Oleh:
Wilda Mutia Astari
H1AP13003
Pembimbing:
dr. Sabrina Yufica Sanny
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Amerika Serikat (AS) pada tahun
1981 hingga saat ini, penyakit ini selalu menarik perhatian dunia kedokteran
maupun masyarakat luas. Hal ini karena angka kematiannya tinggi dan jumlah
penderita yang meningkat dalam waktu singkat. Sejak itu pula penelitian dan
pengetahuan mengenai AIDS dan virus HIV berkembang dengan sangat pesat. Pada
saat awal epidemik infeksi HIV/AIDS, ditemukan pada kelompok masyarakat
tertentu, yaitu kelompok homoseksual. Namun saat ini infeksi HIV/AIDS
ditemukan pada semua kelompok masyarakat seperti penggunaan narkoba suntik,
pekerja seks komersial, dan heteroseksual, bahkan pada ibu rumah tangga.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
yang disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) yang dapat
mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada manusia. Masalah
HIV/AIDS merupakan masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara diseluruh dunia. Jumlah pasien HIV di Asia dan Pasifik adalah sebesar 4,8
juta. Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan China yaitu sebesar
13%. Jumlah kasus baru HIV di Indonesia pada tahun 2017 41.250.Tingginya kasus
infeksi HIV/AIDS di dunia tidak lepas dari tingkat penularan yaitu transmisi
melalui kontak seksual, transmisi melalui darah dan produk darah, transmisi secara
vertikal dari ibu ke bayi/anak, transmisi melalui cairan tubuh, transmisi melalui
petugas kesehatan, dan transmisi melalui narkoba/IDUs (Intravenous Drug Users).
Pasien AIDS, hampir 90% disertai dengan timbulnya kelainan pada kulit.
Manifestasi kulit yang timbul pada pasien AIDS disebabkan oleh infeksi virus HIV
itu sendiri, berkurangnya imunitas pasien, dan juga karena respons terhadap
pengobatan. Kelainan kulit yang timbul dapat menjadi suatu tanda awal dari
infeksi. Kegagalan imunitas berbasis seluler berhubungan erat dengan Acquired
Immune Defisiency Syndrome (AIDS), menyebabkan penderita berisiko
mendapatkan berbagai infeksi oportunisitik. Pengenalan dan penatalaksanaan
secara dini dari infeksi penyerta merupakan hal yang sangat penting berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan serta harapan hidup penderita AIDS.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.2 Epidemiologi Human Imunodeficiency Virus/Acquired Imunnodeficiency Syndrome
Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut
UNAIDS, salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan
bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai
dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun 2011
jumlah penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011,
UNAIDS memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak
2,5 juta. Jumlah orang yang meninggal karena alasan yang terkait AIDS pada tahun
2010 mencapai 1,8 juta, menurun dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang
mencapai puncaknya yaitu sebanyak 2,2 juta.
Gambar 2.2 Penderita HIV kasus baru dan kematian akibat AIDS di Dunia.
3
Gambar 2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS.
4
bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein
virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus
akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk
(virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada
mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai
jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan factor pertumbuhan sel
B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel
CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel
Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi
antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.
5
Pada awal infeksi, dalam beberapa hari dan minggu, sistem imun belum
terganggu. Sama seperti infeksi virus lainnya, akan terjadi peningkatan jumlah sel
sitotoksik (CD8+) dan antibodi. Pada masa ini penderita masih berada dalam kondisi
seronegatif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pada tahap lebih lanjut, semakin
banyak sel CD4+ yang rusak. Akibatnya fungsi sel-sel imun lainnya akan terganggu dan
menyebabkan penurunan imunitas yang progresif. Pertanda dari progresifitas penyakit
dapat dilihat dari gejala klinis dan penurun jumlah sel CD4+.
Pada tubuh pasien dengan HIV, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.
Gambar 2.5 Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus pada
infeksi HIV yang tidak diterapi.
6
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai
1200/ µl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah
kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya
sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara
perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi
tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/µl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari
200/µl mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan
infeksi oportunistik.
7
karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun atau lebih dari 40
tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik merupakan faktor penyebab
peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan progresifitas dan penurunan
sistem imun, penderita HIV lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita
mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan,
yang tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis
dengan penurunan berat badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik
dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang
dari dua tahun kemudian.
Tabel 2.1 Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS
Gejala Karekteristik
Mayor Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis
Ensefalopati HIV
Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multisegmental berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks kroniks progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
8
Tabel 2.2 Stadium Penyakit
9
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi
HIV. Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA,
mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi HIV
sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
yang lebih spesifik Western blot.
Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB
dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24,
p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).
Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui
EIA terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi:
a. Negatif: tidak ada bentukan pita
b. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif.
10
• Nonnucleoside Reverse Transcriptase Nevirapin (NVP) Efavirenz (EFV)
Inhibitor (NNRTI)
• Menghambat transkripsi RNA HIV menjadi
DNA.
• Protease Inhibitor (PI) Indinavir (IDV) Ritonavir (RTV,r)
• Menghambat protease HIV, yang mencegah Lopinavir (LPV) Nelvinafir (NFV)
pematangan virus HIV. Saquinavir (SQV)
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering
menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik pada penyakit HIV. Insidensi
stafilokokus primer termasuk selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel.
Biasanya untuk CD4+ <100/Ul. Pemberiaan terapi pada pasien ini adalah diberikan
antibiotik sistemik seperti dicloxacillin 250-500 mg, amoxicillin 500 mg. Sedangkan
untuk terapi topikal bisa diberikan mupirosin, asam fusidat.
1) Selulitis
Selulitis sering terjadi pada bagian tungkai, walaupun bisa terdapat pada
bagian tubuh lain. Daerah yang terkena menjadi eritema, terasa panas dan
bengkak, serta terdapat lepuhan-lepuhan pada daerah nekrosis. Kelainan kulit
berupa infiltrat yang difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut.
11
Gambar 2.6 Selulitis.
2) Impetigo
Impetigo merupakan infeksi superfisial yang mempunyai dua bentuk klinis,
yaitu krustosa dan bulosa. Lesi di tubuh bisa timbul di bagian manapun. Pada
impetigo krustosa disebabkan oleh Streptococcus B hemolyticus, lesi awal berupa
pustula kecil dan bila pecah akan terjadi eksudasi dan krusta. Pada impetigo
bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, timbul lepuhan-lepuhan besar dan
superfisial. Ketika lepuhan tersebut pecah, terjadi eksudasi dan terbentuk krusta,
dan stratum korneum pada bagian tepi lesi mengelupas kembali.
3) Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada
bagian superfisial folikel rambut dengan gambaran pustula kecil dengan dasar
kemerahan pada bagian tengah folikel.
12
Gambar 2.7 Gambaran Folikulitis pada pasien HIV.
13
b. Virus
Kebanyakan infeksi virus timbul karena perubahan infeksi subklinis menjadi klinis
oleh Human papillomavirus (HPV) dan Molluscum contangiosum virus (MCV).
Penyebab sering lainnya adalah reaktifasi virus pada masa laten seperti Herpes simplex
virus (HSV), Ebsteinn-Barr virus (EBV) dan Varicella zoster virus (VZV).
1) Infeksi Human Papillomavirus (HPV)
Banyak studi secara konsisten menunjukkan adanya peningkatan kejadian
HPV pada pasien HIV dan tidak terjadi penurunan jumlah kasus walaupun telah
mendapat terapi HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy). Gambaran klinis
adalah veruka atau kutil, yaitu neoplasma jinak pada epidermis. Veruka biasa
(common wart) mempunyai gambaran seperti kembang kol dan sering pada
tangan. Pada daerah punggung tangan dan wajah (plane wart) kutil ini kecil, rata
bagian atas, dan kemerahan sedangkan di telapak kaki kutil bergerombol (mosak).
Kutil kelamin (anogenital wart) atau dikenal dengan kondiloma akuminata dapat
timbul dalam vagina, uretra, serviks, vulva, penis, dan anus.
14
gambaran polimorfik. Reaktivasi VZV atau Herpes zoster lebih banyak
didapatkan pada pasien dengan hitung sel CD4+ <350 sel/μl. Ciri khas
penyakitnya dimulai dengan nyeri radikular diikuti dengan eritema sepanjang
dermatom. Gambaran klinis HZV pada pasien HIV meningkat sepanjang
dermatom kranialis.
Terapi untuk orang yang terinfeksi HIV dengan infeksi primer VZV harus
mencakup evaluasi untuk penyakit dalam. Jika bukti keterlibatan ini ada,
pengobatan dengan asiklovir intravena (10 mg/kg setiap 8 jam) harus di awali.
Manajemen Herpes zoster berdasarkan luasnya penyakit dan tingkat
immunocompromise. Individu dengan penyakit HIV awal dan lokal dengan
keterlibatan kulit dapat diobati dengan pemberian oral acyclovir, valacyclovir,
atau famciclovir untuk 7-10 hari.
15
hiperkeratosis, papula verukosa dan nodul, kadang-kadang diamati pada HIV
lanjutan. Pada penyakit HIV lebih lanjut, lesi biasanya kurang responsif untuk
terapi antiviral oral dan lebih sering kambuh.
Foscarnet dan cydofovir dapat diberikan secara intravena untuk infeksi yang
disebabkan oleh acyclovir-resistant HSV. Sidofovir gel telah efektif sebagai terapi
topikal infeksi acyclovir-resistant HSV. Imiquimod 5% krim juga merupakan
pengobatan topikal yang efektif untuk infeksi herpes kulit, termasuk yang
disebabkan oleh HSV acyclovir-resistant.
16
5) Infeksi Molluscum Contangiosum Virus (MCV)
Molluscum contangiosum virus (MCV) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus poks. Gambaran klinis berupa papula merah muda. Pada permukaannya
terdapat lekukan yang berisi massa berwarna putih. Lesi biasanya muncul pada
daerah yang mengalami trauma ringan dan infundibulum folikel rambut.
Gambaran klinis MCV pasien HIV/AIDS sangat berbeda dengan orang normal.
Lesi yang muncul lebih besar, menyebar, dan menyebabkan morbiditas. Kelainan
ini menurun secara signifikan pada pasien yang mendapat terapi HAART.
c. Jamur
Suatu infeksi jamur sangat umum terkait dengan infeksi HIV/AIDS, telah
dilaporkan terdapat hubungan dengan penyakit retroviral akut yang dapat menjadi ciri
utama infeksi HIV/AIDS, tetapi umumnya ditemukan sejak serokonversi fase
asimtomatik dan berhubungan dengan peningkatan risiko untuk perkembangan AIDS.
Oral candidiasis telah terbukti menjadi penanda yang signifikan, tergantung pada
jumlah CD4+ dalam perkembangan penyakit HIV.
Infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida merupakan infeksi yang paling umum,
yaitu jamur dimorfik yang biasanya ada dalam rongga mulut dalam keadaan
nonpatogenik pada indivudu sehat, tetapi di bawah kondisi yang menguntungkan jamur
Candida memiliki kemampuan untuk berubah menjadi bentuk hifa patogen (yang
menyebabkan penyakit).
Secara umum, infeksi jamur pada penderita HIV/AIDS meliputi infeksi superfisialis
(dermatofitosis, kandidiasis) dan sistemik (histoplasmosis dan cryptocococcis). Di
Indonesia kasus tersering adalah kandidiasis orofaring, histoplasmosis dan
cryptocococcis.
17
1) Kandidiasis
Kolonisasi kandida dari orofaring adalah umum pada orang yang terinfeksi
HIV, dan telah dilaporkan hingga 90% dari individu dengan penyakit yang ada.
Kandidiasis orofaringeal biasanya terbagi dalam empat klinis berikut : (1)
pseudomembran, (2) hiperplastik, (3) eritematosa (atrofi), dan (4) angular
cheilitis. Kandidiasis pseudomembran biasanya melibatkan lidah, dan berupa
kuning-putih plak yang dilepas oleh gesekan. Hiperplastik kandidiasis biasanya
melibatkan mukosa bukal, dan terdiri dari plak putih yang tidak dilepas oleh
goresan. Kandidiasis eritematosa umumnya berupa patch eritematosa dari langit-
langit dan punggung lidah dengan depapilasi terkait. Angular cheilitis
bermanifestasi sebagai eritema dengan bintik-bintik curdlike atau celah di sudut
bibir.
Kejadian kandidiasis vulvovaginal pada perempuan yang terinfeksi HIV,
terutama pada mereka dengan penyakit HIV lanjut. Wanita dengan jumlah sel T
CD4 200 /uL memiliki empat kali lipat peningkatan risiko kandidiasis
vulvovaginal. Anak-anak dengan infeksi HIV sering mengalami kandidiasis oral,
intertrigo dari aksila dan lipatan leher.
2) Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung keratin dan
paling sering disebabkan jamur Trychophyton rubrum. Dermatofitosis
diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang yang diserang, yaitu tinea capitis
(kulit dan rambut kepala), tinea pedis (kaki dan tangan), tinea barbae (pada dagu
dan janggut), tinea unguium (kuku), dan tinea corporis (bagian tubuh lain). Pada
18
kulit, dermatofitosis muncul dengan ciri eritema bulat atau oval, berskuama,
menyebar secara sentrifugal dengan tepi yang inflamasi, dan central healing.
Dermatofitosis pada kuku mempunyai gambaran putih pada permukaan,
kuku menjadi lebih tebal, dan rapuh. Pada anak, dapat muncul tinea kapitis berat
(kerion) yang nyeri dan dapat menyebabkan alopesia. Dermatofitosis pada pasien
HIV/AIDS lebih sulit untuk diobati dan rekuren. Diagnosis ditegakkan dari kultur
dan hapusan daerah yang terinfeksi. Obat antijamur topikal dapat digunakan untuk
lesi lokal penyakit, sedangkan obat antijamur oral seperti griseofulvin atau
ketoconazol diperlukan untuk infeksi yang meluas atau keterlibatan folikel rambut
(Majocchi granuloma), ditandai dengan folikel papula atau pustula.
3) Histoplasmosis
Sebelum pandemi HIV/AIDS di Indonesia, Histoplasmosis jarang
dilaporkan. Penyebab Histoplasmosis adalah H.capsulatum. Histoplasmosis
ditegakkan melalui temuan jamur pada sediaan kulit dan biakan darah atau kulit.
Kelainan pada kulit menandakan telah terjadi diseminasi mikosis sistemik yang
luas. Kelainan kulit tampak sebagai makula eritematus, plak keratin atau nekrotik,
menyerupai moluskum kontangiosum, pustul, folikulitis, lesi akneiformis, rosasea,
psoriasis, atau ulkus.
Histoplasmosis diseminata lebih umum terlihat pada individu dengan
penyakit HIV lanjut (jumlah sel CD4+ T <50/uL) dan menunjukkan gejala berupa
demam, penurunan berat badan, gangguan paru, limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan ruam.
19
Gambar 2.16 Histoplasmosis Diseminata pada Pasien HIV/AIDS.
4) Cryptococcosis
Cryptococcosis sering terjadi pada pasien HIV stadium lanjut. Penyebab
Cryptococcosis tersering adalah Cryptococcus neoformans. Kriptokokkus
diseminata lebih umum terlihat pada individu dengan penyakit HIV lanjut (jumlah
sel CD4+ T <50/uL).
Lesi kulit tampak paling sering pada kepala dan leher. Kelainan yang sering
muncul menyerupai moluskum kontangiosum, yaitu papula atau nodul
berumbilikasi berwarna seperti kulit atau merah muda. Kelainan pada kulit
menandakan diseminasi yang luas.
2. Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik angioproliferatif dan
merupakan tumor yang sering didapatkan pada infeksi HIV. Kelainan ini muncul
pada pasien dengan kadar CD4+ < 800 sel/μl. Lesi biasanya berupa makula,
papula, pustula, nodul, atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda khas
20
infeksi HIV. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di Asia tidak
mendapatkan pasien HIV/AIDS yang mempunyai kelainan kulit Sarkoma Kaposi.
21
Gambar 2.19 SCC pada pasien HIV.
Gambar 2.20 Pasien wanita 24 tahun HIV positif dengan CD4+ 77 sel/mm3
mendapatkan tenofovir, lamivudin, efavirenz, dan TMP-SMX. Setelah 1 bulan
pengobatan, timbul pustul dan makula eritematosa yang gatal pada seluruh tubuh
disertai malaise, mual, muntah, dan nyeri pada kaki.
22
4. Dermatosis
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik biasanya tampak pada bagian tubuh berambut. Gambaran
klinis berupa skuama eritematosa. Pada kulit kepala, biasanya ditemukan pembentukan
skuama yang luas dan gatal dengan dasar eritematosa. pada wajah didapatkan eritema
berskuama. Dermatitis seboroik yang hebat terutama didapatkan pada pasien penderita
AIDS.
Dermatitis seboroik dapat terjadi selama tahap penyakit HIV, dan sering terjadi
pada awal infeksi HIV (CD4+ sel T > 500/uL). Seperti halnya pada kasus orang dewasa
yang imunokompeten, individu yang terinfeksi HIV dengan dermatitis seboroik
biasanya ditandai dengan eritema dan kulit berminyak melibatkan kulit kepala, alis,
lipatan nasolabial, dan daerah aurikularis posterior. Bagaimanapun, Dermatitis seboroik
sering terlihat dalam lanjutan penyakit HIV. Dahi dan daerah malar, serta dada,
punggung, aksila, dan selangkangan mungkin terlibat. Bahkan, eritroderma yang timbul
dari dermatitis seboroik mungkin menjadi tanda awal infeksi HIV.
Terapi yang diberikan termasuk steroid topikal potensi rendah dan antijamur
topikal, meskipun bentuk yang lebih luas cenderung lebih tahan untuk terapi standar.
23
antihistamin dan steroid topikal. Pemulihan kekebalan dengan ART adalah pengobatan
yang efektif untuk PPE, meskipun beberapa bulan terapi mungkin diperlukan untuk lesi.
c. Folikulitis Eosinofilik
Folikulitis Eosinofilik merupakan kelainan kulit pruritus kronis yang terjadi pada
pasien dengan penyakit HIV lanjut. Secara klinis tampak papula folikulitis kecil
berwarna merah muda sampai merah, edematous (bisa berupa pustula), simetris di atas
garis nipple di dada, lengan proksimal, kepala dan leher. Perubahan sekunder meliputi
ekskoriasi, papul ekskoriasi, liken simpleks kronis, prurigo nodularis juga infeksi
S.aureus.
Terapi yang paling efektif untuk folikulitis eosinofilik adalah prednison (dimulai
dengan dosis awal 70 mg setiap hari, dan meruncing dengan 5 atau 10 mg selama 7 atau
14 hari). Namun, di sebagian besar orang dengan keberhasilan terapi folikulitis
eosinofilik, lesi kambuh dalam beberapa minggu setelah penghentian prednison. Pada
individu dengan gejala berat, prednison mungkin diberikan secara alternatif pada harian
atau mingguan. Itrakonazol 200 mg setiap hari juga telah dilaporkan efektif. Jika tidak
ada respon atau hanya respon parsial terlihat setelah 2 minggu, dosis dapat ditingkatkan
sampai 300 mg atau 400 mg harian.
24
A B
Gambar 2.23 Folikulitis Eosinofilik. A. Papul urtikaria, pustul, dan krusta erosi
sekunder B. Multipel eritem pruritus papul dan beberapa pustul dengan sel CD4 50/uL.
d. Psoriasis Vulgaris
Meskipun psoriasis dapat berkembang pada setiap tahap infeksi HIV, keparahan
psoriasis cenderung berkorelasi dengan memburuknya fungsi kekebalan tubuh. Untuk
beberapa individu, psoriasis mungkin menunjukkan gejala awal infeksi HIV, dan onset
baru psoriasis pada individu yang berisiko HIV merupakan indikasi untuk tes HIV.
Semua subtipe klinis psoriasis diamati di individu yang terinfeksi HIV, meskipun
psoriasis gutata dan psoriasis eritroderma yang paling sering muncul.
Ada ada uji acak mengevaluasi pengobatan untuk psoriasis di terinfeksi HIV.
Namun, berdasarkan laporan kasus dan seri kasus, terapi topikal (seperti kalsipotriol,
kortikosteroid, dan tazaroten) telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
psoriasis ringan sampai sedang. Untuk psoriasis sedang sampai berat, fototerapi dan
ART telah direkomendasikan sebagai agen lini pertama, sedangkan retinoid oral seperti
acitretin memiliki telah diusulkan sebagai terapi lini kedua. Untuk keparahan dan
refrakter penyakit, diberikan methotrexate, etanercept, dan infliximab sudah efektif.
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27