Anda di halaman 1dari 5

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Istilah karakter dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad ke
18.[1] Berikut ini adalah gambaran perkembangan pendidikan karakter dalam
kehidupan manusia.[1]
Perang Melawan Lupa[sunting | sunting sumber]
Aktivitas pendidikan sejak awal telah dijadikan sebagai cara bertindak
dari masyarakat.[1] Manusia mewariskan nilai yang menjadi bagian penting
dari budaya masyarakat dimana tempat mereka hidup dan mewariskan nilai
kepada generasi selanjutnya.[1] Pendidikan memiliki peran penting
karena pendidikan tidak hanya menentukan
keberlangsungan masyarakat namun juga menguatkan identitas individu
dalam masyarakat[1] Dalam prosesnya berjuang melawan lupa dan berusaha
membuat kenangan akan harta warisan kebudayaan merupakan awal
kegiatan pendidikan.[1]
Pendidikan Karakter Ala Romawi[sunting | sunting sumber]
Pendidikan karakter ala Romawi lebih menekankan pada pentingnya
aspek keluarga dalam hal pemberian nilai karakter.[1] Bentuk nyata dari
pembentukan karakter itu dimulai dengan memberikan nilai moral seperti
memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur kepada setiap generasi
penerus.[1] Unsur dasar pendidikan karakter ala Romawi ialah memberikan
nilai seperti mengutamakan kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai
dengan norma dalam masyarakat.[1]
Pendidikan Karakter di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Pendidikan karakter bukan hal baru
dalam tradisi pendidikan di Indonesia.[1] Beberapa pendidik Indonesia modern
yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat
pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan
identitas bangsa yang bertujuan
menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.[1]
Pendidikan Karakter dalam Islam[sunting | sunting sumber]
Perlu ada format baru pendidikan Islam untuk membentuk karakter
paripurna/kamil peserta didik. Dimana tolak ukur utamanya adalah nilai yang
bersumber dari nilai-nilai agama, dimana untuk menumbuhkan karakter yang
kuat pada peserta didik, maka model yang ideal adalah kepribdian Nabi
Muhammad Rasulullah SAW, kemudian diambil dari budaya lokal dan
dipadukan sebagai kurikulum berbasis karakter, dalam artian nilai-nilai yang
terwujud sebagai akhlakul karimah/mahmudah, itulah yang disepakati sebagai
karakter yang sudah mentradisi dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari
peserta didik.
Oleh karena itu, harus ada paradigma baru dalam konsep pendidikan kita,
yaitu paradigma yang bersifat holistik. Konsep pendidikan holistik
sesungguhnya dapat kita gali dari kekayaan warisan pendidikan Islam, yang
mana pendidikan harus dapat mendorong pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya; baik itu spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa
dan lain-lain. Dimana konsep pendidikan holistik Islami di sini adalah konsep
pendidikan yang unggul dan terdepan untuk memberdayakan potensi
manusia seutuhnya.Spirit pendidikan Islam sesungguhnya mendorong semua
aspek kehidupan manusia tersebut menuju ke arah yang lebih baik untuk
kemudian membentuk individu-individu yang tunduk kepada ajaran Allah
SWT.
Pendidikan Islam sesungguhnya bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh
lagi seluruh aspek kemampuan/potensi yang dimiliki oleh manusia(dalam hal
ini peserta didik), baik aspek kognitif, afektif maupun kognitif. Tujuan
pendidikan ternyata memiliki kolerasi dengan tiga konsep fundamental dalam
Islam, yaitu; Iman, Ihsan dan Islam. Pertama, Iman-Kognitif, artinya; Islam
mengajarkan setiap muslim agar memiliki pengetahuan untuk meyakini
sesuatu. Islam melarang umatnya mempercayai sesuatu tanpa pengetahuan
yang benar dan dari sumber yang dapat dipercaya. Islam mengajarkan bahwa
setiap aktivitas manusia sebagai perwujudan pengabdian kepada Allah SWT,
haruslah dilandasi dengan pengetahuan yang benar dan dari sumber yang
akurat. Oleh sebab itu pendidikan dalam Islam diarahkan untuk
mengembangkan daya nalar yang dituntun oleh nilai-nilai tauhid. Pengenalan
pertama dimulai dengan mengenal Allah SWT melalui nama dan sifat-Nya.
Daya nalar ini berguna bagi manusia untuk membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Daya nalar yang benar dan murni tidaklah
bertentangan dengan konsep al-Quran.
Kedua, komposisi Ihsan-afektif, dapat dipahami dengan melihat bahwa dalam
pengembangkan unsur Ihsan dalam pribadi muslim menggunakan daya
imajinasi yang tertuntun oleh nilai-nilai tauhid. Pribadi muslim dapat
merasakan kehadiran Allah SWT, melalui penghayatan yang diperolehnya
dari kerja intuisi di dalam dirinya. Sehingga, seluruh dorongan dan perasaan
yang ada didalam dirinya tertuntun oleh adab-adab yang dibolehkan dan
diatur dalam al-Quran. Sementara, pada nilai-nilai afektif yang dikembangkan
dari psikologi pendidikan Barat itu, baru sampai pada tatanan
kemanusiaannya saja. Sedangkan dimensi afektif dalam Islam, memiliki dua
garis, yaitu; horizontal dan vertikal. Garis horizontal menghubungkan manusia
dengan alam, sedangkan garis vertikal menghubungkan manusia dengan
Allah SWT.
Ketiga, Komposisi Islam-konatif. Islam dalam perspektif ini adalah aktivitas
dan implementasi seseorang yang mengacu pada nilai-nilai Islam. Sehingga
Islam disini dimaknai dengan sikap dan perbuatan atau prilaku-prilaku Islami.
Sementara, kalau makna konatif saja adalah aspek implementasi, atau
perbuatan seseorang yang dihasilkan berdasarkan serangkaian pengetahuan,
pemahaman dan penghayatannya terhadap ilmu pengetahuan yang
diperolehnya.Hal inilah yang sebenarnya telah terjadi pada lembaga-lembaga
pendidikan yang menggunakan paradigm Barat, dimana hanya mengenal dua
kutub/aspek saja dari kajian tentang manusia, yaitu; Akal dan Jasmaninya
saja dan tidak memasukkan kutub/aspek Ruhaniahnya. Maka, sebagai
hasilnya lahirlah orang-orang yang cerdas secara intelektual saja, akan tetapi
sayang seribu sayang…, amatlah minim dan miskin dari kutub/aspek
moralnya.Maka, hal ini pulalah yang terjadi pada realitas sosial produk dari
banyak lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia di zaman modern hingga
kontemporer sekarang ini.Sehingga, tidak heran lagi, kalau realitas sosial
masyarakat Indonesia kini dari tingkat akar rumput sampai kalangan
pejabatnya adalah seperti yang kita saksikan pada banyak media
pemberitaan yang hasilnya membuat kita miris, ngeri dan prihatin, karena
memang banyak hal-hal yang tidak sepantasnya terjadi… .
Haruslah diketahui bahwa, manusia sebagaiproduk lembaga pendidikan
seperti tersebut di atas sangatlah berbahaya, baik bagi dirinya sendiri, orang
lain maupun lingkungan alam sekitarnya.Sebab, manusia seperti ini, kapan
saja bisa menjadi ancaman dan mendatangkan malapetaka dalam berbagai
bentuknya bagi hidup dan kehidupan manusia di muka Bumi. Semoga Kita
Terhindar dari yang Sedemikian…, Aamiin YRA… .
Kelemahan Pendidikan Karakter di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Persoalan pendidikan karakter di Indonesia sejauh ini
menyangkut pendidikan moral dan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu
arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya,
dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang diringkas
kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang
dijalani.[2] Guru/dosen pun cenderung mengarahkan prinsip moral umum
secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan
mengajukan pengalaman empiriknya.[2] Sejauh ini dalam
proses pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada
Pembentukan karakter individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam
prosesnya pendidikan di Indonesia terlalu mengedepankan penilian
pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik
sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga kelas
satu.[2] Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi
pada moral dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada
dimensi pembentukan karakter individu contohnya Indonesia terkenal di
pentas dunia karena kisah yang buruk seperti korupsi dengan moralitas yang
lembek.[2]
Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter merupakan aspek yang penting bagi generasi
penerus.[1] Seorang individu tidak cukup hanya diberi bekal pembelajaran
dalam hal intelektual belaka tetapi juga harus diberi hal dalam segi moral dan
spiritualnya, seharusnya pendidikan karakter harus diberi seiring dengan
perkembangan intelektualnya yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini
khususnya dilembaga pendidikan.[3]</nowiki> Pendidikan karakter
di sekolah dapat dimulai dengan memberikan contoh yang dapat dijadikan
teladan bagi murid dengan diiringi pemberian pembelajaran seperti
keagamaan dan kewarganegaraan sehingga dapat membentuk individu yang
berjiwa sosial, berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur,
mencintai dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.[4]</nowiki>
Tujuan[sunting | sunting sumber]
Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk
menghidupkan spiritual yang ideal.[1] Foerster seorang ilmuan pernah
mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk
membentuk karakter karena karakter merupakan suatu evaluasi seorang
pribadi atau individu serta karakter pun dapat memberi kesatuan atas
kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi.[1] Pendidikan karakter pun
dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu
berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap
individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah
untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa
harus bertentangan dengan norma yang berlaku.[1] Pendidikan karakter pun
dijadikan sebagai wahana sosialisasi karakter yang patut dimiliki setiap
individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-
luasnya bagi lingkungan sekitar.[5] Pendidikan karakter bagi individu bertujuan
agar:[5]

 Mengetahui berbagai karakter baik manusia.


 Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter.
 Menunjukkan contoh perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.
 Memahami sisi baik menjalankan perilaku berkarakter.
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Doni Kusumah A.2007. Pendidikan Karakter.
Jakarta:Grasindo.3-5
2. ^ a b c d Komaruddin Hidayat.2008.Reinventing Indonesia. Jakarta:Mizan.190-
195
3. ^ Agus Rukiyanto.2009. Pendidikan Karakter. Yogyakarta:Kanisius.64-
67<nowiki>
4. ^ Nasar.2dikan Karakter. Jakarta:Grasindo.Kata Pengatar<nowiki>
5. ^ a b Euis Sunarti.2005.Menggali Kekuatan Cerita. Jakarta:Elek Media
Komputindo.3-8

Anda mungkin juga menyukai