Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kecacingan   merupakan   masalah   kesehatan   yang   tersebar   luas   didaerah

tropis  dan subtropis.  Data   dari  World   Health  Organization  (WHO)   pada   tahun

2016, lebih dari 1,5 milyar orang atau sekitar 24% penduduk dunia terinfeksi STH.

Angka   kejadian   terbesar   berada   di   sub­Sahara  Afrika,   Amerika,   China   dan   Asia

Timur.  Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan memiliki kelembapan

udara yang tinggi. Keadaan ini sangat mendukung Soil Transmitted Helminths untuk

dapat berkembang dengan baik (Seja, 2015). Tingkat ekonomi dan social masyarakat

Indonesia   belum   merata   sehingga   pengetahuan   dan   kesadaran  masyarakat   untuk

menjaga   kebersihan   diri   dan   lingkungan   masih   belum   baik.   Hal  ini   yang

menyebabkan penularan telur cacing lebih mudah di Indoneisa sehingga masyarakat

dapat   mengalami   penyakit   kecacingan   (Kusmi,   2014).   Prevalensi  penyakit

kecacingan   berdasarkan   laporan   survei   tahun   2004   pada   10   provinsi,  didapatkan

hasil bahwa prevalensi tertinggi berada di Propinsi Nusa Tenggara Barat  (83,6%),

Sumatera   Barat   (82,3%),   dan   Sumatera   Utara   (60,4%).   Angka   nasional  penyakit

kecacingan   adalah   30,35%   dengan   penjabaran   prevalensi   cacing   gelang  17,75%,

cacing cambuk 17,74% dan cacing tambang 6,46% (Ditjen PPM dan PL, 2012). 
2

  Infeksi   kecacingan   yang   disebabkan   oleh  Soil   Transmitted   Helminths

(STH)   merupakan   masalah   kesehatan   masyarakat   Indonesia.   Infeksi

kecacingan   tergolong penyakit  necleted disease  yaitu infeksi yang kurang

diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis

yang   jelas   dan   dampak   yang   ditimbulkannya   baru   terlihat   dalam   jangka

panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan gangguan

kognitif pada anak. Penyebabnya adalah  Ascaris lumbricoides, Ancylostoma

duodenale,  Necator   americanus,  Trichuris   trichiura  dan  Strongyloides

stercoralis.   Selain   itu   infeksi   kecacingan   dapat   meningkatkan   kerentanan

terhadap  penyakit  penting lainnya  seperti malaria,  TBC,  diare dan  anemia

(Supali,   2008).   Penyakit   kecacingan   atau   biasa   disebut   cacingan   masih

dianggap   sebagai   hal   sepele   oleh   sebagian   besar   masyarakat   Indonesia.

Padahal   jika   dilihat   dampak   jangka   panjangnya,   kecacingan   menimbulkan

kerugian yang cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat

menyebabkan anemia, lesu dan prestasi belajar menurun.

Pengetahuan  merupakan  salah satu aspek yang mempengaruhi  perilaku.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mardiana (2007), menyatakan bahwa

kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam

penularan kecacingan. Infeksi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku,
3

lingkungan   tempat   tinggal,   dan   manipulasi   terhadap   lingkungan,   misalnya

tidak  tersedianya  air bersih dan  tempat  pembuangan  tinja  yang  memenuhi

syarat kesehatan. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wantini (2011), bertempat di

SD Negeri II Keteguhan Teluk betung Barat diperoleh hasil berupa prevalensi

kecacingan   sebesar   47,4%   selain   itu   dari   uji   pendahuluan   yang   dilakukan

pada   tanggal   15   oktober   2014   didapatkan   data   bahwa   sebagian   dari   anak

Sekolah Dasar ini masih memiliki kebiasaan buang air besar (BAB) di sungai.

Maka   dari   penelitian   ini   perlu   dilakukan   promosi   kesehatan   guna

meningkatkan pengetahuan siswa mengenai penyakit kecacingan. Tingginya

infeksi   cacing   disebabkan   oleh   beberapa   faktor   seperti   rendahnya   tingkat

sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan

sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku

jajan di sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku

BAB tidak di WC yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh

feses   yang   mengandung   telur   cacing   serta   ketersediaan   sumber   air   bersih.

Dampak   infeksi   kecacingan   ini   banyak   dilaporkan   oleh   peneliti,   beberapa

yang dilaporkan yakni anak usia sekolah merupakan golongan yang paling

sering terinfeksi cacing karena sering berhubungan dengan tanah. Salah satu
4

dampak yang dapat ditimbulkan dari infeksi ini yaitu menurunnya status gizi.

Dampak   dari   kecacingan   ini   dapat   memperburuk   kesehatan   masyarakat

terutama siswa sekolah yang merupakan sumber daya manusia dikemudian

hari. 

Berdasarkan data Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas

Kemiling Bandar Lampung Tahun 2017 cacingan termasuk dalam 10 besar

penyakit terbanyak dengan jumlah kasus 125 dengan 83 (65,40%) kasus

dialami anak sekolah dan 34 (26,77%) orang diantaranya siswa Sekolah

Dasar (P2M Puskesmas Kemiling Bandar Lampung, 2017).

Pada saat dilakukan pengamatan di SD Negeri I Langkapura pada tanggal

24 Maret 2018 dengan melakukan observasi pada 10 siswa SD Negeri I

Langkapura, didapatkan 6 siswa SD (60%) yang tidak mengetahui tentang

akibat dari kejadian penyakit kecacingan .

Berdasarkan   uraian   latar   belakang   di   atas,   perlu   dilakukan   promosi

kesehatan   tentang   kejadian   kecacingan   terhadap   pengetahuan   dan   sikap   siswa.

Disamping itu, peneliti ingin mengetahui adakah pengaruh penyuluhan kesehatan

tentang kejadian kecacingan (Askariasis) terhadap pengetahuan dan sikap siswa

SDN I Langkapura Kelas III-V Tahun 2018.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan   latar   belakang   yang   telah   dikemukakan   maka,   penulis

merumuskan   permasalahan   dalam   penelitian   ini   adalah   “adakah  pengaruh


5

penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan (Askariasis) terhadap

pengetahuan dan sikap siswa SDN I Langkapura Kelas III-V Tahun 2018?”

1.3 Batasan Masalah

Penelitian   ini   merupakan   penelitian   kuantitatif   dengan   desain   pra

ekepserimen dengan pendekatan one group pre test post test. Objek penelitian

adalah  pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan

(Askariasis) terhadap pengetahuan dan sikap siswa SDN I Langkapura Kelas

III-V Tahun 2018. Penelitian akan dilakukan di  SDN I Langkapura Bandar

Lampung pada   bulan   Mei­Juni   2018  terhadap   siswa   kelas  III  ­   V  SDN I

Langkapura Bandar Lampung,   pengumpulan   data   menggunakan   lembar

kuesioner.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk   mengetahui  pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian

kecacingan (Askariasis) terhadap pengetahuan dan sikap siswa SDN I Langkapura

Kelas III-V Tahun 2018

1.4.2 Tujuan Khusus
6

1. Untuk mengetahui  distribusi frekuensi pengetahuan anak SD kelas  III­V

mengenai kejadian kecacingan (Askariasis) sebelum diberi penyuluhan di

SDN I Langkapura Bandar Lampung.

2. Untuk mengetahui  distribusi frekuensi pengetahuan anak SD kelas  III­V

mengenai  kejadian kecacingan (Askariasis) sesudah  diberi  penyuluhan  di

SDN I Langkapura Bandar Lampung 

3. Untuk   mengetahui  distribusi   frekuensi  sikap  anak   SD   kelas  III­V

mengenai kejadian kecacingan (Askariasis) sebelum diberi penyuluhan di

SDN I Langkapura Bandar Lampung

4. Untuk   mengetahui  distribusi   frekuensi  sikap  anak   SD   kelas  III­V

mengenai  kejadian kecacingan (Askariasis) sesudah  diberi  penyuluhan  di

SDN I Langkapura Bandar Lampung

5. Untuk   mengetahui  pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian

kecacingan (Askariasis) terhadap pengetahuan siswa SDN I Langkapura

Kelas III-V Tahun 2018

6. Untuk   mengetahui  pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian

kecacingan (Askariasis) terhadap sikap siswa SDN I Langkapura Kelas

III-V Tahun 2018

1.5. Manfaat Penelitian

1. Teoritis
7

Sebagai   informasi   bagi   pihak   sekolah   bahwa   penyuluhan   kesehatan

mengenai kecacingan (Askariasis) pada murid dapat dilakukan.

2. Aplikatif

Sebagai informasi bagi pihak puskesmas bahwa penyuluhan pada murid

SD khususnya mengenai kecacingan (Askariasis). Sehingga pihak sekolah

diharapkan dapat melakukan penyuluhan secara teratur yaitu setiap 6 bulan

sekali. 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
8

2.1 Kejadian Kecacingan

2.1.1 Definisi Kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

parasit berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat

sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan

gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang

luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa keliru ke arah

penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal (Margono, 2008).

Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai

infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan

nematoda usus. Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang

penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH

yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichuira dan

Ancylostoma duodenale (Margono et al., 2006). Kecacingan ini umumnya

ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana

hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi

paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan

ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO, 2011).

Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,

mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk

silindris serta panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih

dari satu meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana
9

sebagian besar cacing dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng

pemotong. Cacing ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan

kehilangan darah, iritasi dan alergi (Margono, 2008).

2.1.2 Dampak Infeksi Kecacingan

Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung,

namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kecacingan

dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan

produktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan

banyak kerugian yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber

daya manusia. Infeksi cacing pada manusia dapat dipengaruhi oleh perilaku,

lingkungan tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan

(Wintoko, 2014).

Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan

gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing

tambang mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris

trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi (Satari, 2010).

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah,

turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan

eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Infeksi

cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini

sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu

menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka
10

penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan

anemia berat (Margono, 2008).

2.1.3 Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas

Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak

dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah

yang lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis

(Bethony et al., 2006).

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi

tanah oleh STH antara lain adalah:

1. Tanah

Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan

daya tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh

merupakan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan

bercampur humus sangat sesuai untuk pertumbuhan larva cacing

tambang disamping teduh (Margono, 2008).

2. Iklim/Suhu

Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan

telur dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia. Suhu optimum

untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar 25ºC, sedangkan

telur Trichuris trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. Larva

Ancylostoma duodenale akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 23-


11

25°C, sedangkan untuk Necator americanus berkisar antara 28-32°C

(Margono, 2008).

3. Kelembaban

Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva

dari STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan

bagi pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk

perkembangan telur Ascaris lumbricoides sedang telur Trichuris

trichiura menjadi stadium larva maupun bentuk infektif pada

kelembaban 87% (Margono, 2008)

4. Angin

Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga dapat mematikan telur

dan larva. Selain itu angin juga dapat menyebarkan telur STH dalam

debu sehingga mempermudah penularan infeksi STH. (Margono, 2008).

Berikut ini spesies-spesies Soil Transmitted Helminths (STH) yang

paling sering menyebabkan infeksi kecacingan adalah :

1. Ascaris lumbricoides

2. Trichuris trichiura

3. Necator americanus

4. Ancylostoma duodenale

2.1.3.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


12

1. Morfologi

Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara Nematoda

lainnya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang. Manusia

merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-

30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, kadang-kadang sampai 39

cm dengan diameter 3-6 mm. Pada stadium dewasa hidup di rongga

usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir

sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi

bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Ascaris

lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai dalam feses

yaitu telur fertil (telur yang dibuahi), infertil (telur yang tidak dibuahi),

decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi kehilangan lapisan

albuminnya) dan telur infektif (telur yang megandung larva) (Prianto et

al., 2006).

Gambar 2.1. Telur cacing Ascaris lumbricoides. (13) telur yang


dibuahi, (15) telur yang tidak dibuahi Sumber :
Russel, 2012)
Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat

dilihat pada gambar berikut ini :


13

Gambar 2.2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

(Sumber : Zaman, 1997)

Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing

betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang

akan keluar bersama feses.

2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi

infective setelah18 hari sampai beberpa minggu di tanah.

3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab,

hangat, tempat teduh).

4. Telur infektif tertelan.

5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang

kemudian menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening

dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru.

Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14), menembus

dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan


14

kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing

dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai

menjadi cacing dewasa sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1

sampai 2 tahun dalam tubuh (O’lorcain, 2006).

2. Patogenesis

Patogenesis berkaitan dengan jumlah organisme yang menginvasi,

sensitifitas individu, bentuk perkembangan cacing, migrasi larva dan

status nutrisi individu. Migrasi larva dapat menyebabkan eosinophilia

dan kadang-kadang reaksi alergi. Bentuk dewasa dapat menyebabkan

kerusakan pada organ akibat invasinya dan mengakibatkan patogenesis

yang lebih berat (Soedarmo, 2010).

3. Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi dari cacing Ascaris

lumbricoides antara lain rasa tidak enak pada perut, diare, nausea,

vomiting, berat badan menurun dan malnutrisi. Bolus yang dihasilkan

oleh cacing dapat menyebabkan obstruksi intestinal, sedangkan larva

yang migrasi dapat menyebabkan pneumonia dan eosinophilia

(Soedarmo, 2010).

4. Epidemiologi

Infeksi yang disebabkan oleh cacing A. lumbricoides disebut

Ascariasis. Di Indonesia kejadian Ascariasis tinggi, frekuensinya antara

60% sampai 90% terutama terjadi pada anak-anak. A. lumbricoides

banyak terjadi pada daerah iklim tropis dan subtropis khususnya


15

negara-negara berkembang seperti Asia dan Afrika (Soedarmo, 2010).

5. Diagnosis

Diagonsis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur pada

feses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama feses,

muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan kontras

barium (Soedarmo, 2010).

6. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana

pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan

dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan dan

sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang ingin

dimakan, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati

penderita (Soedarmo, 2010).

2.1.3.2 Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )

1. Morfologi

Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cacing

dewasa berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal

dan 3/5 bagian anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih

pendek (3-4cm) daripada betina dengan ujung posterior yang

melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran 4-5 cm dengan

ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus yang khas

(Schistosoma oesophagus). Telur berukuran 30-54 x 23 mikron dengan

bentukan yang khas lonjong seperti tong (barrel shape) dengan dua
16

mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan (Prianto et al.,

2006).

Gambar 2.3. Telur cacing Trichuris trichiura (Sumber : Russel, 2012)

Cara infeksi adalah telur yang berisi embrio tertelan manusia, larva

aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa

dan menetap. Telur yang infektif akan menjadi larva di usus halus pada

manusia. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah

atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung

menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002). Siklus hidup cacing Trichuris

trichiura, yaitu:

Gambar 2.4. Siklus hidup Trichuris trichiura (Sumber : Safar, 2010)

2. Manifestasi Klinik

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama

terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons


17

alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama

infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita).

Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala

pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia,

diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).

3. Epidemiologi

Penyebaran geografis T. trichuira sama A. lumbricoides sehingga

seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu

hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan,

frekuensinya antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada

anak–anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah

kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur

berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo,

2002).

4. Patogenesis

Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di caecum tetapi dapat juga

berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan

inflamasi, infiltrasi dan kehilangan darah (anemia). Pada infeksi yang

parah dapat menyebabkan rectal prolapse dan defisiensi nutrisi

(Soedarmo, 2010)

5. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana

pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan


18

dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan dan

sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang ingin

dimakan, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati

penderita (Soedarmo, 2010).

2.1.3.3 Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)

Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia

yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan

“The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Hotez, 2004)

1. Morfologi

Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat

pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan

baik. Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan.

Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina

berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina dapat

bertelur ±9000 butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat

bertelur ±10.000 butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya

menyerupai huruf S sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C.

Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai

benda kitin, sedangkan pada A.duodenale terdapat dua pasang gigi

(Safar, 2010).
19

Gambar 2.5 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa

(Sumber : Zaman, 1997)

Gambar 2.6 Cacing Necator americanus dewasa

(Sumber : Zaman, 1997)

Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan

dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang.

Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval,

dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel.

Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka

keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari

cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing

dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae)


20

panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang

oesophagus 1/3 dari panjang badan (Margono, 2008).

Gambar 2.7 Telur Hookworm (Sumber : Russel, 2012)

Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva

filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000

butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,

cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup

S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup

cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses,

setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva

rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva

filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8

minggu di tanah (Safar, 2010).

Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke

paru- paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke

bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan

masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi
21

bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama

makanan (Margono et al., 2006). Gambaran umum siklus hidup

cacingAncylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat

pada gambar berikut ini :

Gambar 2.8 Siklus hidup Hookworm A.duodenale dan N.americanus

(Sumber : Safar, 2010)

Keterangan :

Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami

pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik

ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas,

larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah

sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan terbawa

ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian

kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus

halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing


22

tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama

dengan feses ke alam dan akan menyebar kemana-mana (Gracia, 2006).

2. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk

memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi

makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Secara praktis telur cacing

Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator

americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan

tekhnik pembiakan larva (Onggowaluyo, 2002). Larva cacing tambang

kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan.

Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan

menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang

kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan

menyebar kemana- mana (Gracia, 2006).

3. Patogenesis

Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erythematous.

Larva di paru-paru akan menyebabkan perdarahan, eosinophilia, dan

pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat menyebabkan anemia

(Soedarmo, 2010).

4. Epidemiologi

Hookworm menyebabkan infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan

mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 7 Liter. Cacing ini ditemukan

di daerah tropis dan subtropis. Kondisi yang optimal untuk daya tahan
23

larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 23°-33°C.

Kejadian infeksi cacing ini terjadi pada anak-anak (Soedarmo, 2010).

5. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup

cacing sehingga dapat mencegah perkembangannya menjadi larva

infektif, mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana

pembuangan feses dan memakai alas kaki (Soedarmo, 2010).

2.2 Penyuluhan Kesehatan

2.2.1 Definisi Penyuluhan Kesehatan

Menurut Syafrudin (2015) penyuluhan kesehatan adalah proses

membantu seseorang, dengan bertindak sendiri-sendiri ataupun secara

kolektif untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai

hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain. Menurut

Entjang dalam Syafrudin (2015) penyuluhan kesehatan adalah proses

membuat orang mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan

individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu, kelompok atau

masyarakat agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-

perubahan secara suka rela dalamm tingkah laku individu.

Sedangkan   menurut   Notoadmodjo   (2003,   dalam   Syafrudin   2015)

mengemukakan penyuluhan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi

orang   lain   baik   individu,   kelompok   atau   masyarakat   agar   melakukan

perilaku hidup sehat. Sedangkan secara operasional penyuluhan kesehatan
24

merupakan   suatu   kegiatan   untuk   memberikan   dan   atau   meningkatkan

pengetahuan,   sikap   dan   praktik   masyarakat   dalam   memelihara   dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri.

2.2.2 Tujuan Penyuluhan kesehatan

Tujuan pendidikan yang paling pokok menurut Effendy (2012) adalah:

1. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat

dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat,

serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang

optimal.

2. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental

dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.

3. Menurut WHO, tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah

perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.

Promosi kesehatan  mempengaruhi  3 faktor penyebab terbentuknya

perilaku tersebut Green dalam (Notoatmodjo, 2011) yaitu:

1. Promosi kesehatan dalam faktor­faktor predisposisi

Promosi   kesehatan   bertujuan   untuk   mengunggah   kesadaran,

memberikan   atau   meningkatkan   pengetahuan   masyarakat   tentang

pemeliharaan   dan   penigkatan   kesehatan   bagi   dirinya   sendiri,

keluarganya   maupun   masyarakatnya.   Disamping   itu,   dalam   konteks


25

promosi   kesehatan   juga   memberikan   pengertian   tentang   tradisi,

kepercayaan masyarakat dan sebagainya, baik yang merugikan maupun

yang menguntungkan kesehatan. Bentuk promosi ini dilakukan dengan

penyuluhan   kesehatan,   pameran   kesehatan,   iklan­iklan   layanan

kesehatan, billboard, dan sebagainya.

2. Promosi kesehatan dalam faktor­faktor enabling (penguat)

Bentuk   promosi   kesehatan   ini   dilakukan   agar   masyarakat   dapat

memberdayakan   masyarakat   agar   mampu   mengadakan   sarana   dan

prasarana kesehatan dengan cara memberikan kemampuan dengan cara

bantuan teknik, memberikan arahan, dan cara­cara mencari dana untuk

pengadaan sarana dan prasarana. 

3. Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing (pemungkin)

Promosi   kesehatan   pada   faktor   ini   bermaksud   untuk   mengadakan

pelatihan bagi tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan

sendiri  dengan  tujuan  agar  sikap  dan  perilaku  petugas  dapat   menjadi

teladan, contoh atau acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat. 

2.2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi penyuluhan kesehatan
26

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu penyuluhan

kesehatan masyarakat, apakah itu dari penyuluh, sasaran atau dalam proses

penyuluhan itu sendiri yaitu:

1. Faktor penyuluh

a. Kurang persiapan

b. Kurang menguasai materi yang akan dijelaskan

c. Penampilan kurang meyakinkan sasaran

d. Bahasa yang digunakan kurang dapat dimengerti oleh sasaran karena

terlalu banyak menggunakan istilah–istilah asing

e. Suara terlalu kecil dan kurang dapat didengar

f. Penyampaian   materi   penyuluhan   terlalu   monoton   sehingga

membosankan.

2. Faktor sasaran

a. Tingkat   pendidikan   terlalu   rendah   sehingga   sulit   menerima   pesan

yang disampaikan

b. Tingkat   sosial   ekonomi   terlalu   rendah   sehingga   tidak   begitu

memperhatikan   pesan–pesan   yang   disampaikan,   karena   lebih

memikirkan kebutuhan–kebutuhan lain yang lebih mendesak
27

c. Kepercayaan dan adat kebiasaan yang telah tertanam sehingga sulit

untuk   mengubah   misalnya,   makan   ikan   dapat   menimbulkan

cacingan, makan telur dapat menimbulkan cacingan 

d. Kondisi   lingkungan   tempat   tinggal   sasaran   yang   tidak   mungkin

terjadi   perubahan   perilaku.   Misalnya   masyarakat   yang   tinggal   di

daerah tandus yang sulit air akan sangat sukar untuk memberikan

penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi dan perseorangan.

3. Faktor proses dalam penyuluhan

a. Waktu   penyuluhan   tidak   sesuai   dengan   waktu   yang   diinginkan

sasaran

b. Tempat   penyuluhan   dilakukan   dekat   tempat   keramaian   sehingga

mengganggu proses penyuluhan kesehatan yang dilakukan

c. Jumlah   sasaran   yang   mendengarkan   penyuluhan   terlalu   banyak

sehingga   sulit   untuk   menarik   perhatian   dalam   memberikan

penyuluhan

d. Alat peraga dalam memberikan penyuluhan kurang ditunjang oleh

alat peraga yang dapat mempermudah pemahaman sasaran 

e. Metode   yang   dipergunakan   kurang   tepat   sehingga   membosankan

sasaran untuk mendengarkan penyuluhan yang disampaikan
28

f. Bahasa   yang   dipergunakan   sulit   dimengerti   oleh   sasaran,   karena

tidak menggunakan bahasa keseharian sasaran

2.2.4 Metode Penyuluhan kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2011), berdasarkan pendekatan sasaran yang

ingin dicapai, penggolongan metode pendidikan ada 3 (tiga) yaitu: 

2.3.4.1 Metode pendidikan individual (perorangan) 

Metode   ini   bersifat   individual   dan   biasanya   digunakan   untuk

membina perilaku baru, atau membina seorang yang mulai tertarik pada

suatu   perubahan  perilaku  atau  inovasi.  Dasar   digunakannya   pendekatan

individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang

berbeda­beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. 

Ada 2 bentuk pendekatannya yaitu:

1. Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and Counceling)

2. Wawancara

2.3.4.2 Metode pendidikan kelompok 

Penyuluh   berhubungan   dengan   sasaran   secara   kelompok.   Dalam

penyampaian   promosi   kesehatan   dengan   metode   ini   kita   perlu


29

mempertimbangkan besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan

formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya kelompok, yaitu:

1. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang.

Metode yang baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar.

a. Ceramah

Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun

rendah.   Hal­hal   yang   perlu   diperhatikan   dalam   menggunakan

metode ceramah adalah: 

1) Persiapan

Ceramah   yang   berhasil   apabila   penceramah   itu   sendiri

menguasai   materi   apa   yang   akan   diceramahkan,   untuk   itu

penceramah   harus   mempersiapkan   diri.   Mempelajari   materi

dengan   sistematika   yang   baik.   Lebih   baik   lagi   kalau   disusun

dalam diagram atau skema dan mempersiapkan alat­alat bantu

pengajaran.

2) Pelaksanaan

Kunci   keberhasilan   pelaksanaan   ceramah   adalah   apabila

penceramah  dapat  menguasai  sasaran  Untuk  dapat  menguasai

sasaran penceramah dapat menunjukkan sikap dan penampilan
30

yang meyakinkan. Tidak boleh bersikap ragu­ragu dan gelisah.

Suara hendaknya cukup keras dan jelas. Pandangan harus tertuju

ke seluruh peserta. Berdiri di depan /dipertengahan, seyogianya

tidak   duduk   dan   menggunakan   alat   bantu   lihat   semaksimal

mungkin.

Menurut Effendy (2012) ceramah adalah suatu cara dalam

menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan

secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh

informasi tentang kesehatan. Adapun keuntungan menggunakan

metode ceramah antara lain :

a) Banyak orang yang dapat mendengarkan atau memperoleh

pengetahuan di bidang kesehatan

b) Dapat diterima oleh sasaran yang tidak dapat membaca

c) Mudah dilaksanakan

d) Mudah mempersiapkan

e) Mudah mengorganisasi

Sedangkan kerugian menggunakan metode ceramah antara lain:

a) Tidak   memberikan   kesempatan   kepada   sasaran   untuk

berpartisipasi secara aktif (sasaran bersifat pasif)
31

b) Cepat membosankan bila ceramahnya kurang menarik

c) Pesan yang disampaikan mudah dilupakan 

d) Diberikan hanya satu kali saja

e) Sering   timbul   pengertian   lain   bila   sasaran   kurang

memperhatikan

b. Seminar

Metode   ini   hanya   cocok   untuk   sasaran   kelompok   besar   deng

pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari

seseorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu topik yang

dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat. 

2. Kelompok   kecil,   yaitu   apabila   peserta   penyuluhan   kurang   dari   15

orang.   Metode   yang   cocok   untuk   kelompok   ini   adalah   diskusi

kelompok, curah pendapat, bola salju, memainkan peranan, permainan

simulasi.

2.3.4.3 Metode pendidikan massa  (public)

Metode   pendekatan   massa   ini   cocok   untuk   mengkomunikasikan

pesan­pesan   kesehatan   yang   ditujukan   kepada   masyarakat.   Sehingga

sasaran   dari   metode   ini   bersifat   umum,   dalam   arti   tidak   membedakan

golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status social ekonomi, tingkat

pendidikan, dan sebagainya, sehingga pesan-pesan kesehatan yang ingin


32

disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap

oleh massa. Metode yang digunakan antara lain ceramah umu, pidato,

simulasi, tulisan-tulisan di majalah atau Koran dan Billboard.

2.3.5 Alat Bantu dan Media Penyuluhan kesehatan

2.3.5.1 Alat Bantu (Peraga)

1. Pengertian

Yang dimaksud alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan

oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan / pengajaran.

Alat bantu ini lebih sering disebut alat peraga karena berfungsi untuk

membantu dan meragakan sesuatu dalam proses pendidikan pengajaran

(Notoatmodjo, 2011).

2. Faedah Alat Bantu Pendidikan

Secara terperinci, faedah alat peraga antara lain sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2011):

a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan.

b. Mencapai sasaran yang lebih banyak.

c. Membantu mengatasi hambatan bahasa.

d. Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan

kesehatan.

e. Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan

cepat.

f. Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan

yang diterima kepada orang lain.


33

g. Mempermudah penyampaian bahan pendidikan / informasi oleh

para pendidik pelaku pendidikan.

h. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan.

Seperti diuraikan diatas bahwa pengetahuan yang ada pada

seseorang diterima melalui indera. Menurut penelitian para ahli

indera, yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam

otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan

manusia diperoleh / disalurkan melalui mata. Sedangkan 13%

sampai 25% lainnya tersalur melalui indera yang lain. Dari sini

dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara

penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan.

i. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui kemudian lebih

mendalami dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik.

Orang yang melihat sesuatu yang memang diperlukan akan

menimbulkan perhatiaannya. Dan apa yang dilihat dengan penuh

perhatian akan memberikan pengertian baru baginya yang

merupakan pendorong untuk melakukan / memakai sesuatu yang

baru tersebut.

j. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh.

Untuk mengatasi hal tersebut, AVA akan membantu menegakkan

pengetahuan- pengetahuan yang telah diterima oleh manusia

sehingga apa yang diterima akan lebih lama tinggal / disimpan

didalam ingatan.
34

3. Macam-Macam Alat bantu Pendidikan

Pada garis besarnya, hanya ada 2 macam alat bantu pendidikan (alat

peraga) (Notoatmodjo, 2011):

a. Alat Bantu Lihat (Visual Aids)

Alat ini berguna didalam membantu menstimulasi indera mata

(penglihatan) pada waktu terjadinya proses pendidikan. Alat ini ada

2 bentuk:

1) Alat yang diproyeksikan, misalnya slide, film, film strip, dan

sebagainya.

2) Alat-alat yang tidak diproyeksikan :

a) 2 dimensi, gambar, peta, bagan, dan sebagainya.

b) 3 dimensi misal bola dunia, boneka, dan sebagainya.

b. Alat-Alat Bantu Dengar (Audio Aids)

Ialah alat yang dapat membantu menstimulasi indera pendengar

pada waktu proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran.

c. Alat Bantu Lihat-Dengar

Seperti televisi dan video cassette. Alat-alat bantu pendidikan ini

lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA).

Disamping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat dibedakan

menjadi 2 macam menurut pembuatannya dan penggunaannya.

a. Alat peraga yang complicated (rumit), seperti film, film strip slide

dan sebagainya yang memerlukan listrik dan proyektor


35

b. Alat peraga yang sederhana, yang mudah dibuat sendiri dengan

bahan-bahan setempat yang mudah diperoleh, seperti bambu,

karton, kaleng bekas, kertas koran, dan sebagainya.

Ciri-ciri alat peraga kesehatan yang sederhana antara lain:

a. Mudah dibuat

b. Bahan-bahannya dapat diperoleh dari bahan-bahan local

c. Mencerminkan kebiasaan, kehidupan dan kepercayaan setempat.

d. Ditulis (digambar) dengan sederhana.

e. Bahasa setempat dan mudah dimengerti oleh masyarakat.

f. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan petugas kesehatan dan masyarakat.

4. Sasaran yang Dicapai Alat Bantu Pendidikan

Menggunakan alat peraga harus didasari pengetahuan tentang sasaran

pendidikan yang akan dicapai alat peraga tersebut.

a. Individu atau kelompok

b. Kategori-kategori sasaran seperti kelompok umur, pendidikan,

pekerjaan, dan sebagainya.

c. Bahasa yang mereka gunakan

d. Adat-istiadat serta kebiasaan

e. Minat dan perhatian

f. Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan

diterima.

2.3.2.2. Media Penyuluhan kesehatan


36

Yang dimaksud dengan media penyuluhan kesehatan pada hakekatnya

adalah alat bantu pendidikan (AVA). Disebut media pendidikan karena

alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan

kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah

penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau klien

(Notoatmodjo, 2011).

Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan

(media), media ini dibagi menjadi 3, yakni:

1. Media cetak

Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan

kesehatan sangat bervariasi antara lain :

a. Booklet ialah suatu media untuk menyampaikan pesan-pesan

kesehatan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar.

b. Leaflet ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan

kesehatan melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat

dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau kombinasi. Leaflet

adalah   bentuk   penyampaian   informasi   kesehatan   melalui

lembaran yang dilipat. Adapun keuntungan menggunakan leaflet

antara lain sasaran dapat menyesuaikan dan belajar mandiri serta

praktis   karena   mengurangi   kebutuhan   mencatat.   Sasaran   dapat

melihat   isinya   di   saat   santai   dan   sangat   ekonomis.   Berbagai


37

informasi   dapat   diberikan   atau   dibaca   oleh   anggota   kelompok

sasaran   sehingga   bisa   didiskusikan   dan   dapat   memberikan

informasi   yang   detail   yang   mana   tidak   dapat   diberikan   secara

lisan,   mudah   dibuat,   diperbanyak,   dan   diperbaiki   serta   mudah

disesuaikan dengan kelompok sasaran. 

c. Flyer (selebaran) ialah seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk

lipatan.

d. Flip chart (lembar balik) ialah media penyampaian pesan atau

informasi-informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik.

Biasanya dalam bentuk buku dimana tiap lembar (halaman) berisi

gambar peragaan dan dibaliknya berisi kalimat sebagai pesan atau

infomasi berkaitan dengan gambar tersebut.

e. Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah

mengenai bahasan suatu masalah kesehatan atau hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan.

f. Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan / informasi

kesehatan yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-

tempat umum, atau di kendaraan umum.

g. Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.

2. Media Elektronik

Media elektronik sebagai sasaran untuk menyampaikan pesan-pesan

atau informasi kesehatan, jenisnya berbeda-beda antara lain:


38

a. Televisi

Penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan melalui

media televisi dapat dalam bentuk sandiwara, sinetron, forum

diskusi atau tanya jawab sekitar masalah kesehatan, pidato

(ceramah), TV spot, quiz atau cerdas cermat, dan sebagainya.

b. Radio

Penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui radio

juga dapat berbentuk macam-macam antara lain obrolan (tanya

jawab), sandiwara radio, ceramah, radio spot, dan sebagainya.

c. Video

Penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan dapat melalui

video.

d. Slide

Slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau

informasi-informasi kesehatan.

e. Film strip

Juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan

kesehatan.

3. Media Papan (Billboard)

Papan (billboard) yang dipasang di tempat-tempat umum dapat

dipakai dan diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi

kesehatan. Media papan disini juga mencakup pesan-pesan yang


39

ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan

umum (bus dan taksi).

2.4 Pengetahuan

2.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2011) merupakan hasil dari

“tahu” ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu melalui mata dan telinga. Seseorang dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan lancar, baik

secara lisan maupun tertulis maka dikatakan mengetahui bidang tersebut.

Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan

pengetahuan. Notoatmodjo (2011) mengungkapkan behwa sebelum orang

mengadopasi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut, disini

sikap subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik

lagi.

4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan

apa yang dikehendaki stimulus.


40

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian perubahan perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap

tersebut (Notoatmodjo, 2011).

2.4.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang tercakup dalam

Domain kognitif mempunyai enam tingkatan:

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur

orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (Aplication)
41

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). aplikasi

disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,

rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-

perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus

pemecahan masalah (Problem Solving Cyclel) didalam pemecahan

masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen–komponen, tetapi masih didalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis

ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi–formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun,

dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan diri dan

sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)
42

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian–penilaian ini

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui

atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan–tingkatan di atas.

Menurut Arikunto (2006) dalam Budiman & Riyanto, (2013) pengetahuan

seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat

kualitatif, yaitu:

a. Baik: Hasil presentase 76%-100%

b. Cukup: Hasil presentase 56%-75%

c. Kurang: Hasil presentase > 56%

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan

menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai

berikut.

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50%.

2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 50%.

2.5 Sikap

Sikap merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia, oleh

karena sikap dapat memprediksikan atau memandu perbuatan atau perilaku


43

seseorang. Sikap seseorang terhadap suatu objek atau perasaan mendukung atau

memihak (Unfavourable) pada objek tersebut.

Secara lebih spesifik Thustone menjelaskan sikap derajat efek positif atau

negatif terhadap suatu objek psikologis. Sedangkan Myers (1996) dalam Bart’S

(1994) memberikan gambaran :

…….Attitude is a favourable or unfavourable rection toward something or

some one, exhibited in one’s belief, feelings or intended behaviour.

Dari gambaran terdebut tampak bahwa meskipun ada perbedaan, namun

semuanya sependapat bahwa ciri khas dalam sikap adalah mempunyai objek

tertentu (orang, prilaku, konsep, situasi, benda, dll) dan mengandung penilaian

(setuju-tidak setuju, suka-tidak suka) (Notoatmodjo, 2011).

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon emosional (emotional feeling)

seseorang terhadap stimulus atau objek di luarnya, respon emosional ini lebih

bersifat penilaian atau evaluasi pribadi terhadap stimuli atau obyek diluarnya, dan

penilaian ini dapat di lanjutkan dengan kecenderungan untuk melakukan atau

tidak melakukan terhadap obyek (Notoatmodjo, 2011).

Sikap secara nyata (Notoatmodjo, 2011). menunjukan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial, bahwa sikap

itu merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan

atau aktivitas, akan tetapi merupakan presdisposisi tindakan suatu perilaku, sikap

itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
44

laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap ibjek di

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Menurut Allport, 1954 Dalam (Notoatmodjo, 2011). menjelaskan bahwa

sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu :

1) Kepercayaan, keyakinan, ide, dan konsep terhadap suatu objek

2) Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga kompenen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan,

dan emosi memegang peranan penting.

Menurut (Notoatmodjo, 2011), sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat

dilihat dari kesediaan dan perhatian terhadap ceramah tentang gizi.

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya,mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas diberikan,

terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang

menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)
45

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu lain untuk pergi

menimbang anaknya keposyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah

suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap terhadap gizi anak.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya denga segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Cara Pengukuran Sikap

Salah satu cara untuk dapat mengukur atau menilai sikap seseorang dapat

menggunakan skala atau kuesioner. Skala penilaian sikap mengandung

serangkaian pertanyaan tentang permasalahan tertentu. Responden yang mengisi

diharapkan menentukan sikap setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan

tertentu. Skala pengukuran sikap oleh Likert dibuat dengan pilihan jawaban

sangat setuju terhadap sesuatu pernyataan dan sangat tidak setuju.

Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam

kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa

survei. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, yang menerbitkan suatu

laporan yang menjelaskan penggunaannya. Sewaktu menanggapi pertanyaan

dalam skala Likert, responden menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap

suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Biasanya

disediakan empat pilihan skala, yaitu untuk respon pernyataan positif nilai 1.

Sangat tidak setuju (STS), 2. Tidak setuju (TS), 3. Setuju (S), 4. Sangat setuju
46

(SS) sedangkan untuk respon negatif nilai 4. Sangat tidak setuju (STS), 3. Tidak

setuju (TS), 2. Setuju (S), 1. Sangat setuju (SS).

Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang mengukur baik

tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat skala pilihan

juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang

memilih salah satu kutub karena pilihan "netral" tak tersedia. Penilaian sikap

dilakukan dengan menggunakan rumus standard skala Likert t-test. Rumusnya

adalah (Azwar, 2002):

Keterangan:

X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah menjadi skor T

= Mean skor kelompok

s = Deviasi standar kelompok

Setelah dihitung dengan menggunakan rumus di atas, selanjutnya

diklasifikasikan menjadi: Favourable (positif) : jika hasil skor T ≥ 50 dan

Unfavourable (negatif) : jika hasil skor T < 50.

2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dalam Promosi

Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2007), di dalam kegiatan belajar terdapat tiga

persoalan pokok, yakni masukan (input), proses dan keluaran (output). Persoalan

masukan menyangkut subyek atau sasaran belajar itu sendiri dengan berbagai latar
47

belakangnya. Persoalan proses adalah mekanisme atau proses terjadinya

perubahan kemampuan pada diri subyek belajar. Di dalam proses ini terjadi

pengarah timbal-balik antara berbagai faktor, antara lainsubyek belajar, pengajar

atau fasiIitator belajar, metode yang digunakan, alat bantubelajar, dan atau bahan

yang dipelajari. Sedangkan keluaran adalah merupakan hasilbelajar itu sendiri,

yang terdiri dari kemampuan baru atau perubahan baru pada diri subyek belajar.

Beberapa ahli pendidikan, antara lain J. Guilbert, mengelompokkan faktor-faktor

yang mempengaruhi proses belajar ini ke dalam empat kelompok besar, yakni:

1. Faktor materi

Materi atau hal yang dipelajari, ikut menentukan proses dan

hasil belajar. Misalnya, belajar pengetahuan dan belajar sikap atau

keterampilan akan menentukan perbedaan proses belajar.

2. Faktor Lingkungan

Lingkungan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a. Lingkungan fisik, yang antara lain terdiri dari suhu,

kelembaban udara, dan kondisi tempat belajar.

b. Lingkungan sosial, yakni manusia dengan segala interaksinya serta

representasinya seperti keramaian atau kegaduhan, lalu lintas,

pasar dan lain sebagainya.

3. Faktor Instrumental

Instrumental yang terdiri dari perangkat keras (hardware) seperti

perlengkapanbelajar dan alat-alat peraga dan perangkat lunak (software)

seperti kurikulum dalam pendidikan formal), pengajar atau fasilitator


48

belajar serta metode belajar mengajar. Untuk memperoleh hasil belajar

yang efekrif. faktor instrumental ini dirancang sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan materi dan subyekbelajar. Misalnya metode

untuk belajar pengetahuan lebih baik digunakan metode ceramah,

sedangkan untuk belajar sikap dan tindakan, ketrampilan atau perilaku

lebih baik digunakan metode diskusi kelompok, demonstrasi, bermain

peran (role play) atau metode permainan.

4. Faktor individual subyek belajar.

a. Kondisi fisiologis seperti kekurangan gizi, dan kondisi panca indera

(terutama pendengaran dan penglihatan).

b. Kondisi psikologis, misalnya intelijensi, pengamatan, daya tangkap,

ingatan, motivasi, dan lain sebagainya.

2.6 Kerangka Teori

Dari uraian teori diatas, maka kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

Gambar 2.1
Kerangka Teori
Metode Alat-alat Bantu
(Leaflet)

INPUT PROSES OUTPUT


(Subjek (Belajar) (Hasil
Belajar/Masukan) (Belajar/Luaran)

Fasilitas Belajar Bahan Belajar


49

Sumber: Notoatmodjo (2007)

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian

yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini, kerangka konsep

yang digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2

Kerangka Konsep

Pre Test Intervensi Post Test

Penyuluhan
Pengetahuan Sebelum Pengetahuan Sesudah

Penyuluhan
Sikap Sebelum Sikap Sesudah
2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara dari peneliti yang

kebenarannya masih harus diteliti lebih lanjut. Berdasarkan kerangka kerja diatas

penulis mengajukan hipotesis yaitu:

1. Ada pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan (Askariasis)

terhadap pengetahuan siswa SDN I Langkapura Kelas III-V Tahun 2018

2. Ada pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan (Askariasis)

terhadap sikap siswa SDN I Langkapura Kelas III-V Tahun 2018


50

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra

eksperimen dengan pendekatan one group pra-post test design. Rancangan one

group pra-post test design adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan

cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum

dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Sugiyono,


51

2015). Desain pra eksperimen dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui

pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan (Askariasis)

terhadap pengetahuan dan sikap siswa SDN I Langkapura Kelas III-V Tahun

2018.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada Mei 2018 di SDN I Langkapura Bandar

Lampung.

3.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang

mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi

(Notoatmodjo, 2010).

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian (Arikunto, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2010), populasi adalah sekumpulan obyek penelitian atau

obyek yang diteliti. Populasi penelitian adalah anak SD kelas  III  –  V di  SDN I

Langkapura Bandar Lampung sejumlah 90 Siswa.

3.4.2 Sampel
52

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2010).

Pengambilan sampel untuk penelitian menurut Suharsimi Arikunto (2010), jika

subjeknya kurang dari 100 orang sebaiknya diambil semuanya, jika subjeknya

besar atau lebih dari 100 orang dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih.

Sehingga dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan merupakan total

populasi yaitu sebanyak 90 siswa.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel Independen dalam penelitian ini adalah penyuluhan. Sedangkan

variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap tentang

kejadian kecacingan (Askariasis).

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan atau mengamati

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument penelitian

(alat ukur). Definisi operasional variabel – variabel dalam penelitian ini ialah

sebagai berikut:

Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Pengetahuan Adalah tingkat Wawancara Kuesioner Skor nilai 0- Rasio
tentang pengetahuan 10
kejadian responden / siswa
kecacingan tentang kejadian
(Ascariasis) kecacingan sebelum
dan sesudah diberi
penyuluhan
2 Sikap tentang Perbuatan atau Wawancara Kuesioner Skor nilai Rasio
kejadian tindakan responden 10-80
kecacingan terhadap kejadian
(Ascariasis) kecacingan
(Ascariasis) sebelum
dan sesudah diberi
53

penyuluhan

3.7 Etika Penelitian

Beberapa prinsip dalam pertimbangan etik meliputi: bebas eksplorasi,

kerahasiaan, bebas dari penderita, bebas menolak menjadi responden dan,

perlu surat persetujuan (informed consent). Untuk itu perlu mengajukan

permohonan izin kepada Kepala SDN I Langkapura dan subyek yang akan

diteliti dengan berpedoman pada prinsip etik.

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini akan diberikan kepada setiap responden yang

menjadi subyek penelitian dengan memberikan penjelasan tentang

maksud dan tujuan dari penelitian serta menjelaskan akibat-akibat yang

akan terjadi bila bersedia menjadi subyek penelitian. Apabila responden

tidak bersedia maka peneliti wajib menghormati hak-hak responden

tersebut.

2. Anonimity (tanpa nama)

Adalah tindakan merahasiakan nama peserta terkait dengan partisipasi

mereka dalam suatu objek riset (Arikunto, 2010). Pada penelitian ini

kerahasiaan identitas subjek sangat diutamakan, sehingga peneliti sengaja

tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data.


54

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset (Azis, 2010).

3.8 Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah

kuesioner.

3.9 Validitas dan Reliabilitas

3.9.1 Validitas

Validitas sebagai sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

melakukan fungsi ukurnya. Uji validitas alat pengumpulan data menggunakan

pearson product moment. Dasar pengambilan keputusan adalah pertanyaan valid

jika r hitung >r table sedangkan r hitung < r table maka pertanyaan valid,

pertanyaan tidak valid di hapus dan dihilangkan.

3.9.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya,

kepercayaan itu dalam bentuk keandalan instrument yaitu konsistensi hasil dari

waktu ke waktu jika suatu instrument digunakan pada subjek (Sugiyono, 2015).

3.10 Pengolahan Data


55

Pengolahan data dilakukan dengan:

1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Pada penelitian ini melakukan editing dengan

cara memeriksa kelengkapan, kesalahan pengisian dan konsistensi dari

setiap jawaban dan pertanyaan.

2. Entry

Data entry adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke

dalam master tabel atau data base komputer.

3. Cleaning (Pembersihan data)

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di–Entry

terdapat kesalahan atau tidak.

3.11 Analisis Data

3.11.1 Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran statistik deskriptif

dari masing-masing variabel, baik variabel independen maupun dependen. Data

yang terkumpul dalam penelitian ini akan diolah dengan menggunakan komputer.

Untuk data numerik digunakan nilai mean (rata-rata), median, standar deviasi dan

inter kuartil range, minimal dan maksimal (Hastono, 2007).

3.10.2 Analisa Bivariat


56

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan

anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji

statististik: Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: T-Dependen.

Anda mungkin juga menyukai