Anda di halaman 1dari 2

Pasal 21 dan 47 Undang -Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai telah

mengabaikan UUD 1945.

"Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tetapi
secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma," ujar ahli hukum agraria Universitas
Brawijaya (Unibraw) Suhariningsih dalam sidang pengujian undang-undang yang dipimpin oleh Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5).

Ahli yang dihadirkan oleh pemohon itu menyatakan penghapusan norma itu tidak secara langsung
melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hak-hak warga negara.

Menurut Suhariningsih, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun badan
hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil.
Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya demi kepentingan pihak investor.

"Undang-Undang Perkebunan secara substansi dan normatif telah tidak berkesesuaian dengan cita-
cita negara hukum Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya," kata Suhariningsih.

Suhariningsih pun mengutip pendapat Prof Achmad Sodiki dalam sebuah seminar nasional, sepuluh
tahun lalu. Dalam seminar itu, kata Suhariningsih, Sodiki menyebut ketika negara tidak mampu
meningkatkan perekonomian dan selanjutnya bergandengan tangan dengan para pemodal asing
maka telah terjadi perubahan substantif.

"Menurut saya materi muatan dalam pasal-pasal itu tidak mengandung asas pengayoman terhadap
rakyat miskin. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses
tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor," tukas Suhariningsih.

Hal senada disampaikan oleh pakar antropologi Prof I Nyoman Nurjaya. Guru Besar Fakultas Hukum
Unibraw itu mengatakan Pasal 21 Undang-Undang 18 Tahun 2004 itu sebagai pasal mengada-ada,
karena di KUHAP juga telah mengatur soal pidana.

"Redaksi pasal ini sudah ada di KUHAP. Jadi tak perlu lagi diatur (dalam Unadng-Unadng 18 Tahun
2004)," ujarnya.

Pasal 21 Undang-Undang tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan


tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa
dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar
unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47
yang memuat sanksinya

Permohonan pengujian undang-undang ini diajukan oleh empat petani dari tiga daerah. Mereka
adalah Sakri (Blitar, Jatim), Ngatimin alias Keling (Serdang Begadai, Sumut), serta Vitalis Andi dan
Japin (Ketapang, Kalbar).
Bersama kuasa hukum mereka, Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien, serta pihak terkait dari LSM
Sawit Watch, mereka meminta MK agar membatalkan Pasal 21 juncto Pasal 47 ayat 1 dan 2 Undang-
Undang 18 Tahun 2004.

Wahyu, usai sidang, menjelaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya
pembedaan kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. Undang-
Undang tersebut, ujarnya, harus mampu melindungi hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal.

"Sebab dengan adanya ketentuan tersebut maka tindakan untuk memperjuangkan hak petani dapat
dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan," kata Wahyu.

Ia menuturkan sampai pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi petani akibat
bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Wahyudi pun menerangkan bahwa Ngatimin telah
terlibat dalam konflik lahan itu sejak tahun 1968, saat ia masih bersama orang tuanya.

"Kalau tidak direview akan menimbulkan banyak konflik agraria. Seolah-olah konflik dipelihara," tukas
Wahyu.

Pada sidang sebelumnya, 20 April 2011, pemerintah menyatakan tujuan Undang-Undang


perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, produktivitas,
nilai tambah dan daya saing. Sedangkan pada pasal yang diuji materi, ahli dari pemerintah Achyar
Salmi menyatakan ketentuan pidana dalam pasal itu telah sesuai dengan asas legalitas.

Anda mungkin juga menyukai