Anda di halaman 1dari 42

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki terumbu karang (coral)

dengan luas kurang lebih 60.000 km2. Terumbu karang merupakan biota laut

yang berkembangbiak dengan cara tunas dan pembuahan merupakan aset alam

yang banyak diminati. Potensi sumberdaya alam kelautan ini tersebar di seluruh

Indonesia mengemban beragam nilai dan fungsi, antara lain nilai rekreasi (wisata

bahari), nilai iproduksi (sumber bahan pangan dan ornamental) dan nilai

konservasi (sebagai pendukung proses ekologis dan penyangga kehidupan

di daerah pesisir, sumber sedimen pantai dan melindungi pantai dari ancaman

abrasi) (Fossa dan Nilsen, 1996).

Wakatobi sebagai Taman Nasional ditunjuk berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan di tetapkan

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/Kpts-II/2002 tanggal 19

Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha. Penunjukan dan penetapan

kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai Taman Nasional konservasi laut di

Indonesia berdasar atas potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya

ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove.

Dalam rangka menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem terumbu

karang di Taman Nasional Wakatobi dan sekaligus memberikan manfaat optimal

bagi pemanfataan secara berkelanjutan khususnya dalam dua sektor yang

menjadi andalan Pemerintah Kabupaten Wakatobi yaitu perikanan dan pariwisata

bahari, maka perlu dilakukan upaya-upaya terpadu khususnya dalam

penanggulangan gangguan, baik yang disebabkan oleh perikanan yang merusak

dan gangguan alami akibat telah terjadinya ketidakseimbangan alam yang

menyebabkan meledaknya populasi bintang laut berduri (Acanthaster planci)

di perairan laut Wakatobi (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2007).


2

Acanthaster planci atau biasa dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish

merupakan salah satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang

banyak sekali, merupakan hewan pemakan karang. Hewan ini tersebar

diberbagai perairan yang di tumbuhi oleh beberapa jenis karang.

Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang akan

memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Bukan hanya terumbu

karang di Indonesia yang mengalami kerusakan, tapi berbagai wilayah perairan

yang ada di dunia, seperti yang terjadi di Great Barrier Reef tahun 1981-1989

yang menyebabkan rusaknya karang sekitar 60% (Lucas, 1990).


Kehadiran A. planci dalam batasan populasi normal merupakan hal yang

umum di ekosistem terumbu karang. Jika kepadatan populasi lebih dari 14

individu/1000 m2, maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang

(Endean, 1987). Kondisi ini menunjukan bahwa fenomena kehadiran A. planci

sudah ekstensif di beberapa perairan di Indonesia. Olehnya itu kehadiran

pemangsa karang ini perlu terus dipantau sebagai dasar dalam suatu

pengambilan tindakan pengelolaan.

B. Tujuan dan kegunaan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui status ekologi Acanthaster planci di perairan Tomia,

Taman Nasional Wakatobi.


2. Untuk mengetahui kondisi ekologi karang di Taman Nasional Wakatobi,

khususnya di perairan Tomia.


3. Untuk mengetahui keterkaitan kepadatan Acanthaster planci dengan kondisi

terumbu karang (tutupan karang hidup dan karang mati).


Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan

pengetahuan bagi kita tentang seberapa besar keterkaitan A. planci dengan

kondisi terumbu karang dan sebagai dasar pemerintah setempat dalam


3

penentuan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan

Kecamatan Tomia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Terumbu Karang


4

Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium

karbonat di laut yang di hasilkan terutama oleh hewan karang (Timotius, 2003).

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.

Berkaitan dengan pembentukan terumbu karang terbagi atas dua kelompok yaitu

karang berbentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk

terumbu (ahermatipik) (Veron, 1986). Pembentukan terumbu karang hermatipik

dimulai adanya individu karang (polip) yang dapat hidup berkelompok (koloni)

ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkelompok (koloni) ataupun

menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur

dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri hanya

membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka

kapur tersebut disebut terumbu.

Ekosistem terumbu karang ditandai dengan perairan yang selalu jernih,

produktif dan kaya CaCO3 (kapur). Terumbu karang merupakan ekosistem yang

khas terdapat di daerah tropis. Ekosistem ini mempunyai produktifitas organik

yang sangat tinggi. Demikian pula keanekaragaman biota yang ada di

dalamnya. Di tengah samudra yang miskin bisa terdapat pulau karang yang

sangat produktif hingga kadang-kadang terumbu karang ini diandaikan oase di

tengah gurun pasir yang gersang. Komponen biodata terpenting disuatu terumbu

karang ialah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong Scleractinia

yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur. Tetapi disamping itu sangat banyak

jenis biota lainnya yang hidup mempunyai kaitan erat dengan karang batu ini.

Kesemuanya terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis dalam satu

ekosistem yang dikenal dengan ekosistem terumbu karang (Nontji, 1993).

B. Interaksi Ekologis Pada Ekosistem Terumbu Karang


5

Terumbu karang sangat luas dan merupakan asosiasi oraganisme yang

kompleks yang mempunyai sejumlah tipe yang berbeda-beda dan semuanya

berada dalam system yang sama (Nybakken, 1992). Ekosistem terumbu karang

merupakan suatu ekosistem kehidupan yang ukurannya dapat bertambah atau

berkurang sebagai akibat adanya interaksi yang kompleks antara berbagai

kekuatan biologis dan fisik. Menurut Nybakken (1992) interaksi yang terjadi di

dalam ekosistem terumbu karang dapat dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu :


1. Persaingan

Persaingan untuk memperoleh cahaya yang cukup, dapat terjadi diantara

jenis karang yang bercabang dan karang yang berbentuk hamparan atau massif.

Biasanya karang yang bercabang tumbuh lebih cepat dari pada karang yang

berbentuk hamparan atau massif dan sering memperluas koloninya dibagian atas

dan lebih tinggi dari pada bentuk hamparan dari cahaya. Untuk mencegah

terjadinya penguasaan tempat dan memelihara keanekaragaman pada terumbu

karang, karang yang berbentuk massif dapat mencegah pertumbuhan yang

cepat dari karang yang bercabang dengan memakan jaringan hidup koloni

karang yang menutupi mereka.

2. Grazing
Pengaruh grazing oleh ikan-ikan herbivora seperti Siganidae dan

Pomacentridae dan sebagian besar bulu babi (Diadema sp) dapat

mengakibatkan percepatan pertumbuhan karang, namun mampu pula

memperlambatnya. Pengaruh grazing oleh bulu babi seperti Diadema sp, pada

kepadatan yang tinggi akan mematikan semua organisme (algae) termasuk

karang. Namun dalam kepadatan yang sedang, Diadema sp mampu membantu

membersihkan daerah (substrat) dari algae sehingga dapat ditempati oleh

planula karang.

3. Pemangsaan

Secara visual terlihat bahwa ekosistem terumbu karang di dominasi oleh

karang dan ikan-ikan karang. Hal ini terjadi karena invertebrate-invertebrata lain
6

tersembunyi dari penglihatan disebabkan besarnya tekanan pemangsaan pada

terumbu. Jumlah hewan-hewan yang hidup diantara terumbu karang sangat

banyak dan dapat diklasifikasikan sebagai predator. Predator yang mampu

merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu karang adalah bintang

laut seribu (Acanthaster planci) dan berbagai jenis ikan.

C. Biologi Acanthaster planci


1. Sistematika Acanthaster planci
Acanthaster memiliki 3 jenis dan 2 anak jenis (subspesies) dari genus

Acanthaster, yaitu: A. planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo

Pasifik, A. ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan

tersebar di kawasan Pasifik Timur, dan A. brevispinus, yang memiliki duri lebih

pendek yang ditemukan di Filipina (Birkeland dan Lucas, 1990). Sedangkan 2

subspesies lainnya yaitu pada tahun 1962 Caso menemukan satu subspesies

dari A. ellsii pseudoplanci dan pada tahun 1984 Jangoux dan Aziz

memperkenalkan satu subspesies yang diberi nama A. brevispinus

seychellesentis (Aziz, 1995).

Gambar 1: Acanthaster planci di perairan Tomia

Berikut ini adalah klasifikasi dari Acanthaster planci menurut Berkeland

dan Lucas (1990):


Kingdom : Animalia
Phylum : Echinodermata
Class : Asteroidea
Ordo : Spinolisida
Sub Ordo : Leptognathina
7

Family : Acanthasteridae
Genus : Acanthaster
Spesies : Acanthaster planci

2. Morfologi Achantaster planci

Acanthaster planci memiliki bentuk tubuh yang unik. Tubuhnya berbentuk

cakram dengan perut yang besar dan rata (Birkeland dan Lucas, 1990). Spesies

ini memiliki lengan dengan jumlah yang bervariasi antara 8 - 21 buah yang

sangat lentur sehingga dapat membelit/melingkar segala bentuk koloni karang.

A. planci mempunyai kemampuan untuk memutuskan lengannya bila diperlukan,

hal ini diduga erat kaitannya dengan predasi terhadap A. planci. Hampir sebesar

60% individu A. planci dalam satu populasi dapat kehilangan salah satu atau

lebih dari lengannya (Moran, 1990).

Gambar 2. Morfologi Acanthaster planci (a) tampak atas (b) tampak


bawah (Damayanti, 2007 ).

Pada bagian bawah tubuh (oral) terdapat mulut dan sederetan kaki

tabung (ambulacral) dengan pengisapnya pada masing-masing lengan, dibagian

ini juga terdapat stomach (anus) untuk mengisap makanan (Birkeland dan Lucas,

1990). Pada saat memakan karang, stomach akan di keluarkan melalui mulut

dan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar

tubuh A. planci (Suharsono, 1998).

Permukaan tubuh bagian atas (aboral) ditutupi oleh duri beracun dan juga

terdapat anus yang terletak di daerah tengah (disk) dengan jumlah yang
8

bervariasi antara 1 - 6 buah, madreporites (tonjolan kecil dan keras) antara 3 -

16 buah dan pedicelaria (duri halus seperti jepitan kecil) yang berfungsi untuk

membersihkan permukaan tubuh (Fraser et al., 2003).

Acanthaster planci memiliki warna yang berbeda-beda tergantung pada

lokasi dimana mereka berada. Misalnya, A. planci yang ditemukan di Thailand

memiliki warna merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan

di Great Barrier Reef (Australia). Sedangkan di Hawaii, A. planci berwarna hijau

dan merah. Di Indonesia, A. planci pada umumnya berwarna abu-abu, ungu,

hijau dan biru (Moran, 1990).

Ukuran A. planci pada koloni karang tidak menentu, ukuran maksimal

A. planci yang ditemukan di Great Barrief Reef yakni 75 cm, namun ukuran

normal dari populasi A. planci yang paling sering ditumukan yakni 40 cm (Moran,

1990).

D. Reproduksi dan Tahapan Daur Hidup Acanthaster planci

1. Reproduksi
Acanthaster planci memiliki 2 jenis kelamin yang terpisah yaitu jantan dan

betina. Periode dan waktu pemijahan A. planci dipengaruhi oleh suhu/temperatur,

salinitas dan ketersediaan makanan dan berlangsung selama musim panas

(Lucas, 1987). Waktu pemijahan A. planci tergantung pada letak geografi

dimana A. planci hidup, di belahan utara, musim memijah terjadi pada bulan Mei

- Juli, sedangkan di belahan bumi selatan, pemijahan terjadi antara bulan

November - Januari (Suharsono, 1998).

Pemijahan A. planci berlangsung di luar tubuh atau disebut dengan

fertilisasi eksternal dimana sel telur dan sel sperma dilepaskan ke dalam air.

Acanthaster planci betina mampu menghasilkan sekitar 60 juta telur dalam 1 kali

fase pemijahan. Pada saat pemijahan terjadi A. planci akan mengeluarkan

hormon pheromone yang berfungsi dalam merangsang A. planci lainnya untuk

mendekat dan melakukan pembuahan (Suharsono, 1998).


9

Acanthaster planci dapat melepaskan berjuta-juta telur dalam waktu

seminggu pada musim panas di Great Barrier Reef Australia dan telur yang

dilepaskan berbentuk larva planktonik. Setelah 21 minggu A. planci mulai

memakan hewan-hewan planktonik, coralline algae, dan epifit. Dalam waktu 4

sampai 5 bulan, A. planci akan mengalami pertumbuhan dengan pertambahan

jumlah lengan dan mulai memangsa polip karang (Endean, 1969; Lucas, 1973

dalam Dubinsky, 1990).

2. Tahapan Daur Hidup Achantaster planci

Hasil penelitian dari Great Barrier Reef menunjukkan bahwa jumlah

terbesar dari spermatozoa dan oozit yang telah matang terdapat pada bulan

November. Fase gametogenesis yang terjadi pada bulan November hingga

Desember mengalami kemunduran kematangan gonad. Testis yang telah matang

dan dilapisi berjuta-juta dinding sel yang merupakan tempat untuk memproduksi

sperma sedangkan dalam ovarium hanya terdapat 1 sel telur yang matang

(Birkeland dan Lucas, 1990).

Fase metamorfosa dimulai setelah brachiolaria berkembang menjadi

juvenil sekitar 2 minggu. Juvenile A. planci akan menempel di terumbu karang

setelah mencapai diameter 10 - 20 mm. Juvenil A. planci akan hidup di antara

puing-puing karang dan nyaris tak terlihat sampai dengan umur 6 bulan

(Suharsono, 1998).

Acanthaster planci memiliki daur hidup yang sama dengan asteroid

lainnya. Larva A. planci ini hidup bebas sebagai plankton yang disebut sebagai

fase planktonik. Pada fase ini larva–larva bipinaria berkembang menjadi larva-

larva brachiolaria kemudian akan mengalami metamorfosa atau fase perubahan

bentuk selanjutnya akan hidup sebagai hewan dewasa.

Acanthaster planci muda yang baru terbentuk pada awalnya hanya

memilki 5 lengan dan dua pasang kaki tabung pada tiap-tiap lengan serta tidak
10

memliki mulut (Birkeland dan Lucas, 1990). Setelah 7 bulan A. planci mulai

mengalami pertambahan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa.

Acanthaster planci akan menjadi individu dewasa setelah mencapai diameter

tubuh sekitar 200 mm dengan jumlah lengan sekitar 17 buah (Lucas, 1987).

Gambar 3. Tahapan daur hidup Acanthaster planci (Birkeland dan Lucas,


1990).

E. Ekologi Acanthaster planci

1. Habitat

Dari hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa A. planci lebih

menyukai untuk hidup pada kondisi habitat tertentu dalam ekosistem terumbu

karang. Acanthaster planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup

terlindung yaitu daerah dimana A. planci tidak dapat dengan mudah

dihempaskan oleh ombak yang kuat atau terlempar keluar dari karang akibat

arus yang kuat. Alasan inilah yang menyebabkan A. planci cenderung untuk

menghindari daerah perairan terbuka atau perairan yang dangkal, sehingga

terumbu karang pada daerah tersebut seringkali luput dari pemangsaannya

(Moran, 1987).

Acanthaster planci pada umumnya menyukai daerah terumbu karang

dengan persentase tutupan karang yang tinggi, sedangkan anakan A. planci


11

lebih menyukai tempat yang terlindung dengan cara bersembunyi di bawah

bongkah-bongkah karang atau pecahan karang (Moran,1990). Acanthaster

planci tersebar pada daerah terumbu karang di sepanjang kawasan Indo-Pasifik

(Birkeland dan Lucas, 1990).

2. Perilaku Makan

Acanthaster planci dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam

hari, sedangkan anakan A. planci hanya makan pada waktu malam hari untuk

menghindari predator (Suharsono, 1998).

Cara makan A. planci cukup unik, yaitu dengan mengeluarkan isi

perutnya melalui mulut dan kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni

karang sehingga pencernaan terjadi di luar tubuh. Pada proses mencernaan

makanan, A. planci mengeluarkan suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi

sebagai pemecah lemak. Proses ini membutuhkan waktu antara 4 – 6 jam

(Suharsono, 1998). Satu individu dewasa A. planci dapat memangsa rata-rata 5

- 6 m2 koloni karang/tahun (Moran, 1990). Berdasarkan hasil penelitian di

laboratorium dan di lapangan menunjukkan bahwa A. planci cenderung tertarik

pada koloni karang yang sebelumnya telah dimangsa oleh A. planci yang lain

(Birkeland dan Lucas, 1990). Moran (1990) mengatakan bahwa A. planci dapat

bertahan tanpa makanan selama 6 - 9 bulan.

Secara umum, makanan utama A. planci adalah karang keras namun

A. planci juga dapat memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya,

tergantung dari faktor ketersediaan makanan (Moran, 1986 dalam Birkeland,

1998). Suharsono (1998) menambahkan bahwa makanan A. planci berbeda-

beda, tergantung tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota tersebut.

Pada fase larva makanan A. planci adalah fitoplankton (diatom dan

dinoflagellata), sedangkan pada fase dewasa makanan utamanya adalah karang

keras (Moran, 1990).


12

Aktifitas makan individu dewasa A. planci menunjukkan adanya preferensi

makanan terhadap jenis karang keras tertentu. Adanya preferensi makanan

tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu kondisi A. planci,

morfologi karang, dan ketersediaan makanan (Moran, 1990). De’ath dan Moran

(1998) mengatakan bahwa bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi

preferensi makanan dari A. planci, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada

semua genera karang adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk

pertumbuhan masif. Lebih lanjut De’ath dan Moran (1998) mengemukakan

bahwa dari hasil penelitian yang mereka lakukan di Great Barrier Reef, Australia,

genera karang keras yang paling disukai untuk dimangsa oleh A. planci adalah

dari genera Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genera Porites.

3. Predator Acanthaster planci

Seluruh permukaan tubuh A. planci dilindungi duri - duri beracun yang jika

diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Akan tetapi, sejak

dalam bentuk telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari incaran

predator (Suharsono, 1998). Acanthaster planci dewasa justru duri-duri

beracunnya akan berkurang. Oleh karena itu, A. planci tergolong organisme

yang mudah dimangsa oleh organisme yang dapat melokalisir mereka dan

terlindung terhadap pertahanan mereka. Kepiting karang dan beberapa jenis

ikan diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa jenis ikan seperti ikan

kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A. planci

dewasa. Ikan-ikan ini menghindar dari duri tubuh yang beracun dengan cara

membalikan A. planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan mudah

dimangsa. Triton raksasa (Charonia tritonis) dan udang warna (Hymeno

cerapicta) juga merupakan predator A. planci (Fraser et al., 2003).


13

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni

2011. Lokasi penelitian adalah di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi

(Gambar 4). Analisis Kekeruhan air laut dilakukan di Laboratorium Kualaitas Air

Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Hasanuddin Makassar.

PETA

ST 4 LOKASI PENELITIAN
ST 3 ST 5
ST 2

ST 1

Keterangan:
Titik pengamatan
Daratan Kec Tomia
Terumbu Karang
P. TOLANDONO Batas Kelurahan / Desa

P. SAWA

(Sumber : www.google.com, 2010)

ALFIAN ASMARA
L211 05 045

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN
PERIKANAN
UUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

Gambar 4. Peta lokasi penelitian (Google, 2011)

B. Alat dan Bahan


14

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Kapal/speed

boat sebagai alat transportasi selama penelitian, Global Positioning System

(GPS) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, peralatan selam dasar dan

SCUBA untuk membantu penyelaman, pensil 2B dan Sabak sebagai alat tulis

bawah air, roll meter (50 m) sebagai transek dalam pengamatan terumbu karang,

underwater camera sebagai alat bantu identifikasi dan dokumentasi penelitian,

thermometer untuk mengukur suhu air laut, layangan arus untuk mengukur

kecepatan arus, stop watch untuk menentukan waktu dalam pengukuran

kecepatan arus, botol sampel untuk menyimpan sampel air laut, salinometer

sebagai alat pengukur salinitas, dan gelas ukur 500 ml sebagai tempat mengukur

salinitas air laut.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah A. planci

dan air laut.

C. Prosedur Penelitian

1. Survei dan Penentuan Lokasi

Pada tahap ini dilakukan survei awal/observasi lapangan, pengumpulan

data lokasi penelitian dan studi literatur tentang obyek penelitian. Dari hasil

survei ditetapkan lima stasiun dari sembilan Desa dan Kelurahan yang ada di

Kecamatan Tomia. Kelima stasiun tersebut dirinci pada Tabel 1.

Tabel 1. Posisi stasiun penelitian pada perairan Tomia.

Posisi
Stasiun Desa/Kelurahan
Lintang Selatan Bujur Timur
I 50 12’ 9.5” LS 1230 15’ 9.6” BT Waitii Barat
II 50 12’ 4.0” LS 1230 15’ 9.8” BT Waha
III 50 12’ 3.4” LS 1230 15’ 8.9” BT Waha
IV 50 12’ 0.9” LS 1230 15’ 3.3” BT Onemay
0 0
V 5 12’ 2.1” LS 123 15’ 9.3” BT Patua 1
15

Dari ke lima stasiun tesebut, masing-masing stasiun dibagi dua

substasiun (dua kali pengulangan) yaitu pada kedalaman 3 - 5 meter dan 10 - 13

meter.

2. Tahap Pengambilan Data Lapangan

a. Penilaian Kondisi Terumbu Karang

Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode line Intercept

Transect (LIT) (English et al.,1994). Pengambilan data komponen tutupan dasar

terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan (Tabel 2). Transek diletakkan

sejajar garis pantai sepanjang 50 meter pada setiap sub stasiun. Pengukuran

panjang tutupan dasar dilakukan sampai ketelitian 1 cm. Prosedur penilaian

kondisi karang dapat di lihat pada Lampiran 2.

Tabel 2. Variabel Penilaian Kondisi Terumbu karang berdasarkan bentuk


pertumbuhan

KATEGORI KODE PENJELASAN


ACB Acropora bercabang
ACT Acropora bentuk meja
Acropora ACE Acropora bentuk menjalar/mengerak
ACS Acropora bentuk submasif
ACD Acropora bentuk digitata
CB Karang bentuk bercabang
CM Karang bentuk masif
CE Karang bentuk menjalar/mengerak
Non-Acropora CS Karang bentuk submasif
CF Karang bentuk lembaran/daun
CMR Karang dari famili Fungiidae (bentuk jamur)
CME Karang api (Millepora sp)
CHL Karang biru (Heliopora sp)
Dead Coral DC Karang yang barusan mati
(karang mati) DCA Karang mati tertutup/ditumbuhi alga
MA Makro alga
TA Turf Algae (alga filamen)
Alga CA Alga koralin
HA Halimeda sp
AA Gabungan berbagai alga filamen
Fauna lainnya SC Karang lunak
SP Sponge
16

ZO Zoanthid
Others: anemon, gorgonian, hydroid, ascidian,
OT kima, dan lain-lain
S Pasir
R Rubble (pecahan karang)
Abiotik SI Lumpur (silt)
WA Air (jika lebih dari 50 cm hanya terlihat air)
RCK Batuan

b. Kepadatan Acanthaster planci

1. Pengambilan data dilakukan pada titik pengamatan line Intercept

Transect (LIT).

2. Pengamatan dilakukan pada area 2,5 meter disisi kiri dan kanan

sepanjang transek Line.

3. Menghitung jumlah Acanthaster planci.

c. Pengukuran Data Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara in situ pada setiap

stasiun pengamatan, yang meliputi: suhu, salinitas, arus permukaan dan

kedalaman, sedangkan kekeruhan pengamatannya dilakukan dilaboratorium.

Adapun metode pengukurannya adalah sebagai berikut:

1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan pada setiap stasiun yang telah ditentukan

dengan menggunakan thermometer. Thermometer tersebut di celupkan ke

dalam air laut, kemudian membaca angka yang ditunjuk pada thermometer

tersebut.
2. Kekeruhan
Pengukuran tingkat kekeruhan yaitu dengan mengambil sampel air pada

setiap stasiun dengan menggunakan botol sampel 600 ml, kemudian disimpan

di cool box sebagai alat untuk menyimpan sampel air laut, yang kemudian

dianalisis di Laboratorium dengan menggunakan Turbidimeter Cole Parmer

model 8391-37.
17

3. Arus permukaan

Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang -

layang arus. Pengamatan dilakukan dengan melepas layang-layang arus dan

mengukur selang waktu yang dibutuhkan hingga tali layang-layang arus tersebut

terbentang hingga pada jarak yang telah ditentukan (5 meter) dengan

menggunakan Stopwatch. Pengukuran kecepatan arus ini dilakukan di setiap

stasiun.
4. Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan di setiap stasiun dengan menggunakan

salinometer. Sampel air laut dimasukkan dalam gelas ukur (500 ml) kemudian

mencelupkan salinometer kedalam gelas ukur sampai salinometer tidak bergerak

maka akan terlihat nilai salinitas yang ditunjuk pada alat tersebut, selanjutnya

mencatat skala salinitas yang terbaca.


5. Kedalaman
Pengukuran kedalaman dilakukan disetiap sub stasiun bersamaan

dengan pengambilan data tutupan karang. Kedalaman dasar perairan (terumbu

karang) dapat diketahui melalui deep gauge pada selang regulator alat selam.

D. Analisis Data

1. Penilaian Kondisi Terumbu Karang

Untuk mendapatkan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang

dilakukan pengambilan data tutupan dasar, yang kemudian dihitung nilai

persentase tutupan setiap kategori berdasarkan petunjuk English et al. (1994)

sebagai berikut : Pc = Li/Ltotal x 100%

Dimana : Pc = persen tutupan (%)


Li = panjang tutupan lifeform (cm)
Ltotal = panjang transek (m)

Penilaian kondisi terumbu karang di kelompokan menurut stasiun dan sub

stasiun berdasarkan nilai penutupan karang hidupnya (Tabel 3).

Tabel 3. Kategori dan persentase tutupan karang hidup (Sukmara et al.,


2001)

Kategori Tutupan karang hidup (%)


Rusak 0 - 24,9%
Kritis/sedang 25 - 49.9%
Baik 50 - 74,9%
Sangat baik 75 - 100%
18

2. Status Ekologi Kepadatan Acanthaster planci


Untuk menghitung kepadatan A. planci maka digunakan rumus Krebs

(1989). D = n/A
Dimana: D = Kepadatan Spesies (Ind/m2)
n = Jumlah total Individu (individu)
A = Luas total transek (m2)

Kategori status ekologi kepadatan A. planci berdasarkan Endean (1987)

yaitu dikategorikan alami jika kepadatannya kurang dari 14 ind/1000m2 (0,014

individu/m2) dan ancaman jika kepadatannya lebih dari 14 ind/1000m2


Status ekologi kepadatan A. planci dikelompokkan menurut stasiun dan

sub stasiun dan disajikan dalam bentuk grafik.


3. Keterkaitan Antara Kepadatan Acanthaster planci Dengan Kondisi
Terumbu Karang

Keterkaitan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan

tutupan karang mati dianalisis dengan analisis regresi sederhana dengan formula

Sudjana (1989).
Y=a+bx
Dengan : Y = tutupan karang hidup atau karang mati (%)
a,b = koefisien regresi
x = kepadatan Acanthaster planci (ind/m2)

Selain itu juga di analisis secara deskriptif dengan mengelompokkan

status kepadatan A. planci (alami dan ancaman) dan dihitung rata-rata

penutupan karang hidupnya berdasarkan status kepadatan A. planci tersebut.

Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk grafik histogram.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
19

Tomia merupakan salah satu pulau dari empat gugusan pulau yang ada di

Kepulauan Wakatobi dengan luas pulau 52,4 km2. Semula gugusan pulau ini

dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di

kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai Besi.

Secara administrasi Tomia adalah salah satu kecamatan yang ada di

Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara, dimana secara geografis

sebelah utara berbatasan langsung dengan pulau Kaledupa, sebelah selatan

berbatasan langsung dengan pulau Binongko, sebelah barat berbatasan

langsung dengan laut Flores dan sebelah timur berbatasan langsung dengan laut

Banda.

Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di

kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks pulau Tomia, rataan

terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk

jarak terdekat.

Untuk menuju Kecamatan Tomia dapat ditempuh lewat beberapa

alternatif perjalanan dari Wangi-wangi ibu kota Kabupaten Wakatobi dan Kota

Bau-bau yaitu:

1. Wanci ke Kelurahan Waha, ibukota Kecamatan Tomia dengan kapal kayu

yang berangkat 3 kali seminggu dari pelabuhan Mola dengan waktu tempuh 3

- 4 jam.

2. Bau-bau ke Kelurahan Waha, ibukota Kecamatan Tomia dengan Kapal Kayu

yang berangkat 3 kali seminggu dari pelabuhan Murhum dengan waktu

tempuh 10 - 12 jam.

Penduduk di Kabupaten Wakatobi tercatat +100.000 jiwa yang tersebar 8

kecamatan dan hampir 100% memeluk agama Islam. Sebagian besar penduduk

Wakatobi memanfaatkan sumberdaya laut yang ada di perairan kawasan Taman

Nasional Wakatobi sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya.


20

Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli,

Bugis, Buton, Jawa dan Bajau. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat, belum

banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur,

rukun dan saling menghargai (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2011).

B. Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap stasiun

penelitian. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan diuraikan satu

persatu sebagai berikut :

1. Suhu
Suhu perairan yang ada pada ke sepuluh substasiun tersebut berkisar

antara 28 - 30 oC. Nilai suhu ini adalah kisaran suhu umum di perairan

Indonesia, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Nontji (1993), bahwa suhu

air permukaan di perairan nusantara berkisar antara 28 - 31 ºC. Dapat dilihat

bahwa kisaran suhu tiap stasiun hampir sama dan kisarannya sangat sesuai

untuk kehidupan A. planci. Menurut Bikerland dan Lucas (1990), bahwa kisaran

suhu yang optimal bagi A. planci adalah 28 – 33 0C, sehingga pada semua lokasi

penelitian ditemukan A. planci. Bikerland dan Lucas (1990), lebih lanjut

mengemukakan bahwa suhu yang terlampau tinggi atau terlampau rendah akan

sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup A. planci, pada keadaan yang

ekstrim yaitu 14 0C dan 34 0C A. planci akan mengalami tingkat kematian yang

besar. Sedangkan untuk perkembangan dan pertumbuhan karang, suhu

optimalnya berkisar 250C – 300C (Soekarno et al., 1983 dalam Tawakkal, 2010).

Suhu yang didapatkan pada lokasi penelitian tergolong suhu yang optimal bagi

pertumbuhan terumbu karang.


Hasil pengukuran suhu rata-rata yang didapatkan pada lokasi penelitian

dapat di lihat pada diagram Gambar 5.


21

Gambar 5. Rata-rata Suhu dan Salinitas di lokasi penelitian

2. Salinitas

Rata-rata salinitas pada kelima stasiun penelitian dapat di lihat pada

Gambar 5. Hasil pengukuran salinitas di lokasi penelitian yang terdapat pada

lima stasiun berkisar antara 32 - 36 ppt, dimana pada Stasiun I, IV dan V

salinitasnya 35.5 ppt, sedangkan pada Stasiun II salinitasnya 33 ppt dan Stasiun

III 34.5 ppt. Dari lima stasiun tersebut didapatkan A. planci. Birkeland dan Lucas

(1990) mengatakan bahwa toleransi salinitas bagi A. planci berkisar antara 19 -

25 ppt.

Dari parameter salinitas yang diperoleh di lokasi penelitian maka tidak

optimal untuk pertumbuhan A. planci, sedangkan kisaran normal salinitas

perairan laut untuk perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang secara

optimal adalah 32 – 35 ppt (Nybakken, 1992). Hasil ini menunjukan bahwa

salinitas perairan pada lokasi penelitian masih optimal bagi perkembangan dan

pertumbuhan terumbu karang.

3. Arus

Pada lokasi penelitian diperoleh kecepatan arus permukaan mulai dari

0.0641 sampai dengan 0.1042 meter/detik, yang paling lambat pada Stasiun II
22

dengan kecepatan arus 0.0720 meter/detik dan yang paling cepat pada Stasiun

IV dengan kecepatan arus 0.1011 meter/detik. Pada Stasiun I sampai dengan III

arusnya lambat dibanding dengan kecepatan arus pada Stasiun IV dan V.

Umunya A. planci terdapat pada perairan dengan arus yang lambat (Aziz, 1995).

Sedangkan untuk kisaran arus yang optimal bagi terumbu karang adalah 0.05 –

0.08 meter/detik (Suharsono dan Soedharma, 2001 dalam Tawakkal, 2010).

Kondisi arus tersebut menunjukan kisaran yang optimal bagi pertumbuhan

terumbu karang (Stasiun I, II dan III).

Hal ini disebabkan karena pada Stasiun I sampai dengan Stasiun III

kecepatan arus masih ada pengaruh halangan pulau Tolandona dan pulau Sava,

sedangkan pada Stasiun IV dan Stasiun V berhadapan langsung dengan laut

lepas dimana waktu penelitian arah arus dari barat.

Kecepatan rata-rata arus permukaan pada kelima stasiun tersebut dapat

di lihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Rata-rata kecepatan Arus permukaan dan Kekeruhan di


lokasi penelitian

4. Kekeruhan

Nilai rata-rata kekeruhan pada lokasi penelitian dapat di lihat pada

diagram Gambar 6. Pada lokasi penelitian, kekeruhan diketahui berkisar antara


23

1.02–10.09 NTU. Kekeruhan terendah terdapat pada Stasiun II dengan nilai 2.54

NTU dan kekeruhan yang tertinggi terdapat pada Stasiun V dengan nilai 6.40

NTU. Menurut KEPMEN.KLH No.51/2004 tentang standar baku mutu air laut

untuk daerah konservasi (taman laut) dan biota laut (budidaya) adalah (<5 NTU).

Jika dilihat dari parameter kekeruhan, Stasiun I sampai dengan IV akan

mendukung kehidupan A. planci dan sebaliknya dengan Stasiun V. Namun hasil

penelitian dari lima stasiun hanya Stasiun II saja yang terdapat adanya A. planci

tertinggi dengan nilai kekeruhan 2.54 NTU, seharusnya pada Stasiun I, III dan IV

didapatkan banyak A. planci karena nilai kekeruhannya yang rendah. Sama

halnya dengan A. planci, kekeruhan air laut untuk terumbu karang pada Stasiun I

sampai dengan IV masih optimal untuk pertumbuhan terumbu karang, dan

sebaliknya dengan Stasiun V.

5. Kedalaman

Kedalaman perairan pada lokasi penelitian yaitu 3 - 5 meter dan 10 - 13

meter. A. planci dewasa umumnya dapat ditemukan di kedalaman 3 – 5 meter

(Suharsono, 1998). Kedalaman maksimum yang pernah tercatat ditemukan

A. planci adalah mencapai 65 m pada perairan Great Barrier Reef, Australia

(Moran, 1990). Sedangkan kedalaman optimum bagi pertumbuhan terumbu

karang adalah kurang dari 25 meter (Nybakkaen, 1992).

C. Kepadatan Acanthaster planci

Acanthaster planci adalah hewan pemakan karang yang dapat

menyebabkan kerusakan karang, Kemunculan hewan ini juga merupakan

kontrol ekologi bagi karang yang pertumbuhannya cepat. Perairan Kecamatan

Tomia merupakan salah satu perairan di Wakatobi yang tidak luput dari

kemunculan A. planci. Dalam penelitian ini diperoleh hasil sebaran dan

kepadatan A. planci pada setiap stasiun seperti pada Gambar 7 dan lampiran 1.
24

Gambar 7. Kepadatan Acanthaster planci pada setiap Stasiun


Penelitian

Kepadatan A. planci pada kedalaman 3 - 5 meter bervariasi, kepadatan

tertinggi ditemukan pada Stasiun II yaitu 0.132 individu/m 2 dan yang terendah

pada Stasiun V dimana A. planci tidak ditemukan sama sekali. Sedangkan

kepadatan A. planci pada kedalaman 10 - 13 meter kepadatan tertinggi

ditemukan pada Stasiun I yaitu 0.012 individu/m 2 dan yang terendah pada

Stasiun III dimana A. planci tidak ditemukan sama sekali.


Secara umum, di kedalaman 3 – 5 meter memiliki kepadatan yang lebih

rendah dibanding pada kedalaman 10 – 13 meter. Demikian pada Stasiun II

(keadalaman 10 - 13 meter) kepadatan A. planci jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan stasiun lainnya dan sudah dapat dikatakan dalam kondisi mengancam.

Sedangkan empat stasiun lain yang terdapat pada lokasi penelitian yaitu

Stasiun I, III, IV dan V kepadatan A. planci masih dikategorikan alami/normal.

Endean (1987) mengatakan bahwa tingkat kepadatan normal dari A. planci

apabila jumlahnya kurang dari 14 ind/1000 m2 (0.014 individu/m2). Sedangkan

tingkat kepadatan yang melebihi 14 ind/1000 m2 dianggap telah

mengkhawatirkan/mengancam. Adapun status ekologi A. planci di perairan

Tomia, Taman Nasional Wakatobi untuk setiap stasiun disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Status Ekologi Acanthaster planci perairan Tomia, Taman
Nasional Wakatobi
25

Status
Kepadatan A. planci
Stasiun Kedalaman Ekologi
(ind/m²)
I.1 3-5 0.008 Alami
I.2 10-13 0.012 Alami
II.1 3-5 0.132 Mengancam
II.2 10-13 0.004 Alami
III.1 3-5 0.008 Alami
III.2 10-13 0
IV.1 3-5 0.004 Alami
IV.2 10-13 0.008 Alami
V.1 3-5 0
V.2 10-13 0.008 Alami
Padatnya populasi A. planci pada Stasiun II tersebut diduga karena faktor

lingkungan. Kondisi lingkungan pada stasiun tersebut sesuai dengan kehidupan

A. planci, misalnya arus dan kedalaman. Dibandingkan dengan stasiun lain arus

pada Stasiun II lebih lambat (0.0720 meter/detik). Menurut Aziz (1995), A. planci

umumnya terdapat pada perairan dengan arus yang lambat. Ditambahkan oleh

Suharsono (1998), bahwa A. planci sering ditemukan pada kedalaman 3 – 5

meter. Selain faktor lingkungan, yang sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya

A. planci pada suatu daerah adalah ketersediaan makanan. Menurut Moran

(1990), A. planci juga menyukai daerah terumbu karang dengan persentase

tutupan karang yang tinggi.

Gambar 8. Acanthaster planci yang ditemukan pada Stasiun II di lokasi


penelitian
D. Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Tomia

Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian, kondisi tutupan

terumbu karang pada Perairan Tomia dapat di lihat pada Tabel 5.


26

Tabel 5. Kondisi tutupan Terumbu karang dilokasi penelitian

Keadalaman Tutupan Kategori (%)


Stasiun
(m) AC NA DC DCA S RCK R SC MA SP OT
3-5 6.30 62.30 0.00 5.50 1.20 2.90 6.60 9.00 5.20 0.60 0.40
I
10-13 9.10 42.00 1.80 3.90 9.30 0.00 12.10 14.40 6.40 0.00 1.00
3-5 3.90 37.42 0.00 17.90 0.00 9.10 22.98 8.70 0.00 0.00 0.00
II
10-13 17.60 38.60 0.00 7.80 1.60 0.00 25.80 4.80 3.20 0.60 0.00
3-5 0.20 34.00 9.80 6.20 2.70 1.30 26.00 19.80 0.00 0.00 0.00
III
10-13 6.40 18.80 10.10 9.90 12.00 0.00 16.50 24.30 0.00 0.00 2.00
3-5 1.60 31.30 0.00 6.80 1.00 7.20 26.60 16.20 9.30 0.00 0.00
IV
10-13 0.40 30.60 1.00 13.00 23.60 0.00 19.90 7.80 2.80 0.00 0.90
3-5 0.20 63.40 0.00 4.90 2.60 6.90 4.70 7.80 4.60 4.60 0.30
V
10-13 2.80 45.60 2.00 15.00 0.00 0.00 3.70 17.90 11.80 0.00 1.20

Pada Tabel 5, dapat di lihat kategori tutupan terumbu karang yang ada di

lokasi penelitian, dimana kategori tutupan yang paling tinggi ditemukan di

dominasi oleh karang hidup (Non-Acropora) seperti pada Stasiun V (kedalaman 3

– 5 meter) yaitu 63.40 % dan pada Stasiun I (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 62.30

%. Sedangkan kategori tutupan yang paling sedikit ditemukan adalah Sponge

dan Other dimana pada beberapa stasiun tidak ditemukan sama sekali.
Tingginya tutupan karang hidup pada Stasiun I dan V diduga

berhubungan dengan kedalaman dan kekeruhan perairan. Terumbu karang

dengan kategori baik di lokasi penelitian terdapat pada perairan dengan

kedalaman antara 3 – 5 meter. Kedalaman perairan berkaitan erat dengan

dengan intensitas cahaya yang sampai pada terumbu karang, dimana cahaya

tersebut dibutuhkan dalam proses fotosintesis oleh zooxanthella karang.

Menurut Nybakken (1992), cahaya diperlukan oleh algae simbiotik zooxanthella

dalam proses fotosintesis guna memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu

karang. Pada Stasiun I, terumbu karang dengan kategori baik juga ditemukan

pada kedalaman 3 – 5 meter, hal ini diduga disebabkan karena kekeruhan

perairan pada lokasi tersebut rendah jika dibandingkan dengan stasiun lain

sehingga cahaya masih dapat tembus dengan baik sampai dasar perairan

(terumbu karang).
27

Diketahui juga tutupan karang mati (Dead Coral Algae) cukup tinggi

seperti pada Stasiun II (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 17.90 % dan pada Stasiun

V (kedalaman 10 – 13 meter) yaitu 15.00 %. Tingginya persentase karang mati

(Dead Coral Algae) mengindikasikan kerusakan terumbu karang pada beberapa

stasiun tersebut sudah berlangsung lama, baik itu kerusakan yang disebabkan

oleh manusia maupun oleh pengaruh tekanan lingkungan.


Kategori lain yang cukup tinggi ditemukan tutupannya yaitu Rubble dan

Soft Coral. Tutupan Rubble Pada Stasiun IV (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu

26.60 % dan pada Stasiun III (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 26.00 %.

Sedangkan tutupan Soft Coral pada Stasiun III (kedalaman 10 – 13 meter) yaitu

24.30 % dan pada Stasiun III (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 19.80 %. Tingginya

persentase tutupan pecahan karang dibeberapa stasiun di atas mengindikasikan

bahwa di lokasi tersebut telah terjadi praktek-praktek penggunaan alat

penangkapan biota perairan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan

bom, sedangkan tingginya tutupan karang lunak pada beberapa stasiun

mengindikasikan bahwa telah terjadi suksesi karang pada karang yang rusak

(Tandipayuk, 2006).
Kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian dinilai berdasarkan

persentase tutupan nilai karang hidupnya (Acropora dan Non-Acropora). Adapun

nilai tutupan karang hidup dan kondisi terumbu karang disetiap stasiun dapat di

lihat pada Gambar 9.


28

Gambar 9. Persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian

Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa pada kedalaman 3 – 5 meter kondisi

terumbu karang yang masih baik, ditemukan pada Stasiun I dan V dengan

tutupan karang hidup yaitu 68.6 % (Stasiun I) dan 63.6 % (Stasiun V), sedangkan

pada Stasiun II, III dan IV sudah masuk dalam kondisi sedang (kritis). Adapun

untuk kedalaman 10 – 13 meter kondisi terumbu karang yang masih baik

ditemukan pada Stasiun I dan II dengan tutupan karang hidup yaitu 51.1 %

(Stasiun I) dan 56.2 % (Stasiun II), sedangkan pada Stasiun III, IV dan V sudah

masuk dalam kondisi sedang (kritis).


Tingginya persentase kemunculan karang hidup dalam kondisi sedang

(kritis) dibanding dengan kondisi baik mengindikasikan karang hidup pada

beberapa stasiun penelitian pernah mengalami tekanan baik dari manusia

maupun lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tandipayuk (2006) bahwa

tingginya persentase tutupan karang mati yang ditumbuhi alga disebapkan oleh

adanya praktek-praktek pengrusakan karang yang telah berlangsung lama, dan

tingginya persentase tutupan pecahan karang mengindikasikan penggunaan alat

penangkapan biota perairan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan

bom.
E. Keterkaitan antara Kepadatan Achantaster planci dengan Kondisi
Terumbu Karang
29

Hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan

karang mati pada lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 10; Lampiran 5

dan Gambar 11; Lampiran 6.

Gambar 10. Diagram pencar hubungan antara kepadatan Acanthaster


planci dengan tutupan karang hidup.

Gambar 11. Diagram pencar hubungan antara kepadatan Acanthaster


planci dengan tutupan karang mati.

Pada Gambar 10 dan 11 menunjukan hubungan yang sifatnya negatif

antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan sebaliknya

hubungannya bersifat positif dengan tutupan karang mati. Hasil uji statistik

menunjukkan hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang

hidup tidak signifikan (P > 0,05) dengan persamaan regresi ỹ = 45,82 – 30,75Xi.

Pada gambar dapat dilihat adanya korelasi positif antara kepadatan

A. planci dengan tutupan karang mati, dimana semakin tinggi kepadatan A.

planci maka semakin tinggi pula tutupan karang mati. Pengukuran dengan uji

statistik juga menunjukkan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang


30

mati menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (P > 0,05) dengan persamaan

regresi ỹ = 34,03 + 117,0Xi.

Gambar 12. Sebaran kepadatan Acanthaster planci dan tutupan


karang hidup di setiap titik pengamatan.

Gambar 13. Sebaran kepadatan Acanthaster planci dan tutupan


karang mati di setiap titik pengamatan.

Meskipun tidak menunjukkan korelasi yang signifikan hubungan antara

kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup atau karang mati, namun

dalam kondisi kepadatan A. planci yang tinggi seperti pada Stasiun II (kedalaman

3 – 5 meter) memperlihatkan suatu fenomena yang mengancam dan bisa

menyebapkan dampak negatif terhadap kondisi terumbu karang (Gambar 12 dan

13). Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa di Stasiun II (kedalaman 3 – 5

meter) kepadatan A. planci 0.132 ind/m2 telah menyebabkan menurunnya nilai

tutupan karang hidup dan meningkatknya nilai tutupan karang mati.


31

Adapun rata-rata tutupan karang hidup pada kondisi ekologi A. planci

yang tergolong mengancam lebih rendah dari pada kondisi yang masih alami

(Gambar 14). Sebaliknya tutupan karang mati pada kondisi ekologi A. planci

yang tergolong mengancam lebih tinggi dari pada kondisi yang masih alami

(Gambar 15).

Gambar 14. Rata-rata persentase karang hidup pada kondisi ekologi


A. planci.

Gambar 15. Rata-rata persentase karang mati pada kondisi ekologi


A. planci.
Semakin rendahnya tutupan karang hidup pada kondisi A. planci dengan

kepadatan lebih tinggi disebabkan karena adanya pemangsaan polip karang oleh

A. planci yang mengakibatkan kematian pada karang. Populasi A. planci yang

padat di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi

kehidupan karang. Acanthaster planci adalah predator karang yang dapat

memangsa karang dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Menurut
32

Moran (1990), satu individu A. planci dewasa dapat memangsa rata-rata 5 – 6 m2

koloni karang/tahun.
Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian

disebabkan karena populasi A. planci yang tidak terlalu tinggi, sehingga

pemangsaan karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi A. planci pada suatu

ekosistem dalam status alami, maka tidak akan memberikan ancaman yang

berarti terhadap ekosistem terumbu karang bahkan dapat menjaga

keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Hal ini sesuai pendapat Bachtiar

(2009), bahwa pemangsaan karang oleh A. planci yang dalam populasi rendah

bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan Acroporidae yang

tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu. Pemangsaan

selektif ini mempunyai dampak ekologi yang positif karena memberikan bantuan

kepada karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut.

Tetapi jika populasi A. planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali,

maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang.

Sedangkan rendahnya tutupan karang hidup pada stasiun lain seperti

Stasiun III (kedalaman 10 – 13 meter) tidak luput dari kerusakan karang yang

disebabkan oleh manusia seperti membuang jangkar kapal/perahu dan

penggunaan alat tangkap Bubu. Pada stasiun tersebut diketahui persentase

patahan karang (rubble) 16.50% dan soft coral 24.30%. Stasiun III merupakan

tempat berteduh kapal/perahu nelayan ketika menghindari angin dan gelombang

dari arah timur Pulau Tomia. Perahu tersebut membuang jangkar di atas karang

dan berakibat karang patah atau hancur sewaktu terkena jangkar. Demikian pula

ketika jangkar ditarik, karang akan terangkat dan terbalik atau patah. Di stasiun

tersebut juga merupakan tempat nelayan tradisional menggunakan alat tangkap

Bubu untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu dipasang pada daerah terumbu

karang yang biasanya ditempatkan di antara batu-batu karang yang kemudian di

tindih dengan bongkahan karang mati maupun karang hidup. Pembongkaran


33

karang hidup untuk menindih bubu inilah yang menyebabkan karang patah dan

hancur (Suharsono, 1998).

V. SIMPULAN DAN SARAN


B. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kepadatan A. planci di Perairan Tomia yang berada dalam status

mengancam terdapat pada Stasiun Waha dengan kedalaman 3 – 5 meter,

dengan kepadatan mencapai 0,132 individu/m2, sedangkan pada stasiun lain

statusnya masih alami/normal dengan kepadatan A. planci berkisar dari 0 -

0.012 individu/m2.
2. Kondisi tutupan karang hidup di Perairan Tomia, pada kedalaman 3 – 5 meter

di Stasiun Waitii Barat dan Patua 1 masih berada dalam kondisi/kategori baik,

sedangkan di Stasiun Waha (II), Waha (III) dan Onemay sudah dalam

kondisi/kategori sedang (kritis). Adapun di kedalaman 10 – 13 meter pada

Stasiun Waitii Barat dan Waha (II) masih dalam kondisi/katergori baik, dan di

Stasiun Waha (III), Onemay dan Wali sudah masuk dalam kondisi/kategori

sedang (kritis).
3. Kepadatan A. planci di Perairan Tomia berkorelasi negatif terhadap tutupan

karang hidup dan berkorelasi positif terhadap tutupan karang mati, namun

tidak signifikan. Meskipun demikian pada kondisi kepadatan A. planci yang

tinggi seperti pada Stasiun Waha dikedalaman 3 – 5 meter, kepadatan


34

A. planci yang tinggi menyebabkan penurunan penutupan karang hidup dan

peningkatan karang mati yang relatif tinggi.

C. Saran

Perlu dilakukan kajian lebih dalam mengenai waktu-waktu kemunculan

A. panci, sehingga pencegahan maupun penanganan A. planci sebagai predator

karang pada kawasan Taman Nasional Wakatobi dapat ditingkatkan, khususnya

di Perairan Tomia.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis


Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Oseana Vol.XX, 2: 23-31.
Jakarta.

Bachtiar, I. 2009. Bintang Laut Mahkota Duri (Acanthaster planci, Asteroidea).


http://mycoralreef.wordpress.com/2009/01/26/bintang-laut-mahkota-duri-
acanthaster-planci-asteroidea/. (Di akses 11 Juli 2011).

Balai Taman Nasional Wakatobi. 2007. Laporan Pengangkatan Crown Of Thorns


Starfish (COTs) Wakatobi. Bau-bau.

Balai Taman Nasional Wakatobi. 2011. Informasi Taman Nasional Wakatobi.


http://www.dephut.go.id/files/Wakatobi.pdf (Di akses 11 maret 2011).

Birkeland, C. 1998. Life and Death of Coral Reefs. University of Guam. Chapman
& Hall, ITP, New York.

Birkeland, C. dan J. Lucas. 1990. Acanthaster planci : Major Management


Problem of Coral Reef. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida.257 p.

Damayanti, L. 2007. Laju Regenerasi dan Mortalitas Acanthaster planci Linn


Yang Difragmentasi Berdasarkan Tingkatan Fase Hidup. Skripsi Jurusan
Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

De’ath, G. and P. J. Moran, 1998. Factors Affecting The Behaviour of Crown of


Thorns Starfish (Acanthaster planci L.) on The Great Barrier Reef: 2:
Feeding preferences. J. Exp. Mar. Biol. Ecol 220:107-126.

Dubinsky, Z. 1990. Coral Reefs. Ecosystem of The World 25. Elsevier.


Amsterdam – Oxford – New York – Tokyo.

Endean, R. 1987. Acanthaster planci Investation. pp. 299-237. In B. salvat


(editor). Human Impact on Coral Reefs: Facts and Recommendations,
Antenne Museum E.P.H.E. French Polynesia. Australia.
35

English, S.,C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsvile.

Fossa, A & A. Nilsen. 1996. The Modern Coral Reef Aquarium. Vol.1. Germany:
J.C.C Bruns GmbH.

Fraser, N. B.R. Crawford, dan J. Kusen. 2003. Panduan Pembersihan Bintang


Laut Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir. USAID-ICRMP, Jakarta. 34 hal.

Krebs, T. 1989. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and


Abundance. Harper and Row. New York.

Lucas, J., 1987. Life History. The Crown of Thorns Starfish, Australiapn Science
Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland.

Moran, P. J., 1987a. A Close Look: The Crown of Thorns Starfish. The Crown of
Thorns Starfish, Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA,
Queensland.

., 1987b. Starfish Outbreaks: The Great Barrier Reef. The Crown of


Thorns Starfish, Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA,
Queensland.

., 1990. The Acanthaster plancii (L.); Biographical Data. Coral Reefs 9;


95-96.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hal.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Sudjana, M. A. 1989. Metode Statistik. Edisi kelima. Tarsito. Bandung.

Suharsono, 1998. Kesadaran Masyarakat tentang Terumbu Karang (Kerusakan


Karang di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi
–LIPI, Jakarta.

Sukmara, Audrie. J, Siaharnenia, Rotinsulu., 2001. Panduan Pemantauan


Terumbu karang Berbasis-Masyarakat dengan metode Manta Tow.
CRMP. Jakarta.

Tandipayuk, L.S. 2006. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Terumbu


Karang Berkelanjutan di Perairan Pulau-Pulau Sembilan, Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan. Disertasi Program Pasca Sarjana. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Tawakkal, I., 2010. Kondisi Terumbu Karang di Gusung Anjerr’e Desa Paria
Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang. Skripsi Jurusan Perikanan.
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
36

Timotius, S. 2003. Biologi Terumbu Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia.


http//www.terangi.or.id/publication/pdf/biologikarang.pdf ( Diakses
11 Februari 2011).

Veron, Jen. 1986. Coral of Australia and The Indopasific. Angus & Robertos.
Australia.

LAMPIRAN
37

Parameter Lingkungan
Stasiun Suhu Arus Kekeruhan Salinitas Kedalaman
(0C) (m/s) (NTU) (ppt) (m)
I. 1 30 0.0676 3.11 36 3–5
I. 2 29 0.0794 3.65 35 10 – 13
II. 1 29 0.0641 4.05 32 3–5
II. 2 28 0.0746 1.02 34 10 – 13
III. 1 30 0.0847 2.33 34 3–5
III. 2 29 0.0694 3.08 35 10 – 13
IV. 1 30 0.0980 3.28 36 3–5
IV. 2 29 0.1042 4.42 35 10 – 13
V.1 29 0.0847 2.71 35 3–5
V.2 29 0.0943 10.09 36 10 – 13
Lampiran 1. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di setiap stasiun
penelitian di Perairan Kecamatan Tomia.
38

Lampiran 2. Data hasil penghitungan jumlah dan kepadatan Acanthaster planci di


lokasi penelitian

Jumlah
Kepadatan
Stasiun
Acanthaster planci (ind/m2)

I.1 2 0.008
I.2 3 0.012
II.1 33 0.132
II.2 1 0.004
III.1 2 0.008
III.2 0 0.000
IV.1 1 0.004
IV.2 2 0.008
V.1 0 0.000
V.2 2 0.008
39

Lampiran 3. Data hasil pengukuran terumbu karang pada setiap stasiun


penelitian
40

Lampiran 4. Data persentase Acanthaster planci, karang hidup dan karang mati
di lokasi penelitian.

Acanthaster plancii (%)


STASIUN Acanthaster planci TOTAL (%)
I.1 2 4.35
I.2 3 6.52
II.1 33 71.74
II.2 1 2.17
III.1 2 4.35
III.2 0 0.00
IV.1 1 2.17
IV.2 2 4.35
V.1 0 0.00
V.2 2 4.35

TUTUPAN KARANG HIDUP (%)


STASIUN AC NA TOTAL (%)
I.1 6.3 62.3 68.6
I.2 9.1 42 51.1
II.1 3.9 37.42 41.32
II.2 17.6 38.6 56.2
III.1 0.2 34 34.2
III.2 6.4 18.8 25.2
IV.1 1.6 31.3 32.9
IV.2 0.4 30.6 31
V.1 0.2 63.4 63.6
V.2 2.8 45.6 48.4

TUTUPAN KARANG MATI (%)


STASIUN DC DCA S RCK R TOTAL (%)
I.1 0 5.5 1.2 2.9 6.6 16.2
I.2 1.8 3.9 9.3 0 12.1 27.1
II.1 0 17.9 0 9.1 22.98 49.98
II.2 0 7.8 1.6 0 25.8 35.2
III.1 9.8 6.2 2.7 1.3 26 46
III.2 10.1 9.9 12 0 16.5 48.5
IV.1 0 6.8 1 7.2 26.6 41.6
IV.2 1 13 23.6 0 19.9 57.5
V.1 0 4.9 2.6 6.9 4.7 19.1
V.2 2 15 0 0 3.7 20.7

Lampiran 5. Hasil analisis regresi linear antara kepadatan Acanthaster planci


dengan tutupan karang hidup di lokasi penelitian
41

Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 X(a) . Enter
a All requested variables entered.
b Dependent Variable: Y

Model Summary

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square Square the Estimate
1 ,084(a) ,007 -,117 15,52195
a Predictors: (Constant), X

ANOVA(b)

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 13,680 1 13,680 ,057 ,818(a)
Residual 1927,447 8 240,931
Total 1941,127 9
a Predictors: (Constant), X
b Dependent Variable: Y

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.

Model B Std. Error Beta B Std. Error


1 (Constant) 45,818 5,453 8,403 ,000
X -30,747 129,035 -,084 -,238 ,818
a Dependent Variable: Y

Lampiran 6. Hasil analisis regresi linear antara kepadatan Acanthaster planci


dengan tutupan karang mati di lokasi penelitian

Variables Entered/Removed(b)
42

Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 X(a) . Enter
a All requested variables entered.
b Dependent Variable: Y

Model Summary

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square Square the Estimate
1 ,320(a) ,102 -,010 14,74000
a Predictors: (Constant), X

ANOVA(b)

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 198,397 1 198,397 ,913 ,367(a)
Residual 1738,140 8 217,268
Total 1936,537 9
a Predictors: (Constant), X
b Dependent Variable: Y

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.

Model B Std. Error Beta B Std. Error


1 (Constant) 34,034 5,178 6,573 ,000
X 117,092 122,534 ,320 ,956 ,367
a Dependent Variable: Y

Anda mungkin juga menyukai