Anda di halaman 1dari 28

Referat

KELAINAN KULIT PADA PASIEN HIV/AIDS

Oleh:
Wilda Mutia Astari
H1AP13003

Pembimbing:
dr. Sabrina Yufica Sanny

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Amerika Serikat (AS) pada tahun
1981 hingga saat ini, penyakit ini selalu menarik perhatian dunia kedokteran
maupun masyarakat luas. Hal ini karena angka kematiannya tinggi dan jumlah
penderita yang meningkat dalam waktu singkat. Sejak itu pula penelitian dan
pengetahuan mengenai AIDS dan virus HIV berkembang dengan sangat pesat. Pada
saat awal epidemik infeksi HIV/AIDS, ditemukan pada kelompok masyarakat
tertentu, yaitu kelompok homoseksual. Namun saat ini infeksi HIV/AIDS
ditemukan pada semua kelompok masyarakat seperti penggunaan narkoba suntik,
pekerja seks komersial, dan heteroseksual, bahkan pada ibu rumah tangga.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
yang disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) yang dapat
mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada manusia. Masalah
HIV/AIDS merupakan masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara diseluruh dunia. Jumlah pasien HIV di Asia dan Pasifik adalah sebesar 4,8
juta. Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan China yaitu sebesar
13%. Jumlah kasus baru HIV di Indonesia pada tahun 2017 41.250.Tingginya kasus
infeksi HIV/AIDS di dunia tidak lepas dari tingkat penularan yaitu transmisi
melalui kontak seksual, transmisi melalui darah dan produk darah, transmisi secara
vertikal dari ibu ke bayi/anak, transmisi melalui cairan tubuh, transmisi melalui
petugas kesehatan, dan transmisi melalui narkoba/IDUs (Intravenous Drug Users).
Pasien AIDS, hampir 90% disertai dengan timbulnya kelainan pada kulit.
Manifestasi kulit yang timbul pada pasien AIDS disebabkan oleh infeksi virus HIV
itu sendiri, berkurangnya imunitas pasien, dan juga karena respons terhadap
pengobatan. Kelainan kulit yang timbul dapat menjadi suatu tanda awal dari
infeksi. Kegagalan imunitas berbasis seluler berhubungan erat dengan Acquired
Immune Defisiency Syndrome (AIDS), menyebabkan penderita berisiko
mendapatkan berbagai infeksi oportunisitik. Pengenalan dan penatalaksanaan
secara dini dari infeksi penyerta merupakan hal yang sangat penting berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan serta harapan hidup penderita AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Imunnodeficiency Syndrome


HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan
atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit
pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae,
subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan
tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV
dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi
HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).

Gambar 2.1 Virus HIV

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh


menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena
HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang
dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi
4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir
(stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan
infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat
diobati.
2.2 Epidemiologi Human Imunodeficiency Virus/Acquired Imunnodeficiency Syndrome
Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut
UNAIDS, salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan
bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai
dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun 2011
jumlah penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011,
UNAIDS memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak
2,5 juta. Jumlah orang yang meninggal karena alasan yang terkait AIDS pada tahun
2010 mencapai 1,8 juta, menurun dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang
mencapai puncaknya yaitu sebanyak 2,2 juta.

Gambar 2.2 Penderita HIV kasus baru dan kematian akibat AIDS di Dunia.

Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun.


Pada kasus AIDS, terbanyak pada usia 30-39 tahun. Jenis kelamin pada kasus HIV
adalah laki-laki sebanyak 57% dan wanita sebanyak 43%. Jenis kelamin pada kasus
AIDS adalah laki-laki sebanyak 61,8% dan perempuan sebanyak 38,1%. Jadi dapat
disimpulkan, kasus HIV dan AIDS menurut jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki.
Gambar 2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS.

2.3 Transmisi Human Immunodeficiency Virus


Penularan terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV. Cairan tubuh
yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani, cairan vagina/serviks, dan darah.
Penularan utama HIV melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut, yakni
hubungan seksual, jalur pemindahan darah (alat suntik, tato, tindik, alat bedah, alat
cukur dan melalui luka kecil di kulit), transplantasi organ, dan dari ibu yang terinfeksi
ke bayi yang dilahirkannya.

2.4 Patogenesis Human Immunodeficiency Virus/Acquired Imunnodeficiency Syndrome


HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni
gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah
nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai
tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian
bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV
integrase.
Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu
transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural dan
enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan
bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein
virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus
akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk
(virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada
mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai
jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan factor pertumbuhan sel
B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel
CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel
Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi
antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.

Gambar 2.4 Patogenesis Infeksi HIV


Pada awal infeksi, dalam beberapa hari dan minggu, sistem imun belum
terganggu. Sama seperti infeksi virus lainnya, akan terjadi peningkatan jumlah sel
sitotoksik (CD8+) dan antibodi. Pada masa ini penderita masih berada dalam kondisi
seronegatif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pada tahap lebih lanjut, semakin
banyak sel CD4+ yang rusak. Akibatnya fungsi sel-sel imun lainnya akan terganggu dan
menyebabkan penurunan imunitas yang progresif. Pertanda dari progresifitas penyakit
dapat dilihat dari gejala klinis dan penurun jumlah sel CD4+.

Pada tubuh pasien dengan HIV, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.

Gambar 2.5 Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus pada
infeksi HIV yang tidak diterapi.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai
1200/ µl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah
kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya
sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara
perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi
tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/µl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari
200/µl mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan
infeksi oportunistik.

2.5 Klasifikasi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Imunnodeficiency Syndrome


Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers for Disease Control)
dibagi atas empat tahap, yakni:
1. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul setelah 2-4
minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam merah pada kulit,
nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini, diagnosis jarang
dapat ditegakkan karena keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil
tes serologi standar masih negatif.
2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi gejala
asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan penderita bisa
tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun atau lebih. Berbeda
dengan anak- anak, fase ini lebih cepat dilalui.
3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua tempat
selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan limfe berfungsi
sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada sepertiga orang
yang terinfeksi HIV asimtomatis. Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri,
dan tidak nyeri.
4. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat pengobatan,
akan berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV bergantung pada
karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun atau lebih dari 40
tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik merupakan faktor penyebab
peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan progresifitas dan penurunan
sistem imun, penderita HIV lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita
mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan,
yang tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis
dengan penurunan berat badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik
dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang
dari dua tahun kemudian.

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Human Immunodeficiency Virus


Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis
WHO. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor
dan satu gejala minor.

Tabel 2.1 Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS

Gejala Karekteristik
Mayor Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis
Ensefalopati HIV
Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multisegmental berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks kroniks progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi


HIV. Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA,
mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi HIV
sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
yang lebih spesifik Western blot.
Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB
dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24,
p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).
Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui
EIA terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi:
a. Negatif: tidak ada bentukan pita
b. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif.

2.7 Terapi Antiretrovirus


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan
resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan
morbiditas akibat HIV/AIDS.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat
dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)


Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat
• Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Abacavir (ABC) Didanosin (ddl)
(NRTI) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T),
• Menghambat reverse transcriptase HIV, Zidovudin (ZDZ atau AZT).
sehingga pertumbuhan rantai DNA dan
replikasi HIV terhenti.
• Nonnucleoside Reverse Transcriptase Nevirapin (NVP) Efavirenz (EFV)
Inhibitor (NNRTI)
• Menghambat transkripsi RNA HIV menjadi
DNA.
• Protease Inhibitor (PI) Indinavir (IDV) Ritonavir (RTV,r)
• Menghambat protease HIV, yang mencegah Lopinavir (LPV) Nelvinafir (NFV)
pematangan virus HIV. Saquinavir (SQV)

2.8 Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS


Kelainan kulit yang terjadi pada pasien HIV/AIDS sangat banyak dengan
spektrum yang sangat luas. Kelainan kulit tersebut meliputi :
1. Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik terjadi akibat pertumbuhan berlebih flora normal candida
albicans, peningkatan kolonisasi (Dermatofitosis), reaktivasi infeksi laten virus (herpes
virus) atau perubahan infeksi subklinis menjadi klinis. Infeksi oportunistik meliputi:
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering
menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik pada penyakit HIV. Insidensi
stafilokokus primer termasuk selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel.
Biasanya untuk CD4+ <100/Ul. Pemberiaan terapi pada pasien ini adalah diberikan
antibiotik sistemik seperti dicloxacillin 250-500 mg, amoxicillin 500 mg. Sedangkan
untuk terapi topikal bisa diberikan mupirosin, asam fusidat.
1) Selulitis
Selulitis sering terjadi pada bagian tungkai, walaupun bisa terdapat pada
bagian tubuh lain. Daerah yang terkena menjadi eritema, terasa panas dan
bengkak, serta terdapat lepuhan-lepuhan pada daerah nekrosis. Kelainan kulit
berupa infiltrat yang difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut.
Gambar 2.6 Selulitis.

2) Impetigo
Impetigo merupakan infeksi superfisial yang mempunyai dua bentuk klinis,
yaitu krustosa dan bulosa. Lesi di tubuh bisa timbul di bagian manapun. Pada
impetigo krustosa disebabkan oleh Streptococcus B hemolyticus, lesi awal berupa
pustula kecil dan bila pecah akan terjadi eksudasi dan krusta. Pada impetigo
bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, timbul lepuhan-lepuhan besar dan
superfisial. Ketika lepuhan tersebut pecah, terjadi eksudasi dan terbentuk krusta,
dan stratum korneum pada bagian tepi lesi mengelupas kembali.

Gambar 2.7 Impetigo pada pasien HIV.

3) Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada bagian
superfisial folikel rambut dengan gambaran pustula kecil dengan dasar kemerahan pada
bagian tengah folikel.1

Gambar 2.3. Gambaran Folikulitis pada pasien HIV.6


4) Furunkel dan Karbunkel
Furunkel atau bisul merupakan infeksi folikel rambut yang lebih dalam dan timbul
abses yang nyeri pada tempat infeksi. Jika lebih dari satu disebut furunkulosis.1
Karbunkel merupakan infeksi yang dalam pada sekelompok folikel rambut yang
berdekatan. Tempat yang sering terkena karbunkel adalah bagian tengkuk dan leher.
Pada mulanya lesi berbentuk seperti kubah yang lunak kemerahan, kemudian terjadi
supurasi, dan pus keluar dari muara-muara folikel lalu memecah membentuk fistel.1

Gambar 2.4. Furunkel dan Karbunkel pada pasien HIV.6

Bakteri oportunistik lainnya adalah Bartonella henselae yang menyebabkan


Bacillary angiomatosis dengan lesi angioproliferatif menyerupai cherry hemangioma
atau Sarkoma Kaposi. Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan
Pseudomonas aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis.6
Gambar 2.5. Angiomatosis Basilar. Bentuk papul seperti Cherry hemangioma dan nodul
seperti granuloma piogenik pada kulit pasien HIV. 7

b. Virus
Kebanyakan infeksi virus timbul karena perubahan infeksi subklinis menjadi klinis
oleh Human papillomavirus (HPV) dan Molluscum contangiosum virus (MCV).
Penyebab sering lainnya adalah reaktifasi virus pada masa laten seperti Herpes simplex
virus (HSV), Ebsteinn-Barr virus (EBV) dan Varicella zoster virus (VZV).1
1) Infeksi Human Papillomavirus (HPV)
Banyak studi secara konsisten menunjukkan adanya peningkatan kejadian HPV
pada pasien HIV dan tidak terjadi penurunan jumlah kasus walaupun telah mendapat
terapi HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy). Gambaran klinis adalah veruka
atau kutil, yaitu neoplasma jinak pada epidermis. Veruka biasa (common wart)
mempunyai gambaran seperti kembang kol dan sering pada tangan. Pada daerah
punggung tangan dan wajah (plane wart) kutil ini kecil, rata bagian atas, dan kemerahan
sedangkan di telapak kaki kutil bergerombol (mosak). Kutil kelamin (anogenital wart)
atau dikenal dengan kondiloma akuminata dapat timbul dalam vagina, uretra, serviks,
vulva, penis, dan anus.8
Gambar 2.6. Infeksi HPV pada pasien HIV.6
2) Infeksi Varicella Zoster Virus (VZV)
Infeksi Varicella zoster virus (VZV) primer pada pasien HIV/AIDS biasanya lebih
lama dan lebih berat. Gambaran klinis berupa papul eritematosa yang dalam beberapa
jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun yang
kemudian berubah menjadi pustula dan krusta. Sementara proses ini berlangsung,
timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfik.
Reaktivasi VZV atau Herpes zoster lebih banyak didapatkan pada pasien dengan hitung
sel CD4+ <350 sel/μl. Ciri khas penyakitnya dimulai dengan nyeri radikular diikuti
dengan eritema sepanjang dermatom. Gambaran klinis HZV pada pasien HIV
meningkat sepanjang dermatom kranialis.8
Terapi untuk orang yang terinfeksi HIV dengan infeksi primer VZV harus
mencakup evaluasi untuk penyakit dalam. Jika bukti keterlibatan ini ada, pengobatan
dengan asiklovir intravena (10 mg/kg setiap 8 jam) harus di awali. Manajemen Herpes
zoster berdasarkan luasnya penyakit dan tingkat immunocompromise. Individu dengan
penyakit HIV awal dan lokal dengan keterlibatan kulit dapat diobati dengan pemberian
oral acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir untuk 7-10 hari. 7
Gambar 2.7. Gambaran varisela pada pasien HIV.6
3) Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV)
Herpes simplex virus (HSV) muncul dengan gambaran krusta pada bibir, muka dan
bagian tubuh lainnya. Krusta semakin besar, dalam, dan menimbulkan rasa nyeri. Pada
pasien dengan imunodefisiensi, misalnya pada orang-orang dengan imunosupresi akibat
dilakukannya transplantasi organ, atau yang berkaitan dengan infeksi HIV, herpes
simpleks secara klinis bisa menjadi atipik dan berlangsung lama bahkan dan sulit
diobati.9
Infeksi HSV pada penyakit HIV mungkin dengan gejala berat, ulserasi pada regio
perioral, daerah anogenital, dan digiti. Morfologi atipikal, seperti hiperkeratosis, papula
verukosa dan nodul, kadang-kadang diamati pada HIV lanjutan. Pada penyakit HIV
lebih lanjut, lesi biasanya kurang responsif untuk terapi antiviral oral dan lebih sering
kambuh.7
Foscarnet dan cydofovir dapat diberikan secara intravena untuk infeksi yang
disebabkan oleh acyclovir-resistant HSV. Sidofovir gel telah efektif sebagai terapi
topikal infeksi acyclovir-resistant HSV. Imiquimod 5% krim juga merupakan
pengobatan topikal yang efektif untuk infeksi herpes kulit, termasuk yang disebabkan
oleh HSV acyclovir-resistant.7
Gambar 2.8. Herpes simpleks pada pasien HIV.6
4) Infeksi EBV (Ebsteinn-Barr virus)
Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan lesi spesifik pada penyakit HIV yang
disebabkan oleh Ebstein-Barr virus (EBV). OHL merupakan salah satu tanda untuk
menilai progresifitas penyakit. OHL memberikan gambaran hiperplasia, plak epitelial
berwarna keputihan pada bagian lateral lidah, biasanya bilateral tetapi tidak simetris.
Diagnosis OHL dibuat berdasarkan penemuan klinis, tetapi jika diagnosis tidak pasti
perlu dikonfirmasi dengan biopsi.6

Gambar 2.9. Oral Hairy Leukoplakia pada pasien HIV.7


5) Infeksi Molluscum Contangiosum Virus (MCV)
Molluscum contangiosum virus (MCV) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
poks. Gambaran klinis berupa papula merah muda. Pada permukaannya terdapat
lekukan yang berisi massa berwarna putih. Lesi biasanya muncul pada daerah yang
mengalami trauma ringan dan infundibulum folikel rambut. Gambaran klinis MCV
pasien HIV/AIDS sangat berbeda dengan orang normal. Lesi yang muncul lebih besar,
menyebar, dan menyebabkan morbiditas. Kelainan ini menurun secara signifikan pada
pasien yang mendapat terapi HAART.8

Gambar 2.10. Infeksi Moluskum kontagiosum pada Kulit Pasien


HIV/AIDS.6

c. Jamur
Suatu infeksi jamur sangat umum terkait dengan infeksi HIV/AIDS, telah
dilaporkan terdapat hubungan dengan penyakit retroviral akut yang dapat menjadi ciri
utama infeksi HIV/AIDS, tetapi umumnya ditemukan sejak serokonversi fase
asimtomatik dan berhubungan dengan peningkatan risiko untuk perkembangan AIDS.
Oral candidiasis telah terbukti menjadi penanda yang signifikan, tergantung pada
jumlah CD4+ dalam perkembangan penyakit HIV.10
Infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida merupakan infeksi yang paling umum,
yaitu jamur dimorfik yang biasanya ada dalam rongga mulut dalam keadaan
nonpatogenik pada indivudu sehat, tetapi di bawah kondisi yang menguntungkan jamur
Candida memiliki kemampuan untuk berubah menjadi bentuk hifa patogen (yang
menyebabkan penyakit).10
Secara umum, infeksi jamur pada penderita HIV/AIDS meliputi infeksi superfisialis
(dermatofitosis, kandidiasis) dan sistemik (histoplasmosis dan cryptocococcis). Di
Indonesia kasus tersering adalah kandidiasis orofaring, histoplasmosis dan
cryptocococcis.6
1) Kandidiasis
Kolonisasi kandida dari orofaring adalah umum pada orang yang terinfeksi HIV, dan
telah dilaporkan hingga 90% dari individu dengan penyakit yang ada. Kandidiasis
orofaringeal biasanya terbagi dalam empat klinis berikut : (1) pseudomembran, (2)
hiperplastik, (3) eritematosa (atrofi), dan (4) angular cheilitis. Kandidiasis
pseudomembran biasanya melibatkan lidah, dan berupa kuning-putih plak yang dilepas
oleh gesekan. Hiperplastik kandidiasis biasanya melibatkan mukosa bukal, dan terdiri
dari plak putih yang tidak dilepas oleh goresan. Kandidiasis eritematosa umumnya
berupa patch eritematosa dari langit-langit dan punggung lidah dengan depapilasi
terkait. Angular cheilitis bermanifestasi sebagai eritema dengan bintik-bintik curdlike
atau celah di sudut bibir.7
Kejadian kandidiasis vulvovaginal pada perempuan yang terinfeksi HIV, terutama
pada mereka dengan penyakit HIV lanjut. Wanita dengan jumlah sel T CD4 200 /uL
memiliki empat kali lipat peningkatan risiko kandidiasis vulvovaginal. Anak-anak
dengan infeksi HIV sering mengalami kandidiasis oral, intertrigo dari aksila dan lipatan
leher.7

Gambar 2.11. Infeksi Kandida pada Pasien HIV/AIDS.6

2) Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung keratin dan
paling sering disebabkan jamur Trychophyton rubrum. Dermatofitosis diklasifikasikan
berdasarkan bagian tubuh yang yang diserang, yaitu tinea capitis (kulit dan rambut
kepala), tinea pedis (kaki dan tangan), tinea barbae (pada dagu dan janggut), tinea
unguium (kuku), dan tinea corporis (bagian tubuh lain). Pada kulit, dermatofitosis
muncul dengan ciri eritema bulat atau oval, berskuama, menyebar secara sentrifugal
dengan tepi yang inflamasi, dan central healing.6
Dermatofitosis pada kuku mempunyai gambaran putih pada permukaan, kuku
menjadi lebih tebal, dan rapuh. Pada anak, dapat muncul tinea kapitis berat (kerion)
yang nyeri dan dapat menyebabkan alopesia. Dermatofitosis pada pasien HIV/AIDS
lebih sulit untuk diobati dan rekuren. Diagnosis ditegakkan dari kultur dan hapusan
daerah yang terinfeksi. Obat antijamur topikal dapat digunakan untuk lesi lokal
penyakit, sedangkan obat antijamur oral seperti griseofulvin atau ketoconazol diperlukan
untuk infeksi yang meluas atau keterlibatan folikel rambut (Majocchi granuloma),
ditandai dengan folikel papula atau pustula.11

Gambar 2.12. Infeksi Dermatofitosis pada Pasien HIV/AIDS.6


3) Histoplasmosis
Sebelum pandemi HIV/AIDS di Indonesia, Histoplasmosis jarang dilaporkan.
Penyebab Histoplasmosis adalah H.capsulatum. Histoplasmosis ditegakkan melalui
temuan jamur pada sediaan kulit dan biakan darah atau kulit. Kelainan pada kulit
menandakan telah terjadi diseminasi mikosis sistemik yang luas. Kelainan kulit tampak
sebagai makula eritematus, plak keratin atau nekrotik, menyerupai moluskum
kontangiosum, pustul, folikulitis, lesi akneiformis, rosasea, psoriasis, atau ulkus.6
Histoplasmosis diseminata lebih umum terlihat pada individu dengan penyakit
HIV lanjut (jumlah sel CD4+ T <50/uL) dan menunjukkan gejala berupa demam,
penurunan berat badan, gangguan paru, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan ruam. 7

Gambar 2.13. Histoplasmosis Diseminata pada Pasien HIV/AIDS.6


4) Cryptococcosis
Cryptococcosis sering terjadi pada pasien HIV stadium lanjut. Penyebab
Cryptococcosis tersering adalah Cryptococcus neoformans. Kriptokokkus diseminata
lebih umum terlihat pada individu dengan penyakit HIV lanjut (jumlah sel CD4+ T
<50/uL). 7
Lesi kulit tampak paling sering pada kepala dan leher. Kelainan yang sering
muncul menyerupai moluskum kontangiosum, yaitu papula atau nodul berumbilikasi
berwarna seperti kulit atau merah muda. Kelainan pada kulit menandakan diseminasi
yang luas.6

Gambar 2.14. Cryptocococcis Diseminata pada Pasien HIV/AIDS.6


2. Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik angioproliferatif dan merupakan
tumor yang sering didapatkan pada infeksi HIV. Kelainan ini muncul pada pasien
dengan kadar CD4+ < 800 sel/μl. Lesi biasanya berupa makula, papula, pustula, nodul,
atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda khas infeksi HIV. Namun beberapa
penelitian yang dilakukan di Asia tidak mendapatkan pasien HIV/AIDS yang
mempunyai kelainan kulit Sarkoma Kaposi.6

Gambar 2.15. Sarkoma Kaposi.6

b. Kanker Kulit Nonmelanoma


Kanker kulit nonmelanoma didapati pada pasien HIV/AIDS stadium lanjut. Faktor
risiko kelainan ini adalah kulit terang dan terpapar cahaya matahari yang ekstensif (> 6
jam per hari selama 10 tahun).6
Peningkatan kejadian dari nonmelanoma kanker kulit telah dilaporkan pada orang
yang terinfeksi HIV, seperti halnya dengan imunosupresi padat transplantasi organ
resipien. Namun, rasio SCC terhadap karsinoma sel basal (KSB) pada individu yang
terinfeksi HIV adalah 1 : 7. Pada individu yang terinfeksi HIV, SCC cenderung pada
regio kepala dan leher. Namun, SCC cenderung muncul pada usia muda dan dapat
berkembang secara agresif dengan risiko tinggi kekambuhan lokal, metastasis, dan
bahkan kematian. 7
BCC superfisial dilaporkan menjadi jenis yang paling umum dari BCC pada orang
yang terinfeksi HIV; Namun, peningkatan frekuensi subtipe lebih agresif dari BCC telah
dilaporkan, termasuk metastasis BCC dan beberapa infundibulosis BCC. Faktor risiko
untuk pengembangan kanker kulit nonmelanoma pada orang yang terinfeksi HIV
termasuk paparan sinar matahari, rambut pirang, mata biru, dan riwayat keluarga kanker
kulit. 7

Gambar 2.16. HPV yang diinduksi oleh adanya SCC pada pasien HIV.7

3. Erupsi Obat ( Adverse Drug Reaction)


Pasien HIV/AIDS cenderung lebih mudah mendapatkan erupsi obat. Penggunaan
obat-obat antiretroviral maupun antibiotik, khususnya TMP-SMX atau obat golongan
sulfa lainnya, perlu mendapat perhatian khusus. Bila erupsi obat cenderung ringan,
misalnya erupsi makulopapular, obat dapat diteruskan. Namun, jika disertai demam, lesi
di mukosa, terbentuknya vesikel atau bula, terdapat pengelupasan kulit, dan rasa gatal
yang berat, sebaiknya obat dihentikan untuk mencegah timbulnya erupsi obat yang
berat. Deteksi dini dan penghentian obat secara dini pada kasus erupsi obat yang berat
dapat menurunkan mortalitas pasien.12
Gambar 2.17. Pasien wanita 24 tahun HIV positif dengan CD4+ 77 sel/mm3
mendapatkan tenofovir, lamivudin, efavirenz, dan TMP-SMX. Setelah 1 bulan
pengobatan, timbul pustul dan makula eritematosa yang gatal pada seluruh tubuh
disertai malaise, mual, muntah, dan nyeri pada kaki.12

4. Dermatosis
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik biasanya tampak pada bagian tubuh berambut. Gambaran
klinis berupa skuama eritematosa. Pada kulit kepala, biasanya ditemukan pembentukan
skuama yang luas dan gatal dengan dasar eritematosa. pada wajah didapatkan eritema
berskuama. Dermatitis seboroik yang hebat terutama didapatkan pada pasien penderita
AIDS.6
Dermatitis seboroik dapat terjadi selama tahap penyakit HIV, dan sering terjadi
pada awal infeksi HIV (CD4+ sel T > 500/uL). Seperti halnya pada kasus orang dewasa
yang imunokompeten, individu yang terinfeksi HIV dengan dermatitis seboroik
biasanya ditandai dengan eritema dan kulit berminyak melibatkan kulit kepala, alis,
lipatan nasolabial, dan daerah aurikularis posterior. Bagaimanapun, Dermatitis seboroik
sering terlihat dalam lanjutan penyakit HIV. Dahi dan daerah malar, serta dada,
punggung, aksila, dan selangkangan mungkin terlibat. Bahkan, eritroderma yang timbul
dari dermatitis seboroik mungkin menjadi tanda awal infeksi HIV. 7
Terapi yang diberikan termasuk steroid topikal potensi rendah dan antijamur
topikal, meskipun bentuk yang lebih luas cenderung lebih tahan untuk terapi standar. 12
Gambar 2.18. Dermatitis Seboroik pada pasien HIV.6

b. Papular Pruritus Eruption (PPE)


PPE merupakan salah satu kelainan kulit yang khas pada pasien HIV/AIDS.
Kelainan kulit ini didapati pada 85% pasien HIV/AIDS. Lebih dari 80% kasus didapati
pada pasien yang memiliki kadar CD4+ kurang dari 100 sel/μl. Lesi pada kulit berupa
papul urtikaria berbatas tegas yang gatal. Eritema menyebar pada leher, ekstremitas, dan
wajah. Kadang, lesi didapati berupa ekskoriasi dan hiperpigmentasi akibat garukan.6
PPE sangat sulit untuk diobati secara efektif dan hanya cukup responsif terhadap
antihistamin dan steroid topikal. Pemulihan kekebalan dengan ART adalah pengobatan
yang efektif untuk PPE, meskipun beberapa bulan terapi mungkin diperlukan untuk lesi.
7

Gambar 2.19. Papular Pruritic Eruption pada pasien HIV. 7

c. Folikulitis Eosinofilik
Folikulitis Eosinofilik merupakan kelainan kulit pruritus kronis yang terjadi pada
pasien dengan penyakit HIV lanjut. Secara klinis tampak papula folikulitis kecil
berwarna merah muda sampai merah, edematous (bisa berupa pustula), simetris di atas
garis nipple di dada, lengan proksimal, kepala dan leher. Perubahan sekunder meliputi
ekskoriasi, papul ekskoriasi, liken simpleks kronis, prurigo nodularis juga infeksi
S.aureus.6
Terapi yang paling efektif untuk folikulitis eosinofilik adalah prednison (dimulai
dengan dosis awal 70 mg setiap hari, dan meruncing dengan 5 atau 10 mg selama 7 atau
14 hari). Namun, di sebagian besar orang dengan keberhasilan terapi folikulitis
eosinofilik, lesi kambuh dalam beberapa minggu setelah penghentian prednison. Pada
individu dengan gejala berat, prednison mungkin diberikan secara alternatif pada harian
atau mingguan. Itrakonazol 200 mg setiap hari juga telah dilaporkan efektif. Jika tidak
ada respon atau hanya respon parsial terlihat setelah 2 minggu, dosis dapat ditingkatkan
sampai 300 mg atau 400 mg harian. 7

A B
Gambar 2.20. Folikulitis Eosinofilik. A. Papul urtikaria, pustul, dan krusta erosi
sekunder B. Multipel eritem pruritus papul dan beberapa pustul dengan sel CD4 50/uL. 7

d. Psoriasis Vulgaris
Meskipun psoriasis dapat berkembang pada setiap tahap infeksi HIV, keparahan
psoriasis cenderung berkorelasi dengan memburuknya fungsi kekebalan tubuh. Untuk
beberapa individu, psoriasis mungkin menunjukkan gejala awal infeksi HIV, dan onset
baru psoriasis pada individu yang berisiko HIV merupakan indikasi untuk tes HIV.
Semua subtipe klinis psoriasis diamati di individu yang terinfeksi HIV, meskipun
psoriasis gutata dan psoriasis eritroderma yang paling sering muncul. 7
Ada ada uji acak mengevaluasi pengobatan untuk psoriasis di terinfeksi HIV.
Namun, berdasarkan laporan kasus dan seri kasus, terapi topikal (seperti kalsipotriol,
kortikosteroid, dan tazaroten) telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
psoriasis ringan sampai sedang. Untuk psoriasis sedang sampai berat, fototerapi dan
ART telah direkomendasikan sebagai agen lini pertama, sedangkan retinoid oral seperti
acitretin memiliki telah diusulkan sebagai terapi lini kedua. Untuk keparahan dan
refrakter penyakit, diberikan methotrexate, etanercept, dan infliximab sudah efektif.7

Gambar 2.21. Psoriasis vulgaris pada pasien HIV.6


BAB III
KESIMPULAN

1. Penurunan fungsi imunitas bertanggung jawab pada beberapa manifestasi kelainan


kulit pada pasien HIV/AIDS. Penyebab manifestasi kelainan kulit tersebut karena
infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti infeksi bakteri, virus, jamur, atau
timbulnya keganasan.
2. Penyakit Kulit Pada Pasien HIV/AIDS meliputi 4 bagian yaitu:
a. Infeksi Oportunistik
1) Bakteri meliputi selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel dan karbunkel.
2) Virus meliputi infeksi HPV (Human papillomavirus), VZV (Varicella zoster
virus), HSV (Herpes simplex virus), EBV (Ebsteinn-Barr virus), dan MCV
(Molluscum contangiosum virus).
3) Jamur meliputi kandidiasis, dermatofitosis, histoplasmosis, dan kriptokokus
b. Neoplasma Oportunistik
1) Sarkoma Kaposi
2) Kanker Kulit Nonmelanoma
c. Erupsi Obat ( Adverse Drug Reaction)
d. Dermatosis
1) Dermatitis Seboroik
2) Papular Pruritus Eruption (PPE)
3) Folikulitis Eosinofilik
4) Psoriasis Vulgaris
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, S L, MD, Bramono, K, MD & Indriatmi, W, MD. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. FKUI. Jakarta. 2015.
2. Oninla, Pagesolumayowa Abimbola. Mucocutaneous Manifestations Of HIV And
The Correlation With WHO Clinical Staging In A Tertiary Hospital In Nigeria.
Hindawi Publishing Corporation AIDS Research And Treatment. 2014.
3. Arista, A & Murtiastutik, D. Studi Retrospektif: Karakteristik Papular Pruritic
Eruption (PPE) Pada Pasien HIV/ AIDS. BIKKK - Berkala Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. Vol. 27 No. 3. 2015.
4. Dewi, I S L, Hidayati, A N. Manifestasi Kelainan Kulit pada Pasien HIV & AIDS.
BIKKK - Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Departemen/Staf Medik
Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Vol. 27 N0.2.
2015.
5. Upadana, N, Suryawati, N, Saputra, H. Primary Cutaneous Histoplasmosis Pada
Pasien Dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ilmiah
Kedokteran. Bagian/smf patologi anatomi fakultas kedokteran universitas udayana
/Rumah sakit umum pusat sanglah denpasar. Volume 44 No.2. 2013.
6. Murtiastutik, D, Johnson, Lan, Wahyuningsih, Djoerban. HIV & AIDS Serta
Manifestasi yang Terjadi Pada Kulit (Jenis Penyakit Kulit). Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2010.
7. Stone SP, Goldfard JN, Bacelien RE. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine Eight Edition Volume 1&2. Mc Graw Hill. 2012.
8. Graham-Brown, R, Bourke, J & Cunliffe, T. Dermatologi Dasar Untuk Praktik
Klinik. Jakarta. EGC. 2010.

Anda mungkin juga menyukai