Anda di halaman 1dari 23

KONSEP KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT TERMINAL/ KRONIS

DALAM KONTEKS KELUARGA

DISUSUN OLEH :

1. ALDY WITANA : 113063C117001

2. ALPIN PIRDAUS : 113063C117002

3. AVERIANI BENEDITA ODILIA : 113063C117003

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN

BANJARMASIN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kronis didefinisikan sebagai suatu keadaan sakit, atau ketidakmampuan baik itu
psikis, kognitif maupun emosi, berlangsung minimal 6 bulan yangmemerlukan intervensi
medis secara terus menerus untuk merawat episode akut atau masalah kesehatan yang timbul
berulang (Wilkes et al, 2008). Lebih dari 10 % populasi anak-anak di dunia menderita
penyakit kronis dan 1-2% diantaranya dalam kondisi yang sangat serius (Eiser, 2008).
Penyakit terminal adalah penyakit yang kemungkinan sembuh/hidupnya tidak tinggi, oleh
karena itu kita sebagai perawat bertugas untuk meningkatkan harapan hidup serta
memberikan kenyamanan bagi anak. Anak yang didiagnosis menderita penyakit terminal
tentunya akan membatasi aktivitas yang lazimnya dilakukan oleh anak seusianya. Waktu
bermain dan belajar mereka berkurang drastis karena harus menjalani pengobatan. Bagi anak
yang memiliki penyakit terminal kita sebagai perawat harus melakukan pendekatan pada
keluarga dengan kemungkinan hidup yang rendah maka kita akan menjelaskan pada keluarga
dan anak tersebut mendampingi sang anak dan keluarga dalam palliative care.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penyakit terminal dan kronis?
2. Apa saja manifestasi klinis dari penyakit terminal pada anak?
3. Apa respon klien terhadap penyakit terminal pada anak?
4. Apa kebutuhan anak dengan kondisi terminal pada anak?
5. Apa saja pemahaman dan reaksi anak terhadap kematian?
6. Apa Penatalaksanaan penyakit terminal pada anak?
7. Jelaskan apa itu kehilangan dan berduka!
8. Apa saja pilihlah terapi untuk anak yang menderita penyakit terminal?
9. Jelaskan peran perawat dalam perawatan anak menjelang ajal!
10. Jelaskan Asuhan Keperawatan berduka!

C. Tujuan
1. Mengerti penyakit terminal dan kronis.
2. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit terminal pada anak.
3. Mengerti respon klien terhadap penyakit terminal pada anak.
4. Mengerti kebutuhan anak dengan kondisi terminal pada anak.
5. Mengerti pemahaman dan reaksi anak terhadap kematian.
6. Mengerti Penatalaksanaan penyakit terminal pada anak.
7. Mengetahui apa itu kehilangan dan berduka.
8. Mengetahui pilihan terapi untuk anak yang menderita penyakit terminal.
9. Mengetahui peran perawat dalam perawatan anak menjelang ajal.
10. Mengetahui Asuhan Keperawatan berduka .

D. Manfaat

1. Melatih Untuk Menggabungkan Hasil Bacaan Dari Berbagai Sumber


2. Meningkatkan Pengorganisasian Fakta /Data Secara Jelas Dan Sistematis
3. Memperoleh Kepuasan Intelektual
4. Sebagai Pemenuhan Tugas Dari Dosen
5. Menambah Pengetahuan Dan Wawasan Terkait Paliatif Care Secara Umum Dan
Penyakit Terminal Pada Anak Secara Khusus/Sfesifik
BAB II

TEORI & ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengertian

Kondisi terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit


yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses
kematian. Respon pasien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondsi fisik,
psikologis, sosial yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga
berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukkan oleh pasien
terminal. Perawat harus memahami apa yang dialami pasien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi pasien sehingga pada saat-
saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhrinya dapat meninggal dengan tenang dan
damia.

Penyakit kronis didefinisikan sebagai suatu keadaan sakit, atau ketidakmampuan baik
itu psikis, kognitif maupun emosi, berlangsung minimal 6 bulan yangmemerlukan intervensi
medis secara terus menerus untuk merawat episode akut atau masalah kesehatan yang timbul
berulang (Wilkes et al, 2008). Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau
masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan
penatalaksnaan jangka panjang.sebagian dari penatalaksanaan ini mencakup belajar untuk
hidup dengan gejala kecacatan,sementara juga menghadapi segala bentuk perubahan identitas
yang diakibatkan oleh penyakit.Sebagian lagi mencakup menjalani perubahan gaya hidup dan
regimen yang dirancang untuk tetap menjaga agar tanda dan gejala terkontrol dan untuk dan
untuk mencegah komplikasi.
(Brunner dan Suddarth, 2013)

B. Manifestasi Klinis
Kehilangan sensasi dan pergerakan pada ekstremitas bagian bawah, berlanjut kearah
tubuh bagian atas sensasi panas, walaupun tubuh terasa dingin kehilangan rasa :

1. Sensasi taktil menurun


2. Sensitive terhadap cahaya
3. Pendengaran adalah indra terakhir yang gagal berfungsi kebingungan, kehilangan
kesadaran, artikulasi tidak jelas.
4. Kelemahan otot
5. Kehilangan control defekasi dan berkemih
6. Selera makan/ rasa haus berkurang
7. Kesulitan menelan

Perubahan dalam pola pernafasan :

1. Pernafasan Cheyne-stokes (kedalaman pernafasan bertambah kuat dan bertambah


lemah dengan periode apnea yang teratur).
2. “Dengkuran menjelang ajal” (suara dada berisik akibat akumulasi sekresi pada paru-
paru dan faring)
3. Nadi lemah dan lambat : tekanan darah turun
( Donna dkk, 2009 )

C. Respon Klien Terhadap Penyakit Terminal


1. Kehilangan kesehatan
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa klien merasa takut,
cemas dan pandangan tidak realistic, aktivitas terbatas.

2. Kehilangan kemandirian
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat ditunjukan melalui
berbagai perilaku, bersifat kekanak-kanakan, ketergantungan
3. Kehilangan situasi
Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari bersama keluarga
kelompoknya
4. Kehilangan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi tubuh seperti panas,
nyeri, dll
5. Kehilangan fungsi fisik
6. Kehilangan fungsi mental Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi
mental seperti klien mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat berkonsentrasi
dan berpikir efisien sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional--- Pengkajian
Pertukem.
7. Kehilangan konsep diri
Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya berubah mencakup bentuk dan
fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional (bodi image) peran serta
identitasnya. Hal ini dapat akan mempengaruhi idealism diri dan harga diri rendah 8.
Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga.
(Donna dkk, 2009)
D. Kebutuhan Anak dengan Kondisi Terminal
1. Komunikasi, dalam hal ini anak sangat perlu di ajak untuk berkomunikasi atau
berbicara dengan yang lain terutama oleh kedua orang tua.
2. Memberitahu kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi penyakit
tersebut.
3. Berdiskusi dengan siblings (saudara kandung) agar saudara kandung mau ikut
berpartisipasi dalam perawatan atau untuk merawat
4. Social support meningkatkan koping
( Dorothee, 1998)
E. Pemahaman dan reaksi anak terhadap kematian
1. Anak usia-sekolah

Tetap menghubungkan kelakuan buruk atau pemikiran buruk dengan penyebab


kematian dan merasakan rasa bersalah yang intens dan bertanggung jawab terhadap
peristiwa. Karena kemampuan kognitif mereka yang lebih besar, mereka berespons
dengan baik terhadap penjelasan logis dan memahami makna kata-kata kiasan
mempunyai pemahamn yang mendalam mengenai kematian dalam pemikiran konkret.
Ketakutan terutama pada mutilasi dan hukuman yang mereka hubungkan dengan
kematian, menjelmakan kematian sebagai setan, monster, atau siluman, dapat
mempunyai kejelasan naturalistic/psikologis mengenai kematian. Pada usia 9 atau 10
tahun, anak mempunyai konsep orang dewasa tentang kematian, menyadari bahwa
kematian tidak terelakan, universal, dan tidak dapat kembali.

Oleh karena kemampuan untuk memahami bertambah, mereka dapat merasa


lebih ketakutan, misalnya :

a. Alasan penyakit kemampuan penularan penyakit kepada mereka atau bagian orang
lain.
b. Akibat penyakit proses menjelang ajal dan kematian itu sendiri
c. Ketakutan mereka terhadap sesuatu yang tidak mereka ketahui lebih besar
daripada ketakutan terhadap sesuatu yang mereka ketahui.
d. Realisasi kematian yang akan datang adalah ancaman yang hebat pada rasa
keamanan dan kekuatan ego mereka mungkin menunjukan ketakutan melalui
keengganan bekerjasama secara verbal daripada serangan fisik yang actual.
e. Mungkin ingin tahu tentang apa yang terjadi pada tubuh.

Bantu orang tua mengatasi perasaan mereka, memungkinkan mereka memiliki


cadangan emosi untuk memenuhi kebutuhan anak mereka. Dorong orang tua untuk
tetap dekat dengan anak sebisa mungkin, juga sensitive terhadap kebutuhan orang tua
oleh karena ketakutan anak terhadap sesuatu yang tidak mereka ketahui, persiapan
antisipatif sangat penting karena tugas perkembangan terhadap tahap ini adalah
industry, intervensi yang membantu anak akan mempertahankan control tubuh mereka
dan peningkatan pemahaman memungkinkan mereka dan peningkatan pemahaman
memungkinkan mereka mencapai kemandirian, nilai diri, dan harga diri serta
menghindari rasa inferioritas. Dorong anak untuk bicara tentang perasaan mereka dan
berikan jalan keluar yang penuh inisiatif. Dorong orang tua untuk menjawab jujur
pertanyaan tentang menjelang ajal daripada menghindari atau membuat eufemisme,
dorong orang tua untuk membagi momen kesedihan dengan anak mereka, berikan
persiapan untuk pemakaman pasca kematian.

2. Usia remaja
Mempunyai pemahaman matang tentang kematian, masih sangat banyak
dipengaruhi oleh sisa pemikiran magis dan merupakan subjek rasa bersalah dan rasa
malu cenderung melihat penyimpangan dari perilaku yang dapat diterima sebagai
alasan untuk penyakit mereka.

1. Transisi yang luas dari masa kanak-kanak ke masa dewasa


2. Mempunyai paling banyak kesulitan dalam mengatasi kematian
3. Kurang dapat menerima penghentian kehidupan, terutama jika ini terjadi pada
dirinya
4. Perhatian pada masa kini jauh lebih banyak dibandingkan perhatian pada masa lalu
atau masa depan
5. Dapat menganggap diri mereka diasingkan dari teman sebaya, dan tidak mampu
berkomunikasi dengan orang tua guna mendapat dukungan emosional, merasa
sendirian dalam perjuangan mereka
6. Orientasi masa remaja pada masa ini mendorong mereka untuk khawatir tentang
perubahan fisik bahkan lebih khawatir dibandingkan prognosis penyakit mereka
7. Oleh karena pandangan idealistic mereka pada dunia, mereka dapat mengkritik
upacara pemakaman sebagai perbuatan barbar, mencari uang, dan tidak perlu
8. Bantu orang tua mengatasi perasaan mereka, memungkinkan mereka mempunyai
cadangan emosi untuk memenuhi kebutuhan anak mereka
9. Hindari mengadakan persekutuan dengan orang tua dan anak
10. Susun izin untuk masuk kerumah sakit guna memungkinkan control diri dan
kemandirian yang maksimum
11. Jawab pertanyaan remaja dengan jujur, perlakukan mereka sebagai individu yang
matang dan hormati kebutuhan mereka untuk privasi, menyendiri, dan
mengungkapkan emosi personal
12. Bantu orang tua memahami reaksi anak mereka terhadap keadaan menjelang
ajal/kematian, terutama kekhawatiran pada krisis saat ini seperti kehilangan rambut
yang mungkin jauh lebih besar dibandingkan kekhawatiran di masa depan,
termasuk kemungkinan kematian.

F. Penatalaksanaan Penyakit Terminal pada Anak


Keberadaan nyeri tidak dapat diredakan pada anak yang menderita penyakit
terminal dapat mempunyai efek yang sangat merusak kualitas kehidupan yang dialami
oleh anak dan keluarga. Orang tua telah melaporkan bahwa melihat anak mereka dalam
kesakitan adalah pengalaman menyakitkan dan menyebabkan oerasaab tidak berdaya dan
merasa bahwa mereka harus ada dan waspada untuk memperoleh obat-obatan nyeri yang
di perlukan. (Ferrell, 1995) Nyeri persisten juga mempunyai dampak pada keluarga
sebagai satu kesatuan. Perawat dapat mengurangi ketakutan akan nyeri dan penderitaan
dengan memberikan intervensi untuk menangangi nyeri dan gejala yang berhubungan
dengan proses terminal pada anak.
Pengendalian nyeri untuk anak pada tahap terminal penyakit atau cedera harus
diberikan prioritas tertinggi. Walaupun uoaya terus-menerus dilakukan untuk memberi
pendidikan pada dokter dan perawat tentang strategi penatalaksanaan nyeri pada anak,
studi melaporkan bahwa anak-anak masih kurang mendapatkan medikasi dengan tepat
untuk nyeri mereka (Wolfe dkk,2000). Hampir semua anak mengalami nyeri pada fase
terminal penyakit mereka. Standar terbaru untuk menangani nyeri anak berdasakan pada
jenjang analgesik (WHO 1996). Pendekatan ini meningkatkan hubungan antara
intervensi nyeri dengan tingkat nyeri yang di laporkan anak. Nyeri anak harus sering
dikaji dan jika perlu medikasinya harus disesuaikan. Medikasi nyeri harus diberikan pada
jadwal yang teratur, dan dosis ekstra untuk “menghancurkan nyeri” harus tersedia untuk
mempertahankan kenyamanan. Obat-obatan opioid seperti mofin harus diberikan untuk
nyeri hebat dan dosisnya harus ditingkatkan jika perlu mempertahankan pereda nyeri
yang optimum. Teknik seperti dikstraksi, relaksasi, dan imajinasi terbimbing ( Lambert,
1999) harus dikombinasikan dengan terapi obat untuk memberi anak dan keluarga dan
keluarga strategi pengontrolan nyeri.
Selain nyeri, anak mengalami berbagai gejala tambahan selama perjalanan
terminal sebagai hasil dari proses penyakit mereka atau sebagai efek samping obat-
obatan yang digunakan meliputi kelelahan, mual dan muntah, konstipasi, anoreksia,
dispnea, kongesti, pusing, ansietas, depresi, gelisah, agitasi, dan kebingungan. (Wolfe
dkk, 2000)
Setiap gejala ini harus ditangani secara cepat dengan medikasi atau terpai yang
sesuai, juga dengan intervensi seperti reposisi, relaksasi, masase, dan tindakan lain untuk
mempertahankan kenyaman dan kualitas hidup anak.
Kadang kala, anak memerlukan dosis opioid yang sangat tinggi untuk
mengontrol nyeri. Terdapat beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Anak yang
menjalani penatalaksanaan nyeri dengan opioid jangka panjang dapat menjadi toleransi
terhadapt obat, yang berarti perlu untuk memberikan banyak obat guna mempertahankan
tingkat pereda nyeri yang sama. Toleransi seharusnya tidak dikascaikan dengan
adiksi/ketagihan, yaitu ketergantungan psikologis pada efek samping opioid. Ketagihan
bukanlah suatu faktor dalam menangani nyeri termunal pada anak. Alasan jelas lain
untuk kebutuhan peningkatan dosis opioid meliputi perkembangan penyakit atau
pengalaman psikologis lain tentang nyeri. Penting dipahami bahwa tidak ada dosis
maksimum yang dapat diberikan untuk mengontrol nyeri. Namun, para perawat sering
mengungkapkan kekhawtirannya bahwa memberikan dosis opioid lebih tinggi dari biasa
diterima akan mempercepat kematian anak. Dalam kasus anak yang menderita penyakit
terminal dan dalam nyeri hebat, menggunakan dosis besar opioid dan sedatif untuk
mengatasi nyeri dibenarkan jika tidak tersedia pengobatan lain yang akan meredakan
nyeri tetapi mengurangi resiko kematian. ( Fleischman, 1998)
( Donna dkk, 2009 )
G. Kehilangan dan Berduka
1. Pengertian
a. Kehilangan
Kehilanagan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika terpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan.
b. Berduka
1) Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan.
2) Berduka diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang
dan didasarkan pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual
yang dianutnya.
3) Berkabung adalah periode penerimaan terhadap kehilangan dan berduka.
4) Berkabung terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh
kebudayaan atau kebiasaan .
2. Bentuk-bentuk
a. Kehilangan
1) Kehilangan yang nyata (actual loss)
Kehilangan orang atau objek yang tidak lagi dirasakan, dilihat, diraba.
Contoh : Kehilangan anggota tubuh, anak, peran, hubungan.
2) Kehilangan yang dirasakan (Perceived loss)
kehilangan yang sifatnya unuk menurut orang yang mengalami kedukaan.
Contoh : Kehilangan harga diri, percaya diri

3. Jenis
a. Kehilangan
1) Kehilangan objek eksternal
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti
4) Kehilangan suatu aspek diri
5) Kehilangan hidup
b. Berduka
1) Berduka normal : Perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
2) Berduka antisipatif :Proses melepaskan diri yang muncul sebelum
kehilangan sesungguhnya terjadi terjadi.
3) Berduka yang rumit : Seseorang sulit maju ke tahap berikutnya,
berkabung tidak kunjung berakhir.
4) Berduka tertutup : Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakui secara terbuka.
4. Dampak Kehilangan
a. Anak – anak
Kehilangan dapat mengancam untuk berkembang  regresi  takut ditinggal
dan sepi.
b. Remaja atau dewasa muda
Kehilangan dapat menyebabkan desintegrasi dalam keluarga.
c. Dewasa tua
Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup  pukulan berat dan
menghilangkan semangat.

5. Respon Berduka
Kubler- Ross (dalam Taylor, 1999) merumuskan lima tahap ketika seseorang
dihadapkan pada kematian. Kelima tahap tersebut antara lain:
a. Denial (penyangkalan)
Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi
atau yang sedang terjadi. Dan tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi dan
dampaknya. Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri. Dengan
berjalannya waktu, sehingga tidak refensif secara radikal.
Penyangkalan merupakan reaksi pertama ketika seseorang didiagnosis
menderita terminal illness. Sebagian besar orang akan merasa shock, terkejut dan
merasa bahwa ini merupakan kesalahan. Penyangkalan adalah awal penyesuaian
diri terhadap kehidupan yang diwarnai oleh penyakit dan hal tersebut merupakan
hal yang normal dan berarti.
b. Anger (Marah)
Fase marah terjadi pada saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa
kemarahan ini sering sulit dipahami oleh keluarga atau orang terdekat oleh karena
dapat terpicu oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan. Rasa
marah ini sering terjadi karena rasa tidak berdaya, bisa terjadi kapan saja dan
kepada siapa saja tetapi umumnya terarah kepada orang-orang yang secara
emosional punya kedekatan hubungan.
Pasien yang menderita terminal illness akan mempertanyakan keadaan dirinya,
mengapa ia yang menderita penyakit dan akan meninggal. Pasien yang marah akan
melampiaskan kebenciannya pada orang-orang yang sehat seperti teman, anggota
keluarga, maupun staf rumah sakit. Pasien yang tidak dapat mengekspresikan
kemarahannya misalnya melalui teriakan akan menyimpan sakit hati. Pasien yang
sakit hati menunjukkan kebenciannya melalui candaan tentang kematian,
mentertawakan penampilan atau keadaannya, atau berusaha melakukan hal yang
menyenangkan yang belum sempat dilakukannya sebelum ia meninggal.
Kemarahan merupakan salah satu respon yang paling sulit dihadapi keluarga
dan temannya. Keluarga dapat bekerja sama dengan terapis untuk mengerti bahwa
pasien sebenarnya tidak marah kepada mereka tapi pada nasibnya.
c. Bargaining (menawar)
Klien mencoba untuk melakukan tawar menawar dengan tuhan agar terhindar
dari kehilangan yang akan terjadi, ini bisa dilakukan dalam diam atau dinyatakan
secara terbuka. Secara psikologis tawar menawar dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan atau dosa masa lalu. Pada tahap ini pasien sudah meninggalkan
kemarahannya dalam berbagai strategi seperti menerapkan tingkah laku baik demi
kesehatan, atau melakukan amal, atau tingkah laku lain yang tidak biasa
dilakukannya merupakan tanda bahwa pasien sedang melakukan tawar-menawar
terhadap penyakitnya.
d. Depresi
Tahap keempat dalam model Kubler-Ross dilihat sebagai tahap di mana pasien
kehilangan kontrolnya. Pasien akan merasa jenuh, sesak nafas dan lelah. Mereka
akan merasa kesulitan untuk makan, perhatian, dan sulit untuk menyingkirkan rasa
sakit atau ketidaknyamanan. Rasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat
kehilangan (past loss & impending loss), ekspresi kesedihan ini verbal atau
nonverbal merupakan persiapan terhadap kehilangan atau perpisahan abadi dengan
apapun dan siapapun.
Tahap depresi ini dikatakan sebagai masa ‘anticipatory grief’, di mana pasien
akan menangisi kematiannya sendiri. Proses kesedihan ini terjadi dalam dua tahap,
yaitu ketika pasien berada dalam masa kehilangan aktivitas yang dinilainya
berharga, teman dan kemudian mulai mengantisipasi hilangnya aktivitas dan
hubungan di masa depan.
e. Penerimaan (acceptance)
Pada tahap ini pasien sudah terlalu lemah untuk merasa marah dan
memikirkan kematian. Beberapa pasien menggunakan waktunya untuk membuat
perisapan, memutuskan kepunyaannya, dan mengucapkan selamat tinggal pada
teman lama dan anggota keluarga.
Pada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima keadaannya yang
bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya, dapat menemukan
kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk menyiapkan dan memulai
perjalanan panjang.

H. Pilihlah Terapi Untuk Anak yang Menderita Penyakit Terminal


Berdasarkan pada hasil keputusan anak dan keluarga mengenai harapan perawatan
mereka, terdapat beberapa pilihan perawatan yang dapat dipilih keluarga.

1. Rumah sakit. Keluarga dapat memilih untuk tetap tinggal dirumah sakit untuk
mendapatkan perawatan perawatan jika penyakit atau kondisi anak tidak stabil dan
perawatan di rumah bukan suatu pilihan, atau keluarga tidak merasa nyaman dengan
pemberian perawtan dirumah. Jika keluarga memilih untuk tetap mendapat perawatan
terminal di rumah sakit, lingkungan sedapat mungkin harus dibuat seperti suasana
rumah. Dorong keluarga untuk membawa barang-barang kesayangan dari kamar anak
dirumah. Selain itu, harus terdapat rencana perawatan yang konsisten dan
terkoordinasi untuk kenyamanan anak dan keluarga.

2. Perawatan Di Rumah. Beberapa keluarga mungkin lebih memilih layanan dari


lembaga perawatan di rumah. umumnya, layanan ini terdiri atas kunjungan
keperawatan yang periodic untuk memberikan terapi atau menyediakan medikasi,
perlengkapan, atau persediaan. Perawatan anak berlanjut untuk ditangani oleh dokter
utama. Perawatan dirumah sering kali merupakan pilihan yang dipilih oleh dokter dan
keluarga karena pandangan tradisional bahwa anak harus dianggap memiliki harapan
hidup kurang dari 6 bulan untuk dirujuk ke hospice care. Untung sekali, beberapa
organisasi hospice memperluas layanan mereka untuk anak yang mengalami proses
penyakit yang membatasi kehidupan yang tidak mungkin disembukan, dibandingkan
berdasarkan kriteria prognosis penyakit yang terbatas selama 6 bulan.

3. Hospice care. Orang tua harus ditawarkan pilihan perawatan untuk anak mereka di
rumah selama fase akhir penyakit dengan bantuan organisasi hospice. Hospice adalah
organisasi perawatan kesehatan komunitas dalam merawat pasien yang menjelang
ajal dengan mengombinasikan filosofi hospice dengan prinsip-prinsip perawatan
paliatif. Filosofi hospice menganggap menjelang ajal sebagai proses alami dan
merawat pasien yang menjelang ajal juga termasuk menatalaksanakan kebutuhan
fisik, psikologis, social, dan spiritual pasien dan keluarga. Perawatan diberikan oleh
kelompok professional multidisplin dalam rumah pasien atau di fasilitas rawat inap
yang memberlakukan filosofi hospice. Hospice care untuk anak – anak diperkenakan
pada tahun 1970-an ( Martinson, 1993); dan sejumlah organisasi hospice komunitas
kini menerima anak – anak ke dalam perawatan mereka (Faulkner dan Armstrong-
Daily,1997). Kolaborasi antara tim pengobatan primer anak dan tim hospice care anak
adalah hal penting untuk keberhasilan hospice care. Keluarga dapat terus menemui
dokter pemberi perawatan primer yang mereka pilih.

Hospice Care berdasarkan pada sejumlah konsep penting yang secara bernakna
dibuat terpisah dari perawatan rumah sakit. Pertama, anggota keluarga adalah pemberi
perawatan utama dan didukung oleh tim professional dan staf sukarela. Kedua,
prioritas perawatan adalah kenyamanan. Kebutuhan fisik, psikologis, social, dan
spiritual anak dipertimbangkan. Pengendalian nyeri dan gejala adalah pertimbangan
utama dan tidak ada upaya luar biasa yang digunakan untuk penyembuhan atau
memperpanjang kehidupan. Ketiga, kebutuhan keluarga dipertimbangkan sepenting
kebutuhan pasien. Keempat, hospice memberi perhatian terhadap penyesuaian
keluarga pasca kematian dan perawatan dapat berlanjut untuk waktu setahun atau
lebih.

Tujuan hospice care untuk anak adalah agar dapat menjalani kehidupan
sepenuhnya tanpa rasa nyeri dengan memiliki pilihan dan martabat, dalam lingkungan
rumah mereka yang kekeluargaan, dan dengan keluarga mereka. Hospice care berada
di bawah program Medicaid negara bagian, seperti juga sebagian besar rencana
asuransi. Layanan menyediakan kunjungan keperawatan di rumah, juga kunjungan
dari pekerja social, rohaniwan, dan pada beberapa kasus, dokter, medikasi,
perlengkapan medis, dan peralatan medis yang diperlukan semua disediakan oleh
organisasi hospice pemberian perawatan.

I. Peran Perawat dalam Perawatan Anak Menjelang Ajal

Kematian pasien adalah salah satu aspek perawatan kritis atau keperawatan
onkologi yang paling membuat stress. Perawat mengalami reaksi terhadap penyakit fatal
yang serupa dengan respons anggota keluarga, meliputi pengingkaran, marah, depresi,
merasa bersalah, dan perasaan ambivalen.

Strategi yang dapat membantu perawat mempertahankan kemampuan bekerja


yang efektif dalam lingkingan ini terdiri dari mempertahakankan kesehatan umum yang
baik, mengembangkan minat yang berkembang baik, menggunakan teknik menjaga jarak
seperti mengambil waktu istirahat jika diperlukan, mengembangkan dan memakai sistem
pendukung profesional dan personal, melatih kemampuan untuk empati, berfokus pada
aspek posotof dari peran pemberian perawatan, dan pengamatan enpiris yang baik.
Menghadiri ritual kenangan bersama membantu perawat menyelesaikan duka cita (
Zappa dan Park, 1993 ). Hal yang sama, menghadiri upacara pemakaman dapat menjadi
tindakan suportif baik untuk keluarga maupun perawat dan sama sekali tidak mengurangi
perfesionalisme perawatan.

(Donna dkk, 2009)

Mendukung Keluarga yang Berduka Secara Umum

1. Temani keluarga; duduk dengan tenang jika mereka memilih tidak mau bicara
menangis dengan mereka jika diinginkan.
2. Terima reaksi berduka keluarga hindari pernyataan menghakimi ( mis, “anda
seharusnya sudah lebih baik sekarang”).
3. Hindari memberikan rasionalisasi untuk kematian anak ( mis, “ Anda harusnya senang
anak anda tidak lagi menderita”).
4. Hindari pelipur lara buatan ( mis, “ Saya tahu bagaimana perasaan anda, atau anda
masih cukup muda untuk memunyai bayi lain”).
5. Hadapi secara terbuka perasaan seperti merasa bersalah, marah, dan kehilangan harga
diri.
6. Berfokus pada perasaan dengan menggunakan kalimat berperasaan dalam pernyataan
( mis, “ Anda masih merasakan semua rasa sakit karena kehilangan anak”).
7. Rujuk keluarga ke kelompok swabantu atau bantuan professional jika dibbutuhkan.

Pada Waktu Kematian

1. Yakinkan kembali pada keluarga bahwa semua yang mungkin bisa digunakan untuk
menyelamatkan hidup anak telah dilakukan, jika mereka menginginkan intervensi
penyelamatan jiwa.
2. Kerjakan semua yang mumgkin untuk memastikan kenyamanan anak, terutama
merdekan nyeri.
3. Berikan kesempatan pada anak dan keluarga untuk mengingat kembali pengalaman
atau memori istimewa dalam kehidupan mereka.

4. Ungkapkan perasaan pribadi tentang kehilangan dan frustasi (mis, “Kami akan sangat
merindukannya”, “Kami telah mencoba segalanya; kami merasa sangat menyesal
tidak dapat menyelamatkannya”).
5. Sediakan informasi yang keluarga butuhkan dan berkata jujur hormati kebutuhan
emosional anggota keluarga, misalnya, sibling yang memerlukan istirahat sejenak dari
anak yang meninggal.
6. Lakukan setiap upaya untuk mengatur anggota keluarga, terutama orang tua, untuk
bersama anak pada saat kematian, jika mereka ingin hadir.
7. Izinkan keluarga untuk tinggal bersama anak yang meninggal selama yang mereka
inginkan dan untuk mengguncang, memeluk, atau memandikan anak.
8. Berikan bantuan praktis jika mungkin, seperti mengumpulkan barang-barang milik.
9. Atur dukungan spiritual, berdasarkan keyakinan agama keluarga; berdoa bersama
keluarga jika tidak ada orang lain yang dapat bersama mereka.

Pasca kematian

1. Hadiri pemakaman atau lakukan kunjungan jika terdapat kedekatan khusus dengan
keluarga.
2. Mulai dan pertahankan kontak (mis, mengirim kartu, menelpon, mengundang mereka
untuk kembali ke unit, melakukan kunjungan rumah).
3. Menyebutkan anak yang telah meninggal dengan nama membahas memori bersama
dengan keluarga.
4. Cegah penggunaan obat atau alcohol sebagai metode pelarian dan berduka.
5. Dorong semua anggota keluarga untuk mengomunikasikan persaan mereka daripada
tetap diam untuk menghindari membuat sedih anggota keluarga yang lain.
6. Tegaskan bahwa berduka adalah proses yng menyakitkan yang sering memerlukan
waktu tahunan untuk menyelesaikannya.

( Donna dkk, 2009 )

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

2. Diagnosa Keperawatan

a. Diangnosis keperawatan : Duka cita adaptif yang berhubungan dengan


kemungkinan kehilangan anak.

Tujuan 1: Pasien (keluarga) akan mendapatkan dukungan yang adekuat.

Intervensi keperawatan/Rasional

1) Diskusikan proses berduka dengan keluarga sehingga keluarga dapat


memahami kernomalan perasaan dengan lebih baik, dengan cara
menjelaskan kepada keluarga tentang proses berduka dan dampak dari
berduka.
2) Berikan kesempatan pada keluarga untuk mengungkapkan emosi, dengan
cara mengajak keluarga berbicara sehingga keluarga mampu
mengungkapkan perasaannya.
3) Dorong orang tua tetap berada sedekat mungkin dengan anak, juga sensitive
pada kebutuhan orang tua dengan cara meminta keluarga tetap berada
didekat pasien atau menemani pasien.
4) Berikan informasi mengenai status anak dan reaksi yang telah diantisipasi
untuk mengurangi ansietas/ ketakutan, dengan cara memberitahu keluarga
tentang status pasien sehingga keluarga memahami dan mengetahui tentang
kondisi pasien.
5) Dorong keluarga untuk mempertahankan kebutuhan keperawatan kesehatan
sendiri dengan cara menjelaskan bahwa jika keluarga ( orang tua ) sakit
tidak ada yang dapat menemani sang anak.
Hasil yang diharapkan

1) Keluarga mengungkapkan ketakutan, kehwatiran, dan setiap keinginan khusus


untuk anak yang menderita penyakit terminal.
2) Keluarga menunjukan pemahaman tentang kebutuhan anak dan kebutuhn
mereka.
3) Anggota keluarga memanfaatkan layanan untuk diri mereka sendiri sesuai
keinginan.

Tujuan 2 : Pasien tidak akan memperlihatkan adanya kesepian.

Intervensi keperawatan/ Rasional

1) Luangkan waktu dengan anak saat ia tidak terlibat langsung dalam perawatan
dengan cara memberitahukan keluarga tentang pentingnya meluangkan
waktu untuk anak agar anak merasakan dukungan dari orang tua.
2) Beri penguatan pada anak bahwa apa yang terjadi bukanlah kesalahan anak
untuk mengurangi perasaan bersalah, dengan cara menjelaskan jika penyakit
yang diderita anak bukan karena kasalahannya.
3) Mainkan music favorit dan bacakan cerita untuk anak dengan cara
memutarkan lagu favorit anak saat ia merasakan nyeri yang hebat dan
membaca cerita kesukaan anak sebelum ia tidur.
4) Orientasikan anak dengan lingkungan sekitar jika ia sadar, dengan cara
mengajak sang anak untuk mengunjungi taman bermain jika tersedia di rumah
sakit.
Hasil yang diharapkan

Anak tidak memperlihatkan adanya bukti kesepian.

b. Diangnosis Keperawatan : Duka cita adaptif yang berhubungan dengan semakin


dekatnya kematian anak.

Tujuan 1 : Pasien (keluarga) akan mendapatkan dukungan yang adekuat.

Intervensi keperawatan/ rasional

1) Informasikan keluarga tentang apa yang mungkin terjadi pada saat kematian,
dengan cara menjelaskan pada keluarga apa saja yang mungkin terjadi saat
kematian sang anak dampak apa saja yang akan terjadi.
2) Berikan sikap perhatian untuk anak dan keluarga, dengan cara menanyakan
kepada keluarga maupun pasien apa kabarnya hari ini dan bagaimana
perasaannya.
3) Dorong setidaknya satu anggota keluarga untuk tetap bersama anak, dengan
cara menjelaskan kepada keluarga untuk tetap bersama anak agar anak
merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang tua.
4) Bantu dan dorong keluarga dengan tepat untuk mengungkapkan perasaan,
dengan cara mengajak keluarga berbicara dan membangun BHSP sehingga
keluarga mampu mengungkapkan perasaannya.
5) Dorong keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka sendiri dengan
cara menjelaskan bahwa jika keluarga ( orang tua ) sakit tidak ada yang dapat
menemani sang anak.
Hasil yang diharapkan

1) Anggota keluarga mendiskusikan perasaan mereka


2) Anggota keluarga terlibat secara aktif dalam perawatan anak.

Tujuan 2: Pasien (keluarga) akan mendapatkan dukungan yang adekuat untuk


perawatan di rumah.

Intervensi keperawatan/ rasional

1) Ajarkan perawatan fisik anak dengan cara mengajari keluarga pasien saat kita
melakukan tindakan dan meminta keluarga mengulangnya sekali lagi sehingga
kita mengetahui apakah keluarga mampu dan paham.
2) Beri keluarga cara-cara untuk menghubungi professional kesehatan setiap
waktu dengan cara memberitahukan nomor ambulance atau nomor gawat
darurat.
3) Pertahankan kontak harian dengan keluarga dengan cara menghubungi
keluarga dan menanyakan bagaimana keadaan anak dan keluarga baik melalui
panggilan telpon dan kunjungan rumah.
4) Yakinkan kembali keluarga bahwa mereka dapat memasukkan anak kembali
kerumah sakit setiap waktu, dengan cara selalu menyakinkan keluraga bahwa
tidak ada salahnya melakukan perawatan medis di rumah sakit.
5) Bantu membuat rencana dengan keluarga tentang apa yang dilakukan jika
meninggal dan apa saja diharapkan keluarga, dengan cara membantu
keluarga merecenakan apa yang terjadi jika anak meninggal.
Hasil yang diharapkan

1) Keluarga menunjukan kemampuan memberi perawatan untuk anak.


2) Keluarga melakukan kontak dengan kelompok pendukung yang tepat.

( Donna dkk, 2009)


BAB III
KASUS & PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang anak laki - laki berusia 10 tahun di rawat di Bangsal Mawar, sejak pagi tadi
anak laki – laki ini membanting barang, menangis, dan berteriak jika ada yang mencoba
mendekatinya bahkan membuang semua obat yang diberikan oleh orang tuanya. Setelah
perawat menanyakan pada orang tua mengapa anak laki –laki ini bersikap seperti itu
ternyata anak laki – laki ini sudah mengetahui bahwa dia sakit ( kanker stadium 4 ).

B. Pembahasan
Pasien memasuki tahap anger/marah. Kita sebagai perawat mengijinkan dan mendorong
pasien mengungkapkan rasa marah sacara verbal tanpa melawan kemarahannya.
1. Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien sebenarnya tidak ditujukan
kepada mereka.
2. Membiarkan pasien menangis, namun tidak membiarkan pasien berlarut-larut dalam
kesedihannya.
3. Mendorong pasien untuk membicarakan kemarahannya
Memberikan paliatife care pada pasien dan keluarga, seperti memberikan edukasi kepada
keluarga bahwa si anak tidak mempunyai waktu yang lama lagi untuk hidup, karena
memang stadium kanker yang dideritanya sudah mencapai stadium akhir. jadi stetelah
dilakukannya edukasi tersebut harapan kedepannya keluarga mampu untuk menerima
kehilangan sang anak dan tidak terlarut dalam kesedihannya.
Dan pada anak agar dapat menerima serta berduka antisipatif pada penyakit yang
dideritanya serta dapat meningkatkan kulaitas hidup anak tersebut.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian, Kondisi terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
penyakit/sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat
dengan proses kematian. Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau
masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang
membutuhkan penatalaksnaan jangka panjang
2. Karakteristik Penyakit Terminal yaitu antara lain, Penyakit tidak dapat
disembuhkan, Mengarah pada kematian, Diagnosa medis sudah jelas, Tidak ada
obat untuk menyembuhka, Prognosis jelek dan Bersifat progresif.
2. Karakteristiknya Penyakit Kronis antara lain, Permanen, Mengakibatkan
ketidakmampuan permanen, Menyebabkan kerumitan patofisiologi, Membutuhkan
training khusus untuk rehabilitasi dan Membutuhkan waktu lama untuk perawatan.
3. Jenis Kehilangan & berduka Kehilangan objek eksternal, Kehilangan lingkungan
yang dikenal, Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti, Kehilangan suatu
aspek diridan Kehilangan hidup Jenis berduka Berduka normal, Berduka antisipatif
,Berduka yang rumit, berkabung ,Berduka tertutup.

B. Saran
Diharapkan untuk tenaga kesehatan agar dapat meingkatkan lagi hubungan
saling percaya pada pasien dan keluarga agar terciptanya kepercayaan dari klien dan
keluarga untuk menyampaikan keluhan baik yang bersioat terbuka dan private kepada
tenaga kesehatan. Karena pada dasarnya efektifnya sebuah hubungan ( tenaga
kesehatan-klien) diaawali dari BHSP ( bina hubungan saling percaya ) serta, para
tenaga kesehatan agar lebih meningkatkan wawasan serta keilmuannya terhadap
prinsip” faliative care.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul.2016. Definisi Penyakit Kronis. Retrived 27 August


2019 from : https://www.scribd.com/doc/311967889/Definisi-Penyakit-Kronis

Arnold Dorothee,1998 , Spiritual Care and Palliative Care: Opportunities and


Challeges for Pastoral Care from WWW. Who.int/cancer/Palliative/definition/en/
retrived 27 oktober 2014.
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : EGC

Donna dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Jakarta : EGC

Permata sari. 2018. Perawatan pasien Terminal retrived 27 Agust 2019 from
https://www.kompasiana.com/resnapermatasari/54f94fb3a3331169018b4c65/perawatan
pasien-terminal

Anda mungkin juga menyukai