Keluhan utama:
Perubahan kesadaran sejak 5 hari yang lalu
1
Demam sejak 5 hari yang lalu, demam tinggi, tidak terus menerus, tidak
menggigil dan tidak berkeringat banyak.
Buang air kecil berwarna teh pekat sejak 1 hari SMRS, BAK berdarah tidak
ada, nyeri saat BAK tidak ada
Riwayat jatuh tidak ada.
Kejang tidak ada.
Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Nyeri dada tidak ada.
Perdarahan tidak ada.
Riwayat tranfusi dirumah sakit sebelumnya tidak ada
Buang air besar dalam batas normal.
Pasien sebelumnya telah dirawat di RS Siti Rahmah 2 minggu yang lalu
karena gangguan elektrolit dan dirawat selama 5 hari dan pulang. Kemudian
pasien masuk lagi ke IGD RS Siti Rahmah 1 minggu kemudian dan dirujuk ke
RS Dr.M.Djamil untuk penatalaksanaan lanjut.
2
Silsilah keluarga
AIE
3
Riwayat Penggunaan Obat-Obatan
Pasien mengkonsumsi obat antidiabetes (metformin) namun dihentikan sejak 2
bulan yang lalu.
Analisis Keuangan
Pasien tidak bekerja.
Pasien mendapatkan biaya hidup dari uang pensiun suami untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
4
Edema : tidak ada
Anemis : ada
Ikterus : tidak ada
5
Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-), kolateral (-), venektasi (-)
o Palpasi : Hepar tidak teraba, lien S0
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : bising usus (+) normal.
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak bisa dinilai
Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan.
Anus : Tidak ditemukan kelainan.
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-,edema -/-, CRT
< 2”
Kiri Kanan
Ankle Brachial Index 1,08 1,08
Pulsasi
Arteri Poplitea + +
Arteri Tibialis posterior + +
Arteri Dorsalis pedis + +
Sensibilitas
Kasar Sulit dinilai Sulit dinilai
Halus Sulit dinilai Sulit dinilai
Status Lokalis
Regio gluteus : ulkus dekubitus (+) grade III, berjumlah 1 buah, ukuran
20x12x4 cm, pus (+), pinggir tidak rata, dasar jaringan
otot, hiperemis, darah (+), jaringan nekrotik (+), tulang
teraba
Regio Maleolus Lateral S : ulkus dekubitus (+) grade II, ukuran 2 x 2 cm, pus
(+), pinggir tidak rata, hiperemis, darah (+), jaringan
nekrotik (+)
Regio Maleolus Lateral D : ulkus dekubitus (+) grade II, ukuran 3 x 2 cm, pus
(+), pinggir tidak rata, hiperemis, darah (+), jaringan
nekrotik (+)
6
Geriatri Comphrehensif Assesment
Penapisan Depresi : Sukar dinilai
Mini Mental State Examination (MMSE) : Sukar dinilai
Activity Daily Living (ADL) Barthel :
Sebelum sakit : 0 (Ketergantungan total)
Setelah sakit : 0 (Ketergantungan total)
Uji Mental Singkat : Sukar dinilai
Mini Nutritional Asessment (MNA) :
Sebelum sakit : 18 (Beresiko malnutrisi)
Setelah sakit : 12 (malnutrisi)
Kebutuhan nutrisi
sebelum sakit : ~ 1431 kkal
setelah sakit : ~ 1670 kkal
Skor F1 : 0,58
Laboratorium
Darah
Hb : 6,1 gr/dL Trombosit : 351.000/mm3
Ht : 19% Diff. count : 0/0/2/88/8/2
Leukosit : 14.890/mm3 LED : 40 mm/jam
Kesan : anemia ringan normositik normokrom, leukositosis dengan neutrofilia
shift to the right, LED meningkat
Urinalisa :
Protein : (+) Kristal : (-)
Glukosa : (-) Epitel : gepeng (+)
Leukosit : 20-25/LPB Bilirubin : (-)
Eritrosit : 1-2/LPB Urobilinogen : (+)
Silinder : granular 3-4/LPB
Kesan : proteinuria, leukosituria
7
Feses Rutin :
Warna : coklat Eritrosit : 0 - 1 LPB
Konsistensi : lunak Telur cacing : (-)
Leukosit : 3-4 LPB Amoeba : (-)
Kesan : dalam batas normal
Pemeriksaan EKG:
Irama : sinus QRS Komplek : 0,06
HR : 80 x /menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal Gel T : normal
Gel P : 0,06 detik SV1+RV5 : <35
PR interval : 0,20 detik R/S V1 : <1
Kesan : normal sinus rhytm
Daftar Masalah :
Perubahan kesadaran
Multiple ulkus dekubitus
Anemia
Diabetes
ISK
Old Stroke
Imobilisasi dengan Ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Katarak
Diagnosis Kerja :
Perubahan kesadaran ec sindrom delirium akut
Sepsis ec multiple ulkus dekubitus grade III
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
8
ISK
Immobilisasi dengan Ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Katarak Senilis
Diagnosis Banding :
Penurunan kesadaran ec gangguan elektrolit
Penurunan kesadaran ec uremik ensefalopati
Penurunan kesadaran ec sepsis related encephalopathy
Terapi :
Istirahat/ diet 900 kkal MC 6 x 150 cc, 1 cc = 1 kkal (karbohidrat 465 kkal,
protein 210 kkal, lemak 225 kkal) / O2 3 L/menit
IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
Metronidazole 3 x 500 mg iv
Ciprofloxasin 2 x 200 mg iv
Parasetamol 3 x 500 po
Redressing ulkus 1x/hari
Pasang kasur dekubitus
Pasang kateter – balans cairan
Mobilisasi dini : miring kiri dan miring kanan setiap 2 jam, latihan lingkup
gerak sendi
Pemeriksaan Anjuran :
Analisa gas darah
Darah perifer lengkap (eritrosit, retikulosit, MCV, MCH, MCHC)
Elektrolit (Na, K, Cl, Ca)
Faal ginjal (ureum, kreatinin)
Faal hemostasis (PT, aPTT)
D-dimer
9
Faal Hepar (Albumin, globulin, SGOT, SGPT)
Cek GDP/GD2PP, HbA1c, profil lipid
Rontgen thorak PA
Kultur urin
Kultur pus
Konsul gizi klinik
Konsul rehabilitasi medik
Konsul mata
Konsul Bedah Vaskular
FOLLOW UP
Tanggal 17 September 2019
S/ Perubahan kesadaran (+), demam (-), makan melalui NGT habis, BAK (+)
melalui kateter
O/
KU Kes TD (mmHg) Nadi (x/i) Nafas (x/i) Suhu (oC)
Berat somnolen 100/70 85 22 36,7
Urine : warna kuning pekat, jumlah ± 200 cc/8 jam
10
Konsul Konsultan Geriatri
Kesan :
Sindrom delirium akut
Sepsis ec Multiple ulkus dekubitus grade III
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
ISK
Hiponatremia ec low intake
Hipoalbuminemia ec low intake
Immobilisasi dengan ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Katarak Senilis
Advis :
Inf Albumin 20% 100 cc
Asupan nutrisi adekuat konsul gizi klinik
Passive ROM exercise
Weight shiftingMiring kanan miring kiri tiap 2 jam
Edukasi oral hygiene tiap hari
Pasang kasur ulkus dekubitus
Redressing 1x/hari
Kultur pus
Kultur urin
Konsul Rehabilitasi Medik
Konsul Bedah Vaskuler
Konsul Mata
11
Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi
Kesan:
Hiponatremi ec low intake DD/ cerebral salt water syndrome
ISK
Advis:
IVFD NaCl 3% 12 jam/kolf (1 kolf)
Cek elektrolit post koreksi
Kultur urin
12
TIO N (p) N (p)
Funduskopi mata Bening Keruh
Papil Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
Pembuluh darah aa : vv = 2 : 3
Retina Perdarahan (+) dot, blot, Detail tidak bisa dinilai
eksudat (-)
Makula Rf Fovea (+)
Kesan:
Moderate NPDR OD
Katarak matur OS, Pseudofakia OD
Saat ini tanda-tanda retinopati diabetikum pada mata kiri belum bisa
dinilai karena media keruh
Advis:
Regulasi gula darah
Kontrol poli mata : USG mata dan ekstraksi lensa OS
13
Konsul Bedah Vaskular
Kesan:
Multipel Ulkus Dekubitus grade II-III
Advis:
Debridement elektif jika KU baik
Miring kanan-kiri tiap 2 jam
Pakai Kasur Dekubitus
A/
Sindrom delirium akut
Sepsis ec Multiple ulkus dekubitus grade III
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
ISK
Hiponatremia ec low intake
Hipoalbuminemia ec low intake
Immobilisasi dengan ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Katarak Senilis
P/
Diet 1400 kkal, protein 60 gr, lemak 25%, NTS 500 kkal dan diabetasol
500 kkal @ 400 ml via NGT
IVFD aminofluid 500 cc
IVFD Plasbumin 20% 100 cc/ 3 jam
IVFD NaCl 3% 12 jam/kolf (1 kolf)
Zinc 1 x 20 mg larutkan dalam 1 sdm air minum
Tranfusi PRC 1 unit per hari, target Hb ≥ 10 mg/dl
Passive ROM exercise
14
Weight shiftingMiring kanan miring kiri tiap 2 jam
Edukasi oral hygiene tiap hari
Pasang kasur ulkus dekubitus
Redressing 1x/hari
Kultur pus
Kultur urin
Konsul Rehabilitasi Medik
Terapi lain lanjut
A/
Syok Sepsis ec Multiple ulkus dekubitus grade III
Sindrom delirium akut
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
ISK
Hiponatremia ec low intake
Hipoalbuminemia ec low intake
Immobilisasi dengan ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Moderate NPDR OD
15
Katarak matur OS, Pseudofakia OD
P/
Loading NaCl 0,9% 30 cc/kgBB dalam 3 jam
Drip norepinefrin 0,05-1 mcg/kgBB titrasi naik tiap 15 menit dengan
target MAP ≥ 65
Hasil Laboratorium :
GDP : 75 mg/dl
GD2PP : 109 mg/dl
HbA1C : reagen habis
Total Kolesterol : 67 mg/dl
HDL : 20 mg/dl
LDL : 32 mg/dl
Trigliserida : 77 mg/dl
Natrium : 120 mg/dl
Kesan : hiponatremia
16
Diafragma kanan dan kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Tulang kesan intak
Kesan: Tak tampak kelainan radiologi pada radiografi toraks
A/
Syok Sepsis ec Multiple ulkus dekubitus grade III
Sindrom delirium akut
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
ISK
17
Hiponatremia ec low intake
Hipoalbuminemia ec low intake
Immobilisasi dengan ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Moderate NPDR OD
Katarak matur OS, Pseudofakia OD
P/
IVFD NaCl 0,9% 6 jam/kolf
Drip norepinefrin dipertahankan 24 jam bila MAP > 65 tercapai, kemudian
titrasi turun
Terapi lain lanjut
18
Kesan: leukositosis dengan neutrofilia shift to the right, hipoalbuminemia,
hiponatremia.
A/
Syok Sepsis ec Multiple ulkus dekubitus grade III (perbaikan)
Sindrom delirium akut
Anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronik
DM Tipe 2 tidak terkontrol underweight
ISK
Hiponatremia ec low intake
Hipoalbuminemia ec low intake
Immobilisasi dengan ketergantungan total
Malnutrisi
Inkontinensia urin
Frailty
Old Stroke
Moderate NPDR OD
Katarak matur OS, Pseudofakia OD
P/
IVFD NaCl 3% 12 jam/kolf (1 kolf)
Plasmubin 20% 100 cc / 3 jam
Stop drip norepinefrin
Regio gluteus : ulkus dekubitus (+), pus (-), darah (-), sudah mulai
mengering, jaringan granulasi (+)
19
Regio Maleolus Lateral S : ulkus dekubitus (+), ukuran 2 x 2 cm, pus (-), darah
(-), sudah mulai mengering, jaringan granulasi (+)
Regio Maleolus Lateral D : ulkus dekubitus (+), ukuran 3 x 2 cm, pus (-), darah
(-), sudah mulai mengering, jaringan granulasi (+)
Keluar hasil laboratorium
Hb : 10.4 gr/dl Diff count : 0/0/4/75/18/3
Leukosit : 13.120/mm3 Trombosit :149.000/mm3
Natrium : 129 mMol/L Albumin : 2,0 mg/dl
Kesan: leukositosis dengan neutrofilia shift to the right, hiponatremia
20
DISKUSI
Masalah utama pada pasien ini adalah imobilisasi akibat stroke berulang
yang dialami pasien. Halter (2017) mendefinisikan imobilisasi sebagai suatu
keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama 3 hari atau lebih dengan gerak
anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Imobilisasi pada
pasien ini terjadi karena pasien mengalami stroke sejak 2 tahun yang lalu dan
mengalami stroke berulang 2 bulan yang lalu yang mengakibatkan kelemahan
pada tubuh.Chen et al (2010) menyatakan bahwa usia merupakan faktor
nonmodifiable untuk terjadinya stroke, dan bahwa angka kejadian stroke adalah
75-89% pada usia >65tahun.
Faktor risiko lain terjadinya stroke pada pasien adalah diabetes. Diabetes
melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai gambaran klinis yang
bervariasi luas, dari tanpa gejala sampai dengan komplikasi nyata dan kadang-
21
kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada usia lanjut.
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia, pada DM
usia lanjut tidak ada. Umumnya pasien datang dengan keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap berbagai
perubahan/gejala penyakit mengalami penurunan.
Komplikasi yang terjadi akibat imobilisasi pada pasien ini adalah ulkus
dekubitus, ISK, malnutrisi, anemia dan hipoalbuminemia. Heppner (2013)
menyatakan bahwa infeksi merupakan penyebab signifikan morbiditas dan
mortalitas pada geriatri. Hal ini terkait penurunan imunitas (immunosenescence)
berupa penurunan fungsi dan jumlah sel limfosit T, kemampuan mengenali
antigen dan fungsi efektor dari sistem imun. Pneumonia, infeksi saluran kemih,
infeksi kulit dan jaringan lunak merupakan infeksi tersering yang terjadi pada
geriatri.
Keadaan tidak beraktivitas dan imnobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan eksresi nitrogen urin yang dapat mencapai puncak dengan rata-rata
kehilangan 2 mg/hari. Akibatnya, pasien akan mengalami hipoproteinemia, edema
dan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut dengan imobilisasi lama akan
memiliki natrium serum yang lebih rendah dibandingkan pasien tanpa imobilisasi,
sehingga pasien akan mengalami defisiensi natrium kronis.
Pada pasien kemungkinan depresi belum dapat disingkirkan. Depresi
merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien berusia diatas 60
tahun dan merupakan penyakit dengan tampilan gejala yang tidak spesifik pada
populasi geriatri. Faktor psikososial berperan sebagai faktor predisposisi depresi.
Orangtua seringkali mengalami periode kehilangan orang-orang yang dikasihi,
faktor kehilangan ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan
berkurangnya kemauan merawat diri serta hilangnya kemandirian.
Berkurangnyanya kapasitas sensori (terutama penglihatan dan pendengaran) akan
mengakibatkan penderita terisolasi dan berujung depresi. Pasien depresi bisa
mengalami imobilisasi lebih lama dan mengalami perburukan status fungsional
lebih besar dibandingkan penderita penyakit kronis saja.
Pasien jugan mengalami gangguan sensori yaitu penglihatan. Sebelum
sakit pasien mengeluhkan mata kabur. Perubahan penglihatan biasanya sudah
22
mulai dirasakan dan mengganggu setelah berumur 40 tahun. Proses penuaan
berperan besar dalam perubahan tersebut. Beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap penurunan kemampuan daya akomodasi adalah bertambah padatnya dan
penurunan elastisitas lensa.
Pasien datang dengan mengalami perubahan kesadaran karena Sindrom
Delirium Akut (SDA). Pencetus terjadinya sindrom delirium akut pada pasien ini
adalah adanya infeksi, baik pada saluran kemih dan kulit. Sindrom delirium akut
merupakan manifestasi primer infeksi pada geriatri. Heppner (2013) menyatakan
bahwa SDA terjadi pada 14-56% pasien geriatri yang dirawat. Pada kondisi
infeksi terdapat peningkatan sitokin proinflamasi, ditambah dengan adanya
defisiensi neurotransmitter akibat hipoksemia, akan menyebabkan terjadinya
gangguan transduksi sinyal dan menimbulkan manifestasi klinis SDA.
Menurut Halter et al (2017) dan National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP) 2016, ulkus dekubitus merupakan kerusakan jaringan setempat pada
kulit dan/atau jaringan dibawahnya akibat tekanan atau kombinasi antara tekanan
dan pegeseran pada bagian tubuh (tulang) yang menonjol. Madhuri (2011)
menyatakan bahwa angka kejadian ulkus dekubitus berkisar 4.4-33% pada
populasi pasien usia lanjut. Faktor risiko utama penyebab berkembangnya ulkus
dekubitus adalah usia, penurunan mobilitas, malnutrisi dan adanya penyakit
vaskuler. Secara lokasi terjadinya menurut Bhattacharya (2015) 25% terjadi pada
daerah sakrum, ischial dan trokanter, diikuti dengan area maleolus, kalkaneus,
patela dan tibial.
Faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus dibedakan menjadi faktor intrinsik
dan ekstrinsik. Faktor risiko instrinsik pada pasien adalah adanya stroke, infeksi,
malnutrisi dan immobilisasi. Sementara faktor ekstrinsik dapat berupa adanya
tekanan, gesekan serta kelembaban. Ulkus dekubitus yang terjadi pada pasien ini
sudah berada pada stadium 2 dan 3 dimana ulkus sudah sampai ke jaringan otot
dan disertai dengan infeksi dimana ditemukan pus dengan hasil kultur kuman E.
coli. Menurut Yoshikawa (2002) pada 41% kasus mikroorganisme penyebab
infeksi ulkus dekubitus adalah multipel, terutama staphylococcus aureus,
pseudomonas dan eschericia coli. Ulkus dekubitus terjadi akibat peningkatan
tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan akan
memberikan pengaruh pada daerah kulit sakrum ketika dalam posisi berbaring.
23
Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan dan menyebabkan
anoksia jaringan dan nekrosis.
Tingkat bakteremia jauh lebih tinggi pada usia lanjut daripada pada pasien
yang lebih muda, mencapai 14% dari semua rawat inap di beberapa unit geriatri.
Pasien yang lebih tua dengan bakteremia lebih kecil kemungkinannya mengalami
tanda-tanda sistemik seperti demam, kedinginan, atau diaforesis dibandingkan
pasien yang lebih muda. Pasien didiagnosis sebagai sepsis dengan memenuhi
kriteria quickSOFA yaitu penurunan kesadaran dan hipotensi.
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dilakukan dengan membersihkan ulkus
sekali sehari dengan kassa yang dibasahkan dengan NaCl 0,9% serta pemberian
Hyaluronic Acid (HA) + Silver sulfadiazine 1% topikal pada ulkus dan pemberian
VCO pada area bukan ulkus setelah pasien dimandikan untuk mengurangi
gesekan pada kulit. Menurut Beniamino (2016), manfaat penggunaan HA pada
ulkus dekubitus terkait mekanisme kerjanya yaitu membantu pembentukan
fibroblast, meningkatkan proliferasi dan migrasi sel epitelial serta membantu
pembentukan jaringan granulasi. Pasien juga dikonsultasikan kepada dokter
spesialis bedah konsultan bedah vaskuler untuk kemungkinan tatalaksana operatif
jika diperlukan untuk memperbaiki jaringan yang mati/debridement pada ulkus
dekubitus pasien. Zhao et al (2017) meneliti penerapan metode couple-kissing
flaps (CKF) pada ulkus dekubitus di daerah sakrum. Ditemukan bahwa hasilnya
memuaskan dan reliabel untuk diterapkan terutama pada ulkus dekubitus grade 3
dan 4. Selain itu komplikasi dan rekurensi ulkus juga minimal.
Pada tatalaksana ulkus dekubitus diperlukan tim terpadu geriatri yang
meliputi dokter, konsultan terkait, perawat, ahli gizi, bagian rehabilitasi medik dan
ahli farmasi klinik. Pasien dan keluarga/pramurawat harus diedukasi mengenai
risiko timbul ulkus dekubitus dan perburukan yang akan terjadi, serta mengetahui
strategi pencegahan dan penatalaksanaannya. Tatalaksana dapat berhasil apabila
disertai peran serta keluarga atau pramurawat (caregiver). Tatalaksana non
farmakologis untuk mencegah ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi
secara teratur, melakukan latihan gerakan pasif setiap 1 atau 2 kali sehari selama
20 menit, menggunakan kasur berongga (kasur antidekubitus), memiringkan
pasien ke kanan dan ke kiri, mencegah terjadinya gesekan dan pemberian minyak
setelah pasien dimandikan dan buang air kecil/besar.
24
Infeksi saluran kemih pada pasien ini juga merupakan bagian dan terjadi
akibat imobilisasi. Menurut Theresa (2014) infeksi saluran kemih umum terjadi
pada geriatri dan merupakan infeksi tersering kedua setelah pneumonia, dengan
angka kejadian >10% pada populasi usia >65 tahun. Pada geriatri infeksi saluran
kemih dapat asimtomatik. Faktor risiko utama terjadinya infeksi saluran kemih
adalah adanya retensi urin akibat imobilisasi. Pemberian antibiotik yang adekuat
dan vulva hygiene pada pasien memberikan respon klinis dan laboratorik yang
perbaikan.
Masalah lain yang cukup penting untuk ditangani pada pasien ini adalah
malnutrisi dan hipoalbumin. Planas M dkk (2005) mendapatkan penderita
malnutrisi mempunyai length of stay (LOS) lebih lama dibanding pasien dengan
status gizi normal. Respon terhadap terapi juga menurun sehingga masa
penyembuhannya akan lebih lama, memperpanjang masa rawat inap (masa rawat
inap pasien dengan malnutrisi 90 kali lebih lama dibanding dengan pasien dengan
gizi baik), menambah biaya rumah sakit, dan secara umum meninggikan angka
morbiditas dan mortalitas pasien. Kaysen (2006) mengemukakan bahwa adanya
inflamasi kronik mempunyai peranan dalam patogenesis malnutrisi dan penyakit
vascular. Penyebab hipoalbumin pada pasien ini bisa disebabkan beberapa
kemungkinan, seperti imobilisasi pada usia lanjut yang menyebabkan peningkatan
kadar kortisol sehingga sintesis protein akan lebih rendah, kondisi inflamasi pada
ginjal yang menganggu fungsi filtrasi, sehingga terjadi proteinuria, ditambah
dengan keadaan intake yang sulit. Ballmer (2001) mengemukakan bahwa adanya
Inflamasi sistemik dapat menurunkan konsentrasi albumin dengan mengurangi
sintesis protein dan meningkatkan status katabolisme. Pasien mengalami
hipoalbumin berulang walaupun sudah diterapi dengan diet tinggi protein dan
pemberian transfusi albumin. Kondisi hipoalbumin ini merupakan salah satu
komplikasi dari adanya ulkus dekubitus pada pasien. Tatalaksana hipoalbumin
adalah dengan manajemen nutrisi dengan pemberian protein 1,2-1,5 gr/kgBB/hari
dan dapat ditingkatkan menjadi 2 gr/kgBB/hari.
Pasien mengalami kondisi malnutrisi dimana indeks masa tubuh kurang
dari 18,5 kg/m2. Penyebab malnutrisi pada pasien ini antara lain asupan yang
tidak adekuat, kondisi gigi geligi yang buruk, adanya penyakit neurodegeneratif,
kondisi imobilisasi dan ketergantungan total. Malnutrisi energi dan protein pada
25
lansia berhubungan dengan gangguan fungsi muskuloskeletal, penurunan massa
tulang, disfungsi imunitas, anemia, penurunan fungsi kognitif, penyembuhan luka
yang buruk, dan pada akhirnya meningkatkan angka kesakitan dan kematian.
Pemberian nutrisi pada pasien harus memperhatikan risiko refeeding
syndrome, yakni suatu kondisi berpindahnya cairan dan elektrolit yang terjadi
pada saat pemberian asupan karbohidrat berlebihan setelah periode kelaparan
yang cukup berat. Beberapa agambaran klinis yang terjadi antara lain gagal
jantung kongestif, aritmia, anoreksia, mual, konstipasi, ileus, ataksia, paralisis,
parestesia, anemia hemolitik, trombositopenia, bahkan koma. Sindrom ini dapat
dicegah dengan mengenali faktor risiko pasien, pengawasan yang ketat, serta
pemberian suplemen elektrolit. Menurut kriteria NICE pasien ini berisiko tinggi
untuk mengalami RS karena memenuhi satu atau lebih kriteria mayor yaitu IMT <
16 kg/m2, penurunan berat badan > 20% dalam 3-6 bulan terakhir dan sedikit atau
sama sekali tidak ada asupan selama > 10 hari. Pada pasien malnutrisi, diet tinggi
kalori (30-35 kkal/kg/hari), tinggi protein (1,25-1,5 g/kg/hari) dan hidrasi cukup
dapat membantu penyembuhan luka dengan lama rawatan lebih pendek dan
komplikasi lebih sedikit. Suplementasi zink dan vitamin C dapat dipertimbangkan
bila terdapat bukti defisiensi. Rekomendasi dari Konsensus Asuhan Gizi pada
Lansia dan Pasien Geriatri (2017) pada pasien dengan risiko tinggi mengalami
RS, pemberian nutrisi dimulai dengan 10-15 kkal/kgBB/hari (H1-3) dilanjutkan
dengan 15-25 kkal/kgBB/hari (H4-5), 30 kkal/kgBB/hari (H6) dan diberikan
kebutuhan penuh pada hari ke 7.
Anemia pada pasien terkait dengan infeksi dan inflamasi yang terjadi pada
pasien. Menurut Rohrig (2016) anemia terjadi pada 40% populasi > 65 tahun.
Penyebab anemia pada usia lanjut dapat dibedakan kepada 3 subtipe yaitu anemia
dengan defisiensi nutrien (besi, folat atau vitamin B12), anemia tanpa defisiensi
nutrien (eritropoietin) dan anemia karena inflamasi kronis. Pada pasien usia lanjut
62.1% kasus adalah anemia karena penyakit/inflamasi kronis. Kondisi anemia pada
pasien ini diterapi dengan pemberian transfusi darah.
Immobilisasi lama pada pasien menyebabkan terjadinya kontraktur.
Prevalensi kontraktur pada fasilitas perawatan adalah sebesar 55% dan kehadiran
kontraktur dapat menjadi penanda kualitas perawatan bagi pasien geriatri. Efek
imobilisasi pada pasien ini, seperti kontraktur dan atrofi otot sudah mulai terlihat.
26
Edukasi mengenai perubahan posisi (weight shifting) pasien setiap 2-3 jam,
perlunya latih lingkup gerak sendi pasif 2x/hari terutama sendi-sendi besar, serta
Isometric Contraction Exercisedirasakan penting dilakukan secara reguler dengan
dukungan penuh keluarga.
Penatalaksaan paripurna harus diberikan pada pasien ini karena pasien
menderita multimorbiditas, dengan cara mengatasi penyakit dasar, penyakit
penyerta serta sindroma geriatrik yang ada. Edukasi pada keluarga sangat penting
terutama mengenai asupan nutrisi, kebersihan tubuh dan lingkungan, oral hygiene,
serta dukungan moral dan afeksi dari keluarga.
Pengelolan pasien secara bersama dalam tim medis interdisipliner dengan
partisipasi keluarga merupakan salah satu pendekatan pelayanan geriatri yang
paripurna. Pendidikan dan informasi kepada keluarga mereka tentang imobilisasi
lama, latihan gerak sendi, serta pemenuhan nutrisi merupakan hal yang penting
dalam perawatan pasien selanjutnya. Tatalaksana pada pasien ini mencakup
melakukan tinjauan geriatri lengkap, merumuskan tujuan fungsional dan mengatur
rencana terapi termasuk rencana waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan
terapeutik; mengevaluasi semua asupan obat, mengurangi dosis obat yang dapat
menyebabkan kelemahan atau keletihan atau jika memungkinkan dihentikan;
Memberikan nutrisi yang memadai dengan mempertimbangkan asupan cairan dan
serat, dan suplementasi vitamin dan mineral untuk pasien dengan masalah
hipokinesia; Melakukan mobilisasi segera dan progresif untuk mencegah
imobilisasi lebih lanjut. Program pelatihan dan remobilisasi harus dimulai selama
kondisi medis yang stabil, termasuk pelatihan mobilitas di samping tempat tidur
dan latihan rentang gerak sendi pasif; Mengelola faktor risiko imobilisasi dan
komplikasi akibat imobilisasi; Mengenali dan mengelola infeksi, malnutrisi,
anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi dalam
kasus imobilisasi serta penyakit penyerta lainnya / komorbiditas.
27
Secara garis besar dapat kita simpulkan kerangka masalah pada pasien ini
sesuai gambar dibawah ini.
Electrolyte
imbalance et Gangguan
hipoalbuminemia penglihatan
Diabetes
Depresi
Sindrom delirium akut
Stroke
Malnutrisi
Imobilisasi
Anemia
28
DAFTAR PUSTAKA
29