Anda di halaman 1dari 8

9 Pendederan ikan nila dengan sistem akuaponik ...

(Imam Taufik)

PENDEDERAN IKAN NILA ( Oreochromis niloticus) DENGAN SISTEM AKUAPONIK


PADA BERBAGAI LOKASI YANG BERBEDA
Imam Taufik
Balai Penelitian dan pengembangan Budidaya Air Tawar
Jl. Sempur No. 1, Bogor 16151
E-mail: imam_opik67@yahoo.co.id

ABSTRAK

Akuaponik merupakan teknologi budidaya yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman,
secara nyata mampu meningkatkan produktivitas lahan sebesar 30%-40%. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbedaan lokasi pada pendederan ikan nila dengan teknologi akuaponik. Wadah
penelitian berupa 9 unit kolam tembok yang dirancang menggunakan sistem akuaponik dengan bak media
tanam sayuran seluas 25% dari ukuran kolam. Setiap 3 unit kolam ditempatkan pada lokasi dengan ketinggian
di atas permukaan laut (DPL) yang berbeda sebagai perlakuan, yaitu a) 1.008 m; b) 246 m; dan c) 7 m. Hewan
uji adalah ikan nila dengan bobot rata-rata 1 g/ekor ditebar 100 ekor/m2 dan diberi pakan pelet 5%/bobot
biomassa/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari, tanaman sayuran yang digunakan dari jenis kangkung
darat berukuran panjang bibit 7-10 cm ditanam 10 batang/rumpun dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.
Penelitian berlangsung selama 56 hari dengan sampling bobot ikan dan panen sayuran dilakukan setiap 14
hari. Hasil menunjukkan bahwa sintasan ikan nila pada ketiga lokasi > 70%; laju pertumbuhan individu
antara 2,97-3,20 g/hari; produktivitas ikan dan sayuran tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pendederan ikan nila dengan teknologi akuaponik dapat dilakukan pada daerah dengan ketinggian
antara 7 sampai 1.008 m DPL.

KATA KUNCI: akuaponik, ikan nila, kangkung darat, produktivitas

PENDAHULUAN
Jumlah ketersediaan air permukaan untuk berbagai kepentingan tidak dapat mengimbangi laju
pertumbuhan, atau terjadi kesenjangan antara kemampuan penyediaan dengan harapan/tuntutan
pemanfaat. Akibatnya terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara pemanfaat yang
bersifat sosial dengan pemanfaat yang bersifat komersial (pertanian dengan industri) maupun antar
pemanfaat yang sejenis (Djajadiredja, 2011). Kondisi ini merupakan salah satu kendala bagi
perkembangan budidaya perikanan karena kegiatan tersebut pada umumnya membutuhkan sumber
air yang melimpah.
Lebih jauh lagi, terbatasnya lahan dan sumber air di samping kualitasnya yang sudah tercemar
sehingga tidak cukup layak untuk budidaya merupakan faktor pembatas bagi kegiatan budidaya
perikanan. Hal ini merupakan tantangan bagi terciptanya berbagai teknologi budidaya hemat lahan
dan air dengan nilai produktivitas yang tinggi, salah satunya adalah budidaya dengan sistem
akuaponik yaitu teknologi budidaya yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman
(Nelson, 1998).
Berdasarkan serangkaian hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar
(BPPBAT) Bogor, sistem akuaponik terbukti dapat diterapkan untuk budidaya jenis-jenis ikan nila/
Oreochromis niloticus (Kusdiarti et al., 2006), mas/Cyprinus carpio, lele dumbo/Clarias gariepinus
(Widyastuti et al., 2008) dan ikan ekonomis lainnya. Penerapan akuaponik merupakan jawaban dari
efisiensi air dan penghematan lahan budidaya serta tambahan pendapatan (income) dari hasil panen
tanaman (Widyastuti et al., 2008).
Hingga saat ini budidaya ikan nila masih sangat layak untuk dikembangkan dalam suatu unit
usaha karena harga jual ikan ini di pasar domestik sangat menggiurkan, sementara itu, beberapa
pasar di daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Barat masih kekurangan pasokan.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012 10

Menurut data statistik hampir 80% dari produk nila terserap untuk pasar lokal, belum lagi peluang
pasar untuk ekspor (Carman & Sucipto, 2009).
Sebagai suatu teknologi terapan yang diharapkan dapat menjadi alternatif usaha yang
menguntungkan bagi masyarakat, akuaponik harus dapat dilakukan di berbagai daerah dengan kondisi
lingkungan yang berbeda di mana perbedaan tersebut dapat disebabkan karena letak topografis
(ketinggian). Penelitian bertujuan untuk mengetahui produktivitas kolam pendederan ikan nila sistem
akuaponik di beberapa daerah dengan ketinggian dari permukaan laut (DPL) yang berbeda. Dari
hasil kajian ini, budidaya akuaponik diharapkan mampu menjadi paket teknologi budidaya yang
tangguh dan teruji yang dapat diadopsi serta diaplikasikan oleh masyarakat di semua daerah.
BAHAN DAN METODE
Wadah penelitian berupa kolam pendederan ikan nila yang dirancang dengan sistem akuaponik,
dilengkapi bak media tanam sayuran yang berisi arang kayu dan ditempatkan di luar kolam. Luas
bak media tanam sayuran sebesar 25% dari luas kolam ikan (Nugroho & Sutrisno, 2008), untuk
kebutuhan resirkulasi air digunakan pompa celup dengan kapasitas aliran 70 L/menit yang juga
berfungsi untuk mendistribusikan air ke setiap rumpun tanaman sayuran. Air yang terlalukan dari
bak media tanam sayuran akan mengalir dan kembali masuk ke kolam ikan dengan kualitas yang
lebih baik. Pembuatan kolam akuaponik tersebut sebanyak 9 unit, di mana setiap 3 unit ditempatkan
di tiga lokasi dengan ketinggian yang berbeda dari permukaan laut (DPL) sebagai perlakuan, yaitu:
a) 1.008 m DPL; b) 246 m DPL; dan c) 7 m DPL.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) digunakan sebagai hewan uji berbobot rata-rata 1 g/ekor yang
ditebar dengan kepadatan 100 ekor/m2 (Nugroho & Sutrisno, 2008). Selama penelitian ikan uji diberi
pakan berupa pelet sebanyak 5%/berat biomassa/hari dengan frekuesi pemberian 2 kali. Penyesuaian
dosis pakan dilakukan berdasarkan data bobot rata-rata sampel ikan yang diukur tiap 2 minggu.
Sayuran yang ditanam pada media filter adalah jenis kangkung air (Ipomea aquatica) yang terbukti
paling efektif dalam menyerap kandungan nitrogen (N) dan fosfat (P) dalam air yang berasal dari sisa
pakan dan metabolisme ikan yang dibudidayakan. Benih kangkung yang digunakan berukuran tinggi
7-10 cm, ditanam 10 batang dalam 1 rumpun dengan jarak tanam 20 cm. Dipanen setiap 2 minggu
dengan cara memangkas pada pangkal batang berjarak 5 cm dari akar, kemudian ditimbang untuk
mengetahui produktivitasnya.
Penelitian/pendederan ikan dilakukan selama 56 hari dengan sasaran produk berupa ikan nila
ukuran sangkal (± 10 g/ekor). Peubah yang diukur meliputi: sintasan, laju pertumbuhan serta
produktivitas ikan dan sayuran. Pengukuran pertambahan bobot ikan dilakukan setiap 2 minggu
dengan cara sampling. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara statistik yang dilanjutkan
dengan uji jarak Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.
Derajat sintasan dihitung dengan rumus Effendi (1979): SR = Nt/No x 100% [SR = Sintasan (%); No
= jumlah hewan uji pada awal penelitian; dan Nt = jumlah hewan uji pada akhir penelitian]. Laju
pertumbuhan harian diukur dengan rumus G = [ln Wt – ln Wo )/Dt x 100% (G = Laju pertumbuhan
harian individu (%); Wo = bobot rata-rata individu pada awal pengamatan (g); Wt = bobot rata-rata
individu pada akhir pengamatan (g); Dt = waktu pemeliharaan]. Produktivitas biomassa ikan dan
tanaman kangkung ditentukan dengan rumus: P = (Wt – Wo)/Dt [P = produktivitas (g/hari); Wo =
bobot awal biomassa (g); Wt = bobot akhir biomassa (g); Dt = waktu pemeliharaan].
HASIL DAN BAHASAN

Keadaan Umum Lokasi


Penelitian ini dilakukan pada tiga lokasi dengan ketinggian dari permukaan laut (DPL) yang berbeda
sebagai perlakuan. Adapun ketiga lokasi yang dipilih dan dianggap mewakili daerah dengan ketinggian
berbeda adalah:
 Dataran tinggi (> 500 M DPL): dilakukan di Desa Cimacan Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur
yang terletak pada ketinggian ± 1.008 m DPL. Meskipun lokasi ini merupakan lembah dengan
11 Pendederan ikan nila dengan sistem akuaponik ... (Imam Taufik)

vegetasi tanaman yang rapat tetapi letak petakan kolam terbebas dari naungan (terbuka) sehingga
cukup mendapat intensitas cahaya matahari.
 Dataran sedang (100-500 m DPL): dilakukan di Kecamatan Pasirjaya Kodya Bogor yang terletak
pada ketinggian ± 246 m DPL. Lokasi ini merupakan tempat dilakukannya riset perikanan sehingga
sangat ideal sebagai stasiun pengujian.
 Dataran rendah (0-100 m DPL): dilakukan di Desa Cimaja Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
yang terletak pada ketinggian ± 7 m DPL. Lokasi ini merupakan tempat produksi berbagai benih
ikan air tawar seperti nila, bawal, patin, dan mas sehingga cukup ideal sebagai tempat pengujian.
Ketinggian atau topografi suatu daerah secara langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap
kualitas air kolam yang memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan
budidaya. Kualitas air didefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang
kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran tertentu
(Boyd, 1982). Hasil pengukuran kualitas air menujukkan bahwa sifat fisika-kimia air kolam dari ketiga
lokasi perlakuan memiliki kisaran seperti Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran fisika-kimia air dari kolam perlakuan selama penelitian

Lokasi kolam (DPL) (m)


Parameter
1.008 246 7
Suhu air (°C) 25,2-28,5 26,2-28,4 28,3-30,6
pH 7,90-7,94 7,20-8,67 7,34-7,41
DO (mg/L) 3,63-4,27 1,78-6,47 3,12-5,19
CO2 (mg/L) 1,86 1,86 3,92
Amonia (mg/L) 0,191-0,210 0,024-2,246 0,707-0,746

Dari Tabel 1 terlihat bahwa parameter kualitas air yang paling berbeda adalah suhu air kolam di
mana pada perlakuan a (1.008 m DPL) suhu minimum sebesar 25,2°C lebih rendah dengan rentang
yang lebih lebar (3,3°C) dibanding perlakuan lain. Hal ini berkaitan dengan topografis daerah tersebut
di mana semakin tinggi letaknnya dari permukaan laut maka kondisi suhu akan semakin menurun.
Derajat keasaman (pH) air pada semua kolam penelitian berada pada kisaran yang baik bagi
pertumbuhan ikan nila karena menurut Effendi (2000), air yang digunakan untuk budidaya ikan
pada kolam air tenang sebaiknya mempunyai pH sekitar 7-8,5. Pada perairan dengtan pH rendah
banyak ditemukan amonium yang dapat terionisasi dan bersifat tidak toksik, sebaliknya pada pH
tinggi (suasana alkalis) didapatkan amonia tak terionisasi dan bersifat toksik.
Oksigen terlarut dalam air berada pada kisaran yang layak bagi ikan, meski nilainya sempat
menurun hingga 1,78 mg/L pada kolam di lokasi 246 m DPL tetapi itu terjadi secara insidentil dan
masih dapat ditolerir oleh ikan nila yang memang mempunyai toleransi yang luas terhadap kondisi
lingkungan (Carman & Sucipto, 2009).
Karbondioksida (CO2) pada semua kolam selama penelitian cukup baik dengan kisaran 1,86-3,92
mg/L; karena menurut Carman & Sucipto (2009), untuk kegiatan budidaya ikan nila nilai
karbondioksida sebaiknya berada pada konsentrasi kurang dari 12 mg/L. Konsentrasi CO2 di kolam
pada ketinggian 7 m DPL relatif lebih tinggi dibanding kolam lain (Tabel 1), hal ini disebabkan oleh
peningkatan suhu yang menyebabkan ikan lebih aktif bergerak, laju konsumsi pakan, dan metabolisme
cepat meningkat sehingga kotoran menjadi lebih banyak di mana proses pembusukannya
menyebabkan CO2 meningkat. Secara umum parameter kualitas air pada semua kolam berada dalam
kisaran yang dapat ditolerir oleh ikan meski selama 2 bulan pemeliharaan tidak dilakukan pergantian
air. Hal ini berkaitan erat dengan keberadaan filter biologis dan tanaman sayuran yang secara efektif
dapat mereduksi kadar amonia dalam air hingga 90% serta menurunkan kadar nitrit dari 4,4 mg/L
menjadi 0,013-0,25 mg/L (Nugroho & Sutrisno, 2002).
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012 12

Sintasan Ikan
Derajat sintasan atau kelangsungan hidup ikan merupakan nilai perbandingan antara jumlah
ikan yang ditebar pada awal penelitian dengan jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian dan
dinyatakan dalam bentuk persen. Hasil dari pemeliharaan ikan selama 56 hari, ternyata sintasan
ikan nila pada setiap lokasi penelitian adalah seperti pada Table 2.

Tabel 2. Sintasan ikan nila pada masing-masing lokasi penelitian


selama penelitian (nilai rata-rata + standar deviasi)

Perlakuan (DPL) Sintasan *(%)


Dataran tinggi (1.008 m) 70,11a±6,44
Dataran sedang (246 m) 74,80a±2,14
Dataran rendah (7 m) 71,20a±4,71
*)
Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf superscript sama menunjukkan
tidak beda nyata (P<0,05)

Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa mortalitas ikan nila terutama terjadi
pada minggu pertama pemeliharaan karena ikan masih beradaptasi dengan kondisi lingkungan
pemeliharaan. Gejala klinis awal yang terlihat antara lain seperti ikan berenang lambat mengambang
ke permukaan, terdapat luka pada ujung sirip punggung dan ekor, warna badan menjadi lebih gelap
dan mata menonjol berwarna putih. Selanjutnya ikan mudah terserang penyakit yang disebabkan
oleh bakteri maupun parasit dan dalam kondisi parah akan mengakibatkan kematian.
Mortalitas ikan nila pada kolam pendederan pada ketinggian 1.008 m DPL lebih disebabkan oleh
rendahnya suhu air dengan fluktuasi harian hingga 3,3°C yang mengakibatkan ikan menjadi stres.
Suhu makin naik maka reaksi kimia makin meningkat sedangkan konsentrasi gas dalam air akan
menurun termasuk oksigen, akibatnya ikan akan membuat reaksi toleran atau tidak toleran.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa sintasan tertinggi dicapai oleh pendederan ikan nila sistem
akuaponik pada kolam di ketinggian 246 m DPL (dataran sedang) yaitu sebesar 74,80%; disusul pada
ketinggian 7 m DPL atau dataran rendah (71,20%) dan yang paling rendah adalah sintasan ikan pada
kolam dengan ketinggian 1.008 m DPL (70,11%), tetapi dari hasil analisis staitistik sintasan ikan nila
dari ketiga perlakuan tersebut menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Kondisi ini dapat tercapai
karena sifat unggul dari ikan nila, yaitu memiliki retensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan
penyakit serta memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan (Carman & Sucipto, 2009).
Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah istilah sederhana yang dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran
panjang atau bobot dalam suatu waktu. Definisi demikian merupakan pertumbuhan individu atau
pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Terjadinya proses tumbuh atau
pertumbuhan pada ikan dapat dideteksi dari meningkatnya bobot ikan sejalan dengan bertambahnya
waktu pemeliharaan.
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah faktor internal (berasal dari ikan itu
sendiri) dan faktor eksternal (variabel lingkungan tempat hidup ikan), namun dari kedua faktor tersebut
belum diketahui faktor mana yang memegang peranan lebih dominan. Dari hasil sampling yang
dilakukan setiap 2 minggu, rata-rata bobot individu ikan nila dari setiap perlakuan dapat digambarkan
seperti Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pertumbuhan ikan nila secara sampling pada dataran sedang dan
rendah lebih cepat dibanding dataran tinggi. Hal ini tentu berkaitan erat dengan suhu air dan udara
di mana semakin tinggi dataran dari permukaan laut maka suhunya akan semakin rendah (Tabel 1).
Suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim, kenaikan suhu akan menyebabkan penurunan pH enzim
dan pada pH rendah enzim-enzim pencernaan akan lebih mudah menghancurkan materi-materi kasar
13 Pendederan ikan nila dengan sistem akuaponik ... (Imam Taufik)

16
Dataran tinggi
14 Dataran sedang
12 Dataran rendah

Bobot (g/ekor)
10

0
0 2 4 6 8

Waktu pemeliharaan (minggu)

Gambar 1. Bobot rata-rata individu ikan (g/ekor) dari masing-masing


perlakuan pada setiap waktu pengukuran (minggu)

yang berasal dari makanan yang dikonsumsi. Kecepatan reaksi akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu sampai batas optimum, kemudian menurun setelah melewati batas suhu optimum
tersebut. Kecepatan reaksi ini akan meningkatkan kecepatan pencernaan pakan dan digestibility
sehingga terjadi pengosongan lambung yang mengakibatkan ikan menjadi lapar.
Pertumbuhan dapat terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang
berasal dari makanan. Seperti diketahui, bahan yang berasal dari makanan akan digunakan oleh
tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh
atau mengganti sel-sel yang tidak terpakai lagi. Bahan-bahan yang tidak berguna akan dikeluarkan
dari tubuh. Apabila terdapat bahan berlebih dari keperluan tersebut di atas akan dibuat sel baru
sebagai penambahan unit atau penggantian sel dari bagian badan. Secara keseluruhan resultante-nya
merupakan perubahan ukuran atau pertumbuhan (Affandi & Tang, 2002).
Berdasarkan hasil pengukuran bobot pada awal dan akhir penelitian, maka diketahui pertumbuhan
ikan mas pada masing-masing perlakuan adalah seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata laju pertumbuhan harian individu (%) ikan


nila BEST pada setiap perlakuan selama penelitian

Laju pertumbuhan
Perlakuan (DPL)
harian individu (%)
Dataran tinggi (1.008 m) 2,97a ±0,36
Dataran sedang (246 m) 3,20a ±0,27
Dataran rendah (7 m) 3,13a ±0,34
Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf sama menandakan tidak beda nyata
(P<0,05)

Dari Tabel 3 terlihat bahwa laju pertumbuhan harian ikan nila cenderung paling tinggi diperoleh
pada pendederan sistem akuaponik di kolam dengan ketinggian 246 m DPL yaitu sebesar 3,20%;
disusul oleh ketinggian 7 m DPL (3,13%) dan dataran 1.008 m DPL (2,97%). Akan tetapi selisih nilai
tersebut secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).
Produktivitas
Produktivitas biomassa diperoleh dari hasil korelasi antara sintasan dan laju pertumbuhan ikan.
Nilai tersebut merupakan pendekatan yang akurat untuk mengukur pertambahan bobot biomassa
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012 14

ikan setiap hari. Produktivitas ikan nila yang diperoleh pada kolam budidaya akuaponik dari setiap
perlakuan adalah seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata produktivitas (g/m2/hari) ikan nila pada setiap


perlakuan selama penelitian

Perlakuan (DPL) Produktivitas (g/m2/hari)


Dataran tinggi (1.008 m) 8,41a±2,87
Dataran sedang (246 m) 10,56a±0,86
Dataran rendah (7 m) 9,93a ±2,19
Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf sama menandakan tidak beda nyata
(P<0,05)

Dari hasil pengukuran bobot biomassa pada akhir penelitian diketahui bahwa produktivitas paling
tinggi diperoleh pada perlakuan dataran sedang sebesar 10,56 g/m2/hari; disusul oleh dataran rendah
(9,93 g/m2/hari) dan yang terakhir pada dataran tinggi (8,41 g/m2/hari). Secara statistik produktivitas
ikan nila dari ketiga perlakuan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) sehingga
dapat dikatakan bahwa perbedaan letak topografi kolam tidak mengakibatkan perbedaan terhadap
produktivitas pada pendederan ikan nila.
Selain mampu menghasilkan daging ikan secara efisien per satuan luas kolam, budidaya dengan
sistem akuaponik juga dapat menghasilkan sayuran sebagai produk tambahan yang sanggup
mengkonpensasi biaya produksi daging ikan. Selama 8 minggu pemeliharaan telah dilakukan panen
kangkung sebanyak 4 kali dengan jumlah produksi setiap kali panen seperti tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi (g/rumpun) kangkung pada setiap waktu panen


dari masing-masing kolam perlakuan

Produksi (g/rumpun)
Perlakuan pada panen ke-
(DPL)
1 2 3 4
1.008 17,13 10,85 5,31 4,45
246 24,44 21,66 5,21 6,50
7 33,97 14,10 3,45 5,31

Dari hasil panen yang dilakukan setiap 2 minggu diketahui bahwa produktivitas tanaman kangkung
pada semua lokasi secara nyata berkurang pada panen ke-3 yaitu dalam periode pemeliharaan 6
minggu (42 hari). Hal ini disebabkan karena umur tanaman kangkung yang sudah terlalu tua sehingga
potensi untuk menumbuhkan tunas baru telah menurun. Dengan demikian untuk mempertahankan
produksi, sebaiknya setelah 2 kali panen (28 hari pemeliharaan) tanaman kangkung dicabut dan
diganti dengan bibit yang baru. Untuk meningkatkan nilai ekonomis, jenis tanaman akuapinik dapat
disesuaikan dengan daerah setempat. Misalnya untuk dataran tinggi dapat digunakan tanaman yang
habitatnya sesuai dengan suhu rendah seperti bunga potong sehingga pertumbuhannya akan lebih
baik dengan harga yang lebih tinggi.
KESIMPULAN
Dari berbagai data hasil penelitian serta pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pendederan
ikan nila di kolam tembok dengan sistem akuaponik dapat dilakukan pada ketinggian 7-1.008 m
DPL dengan nilai sintasan, pertumbuhan, dan produktivitas ikan yang tidak berbeda nyata.
15 Pendederan ikan nila dengan sistem akuaponik ... (Imam Taufik)

DAFTAR ACUAN
Affandi, R. & Tang, U.M. 2002. Fisiologi hewan air. Unri Press. Pekan Baru, Riau, Indonesia, 217 hlm.
Boyd, C.E. 1982. Water quality management in aquaculture and fisheries science Elsevier Scientific
Publishing Company, Amsterdam, 312 pp.
Boyd, C.E. 1990. Water quality in pond for aquaculture, Brimingham Publishing Co., Alabama, 482
pp.
Carman, O. & Sucipto, A. 2009. Panen nila 2,5 bulan. Penebar Swadaya, 84 hlm.
Djajadiredja, E.A. 2011. Pemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan di daerah kerja Perum Jasa
Tirta II. Prosiding Simposium Nasional Ekohidrologi. hlm. 97-125.
Effendi, H. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelola sumberdaya dan lingkungan Perairan. Penerbit
Kanisius. Jakarta, 258 hlm.
Effendi, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, 140 hlm.
Kusdiarti, Ahmad, T., Sutrisno, & Widyastuti, Y.R. 2006. Budidaya Ikan Nila Hemat Lahan dan Air
dengan Sistem Akuaponik Laporan Hasil Penelitiaan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar,
Bogor, hlm. 95-102.
Nelson, R. 1998. Aquaponics. Nelson/Pade Multimedia PO Box 1848, Mariposa, CA , USA. Aquaponics
Journal, IV(5): 22-23.
Nugroho, E. & Sutrisno. 2008. Budidaya ikan dan sayuran dengan sistem akuaponik.
Widyastuti, Y.R., Taufik, I., & Kusdiarti. 2008. Peningkatan Produktivitas Air Tawar melalui Budidaya
Ikan Sistem Akuaponik. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV, LIPI. Bogor, hlm. 62-73.
Widyastuti, Y.R., Nuryadi, & Kusdiarti. 2008. Peningkatan produktivitas budidaya ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) melalui penerapan sistem akuaponik. Prosiding seminar Perikanan Nasional, Sekolah
Tinggi Perikanan, Jakarta.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012 16

DISKUSI

1. Hambali Supriyadi

Pertanyaan:
Bagaimana yang lebih bagus antara komoditas sayuran (kangkung) dengan komoditas sayuran
lain (cabe, tomat, terong) dengan sistem akuaponik?
Tanggapan:
Karena keterbatasan waktu yang hanya 2 bulan dan lokasi yang cukup jauh, jadi selama ini hanya
(intinya) yang diuji itu sistem bukan komoditas. Akan tetapiusul tersebut dengan menggunakan
(cabe, tomat, terong) akan dicoba.

2. Budi (DKP Jatim)

Pertanyaan:
Bagaimana sistem akuaponik sistemnya di filter lebih lama?
Tanggapan:
Selama ini hanya menggunakan kangkung karena mempunyai daya serap akar yang tinggi dan
kangkung dipanen setiap 2 minggu sekali (terpatok metode yang digunakan) yang seharusnya bisa
dipanen 2-3 bulan. Intinya karena terpaku dengan metode yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai