Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan utama dari pelayanan rumah sakit.
Hal ini terjadi karena pelayanan keperawatan diberikan selama 24 jam kepada pasien
yang membutuhkannya, berbeda dengan pelayanan medis dan pelayanan kesehatan
lainnya yang hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada kliennya. Dengan demikian pelayanan keperawatan perlu
ditingkatkan kualitasnya secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga
pelayanan rumahsakit akan meningkat juga seiring dengan peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan. (Ritizza, 2013)
Kualitas pelayanan keperawatan sangat dipengaruhi oleh proses, peran dan fungsi
dari manajemen pelayanan keperawatan, karena manajemen keperawatan adalah suatu
tugas khusus yang harus dilaksanakan oleh manajer/ pengelola keperawatan yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan serta mengawasi sumber-sumber
yang ada, baik sumber daya maupun sumber dana sehingga dapat memberikan
pelayanan keperawatan yang efektif dan efisien baik kepada klien, keluarga dan
masyarakat. (Donny, 2014)
Mengingat pentingnya peranan manajemen pelayanan keperawatan, maka dalam
makalah ini penulis akan menguraikan tentang pengertian, proses, dimensi, penilaian,
strategi, indikator, standar, dan peran dalam menejemen mutu pelayanan keperawatan
sehingga dapat menggambarkan bagaimana manajemen keperawatan yang bermutu
seharusnya dilaksanakan.
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui manajemen mutu dalam pelayanan keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutu dalam Pelayanan Keperawatan


1. Mutu
Pengertian mutu berbeda diantara tiap orang, ada yang berarti bagus, luxurious,
ataupun paling bagus. Tetapi ada beberapa pengertian mutu menurut para ahli,
sebagai berikut:
Mutu merupakan gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan
kepuasan.(American society for quality control). Mutu adalah “fitness for use” atau
kemampuan kecocokan penggunaan.(J.M. Juran, 1989).
Azwar (1996) menjelaskan bahwa mutu adalah tingkat kesempurnaan dari
penampilan sesuatu yang sedang diamati dan juga merupakan kepatuhan terhadap
standar yang telah ditetapkan, sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu
adalah penyesuaian terhadap keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang
berlaku serta tercapainya tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka mutu dapat dikatakan sebagai kondisi dimana
hasil dari produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan, standar yang berlaku dan
tercapainya tujuan. Mutu tidak hanya terbatas pada produk yang menghasilkan
barang tetapi juga untuk produk yang menghasilkan jasa atau pelayanan termasuk
pelayanan keperawatan.
2. Pelayanan
Produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi dapat menghasilkan barang atau
jasa. Jasa diartikan juga sebagai pelayanan karena jasa itu menghasilkan pelayanan
(Supranto, 2006). Definisi mengenai pelayanan telah banyak dijelaskan, dan Kottler
(2000, dalam Supranto, 2006) menjelaskan mengenai definisi pelayanan adalah
suatu perbuatan di mana seseorang atau suatu kelompok menawarkan pada
kelompok/orang lain sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan produksinya
berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk, sedangkan Tjiptono (2004)
menjelaskan bahwa pelayanan merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang
ditawarkan untuk dijual, sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan itu merupakan
suatu aktivitas yang ditawarkan dan menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud
namun dapat dinikmati atau dirasakan.
Kotler (1997, dalam Supranto, 2006) juga menjelaskan mengenai karakteristik
dari pelayanan dengan membuat batasan-batasan untuk jenis-jenis pelayanan
pelayanan sebagai berikut :
pelayanan itu diberikan dengan berdasarkan basis peralatan (equipment based)
atau basis orang (people based) dimana pelayanan berbasis orang berbeda dari segi
penyediaannya, yaitu pekerja tidak terlatih, terlatih atau profesional; Disampaikan
dalam Pelatihan Manajemen Keperawatan beberapa jenis pelayanan memerlukan
kehadiran dari klien (client’s precense); pelayanan juga dibedakan dalam memenuhi
kebutuhan perorangan (personal need) atau kebutuhan bisnis (business need); dan
pelayanan yang dibedakan atas tujuannya, yaitu laba atau nirlaba (profit or non
profit) dan kepemilikannya swasta atau publik (private or public). Berdasarkan dari
pendapat-pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pelayanan merupakan
salah satu bentuk hasil dari produk yang memberikan pelayanan yang mempunyai
sifat tidak berwujud sehingga pelayanan hanya dapat dirasakan setelah orang
tersebut menerima pelayanan tersebut. Selain itu, pelayanan memerlukan kehadiran
atau partisipasi pelanggan dan pemberi pelayanan baik yang professional maupun
tidak profesional secara bersamaan sehingga dampak dari transaksi jual beli
pelayanan dapat langsung dirasakan dan jika pelanggan itu tidak ada maka pemberi
pelayanan tidak dapat memberikan pelayanan
B. Dimensi Mutu Asuhan/ Pelayanan Kesehatan
Menurut Tjong (2004) menyatakan bahwa dimensi mutu pelayanan terdapat
lima dimensi , antar lain sebagai berikut:
1. Dapat dipercaya (Reliability)
Istilah dapat dipercaya ini sama dengan istilah keandalan ,. Untuk dapat
dipercaya, pelayanan harus konsisten, dan pelayanan akan dapat diberikan jika
dapat dipercaya oleh pelanggan
2. Responsif(Responsiveness)
Istilah responsive yang dimaksud sama dengan tanggapan responsive secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan dan tanggapan
Buat pelanggan merasa dihargai ( makes customer feel valued)
Pelanggan mempunyai pikiran bahwa merekalah yang orang yang sangat
penting saat ini sehinggaperlu diperhatikan bagaimana menghargai pelanggan ,
3. Empaty (Empathy)
Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat karena melalui empati
dapat menjembatani pembicaraan kepada solusi .melalui empati pula ,
pemberi pelayanan akan berada di sisi yang sama dengan pelanggan sehingga
dapat lebih memahami kebutuhan pelanggan
4. Kompetensi (Competency)
Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang berhubungan
langsung dengan pelanggan . pelanggan cenderung tidak mau berhubungan
dengan manajer, tetapi mereka lebih menginginkan orang pertama yang
bertemu merekalah yag harus dapat menyelesaikan masalah mereka ,
C. PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN
Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang
dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
A. Audit Struktur (Input)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur merupakan
masukan (input) yang meliputi sarana fisik perlengkapan/peralatan, organisasi,
manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dalam
fasilitas keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari
jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya anggaran atau biaya, dan
kewajaran. Penilaian juga dilakukan terhadap perlengkapan-perlengkapan dan
instrumen yang tersedia dan dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek
fisik, penilaian juga mencakup pada karakteristik dari administrasi organisasi dan
kualifikasi dari profesi kesehatan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh
Tappen (1995), yaitu bahwa struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan
keperawatan yang diberikan dan sumber daya yang memadai. Aspek dalam
komponen struktur dapat dilihat melalui Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan
mencapai pelayanan dan keamanan,Peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni
menempatkan peralatan, Staf meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata
turnover, dan rasio pasien-perawat, Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan
sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih
difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan, diantaranya yaitu : Fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan
yang bersih, nyaman dan aman, serta penataan ruang perawatan yang indah;
Peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan ditata dengan
baik Staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan
alokasi dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik, baik
manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistik.
B. Proses (Process)
(1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini merupakan
proses yang mentransformasi struktur (input) ke dalam hasil (outcome). Proses
adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan
(perawat) dan interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa,
rencana perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan
kata lain penilaian dilakukan terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik
tidaknya proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien,
fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan
yang semestinya, dan kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan). Tappen
(1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan
aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan.. Penilaian
dapat melalui observasi atau audit dari dokumentasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan ini difokuskan pada
pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh perawat terhadap pasien
dengan menjalankan tahap-tahap asuhan keperawatan. Dan dalam penilaiannya
dapat menggunakan teknik observasi maupun audit dari dokumentasi keperawatan.
Indikator baik tidaknya proses dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan
standar operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas
pelaksanaannya.
C. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat
terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan
baik positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah
diberikan (Donabedian, 1987 dalam Wijono 2000).
Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil
dari aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari
efektifitas dari aktivitas pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat
kesembuhan dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan
ini yaitu pada hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah
peningkatan derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal
tersebut dapat dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan.
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam
melakukan penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu
sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur,
proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan
strategi yang tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu
pelayanan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu
mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi
mana yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan.
Oleh karena itu pada sub bab berikutnya akan dibahas mengenai strategi dalam
mutu pelayanan keperawatan.
D. MENGUKUR MUTU
Tiga dari macam-macam cara pengukuran mutu yang dikenal di Indonesia.
1. Indikator Klinis
Indikator sebagai sebuah penanda objektif yang bisa dipakai sebagai
pertimbangan dalam mengambil keputusan. Indikator bukan lagi data. Indikator
adalah informasi. Indikator mempunyai lima karakter utama yang sering disingkat
dengan “SMART”. Simple, measurable, accurate, reliable, timely. Indikator
haruslah cukup mudah dipahami, dihitung, dikumpulkan data dasarnya, dan
dikerjakan tepat waktu oleh pelaksana. Selain itu, indikator harus dipilih sehingga
akurat dan bisa dipercaya. Indikator klinis yang sangat populer diukur di banyak
rumah sakit adalah waktu respon, infeksi terkait pemasangan infus, infeksi luka
operasi, angka kejadian dekubitus (pressure sore), dan kematian ibu akibat
perdarahan. Angka-angka indikator ini diukur dari waktu ke waktu dengan metode
yang baku dan dikembangkan akurasinya. Indikator-indikator ini bersumber dari
buku yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan mengenai indikator klinis. Saat
ini, manual yang dipakai lebih luas adalah standar pelayanan minimal rumah sakit
yang juga diterbitkan oleh Departemen Kesehatan.
2. Audit Medis
Audit medis merupakan proses evaluasi mutu pelayanan medis melalui telaah
rekam medis oleh profesi medis sendiri. Tujuan dilakukan audit medis adalah
pelayanan medis prima yang bersumber pada evaluasi mutu pelayanan, penerapan
standar, dan perbaikan pelayanan berdasarkan kebutuhan pasien dan standar yang
telah ada. Audit medis di Indonesia diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan no.
496 tahun 2005. Pembahasan kasus kematian, kasus sulit, kasus langka, dan lain-
lain adalah bentuk audit medis yang paling sederhana. Audit medis paripurna
menyertakan review, assessment, dan surveillance. Audit medis adalah proses
yang terus menerus karena merupakan upaya yang terus menerus. Proses inti audit
medis adalah menetapkan kasus yang akan diaudit, mengumpulkan berkas kasus
tersebut, dan membandingkan pelayanan medis yang diberikan dengan standar,
untuk selanjutnya mengambil tindakan korektif. Audit medis dapat dilakukan
mulai dari kelompok staf medis (organisasi dokter dengan kemampuan atau
kompetensi klinis yang sama) sampai ke tingkat komite medis di tingkat rumah
sakit
3. Mortality Review
Mortality review adalah bagian dari audit medis. Lewat mortality review,
rumah sakit bersama dengan manajemen rumah sakit dapat mencari faktor-faktor
yang berkontribusi pada kematian di rumah sakit. Untuk mencari faktor-faktor
tersebut, digunakan sebuah check list yang bernama global trigger tools. Global
trigger tools memuat puluhan entry point ke arah resiko tindakan, kesalahan,
kelalaian, maupun kemungkinan gagal komunikasi. Titik berat mortality review
adalah kematian-kematian yang terjadi pada pasien non terminal, baik kematian
tersebut terjadi diintensive care unit / ICU / unit perawatan intensif maupun di
ruang rawat inap biasa. Seluruh kematian non terminal ini didaftar, dipelajari
rekam medisnya, dan dibahas pada pertemuan mortality review. Menggunakan
global trigger tools dalam melakukan mortality review biasanya berupaya
menemukan apakah ada kegagalan, terutama dalam mengenali perburukan atau
masuknya pasien kepada keadaan kritis, merencanakan penegakan diagnosis dan
rencana pengobatan, dan mengkomunikasikan keadaan pasien baik antar dokter,
dokter kepada perawat, perawat kepada dokter, dan antar profesi kesehatan yang
lain. Data mortality reviewdapat dipakai juga oleh rumah sakit dalam rangka
pengembangan layanan. Misalnya, jumlah kematian yang tinggi pada pasien
terminal mengindikasikan perlunya rumah sakit memikirkan layanan perawatan
paliatif.

E. STRATEGI MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN


4. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an
implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan program
untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan mengevaluasi pelaksanaan
standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality
Assurance sering diartikan sebagai menjamin mutu atau memastikan mutu karena
Quality Assurance berasal dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang,
mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana dalam
pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit dan
surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi
mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur tersebut untuk
menghasilkan hasil yang diinginkan. Dengan demikian quality assurance dalam
pelayanan keperawatan adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada
proses agar mutu pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar.
Dimana metode yang digunakan adalah :. Audit internal dan surveilan untuk
memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP). Evaluasi
proses penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu system (input, proses,
outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya pada satu sisi
yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga mutu
pelayanan keperawatan
2. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan
perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Menurut
Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit
yaitu Total Quality Management dimaksudkan pada program industry sedangkan
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijonon (2000)
mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya
peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan
keperawatan yang komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan
yang ditetapkan standar yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa Quality
Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan yang
baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan mutu
yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan memberikan pelayanan
yang baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan pelanggan (Shortell, Bennett
dan Byck, 1998). Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality
Improvement dalam keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu pada
perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu
dipahami mengenai karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu
dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
3. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara
meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau
proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan
semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan
pasien dan perbaikan mutu menyeluruh. (Windy, 2009)
F. Pengembangan Standar Pelayanan Keperawatan
1. Standar 1
a. Falsafah dan tujuan Pelayanan keperawatan diorganisasi dan dikelola agar
dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal bagi pasien sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Kriteria.
b. Dokumen tertulis yang memuat tujuan pelayanan keperawatan harus
mencerminkan peran rumah sakit, dan harus menjadi acuan pelayanan
keperawatan serta diketahui oleh semua unit lain. Dokumen ini harus selalu
tersedia untuk semua petugas pelayanan keperawatan
c. Setiap unit keperawatan dapat mengembangkan sendiri tujuan khusus
pelayanan keperawatan.
d. Dokumen ini harus disempurnakan paling sedikit setiap 3 tahun.
e. Bagan struktur organisasi harus memperlihatkan secara jelas garis
f. Komando, tanggung jawab, kewenangan serta hubungan kerja dalam
pelayanan keperawatan dan hubungan dengan unit lain.
g. Uraian tugas tertentu yang tertulis harus diberikan kepada setiap petugas hal
hal sebagai berikut
h. Kualifikasi yang dibutuhkan untuk jabatan petugas yang bersangkutan garis
kewenangan
i. Fungsi dan tanggungjawab
j. Frekuensi dan jenis penilaian kemamapuan staf
k. Masa kerja dan kondisi pelayanan

2. Standar II
Administrasi dan pengelolaan Pendekatan sistematika yang digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan pasien.
Kriteria:
1) Asuhan keperawatan mencerminkan standar praktek keperawatan yang
berlaku dan ditujukan pada pasien atau keluarganya, yang mencakup asuhan
keperawatan dasar, penugasan pasien atau keperawatan terpadu.
2) Perawat bertanggungjawab terhadap semua aspek asuhan keperawatan
3) Staff keperawatan senantiasa harus menghormati hak keleluasaan pribadi,
martabat dan kerahasiaan pasien.
4) Staff keperawatan berpartisipasi pada berbagai pertemuan tentag asuhan
pasien
5) Penelitian keperawatan
6) Bila penelitian keperawatan dilakukan, hak asasi pasien harus dilindungi
sesuai dengan pedoman yang berlaku dengan menjunung tinggi etika profesi
3. Standar III
Staff dan pimpinan Pelayanan keperawatan dikelola untuk mencapai tujuan
pelayanan. Kriteria:
1) Pelayanan keperawatan dipimpin oleh seorang perawat yang mempunyai
kualifikasi manager.
2) Kepala keperawatan mempunyai kewenangan atau bertanggungjawab bagi
berfungsinya pelayanan keperawatan ; sebagai anggota pimpinan harus aktif
menghadiri rapat pimpinan.
3) Apabila kepala perawatan berghalangan harus ada seorang perawat pengganti
yang cakap dapat diserahi tanggungjawab dan kewenangan.
4) Setiap perawat harus mempunyai izin praktek perawat yang masi berlaku dan
berkualifikasi professional sesuai jabatan yang didudukinya.
5) Jumlah dan jenis tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan
pasien fasilitas dan peralatan
4. Standar VI
Fasilitas dan peralatan harus memadai untuk mencapai tujuan peayanan
keperawatan. Kriteria:
1) Tersedianya tempat dan peralatan yang sesuai untuk melaksanakan tugas
2) Bila digunakan peralatan khusus, peralatan tersebut dijalankan oleh staf yang
telah mendapatkan pelatihan.
5. Standar V
Kebijakan dan prosedur Adanya kebijakan dan prosedur secara tertulis yang sesuai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan prinsip praktek keperawatan yang
konsisten dengan tujuan pelayanan keperawatan. Kriteria:
1) Kepala keperawatan bertanggung jawab terhadap perumusan dan
pelaksanaan kebijakan dan prosedur keperawatan.
a) Staf keperawatan yang aktif terlibat dalam asuhan langsung kepada pasien
harus diikut sertakan dalam perumusan kebijakan dan prosedur keperawatan.
b) Ada bukti bahwa staf keperawatan bertindak berdasarkan ketentuan hukum
yang mengatur standar pratek keperawatan dan berpedoman pada etika
profesi yang berlaku.
c) Ada kebijakan mengenai ruang lingkup dan batasan tanggung jawab serta
kegiatan staf keperawatan Pengertian: Sebagai contoh kebijakan ialah
penyuntikan/ pengobatan pada terapi intravena, pemberian darah dan produk
darah, menerima pesan melalui telepon, pemberian informasi kepada mass
media dan polisi, pencatatan dan pelaporan, pelaksanaan prosedur kerja.
d) Tersedianya pedoman praktek keperawatan yang meliputi:Prinsip-prinsip
yang mendasari prosedur,Garis besar prosedur, Kemungkinan perawat
menyesuaikan prosedur terhadap kebutuhan pasien. (Etika LavleeHongki,
2012)
6. Standar VI
Pengembangan staf dan program pendididkan Harus ada program pengembangan
dan pendidikan berkesinambungan agar setiap keperawatan dapat meningkatkan
kemampuan profesionalnya. Kriteria:
1) Program pengembangan staf dikoordinasi oleh seorang perawat terdaftar
2) Tujuan program orientasi dan pelatihan harus mengacu pada efektifitas
program pelayanan.
3) Tersedianya program orientasi bagi smua staf keperawatan yang baru dan bagi
perawat yangbaru ditempatkan pada bidang khusus, meliputi :
a) Informasi tentang hubungan antara pelayana keperawatan dengan rumah
sakit
b) Penjelasan mengenai kebijakan dan prosedur kerja dirumah sakit dan
pelayanan keperawatan
c) Penjelasan mengenai metode penugasan asuhan keperawatan dan standar
praktek keperawatan.
d) Prosedur penilaian terhadap staf keperawatan
e) Penjelasan mengenai tugas dan fungsi khusus , garis kewenangan, dan
ruang lingkup tanggung jawab
f) Cara untuk mendapatkan bahan – sumber yang tepat
g) Identifikasi kebutuhan belajar bagi tiap individu
h) Petunjuk mengenai prosedur pengamanan yang harus diikuti
i) Pelatihan mengenai tekhnik pertolongan hidup dasar (basic life support).
7. Standar VII
Evaluasi dan pengendalian mutu Pelayanan keperawatan menjamin adanya asuhan
keperawatan yang mutu tinggi dengan terus menerus melibatkan diri dalam
program pengendalian mutu dirumah sakit. Kriteria:
1) Adanya rencana tertulis untuk melaksanakan program pengendalian mutu
keperawatan.
2) Program pengendalian mutu keperawatan meliputi:
a) Pelayanan keperawatan terhadap standar yang telah ditetapkan.
b) Penampilan kerja semua tenaga perawat.
c) Proses dan hasil pelayanan keperawatan.
d) Tersedianya pendayagunaan sumber daya dari rumah sakit.
G. Tujuan Dan Maanfaat Jaminan Mutu
Tujuan
Tujuan program menjaga mutu mencakup dua hal yang bersifat pokok, yang jika
disederhanakan dapat diuraikan sebagai berikut:
Tujuan antara yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah diketahuinya mutu
pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu, tujuan ini dapat
dicapai apabila masalah serta prioritas masalah mutu berhasil ditetapkan.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah makin meningkatnya
mutu pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu, tujuan ini dapat
dicapai apabila masalah dan penyebab masalah mutu berhasil diatasi.
Manfaat
Apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan, banyak manfaat yang akan
diperoleh. Secara umum beberapa manfaat yang dimaksudkan adalah:
Dapat lebih meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.Peningkatan efektifitas yang
dimaksud di sini erat hubungannya dengan dapat diselesaikannya masalah yang tepat
dengan cara penyelesaian masalah yang benar. Karena dengan diselenggarakannya
program menjaga mutu dapat diharapkan pemilihan masalah telah dilakukan secara tepat
serta pemilihan dan pelaksanaan cara penyelesaian masalah telah dilakukan secara
benar.
Dapat lebih meningkatkan efesiensi pelayanan kesehatan.Peningkatan efesiensi
yang dimaksudkan disini erat hubungannya dengan dapat dicegahnya penyelenggaraan
pelayanan yang berlebihan atau yang dibawah standar. Biaya tambahan karena
pelayanan yang berlebihan atau karena harus mengatasi berbagai efek samping karena
pelayanan yang dibawah standar akan dapat dicegah.
Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan.Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat
sebagai pemakai jasa pelayanan. Apabila peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan,
pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam turut meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat secara keseluruhan. Dapat melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari
kemungkinan munculnya gugatan hukum. Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya
tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat serta diberlakukannya
berbagai kebijakan perlindungan publik, tampak kesadaran hukum masyarakat makin
meningkat pula. Untuk melindungi kemungkinan munculnya gugatan hukum dari
masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan, tidak ada pilihan lain yang
dapat dilakukan kecuali berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjamin
mutunya. Dalam kaitan itu peranan program menjaga mutu jelas amat penting, karena
apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan dapatlah diharapkan
terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, yang akan berdampak pada
peningkatan kepuasan para pemakai jasa pelayanan kesehatan .
H. Langkah – Langkah Penerapan Jaminan Mutu Pelayanan Keperawatan.
Pelayanan kesehatan di jaman sekarang ini harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan juga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Semua itu dapat
terpenuhi jika pelayanan kesehatan mempunyai mutu pelayanan yang optimal. Oleh
karena itu perlu adanya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Jaminan mutu
pelayanan kesehatan yang baik tidak terlepas dari profesionalisme perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan. Dalam memberikan pelayanan keperawatan, perawat
bisa menggunakan Tri Hita Karana sebagai patokan sehingga mutu pelayanan yang
bagus dapat tercapai.
Penerapan jaminan mutu pelayanan keperawatan yang berbasis Tri Hita Karana
akan dapat menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi
layanan kesehatan serta akhirnya akan menimbulkan kepuasan klien. Layanan kesehatan
yang bermutu akan membuat organisasi layanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal
dan selalu dicari oleh siapa yang membutuhkan layanan kesehatan yang bermutu serta
menjadi tempat kerja idaman bagi profesi layanan yang kompeten yang berperilaku
terhormat. Mutu pelayanan yang bermutu juga akan memperhatikan outcomes layanan
kesehatan benar benar bermanfaat bagi klien.
Melakukan pelayanan bermutu sesuatu yang menimbulkan kepuasan pribadi,
dengan menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam memberikan pelayanan kesehatan,
perawat diharapkan bekerja semakin cermat dan selalu menggunakan nalar. Bekerja
dengan lebih cermat bukan berarti harus bekerja keras, sebaliknya bekerja dengan
memperhatikan mutu artinya bekerja lebih arif dangan sistem yang baik sehingga
hasilnya akan lebih baik, tetapi dengan upaya dan pemborosan yang semakin
kurang. Tingkat mutu pelayanan kesehatan akan ditentukan bedasarkan tingkat
keseimbangan yang terjadi antara ketiga unsur tersebut.

c.Audit internal
Audit internal merupakan suatu penilaian atas keyakinan, independen, obyektif dan
aktivitas konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi
organisasi. Ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan
yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses
manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola. Audit internal adalah katalis untuk
meningkatkan efektivitas organisasi dan efisiensi dengan memberikan wawasan dan
rekomendasi berdasarkan analisis dan penilaian data dan proses bisnis. Dengan komitmen
untuk integritas dan akuntabilitas, audit internal yang memberikan nilai kepada mengatur
badan dan manajemen senior sebagai sumber tujuan saran independen. Profesional yang
disebut auditor internal yang digunakan oleh organisasi untuk melakukan kegiatan audit
internal.
Audit keperawatan internal dilakukan oleh organisasi profesi di dalam institusi
tempat praktik keperawatan, audit keperawatan eksternal dilakukan oleh organisasi profesi
di luar institusi.Kebijakan audit medis di Rumah Sakit didasarkan pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 496/Menkes/SK/IV/2005 tanggal 5 April 2005
tentang Pedoman Audit Medis di RS, sedangkan untuk audit keperawatan belum ada
kebijakan yang mengatur.
Pelaksana Audit Keperawatan di Rumah Sakit :
Tim pelaksana dapat merupakan tim atau panitia yg dibentuk di bawah Komite
Keperawatan atau panitia khusus untuk itu à pelaksana audit keperawatan di RS dapat
dilakukan oleh Komite Keperawatan, Sub Komite (Panitia) Peningkatan Mutu Keperawatan
atau Sub Komite (Panitia) Audit Keperawatan
Pelaksana audit keperawatan wajib melibatkan bagian rekam keperawatan
Pelaksana audit wajib melibatkan SMF mulai dari pemilihan topik, penyusunan standar &
kriteria serta analisa hasil audit keperawatan
Apabila diperlukan dapat mengundang konsultan tamu atau organisasi profesi terkait
untuk melakukan analisa hasil audit keperawatan & memberikan rekomendasi khusus
Langkah-langkah (Proses Audit)
1. Identifikasi masalah
Hal-hal yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihan topik adalah :
Adanya standar nasional dan pedoman yang menjadi rujukan praktik klinis yang lebih
efektif
Area yang menjadi masalah dapat dijumpai di lahan praktik
Rekomendasi dari pasien dan masyarakat
Berpotensi jelas untuk meningkatkan pemberian pelayanan Kaitan dengan volume,
risiko dan biaya tinggi jika upaya perbaikan diterapkan
2. Menetapkan kriteria dan standar
Kriteria adalah pernyataan eksplisit yang didefinisikan sebagai elemen representatif dari
pelayanan yang dapat diukur secara objektif.
Standar adalah aspek pelayanan yang dapat diukur, yang selalu didasarkan pada hasil
penelitian yang terbaik (ekspektasi tiap kriteria)
Standar & kriteria wajib (Must Do) à merupakan kriteria minimum yg absolut
dibutuhkan utk menjalankan kegiatan sesuai kebutuhan & harus dipenuhi oleh setiap dokter
Standar kriteria tambahan (Should do) à merupakan kriteria-2 dari hasil riset yg dapat
dibuktikan dan penting
3. Pengumpulan data
Untuk menjamin pengumpulan data tepat dan teliti, dan hanya informasi penting
yang dikumpulkan, tentunya detail dari hal-hal yang akan di audit ditetapkan sejak awal.
Diantaranya adalah :
Kelompok yang termasuk pengguna pelayanan, dengan tanpa perkecualian
Profesional kesehatan yang termasuk pemberi pelayanan
Periode penerapan dari kriteria. Ukuran sampel dapat ditentukan menggunakan statistik,
data dapat dikumpulkan baik dengan sistem informasi komputer maupun secara manual.
Yang terpenting adalah data apakah yang akan diambil?, dimanakah data dapat ditemukan?
Dan siapakan yang akan mengambil data?
4.Membandingkan hasil pengumpulan data dengan standar.
Tahap ini merupakan tahap analisis, dimana hasil dari pengumpulan data
dibandingkan dengan kriteria dan standar. Hasil akhir dari analisis adalah apakah standar
sudah sesuai, jika dapat diaplikasikan, identifikasi alasan ketidaksesuaian standar dengan
kasus.
5.Melakukan upaya perbaikan (Melakukan analisa kasus yg tidak sesuai dgn standar &
kriteria).
Setelah hasil audit dipublikasikan dan didiskusikan, kesepakatan sebaiknya dibuat
sebagai rekomendasi perbaikan. Rencana kegiatan dilaporkan untuk menentukan siapa yang
akan menyetujui, apa yang akan dilakukan dan kapan akan dimulai. Tiap-tiap poin
sebaiknya didefinisikan dengan jelas termasuk nama-nama individu yang akan bertanggung
jawab dan target waktu pencapaian.
6. Tindakan korektif
7. Rencana re-audit
Aspek struktur, proses dan hasil pelayanan dipilih dan dievaluasi secara sistematis
berdasarkan kriteria eksplisit. Jika diindikasikan, upaya-upaya perbaikan diterapkan pada
tim individu atau tingkat pelayanan dan monitoring selanjutnya digunakan untuk memberi
konfirmasi adanya perbaikan dalam pemberian pelayanan.Audit klinik adalah suatu
kegiatan berkesinambungan penilaian mutu pelayanan yang dilakukan para pemberi jasa
pelayanan kesehatan langsung (oleh dokter, perawat, dan atau profesi lain) suatu Rumah
Sakit untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan jika hasil penilaian menunjukkan bahwa
mutu pelayanan mereka ternyata dibawah optimal. Pengertian klinik dalam konteks ini
meliputi kelompok medik dan keperawatan, dengan demikian audit klinik dapat merupakan
audit medik, audit keperawatan, atau gabungan antara audit medik dan
keperawatan.Menurut Elison, audit keperawatan secara khusus merujuk pada pengkajian
kualitas keperawatan klinis yang merupakan upaya evaluasi secara profesional terhadap
mutu pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, dengan menggunakan rekam
keperawatan dan dilaksanakan oleh profesi keperawatan.
d.Audit manajemen personalia
Audit manajemen personalia adalah perencanaan, pengembangan, pembagian
kompensasi, penginterprestasian, dan pemeliharaan tenaga keraja dengan maksud untuk
membantu mencapai tujuan perusahaan, individu dan masyarakat (Ranupandojo dan
Husnan, 2002).
Manajemen personalia adalah ilmu seni untuk melaksanakan antara lain
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, sehingga efektivitas dan efisiensi personalia
dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dalam mencapai tujuan (Nitisemito, 1996:143).
TujuanManajemen Personalia
Tujuan manajemen personalia berhubungan dengan tujuan perusahaan secara
umum. Hal ini dikarenakan manajemen perusahaan berusaha untuk menimbulkan efisiensi
dalam bidang tenaga kerja sebagai efisiensi keuntungan dan kontinuitas.
Tujuan manajemen personalia ada dua macam, yaitu (Manullang, 2001:165) :

1. Production Minded (efisiensi dan daya guna);


2. People Minded (Kerja sama).

Karena itu manajemen personalia ini menyangkut usaha untuk menciptakan kondisi
dimana setiap karyawan didorong untuk memberikan sumbangan sebaik mungkin bagi
majikannya, karena tidak dapat mengharapkan efisiensi yang maksimal tanpa kerjasama
yang penuh dari para karyawan.
Fungsi Manajemen Personalia

Fungsi audit manajemen personalia terdiri dari :

1. Perencanaan. Perencanaan berarti menentukan program personalia yang akan


membantu mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Tujuan ini
memerlukan partisipasi aktif dari manajer personalia.
2. Pengorganisasian. Jika perusahaan telah menentukan fungsi-fungsi yang harus
dijalankan oleh karyawannya, maka manajer personalia harus membentuk
organisasi dengan merancang susunan dari berbagai hubungan antara jabatan
personalia dan faktor-faktor fisik. Organisasi merupakan suatu alat untuk mencapai
tujuan.
3. Pengarahan. Apabila manajer sudah mempunyai rencana dan sudah mempunyai
organisasi untuk melaksanakan rencana tersebut, fungsi selanjutnya adalah
mengadakan pengarahan terhadap pekerjaan. Fungsi itu berarti mengusahakan agar
karyawan bekerja sama secara efektif.
4. Pengawasan. Pengawasan adalah mengamati dan membandingkan pelaksanaan
dengan rencana dan mengoreksinya apabila terjadi penyimpangan. Dengan kata lain
pengawasan adalah fungsi yang menyangkut masalah pengaturan berbagai kegiatan
sesui dengan rencana personalia yang dirumuskan sebagi dasar analisis dari tujuan
organisasi fundamental.

Fungsi audit manajemen personalia secara operasionalnya terdiri dari :

1. Pengadaan adalah menyediakan sejumlah tertentu karyawan dan jenis keahlian


yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan. Tujuan tersebut menyangkut
masalah pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, proses seleksi dan penempatan kerja.
2. Pengembangan karyawan yang telah diperoleh dengan malalui pelatihan dengan
tujuan untuk mengembagkan ketrampilan.
3. Pemberian kompensasi adalah pemberian penghargaan yang adil dan layak
terhadap para karyawan sesuai dengan sumbangan mereka dalam mencapai tujuan
perusahaan.
4. Pengintegrasian adalah menyangkut penyesuaian keinginan dari individu dengan
keungan pihak perusahaan dan masyarakat.
5. Pemeliharaan adalah mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang telah ada.

e. keselamatan

yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patien safety) adalah proses dalam
suatu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di
dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan
menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Standar
keselamatan pasien tersebut menurut Pasal 43 ayat (2) dilaksanakan melalui pelaporan
insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan.Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien
adalah kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event),
dan nyaris terjadi (near miss). Untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, Menteri
Kesehatan menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, membentuk Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Komite Nasional tersebut merupakan
organisasi nonstruktural dan independen dibawah koordinasi direktorat jenderal yang
membidangi rumah sakit, serta bertanggung jawab kepada Menteri.

Standar keselamatan pasien menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pasal 7 ayat (2)
meliputi:

1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga;
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien;
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien;dan
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diatas mewajibkan setiap


Rumah Sakit untuk mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien yang meliputi
tercapainya 6 (enam) hal sebagai berikut:

1. Ketepatan identifikasi pasien;


2. Peningkatan komunikasi yang efektif;
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan;dan
6. Pengurangan risiko pasien jatuh.

Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, menurut Pasal 9 Peraturan


Menteri Kesehatan tersebut diatas, Rumah Sakit melaksanakan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;


2. Memimpin dan mendukung staf;
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
4. Mengembangkan sistem pelaporan;
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;dan
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

Melalui penerapan tujuh langkah tersebut diharapkan hak pasien yang dijamin
dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
terpenuhi. Hak tersebut antara lain untuk memperoleh layanan kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedural operasional serta layanan yang efektif
dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. Asosiasi rumahsakitan
dan organisasi profesi kesehatan menurut Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, wajib berperan serta dalam persiapan penyelenggaraan
Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

f. Pengertian Kepuasan Pasien


Kepuasan pelanggan adalah indikator utama dari standar suatu fasilitas kesehatan
dan merupakan suatu ukuran mutu pelayanan kepuasan pelanggan yang rendah akan
berdampak terhadap jumlah kunjungan yang akan mempengaruhi provitabilitas fasilitas
kesehatan tersebut, sedangkan sikap karyawan terhadap pelanggan juga akan berdampak
terhadap kepuasan pelanggan dimana kebutuhan pelanggan dari waktu ke waktu akan
meningkat, begitu pula tuntutannya akan mutu pelayanan yang diberikan (Atmojo, 2006)
Menurut Irawan (2003), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa dari
seseorang yang mendapat kesan dari membandingkan hasil pelayanan kinerja
denganharapan-harapannya. kepuasan atau ketidakpuasan merupakan respon pelanggan
sebagai hasil dan evaluasi ketidaksesuaian kinerja/tindakan yang dirasakan sebagai akibat
dari tidak terpenuhinya harapan.
Hal ini juga dinyatakan oleh Sugito (2005) yang menyebutkan bahwa tingkat
kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan,
apabila kinerja di bawah harapan maka pelanggan akan kecewa Pada dasarnya harapan
klien adalah perkiraan atau keyakinan klien tertang pelayanan yang diterimanya akan
memenuhi harapannya. Sedangkan hasil kinerja akan dipersepsikan oleh klien.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian di atas terdapat kesamaan
pandangan bahwa kepuasan pelanggan/klien merupakan ungkapan perasaan puas apabila
menerima kenyataan / pengalaman pelayanan memenuhi harapan klien.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien
Menurut Kotler & Amstrong (dalam Huriyati,2005 &Rangkuti, 2006) faktor-faktor
yang mempengaruhi kepuasan berhubungan dengan tingkah laku konsumen yaitu
a.Faktor Kebudayaan
Faktor budaya memberi pengaruh yang paling luas dan mendalam terhadap perilaku
pelanggan/klien. Faktor budaya terdiri dari beberapa komponen yaitu budaya, sub-budaya
dan kelas sosial. Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang mendasar dalam
mempengaruhi keinginan atau kepuasan orang. Sub-budaya terdiri atasnasionalitas,
agama,kelompok, ras, dan daerah geografi. Sedangkan kelas sosial adalah sebuah kelompok
yang relatif homogen mempunyai susunan hirarki dan anggotanya memiliki nilai, minat dan
tingkah laku. Kelas sosial tidak hanya ditentukan oleh satu faktor melainkan diukur sebagai
kombinasi dari pekerjaan, pendapatan,dan variabel lainnya.
b.Faktor Sosial
Faktor sosial terbagi atas kelompok kecil, keluarga, peran dan status. Orang yang
berpengaruh kelompok/lingkungannya biasanya orang yang mempunyai karakteristik
,keterampilan, pengetahuan,kepribadian. Orang ini biasanya menjadi panutan karena
pengaruhnya amat kuat.
c.Faktor Pribadi
Faktor pribadi merupakan keputusan seseorang dalam menerima pelayanan dan
menanggapi pengalaman sesuai dengan tahap-
tahap kedewasaannya. Faktor pribadi klien dipengaruhi oleh usia dan tahap siklus hidup,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian/konsep
diri. Usia mempunyai dimensi kronologis dan intelektual, artinya berdimensi kronologis
karena bersifat progres berjalan terus dan tidak akan kembali sedangkan usia berdimensi
intelektual berkembang melalui pendidikan dan pelatihan. Usia merupakan tanda
perkembangankematangan/kedewasaan seseorang untuk memutuskan sendiri atas suatu
tindakan yang diambilnya. Usia juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit
misal penyakit kardio vaskuler dengan peningkatan usia.Pendidikan merupakan proses
pengajaran baik formal maupun informal yang dialami seseorang.
Hasilnya akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam mendewasakan
diri. Selain itu. pendidikan juga berkaitan dengan harapan. Seseorang yang tingkat
pendidikannya tinggi akan mengharapkan pelayanan yang lebih baik dan lebih tinggi.
Pekerjaan merupakan aktifitas jasa seseorang untuk mendapat imbalan berupa materi dan
non materi. Pekerjaan dapat menjadi faktor risiko kesehatan seseorang dan berdampak pada
sistem imunitas tubuh. Pekerjaan ada hubungannya dengan penghasilan seseorang untuk
berperilaku dalam menentukan pelayanan yang diinginkan. Status perkawinan sementara
diduga ada kaitannya dengan gaya hidup dan kepribadian.
d. Faktor Psikologi
Faktor psikologi yang berperan dengan kepuasan yaitu motivasi, persepsi,
pengetahuan, keyakinan dan pendirian. Motivasi mempunyai hubungan erat dengan
kebutuhan. Ada kebutuhan biologis seperti lapar dan haus, ada kebutuhan psikologis yaitu
adanya pengakuan, dan penghargaan. Kebutuhan akan menjadi motif untuk mengarahkan
seseorang mencari kepuasan (Sutojo, 2003).
Menurut Kotler (200 dalam Wijono 1999) menyebutkan bahwa kepuasan pasien
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : pendekatan dan perilaku petugas, perasaan
klien terutama saat pertama kali datang, mutu informasi yang diterima, outcomes
pengobatan dan perawatan yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu. Oleh karena
itu kepuasan pasien merupakan respon kebutuhan pasien terhadap keistimewaan suatu
kualitas produk jasa atau pelayanan.
g. Kenyamanan
Kenyamanan didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh resipien berdasarkan
pengukuran kenyamanan.Ada tiga tipe kenyamanan (dorongan, ketentraman dan
transcendence) serta empat konteks pengalaman (fisik, psikospiritual, sosial dan
lingkungan).
Tipe-tipe kenyamaman didefiniskan sebagai berikut :
Dorongan (relief): kondisi resipien yang membutuhkan penanganan yang spesifik dan
segera.
Ketenteraman (ease): kondisi yang tenteram atau kepuasan hati.
Transcendence: kondisi dimana individu mampu mengatasi masalahnya (nyeri).
Empat konteks kenyamanan
Fisik : berkaitan dengan sensasi jasmani.
Psikospiritual : berkaitan dengan kesadaran diri, internal diri, termasuk penghargaan,
konsep diri, seksual dan makna hidup; berhubungan dengan perintah yang terbesar atau
kepercayaan.
Lingkungan : berkaitan dengan keadaan sekitarnya, kondisi-kondisi, dan pengaruhnya.
Sosial : berkaitan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
Teori kenyamanan meliputi tiga tipe alasan logis:
A.Induction
Induksi terjadi setelah terjadi proses generalisasi dari pengamatan terhadap objek
yang spesifik (Bishop & Hardin, 2006). Ketika perawat mendalami tentang praktek
keperawatan dan keperawatan sebagai disiplin, perawat menjadi familiar dengan konsep
implisit atau eksplisit, term, proposisi, dan asumsi yang mendukung praktik keperawatan.
B.Deduction
Deduksi merupakan proses penyimpulan prinsip atau premis yang bersifat general
menjadi kesimpulan yang lebih spesifik (Bishop & Hardin, 2006).
Tahapan deduktif dari perkembangan teori menghasilkan hubungan comfort dengan
konsep lain untuk menghasilkan sebuah teori. Pendapat dari ketiga theorist disertakan
dalam teori comfort, oleh karena itu Kolcaba mencari bentuk dasar yang dibutuhkan untuk
menyatukan ketiga konsep dasar: relief, ease, dan transcendence. Sesuatu hal yang
diinginkan adalah suatu kerangka konsep general yang mampu menjelaskan comfort
menjadi istilah yang lebih mudah dipahami dan mengurangi tingkat abstraksinya (Tomey &
Alligood, 2010).
C.Retroduction
Retroduction digunakan untuk menyeleksi fenomena yang sesuai untuk
dikembangkan lebih luas untuk kemudian diuji kembali. Tipe ini diaplikasikan dalam area
yang hanya memiliki beberapa teori (Bishop & hardin, 2006).. Hasil yang diharapkan dari
pemberian intervensi keperawatan adalah diperolehnya kenyamanan pasien yang dapat
dilihat dari persepsi yang dikemukakan oleh pasien.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan merupakan suatu pelayanan
keperawatan yang komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh
perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun masyarakat) baik sakit
maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan
standar pelayanan. Secara sederhana proses kendali mutu ( Quality Control ) dimulai dari
menyusun strandar – standar mutu, selanjutnya mengukur kinerja dengan membandingkan
kinerja yang ada dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila tidak sesuai, dilakukakn
tindakan koreksi. Bila diinginkan peningkatan kinerja perlu menyusun standar baru yang
lebih tinggi dan seterusnya.
Dalam Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan ada beberapa Dimensi mutu yang
mencerminkan segala pelayanan keperawatan tersebut diantaranya yaitu Dimensi Tangible
atau bukti fisik, Dimensi Reliability atau keandalan, Dimensi Responsiveness atau
ketanggapan, Dimensi Assurance atau jaminan dan kepastian, dan Empati.
Penilaian Mutu Pelayanan Keperawatan berupa Audit Struktur (Input, Proses (Process),
Hasil (Outcome). Dalam Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan terdapat Strategi
Mutu Pelayanan Keperawatan, diantaranya Quality Assurance (Jaminan Mutu), Total
quality manajemen (TQM). Peran sebagai seorang pemimpin dalam pelayanan kesehatan
adalah menjadi model kepemimpinan yang berpusat pada prinsip (principle centered
leadership).
B.Saran
Adapun saran yang diharapkan penulis kepada pembaca agar pembaca dapat mulai
menerapkan manajemen mutu di kehidupan sehari-hari. Mulai meningkatkan manajemen
mutu dan dapat menjaga kualitas mutu dengan sebaik mungkin. Terutama manajemen mutu
dalam pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien maupun pasien sehingga dapat
menjadi perawat yang professional.
DAFTAR PUSTAKA
Maequis, Bessie L. 2010. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan :teori
&aplikasi.Ed.4.Jakarta.EGC
Kuntoro, agus. 2010. buku ajar menejemen keperawatan. Yogyakarta : nuha medika
Nursalam.2002.Manajemen Keperawatan; Aplikasi pada praktek perawatan
profesional.Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai