Anda di halaman 1dari 9

3

BAB II
KONSEP DASAR TEORI

A. Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Kadang- kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal (Soemyarso, 2014).
Sindrom nefrotik adalah penyakit denagn gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia, kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005).
Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Betz, Cecily dan Sowden, Linda, 2002)
Sindroma nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri atas proteinuria
masif (lebih dari 50 mg/kg BB/24 jam). Hipoalbuminemia (kurang dari 2,5
gram/100ml). Yang disertai atau tidak disertai denagn edema dan hiperkolesterolemia
(Rauf, 2002).
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan
protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner &
Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan proteinuria,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala klinis
yang disebabkan oleh hilangnya permeabilitas glomerulus terhadap protein yang
ditandai dengan empat gejala khas yaitu priteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema.

B. Etiologi

Menurut Ngastiyah, 2005, etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi :


1. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Gejala: edema pada masa neonatus. Pernah dicoba
pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
4

2. Sindrom Nefrotik Sekunder


Disebabkan oleh:
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus sistemik
 Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronik, trombosis vena renalis
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom Nefrotik Idiopatik atau Primer
(Tidak diketahui sebabnya atau juga disebut SN primer). Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop
biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. membagi dalam 4 golongan yaitu:
a. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop elektron tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta-1C pada
dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak
daripada orang dewasa, prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan
lain.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa poliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus terdapat poliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma
endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering
ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus
yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik,
tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang
lama.

 Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)


Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
 Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
(kapsular) dan viseral. Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif
5

Poliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai


membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A
rendah. Prognosis tidak baik.
 Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
4. Glomerulosklerosis Fokal Segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi
tubulus. Prognosis buruk.

C. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak
dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila
dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik,
purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan
neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi
yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah
edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan
kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialysis.

D. Patofisiologi
Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan
terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyababkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler
berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume
cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal
karena hypovolemi. Karena terjadi penurunan aliran darah ke renal, maka ginjal akan
melakukan kompensasi denagn merangsang produksi renin-angiotensin dan
peningkatan sekresi anti diuretic hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang
6

kemudian terjadi retensi natrium dan air, denagn retensi natrium dan air akan
menyebabkan edema (Betz C, 2002).
Membran glomerulus yang normalnya impermiabel terhadap albumin dan
protein lain menjadi permiabel terhadap protein terutama albumin, yang melewati
membran dan ikut keluar bersama urin (hiperalbuminemia). Hal ini menurunkan
kadar albumin (hipoalbuminemia), menurunkan tekanan onkotik koloid dalam kapiler
mengakibatkan akumulasi cairan di interstisial (edema) dan pembengkakan tubuh,
biasanya pada abdominal (acites). Berpindahnya cairan plasma ke interstisial
menurunkan volume cairan vaskuler (hypovolemia), yang mengaktifkan stimulasi
sistem renin-angiotensin dan sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorbsi tubulus
terhadap air dan sodium meningkatkan volume intravaskuler (Donna L Wong, 2004).

E. Manifestasi Klinis
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :
1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
Dalam urin terdapat protein ≥40 mg/m 2/jam, atau >50 mg/kg/24jam, atau rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria pada
sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh
albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Kadar albumin plasma normal pada anak denagn gizi
baik berkisar antara 3,6-4,4 g/dl. Retensi cairan dean sembab akan mulai tampak
bila kadar albumin plasma kurang dari 2,5-3,0 g/dl, tetapi sering sekali kadar
albumin plasma jauh di bawah kadar tersebut.
3. Edema
Edema merupakan manifestasi klinis utama yang mudah terlihat oleh orang tua
dan keluarga penderita. Akibat meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin terlepas ke dalam urin sehingga menimbulkan albuminuria masif dengan
akibat hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan turunnya tekanan
onkotik plasma intravaskuler. Hal tersebut mendorong terjadinya ekstravasasi
cairan melintasi didnding kapiler, terlepas dari ruang intravaskuler masuk ke
ruang interstisial yang menyebabkan timbulnua edema. Diawali dengan edema
disekitar mata dan wajah yang sering disangka alergi, konjungtivitis, gondong
atau infeksi gigi. Dalam beberapa hari kemudian, bengkak secara berangsur
semakin menghebat dan menjalar kearah tungkai dan perut.
4. Hiperlipidemia
7

Penderita sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol


serum lebih dari 200 mg/dl), yang tampak lebih nyata pada sindrom nefrotik
kelainan minimal. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara kadar albumin
serum dan kolesterol. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian albumin, kadar lipid akan juga kembali normal. Lipid
dapat ditemukan di dalam urin dalam bentuk oval fat bodies.
Gejala lain yang menyertai :
1. Perubahan urin (penurunan volume, berbau buah, gelap)
2. Pembengkakan abdomen (asites)
3. Kesulitan pernapasan (efusi pleura)
4. Mudah lelah
5. Hipertensi
6. Anoreksia, mual dan muntah

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada sindrom nefrotik menurut Benz, Cecily L, 2002 :
1. Uji Urin
a. Protein urin  >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b. Urinalisa  cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin  positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin  meningkat (normal: 285 mOsmol)
2. Uji Darah
a. Albumin serum  <3 g/dl
b. Kolesterol serum  meningkat
c. Hemoglobin dan hematokrit  meningkat (hemokonsentrasi)
d. Laju endap darah (LED)  meningkat
e. Elektrolit serum  bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
f. Bila curiga lupus erimatosus sistemik pemeriksaan dilengkapi dengan
pemeriksaan kadar komplemen 4 (C4), ANA (anti nuclear antibody) dan anti-
dsDNA
3. Uji Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan berlebihan
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal
c. Biopsi ginjal dapat menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis
atau pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli

G. Penatalaksanaan
1. Medik
a. Diuretik
Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari. Bila tidak ada
respon, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari bersama dengan
spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari, sebagai potassium-
8

sparing agent (diuretik hemat kalium). Bila denagn terapi tersebut masih
gagal, dapat ditambah thiazide (hidroklorothiazid). Kadang-kadang perlu
diberikan furosemid bolus intravena atau infus. Pemakaian diuretik lebih dari
1 minggu dengan dosis tinggi perlu pemantauan terhadap hipovolemia dan
elektrolit serum.
b. Kortikosteroid
 Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children), pengobatan inisial prednison dimulai dengan dosis penuh 2
mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimal 60 mg/hari). Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal. Prednison dosis penuh inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40 mg/m2/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari) 1 kali
sekali setelah makan pagi.
 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 3 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitten/alternating 40
mg/m2/hari selama 4 minggu, dan kemudian dosis diturunkan perlahan
selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi
dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami
remisi, pilihannya :
 Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12
minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg). Hanya aman
diberikan dalam 1 seri pengobatan.
 Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternatif (selang sehari) selama
minimal 12 bulan.
 Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan denagn pemantauan fungsi ginjal dan
kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
 Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan.
 Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan denagn pemantauan fungsi ginjal dan
kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid
9

Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 3 minggu)


kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitten/alternating 40
mg/m2/hari selama 4 minggu, dan kemudian dosis diturunkan perlahan
selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi
dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami
remisi sama dengan untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering.
Namun terdapat pilihan obat lagi, yaitu Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2
minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering
dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 3 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitten/alternating 40
mg/m2/hari selama 4 minggu, dan kemudian dosis diturunkan perlahan
selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi
dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami
remisi, pilihannya :
 Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan denagn pemantauan fungsi ginjal dan
kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
Bila menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
 Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan.
 Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12
jam) selama minimal 12 bulan denagn pemantauan fungsi ginjal dan
kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
 Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan,
bila tetap mengalami kambuh sering dengan kombinasi optimal
steroid dan obat lainnya.
 Metilprednisolon (steroid dosis tinggi) intravena 30 mg/kg (maksimal
1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg (maksimal 150 mg),
diberikan selang sehari sebanyak 6 dosis, bergantian dengan
prednison oral 2 mg/kg/hari secara selang sehari.
c. Pemberian non imunosupresif
Pada pasien sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid,
sitostatik, dan siklosporin, dapat diberikan diuretik (bila ada edema)
dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensinconverting enzyme) untuk
10

mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril
0,1-2 mg/kgBB/hari 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis. Dapat pula diberikan golongan angiotensin receptor blocker (ARB)
seperti losartan 0,5-2 mg/kg/hari dalam dosis tunggal. Tujuan pemberian
inhibitor ACE atau ARB juga untuk menghambat terjadinya gagal ginjal
terminal (renoprotektif).
2. Keperawatan
a. Edema yang berat
Pasien sindrom nefrotik denagn anasarka perlu istirahat di tempat tidur karena
keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya
untuk bergerak. Terutama di tempat tidur.
 Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di dalam
rongga toraks akan menyebabkan pasien sesak napas
 Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal
diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang bagian ujung kaki
akan lebih rendah dan akan menyababkan edema lebih berat)
 Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal di bawah skrotum
untuk mencegah pembengkakkan skrotum karena tergantung.

Bila edema telah berkurang pasien diperbolehakan melakukan kegiatan sesuai


dengan kemampuannya. Untuk mengetahui berkurangnya edema, berat badan
pasien perlu ditimbang setiap hari dan dicatat. Yang perlu juga dilakukan
dalam perawatan pasien sindrom nefrotik ialah pencatatan masukkan dan
keluaran cairan selama 24 jam.

b. Diet
Pemberian diet tinggi protein sekarang tidak dianjurkan karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein.
Jadi diet protein yang dianjurkan adalah normal atau sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dan cukup kalori
yaitu 35 kcal/kg/hari. Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak
melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih dianjurkan memberikan
karbohidrat kompleks daripada gula sederhana. Diet rendah garam (1-2 g/hari,
atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindari camilan asin, dianjurkan selama anak
mengalami edema atau hipertensi. Bentuk makanan disesuaikan dengan
keadaan penderita, dapat makanan biasa atau lunak.
c. Risiko terjadi komplikasi
11

Komplikasi pada kulit akibat infeksi Streptococcus atau Staphylococcus dapat


terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut kebersihan kulit perlu diperhatikan
dan pakaian pasien harus selalu bersih dan kering. Karena psien sindrom
nefrotik berisiko terjadinya dekubitus maka posisi pasien perlu diubah secara
teratur misalnya setiap 3 jam dan bagian tubuh yang bekas tertekan di lap
dengan air hangat, dilap kering, kemudian dibedak. Mengingat daya tahan
tubuh pasien SN ini rendah dan mudah mendapat infeksi, sebaiknya ruangan
untuk pasien penyakit SN tidak dekat dengan ruangan untuk pasien yang
menderita infeksi dan mudah menular. Perawat harus mempertahankan cara
kerja yang aseptik.

H. Prognosis
Sebagaian besar anak dengan nefrosis yang berespon terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Myang penting adalah menunjukkan
pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak herediter, dan anak akan tetap fertile bila
tidak ada terapi siklosfosfamid. Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis, ditekan
bahwa selama masa remisi anak tersebut normal tidak perlu pembatasan diet dan
aktivitas. Pada yang sedang berada pada masa remisi pemeriksaan urin protein
biasanya tidak diperlukan (Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi tetapi tidak
berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinik kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid.

Anda mungkin juga menyukai