Anda di halaman 1dari 13

1 PENDAHULUAN UMUM

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang Indonesia diperkirakan seluas 85.707 km2 yang terdiri


atas terumbu tepi yang terdapat di 95 % pulau Indonesia yang jumlahnya 17.500
buah, terumbu penghalang yang terdapat di beberapa tempat di Selat Makassar
dan Kalimantan Timur, terumbu cincin atau atol di Taka Bonerate dan “oceanic
platform reef” (Dahuri 2003). Luas terumbu karang di Indonesia hanya sekitar 15
% dari luas terumbu karang dunia, sungguhpun demikian dengan melihat tingkat
keragaman jenis terumbu karang Indonesia yang sangat tinggi terutama dikawasan
Maluku dan Sulawesi menjadikan Indonesia sebagai pusat kawasan terumbu
karang dunia (Dahuri 2003; Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II 2004).
Seperti halnya di negara-negara kepulauan di dunia, ekosistem terumbu
karang Indonesia menyediakan sumber makanan yang penting berupa ikan,
krustasea, dan moluska. Produksi ikan karang Indonesia dapat mencapai 30
ton/km2/tahun (Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II 2004). Hal inilah
yang membuat perikanan terumbu karang merupakan salah satu sumber
penghidupan utama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (King 1995).
Ikan karang adalah sumberdaya yang dapat terbaharukan. Secara alami
ikan-ikan dapat memperbaharui kondisi stoknya dengan cara bereproduksi.
Seekor induk ikan karang dapat menghasilkan anak dalam jumlah yang cukup
besar, namun sifat ikan karang yang bertumbuh secara lambat, membuat stok ikan
karang sangat rentan terhadap upaya penangkapan berlebih (McManus 1996).
Agar sumberdaya ikan karang dapat tetap lestari upaya pengelolaan yang
bertanggungjawab harus ditegakkan dengan cara menggunakan alat tangkap yang
ramah lingkungan.
Saat ini banyak dilaporkan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang
di berbagai wilayah dunia. Kerusakan ini diakibatkan oleh proses alami dan
faktor antropogenik pada berbagai skala, mulai skala kecil yang disebabkan oleh
benturan jangkar, predasi oleh biota laut, hingga berskala besar berupa pemutihan
(bleaching) pada suatu ekosistem terumbu karang yang luas akibat kenaikan suhu
2

perairan yang berkepanjangan. Namun kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas


manusia jauh lebih besar dampaknya dibandingkan kerusakan yang terjadi secara
alamiah tersebut (Pet-Soede et al. 2001; Akimichi 2006).
Salah satu aktivitas terbesar manusia di perairan terumbu karang adalah
kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan berbagai alat penangkap ikan,
misalnya bubu, gillnet, muro ami, pancing, panah, dan sero. Selain itu ada dua
cara lain yang juga banyak digunakan secara tersembunyi adalah penggunaan
bahan peledak dan bahan beracun yang keduanya telah terbukti sangat merusak
habitat terumbu karang (Pet-Soede et al. 2001).
Dari sekian banyak alat penangkap ikan tersebut di atas, muro ami atau di
Selayar dikenal dengan nama ”samba’” yang secara fisik hampir tidak
bersentuhan dengan terumbu karang, tetapi pada pengoperasiannya, tongkat-
tongkat para nelayan yang digunakan untuk menggiring ikan karang menuju alat
ini ternyata dapat menghancurkan terumbu karang terutama karang bercabang
sehingga alat ini dikategorikan sebagai alat yang tidak ramah lingkungan.
Gillnet yang merupakan alat pasif dan selektif yang dikategorikan sebagai
alat yang ramah lingkungan. Namun gillnet menjadi tidak ramah lingkungan
apabila dioperasikan di perairan berkarang pada malam hari karena berpeluang
besar untuk berbeturan dengan karang (Kushima and Miyasaka 2003).
Pancing merupakan salah satu alat yang banyak digunakan oleh para
nelayan tradisional untuk menangkap ikan karang. Peralatan pancing sendiri tidak
merusak karang tetapi benturan jangkar perahu yang digunakan pada saat
memancing yang merusak karang. Untuk dapat meningkatkan keramahan alat
pancing yang dioperasikan di perairan terumbu karang, modifikasi yang dilakukan
bukan pada alatnya tetapi metode penangkapan yang digunakan. Di daerah-
daerah konservasi terumbu karang misalnya di Taka Bonerate, Kabupaten Selayar
telah dilakukan pemasangan jangkar permanen dibeberapa tempat untuk dapat
digunakan oleh para nelayan pemancing menambatkan perahunya saat melakukan
operasi penangkapan sehingga para nelayan tidak lagi membuang jangkar di
sembarang tempat yang dapat mengakibatkan kehancuran karang.
Saat ini bubu (trap) dan sero (fence trap) adalah sejenis alat yang paling
banyak digunakan untuk menangkap ikan karang (Alcala dan Russ 2002) dan
3

telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan. Akan


tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan. Hasil tangkapan per unit bubu
relatif sangat terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan
terumbu karang untuk alat kamuflase. Oleh karena hasil tangkapan per unit bubu
terbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan
sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali. Dengan cara
ini pada saat penurunan dan penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu
dengan dasar perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan
terutama apabila terdapat terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003).
Keterbatasan pada sero adalah hanya bisa dioperasikan di wilayah pesisir
yang dangkal di pesisir pantai sehingga alat ini dapat menghalangi alur pelayaran.
Selain itu dimensi alat yang besar membuat harganya juga mahal. Keterbatasan
lain sero pada beberapa tempat di wilayah perairan pesisir barat Pulau Selayar
adalah pada musim angin muson barat alat tersebut harus dibongkar agar tidak
hancur oleh hempasan gelombang dan terpaan batang kayu yang hanyut dibawa
gelombang.
Dengan melihat keterbatasan-keterbatasan pada kedua alat ini maka
diperlukan suatu alat penangkap ikan karang yang diharapkan mampu menutupi
keterbatasan-keterbatasan tersebut. Dari sekian banyak alat penangkap ikan yang
telah ada, fyke net dianggap cocok berdasarkan penilaian dari bentuknya yang
serupa dangan sero juga serupa dengan bubu.
Kelebihan fyke net terhadap bubu dilihat dari segi konstruksi Fyke net
yang memiliki ruang penampungan ikan yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan apa yang dimiliki oleh bubu sehingga kemampuan tangkapnya juga relatif
lebih besar dibandingkan dengan kemampuan bubu ditinjau dari segi kejenuhan
alat. Dengan demikian alat ini tidak perlu dioperasikan sekaligus dalam jumlah
yang banyak seperti pada bubu yang sering menimbulkan permasalah dengan
terbenturnya bubu pada terumbu karang.
Kelebihan fyke net terhadap sero adalah pada konstruksi tempat
penyimpanan ikan yang tertutup sedangkan pada sero terbuka di bagian atas. Hal
ini membuat fyke net dapat dioperasikan di perairan yang lebih dalam
dibandingkan tempat pengoperasian sero. Dengan demikian pengoperasian fyke
4

net tidak menghalangi alur pelayaran dan selain itu alat ini memiliki peluang yang
lebih besar untuk menangkap ikan-ikan karang dengan ukuran yang lebih besar.
Sungguhpun terlihat bahwa fyke net memiliki banyak kelebihan tetapi
apakah pada pengoperasian diperairan terumbu karang fyke net akan mampu
menangkap ikan karang seperti yang diharapkan dan apakah teknik
pengoperasiannya akan memenuhi kriteria ramah lingkungan masih merupakan
hal yang perlu diuji. Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan serangkaian
pengujian terhadap alat tersebut karena fyke net selama ini bukanlah alat yang
digunakan untuk menangkap ikan karang.
Fyke net adalah sejenis perangkap ikan yang banyak dioperasikan oleh
para nelayan di seluruh dunia. Menurut O’Neal (2006) fyke net berasal dari
Finlandia dan telah dioperasikan di laut untuk menangkap herring, whitefish dan
salmon. Alat ini merupakan modifikasi dari alat ”salmon wing net” yang telah
digunakan beratus tahun yang lalu. Fyke net adalah alat penangkap ikan yang
banyak dioperasikan di perairan dangkal. Alat ini banyak digunakan pada
kegiatan penangkapan ikan di sungai karena dapat dioperasikan pada perairan
yang berarus. Dalam kondisi demikian alat ini biasa dioperasikan tanpa
menggunakan sayap atau penaju (Gebhards 1979). Pada daerah dengan arah arus
yang tidak tetap fyke net memiliki sayap yang pendek sedangkan di perairan
pesisir dengan arus yang relatif lebih lemah, fyke net dioperasikan dengan
menggunakan sayap yang panjang untuk menangkap flounder dan ikan demersal
lainnya. Pada kondisi seperti ini sayap fyke net diberi pemberat dan pelampung
agar bisa berdiri tegak tanpa harus ditopang oleh tiang patok. Di sungai yang
berarus, fyke net biasanya banyak menangkap udang. Alat ini juga digunakan
untuk menangkap ikan peruaya misalnya sidat (Anguilla sp) (Rounsefell and
Everhart 1962; Schneider dan Merna 2000; O’Neal 2006).
Terpilihnya fyke net terpilih sebagai alat uji berdasarkan serangkaian studi
pustaka yang menemukan bahwa alat ini secara hipotesis bersifat ramah terhadap
lingkungan terumbu karang karena sifatnya yang pasif terhadap ikan target
sehingga kecil peluang bagi alat ini untuk membentur terumbu karang,
sebagaimana halnya pada alat penangkapan ikan yang bersifat pasif yang
menjadikan ikan yang aktif bergerak sebagai target penangkapannya (Jennings et
5

al. 2001; Soadiq 2010). Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk mengamati
pola gerak ikan di sekitar fyke net dalam proses penangkapan maupun proses
melepaskan diri untuk dapat mengetahui desain yang baik bagi alat ini untuk
menjadi alat yang lebih efektif dalam menangkap ikan.
Penelitian pola gerak ikan karang biasanya ditujukan untuk penemuan
jalur ruaya ikan-ikan tertentu untuk tujuan kegiatan penangkapan. Selain itu
penelitian tersebut juga dapat ditujukan untuk dapat mencegah penempatan alat
tangkap di jalur ruaya ikan yang sedang menuju tempat pemijahannya agar upaya
plestarian ikan karang dapat dilakukan. Dalam penelitian ini pola gerak ikan yang
diamati tidak mencakup pola gerak migrasi menuju tempat pemijahan (pola gerak
musiman) tetapi hanya dibatasi pada pola gerak acak di sekitar alat tangkap uji
dan pola gerak aktif yang dipengaruhi oleh kondisi siang dan malam.
Fyke net adalah alat tangkap uji dalam penelitian ini. Alat ini dipilih
berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan selama 3 bulan untuk menelusuri
alat penangkap ikan yang ada di dunia saat ini yang secara hipotesis mampu
menangkap ikan karang dalam jumlah yang memadai dari segi ekonomis seperti
didaerah asalnya 5-8 kg perhari operasi (Hemingway dan Elliott 2002) namun
tidak merusak stok ikan karang maupun terumbu karang sebagai habitat ikan
tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Hal utama yang dituntut dari suatu alat tangkap yang dioperasikan di
terumbu karang adalah tingkat keramahannya pada lingkungan, yakni tidak
merusak terumbu karang sebagai habitat utama pada ekosistem tersebut dan
memiliki tingkat selektivitas yang tinggi agar alat tidak menangkap juvenil ikan
dan penyu yang banyak terdapat di ekosistem tersebut. Namun alat tangkap yang
dianggap ramah di tempat lain ternyata tidak ramah di perairan terumbu karang
karena dapat merusak terumbu karang.
Sungguhpun pada kegiatan perikanan di terumbu karang para nelayan
menggunakan alat tangkap tradisional dan berskala kecil yang dioperasikan untuk
menangkap ikan secara individu atau berkelompok, beberapa alat dikategorikan
6

sebagai alat yang tidak merusak lingkungan, misalnya pancing, ada yang
dikategorikan merusak karang yang rapuh, misalnya perangkap dan jaring insang
tetap dan ada yang dikategorikan sangat merusak, misalnya penggunaan bahan
peledak dan bahan beracun dalam kegiatan penangkap ikan. (Amar et al. 1996;
Alcala dan Russ 2002).
Anggapan bahwa alat penangkap yang tergolong pasif misalnya pancing
sebagai alat yang tidak merusak lingkungan tetapi secara tidak langsung jangkar
yang digunakan untuk menahan perahu dalam pengoperasian pancing dapat
membentur terumbu karang hingga rusak. Bubu yang dianggap alat yang tidak
merusak lingkungan menjadi alat yang merusak karena nelayan menggunakan
karang sebagai pemberat dan untuk penyamaran alat tersebut. Muro-ami adalah
alat tangkap pasif yang hampir tidak bersentuhan dengan terumbu karang tetapi
benturan tongkat para nelayan saat menggiring ikan ke dalam kantong alat
tersebut dapat menghancurkan karang (McManus 1996).
Alat tangkap aktif misalnya pukat harimau, pukat cincin dan pukat pantai
dikategorikan sebagai alat yang sangat merusak terumbu karang. Menurut Bjordal
(2002) saat ini telah banyak paparan terumbu karang dunia yang telah dirusak
oleh trawl dan memerlukan lebih dari seratus tahun untuk dapat memulihkannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebetulnya yang menyebabkan suatu alat
tangkap menjadi alat yang merusak lingkungan sangat ditentukan oleh metode
pengoperasian yang digunakan oleh nelayan. Disinilah pentingnya penerapan
suatu manajemen dalam perikanan agar dampak negatif yang dapat timbul dari
kegiatan penangkapan ikan dapat diminimalkan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum


Mendapatkan alat penangkap ikan yang lebih efektif dalam menangkap
ikan dan lebih ramah pada lingkungan terumbu karang.
1.3.2 Tujuan khusus
(1) Mengkaji desain konstruksi dan teknik pengoperasian fyke net untuk
pengoperasian di perairan terumbu karang.
7

(2) Mengkaji tingkat keramahan model fyke net berdasarkan kondisi hasil
tangkapan, selektivitas dan teknik pengoperasian alat.

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kemampuan fyke net


dalam menangkap ikan karang dan dapat menunjukkan tingkat keramahan alat
tersebut terhadap ekosistem terumbu karang sehingga dapat menjadi alat
penangkap alternatif dalam menangkap ikan karang.

1.5 Hipotesis

(1) Fyke net mampu menangkap ikan karang.


(2) Fyke net merupakan alat yang ramah lingkungan di perairan terumbu
karang.

1.6 Kerangka pemikiran

Terumbu karang adalah habitat di laut yang memiliki tingkat kesuburan


tertinggi dengan berdasarkan pada kelimpahan biota yang menggantungkan hidup
padanya. Salah satu biota yang melimpah pada wilayah perairan tersebut yang
memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan adalah ikan karang.
Satu hal yang menimbulkan masalah dalam pemanfaatan ikan karang di
Indonesia adalah penggunaan metode penangkapan yang dapat merusak terumbu
karang misalnya pengoperasian muro-ami yang secara tidak langsung dapat
mengakibatkan kehancuran pada karang bercabang akibat terkena hantaman
tongkat dan terinjak oleh kaki para nelayan yang mengoperasikan alat tersebut.
Pengoperasian gill net / trammel net di dasar perairan yang berkarang juga dapat
merusak terumbu karang. Penggunaan bubu juga dapat mematikan karang batu
yang digunakan untuk menindih alat penangkap tersebut.
Studi pustaka dilakukan untuk mengkaji alat tangkap yang paling sesuai
untuk kondisi terumbu karang, yaitu bersifat pasif agar tidak membentur karang.
Selain itu juga alat tersebut harus dapat menangkap ikan cukup banyak sehingga
8

dari segi ekonomis cukup memberikan keuntungan. Ada sejenis alat baru yang
secara hipotesis memenuhi persyaratan tersebut, yakni fyke net. Fyke net adalah
alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan lebih ramah lingkungn karena hasil
tangkapannya diperoleh dalam keadaan hidup sehingga keputusan untuk
pemanfaatan ikan tersebut berada pada nelayan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji teknik pengoperasian fyke net
dalam menangkap ikan karang agar dapat dikembangkan sehingga tidak
menimbulkan dampak yang dapat merusak lingkungan terumbu karang dan
sekaligus dapat memberi hasil tangkapan yang memadai sehingga dapat
menggantikan pengguanan sianida dan bahan peledak dalam operasi penangkapan
ikan.
Dalam mengkaji teknik pengoperasian alat penangkap, informasi tentang
tingkah laku ikan merupakan hal yang terpenting karena keberhasilan suatu
operasi penangkapan untuk menangkap jenis ikan tertentu sangat ditentukan oleh
kesesuaian tingkah laku ikan. Ikan yang bersifat aktif beruaya ditangkap dengan
menggunakan alat penangkap yang dipasang pada jalur ruayanya. Ikan-ikan yang
bersifat bergerombol ditangkap dengan alat penangkap yang mampu mengurung
ikan di dalam area penangkapan. Ikan-ikan yang bersifat bersembunyi di dalam
liang batu ditangkap dengan menggunakan perangkap yang menyerupai lubang
persembunyiannya dan ikan yang bersifat membenamkan diri di dasar perairan
ditangkap dengan menggunakan alat yang dapat menyapu dasar perairan.
Gambar 1 di bawah ini adalah skema yang menggambarkan alur pemikiran
peneliti dalam melakukan penelitian ini.

PENANGKAPAN IKAN KARANG


KARANG

Penggunaan Penggunaan alat tangkap Pengggunaan


bahan Bahan
Identifikasi peledak Beracun
9

masalah
Muro ami Gillnet Bubu Pancing Sero Panah

Efektif Secara tidak Efektif


Hasil Pengoperasian
tetapi langsung tetapi
tangkapan terbatas
merusak merusak karang merusak
terbatas
lingkungan lingkungan

Penyelesaian Meningkatkan efektivitas alat tangkap dan


masalah ramah lingkungan

Studi pustaka

Fyke net
(alat tangkap alternatif)

Hipotesis alat dan metode Hipotesis sifat ikan yang


penangkapan yang ramah lingkungan dapat dimanfaatkan

Kajian teoritis pada Kajian teoritis


alat dan metode pada tingkah
penangkapan laku ikan
Metode
Modifikasi alat dan metode penangkapan

Ujicoba di Lapangan

tidak tidak
Efektif dan ramah lingkungan

ya

Hasil Alat penangkap ikan yang efektif


dan ramah lingkungan

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian


1.7 Metodologi umum

1.7.1 Waktu dan tempat penelitian


10

Penelitian lapangan dilakukan selama dua tahun, yaitu bulan Nopember


2008 hingga Oktober 2010. Daerah yang menjadi lokasi penelitian ini adalah
perairan pesisir barat Pulau Selayar di bagian timur laut Pulau Pasi (06 o 05’ 21.4”
LS dan 120o 27’ 34.0” BT) yang merupakan wilayah Desa Parak, Kecamatan
Bontomanai, Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Pulau Selayar adalah
pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang tepi di sepanjang pesisirnya. Panjang
pulau kira-kira 100 km dan lebar terbesar kira-kira 7 km. (Gambar 2) Pada sisi
sebelah barat pulau terdapat paparan lamun dan terumbu karang sejauh 100
hingga 500 m dari garis pantai dengan kedalaman saat air surut 0 s/d 100 cm.
Dibagian tepi luar padang lamun terdapat tubir karang yang curam hingga
kedalaman 5 s/d 25 m. Di pesisir timur pulau hanya terdapat sedikit paparan
karang dan yang selebihnya adalah tubir karang yang curam hingga ke kedalaman
3000 m.
Suhu perairan permukaan adalah 29 oC s/d 31 oC. Perairan di lokasi
penelitian cukup cerah dengan kemampuan pantau secara visual hingga pada
kedalaman 10 m pada waktu pagi hingga siang hari. Menjelang sore hari jarak
pandang di dalam air semakin menurun terutama bila terjadi turbulensi air laut
oleh tiupan angin di siang hari.

1.7.2 Tahapan Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :


(1) Studi pustaka untuk mendapatkan jenis alat yang sesuai bagi
penangkapan ikan di terumbu karang dan studi pustaka tingkah laku ikan
(2) Pengambilan data lingkungan dan geografis di lapangan
(3) Pembuatan desain dan konstruksi fyke net yang sesuai dengan hasil studi
pustaka
11

Gambar 2 Peta lokasi penelitian di perairan karang sebelah barat Pulau Selayar

(4) Uji coba pengoperasian fyke net untuk menangkap ikan karang yang
dikaitkan dengan tingkah laku ikan berdasarkan studi literatur.
(5) Observasi bawah air dengan menggunakan program “movie” pada
kamera digital untuk mengetahui jenis ikan yang berada di sekitar mulut
fyke net.
(6) Pengkajian hasil observasi tingkah laku ikan terhadap fyke net.
(7) Studi pustaka dan wawancara dengan para nelayan untuk mengatasi
temuan permasalahan di lapangan.
(8) Modifikasi alat sesuai hasil studi dan wawancara dengan para pakar
12

(9) Uji coba alat yang telah dimodifikasi


(10) Observasi terhadap tingkah laku ikan lanjutan
(11) Pengkajian hasil observasi. Kalau hasilnya belum sesuai dengan hasil
yang diharapkan (hipotesis nol), maka dilakukan kembali studi pustaka,
modifikasi desain alat, uji coba alat, observasi tingkah laku ikan dan
evaluasi.
(12) Penulisan disertasi

DAFTAR PUSTAKA

Akimichi T. 2006. Inappropriate activities around coral reefs. P. 69 – 76. In:


Ministry of the Environment and Japaneese Coral Reef Society [eds].
Coral Reef of Japan. (www.coremoc.go.jp.english/pub/coralreefjapan/
0206.pdf ; 21 Agustus 2007).

Alcala AC. and Russ GR. 2002. Status of Philippines coral reef fisheries. Asian
Fish. Sci. 15: 177 – 192.

Amar EC. Cheong MRT, and Cheong MVT. 1996. Small-scale fisheries of coral
reefs and the need for community-based resource management in
Malalison Island, Philipppines. Fish. Res. 25: 265 – 277.

Bjordal A. 2002. The use of technical measures ini responsible fisheries:


regulation of fishing gear. p. 21 – 47. In: Cochrane KL. Fishery
Manager’s Guidebook: Management Measures and their Application.
FAO Fisheries Technical Paper 424, Rome.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412
hal.

Gebhards S. 1979. Type and Operation of Inland Commercial Fishing Gear.


Idaho Department of Fish and Game 59 (5) 28 p. (https://research.
idfg.idaho.gov/Fisheries Research Report/Volume 059Article005.pdf; 15
Maret 2008)

King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. 2nd ed. Fishing
News Books. Oxford. 382 p.
13

Kushima J-A and Miyasaka A. 2003. Report on the discussions to manage the
use of lay nets. State of Hawaii. Department of Land and Natural
Resources. Division of Aquatic Resources. 22 p. (hawaii.gov/
dlnt/dar/pubs/net_report02.pdf; 11 Maret 2008).

McManus JW. 1996. Social and economic aspects of reef fisheries and their
management. p. 249 – 281 In PoluninVC and Roberts CM (eds). Reef
Fisheries. Chapman and Hall.

O’Neal JS. 2006. Fyke Net (in Lentic Habitats and Estuaries). p. 411 – 424 In
Johnson DH, Shrier BM, O’Neal JS, Knutzen JA, Augerot S, O’Neal TA
and Pearsons TN (eds). Salmonid Field Protocols Handbook: Techniques
for Assessing Status and Trends in Salmon and Trout Populations.
American Fisheries Society in Association with State of the Salmon,
Portland, Oregon. (www.Stateofthesalmon.org/field protocols/downloads/
SFPH_supp.pdf; 14 Mei 2008).

Pet-Soede C, van Densen WLT, Pet JS, and Machiels MAM. 2001. Impact
of Indoensian coral reef fisheries on fish community structure and the
resultant catch composition. Fish. Res. 51: 35-51

Rounsefell GA. and Everhart WH. 1962. Fishery Science: Its Methods and
Applications. John Wiley and Sons, Inc. Newyork. 444 p.

Schneider JC and Merna JW. 2000. Fishing Gear. Chapter 3 in Schneider JC.
(ed.) 2000. Manual of fisheries survey methods II: with periodic updates.
Michigan Department of Nature Science, Fisheries Special Report 25, Ann
Arbour.(www. Michigandnr.com/publications/…/ifr/ifrhome/manual/SMII
Chapter 03.pdf; 2 April 2008).

Soadiq S. 2010. Eksperimen Penangkapan Ikan Karang dengan Menggunakan


Fyke Net Modifikasi di kabupaten Selayar. Thesis. Institut Pertanian
Bogor. 72 hal.

Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II. 2004. Pedoman Umum


Pengelolaan Proyek COREMAP II. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Program Rehabilitasi
dan Pengelolaan terumbu Karang Tahap II. 185 hal.

Valdemarsen JW and Suuronen P. 2003. Modifying Fishing Gear to Achieve


Ecosystem Objective. P. 321 – 341. In: Sinclair M and Valdimarsson G
[eds]. Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem. Food and
Agriculture Organization of the United Nations and CABI Publishing,
Cambridge, MA

Anda mungkin juga menyukai