Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KONSERVASI SUMBERDAYA PERAIRAN

TANTANGAN DAN KONFLIK SOSIAL DALAM UPAYA

KONSERVASI KAWASAN PESISIR (STUDI KASUS :

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN TELUK

BANTEN)

Dosen Pengampu : Pratama Diffi Samuel, S.Pi., M.Ling.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 14

Yusmeita Eka Lusia Wardani 185080101111006

Lilis Yohana Sitinjak 185080101111012

KELAS : M01

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3

1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5

2. PEMBAHASAN ............................................................................................... 6

2.1 Tantangan Pengelolaan Wilayah Pesisir .................................................... 6

2.2 Pengertian Konflik Sosial.......................................................................... 11

2.3 Studi Kasus Konflik Sosial (Teluk Banten) ............................................... 12

2.3.1 Konflik Sosial Yang Terjadi..............................................................14

2.3.2 Sumber Konflik Yang Terjadi...........................................................15

2.3.3 Penyelesaian Konflik Yang Terjadi..................................................17

3. PENUTUP ..................................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 18

3.2 Saran ....................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan

Rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat

dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi

pembaca dalam menambah wawasan khalayak tentang Tantangan dan Konflik

Sosial Dalam Upaya Konservasi Kawasan Pesisir (Studi Kasus : Pemanfaatan

Sumberdaya Pesisir Di Kawasan Teluk Banten).

Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Pratama Diffi Samuel, S.Pi.,

M.Ling. selaku dosen pengampu mata kuliah Konservasi Sumberdaya Perairan,

serta seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tak lupa juga,

kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan karena

pengalaman dan pengetahuan kami yang terbatas. Oleh kerena itu, kami

mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan saran, masukan dan

kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 31 Mei 2021

Penyusun

3
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ± 17.504 Pulau

dengan panjang garis pantai ± 95.181 km serta luas laut yang mencakup ±70%

dari total luas wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki

kawasan pesisir yang luas. pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap

perubahan, baik perubahan yang berasal dari alam atau berasal dari akibat

campur tangan manusia. Kawasan pesisir ini merupakan kawasan yang rawan

terhadap kerusakan. Kerusakan kawasan pesisir inilah yang akan menimbulkan

kerugian yang tidak sedikit bahkan, dapat membahayakan penduduk yang

bermukim di kawasan tersebut. Salah satu upaya untuk memperbaiki kerusakan

pada kawasan pesisir adalah dengan melakukan kegiatan konservasi

(Prasetyawati dan Mangopang, 2013).

Konservasi memiliki arti pelestarian, yaitu melestarikan atau mengawetkan

daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan lingkungan secara seimbang.

Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi

dan kondisi setempat. Konservasi juga memiliki tujuan yaitu pertama mewujudkan

kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya. Tujuan

kedua ialah melestarikan kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Konservasi juga merupakan salah

satu upaya untuk mempertahankan kelestarian. Tanpa adanya kegiatan

konservasi akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan ini yang akan memberikan

konflik (Rachman, 2012).

Pentingnya upaya konservasi pada kelestarian lingkungan terutama pada

kawasan wilayah pesisir dapat meminimalisisr rentar dari kerusakan wilayah

4
tersebut yang dapat berdampak bagi penduduk setempat. Kerusakan kawasan

wilayah yang tidak diatasi akan menyebabkan tantangan atau konflik yang terjadi

salah satunya konflik sosial. Tujuan dari upaya konservasi dalam kawasan pesisir

dapat melestarikan kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya hayati dan

ekosistemnya serta dapat mempertahankan kelestariannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja tantangan pengelolaan wilayah pesisir ?

2. Apakah yang dimaksud dengan konflik sosial ?

3. Bagaimana studi kasus konflik sosial dalam upaya konservasi kawasan

pesisir ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa saja tantangan pengelolaan wilayah pesisir

2. Untuk mengetahui maksud konflik sosial

3. Untuk mengetahui studi kasus konflik sosial dalam upaya konservasi

kawasan pesisir

5
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Tantangan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Menurut Lestari (2013), pengelolaan wilayah pesisir sangatlah penting

dilakukan, mengingat banyaknya sumberdaya alam dan kekayaan beragam jenis

spesies laut yang perlu dilestarikan dan dilindungi. Dalam melakukan kegiatan

pengelolaan, ada beberapa unsur-unsur yang menjadi komponen penting.

Komponen-komponen tersebut ialah undang-undang, peran pemerintah pusat

maupun daerah, partisipasi masyarakat dan akademisi, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta adanya bantuan modal. Untuk lebih jelasnya lagi

maka akan kita ulas satu persatu sesuai dengan dibawah berikut ini :

1. Ditinjau dari sudut Pandang Peraturan Perundangan

Pengelolaan wilayah laut ditinjau dari sudut peraturan perundang-undangan

Indonesia dapat dilihat dari dikeluarkannya Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWPPPK)

sebagai lex spesialis pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 1 ayat 4 UUPWPPPK memberikan batasan sumber daya pesisir dan pulau-

pulau kecil sebagai sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya

buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu

karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati

meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi

infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa

lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah

air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang

terdapat di Wilayah Pesisir. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut termasuk sepanjang pesisir diantaranya itu dapat meliputi:

6
 eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut

 pengaturan administratif

 pengaturan tata ruang

 penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau

yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah

 ikut serta dalam pemeliharaan keamanan

 ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara

Mengenai pembagian batasan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antara

daerah kabupaten, Provinsi dan Pusat adalah :

1. Kewenangan Provinsi;

Maksimal paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah

laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antara 2 (dua)

provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola

sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis

tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota

memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.

2. Kewenangan Kabupaten

Pembagian pengelolaan laut kepada kabupaten meliputi 1/3 (sepertiga)

dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota

3. Kewenangan Pusat

Meskipun di dalam peraturan pemerintah daerah tidak menyatakan secara

tegas mengenai batasan wilayah pengelolaan laut oleh pemerintah pusat namun

didalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan

Pasal 10 ayat 12 Undang-undang Nomor 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

menjelaskan wilayah yang menyangkut bidang pertahanan dan keamanan serta

fisikal merupakan tanggung jawab negara, sehingga dalam hal ini wilayah laut

7
yang melebihi 12 mil laut dan/atau yang kurang dari 12 mil laut tetapi merupakan

kawasan strategis nasional maka akan ada koordinasi antara pemerintah daerah

dan pemerintah pusat dalam pengelolaannya. Arti penting dalam penentuan

wilayah pengelolaan ini penting, karena dengan adanya pembagian pengelolaan

wilayah pesisir dan laut maka aka mudah dimintakan pertanggujawaban dari

setiap daerah yang berwenang atas setiap inci wilayah yang dimanfaatkan dan

dikelolanya. Undang-undang pengelolaan wilayah pesisir memberikan batasan

Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai

landasan hukum pemerintah NKRI mengelola wilayah pesisirnya memberikan

batasan yang lebih spesifik tentang ruang lingkup pengelolaan WPPPK, meliputi

Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di

daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-

Pulau Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan

mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya,

lingkungan, dan masyarakat

2. Kesiapan Pemerintah Daerah

Tantangan bagi pemerintah daerah di Indonesia terutama yang provinsi

yang berbentuk kepulauan seperti Kepulauan Riau adalah bagaimana daerah

kabupaten dan provinsi mempersiapkan master plan perencanaan pengelolaan

wilayah pesisir mereka. Mulai dari wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, berada

dikawasan perbatasan negara sampai dengan besarnya potensi pencemaran dan

perusakan lingkungan laut yang nantinya akan berdampak kepada wilayah pesisir

sebagai satu kesatuan ekosistem wilayah laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,

dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya

Pesisir dan Pulau Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara

8
Kesatuan Republik Indonesia. Proses yang utama dan pertama dalam pengelolaa

wilaya peseisir adalah bagaimana daerah mulai melakukan perencaan yang mana

ujung tombak dalam pengelolaan pesisir adalah tahapan perencanaan yang

dimulai dari tingkayt kabui[paten dan kota, kemudian naik ke tingkat provinsi

sampai menjadi suatu perencanaan tingkat nasional. Setiap kabupaten dan

Provinsi mesti sudah membuat rancangan tata ruang wilayah pesisir, laut dan

pulau-pulaunya.

Dengan adanya amanat UUPWPPPK tentang perencaan pengelolaan

wilayah pesisir (yang didalamnya termasuk juga wilayah laut dan pulau-pulau kecil/

terluar) yang diserahkan kepada setiap daerah, menjadikan ini sebagai tantangan

bagi pemerintah daerah sebagai pejabat pelaksana, pejabat legislatif sebagai

penentu dan pembuat peraturan sampai dengan pengusaha dan masyarakat

daerah, mestilah bersama-sama mencari tahu apa yang menjadi potensi wilayah

mereka, apa produk unggulan dari wilayahnya sampai dengan bagaimana

menyelaraskan laju pertumbuhan ekonomi dengan budaya adat istiadat

masyarakat tempatan. Perencanaan merupakan sebuah batu pondasi bagi proses

pembangunan kelautan dikemudian hari, karena bila perencaan pengelolaan

kelautan tidak terencana dengan baik dampaknya akan terasa dikemudian hari

dimana masyarakatlah (terutama masyarakat nelayan dan pesisir) yang akan

merasakan dampak yang utama. Peran serta pemerintah daerah dalam hal

mempersiapkan masyarakat pesisir saat ini dapat juga dengan aktif dan benar-

benar melaksanakan program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Pesisir). Masyarakat yang pasif mesti didorong dan dibantu melalui program ini.

Dengan program ini masyarakat akan mendapat pengarahan, bantuan modal serta

program– program yang konkrit seperti bantuan bbm subsidi bagi masyarakat

nelayan, kedai-kedai masyarakat pesisir, sampai dengan mendirikan koperasi bagi

para nelayan.

9
3. Kalangan Akademisi dan Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM)

Selain itu, sesuai peraturan perundangan bila telah diundangkan maka

semua masyarakat dianggap tahu, sedangkan masyarakat yang hidup dipesisir

banyak yang tidak mengetahui keberadaan peraturan perundang-undangan

bahkan tidak mengetahui program-program yang telah dibuat oleh pemerintah

pusat dan daerah untuk mereka. Disinilah diperlukan bantuan kalangan akademisi,

para terpelajar dan LSM yang konsen terhadap kepentingan masyarakat pesisir

membantu turun kelapangan mensosialisasikan program dan peraturan

pemerintah baik tingkat pusat dan daerah yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban masyarakat tempatan. Masyarakat pesisir terutama tokoh masyarakat

mesti mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Pada saat

mereka sudah mengetahui hak dan kewajiban mereka maka masyarakat yang

sudah sadar hukum tersebut akan dapat benar-benar menjadi sosial kontrol dan

berperan serta dalam program kerja pemerintah. Sehingga antara berbagai

macam program yang telah direncanakan dan juga pelaksanaannya dapat

berjalan dengan baik dengan harapan dapat meminimalisir terjadinya benturan

kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat tempatan yang memang

menggantungkan hidupnya dan perekonomiannya dari hasil sumberdaya

kelautan, bahkan lebih jauh agar dapat terjalin sinergi antara keduanya sehingga

seluruh kepentingan dapat terwadahi demi kebaikan semua kalangan.

4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pengelolaan wilayah laut tidak akan lepas dari pengetahuan dan teknologi,

bagaimana mungkin masyarakat pesisir terutama para nelayan mampu

meningkatkan daya tangkap perikanan serta ekosistem laut lainnya seperti

mangrove, budidaya terumbu karang, sampai dengan budidaya tumbuhan laut

lainnya seperti budidaya rumput laut. Semuanya itu memerlukan keahlian dan

keahlian dan teknologi dalam proses pelaksanaannya. Selain itu masyarakat juga

10
mesti cerdas dan tahu akan potensi pencemaran dan perusakan lingkungan

pesisir, terutama bagi kawasan-kawasan pesisir yang telah tercemar dan rusak

semua memerlukan teknologi dalam upaya pemulihan.

5. Bantuan Modal

Modal merupakan alasan yang utama bagi masyarakat pesisir terutama

nelayan tradicional untuk naik peringkat menjadi nelayan modern yang mampu

menggunakan teknologi agar tidak cala bersaing dengan nelayan-nelayan di luar

negeri. Bantuan modal diharapkan tidak hanya datang dari pemrintah saja namun

mesti bersama-sama dengan dunia usaha. Bila kelima hal diatas telah terpenuhi

maka langkah terakhir yang mesti dilaksanakan ádalah managemen pengelolaan

yang baik dan benar. Dimana semua pihak mampu menjalankan peran dan

tugasnya masingmasing sehingga akan tercipta suatu sistem yang terpadu antara

seluruh unsur-unsur yang terkait.

2.2 Pengertian Konflik Sosial

Konflik dapat didefinisikan sebagai sebagai sebuah proses yang dimulai

ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara

negative, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.

Konflik akan terjadi apabila ada perbedaan pemahaman antara dua orang atau

lebih terhadap perselisihan yang ada, ketegangan, kesulitan diantara para pihak

yang tidak sepaham. Konflik sendiri juga dapat memicu adanya sikap

bersebrangan (oposisi) antara kedua belah pihak dimana masing-masing pihak

memandang satu sama lainnya sebagai lawan atau penghalang dan diyakini akan

mengganggu upaya tercapainya tujuan dan tercukupinya kebutuhan masing-

masing. Salah satu contoh jenis konflik adalah konflik sosial (Wahyudi, 2015).

Konflik sosial merupakan suatu fenomena yang terjadi sebagai bagian dari

dinamika sebuah masyarakat. Konflik sosial pada umumnya dapat dipahami dalam

11
tiga pikiran besar melalui teori konflik. Pertama, bahwa masyarakat selalu berada

dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus

menerus diantara unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen akan memberikan

sumbangan pada siisntegrasi sosial. Ketiga, keteraturan yang terdapat dalam

masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan

kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa (Nulhaqim, et al., 2011).

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir. hal ini disebabkan karena adanya banyak kepentingan yang

berupaya untuk mengoptimalkan tujuannya (Cadith, 2019). Konflik sosial yang

terjadi pada upaya konservasi dalam kawasan pesisir awalnya terjadi pada aspek

ekologi yang kemudian menuju konflik sosial (Brown dan Christipher 2013).

Perencanaan dan tata ruang pesisir sangat penting untuk memecahkan konflik

dalam pemanfaatan ruang yaitu dengan mengidentifikasi dan memetakan semua

penggunaan, peraturan dan konlik yang terjadi (Prestelo dan Vianna, 2013).

2.3 Studi Kasus Konflik Sosial Dalam Upaya Konservasi Kawasan Pesisir

Contoh studi kasus konflik sosial dalam upaya konservasi kawasan pesisir

ialah pada pemanfaatan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Banten. Di Wilayah

Kawasan Pesisir Teluk Banten, konflik merupakan bagian dari kondisi wilayah

pesisirnya. Konflik ini terjadi karena banyaknya kepentingan yang terlibat dalam

pemanfaatan sumberdaya pesisir di Teluk Banten. Sebagaimana yang terjadi

dalam pemanfaatan sumber daya pesisir di Teluk Banten. Pesisir Teluk Banten

merupakan sebuah kawasan yang strategis dan penting di Provinsi Banten.

Pentingnya pesisir Teluk Banten dapat dilihat dari beberapa parameter yaitu

pertama nilai sejarah dari Teluk Banten, kedua nilai lingkungan terkait dengan

fungsi konservasi yang melekat di kawasan tersebut memiliki ekosistem pesisir

yang cukup lengkap dengan keberadaan ekosistim magrove, padang lamun,

12
terumbu karang, ketiga nilai ekonomi terkait dengan keberadaan berbagai

aktivitas perekonomian yang berlokasi di Pesisir Teluk Banten, keempat Jasa

Lingkungan, terkait dengan keberadaan Pelabuhan Bojonegara sebagai terminal

umum serta terminal untuk kepentingan sendiri ( TUKS) yang dimiliki oleh berbagai

perusahaan yang berada di kawasan pesisir Teluk Banten, kelima nilai

keamanan, sebagai tempat latihan kapal selam milik TNI AL. Beragamnya fungsi,

nilai dan jasa lingkungan yang dimiliki kawasan pesisir Teluk Banten seperti yang

dijelaskan diatas mengambarkan begitu banyak dan beragamnya kepentingan

yang terdapat di Pesisir Teluk Banten, hal tersebut menjadikan kawasan tersebut

begitu rawan akan konflik antar sektor. Salah satunya sektor sosial yaitu konflik

antara kepentingan sektor pertambangan dengan sektor perikanan serta

pemanfaatan untuk konservasi dengan budidaya yang dapat memicu konflik yang

terjadi dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Konflik juga terjadi antar aktor

(Masyarakat, swasta/pengusaha) dan pemerintah) baik itu konflk vertikal maupun

konflik horizontal, dimana masing - masing pihak berupaya untuk mengoptimalkan

kepentingannya.

Konflik yang terjadi di pesisir Teluk Banten secara umum dipengaruhi oleh

persaingan (kontestasi) sektoral terhadap akses pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya pesisir dan jasa lingkungan antara berbagai aktor yang ada di pesisir

Teluk Banten. Secara historis, wilayah pesisir Teluk Banten merupakan wilayah

dengan pengunaan ruang untuk tempat permukiman, pertanian, perikanan

khususnya perikanan tangkap serta konservasi. Pembangunan dan pemanfaatan

ruang di Teluk Banten yang semakin tinggi yang melibatkan berbagai kepentingan

telah mendorong terjadinya persaingan pemanfaatan ruang, ketidakseimbangan

ruang, tumpang tindih ruang dan kerusakan atau degradasi lingkungan. Kerusakan

yang ditimbulkan sumberdaya pesisir seperti terjadinya penambangan pasir laut,

alih fungsi hutan mangrove, padang lamun untuk reklamasi dan tambak ikan

13
sehingga menimbulkan degradasi lingkungan di Teluk Banten. Melihat pada

beberapa fakta tersebut, cukup jelas bahwa secara wajar konflik memang sudah

merupakan bagian dari kondisi yang terjadi di wilayah pesissir Teluk Banten.

2.3.1 Konflik Sosial Yang Terajdi di Kawasan Teluk Banten

Konflik sosial yang terjadi pada kawasan ini ialah, antara lain :

1. Konflik masyarakat dengan masyarakat, yang merupakan konflik horizontal,

terjadi beberapa konflik salah satunya konflik antara nelayan budidaya binaan

wetland yaitu KPAPPD (Kelompok Pecinta Alam Pesisir Pulau Dua) dengan

nelayan budidaya lainnya yang bukan binaan wetland. Konflik ini disebabkan

terjadinya kecemburuan masyarakat/nelayan kepada kelompok KPAPPD yang

merupakan kelompok binaan wetland, dimana masing - masing anggota KPAPPD

mendapatkan hak 4 sampai 5 hektar untuk mengolah tambak bandeng dengan

kewajiban menanam dan memelihara magrove di pematang tambak.

2. Konflik antara pengusaha/swasta dengan masyarakat, ini merupakan konflik

vertikal yang disebabkan adanya ketidak seimbangan sumber daya. Aktivitas

penambangan pasir laut di Teluk Banten diindikasikan merusak ekosistem wilayah

pesisir Teluk Banten dan memberikan dampak terhadap penurunan pendapatan

nelayan serta penambangan pasir laut menyebabkan perubahan arus laut yang

menyebabkan abrasi mengarah ke timur yang tadinya hanya berada di wilayah

Tanjung Pontang sekarang mengarah ke pemukiman masyarakat.

3. Konflik antara nelayan dengan kalangan industri. Karasteristik konflik bersifat

emergent (muncul), berbagai aktivitas industri berpotensi menyebabkan konflik

seperti Buangan limbah industri, aktivitas reklamasi pantai berdampak

terganggunya ekosistem sekitar pantai. Misalnya pantai mengalami pencemaran.

4. Konflik antara pemerintah dengan masyarakat, konflik ini merupakan konflik

yang mencuat (emergent) dan merupakan konflik vertikal. Konflik pemerintah dan

14
masyarakat disebabkan karena :

a. Ketika pemerintah sebagai pelindung SDA menggunakan kebijakan

dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi sehingga

mengeliminasi hak-hak masyarakat dalam mengakses dan mengontrol

sumber daya.

b. Ketika pemerintah sebagai agen pembangunan menggunakan otoritasnya

untuk memberikan hak pemanfaatan SDA kepada pihak-pihak tertentu

(korporasi) sehingga SDA yang tadinya berstatus sebagai common

property menjadi private property. Dalam hal ini terjadi beberapa konflik

yaitu pertama konflik antara pengelola pulau burung dengan nelayan

budidaya. Kedua pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya

menetapkan kawasan pulau burung sebagai kawasan konservasi.

5. Konflik dalam penentuan sepandan pantai, dimana garis pantai terus berubah

akibat abrasi dan sedimentasi ketika terjadi sedimentasi masyarakat mengklaim

kembali tanah tersebut.

2.3.2 Sumber Konflik Yang Terjadi di Kawasan Teluk Banten

Penyebab konflik yang terjadi dalam dalam pemanfaatan sumber daya

pesisir di Teluk Banten sebagai berikut :

1. Belum efektifnya bentuk kepemilikan sumber daya di wilayah pesisir yang

semula “open acces” menjadi “state property regime“ melalui controlled

access” . Dalam memanfaatan sumber daya pesisir sebagai Common-poll

Resusrces/CPR memicu konflik pemanfaatannya disebabkan perubahan

’rezim’ pemerintahan.

2. Perbedaan Kepentingan. Perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau

siapa yang dirugikan. Terjadi persaingan antara masing-masing aktor untuk

memaksimalkan kepentingannya misalkan antara sektor industri dengan

15
sektor lainnya kita melihat bagaimana terjadinya alih fungsi lahan secara

masif, lahan pertanian menjadi lahan industri serta hutan mangrove, terumbu

karang menjadi kawasan reklamsi untuk kepentingan industri,

perkembangan secara masif sektor industri dinilai oleh banyak kalangan

mengorbankan sector-sektor lainnya seperti pertanian, perikanan serta

lingkungan.

3. Tujuan bersaing yang memicu persaingan pemanfaatan ruang. Salah

satunya sektor perikanan. Sektor perikanan baik perikanan budidaya

maupun perikanan tangkap yang terus memicu produksinya dengan strategi

meningkatkan produksi dan memperluas areal tambak dan areal tangkap.

4. Kerusakan atau degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan di Pesisir

Teluk Banten ikut memicu konflik ditandai dengan banyaknya lahan basah

berubah menjadi lahan terbangun, kerusakan ekosistem pesisir seperti

terumbu karang, Padang lamun, hutan mangrove, terjadinya erosi dan

akresi, abrasi dan banjir rob serta tercemarnya perairan Teluk Banten.

5. Pembatasan akses, salah satunya berdampak pada kegiatan Konservasi

pulau burung tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, sehingga ikut

memicu terjadinya kerusakan ekosistem Pulau Burung dan persoalan

menjadi lebih rumit dengan terjadi sedementasi disekitar pulau burung

sehingga menyatunya pulau burung dengan pulau jawa, tanah hasil

sedimentasi ini di klaim oleh masyarakat maupun pihak konservasi Pulau

Dua (burung).

6. Ketidak adilan pemerataan hasil pembangunan yang dilihat sebagai ketidak

seimbangan pemanfaatan ruang, semenjak ditetapkanya kawasan

Bojonegara, Pulo Ampel dan Kramatwatu sebagai kawasan industri di pesisir

Teluk Banten, sector Industri terus menjadi prioritas sehingga sector-sektor

lain seperti perikanan, pertanian, parawisata apalagi konservasi merasakan

16
ditinggalkan.

2.3.3 Penyelesaian Konflik

Teknik penyelesian konflik dilakukan dengan menggunakan teknik

akomodasi yang diterapkan dalam penyelesaian konflik di Teluk Banten dengan

pertimbangan penyelesaian konflik lebih bersifat permanen di mana pihak – pihak

yang berkonflik mulanya saling bertentangan kemudian mengadakan penyesuaian

diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan diantara mereka. Tujuan dari teknik

ini adalah untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau

kelompok-kelompok serta untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan,

untuk sementara waktu atau secara temporer.

17
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari materi tersebut ialah sebagai berikut :

 Terdapat 5 komponen penting yang perlu diperhatikan dalam menghadapi

tantangan pengelolaan wilayah pesisir yaitu : peraturan perundang-

undangan, kesiapan pemerintah daerah, partisipasi masyarakat (LSM) dan

peran akademisi, perkembangan IPTEK serta bantuan modal.

 Konflik sosial ialah suatu fenomena yang terjadi sebagai bagian dari

dinamika sebuah masyarakat Konflik sosial yang terjadi pada upaya

konservasi dalam kawasan pesisir awalnya terjadi pada aspek ekologi yang

kemudian menuju konflik sosial.

 Contoh studi kasus konflik sosial dalam upaya konservasi kawasan pesisir

ialah pada pemanfaatan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Banten.

Konflik yang terjadi di pesisir Teluk Banten secara umum dipengaruhi oleh

persaingan (kontestasi) sektoral terhadap akses pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa lingkungan antara berbagai aktor

yang ada di pesisir Teluk Banten. Konflik sosial yang terjadi di Teluk Banten

ialah konflik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan

pengusaha swasta, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan

usaha industri serta terjadinya abrasi pantai.

3.2 Saran

Karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang materi oleh

pembuat makalah , oleh karena itu disarankan apabila ingin mencari informasi

yang lebih lengkap di webiste atau platform yang lebih banyak membahas tentang

18
materi yang dibawakaan. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran agar lebih

memahami tentang pembuatan makalah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brown, G., & Christopher, M. R. (2013). Methods for identifying land use conflict
potensial using participatory mapping. Elsevier. Landscape and Urban
Planning. 122. Pages 196-208.

Cadith, J. (2019). Konflik dalam pemanfaatan sumberdaya di pesisir Teluk Banten.


Jurnal Administrasi Publik, 10(2), 280-299.

Lestari, M. M. (2013). Potensi dan tantangan pengelolaan sumber daya kelautan


dalam penciptaan masyarakat pesisir yang siap menjawab perkembangan
zaman. Jurnal Selat, 1(1), 8-12.

Nulhaqim, S. A., Irfan, M., & Adiansah, W. (2011). Konflik pada masyarakat
nelayan pantai utara Jawa Barat (Studi Kasus: di Desa Eretan Wetan
Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Sosial Humaniora, 15(2),
117-126.

Prasetyawati, C. A., & Mangopang, A. D. (2013). Konservasi kawasan pesisir


dengan tanaman nyamplung. Info Teknis Eboni, 1(1), 14-25.

Prestelo, L., & Vianna, E. M. (2016). Identifying multiple-use conflicts prior to


marine spatial planning: a case study of a multi-legislative estuary in Brazil.
Elsevier. Marine Policy. 67. Pages 83-93.

Rachman Maman. (2012). Konservasi nilai dan warisan budaya. Indonesia Journal
of Concervation, 1(1), 30-39.

Wahyudi, A. (2015). Konflik, konsep teori dan permasalahan. Jurnal Publiciana,


8(1), 38-52.

20

Anda mungkin juga menyukai