Keluhan utama:
Penurunan kesadaran sejak 10 hari yang lalu
1
mengingat kenangan lama, tetapi masih dapat mengenali wajah dan nama
anggota keluarga.
Lemah letih dirasakan sejak 5 bulan yang lalu
Penurunan nafsu makan sejak 1 minggu yang lalu yang lalu. Semenjak
mengalami pnurunan kesadaran, pasien hanya makan 1/3 -1/4 porsi biasa.
Batuk sejak 1 minggu yang lalu, kadang disertai dahak berwarna kekuninga,
namun pasien susah mengeluarkan dahak. Batuk berdarah tidak ada
Sesak nafas sejak 3 hari yang lalu. Sesak tidak dipengaruhi aktivitas cuaca dan
makanan. Riwayat terbangun tengah malam karena sesak tidak ada. Sesak
tidak berbunyi menciut.
Demam sejak 3 hari yang lalu, demam tinggi, tidak terus menerus, tidak
menggigil dan tidak berkeringat banyak. Demam berkurang apabila diberikan
obat penurun demam.
Riwayat jatuh ada.
Riwayat nyeri persendian ada
Kejang tidak ada.
Mual ada, muntah tidak ada.
Riwayat tranfusi dirumahsakit sebelumnya ada
Nyeri dada tidak ada.
Sembab pada kedua tungkai ada.
Pucat-pucat tidak ada.
Perdarahan tidak ada.
Gangguan pendengaran tidak ada
Gangguan penglihatan tidak ada.
BAB dan BAB yang tidak dapat ditahan tidak ada.
2
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien.
Analisis Keuangan
Pasien tidak bekerja lagi.
Pasien mendapatkan biaya hidup dari anak-anaknya, untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
3
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : sakit berat
Kesadaran : sopor
Tekanan Darah : 130/80 mmHg (berbaring)
Nadi : 108 x/menit
Nafas : 30 x/menit
Suhu : 37.2ºC
Keadaan gizi : kurang
Tinggi badan : 155cm
Berat badan : 45 kg
BMI : 18,73 (underweight)
BBI : 49,5 kg
Edema : ada
Anemis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Kulit : Turgor menurun
Kelenjar getah bening :Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : Normocephal
Rambut : Uban (+), tidak mudah dicabut
Mata :Konjungtiva tidakanemis,sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Gigi dan Mulut : caries (+), candida (-), mukosa bibir dan mulut
kering
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O
Paru :
Paru depan
o Inspeksi : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi : fremitus sulit dinilai
o Perkusi : sonor kiri = kanan, batas pekak hepar di RIC VI
o Auskultasi : suara nafas bronkovesikular, ronki +/+,basah halus
nyaring dikedua basal paru, wheezing -/-
4
Paru belakang
o Inspeksi : simetris kiri = kanan dalam kedaan statis dan dinamis
o Palpasi : fremitus sulit dinilai
o Perkusi : sonor kiri = kanan, batas peranjakan paru sukar dinilai
o Auskultasi : suara nafas bronkovesikular, ronki +/+,basah halus
nyaring dikedua basal paru, wheezing -/-
Jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi :ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 ibu
jari, thrill (-), kuat angkat
o Perkusi : batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas bawah 1 jari
medialLMCS RIC V, pinggang jantung (+)
o Auskultasi : irama teratur, bising (-), M1> M2, P2< A2
Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-), kolateral (-), venektasi (-)
o Palpasi :Hepar tidak teraba, lien S0
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : bising usus (+) normal.
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak bisa dinilai
Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan.
Anus : Tidak ditemukan kelainan.
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis +/+,edema +/+,
CRT < 2”
Status Lokalis
Regio gluteal : ulkus dekubitus (+) grade II, berjumlah 1 buah, ukuran
10x7x4 cm,pus (+), pinggir tidak rata, dasar jaringan otot,
hiperemis, darah (+), jaringan nekrotik (+)
Geriatri Comphrehensif Assesment
Penapisan Depresi : Sukar dinilai
Mini Mental State Examination (MMSE) : Sukar dinilai
Activity Daily Living (ADL) Barthel :
Sebelum sakit : 15(Ketergantungan ringan)
Setelah sakit : 0 (Ketergantungan total)
5
Uji Mental Singkat : Sukar dinilai
Mini Nutritional Asessment (MNA) :
Sebelum sakit : 11.5 (malnutrisi)
Setelah sakit : 8 (malnutrisi)
Kebutuhan nutrisi sebelum sakit : ~ 1320 kkal
Kebutuhan nutrisi setelah sakit : ~ 1848 kkal
Skor F1 : 0,31
Laboratorium
Darah
Hb : 10,6 gr/dL Trombosit : 379.000/mm3
Ht : 34% Diff. count : 0/0/1/87/7/5
Leukosit : 13.930/mm3 LED : 40 mm/jam
Kesan: anemia ringan normositik normokrom, leukositosis dengan neutrofilia
shift to the right, LED meningkat
Urinalisa :
Protein : (++) Kristal : (-)
Glukosa : (-) Epitel : gepeng (+)
Leukosit : 1-2/LPB Bilirubin : (-)
Eritrosit : 0-1/LPB Urobilinogen : (+)
Silinder : (-)
Kesan : proteinuria
Feses Rutin :
Warna : kuning Eritrosit : (-)
Konsistensi : lembek Telur cacing : (-)
Leukosit : (-) Amoeba : (-)
Kesan : dalam batas normal
6
Pemeriksaan EKG:
Irama : sinus QRS Komplek : RBBB
HR : 106 x /menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal Gel T : normal
Gel P : 0,06 detik SV1+RV5 : <35
PR interval : 0,20 detik R/S V1 : <1
Kesan : sinus takikardi, RBBB
Daftar Masalah :
Penurunan kesadaran
Bronkopneumonia
Ulkus dekubitus grade II
Anemia
Hemiparese dupleks
Imobilitas
Ketergantungan total
Malnutrisi
Frailty
Diagnosis Kerja :
Perubahan kesadaran ec sindrom delirium akut
Hospital Aquired Pneumonia dengan Hipoksemia
Immobilisasi dengan Ulkus dekubitus grade III-IV
Sistitis akut
Old Stroke
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik
Trombositosis reaktif
Ketergantungan total
Malnutrisi
Diagnosis Banding :
Perubahan kesadaran ec hipoksemia
7
Perubahan kesadaran ec hiponatremia ec low intake
Terapi :
Istirahat/ diet 950 kkal MC 6 x 160 cc, 1 cc = 1 kkal (karbohidrat 501 kkal,
protein 52.8 gr, lemak 237.5 kkal) dinaikkan secara bertahap sampai maksimal
1900 kkal via NGT/ O2 10L/menit via NRM
IVFD NaCl 0,9%8 jam/kolf
Ceftazidime 3x1 gr IV
Levofloxacine 1x750 mg iv (hari 1) selanjutnya 1x250 mg iv
N-asetyl sistein nebu/8 jam
Farbivent nebu/8 jam
Asam folat 1x5 mg po
Natrium bikarbonat 3x500 mg po
Parasetamol 3x500 po k/p
Redressing ulkus 2x/hari
Pasang kasur dekubitus
Pasang kateter – balans cairan
Mobilisasi dini: miring kiri dan miring kanan setiap 4 jam, latihan lingkup
gerak sendi
Pemeriksaan Anjuran :
Analisa gas darah
Elektrolit (Na, K, Cl, Ca)
Faal ginjal (ureum, kreatinin)
Darah perifer lengkap (eritrosit, retikulosit, MCV, MCH, MCHC)
Faal hemostasis (PT, aPTT)
Albumin, globulin
Asam urat serum
Rontgen thorak PA
Kultur sputum
Kultur pus
Konsul neurologi
Konsul gizi klinik
8
Konsul rehabilitasi medik
FOLLOW UP
Tanggal 26 Juni 2019 (00.30 WIB)
S/Penurunan kesadaran (+), demam (+), sesak (+)
O/
KU Kes TD (mmHg) Nadi (x/i) Nafas (x/i) Suhu (oC)
Berat Sopor 130/80 95 30 37
Urine : warna kuning pekat, jumlah ±120 cc/24 jam
Keluar hasil Laboratorium :
Ureum : 278 mg/dl Klorida : 101 mmol/L
Kreatinin : 4 mg/dl Kalsium : 7,9 mmol/L
Natrium : 148 mmol/L Albumin : 3.0 g/dl
Kalium : 3.9 mmol/L Globulin : 1.8 g/dl
A/
Penurunan kesadaran ec uremic encepalopathy dd/ hipoksemia
Hospital Aquired Pneumonia dengan Gagal Nafas Tipe 1
CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi dd/ nefropati gout
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik
Immobilisasi dengan Ulkus dekubitus grade II
Old stroke
Ketergantungan total
Malnutrisi
Frailty
P/
O2 12L/menit via NRM
9
Cek SpO2/6 jam (pulse oxymetri)
IVFD NaCl 0.9% 8 jam/kolf
Koreksi plasbumin 20% 100 cc intravena
Diet ekstra ikan gabus
Cek ulang albumin postkoreksi
A/
Penurunan kesadaran ec uremic encepalopathy
Hospital Aquired Pneumonia dengan Gagal Nafas Tipe 1
CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi dd/ nefropati gout
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik
Immobilisasi dengan Ulkus dekubitus grade II
Old stroke
Ketergantungan total
Malnutrisi
10
Frailty
P/
Titrasi turun oksigen
11
Kultur sputum
Eskalasi antibiotik sesuai kultur
A/
Penurunan kesadaran ec uremic encepalopathy
12
Hospital Aquired Pneumonia dengan Gagal Nafas Tipe 1 (perbaikan)
CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi dd/ nefropati gout
Hipernatremia
Hiperurisemia
Immobilisasi dengan Ulkus dekubitus grade II
Old stroke
Ketergantungan total
Malnutrisi
Frailty
P/
Terapi lain dilanjutkan
13
Kalium : 4,8 mmol/L
Kesan: leukositosis dengan neutrofilia shift to the right, hiperurisemia,
hipernatremia.
A/
Penurunan kesadaran ec uremic encepalopathy
Hospital Aquired Pneumonia dengan Gagal Nafas Tipe 1
CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi dd/ nefropati gout
Hiperurisemia
Hipernatremia
Immobilisasi dengan Ulkus dekubitus grade II
Old stroke
Ketergantungan total
Malnutrisi
Frailty
P/
Cek SpO2/6 jam
14
Kesan:
Hemiparese dupleks ec recurent stroke (old case)
Advis:
Saat ini tidak ditemukan defisit neurologi akut pada pasien dan indikasi rawat
bersama pasien, karena stroke old case
Aspilet 1x80 mg po (jika tidak ada kontraindikasi dari bagian penyakit dalam
O/
KU Kes TD (mmHg) Nadi (x/i) Nafas (x/i) Suhu (oC)
Sedang CM afasia 120/70 86 23 37.2
Urine : warna kuning, jernih, jumlah ± 750 cc/24 jam
SpO2: 98%
Pulmo: suara nafas bronchovesicular, ronkhi +/+ basah halus nyaring di basal
paru, wheezing -/-
Keluar hasil laboratorium
Hb : 11.3 gr/dl Diff count : 0/0/2/73/21/4
Leukosit : 10.250/mm3 Trombosit :335.000/mm3
15
Kesan: leukositosis dengan neutrofilia shift to the right
A/
Perubahan kesadaran ec sindrom delirium akut (perbaikan)
Hospital Aquired Pneumoniadengan parapneumonia efusi (dekstra)
dengan retensi sputum (perbaikan)
Immobilisasi dengan ulkus dekubitus grade III-IV (perbaikan)
Sistitis akut (perbaikan)
Hemiparese dupleks ec stroke iskemik (old case)
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik (teratasi)
Trombositosis reaktif (teratasi)
Ketergantungan total
Hipoalbuminemia ec malnutrisi (perbaikan)
P/
Pastikan hasil kultur swab tenggorok, pus dan urin
Eskalasi antibiotik sesuai kultur
O/
KU Kes TD (mmHg) Nadi (x/i) Nafas (x/i) Suhu (oC)
Sedang CM afasia 110/60 79 20 36.7
Urine : warna kuning, jernih, jumlah ± 450 cc/24 jam
Pulmo:
bronchovesicular, ronkhi +/+ basah halus nyaring di basal paru, wheezing -/-
Ekstremitas:
Regio sacrum: ulkus dekubitus (+) ukuran 6x5x1 cm, pus (-), darah (-), sudah
mulai mengering, jaringan granulasi (+)
16
Keluar hasil kultur urine: no growth
Keluar hasil kultur swab tenggorok: Klebsiella sp
- Sensitif dengan Meropenem, Piperacillin/Tazobactam dan Tigecycline
Keluar hasil kultur pus: Klebsiella pneumonia ssp pneumoniae
- Sensitif dengan amikasin dan Meropenem
A/
Perubahan kesadaran ec sindrom delirium akut (perbaikan)
Hospital Aquired Pneumoniadengan parapneumonia efusi (dekstra)
dengan retensi sputum (perbaikan)
Immobilisasi dengan ulkus dekubitus grade III-IV (perbaikan)
Sistitis akut (perbaikan)
Hemiparese dupleks ec stroke iskemik (old case)
Ketergantungan total
Hipoalbuminemia ec malnutrisi (perbaikan)
P/
Ganti antibiotik Ceftazidime dengan Meropenem
Cek ulang leukosit dan diff count/3 hari
Persiapan home carefamily meeting
17
DISKUSI
Masalah utama pada pasien ini adalah imobilisasi akibat stroke berulang
yang dialami pasien. Halter (2017) mendefinisikan imobilisasisebagai suatu
keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama 3 hari atau lebih dengan gerak
anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Imobilisasi pada
pasien ini terjadi karena pasien mengalami stroke sejak 6 tahun yang lalu dan
mengalami stroke berulang 10 hari yang lalu yang mengakibatkan kelemahan
pada tubuh.Chen et al (2010) menyatakan bahwa usia merupakan faktor
nonmodifiable untuk terjadinya stroke, dan bahwa angka kejadian stroke adalah
75-89% pada usia >65tahun.1,2
Faktor risiko lain terjadinya stroke pada pasien adalah hipertensi. Nguyen
(2012) menyatakan bahwa hipertensi terjadi pada 66% populasi usia >65 tahun.
Patogenesis hipertensi pada usia lanjut sedikit berbeda dengan hipertensi yang
terjadi pada usia dewasa muda. Pasien usia lanjut lebih sensitif terhadap terhadap
peningkatan dan penurunan kadar natrium. Hal ini ditambah dengan adanya
penurunan elasitisitas pembuluh darah perifer akibat proses penuaan yang akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan
18
mengakibatkan hipertensi sistolik terisolasi.Perubahan ateromatous akibat proses
penuaan yang menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan
berbagai sitokin-sitokin dan substansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan
resorbsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah
perifer dan keadaan lain yang berakibat pada kenaikan tekanan darah. Penurunan
kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses penuaan. Hal ini
menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi-glomerulo-sklerosis-hipertensi
yang berlangsung terus menerus.3
Komplikasi yang terjadi akibat imobilisasi pada pasien ini adalah ulkus
dekubitus, bronkopneumonia dengan retensi sputum, sistitsis, malnutrisi, anemia
dan hipoalbuminemia.Heppner (2013) menyatakan bahwa infeksi merupakan
penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada geriatri. Hal ini terkait
penurunan imunitas (immunosenescence) berupa penurunan fungsi dan jumlah sel
limfosit T, kemampuan mengenali antigen dan fungsi efektor dari sistem imun.
Proses penuaan juga memiliki efek signifikan terhadap menurunnya sitokin dalam
sirkulasi, menurunnya fungsi neutrofil, menurunnya fungsi ekspresi CD16 dan
fagositosis.Kondisi ini juga disertai proses penuaan anatomik dan fisiologis.
Pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringan lunak merupakan
infeksi tersering yang terjadi pada geriatri.4
Pasien datang dengan mengalami perubahan kesadaran karena Sindrom
Delirium Akut (SDA). Pencetus terjadinya sindrom delirium akut pada pasien ini
adalah adanya infeksi, baik pada paru, saluran kemih dan kulit serta adanya
hipoksemia. Sindrom delirium akut merupakan manifestasi primer infeksi pada
geriatri. Heppner (2013) menyatakan bahwa SDA terjadi pada 14-56% pasien
geriatri yang dirawat. Pada kondisi infeksi terdapat peningkatan sitokin
proinflamasi, ditambah dengan adanya defisiensi neurotransmitter akibat
hipoksemia, akan menyebabkan terjadinya gangguan transduksi sinyal dan
menimbulkan manifestasi klinis SDA.
Menurut Halter et al (2017) dan National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP) 2016, ulkus dekubitus merupakan kerusakan jaringan setempat pada
kulit dan/atau jaringan dibawahnya akibat tekanan atau kombinasi antara tekanan
dan pegeseran pada bagian tubuh (tulang) yang menonjol. Madhuri (2011)
menyatakan bahwa angka kejadian ulkus dekubitus berkisar 4.4-33% pada
19
populasi pasien usia lanjut. Faktor risiko utama penyebab berkembangnya ulkus
dekubitus adalah usia, penurunan mobilitas, malnutrisi dan adanya penyakit
vaskuler. Secara lokasi terjadinya menurut Bhattacharya (2015) 25% terjadi pada
daerah sakrum, ischial dan trokanter, diikuti dengan area maleolus, kalkaneus,
patela dan tibial.1,4,5
Faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus dibedakan menjadi faktor intrinsik
dan ekstrinsik. Faktor risiko instrinsik pada pasien adalah adanya stroke, infeksi,
malnutrisidan immobilisasi. Sementara faktor ekstrinsik dapat berupa adanya
tekanan, gesekan serta kelembaban. Ulkus dekubitus yang terjadi pada pasien ini
sudah berada pada stadium 3 dan 4 dimana ulkus sudah sampai ke jaringan otot
dan disertai dengan infeksi dimana ditemukan pus dengan hasil kultur kuman
klebsiella sp. Menurut Yoshikawa (2002) pada 41% kasus mikroorganisme
penyebab infeksi ulkus dekubitus adalah multipel, terutama staphylococcus
aureus, pseudomonas dan eschericia coli. Ulkus dekubitus terjadi akibat
peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan
akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sakrum ketika dalam posisi
berbaring.Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan dan
menyebabkan anoksia jaringan dan nekrosis.
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dilakukan dengan membersihkan ulkus
sekali sehari dengan kassa yang dibasahkan dengan NaCl 0,9% serta pemberian
Hyaluronic Acid (HA) + Silver sulfadiazine 1% topikal pada ulkus dan pemberian
VCO pada area bukan ulkus setelah pasien dimandikan untuk mengurangi
gesekan pada kulit. Menurut Beniamino (2016), manfaat penggunaan HA pada
ulkus dekubitus terkait mekanisme kerjanya yaitu membantu pembentukan
fibroblast, meningkatkan proliferasi dan migrasi sel epitelial serta membantu
pembentukan jaringan granulasi. Pasien juga dikonsultasikan kepada dokter
spesialis bedah konsultan bedah vaskuler untuk kemungkinan tatalaksana operatif
jika diperlukan untuk memperbaiki jaringan yang mati/debridement pada ulkus
dekubitus pasien. Zhao et al (2017) meneliti penerapan metode couple-kissing
flaps (CKF) pada ulkus dekubitus di daerah sakrum. Ditemukan bahwa hasilnya
memuaskan dan reliabel untuk diterapkan terutama pada ulkus dekubitus grade 3
dan 4. Selain itu komplikasi dan rekurensi ulkus juga minimal.
20
Pada tatalaksana ulkus dekubitus diperlukan tim terpadu geriatri yang
meliputi dokter, konsultan terkait, perawat, ahli gizi, bagian rehabilitasi medik dan
ahli farmasi klinik. Pasien dan keluarga/pramurawat harus diedukasi mengenai
risiko timbul ulkus dekubitus dan perburukan yang akan terjadi, serta mengetahui
strategi pencegahan dan penatalaksanaannya. Tatalaksana dapat berhasil apabila
disertai peran serta keluarga atau pramurawat (caregiver). Tatalaksana non
farmakologis untuk mencegah ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi
secara teratur, melakukan latihan gerakan pasif setiap 1 atau 2 kali sehari selama
20 menit, menggunakan kasur berongga (kasur antidekubitus), memiringkan
pasien ke kanan dan ke kiri, mencegah terjadinya gesekan dan pemberian minyak
setelah pasien dimandikan dan buang air kecil/besar.
Imobilisasi juga berperan dalam terjadinya bronkopneumonia pada pasien
ini. Bronkopneumonia (HAP) ditegakkan pada pasien ini berdasarkan adanya satu
kriteria mayor yaitu demam dan dua kriteria minor yaitu ditemukan ronkhi pada
pemeriksaan fisik paru dan leukositosis, dan pemeriksaan penunjang yaitu rontgen
thorak sesuai bronkopneumonia.Karakteristikdominan pneumonia pada pasien
geriatri adalah gejala klasik pneumonia sering tidak khas dan pasien memiliki
riwayat rawatan di rumah sakit. Li et al (2015) mengemukakan bahwa pasien
geriatri yang mengalami pneumonia, 60-90% memiliki satu atau lebih penyakit
komorbid yang mendasari. Sementara itu dari segi etiologi penyebab pneumonia
pada geriatri pada penelitian ini adalah acinetobacter baumannii, diikuti dengan
staphylococcus, pseudomonas dan klebsiella pneumonia.
Terapi yang diberikan yaitu kombinasi golongan sefalosporin generasi
ketiga dan fluoroquinolon respiratorik. Infeksi pada pasien dipermudah karena
kondisi pasien menderita imobilisasi, stroke dan faktor usia. Akibat imobilisasi,
retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi.Pada posisi berbaring otot
diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding
dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Kondisi ini
juga terjadi akibat elastisitas paru yang sudah berkurang akibat proses menua.
Infeksi saluran kemih pada pasien ini juga merupakan bagian dan terjadi
akibat imobilisasi. Menurut Theresa (2014) infeksi saluran kemih umum terjadi
pada geriatri dan merupakan infeksi tersering kedua setelah pneumonia, dengan
angka kejadian >10% pada populasi usia >65 tahun. Pada geriatri infeksi saluran
21
kemih dapat asimtomatik. Faktor risiko utama terjadinya infeksi saluran kemih
adalah adanya retensi urin akibat imobilisasi. Pemberian antibiotik yang adekuat
dan vulva hygiene pada pasien memberikan respon klinis dan laboratorik yang
perbaikan.
Imobilisasi juga berperan pada terjadinya malnutrisi dan hipoalbuminemia
pada usia lanjut. Menurut Konsensus Asuhan Gizi pada Lansia dan Pasien Geriatri
(2017), malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan, atau
ketidakseimbangan protein, energi, dan zat gizi lain yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi pada tubuh.Pada pasien usia lanjut, terjadinya malnutrisi terjadi
akibat kombinasi dari beberapa faktor di antaranya kesulitan menelan dan
mengunyah, adanya inflamasi kronis, menurunnya sensasi bau dan kecap pasien
usia lanjut, serta penggunaan obat-obatan yang menekan nafsu makan.
Imobilisasi pada usia lanjut menyebabkan peningkatan kadar kortisol
sehingga metabolisme protein akan lebih rendah serta kondisi statis pada saluran
cerna akibat imobilisasi menyebabkan absorbsi nutrien menurun. Infeksi pada
pasien terutama ulkus dekubitus akibat imobilisasi pada pasien juga berkontribusi
pada terjadinya hipoalbuminemia. Neloska et al (2016) menyatakan bahwa infeksi
akan menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi yang akan menekan nafsu
makan serta menyebabkan hipermetabolisme yang meningkatkan kebutuhan
energi dan protein.
Hipoalbumin juga berkontribusi terhadap terjadi dan berkembangnya
ulkus dekubitus. Defisiensi serum albumin dapat menyebabkan gangguan perfusi
pada jaringan luka, mengurangi tekanan osmotik intravaskuler sehingga dapat
menyebabkan edem interstisial, mengurangi oksigenasi jaringan serta toleransi
jaringan terhadap tekanan. Penatalaksanaan hipoalbuminemia yaitu dengan
penambahan asupan protein dengan penambahan langsung pada diet, minyak ikan
gabus dan dengan transfusi albumin.Dukungan nutrisi adalah bagian dari terapi
yang berperan penting dalam kesembuhan pasien.
Menurut Brock et al (2016) hipoalbuminemia dapat ditemukan pada 87%
populasi geriatri dan dikaitkan dengan menurunnya respon terhadap terapi
sehingga masa penyembuhannya akan lebih lama, memperpanjang masa rawat
inap (masa rawat inap pasien dengan malnutrisi 90 kali lebih lama dibanding
dengan pasien dengan gizi baik), menambah biaya rumah sakit, dan secara umum
22
meninggikan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Dengan dukungan nutrisi
yang optimal akan meningkatkan daya tahan tubuh pasien sehingga meningkatkan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit.
Pemberian nutrisi pada pasien ini harus diberikan secara bertahap, untuk
mencegah terjadinya Refeeding Syndrome (RS).Menurut kriteria NICE pasien ini
berisiko tinggi untuk mengalami RS karena memenuhi satu atau lebih kriteria
mayor yaitu IMT < 16 kg/m2, penurunan berat badan > 20% dalam 3-6 bulan
terakhir dan sedikit atau sama sekali tidak ada asupan selama > 10 hari.
Rekomendasi dari Konsensus Asuhan Gizi pada Lansia dan Pasien Geriatri (2017)
pada pasien dengan risiko tinggi mengalami RS, pemberian nutrisi dimulai
dengan 10-15kkal/kgBB/hari (H1-3) dilanjutkan dengan 15-25 kkal/kgBB/hari
(H4-5), 30 kkal/kgBB/hari (H6) dan diberikan kebutuhan penuh pada hari ke 7.
Anemia pada pasien terkait dengan infeksi dan inflamasi yang terjadi pada
pasien. Menurut Rohrig (2016) anemia terjadi pada 40% populasi > 65 tahun.
Penyebab anemia pada usia lanjut dapat dibedakan kepada 3 subtipe yaitu anemia
dengan defisiensi nutrien (besi, folat atau vitamin B12), anemia tanpa defisiensi
nutrien (eritropoietin) dan anemia karena inflamasi kronis. Pada pasien usia lanjut
62.1% kasus adalah anemia karena penyakit/inflamasi kronis. Inflamasi kronis
menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1), hal ini
mempengaruhi homeostasis zat besi, mengurangi produksi eritropoietin dan
menurunkan proliferasi dan diferensiasi sel-sel progenitor eritroid. Sementara itu
trombositosis pada pasien juga merupakan respon terhadap infeksi dan inflamasi
kronis yang meningkatkan kadar sitokin proinflamasi yang sifatnya merangsang
peningkatan megakariositopoiesis di sumsum tulang.
Efek imobilisasi lain pada pasien ini, seperti kontraktur dan atrofi otot juga
sudah mulai terlihat. Edukasi mengenai perubahan posisi (weight shifting) pasien
setiap 2-3 jam, perlunya latih lingkup gerak sendi pasif 2x/hari terutama sendi-
sendi besar, serta Isometric Contraction Exercisedirasakan penting dilakukan
secara reguler dengan dukungan penuh keluarga.
Penatalaksaan paripurna harus diberikan pada pasien ini karena pasien
menderita multimorbiditas, dengan cara mengatasi penyakit dasar, penyakit
penyerta serta sindroma geriatrik yang ada. Edukasi pada keluarga sangat penting
23
terutama mengenai asupan nutrisi, kebersihan tubuh dan lingkungan, oral hygiene,
serta dukungan moral dan afeksi dari keluarga.
Secara garis besar dapat kita simpulkan kerangka masalah pada pasien ini
sesuai gambar dibawah ini.
Imobilisasi
Anemia
Ulkus dekubitus
Intelectual
Impairment
CKD
Hipertensi
24
Rencana Kegiatan (Discharge Planning)
Vitamin B
kompleks 2 tab
Vitamin C 50
mg
25
duduk sekitar 60 nasi + lauk 250
derajat. pauk + sayuran
NTS 150 cc
16.30-17.00 Mandi
150 cc +100 cc
Vitamin B
kompleks 2 tab
Vitamin C 50
mg
Zink 1 tab
22.00 Tidur
26
DAFTAR PUSTAKA
27