Anda di halaman 1dari 42

BAB V

FARMAKOLOGI

5.1 Farmakologi Dasar

Penatalaksanaan anestesi dalam klinis sangat berkaitan erat dengan ilmu farmakologi
klinis. Oleh karena itu mempelajari farmakokinetik dan farmakodinamik seharusnya
mendapat perhatian sebagaimana mempelajari penatalaksanaan jalan nafas, pemilihan teknik
anestesi, hingga pemilihan agen pelumpuh otot. Adanya kesalahan identifikasi maupun
kesalahan dalam prinsip farmakokinetik yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa
perhatian terhadap hal ini masih tidak memadai.

5.1.1 Farmakokinetik

Farmakokinetik menjelaskan hubungan antara dosis obat, konsentrasi obat di jaringan


tubuh, dan waktu. Dalam farmakokinetik terdapat empat proses yang saling berkaitan yaitu:
absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.

5.1.2 Absorbsi

Absorbsi merupakan proses terjadinya perpindahan obat dari tempat dimasukkannya


ke dalam tubuh menuju aliran darah. Beberapa jalan masuk dari obat: oral, sublingua, rektal,
inhalasi, transdermal, ransmukosa, subkutan, intramuskular, dan intravena. Absorbsi
diengaruhi oleh karakteristik fisik obat, dosis, dan tempat absrbsi (sauran cerna, paru, kulit,
otot). Biovailabilitas merupakan fraksi kadar obat yang masuk ke tubuh yang berada pada
sirkulasi sistemik. Misalnya, nitrogliserin diabsorbsi dengan baik oleh sistem gastrointestinal
tetapi memiliki biavailabilitas yang rendah dengan pemberian oral, dikarenakan metabolisme
yang terjadi di hepar sebelum menuju ke sirkulasi.
Pemberian obat oral adalah cara yang nyaman, tidak mahal, dan relatif toleran pada
terjadinya kesalahan dosis. Namun, memerlukan kerjasama pasien, mengalami metabolisme
pada hepar, mengalami kontak dengan asam lambung, enzim, motilitas, makanan, dan obat-
obatan lain yang dapat menurunkan kadarnya pada sirkulasi sistemik.
Obat yang tidak bermuatan (nonionized) lebih mudah diabsorbsi dari obat yang
bermuatan (ionized). Sehingga, lingkungan yang asam (lambung) akan lebih mudah
menyerap obat yang sifatnya asam, dan lingkungan alkali (usus) lebih mudah menyerap obat
yang bersifat basa. Sebagian besar obat lebih banyak terabsorbsi di usus dibanding lambung
karena luas permukaan usus halus yang lebih besar dan waktu transt yang lebih lama.
Seluruh vena dari lambung dan usus halus menuju ke hepar. Sehingga biovailabilitas
dari obat yang mudah dimetabolisme akan menurun setelah melewati first-pass hepatic
metabolism. Dikarenakan vena dari rongga mulut dan esofagus menuju vena cava superior,
sehingga obat yang diberikan buccal atau sublingual tidak melewati metabolisme pada hepar.
Pemberian obat per-rectal sebagian tidak melalui sistem portal, sehingga dapat menjadi
alternatif bagi pemberian obat pada anak atau dewasa yang tidak toleran dengan pemberian
oral, walaupun absorbsinya tidak menentu dan dapat menyebabkan iritasi muksa rectal.
Obat transderma dapat memberikan waktu yang lama untuk masuknya obat. Tetapi,
stratum korneum merupakan barier yang efektif terhadap semua obat, kecuali yang
bermolekul kecil dan larut lemak (clonidine, nitroglycerin, scopolamine, fentanyl, EMLA)
Pemberian secara parenteral adalah melalui injeksi subkutan, intramuskular, atau
intravena. Absorbsi dari pemberian subkutan dan intramuskular tergantung difusi obat dari
tempat diinjeksikan menuju aliran darah dipengaruhi oleh aliran darah pada jaringan tersebut
dan bahan yang diinjeksikan. Obat dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorbsi dibanding
suspensi. Peberian obat ini dapat menyebabkan nyeri dan nekrosis jaringan. Injeksi intravena
tidak melalui proses absorbsi sama sekali.

5.1.3 Distribusi

Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
Organ yang memiliki banyak perfusi akan menerima fraksi curah jantung yang lebih besar.
Sehingga, jumlah obat yang sampai pada organ tersebut segera setelah pemberian akan lebih
banyak. Jaringan ini akan lebih cepat mencapai keseimbangan plasma dibanding jaringan
yang perfusinya lebih sedikit, dikarenakan perbedaan aliran darah. Tetapi, jaringan yang
memiliki sedikit perfusi seperti lemak dan kulit memiliki kapasitas yang besar untuk
menyerap obat-obatan yang larut lemak, sehingga dapat menjadi tempat penyimpanan pada
pemberian obat jangka panjang.

Molekul obat mengikuti hukum kerja massa. Jika konsentrasi pada plasma lebih
besar dari jaringan, obat akan berpindah dari plasma ke jaringan. Jika konsentrasi pada
plasma lebih keci dari jaringan, obat akan berpindah dari e jaringan ke plasma.
Distribusi merupakan penentu utama konsentrasi obat pada end-organ. Kecepatan
peningkatan konsentrasi obat pada organ dipengaruhi perfusi pada organ tersebut dan
kelarutan obat pada organ dibanding pada darah. Keseimbangan kadar obat pada organ hanya
tergantung pada kelarutan obat di jaringan organ dibanding pada darah, kecuali organ
tersebut mampu memetabolisme obat.
Pada darah molekul dapat bersifat bebas atau terikat pada protein dan lemak. Molekul
yang bebas menentukan keseimbangan konsentrasi antara organ dan jaringan. Sedangkan
keseimbangan antara molekul bebas dan terikat bersifat spontan. Saat molekul bebas
berdifusi ke dalam jaringan, secara spontan akan digantikan oleh molekul yang telah terikat
sebelumnya ikatan obat dengn plasma protein tidak secara langsung mempengaruhi laju
transfer obat, tetapi mempengaruhi kelautan obat dalam darah dan jaringan. Tingginya obat
yang berikatan pada darah dibanding pada jarngan akan meningkatkan laju onset dari efek
obat, karena semakin sedikit molekul yang perlu dipindahkan ke jaringan untuk mencapa
konsentrasi efektif dari obat yang bebas.
Albumin berikatan dengan obat yang bersifat asam, dimana α 1-acid glycoprotein
(AAG) berikatan dengan obat basa. Bila konsentrasi dari protein ini dikurangi atau tempat
ikatan protein ditempati oleh obat lain, kelarutan obat dalam darah akan menurun dan uptake
oleh jaringan meningkat. Penyakit ginjal, penyakit liver, gagal jantung kongestif, dan
keganasan dapat menurunkan produksi albumin. Trauma, infeksi, infark miokardium, dan
nyeri kronis meningkatkan kadar AAG. Kehamilan dikaitkan dengan penurunan konsentrasi
AAG.
Molekul lipofilik dapat dibawa ke darah dan organ. Molekul bermuatan dalam jumlah
kecil dapat mencapai sebagian besar organ. Khusus pada sawar darah otak, sebagian besar
obat yang dapat menembus sawar darah otak merupakan obat yang banyak diserap oleh
lemak tubuh.

Waktu pendistribusian obat ke jaringan perifer sangat kompleks. Pemberian obat


intravena mengalami distribusi yang cepat ke jaringan pada beberapa menit setelah
pemberian. Perlu beberapa waktu untuk mencapai konsentrasi yang sama antara jaringan dan
plasma. Hal ini dipengaruhi redistribusi obat, yaitu kembalinya obat dari jaringan perifer
menuju plasma, yang memperlambat turunnya konsentrasi pada plasma.
Distribusi memberi kotribusi terhadap dipindahkannya obat dari plasma setelah
pemberian. Sedangkan redistribusi umumnya memperlama hal ini. Proses yang kompleks
meliputi keluar masuknya obat dari jaringan menyebabkan waktu paruh tidak berguna secara
klinis. Pengimbangan kerja obat secara klinis merupakan prediksi terbaik yang digunakan
pada model komputer menggunakan konteks-sensitif waktu paruh atau pengurangan waktu.
Konteks-sensitif waktu paruh adalah wakt yang diperlukan untk menurunkan konsentrasi
50% konsentrasi obat pada plasma pada peberian obat yang lama. Konteks di sini diartikan
sebagai durasi pemberian obat.
Volume distribusi, Vd, adalah volume nyata dimana obat telah terdistribusi, yang
didapat melaluipembeagian dosis bolus dengan konsentrasi obat saat diberikan.tidak semua
obat anastesi menggunakan rumus ini. Semua obat anastesi intravena merupakan model yang
baik untuk dua kompartemen (kompartemen sentral dan perifer). Banyak obat yang kerjanya
dijelaskan dengan tiga kompartemen (kompartemen sentral, kompartemen perifer
keseimbangan cepat dan kompartemen perifer keseimbangan lambat). Kompartemen sentral
meliputi darah dan organ yang sangat cepat mencapai keseimbangan, misalnya paru.
Kompartemen perifer keseimbangan cepat meliputi organ dan otot, sedangkan kompartemen
perifer keseimbangan lambat meliputi kulit dan lemak. Volume distribusi pada steady-
state,Vdss, merupakan penjumlahan dari keseluruhan kompartemen tersebut.
Vdss yang kecil menunjukkan besarnya kelarutan obat dalam air dan akan banyak
berada di intravaskular. Vdss idak menunjukkan volume yang sebenarnya, tapi merefleksikan
volume dimana obat perlu untuk didistribusikan untuk menghitung konsentrasi plasma yang
memperoleh dosis yang diberikan.

5.1.4 Biotransformasi

Biotransformasi adaah proses kimia yang mengubah molekul obat dalam tubuh.
Hepar merupakan organ utama dalam metabolisme obat, kecuali ester yang dimetabolisme
melalui hidrolisis pada plasma dan jaringan. Produk akhir biotransformasi seringkali tidak
aktif dan arut lemak. Kelarutan dalam air memungkinkan sekresi melalui urin.
Biotransformasi dibagi menjadi 2 fase. Fase I adalah perubahan komponen utama
menjadi komponen yang lebih polar melalui oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Fase II adalah
reaksi konjugasi hasil metabolit fase I dengan substrat endogen untuk membentuk metabolit
yang larut lemak dan dapat dieliminasi melalui urin atau feces. Walaupun keduanya adalah
rangkaian proses, beberapa hasil metabolit fase I dapat diekskresikan tanpa melalui fase II.
Hepatic clearance adalah volume darah atau plasma yang dibersihkan dari obat tiap
satuan waktu (voume/unit time). Jika semua obat yang masuk ke hepar dimetabolisme,
hepatic clearance akan sama dengan aliran darah ke hepar. Hal ini berlaku pada beberapa
obat, sedagkan yang lain hanya beberapa fraksi obat yang memasuki hepar akan dikeluarkan.
Fraksi yang dikeluarkan ini disebut rasio ekstraksi. Hepatic clearance dapat dikatakan
sebagai aliran darah kehepar dikali rasi ekstraksi. Klirens obat yang dikeluarkan dari hepar
sebanding dengan aliran darah ke hepar.

5.1.5 Ekskresi

Sebagian besar obat diekskresikan melalui ginjal. Renal clearance merupakan laju
eliminasi obat dari tubuh melalui ekskresi ginjal. Merupakan perkalian laju aliran darah ginjal
dengan rasio ekstraksi. Obat dengan molekul kecil secara bebas melewati filtrasi glomerulus.
Obat yang tidak bermuatan (nonionized) direabsorbsi pada tubulus ginjal, sedangkan yang
bermuatan (ionzed) diekskresi melalui urin. Fraksi obat yang bermuatan tergantung pada
keasaman urin. Ginjal secara aktif mensekresi obat melalui tubulus.
Beberapa obat dan metabolitnya menuju usus setelah melewati hepar melalui sistem
bilier. Sebagian diekskresikan melalui empedu lalu direabsorbsi pada usus, yang disebut
enterohepatic recirculation. Beberapa obat yang diekskresikan melalui empedu diubah
kembali menjadi komponen induknya, misalnya lorazepam.

5.1.6 Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat dan mekanisme


kerjanya. Tujuannya ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan
sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Hal ini
merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru. Konsep dasar
farmakosinamik adalah adanya hubungan antara paparan obat dengan respon fisiologis yang
terjadi, yang seringkali dikenal dengan istilah hubungan dosis-respon atau hubungan
konsentrasi-respon. Menurut teori pendudukan reseptor, intensitas efek obat berbanding lurus
dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek akan mencapai
maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Hubungan antara kadar atau dosis obat
terlihat sebagai kurva yang berbentuk hiperbola. Hubungan dosis dan intensitas efek dalam
keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks
dalam menghasilkan efek. Antihipertensi misalnya, merupakan kombinasi efek terhadap
jantung, vaskular, dan sistem saraf.
Reseptor obat adalah makromolekul, biasanya protein, yang mengikat obat (agonis)
dan memediasi respon obat. Antagonis farmakologis membalikkan efek dari agonis, tetapi
tidak sebaliknya. Antagonisme kompetitif terjadi ketika antagonis bersaing dengan agonis
untuk mengikat reseptor, masing-masing berpotensi menggusur yang lain. Antagonisme
nonkompetitif terjadi ketika antagonis, melalui ikatan kovalen atau proses lain, secara
permanen merusak akses obat untuk reseptor. Efek obat diatur oleh fraksi reseptor yang
ditempati oleh agonis. Fraksi yang didasarkan pada konsentrasi obat, konsentrasi reseptor,
dan kekuatan mengikat antara obat dan reseptor. Hal ini dijelaskan oleh hukum aksi massa,
yang menyatakan bahwa laju reaksi sebanding dengan konsentrasi reaktan.
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Hal ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon
khas obat tersebut. Suatu obat atau substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen
disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktifitas intrinsik tetapi
menghambat secara kompetitif efek suatu agonis disebut antagonis. Komponen paling
penting dalam reseptor obat ialah protein. Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat
yang penting, misalnya untuk sitostatika. Ikatan obat dengan reseptor dapat berupa ikatan ion,
hidrogen hidrofobik, van der Walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran
berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat
sehingga lama kerja obat seingkali panjang, walaupun tidak selalu.
Saat tubuh terpapar peningkatan jumlah obat, respon terhadap obat itu akan
meningkat, biasanya sampai dengan nilai maksimal. Konsep mendasar ini ditangkap grafik
dengan memplot paparan (biasanya dosis atau konsentrasi) pada sumbu x sebagai variabel
independen, dan respon tubuh pada sumbu y sebagai variabel dependen. Tergantung pada
keadaan, dosis atau konsentrasi dapat diplot pada skala linier (Gambar A) atau logaritmik,
sedangkan respon biasanya diplot baik sebagai respon aktual (Gambar A) atau sebagai
sebagian kecil dari dasar atau pengukuran fisiologis maksimum (Gambar B). Untuk tujuan
kita di sini, sifat farmakodinamik dasar dijelaskan dalam hal konsentrasi, tetapi setiap metrik
paparan obat (dosis, area di bawah kurva, dll) dapat tetap digunakan.

Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya


ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor dan afinitas obat terhadap reseptornya.
Potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar.
Potensi yang terlalu tinggi juga merugikan karena membahayakan bila obatnya mudah
menguap atau mudah diserap melalui kulit. Efek maksimal ialah respon maksimal yang
ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktifitas intrinsik
obat dan ditunjukkan oleh dataran plateau pada DEC. Dalam klinis, dosis obat dibatasi oleh
timbulnya efek samping sehingga efek maksimal yang timbul dalam klinis kurang bila
dibanding efek maksimal sesungguhnya. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam
efektifitasnya sebagai analgesik, morfin dapat menghilangkan nyeri hebat, sedangkan aspirin
tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya.
Jendela terapi untuk obat adalah rentang antara konsentrasi terkait dengan efek terapi
yang diinginkan dan konsentrasi terkait dengan respon obat menjadi toksis . Rentang dapat
diukur baik antara dua titik yang berbeda pada konsentrasi yang sama versus kurva respon,
atau jarak antara dua kurva yang berbeda. Untuk obat seperti natrium nitroprusside,
konsentrasi tunggal versus kurva respon mendefinisikan hubungan antara konsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Jendela terapeutik mungkin mengalami perbedaan konsentrasi
antara yang menghasilkan 20% penurunan tekanan darah yang diinginkan dan konsentrasi
toksik yang menghasilkan penurunan 60%. Namun, untuk obat seperti lidokain, jendela
terapeutik mungkin mengalami perbedaan antara C50 untuk anestesi lokal dan C50 untuk
kejang, yang terakhir ini memiliki konsentrasi tersendiri dibandingkan hubungan response.
Indeks terapeutik adalah C50 untuk toksisitas dibagi dengan C50 untuk efek terapi yang
diinginkan. Karena risiko ventilasi dan depresi kardiovaskular, hipnotik inhalasi dan
intravena dianggap memiliki indeks terapeutik relatif terhadap obat lain yang sangat rendah.

5.2 Farmakologi Obat Anestesi

Tujuan dari memberikan anestesia adalah untuk mendapatkan 3 hal yaitu:


Narcosis/Hipnosis menyebabkan penderita tidur, Analgesi yang menyebabkan tidak
merasakan nyeri dan Relaksasi, yang menyebabkan otot-otot jadi lemas. Akan tetapi tidak
semua obat anestesi mempunyai daya yang kuat dalam tidak bidang tersebut. Sebagai
contoh:
Tiopental, hanya mempunyai efek narcosis yang baik, tetapi tidak dengan efek
analgesiadan relaksasinya Ketamin mempunyai efek narcosis yang baik, analgesi somatic
yang baik dan tidak mempunyai daya relaksasi. Halotan mempunyai efek narcosis yang
baik, analgesi dan relaksasinya yang cukup. Eter mempunyai efek narcosis, analgesia dan
relaksasi yang baik Trilene yang sekarang jarang dijumpai mempunyai efek analgesia
yang baik tetapi daya narkosisnya yang cukup dan tidak mempunyai daya relaksasi.
Sebaliknya tidak semua operasi memerlukan analgesi dan relaksasi yang sama.
Laparotomi memerlukan relaksasi, menjahit luka pada tungkai tidak memerlukan relaksasi.
Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kebutuhan operasi. Dalam hal laparotomi
misalnya digunakan ether, menjahit luka pada tungkai dapat digunakan triline.
Pada anestesi modern sering digunakan beberapa obat bersama-sama dengan
maksud untuk mencapai hasil anestesi sebaik-baiknya dengan menimbulkan gangguan faal
pada penderita sesedikit mungkin. Misalkan pasien akan dilakukan pembedahan toraks
dilakukan induksi dengan Tiopental intravena, merupakan hal menyenangkan untuk
penderita karena dimasukkan lewat saluran infus sehingga tidak merasakan sakit atau
membau yang tidak enak. Induksi berjalan sangat cepat dan dilanjutkan rumatan
(maintenance) dengan obat anestesia inhalasi halotan yang mempunyai daya narcosis dan
untuk analgesinya diberikan Gas Gelak (N2O, Lachgas) dan untuk relaksasinya diberikan
pancuronium. (obat pelumpuh otot, muscle relaxant)
Pada anestesi tanpa pelumpuh otot jika narcosis atau analgesi tidak cukup akan
timbul tanda-tanda somatik (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks melewati serat
saraf somatic) seperti penderita bergerak atau bersuara. Disamping itu akan timbul juga
tanda-tanda visceral (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks melewati serat saraf
visceral atau otonom) seperti berkeringat, keluar air mata, nadi cepat, tensi naik. Jika
dipakai obat pelumpuh otot, otot-otot bergaris penderita jadi lumpuh dengan demikian
maka tanda-tanda somatic tidak dapat timbul. Cukup tidaknya narcosis atau analgesi
dinilai dengan hanya memperhatikan tanda-tanda visceral yang timbul. Perlu diperhatikan
bahwa pemakaian pelumpuh otot hanya boleh jika pada penderita dilakukan pernapasan
buatan.

5.2.1 Obat Anestesia Umum

Anestesia umum mempunyai triad yaitu narkosis, analgesia dan relaksasi akan
tetapi tidak semua obat anestesi umum mempunyai sifat tersebut yang sempurna
sehingga sering dilakukan kombinasi berbagai macam obat anestesia. Untuk
menghindari penyulit akibat pemberian obat secara kombinasi tersebut diharuskan untuk
mempelajari setiap efek dari obat tersebut yang mungkin dapat bersifat sinergis,
potensiasi atau berlawanan. Pada dasarnya pemberian anestesi umum bertujuan
menghilangkan rasa nyeri dan disertai hilangnya kesadaran yang dapat kembali secara
reversibel. Cara pemberian anestesi umum dapat dilakukan dengan : Obat Anestesi
Inhalasi & Obat Anestesi Parenteral

Obat Anestesi Inhalasi


Pada anestesi inhalasi, berbentuk dan dan cair, yang berbentuk cair akan
mudah menguap untuk menjadi gas. Obat tersebut masuk melalui pernapasan ke
paru, berdifusi di alveoli masuk kedalam darah dan diedarkan ke otak. Kadar dalam
alveoli diatur dengan alat vaporizer yang menentukan tekanan gas/uap anestesi yang
dihisap. Jaringan yang mempunyai aliran darah lebih cepat, akan lebih cepat jenuh
dengan obat anestesi. Jika kadarnya telah mencapai tingkat yang efektif, pasien
menjadi tidak sadar, tidak merasakan nyeri dan refleks-refleksnya hilang (areflexia).
Jika dosis ditingkatkan lagi, tahapan anestesi menjadi makin dalam dan makin
banyak penyulit yang mengikutinya. Kedalaman anestesi ini dibagi dalam beberapa
tahapan (stadium, stage). Tahapan yang jelas dan mudah diikuti adalah yang dibuat
Guedel untuk eter. Untuk obat anestesia lain, kedalaman diperkirakan dari ada atau
tidaknya reaksi terhadap rangsang nyeri berupa gerakan-gerakan tubuh, nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, frekwensi nafas meningkat, keluarnya keringat
ditelapak tangan dan keluarnya air mata.

Difusi uap anestesia dari alveoli kealiran darah dipengaruhi oleh kadar dalam
alveoli, kelarutan dalam darah, kecepatan aliran darah melalui paru dan tekanan
parsial dalam arteri dan vena. Kelarutan dalam darah ditentukan oleh blood/gas
partition coefficient. (N2O 0.47; Halothan 3.6 dan Ether 12.1). Gas/uap anestesia
yang mudah larut dalam darah membutuhkan waktu yang lama untuk induksi dan
lama juga untuk sadar kembali. Jenis yang sukar larut dalam darah, dengan cepat
menjadi jenuh dalam darah arteri dan cepat berdifusi kejaringan otak sehingga
pasien cepat menjadi tidak sadar. Ventilasi paru mempengaruhi kecepatan masuknya
gas anestesia kedalam peredaran darah. Hiperventilasi mempercepat masuknya gas
anestesia dalam sirkulasi dan jaringan.
Selain dieliminasi terutama melalui paru-paru obat anestesi inhalasi juga
mengalami metabolisme. Obat yang baik adalah yang paling sedikit mengalami
metabolisme sebab metabolit yang toksik dapat mengganggu hati dan ginjal
Metabolisme methoxyflurane mencapai 50%, halothan 10-20%, ether 2-3%,
enfluran dan isofluran sangat minimal.
Gambar 5.2.1.1. Schematic diagram of uptake distribution of inhalation
anesthetics Inspired concentration, F1 or fraction inspired, of anesthetic is under
direct control of the anesthetist. F1 is delivered to the alveoli by minute volume of
ventilation (MVV). The alveolar concentration, FA or fraction of alveoli, regulates
tension (partial pressure) of anesthetic agentin arterial blood. The three tissue groups
or compartment (COMP), the vessel rich group VRG), the muscle group (MG) and
the vessel poor group (VPG) tend toward equilibration with anesthetic tension in
arterial blood bur reach that equilibrium at rates determined by the volume of blood
flow to each tissue. The brain in the site action. (CO = cardiac output and BW =
body weight, both expressed in per cent. SPLANC = splanchnic circulation)
Pengaruh pada otak
Obat anestesia inhalasi secara langsung mempengaruhi otot polos pembuluh
darah otak dan menyebabkan vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Autoregulasi otak dihambat oleh obat-obat anestesia tersebut. Selain
efek langsung di atas, secara tidak langsung, setiap depresi pernapasan menaikan
tekanan intrakanial karena CO2 merupakan vasodilator kuat pada otak.

Pengaruh pada sistem pernafasan


Obat anestesia merubah pola nafas yang normal dan menghambat mekanisme
pertukaran gas-gas. Selama anestesia dapat terjadi tahan nafas, pola nafas tidak
teratur, takhipneu atau apnea. Bila terjadi takhipneu, volume tidak sangat menurun,
ventilasi alveolar juga menurun sehingga menyebabkan asidosis respiratorik. Pada
tahapan pembedahan (surgical plane of anesthesia) halothan, enfluran dan isofluran
sering menimbulkan hipoventilasi.

Pengaruh pada sirkulasi


Halotan dan isofluran menurunkan aliran darah koroner dan konsumsi O2 otot
jantung, hal ini mungkin melalui mekanisme penurunan kebutuhan O2 otot jantung.
Obat anestesia ini menyebabkan depresi langsung pada kontraktilitas otot jantung.
Stabilitas sirkulasi selama anestesia cyclopropane, diethyl ether disebabkan adanya
rangsang syaraf simpatis yang mempertahankan curah jantung dan tekanan arterial
pada batas-batas normal. Sebaliknya, halothan dan enfluran tidak merangsang syaraf
simpatis sehingga tampak nyata terjadinya depresi kardiovaskuler (tekanan arterial
dan curah jantung menurun).
Obat-obat anestesia juga berpengaruh pada aliran darah regional di otak,
jantung, paru, usus, hati dan ginjal. Perubahan-perubahan aliran darah selama
anestesia dan pembedahan merupakan interaksi antara factor-faktor curah jantung,
tahanan pembuluh darah perifer serta autoregulasi di otak, pembuluh koroner dan
ginjal yang merupakan pengaruh langsung obat-obat anestesia tersebut. Secara
umum sirkulasi ke daerah sphlancnic ini menurun selama anestesia dan pembedahan.

Toksisitas
Obat-obat anestesia yang digunakan pada masa kini tidak ada yang secara
langsung bersifat toksik terhadap hati atau ginjal. Obat yang toksik terhadap hati
seperti chloroform (menyebabkan nekrosisi akut sel-sel hati) dan methoxyfluran
terhadap ginjal (menyebabkan gagal ginjal akut) tidak dipakai lagi. Kegagalan faal
hati setelah anestesia halothan atau enfluran yang dilaporkan, disebabkan oleh
terjadinya interaksi antara factor-faktor kelainan genetika, obat-obat yang sedang
digunakan pasien dengan kegagalan sirkulasi (syok berat) atau hipoksia.
Anestesia merubah tekanan darah dan menurunkan aliran darah ke ginjal.
Cyclopropan, N2O, halothan, enfluran, diethyl ether dan insofluran meningkatkan
tahanan pembuluh darah ginjal sehingga perfusi ginjal menurun. penurunan perfusi
ini merangsang system rennin-angiotensin. Pada tahap pembedahan terjadi
penurunan GFR sebesar 19-55% dan penurunan aliran plasma ginjal 36-67%.
Penurunan ini akan lebih jelas dengan makin dalamnya tahapan anestesia. Anestesia
umum juga berpengaruh antiduresis, yang menyebabkan penurunan volume urine
sampai 60-70%. Osmolalitas urine meningkat karena lebih banyak reabsorbsi air
pada tubuli renalis. Efek antidiuresis ini dapat lebih meningkat, akibat trauma bedah
dan penggunaan opioid, sehingga mengakibatkan oliguria dan retensi cairan pasca-
bedah.
Pada umumnya semua obat anestesia menghasilkan sedikit relaksasi otot,
hanya diethyl ether saja yang relaksasinya sangat baik pada tahapan anestesia
dimana volume ventilasi dan tekanan darah masih normal. Relaksasi yang dihasilkan
halotan, enfluran dan isofluran hanya sedikit, sehingga bila memerlukan relaksasi
masih perlu dibantu dengan penggunaan obat pelumpuh otot. Pemberian obat
pelumpuh oata harus disertai pemberian nafas buatan.
Obat anestesi inhalasi ada beberapa macam : N2O, Ether & halothane, ethyl
cloride, trilene, enfluran & isofluran.

A. N2O (Dinitrogen oksida, nitrous oxide)

Gas hampir tidak berbau, tidak mudah terbakar, tetapi dapat memudahkan
terbakar dan meledaknya obat anestesia yang mudah terbakar. N2O disimpan dalam
botol logam, sebagian dalam bentuk cair, hingga harus digunakan dengan botol berdiri
tegak. Khasiat anestesianya lemah sehingga hanya dapat dipakai pada operasi kecil
atau membantu mempercepat induksi.
Penggunaan N2O dilakukan dengan campuran oksigen dalam perbandingan
kadar N2O / O2 50% / 50% atau maksimal 70% / 30%. Khasiat analgesianya
digunakan sebagai kombinasi dengan obat anestesia lain yang tidak memiliki
khasiat analgesia misalnya: halothan, enfluran, isofluran. N2O tidak memiliki khasiat
relaksasi. Setelah anestesia selesai, N2O dihentikan dan diteruskan O2 100% selama
5-10 menit lagi untuk mencegah diffusion hypoxia.
B. Ether (diethyl-ether, di-etil-eter, eter)

Cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar dan mudah
meledak, lebih-lebih jika digunakan bersama O2. mudah teroksidasi menjadi peroksid
dan dengan alcohol membentuk asetaldehid, sehingga ether yang telah terbuka
beberapa hari seharusnya dibuang. Eter mempunyai bau yang merangsang. Induksi
dengan eter sukar dicapai dengan baik karena pasien sering menahan nafas akibat bau
yang kurang menyenangkan. Sekresi bronchus dan ludah meningkat. Hipersekresi dan
hipersalivasi ini dapat dicegah dengan premedikasi atropin 0.5 mg 1 jam sebelumnya.
Ether menyebabkan mual dan muntah, baik pada waktu induksi maupun pulih sadar
melalui mekanisme rangsangan lambung dan efek sentral. Eter mempunyai khasiat
narkosis baik, analgesia sangat kuat dan relaksasi otot bergaris sangat baik. Selain itu
eter mempunyai batas keselamatan sangat lebar. Dosis untuk tahap pemeliharaan
(maintenance) adalah 2-4%. Dosis maksimal yang diberikan waktu induksi adalah 15-
20%. Sampai pada tahapan yang dalam, pasien tetap dapat bernafas spontan,
meskipun reaksi pusat pernafasan terhadap CO2 menurun. Ether menyebabkan
bronchodilatasi. Sampai stadium III bidang 2, efek depresi otot jantung tak tampak
jelas karena ether merangsang syaraf simpatis serta sekresi adrenalin-nor adrenalin.
Pada stadium dalam, terjadi depresi nafas dan depresi otot jantung. Ether tidak
membuat otot jantung lebih peka terhadap rangsang katekholamin.
Selain ekskresi melalui paru, sebagian kecil keluar melalui urine, keringat,
air susu dan berdifusi secara utuh melalui kulit. Untuk memudahkan induksi
digunakan induksi digunakan ethyl chloride dengan tetes terbuka (open-drop) atau
ketamine iv/im. Pembedahan dilakukan pada tahap (stadium) III:

1. Bidang 1 untuk pembedahan di tangan, kaki dan permukaan tubuh

2. Bidang 2 untuk pembedahan rongga perut bagian bawah, Sectio Caesaria, hernia,
usus buntu dan sebagainya.

3. Bidang 3 untuk pembedahan rongga perut bagian atas dan lainnya yang
memerlukan relaksasi otot yang sebaik-baiknya. Pada bidang 3 ini telah terjadi
depresi nafas dan sirkulasi sehingga pasien sudah mengalami hipoventilasi yang
dapat membahayakan pasien. Cara yang lebih aman untuk mencapai relaksasi
yang baik adalah dengan diberikan obat pelumpuh otot

Ether menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah organ viscera


sehingga filtrasi glomeruler dan jumlah air seni menurun. Sebaliknya pembuluh darah
otak menjadi vasodilatasi hingga aliran darah dan tekanan intra cranial meningkat.
Eter jangan digunakan pada pasien dengan rudapaksa kepala, contusio cerebri dan
tekanan intra cranial yang meningkat. Pengaruh pada kadar gula darah dapat
meningkatkan sampai 2 kali lipat dan berlangsung sampai beberapa jam sesudah
anestesia. Sedapat mungkin eter dihindari penggunaannya pada pasien Diabetes
Mellitus.

Tanda-tanda dan tahap-tahap anestesi ether


Dengan ether tahap-tahap anestesi yang disebut di bawah ini ”dilewati
dengan pelan” sehingga tiap tahap akan dapat dilihat dengan jelas. Dengan obat
anestesi lain, tahap-tahap itu dilewati lebih cepat sehingga masing-masing tahap tidak
nampak jelas. Tanda dan yang dijelaskan di bawah ini hanya berlaku semata-mata
untuk anestesi ether cara tetes (open drop).

Tahap Anestesi
Ada 4 tahap (stadium, stage) anestesi
1. Tahap (stadium) 1, tahap analgesi. Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya
kesadaran
2. Tahap II, tahap eksitasi (delirium) mulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
3. Tahap III, tahap bedah (surgical stage)
Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas spontan (arrest napas).
Pada tahap ini pembedahan dapat dilakukan. Tahap ini dibagi jadi 4 bidang (plane)
4. Tahap IV, tahap kelumpuhan medulla (medullary paralysis)
Mulai dari berhentinya napas spontan sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung).
Tahap ini disebabkan oleh kelebihan dosis (overdose, terlalu dalam, keracunan)
sehingga terjadi kelumpuhan pada pusat pernapasan dan sirkulasi yang letaknya
di medulla oblongata.

Tanda-tanda anestesi (sign of anestesia)


Tahap-tahap tersebut dikenal dengan memperhatikan tanda-tanda:
1. Napas
2. Gerak bola mata
3. Lebar pupil
4. Ada atau tidaknya beberapa refleks

Tanda Napas
Tanda napas adalah tanda yang paling penting karena:
a. Baik buruknya napas langsung mempengaruhi hidup matinya penderita
b. Dengan selalu mengawasi tanda napas sekaligus akan dapat diawasi ada
tidaknyagangguan napas.
c. Pada operasi di kepala tanda-tanda mata tak dapat dilihat karena tertutup
d. Jika tanda lain tidak cocok dengan tanda napas yang dipakai adalah tanda
napas.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tanda napas adalah:
1. Irama, taratur atau tidak teratur
2. Amplitudo, besar atau kecil (dalam atau dangkal)
3. Sifat, napas dada atau perut
4. Fase, gerak dada serentak atau tidak dengan gerak perut.

Gerak bola mata


Tanda ini paling mudah ditetapkan. Bila bola mata diam tak bergerak (fixed)
berarti bidang (plane) 2 atau lebih dalam. Bila bola mata masih bergerak berarti
bidang 1 atau lebih dangkal.

Lebar Pupil
Banyak hal mempengaruhi lebar pupil karena itu harus dinilai dengan hati-hati.
Morphine mengecilkan pupil sebaliknya atropine melebarkan pupil. Pada penderita
diatas 50 tahun, lebar pupil tak dapat dipercaya karena pada beberapa penderita
pupilnya jadi kaku dan tak dapat melebar meskipun anestesi telah dalam. Dengan
singkat dapat dinyatakan bila pupil terdapat lebar anggaplah anestesi terlalu dalam
kecuali jika ada tanda-tanda lain yang menyangkal kaku, pupilnya tetap kecil tetapi
anestesi dapat sangat dalam.

Refleks-refleks
Dalam praktek ada 3 refleks yang perlu diperhatikan
1. Refleks bulu mata (eyelash reflex), yaitu penderita kedip bila bulu mata
disinggung. Refleks ini jadi negatif pada tahap III
2. Refleks pharynx, yaitu penderita muntah jika dinding belakang pharynx
disinggung. Refleks ini jadi negatif pada akhir bidang I. Jalan napas oropharinnx
baru dapat dipasang jika refleks ini sudah negatif.
3. Refleks larynx, yaitu penderita batuk jika ada benda asing di larynx. Refleks ini
hilang pada bidang 2. endotracheal tube baru dapat dipasang jika refleks ini sudah
hilang.

Tahap I (stadium I, tahap analgesi)


Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya kesdaran. Pada tahap ini penderita
masih sadar, akrena itu tak ada pola tertentu dari pernapasan, gerak bola mata maupun
lebar pupil.

Tahap II (stadium II, tahap eksitasi)


Mulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan tahap bedah. Tahap I dan II
bersama-sama disebut tahap induksi. Pada tahap ini penderita mulai tidak sadar.
Napas : Tidak teratur baik iramanya maupun amplitudonya. Napas kadang-
kadang cepat, pelan atau berhenti sebentar Amplitudo sesaat besar
sesaat lagi kecil. Perlu dibedakan disini antara napas yang berhenti
sebentar karena tahap napas (breath-holding) pada tahap II dan
arrest napas (respiratory arrest) karena kelumpuhan medulla pada
tahap IV. Tahan napas dapat diketahui karena adanya tanda-tanda
yang lain misalnya penderita bergerak-gerak disamping itu anestesi
baru sebentar dimulai.
Bola Mata : Masih bergerak
Pupil : Lebar
Reflex-reflex : Reflex-reflex jalan napas meninggi.
Penderita dapat batuk-batuk atau mengalami kejang tenggorok (laryngospasmus).
Terjadi juga hipersalivasi. Muntah terjadi pada akhir tahap II pada waktu induksi juga
pada waktu akan siuman (emergence) bahaya dari muntah adalah terjadinya aspirasi.
Penderita sering memberontak menunjukkan gerakan-gerakan berusaha lepas dari
meja operasi. Penderita sakit jantung dapat mengalami dekompensasi karena gerakan-
gerakan yang berlebihan ini. Karena gangguan yang sering timbul pada tahap II ini
(hipersalivasi, batuk, kejang tenggorok, muntah dan eksitasi yang berlebihan) teknik
pemberian anestesi ditujukan untuk melewati tahap ini secepat mungkin. Kalau perlu
diberikan obat lain untuk induksinya yang tidak menimbulkan eksitasi baru kemudian
untuk maintenance (lanjutan) digunakan eter.

Tahap III (stadium III, tahap pemberdahan)


Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas spontan (arest
napas).
Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang (palne), bidang 1 sampai 4. Ciri umum dati tahap
III ini adalah :
- Napas jaji teratur (ini dapat dinilai dari gerak dan suara napas) seperti orang
yang tidur nyenyak
- Reflek bulu mata negatif
- Otot-otot jadi lemas, sehingga misalnya kepala mudah digerakkan kekiri dan
kekanan

Bidang 1 (plane 1)
Napas : Tetur, dalam (amplitudo besar), gerak dada dan perut serentak
(waktu dada naik perut juga naik)
Amplitudo gerak dada dan perut sama atau hampir sama.
Pernapasan dada sangat nyata
(Full regular and automatic respiration which are equally
abdominal and thoracic in character G & G)

Bidang 2 (plane 2)
Napas : Sama seperti pada bidang 1 hanya besarnya (amplitudo) berkurang
Bola mata : Tak bergerak (fixed)
Pupil : Kecil

Bidang 3 (plane 3)
Napas : Napas perut mulai lebih besar dari napas dada. Gerak dada
ketinggalan (perut naik lebih dulu baru disusul dada)
Bola mata : Tak bergerak
Pupil : Mulai melebar (lebar sedang)
Reflex cahaya positif

Bidang 4 (plane 4)
Napas : Otot-otot interkostal telah lumpuh sama sekali
Napas hanya napas perut semata-mata
Ciri lain : Inspirasi sangat cepat (jerky, gasping) seperti orang
yang terisak (tersedu) waktu menangis. Pause (waktu
mengaso) setelah ekspirasi adalah lama akhirnya napas
berhenti sama sekali waktu penderita masuk tahap IV
Bola mata : Tak bergerak
Pupil : Melebsr hsmpir maximum, reflex cahaya negatif

Tanda peringatan sebelum penderita masuk tahap IV (preparalytic stage) ialah:


1. Napas hanya semata-mata napas perut (abdominal) Dekat sebelum arrest napas
biasanya penderita megap-megap (gasping, lihat ata ….. ?????)
2. Pupil melebar hampir maximum, reflex cahaya negatif
3. Nadi kecil tensi rendah
4. Kulit pucat dingin dan basah berkeringat

Tahap IV (Stadium IV, tahap kelumpuhan medulla)


Mulai arrest napas sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung)
C. Halothane (halotan)

Cairan tak berwarna, berbau enak, tak mudah terbakar atau meledak.
Induksinya cepat, dengan kadar 2-4% dapat dilakukan dengan inhalasi langsung
(terutama pada anak-anak) atau dimulai dengan thiopental 3-5 mg/kg intra vena
pelan-pelan. Kadar pemeliharaan 0.5-2%. Halotan khasiat analgesia kurang baik
sehingga diperlukan tambahan obat yang mempunyai sifat analgesia misalnya N2O
atau narkotik. Obat narkotik pethidin diberikan 1 mg/kg BB atau morfin 0.1 mg/kg
BB secara intra muskuler sebagai premedikasi atau diberikan tambahan selama
anestesia, seperti pethidin dengan dosis 0.2 mg/kg BB, i.v. Halotan tidak melemaskan
otot bergaris kecuali otot masseter (rahang)

Pengaruh pada pernafasan


Depresi pernafasan terjadi pada stadium pembedahan sehingga perlu diberikan
nafas buatan berkala untuk menghindarkan hiperkarbia. Halothan menyebabkan
bronchodilatasi dan tidak merangsang sekresi kelenjar bronchus maupun hipersalivasi.

Pengaruh pada sirkulasi


Obat ini sangat kuat menyebabkan depresi sirkulasi. Tekanan darah menurun
karena kontraktilitas otot jantung yang menurun dan adanya vasodilatasi perifer. Pada
overdosis halotan aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga dapat mudah terjadi
cardiac arrest, dan aktifitas syaraf vagus yang relatif meningkat menyebabkan
terjadinya bradikardia. Halotan juga membuat miokard menjadi lebih peka terhadap
katekholamin sehingga mudah terjadi extra-sistol dan aritmia ventrikuler yang
berbahaya yang tampak bila dilakukan dengan monitor EKG. Suntikan adrenalin
untuk infiltrasi selama anestesia harus sangat dibatasi. Dosis orang dewasa tidak boleh
melampui 10 ml larutan 1 : 100.000 dalam 10 menit atau 30 ml per jam.
Hipoventilasi menyebabkan kenaikan CO2 darah sehingga memudahkan
terjadinya aritmia ventrikuler. Penggunaan pada pasien syok atau hipotensi akan
memeprberat keadaan. Untuk mengatasi hipotensi diberikan ephedrin dalam larutan
10 mg/cc diberikan 10-15 mg i.v. pelan-pelan jika tekanan sistolik turun lebih dari
25% nilai awal kalau perlu dosi dapat diulang setelah 5-10 menit.
Aliran darah ke organ viscera menurun, GFR dan produksi air seni juga
menurun. Sebaliknya vasodilatasi perifer menyebabkan sirkulasi ke otak
meningkatkan dan tekanan intra cranial naik. Kenaikan tekanan intrakanial ini akan
menjadi lebih tinggi jika disertai depresi nafas yang mengakibatkan kadar CO2 yang
meningkat.
Halothan pada kadar rendah (pasien masih sadar), sudah menghambat
kontraksi otot rahim serta mengurangi efektifitas ergotamin dan oksitosin hingga
mudah menyebabkan perdarahan pasca persalinan (postpartum) yang sangat
berbahaya. Penggunaan pada section Caesaria harus sangat hati-hati dengan
perdarahan yang terjadi.

Penggunaan berulang harus dihindari sebelum jarak waktu 12 minggu karena


dapat menyebabkan kerusakan hepar (nekrosis sentrilobuler) melalui mekanisme
sensitisasi.

D. Ethyl-chloride (chlorethyl, etil klorida)

Cairan jernih, mudah menguap, tidak berbau merangsang dan tidak iritasi
mukosa jalan nafas, tetapi sangat berbahaya sebab induksi berlangsung sangat cepat
(2-3 menit) dan stadium eksitasi tidak terlihat nyata. Batas keselamatannya sangat
sempit. Tahap pembedahan dengan kadar dalam darah 20 mg% dapat dicapai dengan
menghisap uap 4 vol%. Pada kadar 40 mg% sudah terjadi apnea. Ethyl chlorida
dipakai sebagaiobat induksi anestesia pada orang dewasa yang sehat tanpa kelainan
sistemik (PS-1, ASA). Cara pemberian dengan diteteskan pelan-pelan sebanyak 7,5 –
10 ml ke kasa opendrop sampai pasien tidak sadar dan anestesia dilanjutkan dengan
eter. Menyemprotkan obat ini langsung ke kasa tidak dapat diketaui jumlah yang
diberikan sehingga dapat terjadi over dosis yang berakibat kematian. Ethylchloride
menyebabkan depresi miokard sehingga curah jantung sangat menurun. Otot jantung
jadi peka catecholamine sehingga mudah terjadi aritmia ventrikuler. Dengan
disemprotkan pada kulit dapat terjadi anestesia lokal, anestesianya hanya berlangsung
1 menit sewaktu kulit beku pada suhu minus 20 C. pembekuan. Hal ini sebenarnya
merusak sel-sel dan membuat jaringan menjadi peka infeksi dan penyembuhan luka
terhambat.

E. Trilene (trichloroethylene)
Cairan tak berwarna yang diberi warna biru. Baunya agak merangsang tetapi
lebih mudah diterima daripada ether. Tidak boleh digunakan dalam system anestesia
yang menggunakan CO2-absorber (soda lime) sebab akan terbentuk dichloroacetylene
yang sangat toksik terhadap syaraf dan fatal.
Induksi lambat dan waktu pulih sadar berlangsung beberapa jam, tetapi khasiat
analgesia sangat baik bahkan sudah mulai tampak meskipun pasien masih sadar.
Digunakan untuk anestesia singkat pada insisi abses, penjahitan perineum
(episiotomi), curettage dan nyeri persalinan (nyeri karena his). Relaksasi otot-otot
bergaris yang terjadi tidak sempurna. Pada tahap pembedahan sering terjadi
pernafasan cepat dan dangkal, lalu kadang-kadang diikuti apnea mendadak.

F. Enfluran
Enfluran (CHF2OCF2 CHFCI) adalah hidrokarbon halogen yang kuat (MAC
enfluran 1,68% didalam oksigen). Ia kelompok senyawa sintetik yang lebih baru,
yang dibuat untuk mengkombinasi ikatan eter stabil (untuk efek anestesi) dan molekul
halogen. Induksi cepat dan gangguan pernafasan dan sistem kardiovaskular timbul
seperti pada pemberian halotan. Enfluran tidak memiliki efek sensitisasi myocardium
terhadap obat blok neuromuskular. Beberapa kasus hepatotoksisitas seperti halotan
juga ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa persentase
enfluran yang mengalami biotransformasi hanya kecil bila dibanding dengan halotan.
Walau demikian, enfluran tampak cukup kuat untuk menimbulkan disfungsi ginjal
yang mungkin berhubungan dengan kenaikan kadar plasma fluorida anorganik.
Walaupun belum ada cukup data untuk membuktikan bahwa tingkat plasma fluorida
anorganik bersifat nefrotoksik, namun lebih baik menghindari atau membatasi
penggunaan enfluran pada pasien penyakit ginjal atau yang mengalami transplantasi
ginjal. Dalam jumlah persentase yang kecil pada pasien normal, penggunaan enfluran
tampakadanya pembentukan pola elektroensefalografi (EEG) yang menyerupai tanda
epilepsi. Bukti klinik perubahan EEG yang abnormal tampaknya meragukan, terutama
karena lebih jarang dibanding dengan pasien epilepsi. Karena itu, lebih baik
menghindari penggunaan enfluran pada pasien epilepsi

G. Isofluran
Isofluran (CHF2 OCHClCF3) adalah tambahan terbaru dari kelompok
hidrokarbon halogen (diperkenalkan tahun 1980). MACnya 1,15% didalam oksigen.
Isofluran tidak atau hanya sedikit mengalami biotransformasi, dikeluarkan dalam
bentuk tidak berubah melalui paru-paru, sehingga dianggap sangat mendekati konsep
obat anestesi “ideal” yang sudah lama dicari. Depresi terhadap miokard lebih kurang
dibanding dengan obat derivat halogen lain, tetapi merupakan vasodilator yang lebih
kuat, dan terjadi potensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan nondepolarisasi.
Pada konsentrasi lebih dari 1 MAC isoflurane menyebabkan kenaikan aliran darah
cerebral dan tekanan intrakranial. Pengaruh terhadap fungsi ginjal adalah menurunkan
aliran darah ke ginjal yang berakibat menurunnya produksi urine

Obat Anestesia Parenteral

Obat anestesia parenteral setelah penyuntikan, kadar obat anestesia dalam


darah meningkat, lalu diikuti kenaikan kadar dalam jaringan otak sehingga pasien
menjadi tidak sadar. Untuk mempertahankan tahapan anestesia, kadar dalam darah
harus dipertahankan dengan penyuntikan berkala atau memberikan tetesan secara
kontinyu sebab obat tersebut mengalami metabolisme di hati dan dikeluarkan lewat
ginjal. Jika pemberian obat anestesia dihentikan , kadar dalam menurun, terjadi difusi
balik dari jaringan otak ke dalam darah dan pasien sadar kembali. Makin lama
anestesia berlangsung, makin lama juga proses sadar kembalinya karena jaringan
tubuh selain otak juga menjadi jenuh dengan obat anestesia.
Penggunaan obat anestesia parenteral adalah pemberian satu arah. Berbeda
dengan anestesia inhalasi dimana kelebihan dosis dapat dengan mudah dikeluarkan
kembali melalui pernafasan Obat anestesi parenteral harus menunggu metabolisme
dari obat tersebut. Karena itu dosis perlu diperhitungkan dengan teliti.

Ada beberapa obat paranteral antara lain: Thiopental, ketamin dan propofol.

A. Thiopental (Thiopentone Sodium, Tiopental, Pentothal)

Serbuk kekuningan berbau belerang ini harus dilarutkan dalam air menjadi
2,5% (25 mg/cc). Larutannya bersifat sangat alkalis, pH = 11 dan stabil selama 24-48
jam asal tidak menjadi keruh.

Induksi intravena berjalan cepat, dalam 30-60 detik pasien sudah tidak sadar.
Pemberian intravena harus dilakukan secara perlahan, 3-5 mg/kg BB, sambil melihat
respons pasien, sampai mata tertutup dan reflex bulu mata hilang. Hilangnya
kesadaran disebabkan depresi kortek dan Reticular Activating System. Pada dosis
yang lebih banyak terjadi depresi pusat pernapasan di medulla oblongata. Pasien cepat
kembali sadar dalam 3-5 menit, karena redistribusi obat dari otak ke jaringan lain,
bukan karena cepatnya metabolisme di hati atau eksresi di ginjal. Thiopental sesuai
untuk tindakan singkat seperti reposisi patah tulang yang tertutup, reposisi dislokasi
sendi dan insisi abses. Tiopental sebagai obat induksi yang dilanjutkan dengan halotan
akan berjalan lancar, tetapi sebaliknya bila dilanjutkan dengan eter akan mengalami
banyak kendala sebab thiopental menaikan kepekaan refleks jalan nafas sedang disisi
lain eter merangsang jalan nafas. Khasiat analgesia dan relaksasi otot bergaris kurang.
Tidak menyebabkan mual atau muntah.

Pengaruh pada Otak


Metabolisme dan konsumsi O2 sel-sel otak, aliran darah dan tekanan intra
cranial pada pemberian tiopental akan menurun. Penurunan tekanan intra cranial
terjadi 1/3 pada tahap anestesia yang ringan dan sampai ½ pada tahap yang lebih
dalam.

Pengaruh pada pernafasan


Pemberian tiopental dapat menyebabkan hipoventilasi, obstruksi jalan nafas
dan apnea sehingga jalan nafas harus dijaga supaya tetap bebas dengan kepala posisi
tengadah dan siap dengan alat pernafasan buatan. Pada pasien radang jalan nafas
akut/kronik kepekaan refleks jalan nafasnya meningkat, sehingga pada pemberian
tiopental dapat terjadi spasme larynx

Pengaruh pada sirkulasi


Thiopental menyebabkan kekuatan kontraksi otot jantung menurun dan
tekanan darah menurun, pada pasien hipovolemia, depresi sirkulasi ini mudah
menyebabkan syok dan cardiac arrest. Selain itu tidak menimbulkan sensitisasi
miokard terhadap catecholamine.
Pasien rawat jalan tidak boleh mengemudikan mobil atau menjalankan alat-
alat meskipun tampaknya mereka sudah sadar baik kembali. Waspadalah terhadap
pasien yang mengeluhkan rasa nyeri ditempat suntikan, karena ekstravasasi
menyebabkan nyeri hebat dan nekrosis, sedang suntikan intra arterial menyebabkan
gangrene.

B. Ketamine (ketamin, katalar)


Batas keselamatan ketamin sangat lebar, overdosis hanya menyebabkan tidur
yang lebih lama tetapi tidak menambah dalamnya stadium anestesia. Tidak seperti
obat anestesia umum lainnya, ketamine memberikan anestesia dissosiatif. Dalam
keadaan tidak sadar, pasien dapat bergerak-bergerak tanpa tujuan, membuka mata
dengan gerakan nystagmus atau bersuara. Khasiat analgesia somatic sangat baik tetapi
untuk analgesia visceral kurang. Pada 15% pasien pasca pemberian ketamin terjadi
emergence reaction pada waktu mulai sadar kembali berupa reaksi gelisah, mimpi
yang tidak menyenangkan atau halusinasi. Reaksi ini dapat dikurangi dengan
diazepam atau midazolam.
Untuk penggunaan intravena, larutan 100 mg/ml pH-nya 3,5-4,0. sebaiknya
diencerkan menjadi 10 mg/ml. Suntikan i.v. 1-2 mg/kg BB mulai bekerja dalam 30
detik, selama 5-10 menit dan suntikan i.m. 8-13 mg/kg BB mulai bekerja dalam 5-10
menit, selama lebih kurang 30 menit. Dosis ulangan sebesar 30-50% dosis awal,
diberikan sebelum lewat masa kerja atau setelah tampak ada reaksi terhadap nyeri.
Pada pemberian ketamin terjadi peningkatan tonus otot sehingga obat ini
hanya baik untuk pembedahan superficial yang tidak memerlukan relaksasi. Untuk
operasi laparotomi dan tindakan obstetric seperti forceps, versi-ekstraksi,
pengambilan placenta manual tidak dapat dikerjakan dengan baik.

Pengaruh pada otak


Tekanan intra kranial sangat meningkat setelah pemberian ketamin sehingga
jangan digunakan pada pasien dengan trauma kepala, contusio cerebri dan tekanan
intra cranial yang sudah meninggi. Jika terjadi konvulsi pada waktu anestesia, berikan
diazepam i.v. Selain penyulit overdosis absolut karena batas maksimal dilewati, dapat
juga terjadi overdosis relatif terutama pada penyuntikan di daerah yang kaya
pembuluh darah seperti urethra, perineum, mukosa atau injeksi intravaskuler. Tanda-
tanda intoksikasi berasal dari syaraf pusat berupa pusing, paresthesia di bibir yang
menyebar keseluruh tubuh, diikuti kesadaran menurun, tremor, konvulsi, apnea.
Tanda-tanda kardiovaskuler berupa hipotensi, bradikardi, keringat dingin,
mual/muntah dan cardiac arrest. Pertolongan harus segera diberikan dengan O2 dan
kalau perlu juga nafas buatan. Apabila tak teraba denyut nadi leher maka segera
lakukan resusitasi jantung, dan jika hanya hipotensi, diberikan ephedrine 10-20 mg i.v.
diulang sampai tekanan darah lebih dari 100 mmHg. Apabila terjadi kejang (konvulsi)
diberikan thiopental 50-100 mg atau diazepam 5-10 mg intravena, diikuti nafas buatan.
C. Propofol (Diprivan)

Propofol merupakan obat hipnotik intravena diisopropilfenol. Propofol


merupakan obat induksi anestesia cepat. Obat ini didistribusi secara cepat dan
eliminasi yang cepat. Apnea dan hipotensi terjadi sebagai akibat depresi miokrad
langsung dan penurunan tahanan vaskular sistemik. Pada laringoskopi dan intubasi
respons hemodinamik dihambat. Propofol tidak mempunyai sifat analgesik, tetapi
seperti barbiturat, obat ini bukan antianalgesik. Dibandingkan dengan tiopental, waktu
pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik Propofol menekan korteks adrenal dan
menurunkan kadar kartisol plasma., tetapi supresi adrenal cepat kembali dan
memberikan respons terhadap stimulasi ACTH. Propofol kemungkinan memiliki
aktivitas prokonvulsan dan antikonvulsan. Efek prokonvulsan dapat merupakan
aktivasi dari fokus epileptogenik. Efek antikonvulsan kemungkinan besar disebabkan
adanya peningkatan ambang kejang. Propofol mengurangi aliran darah otak dan
tekanan perfusi ke otak. Pemberian propofol dapat menyebabkan anafilaksis.

Propofol memberikan efek potensiasi depresi SSP dan sirkulasi dengan obat
golongan narkotik, sedatif, obat anestesi inhalasi. Potensiasi juga terhadap efek
blokade neuromuskuler dari golongan obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Untuk
mengurang efek yang tidak menguntungkan pada manula dosis dikurangi, demikian
juga pada pasien bedah beresiko tinggi dan digunakan bersama obat narkotik dan
sedatif. Pemberian intravena dilakukan ke dalam vena besar dengan menambah
lidokain IV (0,1 mg/kg) pada propofol untuk induksi yang bertujuan memperkecil
rasa nyeri. Karena efek propofol terhadap tekanan perfusi otak, maka tidak disarankan
pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien riwayat epilepsi
atau gangguan kejang. harus diberikan dengan hati-hati Pada operasi Caesar dosis
induksi propofol dapat berakibat adanya konsentrasi vena umbilikalis yang tinggi,
sehingga bayi yang lahir mengalami hipotonus otot, dan skor Apgar 1 dan 5 menit
yang rendah. Propofol yang berasal dari emulsi kedelai dapat membantu pertumbuhan
cepat bakteri, sehingga teknik aseptik yang ketat harus dipertahankan selama
penanganan.. Ampul propofol harus dibuang setekah sekali digunakan. Pada pasien
dengan alergi terhadap telur atau minyak kedelai merupakan kontraindikasi
pemakaian propofol.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,
apne, cegukan, bronkospasme, laringospasme dan pada sistem kariovaskular berupa
hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik.mioklonik, opistotonus,
kejang, mual, muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi terbakar, tersengat, nyeri
pada tempat suntikan sehingga pada saat pemberian dapat dicampurkan lidokain

5.2.2. Obat Anestesia Regional

Obat anestesia regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi
pada daerah tertentu dari tubuh.

Setelah membaca dan kuliah mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan cara kerja obat anestesia regional

2. Menjelaskan macam-macam obat anestesia regional

3. Menjelaskan gejala intoksikasi obat anestesia regional

4. Menjelaskan cara menangani intoksikasi obat anestesi regional

Cara bekerjanya dengan mem-blok proses konduksi pada saraf perifer jaringan
tubuh, yang sifatnya sementara (reversible). Obat anestesia regional dikatakan baik,
jika bekerja reversible sempurna, bebas dari iritasi lokal, mempunyai potensi yang
tinggi, bila diberikan secara topical effeknya regional. Mempunyai toksisitas sistemik
minimal, mudah dimetabolisme dan stabil selama penyimpanan dan sterilisasi. Sifat-
sifat suatu obat anestesi regional tergantung pada kelarutannya dalam lemak, ikatan
dengan protein, pKa, diffusi pada jaringan, dan efek vasodilatasi.

Kelarutan dalam lemak


Potensi dari obat anestesia regional ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak.
Kelarutan suatu zat dalam lemak, ditandai dengan “partition coefficient”. Makin
tinggi partition coefficient obat anestesia regional, makin tinggi daya hambat
konduksi akibatnya konsentrasi yang rendah, sudah mampu menghambat konduksi
saraf. Procain mempunyai partition coefficient kurang dari satu, sedangkan
Bupivacaine, Etidocain dan Tetracain partition coefficientnya antara 30-40.
Hubungan antara kelarutan dalam lemak dengan potensi obat berbaring lurus,
makin mudah larut dalam lemak, makin tinggi potensinya. Hal ini disebabkan karena
dinding sel saraf terdiri dari lipoprotein, sehingga obat yang mudah larut dalam lemak
akan lebih mudah penetrasi ke dalam dinding sel saraf.
Ikatan dengan protein
Ikatan dengan protein obat anestesi regional berhubungan dengan lama
kerjanya, semakin tinggi kemampuan ikatan proteinnya, makin lama kerjanya, atau
sebaliknya. Procain mempunyai ikatan protein yang lemah, sedangkan Bupivacain
mempunyai ikatan protein yang kuat. Hubungan antara ikatan protein dan lama kerja
anestesia regional disebabkan oleh karena dinding sel saraf mengandung kurang lebih
10% protein.

pKa

pKa suatu kimia dapat diartikan sebagai pH, dimana jumlah zat yang
berionisasi dan yang tidak berionisasi dalam keadaan seimbang. Bentuk basa yang
tidak bermuatan dari obat anestesia regional itulah yang berperan aktif dalam
menghambat konduksi saraf. Hanya bentuk basalah yang dapat menembus dinding sel
masuk kedalam sel saraf. Dimulainya efek analgesia obat anestesi regional tergantung
dari banyaknya bentuk basa yang terbentuk dalam suatu larutan, pada saat obat
tersebut disuntikkan ke dalam jaringan tubuh yang pHnya sekitar 7,4. Pada dasarnya
jumlah bentuk basa yang akan terbentuk berbanding terbalik dengan pKa suatu obat
anestesia regional. Lidocain yang memiliki pKa 7,74, bila disuntikkan ke dalam tubuh
yang pH nya 7,4, maka 35% zat tersebut dalam bentuk basa. Tetracain yang pKa nya
8,6, maka hanya 5% dalam bentuk basa. Semakin tinggi pKa nya, semakin lambat
onset analgesinya. Jadi obat anestesi regional yang mempunyai pKa mendekati pH
tubuh, dimulainya efek analgesi akan lebih cepat.

Diffusi pada jaringan


Secara invitro, obat anestesi regional yang memiliki pKa yang sama, akan
memberikan onset analgesia yang sama pula. Namun pada invivo, obat lokal anestesi
sebelum mencapai saraf harus berdiffusi melalui jaringan ikat disekitarnya. Lidocain
dan Prilocain mempunyai pKa yang sama, tetapi pada invivo dimulainya efek
analgesia Lidocain lebih cepat dari pada Prilocain.

Efek vasodilatasi
Potensi serta lama kerja obat lokal anestesi tergantung dari banyaknya obat
tersebut yang berdiffusi ke dalam reseptor nyeri yang ada pada dinding saraf. Setelah
penyuntikan, sebagian obat akan berdiffusi ke dalam saraf dan sebagian lagi absorbsi
pembuluh darah. Kecepatan absorbsi ini tergantung dari vaskularisasi daerah yang
disuntik. Semua obat lokal anestesi bersifat vasodilator, kecuali cocain. Pada invitro,
potensi analgesia dari Lidocain jauh lebih tinggi dari Mepivacain, walaupun lama
kerjanya sama. Namun pada invivo, potensi analgesia Mepivacain sama dengan
Lidocain, tetapi lama kerja Mepivacain lebih panjang, hal ini menunjukkan effek
vasodilator Lidocain lebih besar dari pada Mepivacain, sehingga absorbsinya lebih
cepat dan hanya sebagian kecil saja menetap pada saraf.

Absorbsi

Konsentrasi obat anestesi regional dalam darah ditentukan oleh kecepatan


absorbsi dari tempat dimana disuntikkan, distribusi ke dalam jaringan dan
metabolisme dan ekskresi. Faktor umur, status kardiovaskuler dan fungsi hati juga
ikut berperan dalam menentukan konsentrasi obat lokal anestesi dalam darah. Faktor-
faktor yang mempengaruhi absorbsi dan potensi suatu obat anestesia regional adalah
tempat penyuntikan, dosis, penambahan obat vasokonstriktor dan sifat-sifat obat itu
sendiri.

Tempat penyuntikan
Absorpsi daerah interkostal paling mudah, diikuti ruang epidural di lumbal,
pleksus brakhialis dan jaringan subkutis. Pemberian topikal intra-trakheal efeknya
jauh lebih mudah di banding dengan pemberian nasal, urethra atau buli-buli. Oleh
karena itu pemberian intra-trakheal lebih mudah menimbulkan intoksikasi. Untuk
prosedur intubasi, pemberian Lidocain intra-trakheal sampai 100-200 mg masih
dianggap aman.

Dosis
Pada dasarnya, konsentrasi dalam darah berbanding lurus dengan dosis total.
Lidocain 200 mg disuntikkan ke dalam ruang epidural lumbal, maka konsentrasi
dalam darah rata-rata 1.5 Ug/ml dan jika dinaikkan menjadi 600 mg, konsentrasinya
akan naik pula menjadi 4 Ug/ml. Gejala intoksikasi akan timbul bila konsentrasi
Lidocain dalam darah lebih dari 7 Ug/ml.
Penambahan obat vaskonstriktor
Adrenalin sebagai obat vasokonstriktor, akan memperpanjang lama kerja obat
anestesi regional. Penambahan adrenalin dengan perbandingan 1 : 200.000 akan
mengurangi kecepatan absorbsi, sehingga kemungkinan terjadinya intoksikasi
berkurang.

Sifat-sifat obat anestesi regional


Meskipun obat anestesi regional mempunyai potensi analgesia yang sama,
namun derajat absorbsinya beda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
aktivitas vasodilatornya dan kelarutannya dalam lemak dari masing-masing obat.

Distribusi

Obat anestesi regional mengalami distribusi ke seluruh jaringan tubuh, namun


konsentrasinya tidak sama untuk jaringan tertentu. Secara umum konsentrasinya akan
lebih tinggi pada organ yang vaskularisasinya banyak.

Metabolisme dan ekskresi

Metabolisme obat lokal anestesi tergantung dari struktur kimianya. Obat-obat


dari golongan ester akan mengalami hidrolisa dalam plasma oleh enzim
pseudokholin-esterase, sedangkan obat dari golongan amide akan mengalami
metabolisme di hati. Kecepatan metabolisme dapat berbeda, meskipun memiliki
struktur kimia yang sama. Procain akan lebih cepat dihidrolisa dari pada tetracain
(keduanya dari golongan ester), sehingga procain kurang toksis dibanding tetracain.
Ekskresi procain, kurang dari 2% ditemukan dalam urine dalam bentuk utuh, 90%
dalam bentuk PABA dan sisanya dalam bentuk dietilet-ethanol. Metabolisme dari
golongan amide jauh lebih kompleks.

Toksisitas Obat Anestesi Regional


Obat anestesi regional, bila diberikan dengan dosis dan tempat lokasi yang
tepat, merupakan obat yang cukup aman. Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak
sengaja masuk ke dalam intra vaskuler atau melebihi dosis maksimal. Gejala
intoksikasi berupa adanya gejala sistemik yaitu eksitasi, depresi susunan syaraf pusat,
hipertensi, hipotensi sampai dengan henti jantung dan pada gejala lokal adanya
kerusakan syaraf dan otot. Pada pemberian prilokain dapat tejadi methaemoglobine
atau adiksi pada pemberian kokain. Reaksi alergi juga dapat terjadi pada pemberian
obat anestesi regional. Apabila obat tersebut masuk ke dalam intra-vaskuler, gejala
intoksikasi akan timbul kurang lebih dari 5 menit, sedangkan pada pemberian
infiltrasi atau epidural, gejala akan timbul setelah 20 menit.

Pengelolaan Intoksikasi
Bila terjadi intoksikasi obat anestesi regional dapat menimbulkan kematian
yang mendadak, oleh karena itu pengelolaannya harus cepat dan tepat. Obat-obat
darurat dan sarana resusitasi harus tersedia dan siap pakai. Penguasaan resusitasi
kardio-pulmoner mutlak diperlukan. Tindakan yang harus segera dilakukan pada
intoksikasi adalah menghentikan konvulsi dengan obat anti konvulsan, misalnya
tiopental dengan suksinil kholin 50-100 mg i.v. Tindakan tersebut di atas akan diikuti
dengan terjadinya apnea, sehingga mutlak perlu dilakukan pernafasan buatan. Apabila
terjadi hipotensia, diberikan vasopressor, misalnya aphedrin 5-15 mg i.v. dan bila
henti jantung, lakukan resusitasi kardio-pulmoner.
Untuk menghindari tejadinya intosikasi, gunakan dosis yang dianjurkan,
sebelum obat disuntikkan, lakukan aspirasi dulu, untuk meyakinkan bahwa jarum
tidak berada dalam pembuluh darah, lakukan test-dose, sebelum obat disuntikkan, bila
diperlukan jumlah obat yang banyak, pilihlah obat yang paling kurang toksis,
penambahan vasokonstriktor adrenalin, pengukuran harus dengan semprit, tidak boleh
dengan tetesan dan penyuntikan dosis penuh, harus tetap perlahan-lahan. Pasien tetap
diawasi dengan ketat selama beberapa waktu, setelah selesai penyuntikan untuk
mengetahui timbulnya komplikasi yang lambat.

Dosis, Hubungannya Dengan Lokasi Pemberian


Dibawah ini dicantumkan dosis maksimal, sesuai penggunaannya.

1. Untuk penggunaan infiltrasi dan epidural :


Jenis obat Konsentrasi Lama kerja dosis maks.

Procain (Novocain) 2 -4 % ½ jam 1000 mg

Lidocain (Xylocain) 1 -4 % 1 – 2 jam 500 mg

Mepivacain (Carbocain) 1 -2 % 1 – 2 jam 500 mg

Tetracain (Pontocain) 0.1 – 0.25 % 2 – 3 jam 75 mg


Bupivacain (Marcain) 0.5 – 0.75 % 5 – 7 jam 200 mg

Etidocain (Duranest) 0.5 – 1 % 4 - 6 jam 300 mg

2. Untuk penggunaan topical/spray :


Jenis obat Konsentrasi Lama kerja dosis maks.

Cocain 4% 30 menit 250 mg

Lidocain 2–4% 15 menit 200 mg

Tetracain 0.5 % 45 menit 50 mg

Pembagian Obat Anestesi Regional


Ada dua golongan besar obat anestesia regional, yaitu golongan ESTER dan
golongan AMIDE.

Disebut ester bila terjadi hubungan Amino-ester antara gugusan aromatik


dengan rantai intermediate. Disebut amide bila terjadi hubungan Amino-amide antara
gugusan aromatik dengan rantai intermediate (gambar 1.2.1.)

Gambar 5.2.2. Hubungan gugusan aromatik dengan ester dan amide

Perbedaan antara bentuk ester dan amide terletak pada, tempat dimana ia
dimetabolisme dan potensi allerginya. Golongan ester akan dihidrolisa dalam plasma
oleh enzim pseudo-choline-esterase, sedangkan golongan amide di metabolisir dalam
hati. PABA (Para Amino Benzoic Acid) merupakan salah satu hasil hidrolisa dari
golongan ester. PABA inilah yang sering menimbulkan reaksi allergi. Sedangkan
metabolisme golongan amide tidak menghasilkan PABA, sehingga jarang
menimbulkan reaksi allergi.

Golongan ESTER

Yang termasuk golongan ester adalah Cocaine, Procaine, Chloroprocaine,


Tetracaine.

A. Cocaine

Pertama kali diperkenalkan oleh Koller pada tahan 1884, yaitu dengan
pemberian cocaine secara topical. Merupakan alkaloid yang dihasilkan dari daun
cocaine Saat ini masih dipakai dalam bentuk garam HCl, dengan konsentrasi 4-10%,
untuk anestesi topical hidung, pharynx dan tracheo-bronchial. Untuk satu kali
pemakaian, tidak boleh lebih dari 200 mg.

B. Procaine

Setelah bertahun-tahun mencoba sintesa bermacam-macam ester, Einhorn


pada tahun 1904 menemukan Procaine, sebuah ester di-ethyl amino ethanol dan p-
amino benzoic acid. Procaine-HCl secara topical aktifitasnya kurang, tetapi telah
digunakan secara luas, oleh karena, toksisitas sistemik minimal, iritasi local sedikit,
sterilisasinya mudah, lama kerjanya pendek dan murah Kurangnya toksisitas sistemik
dan lama kerjanya yang pendek tersebut akibat dihidrolisa dengan cepat oleh
pseudochline-esterase. Procaine kurang banyak digunakan oleh karena kalah bersaing
dengan golongan amide.

C. Chloroprocaine
Penambahan halogen pada bagian aromatik dari molekul procaine,
menyebabkan lebih cepat dihirolisa dalam plasma, sehingga kurang toksis dibanding
asalnya. Chloropracaine-HCl (Nesacaine), seperti procaine, tidak aktif secara topical,
tetapi lebih kuat dan kerjanya lebih pendek. Konsentrasi untuk injeksi: 0,5-2,0%.
Dosis maksimal 1 gram.
D. Tetracaine
Tetracaine-HCl (Pontocaine, Pantocaine, Amethocaine), kekuatannya lebih
tinggi, karena dihidrolisa dengan pelan di dalam plasma maka daya kerjanya lebih
lama, toksisitas sistemik lebih besar. Tetracaine untuk injeksi dalam larutan 0,1%.
Untuk satu kali pemakaian, dosis maksimal adalah 100 mg.

Golongan AMIDE

Golongan amide meliputi, Dibucaine, Lidocaine, Mepivacaine, Prilocaine,


Bupivacaine, Etidocaine

A. Dibucaine
Dibucaine-HCl (Nupercaine, Percaine, Cinchocaine), adalah obat anestesia
regional yang kuat dengan toksisitas sistemik yang tinggi dan daya kerja yang lama.

B. Lidocaine
Lidocaine-HCl (Xylocaine), derivat acetanilide, diperkenalkan oleh Lofgren
pada tahun 1948. Keuntungan utama Lidocaine adalah mulainya cepat, bebas iritasi
lokal. Sebagian obat dimetabolisir di mikrosome hepar dan sebagian lagi dikeluarkan
melalui urine dalam bentuk yang tidak berubah. Obat ini dua kali lebih toksis dari
pada procaine. Untuk injeksi, digunakan konsentrasi 0,5-2,0%, sedangkan untuk
topical anestesi digunakan konsentrasi 4%. Dosis maksimal yang diberikan tanpa obat
vasokonstriktor (adrenalin) adalah 3 mg/kg berat badan dan 7 mg/kg berat badan bila
dengan adrenalin. Lidocaine dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai
sebagai pengganti golongan ester bila allergi terhadap golongan.

C. Mepivacaine
Mepivacaine-HCl (Carbocaine) bekerjanya sama cepat seperti Lidocaine,
tetapi lama kerjanya lebih lama 20%. Atas dasar ini tidak diperlukan penambahan
adrenalin pada blok saraf. Konsentrasi yang dianjurkan adalah 1-4% untuk injeksi dan
anestesi topical, dengan dosis maksimal 500 mg. Meskipun iritasi jaringan minimal,
obat ini tidak digunakan untuk anestesi spinal.
D. Prilocaine
Prilocaine (2-propylamino-alpha-propiotoluidide, Citanest), mempunyai efek
minimal sama effektifnya dengan Lidocaine, dalam hal konsentrasi dan lama kerjanya.
Kerugian utama adalah terbentuknya Methemoglobin, yang dalam beberapa kasus
bisa mencapai 10% dari konsentrasi Hb. Adanya Methaemoglobine akan
menyebabkan, kurva dissossiasi oksigen untuk Hb akan bergeser ke kiri, sehingga
terjadi cyanosis. Pada orang normal tidak begitu merugikan, tetapi merugikan pada
orang yang anemi. Pada fetus bila terjadi bila terjadi transfer methhaemoglobine lewat
placenta. Akan merugikan fetus tersebut.

E. Bupavacaine
Bupivacaine-HCl (Marcaine) disentesa tahun 1975 oleh Ekenstam, merupakan
derivat anilide. Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan
Lidocaine atau Mepivacaine. Digunakan dalam konsentrasi 0,25-0,75%. Jumlah total
untuk satu kali pemberian maksimal 200-500 mg. Pada konsentrasi rendah, blok
motorik kurang adekwat. Untuk operasi abdominal, diperlukan konsentrasi 0,75%.
Onset anestesi lebih lambat dari pada Lidocaine atau Mepivacaine, tetapi lama
kerjanya 2-3 kali lebih lama.

F. Etidocaine
Etidocaine (Duranest) merupakan obat anestesia regional yang paling baru.
Struktur seperti lidocaine, tetapi potensinya lebih besar dan masa kerjanya lebih lama.
5.3 Farmakologi Obat Emergency

Obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat harus disiapkan dan
disediakan di tempat yang mudah terjangkau. Pemberian obat darurat ini berdasar
keadaan pasien pada saat tersebut. Pemberian yang tidak tepat dosis, tidak tepat waktu,
tidak tepat cara pemberian dan tidak tepat diagnosis akan memperburuk keadaan pasien.

5.3.1 Adrenalin (Epinephrine)

Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga oleh
anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin memiliki
semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi
jantung dan bronchodilatasi ).

A. Mekanisme Kerja

Farmakodinamika

Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf


adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic
adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.

 Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat
sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan
demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan
focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan
perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat.
Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari
atrium ke nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang
terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin
memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya.
Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat
denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik
tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja
jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang
berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga
menimbulkan kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan
akhirnya fibrilasi ventrikel.
 Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit,
mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ
tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh
epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih
besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi
bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh
darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan
tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang
kurang sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih
ada pada kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada
pemberian epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu
penghambat reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal
yaitu suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul
sebelum penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai
jantung oleh epinefrin.
Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang
menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak,
tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan
darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah
ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin
bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru
meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru,
redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena – vena
besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru.
Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru.
 Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara
merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali
bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester
kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan
lain – lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma,
epinefrin juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast
melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui
reseptor α1.
 Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan
kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka
tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.
Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi
aktivasi reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang
menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β
pada sel α pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan
perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung
pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam
darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka.
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi
lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan
trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak
bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai
peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis
terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang
menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.

Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan
sebagai berikut :

 Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan


( chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
 Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.

 Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma
atau akibat obat.

 Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%,


berdasarkan stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi
insulin di hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.

Farmakokinetik

 Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi
local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat
terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya
terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama
bila digunakan dosis besar.
 Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin
terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan
MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar epinefrin
mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang tidak
diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh
dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin
dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.

B. Indikasi

Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat
efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan
oleh getah lambung.
C. Kontraindikasi

Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena


kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat menyebabkan
hipertensi yang berat dan perdarahan otak.

D. Efek samping

Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien
hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap efek
pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik epinefrin memperberat gejala –
gejalanya.

5.3.2 Ephedrine

Obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada reseptor adrenergik dan
secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran katekholamin. Efeknya sama
dengan adrenalin, potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang.
Selama anestesia untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal atau depresi halothan
diberikan dengan dosis 10-50mg im atau 10-20mg iv.

Farmakodinamik

Farmakodinamik efedrin sama seperti amfetamin (tetapi efek sentralnya lebih lemah)
atau mirip adrenalin (epinephrine). Dibandingan dengan epinephine, ephedrine dapat
diberikan per oral, masa kerjanya jauh lebih lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi
diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari dosis epinephrine. Efedrin bekerja
merangsang reseptor α, β1, dan β2. Efek perifer, bekerja langsung dan tidak langsung
(melalui pembebasan NE endogen) pada efektor sel.
5.3.3 Dopamin

A. Mekanisme Kerja

Farmakodinamika

Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan


adrenergic, dan juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja
pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium dan
pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi melalui
aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah
ginjal, laju filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih tinggi,
dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivasi adrenoseptor β1.
Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah efeknya pada jantung. Pada
dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini karena
dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium dengan hanya
sedikit peningkatan di tempat – tempat lain.dengan demikian dopamin meningkatkan
tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda mengubah tekanan
diastolic ( atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin terutama berguna untuk
keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok
kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi dopamin
menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah. Karena itu
bila dopamin di gunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi
ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi dopamin
yang di berikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena obat ini sukar melewati
sawar darah-otak.
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan mengikat reseptor
α2dengan afinitas sedang, afinitas terhadap reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini
merupakan vasodilator kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat ( misalnya
hipertensi maligna dengan kerusakan organ ) di rumah sakit untuk jangka pendek,
tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk
arteri koroner, arteriol aferen dan eferen ginjal dan arteri mesenteric. Masa paruh
eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian 2-jam infuse ialah 10 menit.
Efek samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing, takikardia
atau bradikardia.
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas intrinsic pada
reseptor D1, D2 dan β2, juga menghambat ambilan katekolamin. Obat ini agaknya
memperlihatkan efek hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung
berat, sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus dopeksamin
meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan resistensi vascular sistemik.

B. Indikasi
Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.

C. Kontraindikasi
Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati dengan penghambat
MAO.

D. Efek Samping
Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang berlebihan. Selama infuse
dopamine dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala,
hipertensi dan peningkatan tekanan diastolic.

5.3.4 Atropin
Obat para simpatolitik yang menghambat pengaruh nervus Vagus pada SA node
(vagolytic). Dapat meningkatkan denyut nadi pada pasien sinus bradikardia atau blok
atio-ventrikuler derajat satu dan derajat dua. Dosis pada orang dewasa: 0,5 mg iv
dapat diulangi sampai 2 mg. Bayi dan anak-anak mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis, yang ditandai kenaikan suhu tubuh (hipertermia). Dosis yang diberikan
0,01mg/kgBB.

Farmakokinetik

Atropin mudah diabsorbsi, sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke


dalam urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam

Farmakodinamik

Efek antikolinergik dapat menstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ


target. Di dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mendepresi. Efek
obat ini juga ditentukan oleh kondisi pasien. Misalnya, parkinson yang
dikarakteristikkan dengan defisiensi dopamin yang mengintensifkan efek stimulasi
Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek
obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.

Pada kardiovaskular efek atropin pada jantung bergantung pada besar dosi. Pada dosis
kecil menyebabkan bradikardi. Atropin dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor
kolinergik di SA nodes, dan denyut jantung bertambah (takikardi). Efek ini baru
timbul bila atropin diberikan 1mg.

5.3.5 Lidokain

Obat pilihan untuk aritmia ventrikuler yang efeknya segera dan masa kerjanya pendek.
Penyuntikan intravena cepat (bolus) memberikan kadar puncak dalam 10 detik dan
berlangsung sampai 30 menit. Dosis pemeliharaan dalam tetesan infus 15-
50mikrogram/kgBB/menit setelah dosis intravena 1-1,5mg/kg. Gejala intoksikasi
susunan syaraf pusat nampak berupa penurunan kesadaran (somnolen), gangguan
bicara sampai konvulsi. Gejala pada sirkulasi berupa depresi myokard, penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Sebagian obat dimetabolisir di mikrosome hepar dan
sebagian lagi dikeluarkan melalui urine dalam bentuk yang tidak berubah. Lidocaine
dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai sebagai pengganti golongan ester
bila allergi terhadap golongan.

5.3.6 Cedilanid

Untuk pengobatan tachyarythmia supraventrikuler dan kegagalan jantung kongestif.


Mulai bekerja 10-30 menit setelah penyuntikan iv. Dosis digitalisasi, jumlah totalnya
sebesar 0,8-1,6mg iv yang dibagi dalam 4x pemberian selang 3-6 jam dan diikuti
dosis pemeliharaan 0,2mg im tiap 12 jam. Dosis yang diperlukan tergantung respons
individual. Pemberian digitalis ini harus diwaspadai adanya gejala intoksikasi yang
berupa bradikardia, AV blok, dan fibrilasi ventrikel. Intoksikasi lebih mudah terjadi
pada keadaan hipokalemia.

5.3.7 Deksametason

Glukokortikoid yang memiliki efek anti inflamasi dan anti edema yang sangat kuat.
Digunakan untuk mengurangi edema otak pasca truma dan pasca resusitasi jantung
paru (pada fase dini) dan untuk mengatasi edema larynx pasca intubasi. Dosis
0,2mg/kgBB iv dapat diulang tiap 6 jam penggunaan kurang dari 1 minggu jarang
menyebabkan stress ulcer.

5.3.8 Furosemide

Diuretik yang bekerja dengan cepat, dalam waktu 2-10 menit setelah pemberian
intravena 0,5-2mg/kgBB. Bermanfaat untuk payah jantung kongestif dan edema paru
akut. Pada edeman cerebri pasca trauma ditujukan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, dan menyebabkna berkurangnya produksi cairan cerebrospinal.
Furosemide memotong efek ADH berlebihan akibat pengaruh pembedahan dan
anestesia.

Bahan bacaan:

1. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange
Medical Book. 2013.
2. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000.
3. Sulistia GG (eds). Farmakologi dan terapi.Farmakologi FKUI, 1995: 820-829.
Karjadi W. Anestesiologi dan reanimasi modul dasar untuk pendidikan s1 kedokteran,
2000.
4. Lorraine M. Sdrales, Ronald D. Miller. Miller's anesthesia review. 2nd ed 2013
5. Robert K. Stoelting. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th Edition.
2006

Anda mungkin juga menyukai