Anda di halaman 1dari 25

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI AKALASIA

Oleh :
Dinda Fitriana Setia
H1AP13035

Pembimbing:
dr.Widyarti, Sp.Rad
dr. Rahcma Tri Wahyuni, Sp.Rad

KEPANITRAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga referat ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas
Kepanitraan Klinik Radiologi Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu
di RSUD Dr. M. Yunusdengan judul “Gambaran Radiologi Akalasia”.
Besar harapan penyusun bahwa referat ini dapat berguna bagi semua
kalangan pada umumnya dan praktisi medis. Dalam kesempatan ini penyusun
hendak mengucapkan terima kasih kepada : dr.Widyarti, Sp.Rad dan dr Rahcma
Tri Wahyuni, Sp.Rad selaku pembimbing Ilmu Radiologi di RSUD Dr. M.
Yunusdan semua pihak yang telah ikut memberikan dukungan dan bantuan
sehingga referat ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun kearah
penyempurnaan, sehingga akan menjadi bahan kajian selanjutnya demi
pembelajaran untuk referat ini.
Apabila dalam referat ini terdapat kesalahan dan hal yang kurang berkenan,
tanpa bermaksud menyinggung, penyusun mengucapkan maaf dengan segenap
kerendahan hati. Akhir kata selamat membaca dan semoga memberi manfaat.

Bengkulu, Oktober 2019

Dinda Fitriana Setia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

BAB II ..................................................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2

2.1 Esofagus ........................................................................................................ 2

2.1.1 Anatomi Esofagus .................................................................................. 2

2.1.2 Vaskularisasi Esofagus .......................................................................... 3

2.1.3 Fisiologi Esofagus .................................................................................. 4

2.2 Akalasia ......................................................................................................... 6

2.2.1 Definisi ................................................................................................... 6

2.2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 6

2.2.3 Etiologi Akalasia ................................................................................... 7

2.2.4 Patofisiologi Akalasia ............................................................................ 7

2.2.5 Diagnosis ................................................................................................ 8

2.2.7 Penatalaksaan Akalasia ...................................................................... 15

2.2.7 Prognosis Akalasia ............................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Akalasia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan tidak adanya


peristaltik di esofagus bagian bawah dengan spingter esofagus bagian bawah
(LES) yang hipertonik sehingga tidak terjadi relaksasi sempurna saat menelan
makanan. Akibat keadaaan ini akan terjadi statis makanan dan selanjutnya akan
timbul pelebaran esophagus. 1 Akalasia adalah idiopatik progresif degenerasi saraf
dari plexus auerbach myenteric. Kondisi ini akan menimbulkan beberapa gejala
dan komplikasi, tergantung pada tingkat keparahan dan durasinya. 2,3 Gejala
dominan kelainan ini adalah disfagia progresif, regurgitasi, nyeri dada,
ketidaknyamanan pada epigastrium dan penurunan berat badan. Secara klinis,
Akalasia dibagi menjadi primer dan sekunder,berdasarkan etiologinya.
Akalasia relatif jarang ditemukan. Insiden akalasia pada pria dan wanita
sama, dengan prevalensi 10 dari 100.000 orang, tidak spesifik pada etnis tertentu,
dan insiden tertinggi ditemukan pada kelompok umur 30-60 tahun. Di Amerika
Serikat, 2000 kasus akalasia dilaporkan setiap tahun, sebagian besar pada
kelompok umur 25-60 tahun, dan jarang ditemukan pada anak-anak. Di divisi
gastroentero-hepatologi, jurusan penyakit dalam, fakultas kedokteran universitas
indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, ditemukan 48 kasus dalam 5
tahun (1984-1988), sebagian besar dengan kelompok umur yang sama. 3,4
Klinik Gastroenterologi Amerika Pedoman dalam Diagnosis dan
Manajemen akalasia pada tahun 2013 merekomendasikan barium esophagogram
untuk menilai pengosongan esofagus, morfologi esofagogastrik junction selama
pengosongan lambung dan untuk mengevaluasi motilitasnya. Prosedur endoskopi
untuk melihat gastroesofagus junction dan kardia lambung direkomendasikan
pada semua pasien dengan akalasia untuk menghilangkan kemungkinan
pseudoakalasia.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Esofagus
2.1.1 Anatomi Esofagus

Gambar 2.1Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan


makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju
gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, toraks dan abdomen.
Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di
antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks
setinggi manubrium sterni.5
Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior mulai di
belakang lengkung aorta dan membelok ke kiri dari trakea di belakang bronkus
cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan beberapa sentimeter pada
area subcarinal dan kembali membelok ke kiri dan depan aorta torakalis, dan
masuk ke dalam rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir

2
di kardia lambung. Panjang esofagus yang berada di rongga perut berkisar dua
sampai empat sentimeter. Diameter rata-rata esofagus pada orang dewasa sekitar
2,5 sentimeter.5,6
Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang
berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah
adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti
ditemukan pada saluran cerna lainnya.5,6
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat
spinchter, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan
esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat spinchter.5,6

2.1.2 Vaskularisasi Esofagus

Gambar 2.2.Drainase arteri dan vena pada Esofagus.

Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari
esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea

3
inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.
Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika
inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.5,6
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di
esofagus bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan
melalui vena esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian
masuk ke vena cava superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena
masuk ke dalam vena koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi
hubungan langsung antara sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian
bawah melalui vena lambung tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan
timbulnya varises esofagus bila terjadi bendungan vena porta.5,6
Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa,
submukosa, lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial,
pembuluh ini berjalan secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari
laring ke kelenjar di leher, sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke
kelenjar seliakus, seperti pembuluh limfe dari lambung.5 Metastasis dari
keganasan esofagus dapat ditemukan antara kelenjar limfe leher dan kelenjar
limfe seliakus di perut, bergantung pada letaknya, stadium dan tingkat keganasan
tersebut.5

2.1.3 Fisiologi Esofagus


Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan
dimulai ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang
mulut menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di
faring yang kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat
menelan kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat
dalam proses menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang
terprogram secara sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu
rangkaian waktu spesifik; jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi
dipicu dalam pola teratur selama periode waktu tertentu untuk melaksanakan

4
tindakan menelan. Menelan dimulai secara volunter, tetapi setelah dimulai proses
tersebut tidak dapat dihentikan.7
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.
Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari
mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,
bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,
makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan
masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi
berikut ini:7
 Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah
menekan langit-langit
 Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga
saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.
 Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan
erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah
laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara
melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-
otot laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga
pintu masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran
kecil jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang
menambah proteksi untuk mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan.
 Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan
terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha
yang sia-sia untuk bernapas.
 Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk
mendorong bolus ke dalam esofagus.
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah
struktur esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup
mencegah lewatnya benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus
atas adalah spinchter faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter
gastroesofagus.7

5
Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke
lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler
yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan,
mendorong bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket
tertelan, dan tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer,
bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor
tekanan di dalam dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua
yang lebih kuat yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat
peregangan. Spinchter esofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik
mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung.
Setelah bolus masuk ke lambung, spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.7

2.2 Akalasia

2.2.1 Definisi
Akalasia adalah kegagalan peristaltik esofagus terorganisir yang
menyebabkan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah, dan
mengakibatkan stasis makanan dan sering ditandai dengan dilatasi esofagus .
Obstruksi esofagus distal dari etiologi non-fungsional lainnya, terutama
keganasan, mungkin memiliki gejala yang sama disebut "akalasia sekunder" atau
" pseudoakalasia ".8

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga
sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu
sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama
antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada
akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi
jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada
anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.1

6
2.2.3 Etiologi Akalasia
Dasar penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristalsis esofagus
bagian distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Penelitian menunjukkan
adanya kelainan persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam
plexus Auerbach, yang disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga terjadi
akibat proses autoimun atau infeksi kronis5
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :
1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak
diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik dan faktor keturunan.
2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh
infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan
ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi

2.2.4 Patofisiologi Akalasia


Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5
 Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak
berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion
sel
 Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan
oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan
infeksi virus.
Abnormalitas motorik pada akalasia esofagus merupakan hasil dari
penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus
intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan
neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter
esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan
vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita akalasia esofagus
kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam
transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya
tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.2,4

7
Pada pasien dengan penyakit ini, perubahan degeneratif telah ditunjukkan
oleh nervus vagus dan pada ganglia dalam pleksus mienterikus dari esofagus itu
sendiri. Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari LES (lower esophageal
sphincter), sebuah kegagalan sfingter untuk merelaksasikan penelanan,
peningkatan dari tekanan esofagus intraluminal, dilatasi esofagus, dan kehilangan
berikutnya dari peristalsis yang progresif pada corpus esofagus. Dilatasi esofagus
mengakibatkan kombinasi dari sfingter yang tidak berelaksasi, yang mana
menyebabkan perubahan anatomis yang terlihat pada studi radiografis, seperti
sebagai sebuah esofagus yang terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip,
penyempitan seperti “bird’s beak” pada akhir distal. Ada tingkat air fluid level
pada esofagus dari makanan dan saliva yang terentensi, ketinggian yang mana
merefleksikan derajat resistensi yang dipaksakan oleh sfingter yang tidak
relaksasi. Sebagai progres dari penyakit, esofagus menjadi terdilatasi dan
berkelok-kelok secara masif 8

2.2.5 Diagnosis Akalasis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis akalasia
esofagus, seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang
bermakna.9,10
1) Anamnesis
Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan akalasia esofagus, biasanya
memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan
makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional
atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair
merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat
terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang
berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien
yang telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia
aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum

8
bagian yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air
dalam jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa
makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung. Nyeri dada retrosternal yang
berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para
dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung.
Gejala heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita akalasia
esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari
fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita akalasia
esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha
mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri
di daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat
dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab akalasia esofagus.
2) Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang
dicurigai menderita akalasia esofagus. Pada akalasia esofagus, foto toraks
menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang berdilatasi
dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung, karena kontraksi
spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke dalam lambung.11

Gambar 3.1. Gambaran foto toraks pada akalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan
esofagus yang berdilatasi hebat (dikutip dari kepustakaan 13)

9
Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki akurasi
sekitar 95% dalam mendiagnosis akalasia esofagus, dan secara khas menunjukkan
bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian yang menyempit yang
menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau menyerupai ekor tikus
(mouse tail appereance) akibat kontraksi spinchter esofagus bawah secara
persisten.12

Gambar 3.2. Pemeriksaan esofagografi pada penderita akalasia esofagus, menunjukkan


esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor
tikus (mouse tail appereance)

3) Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk
mendiagnosis akalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk
menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di

10
dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau
hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik esofagus,
antara lain:11,12
 Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna
 Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus
secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
 Tanda klasik akalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang tinggi
pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah saat
istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian proksimal
dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung saat istirahat
(relaksasi)

Gambar 3.3. Teknik pemeriksaan esofagus (dikutip dari kepustakaan 14)

11
Gambar 3.4. Gambaran manometri esofagus pada pasien dengan akalasia esofagus

4) Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita akalasia
esofagus, untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction.
Pada akalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan
mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara
spontan. Jika akalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur fibrosis
esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit memberikan
tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.

12
Gambar 3.5. Perbandingan akalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B.
Endoskopi, C. Esofagografi

2.2.6 Diagnosis Banding Akalasia


Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis
yang serupa dengan akalasia esofagus. Tabel di bawah ini menunjukkan
perbedaan gejala dan tanda antara penyakit-penyakit yang memberikan gejala
klinis disfagia dengan akalasia esofagus idiopatik.17
Tabel 1. Diagnosis Banding Akalasia Esofagus Idiopatik
Pemeriksaan yang
Jenis Penyakit Perbedaan Gejala dan Tanda Dilakukan untuk
Menegakkan Diagnosis
 Disfagia pada makanan-
makanan padat terjadi lebih
awal, meskipun kesulitan Pemeriksaan esofagografi dan
Karsinoma untuk menelan makanan endoskopi menunjukkan
esofagus cair dapat terjadi jika adanya obtruksi pada
progresifitas penyakit sudah esofagus akibat adanya tumor
lanjut
 Kehilangan berat badan

13
dengan cepat
 Pemeriksaan endoskopi
 Disfagia dapat terjadi akibat menunjukkan esofagitis
adanya pembengkakan refluks, dengan atau tanpa
ataupun striktur fibrosis striktur peptikum.
peptikum, dengan atau Mungkin terdapat hernia
tanpa kelainan pada hiatus yang terletak di
Esofagitis refluks endoskopi bawah striktur.
 Pasien biasanya  Pemeriksaan esofagografi
mengeluhkan heartburn memiliki sensitivitas yang
dan/atau regurgitasi sebagai rendah
gejala tambahan dari  Terdapat perbedaan pH
disfagia pada esofagus distal jika
terjadi refluks
Pemeriksaan antibodi
antinuklear, faktor
Terdapat nyeri pada otot dan
Penyakit jaringan rheumatoid, dan kreatin
sendi, Raynaud’s phenomenon,
konektif (misalnya: kinase dapat menjadi skrining
dan perubahan pada kulit
sklerosis sistemik) dalam mendiagnosis
(rash, pembengkakan kulit)
penyakit-penyakit jaringan
konektif.
Pemeriksaan manometri
esofagus menunjukkan
kontraksi esofagus dengan
Gejala nyeri dada lebih
amplitudo yang tinggi,
Spasme esofagus menonjol daripada gejala
dibandingkan dengan
disfagia
gambaran aperistaltik yang
ditunjukkan pada akalasia
esofagus.
Esofagitis Gejala klinis berupa disfagia Biopsi pada esofagus

14
eosinofilik intermitten, lebih sering terjadi menunjukkan infiltrasi
pada laki-laki muda dengan eosinofil (>15 eosinofil per
riwayat atopi lapangan pandang)
 Biopsi gastroskopik pada
 Gejala klinis serupa dengan gastroesophageal junction
akalasia esofagus idiopatik dan kardia menunjukkan
(tidak dapat dibedakan suatu malignansi
secara klinis)  Hasil pemeriksaan
 Penyakit ini disebabkan endoskopi, esofagografi,
Pseudoakalasia
oleh suatu malignansi dan manometri esofagus
 Penderita biasanya berusia mungkin tidak
tua, dan kehilangan berat menunjukkan perbedaan
badan terjadi lebih besar dibandingkan dengan
dan cepat akalasia esofagus
idiopatik
 Merupakan penyakit
 Pemeriksaan mikroskopik
endemik di Amerika
pada darah segar
Tengah dan Selatan,
menunjukkan adanya
terdapat manifestasi klinis
Trypanosoma cruzi
Penyakit Chagas pada berbagai organ berupa
 Pewarnaan Giemsa pada
atonia kolon, miokarditis,
sediaan apusan darah tepi
dan pembengkakan kelopak
menunjukkan adanya
mata pada fase akut
parasit
(Romana sign)

2.2.7 Penatalaksaan Akalasia


Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).11

15
1) Terapi Non-Bedah
a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine, dapat
membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu membedakan
antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi spinchter esofagus bawah.
Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg
sublingual), dimana dapat mengurangi tekanan pada spinchter esofagus bawah.
Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini.
Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.1,2
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah, yang
kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitatorik
dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan
memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus
dengan sudut kemiringan 45°, di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-
kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini
terletak tepat di atas batas proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin
tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan,
yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada
setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang
sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian yang terbatas, di mana
60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah
terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa
kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini
sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction,
yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini

16
sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai kontraindikasi
terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.2,10
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin
telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif pada
kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah mendapatkan tempat
dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai untuk dilakukan terapi
dilatasi atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan pada spinchter esofagus
bagian bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh
sampai dua puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari
sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan teknik
endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin
botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung rata-rata satu tahun.
Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada
spinchter esophagus bagian bawah. Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri
dada ringan dan terdapat ruam kulit setelah perawatan.18

Gambar 3.6 Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia

c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-
tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang

17
bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak.
Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun
menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan
dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera
dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan
dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang
abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic
dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller.2

Gambar 3.7. Teknik pneumatic dilation pada achalasia

2) Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan
serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal
lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.
Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-
hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil
mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif
adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik,
perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan achalasia esofagus.

18
Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan
tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (esofagektomi).2

Gambar 3.8. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication

2.2.8 Prognosis Akalasia


Prognosis akalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin
sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus
yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat
baik. Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik
dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil

19
yang lebih baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin
botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani
pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi Heller.2

20
BAB III
KESIMPULAN

Akalasia ialah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasis


dan peristaltik esofagus berkurang, karena diduga terjadi inkoordinasi
neuromuskuler. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan
melebar dan disebut mega-esofagus.

Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. Pada
pemeriksaan radiologik, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus
dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di
bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti
bird-beak like appearance.

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik


esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller). Pembedahan memberikan hasil yang lebih
baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya
lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang
tersedia.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 320-2
2. Ahmed A. Akalasia: what is the best treatment? Ann Afr Med 2008;3:141-8.
3. Bakry HA. Akalasia. In: Sudoyo A, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, et. al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Interna Publ
2014.p.1743.
4. Michael F Vaezi John T Pandolth, Marcelo F Vela, clinical guideline:
diagnosis and management of akalasia. Am JGastroenterol 2013;108:1238-
49.
5. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.
6. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s anatomy for students. USA:
Elsevier; 2007. p. 192-8.
7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996.
h. 548-50.
8. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, Pollock RE. Schwartz’s principles of surgery, 9th ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2010.
9. Patti MG. Akalasia [online]. 2011. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/169974
10. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.
11. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.

Anda mungkin juga menyukai