Anda di halaman 1dari 5

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dua dasa warsa terakhir, perhatian dunia terhadap obat-obatan dari
bahan alam (obat tradisional) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara
berkembang maupun di negara-negara maju. Di beberapa negara berkembang obat
tradisional telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan terutama dalam
pelayanan kesehatan strata pertama. Sementara itu di banyak negara maju
penggunaan obat tradisional makin populer. Penggunaan obat tradisional di
Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa dan telah dimanfaatkan oleh
masyarakat sejak berabad-abad yang lalu (Depkes RI, 2007).

Penggunaan obat tradisional memiliki sejarah yang panjang dalam upaya


kesehatan di Indonesia (Mustofa dan Rahmawati, 2018). Pemanfaatan obat
tradisional memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang berasal dari kearifan
lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk pencegahan dan mengatasi
penyakit (Jaradat dkk., 2016). Sebagian besar produk obat tradisional yang terdaftar
adalah kelompok jamu, dimana pembuktian khasiat dan keamanannya berdasarkan
penggunaan empiris secara turun temurun (Depkes RI, 2007). Berdasarkan data
Kemenkes RI (2010) menunjukkan bahwa sebanyak 59,12 % penduduk Indonesia
pernah mengkonsumsi jamu dan 95,60 % merasakan manfaatnya. Untuk
meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dapat dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri
maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan, maka perlu dilakukan pengaturan
tentang saintifikasi jamu (Permenkes RI, 2010).

Saintifkasi Jamu adalah upaya pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian


berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk
saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta (Permenkes
RI, 2010). Selain saintifikasi jamu, Pemerintah Indonesia juga mendukung dengan
membuat suatu program “kembali ke alam” atau yang biasa disebut dengan “back
to nature”. Salah satu program tersebut ialah RISTOJA.

Ristoja (Riset Tumbuhan Obat dan Jamu) merupakan riset pemetaan


pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis komunitas
yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan pada tahun 2015. RISTOJA
bertujuan mendapatkan data dasar pengetahuan etnofarmakologi, ramuan obat
tradisional (OT) dan tumbuhan obat (TO) di Indonesia. Riset ini dilaksanakan untuk
menjawab kebutuhan informasi terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional
yang digunakan oleh setiap etnis di Indonesia (Kemenkes RI, 2015). Informasi
tentang data tanaman obat dan ramuan tradisional di etnis tertentu bisa didapatkan
berdasarkan hasil inventarisasi dari penelitian etnofarmasi.

Etnofarmasi adalah ilmu interdisiplin yang mempelajari tentang bagaimana


masyarakat lokal dari etnis/suku tertentu menggunakan tanaman, hewan atau
mineral sebagai sumber obat terutama obat tradisional untuk pengobatan
masyarakat tersebut. Etnofarmasi meliputi studi identifikasi, klasifikasi, dan
kategorisasi : bahan sebagai obat (etnobiologi), preparasi sediaan obat
(etnofarmasetik), efek yang ditimbulkan (etnofarmakologi), dan aspek sosial
pengobatan yang berpengaruh pada penggunaan sediaan (etnomedisin) (Pieroni
dkk., 2002). Etnofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kegunaan
tumbuhan yang memiliki efek farmakologi dalam hubungannya dengan pengobatan
dan pemeliharaan kesehatan oleh suatu suku bangsa (Kemenkes RI, 2015)

Salah satu faktor yang cukup menentukan keberhasilan penelitian ilmiah


seperti ini ialah berkaitan dengan data yang dikumpulkan. Teknik pengumpulan
data berhubungan dengan penyusunan (desain) studi penelitian, jenis sumber data
serta cara pengumpulan data. Cara pengumpulan data dapat dilakukan melalui tiga
cara yaitu: wawancara, observasi dan penyebaran kuesioner kepada responden
penelitian. Kuisioner sebagai instrumen penelitian yang relatif sering diterapkan
secara khusus untuk penelitian sosial. Kualitas data primer yang dikumpulkan
berdasarkan teknik survei ditentukan oleh kualitas instrumen yang diwakili oleh
pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam kuesioner
penelitian tersebut (Pujihastuti, 2010). Survei merupakan alternatif metode
komunikasi dengan mengajukan pertanyaan pada responden dan merekam
jawabannya untuk dianalisis lebih lanjut (Cooper dan Emory, 1995).

Pembuatan kuisioner yang menggunakan teknik survei memerlukan upaya


tertentu dalam memberikan pemahaman kepada responden karena berhubungan
dengan daya tanggap responden sehingga dapat menjawab dan menyelesaikan
kuisioner dengan baik. Jenis penelitian yang sering dilakukan dalam kegiatan
etnofarmakologi ialah penelitian deskriptif yang menggunakan gabungan metode
kualitatif dan kuantitatif. Salah satu cara yang disukai untuk mengumpulkan data
kuantitatif dalam ilmu kesehatan dan sosial, termasuk etnofarmakologi dan
etnobotani medis adalah dengan menggunakan kuisioner (Edwards dkk., 2005).
Kuisioner memiliki peran yang sangat penting dalam penelitian etnofarmakologi
dan kegiatan yang sejenis. Namun, hingga saat ini belum ada kuisioner yang baku
atau standard untuk penelitian etnofarmakologi sehingga peneliti yang akan
melakukan penelitian yang sama, membuat dan merangcang kuisioner yang
berbeda-beda dari penelitian yang lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pembuatan kuisioner yang terstandard dan memiliki landasan dari beberapa literatur
untuk mempermudah peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diperoleh beberapa
rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

a. Bagaimana cara membuat kuisioner survei etnofarmakologi yang terstandard?


b. Mengapa perlu membuat desain dan standardisasi kuisioner survei
etnofarmakologi?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dapat membuat kuisioner survei etnofarmakologi yang terstandard.


b. Dapat dijadikan rujukan oleh peneliti lain yang melakukan penelitian yang
sejenis.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

a. Peneliti bisa mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang baru karena dapat
berinteraksi langsung dengan masyarakat di suatu etnis tertentu.
b. Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diberikan selama kuliah dan
berorganisasi.
c. Dapat mendukung upaya pemerintah seperti Saintifikasi Jamu dalam
pengembangan obat berbasis bahan alam khususnya jamu tradisional sehingga
pengetahuan mengenai penggunaan obat tradisional tetap terjaga.
d. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sejenis dapat menggunakan
kuisioner ini sebagai alat penelitian yang valid.
DAFTAR PUSTAKA

Cooper, Donald R., dan Emory, William. 1995. Business Research Methods,
Richard D Irwin, Inc.
Depkes RI. 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Edwards, S., S. Nebel, dan M. Heinrich. 2005. Questionnaire surveys :
methodological and epistemological problems for field-based
ethnopharmacologists. Journal of Ethnopharmacology. 100:30–36.
Jaradat, N. A., O. I. Ayesh, dan C. Anderson. 2016. Ethnopharmacological survey
about medicinal plants utilized by herbalists and traditional practitioner healers
for treatments of diarrhea in the west bank/ palestine. Journal of
Ethnopharmacology
Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2015. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin Dan
Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas Di Indonesia. Jakarta. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Mustofa, F. I. dan N. Rahmawati. 2018. Studi etnofarmakologi tumbuhan obat yang
digunakan oleh penyehat tradisional untuk mengatasi diare di sulawesi selatan.
Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia. 11(2)
Permenkes RI. 2010. Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Pieroni, A., C. Quave, S. Nebel, dan M. Heinrich. 2002. Ethnopharmacy of the
ethnic albanians (arbereshe) of northern basilicata, italy. Fitoterapia. 73
Pujihastuti, I. 2010. Prinsip penulisan kuesioner penelitian. Jurnal Agribisnis Dan
Pengembangan Wilayah. 2(1):43–56.

Anda mungkin juga menyukai