denyut jantung>100x/menit, laju pernapasan >24/min,tekanan darah sistolik <90

mmHg, saturasioksigen <90%, serta ketidakmampuan untuk mempertahankanasupan

oraldan status mentalyang abnormal.

Tujuan utama terapi dengan antibiotik adalah untuk mengeradikasi organisme

patogen sehingga terjadi perbaikan klinis pasien. Penggunaan obat anti mikroba harus

disesuaikan dengan patogen penyebab dan kerentanannya dengan antibiotik. Namun,

sampai tersedia metode diagnostik yang lebih akurat dan cepat, pengobatan awal

yang diberikan berdasarkan empiris. Pemilihan untuk terapi antimikrobial empiris

didasarkan pada patogen yang sering dan pola patogen daerah setempat. Walaupun

patogen penyebab telah teridentifikasi, banyak perdebatan mengenai antibiotik

spesifik karena studi terbaru menemukan adanya koinfeksi dengan patogen atipikal

seperti C.pneumoniae, Legionella sp. dan virus.

Terapi secara empiris ini terutama diarahkan pada S.pneumoniae yang tetap

menjadi penyebab utama CAP. Selain dari M pneumoniae, patogen atipikal,

Legionella sp dan bakteri b-laktamaseyang jarang menginfeksi pada penumonia

komunitas. Untuk alasan ini, maka pemilihan antiobiotik amoksisilin masih sering

digunakan. Terapi alternatif lainnya bila pasien mengalami hipersensitiftas terhadap

penisilin yaitu dapat digunakan Doksisiklin dan makrolide seperti clarithromycin dan

erithromycin. Pasien yang dirujuk ke rumah sakit dengan suspek CAP dimana

penyakitnya ini dianggap dapat mengancam jiwa, maka dokter umum harus
memberikan antibiotik untuk golongan pneumococcal pneumonia (penyebab tersering

CAP berat) dengan memberikan penisilin G 1,2 g secara IV atau dengan amoksisilin

1 g oral.

Rekomendasi antibiotik umumnya bukan kelas obat tertentu, kecuali hasil data

jelas mendukung satu obat. Obat yang lebih poten diutamakan karena keuntungannya

dalam menurunkan angka resiko terjadi resistensi antibiotik. Faktor-faktor lain untuk

pertimbangan antimikroba spesifik termasuk farmakokinetik/ farmakodinamik,

kepatuhan, keamanan, dan biaya

Gambar 10. Pemberian antibiotik juga dapat dilihat berdasarkan penilaian klinis
dengan skor CURB-65
Tabel 5. Rekomendasi antibiotik untuk patogen spesifik

Penatalaksanaan CAP di indonesia dibagi menjadi:32


a. Penderita rawat jalan

 Pengobatan suportif / simptomatik

- Istirahat di tempat tidur

- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

 Pengobatan suportif / simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif

 Pengobatan suportif / simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian

obatsimptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

 Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam

 Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik


Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat

kegawatannya, bila dapatdistabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat

biasa; bila terjadi respiratory distress makapenderita dirawat di Ruang Rawat

Intensif.10

Gambar 11. Pengobatan CAP di Indonesia menurut rawat inap dan rawat

jalan.10

Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada

perbaikan, kita harusmeninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat

yang telah diberikan dan bakteripenyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. Evaluasi pengobatan pada CAP 32

Anda mungkin juga menyukai