Oleh:
Wilda Mutia Astari
H1AP13003
Pembimbing:
dr. Sabrina Yufica Sanny
Gambar 2.2 Penderita HIV kasus baru dan kematian akibat AIDS di Dunia.
Pada tubuh pasien dengan HIV, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.
Gambar 2.5 Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus pada
infeksi HIV yang tidak diterapi.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai
1200/ µl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah
kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya
sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara
perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi
tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/µl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari
200/µl mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan
infeksi oportunistik.
Tabel 2.1 Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS
Gejala Karekteristik
Mayor Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis
Ensefalopati HIV
Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multisegmental berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks kroniks progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
2) Impetigo
Impetigo merupakan infeksi superfisial yang mempunyai dua bentuk klinis,
yaitu krustosa dan bulosa. Lesi di tubuh bisa timbul di bagian manapun. Pada
impetigo krustosa disebabkan oleh Streptococcus B hemolyticus, lesi awal berupa
pustula kecil dan bila pecah akan terjadi eksudasi dan krusta. Pada impetigo
bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, timbul lepuhan-lepuhan besar dan
superfisial. Ketika lepuhan tersebut pecah, terjadi eksudasi dan terbentuk krusta,
dan stratum korneum pada bagian tepi lesi mengelupas kembali.
3) Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada bagian
superfisial folikel rambut dengan gambaran pustula kecil dengan dasar kemerahan pada
bagian tengah folikel.1
b. Virus
Kebanyakan infeksi virus timbul karena perubahan infeksi subklinis menjadi klinis
oleh Human papillomavirus (HPV) dan Molluscum contangiosum virus (MCV).
Penyebab sering lainnya adalah reaktifasi virus pada masa laten seperti Herpes simplex
virus (HSV), Ebsteinn-Barr virus (EBV) dan Varicella zoster virus (VZV).1
1) Infeksi Human Papillomavirus (HPV)
Banyak studi secara konsisten menunjukkan adanya peningkatan kejadian HPV
pada pasien HIV dan tidak terjadi penurunan jumlah kasus walaupun telah mendapat
terapi HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy). Gambaran klinis adalah veruka
atau kutil, yaitu neoplasma jinak pada epidermis. Veruka biasa (common wart)
mempunyai gambaran seperti kembang kol dan sering pada tangan. Pada daerah
punggung tangan dan wajah (plane wart) kutil ini kecil, rata bagian atas, dan kemerahan
sedangkan di telapak kaki kutil bergerombol (mosak). Kutil kelamin (anogenital wart)
atau dikenal dengan kondiloma akuminata dapat timbul dalam vagina, uretra, serviks,
vulva, penis, dan anus.8
Gambar 2.6. Infeksi HPV pada pasien HIV.6
2) Infeksi Varicella Zoster Virus (VZV)
Infeksi Varicella zoster virus (VZV) primer pada pasien HIV/AIDS biasanya lebih
lama dan lebih berat. Gambaran klinis berupa papul eritematosa yang dalam beberapa
jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun yang
kemudian berubah menjadi pustula dan krusta. Sementara proses ini berlangsung,
timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfik.
Reaktivasi VZV atau Herpes zoster lebih banyak didapatkan pada pasien dengan hitung
sel CD4+ <350 sel/μl. Ciri khas penyakitnya dimulai dengan nyeri radikular diikuti
dengan eritema sepanjang dermatom. Gambaran klinis HZV pada pasien HIV
meningkat sepanjang dermatom kranialis.8
Terapi untuk orang yang terinfeksi HIV dengan infeksi primer VZV harus
mencakup evaluasi untuk penyakit dalam. Jika bukti keterlibatan ini ada, pengobatan
dengan asiklovir intravena (10 mg/kg setiap 8 jam) harus di awali. Manajemen Herpes
zoster berdasarkan luasnya penyakit dan tingkat immunocompromise. Individu dengan
penyakit HIV awal dan lokal dengan keterlibatan kulit dapat diobati dengan pemberian
oral acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir untuk 7-10 hari. 7
Gambar 2.7. Gambaran varisela pada pasien HIV.6
3) Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV)
Herpes simplex virus (HSV) muncul dengan gambaran krusta pada bibir, muka dan
bagian tubuh lainnya. Krusta semakin besar, dalam, dan menimbulkan rasa nyeri. Pada
pasien dengan imunodefisiensi, misalnya pada orang-orang dengan imunosupresi akibat
dilakukannya transplantasi organ, atau yang berkaitan dengan infeksi HIV, herpes
simpleks secara klinis bisa menjadi atipik dan berlangsung lama bahkan dan sulit
diobati.9
Infeksi HSV pada penyakit HIV mungkin dengan gejala berat, ulserasi pada regio
perioral, daerah anogenital, dan digiti. Morfologi atipikal, seperti hiperkeratosis, papula
verukosa dan nodul, kadang-kadang diamati pada HIV lanjutan. Pada penyakit HIV
lebih lanjut, lesi biasanya kurang responsif untuk terapi antiviral oral dan lebih sering
kambuh.7
Foscarnet dan cydofovir dapat diberikan secara intravena untuk infeksi yang
disebabkan oleh acyclovir-resistant HSV. Sidofovir gel telah efektif sebagai terapi
topikal infeksi acyclovir-resistant HSV. Imiquimod 5% krim juga merupakan
pengobatan topikal yang efektif untuk infeksi herpes kulit, termasuk yang disebabkan
oleh HSV acyclovir-resistant.7
Gambar 2.8. Herpes simpleks pada pasien HIV.6
4) Infeksi EBV (Ebsteinn-Barr virus)
Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan lesi spesifik pada penyakit HIV yang
disebabkan oleh Ebstein-Barr virus (EBV). OHL merupakan salah satu tanda untuk
menilai progresifitas penyakit. OHL memberikan gambaran hiperplasia, plak epitelial
berwarna keputihan pada bagian lateral lidah, biasanya bilateral tetapi tidak simetris.
Diagnosis OHL dibuat berdasarkan penemuan klinis, tetapi jika diagnosis tidak pasti
perlu dikonfirmasi dengan biopsi.6
c. Jamur
Suatu infeksi jamur sangat umum terkait dengan infeksi HIV/AIDS, telah
dilaporkan terdapat hubungan dengan penyakit retroviral akut yang dapat menjadi ciri
utama infeksi HIV/AIDS, tetapi umumnya ditemukan sejak serokonversi fase
asimtomatik dan berhubungan dengan peningkatan risiko untuk perkembangan AIDS.
Oral candidiasis telah terbukti menjadi penanda yang signifikan, tergantung pada
jumlah CD4+ dalam perkembangan penyakit HIV.10
Infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida merupakan infeksi yang paling umum,
yaitu jamur dimorfik yang biasanya ada dalam rongga mulut dalam keadaan
nonpatogenik pada indivudu sehat, tetapi di bawah kondisi yang menguntungkan jamur
Candida memiliki kemampuan untuk berubah menjadi bentuk hifa patogen (yang
menyebabkan penyakit).10
Secara umum, infeksi jamur pada penderita HIV/AIDS meliputi infeksi superfisialis
(dermatofitosis, kandidiasis) dan sistemik (histoplasmosis dan cryptocococcis). Di
Indonesia kasus tersering adalah kandidiasis orofaring, histoplasmosis dan
cryptocococcis.6
1) Kandidiasis
Kolonisasi kandida dari orofaring adalah umum pada orang yang terinfeksi HIV, dan
telah dilaporkan hingga 90% dari individu dengan penyakit yang ada. Kandidiasis
orofaringeal biasanya terbagi dalam empat klinis berikut : (1) pseudomembran, (2)
hiperplastik, (3) eritematosa (atrofi), dan (4) angular cheilitis. Kandidiasis
pseudomembran biasanya melibatkan lidah, dan berupa kuning-putih plak yang dilepas
oleh gesekan. Hiperplastik kandidiasis biasanya melibatkan mukosa bukal, dan terdiri
dari plak putih yang tidak dilepas oleh goresan. Kandidiasis eritematosa umumnya
berupa patch eritematosa dari langit-langit dan punggung lidah dengan depapilasi
terkait. Angular cheilitis bermanifestasi sebagai eritema dengan bintik-bintik curdlike
atau celah di sudut bibir.7
Kejadian kandidiasis vulvovaginal pada perempuan yang terinfeksi HIV, terutama
pada mereka dengan penyakit HIV lanjut. Wanita dengan jumlah sel T CD4 200 /uL
memiliki empat kali lipat peningkatan risiko kandidiasis vulvovaginal. Anak-anak
dengan infeksi HIV sering mengalami kandidiasis oral, intertrigo dari aksila dan lipatan
leher.7
2) Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung keratin dan
paling sering disebabkan jamur Trychophyton rubrum. Dermatofitosis diklasifikasikan
berdasarkan bagian tubuh yang yang diserang, yaitu tinea capitis (kulit dan rambut
kepala), tinea pedis (kaki dan tangan), tinea barbae (pada dagu dan janggut), tinea
unguium (kuku), dan tinea corporis (bagian tubuh lain). Pada kulit, dermatofitosis
muncul dengan ciri eritema bulat atau oval, berskuama, menyebar secara sentrifugal
dengan tepi yang inflamasi, dan central healing.6
Dermatofitosis pada kuku mempunyai gambaran putih pada permukaan, kuku
menjadi lebih tebal, dan rapuh. Pada anak, dapat muncul tinea kapitis berat (kerion)
yang nyeri dan dapat menyebabkan alopesia. Dermatofitosis pada pasien HIV/AIDS
lebih sulit untuk diobati dan rekuren. Diagnosis ditegakkan dari kultur dan hapusan
daerah yang terinfeksi. Obat antijamur topikal dapat digunakan untuk lesi lokal
penyakit, sedangkan obat antijamur oral seperti griseofulvin atau ketoconazol diperlukan
untuk infeksi yang meluas atau keterlibatan folikel rambut (Majocchi granuloma),
ditandai dengan folikel papula atau pustula.11
Gambar 2.16. HPV yang diinduksi oleh adanya SCC pada pasien HIV.7
4. Dermatosis
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik biasanya tampak pada bagian tubuh berambut. Gambaran
klinis berupa skuama eritematosa. Pada kulit kepala, biasanya ditemukan pembentukan
skuama yang luas dan gatal dengan dasar eritematosa. pada wajah didapatkan eritema
berskuama. Dermatitis seboroik yang hebat terutama didapatkan pada pasien penderita
AIDS.6
Dermatitis seboroik dapat terjadi selama tahap penyakit HIV, dan sering terjadi
pada awal infeksi HIV (CD4+ sel T > 500/uL). Seperti halnya pada kasus orang dewasa
yang imunokompeten, individu yang terinfeksi HIV dengan dermatitis seboroik
biasanya ditandai dengan eritema dan kulit berminyak melibatkan kulit kepala, alis,
lipatan nasolabial, dan daerah aurikularis posterior. Bagaimanapun, Dermatitis seboroik
sering terlihat dalam lanjutan penyakit HIV. Dahi dan daerah malar, serta dada,
punggung, aksila, dan selangkangan mungkin terlibat. Bahkan, eritroderma yang timbul
dari dermatitis seboroik mungkin menjadi tanda awal infeksi HIV. 7
Terapi yang diberikan termasuk steroid topikal potensi rendah dan antijamur
topikal, meskipun bentuk yang lebih luas cenderung lebih tahan untuk terapi standar. 12
Gambar 2.18. Dermatitis Seboroik pada pasien HIV.6
c. Folikulitis Eosinofilik
Folikulitis Eosinofilik merupakan kelainan kulit pruritus kronis yang terjadi pada
pasien dengan penyakit HIV lanjut. Secara klinis tampak papula folikulitis kecil
berwarna merah muda sampai merah, edematous (bisa berupa pustula), simetris di atas
garis nipple di dada, lengan proksimal, kepala dan leher. Perubahan sekunder meliputi
ekskoriasi, papul ekskoriasi, liken simpleks kronis, prurigo nodularis juga infeksi
S.aureus.6
Terapi yang paling efektif untuk folikulitis eosinofilik adalah prednison (dimulai
dengan dosis awal 70 mg setiap hari, dan meruncing dengan 5 atau 10 mg selama 7 atau
14 hari). Namun, di sebagian besar orang dengan keberhasilan terapi folikulitis
eosinofilik, lesi kambuh dalam beberapa minggu setelah penghentian prednison. Pada
individu dengan gejala berat, prednison mungkin diberikan secara alternatif pada harian
atau mingguan. Itrakonazol 200 mg setiap hari juga telah dilaporkan efektif. Jika tidak
ada respon atau hanya respon parsial terlihat setelah 2 minggu, dosis dapat ditingkatkan
sampai 300 mg atau 400 mg harian. 7
A B
Gambar 2.20. Folikulitis Eosinofilik. A. Papul urtikaria, pustul, dan krusta erosi
sekunder B. Multipel eritem pruritus papul dan beberapa pustul dengan sel CD4 50/uL. 7
d. Psoriasis Vulgaris
Meskipun psoriasis dapat berkembang pada setiap tahap infeksi HIV, keparahan
psoriasis cenderung berkorelasi dengan memburuknya fungsi kekebalan tubuh. Untuk
beberapa individu, psoriasis mungkin menunjukkan gejala awal infeksi HIV, dan onset
baru psoriasis pada individu yang berisiko HIV merupakan indikasi untuk tes HIV.
Semua subtipe klinis psoriasis diamati di individu yang terinfeksi HIV, meskipun
psoriasis gutata dan psoriasis eritroderma yang paling sering muncul. 7
Ada ada uji acak mengevaluasi pengobatan untuk psoriasis di terinfeksi HIV.
Namun, berdasarkan laporan kasus dan seri kasus, terapi topikal (seperti kalsipotriol,
kortikosteroid, dan tazaroten) telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
psoriasis ringan sampai sedang. Untuk psoriasis sedang sampai berat, fototerapi dan
ART telah direkomendasikan sebagai agen lini pertama, sedangkan retinoid oral seperti
acitretin memiliki telah diusulkan sebagai terapi lini kedua. Untuk keparahan dan
refrakter penyakit, diberikan methotrexate, etanercept, dan infliximab sudah efektif.7