Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Disusun Oleh :

dr. Masitha Ayuni

Pembimbing :
dr. Ade Fitra
dr. Tiara Amalliyah

Narasumber :
dr. Meidy Daniel Posumah, Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, sebab hanya karena rahmat dan karunia-Nya, penulisan laporan kasus
dengan judul “Kejang Demam” ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini saya
buat untuk melengkapi salah satu tugas Program Internship Dokter Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Rumah Sakit Badan Pengusahaan
Batam periode 2018/2019.
Meskipun dalam pembuatan makalah ini, penulis banyak mengalami
hambatan, kesulitan dan kendala, namun karena adanya motivasi dan arahan serta
bimbingan dari berbagai pihak, penulisan laporan kasus ini akhirnya dapat
diselesaikan. Di sini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Meidy Daniel Posumah, Sp.A sebagai narasumber dan pembimbing serta dr. Ade
Fitra dan dr. Putri Maulina sebagai dokter pendamping.
Pada akhirnya, walaupun berbagai usaha sudah dilakukan semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan penulisan laporan kasus ini, namun karena
berbagai keterbatasan penulis, laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, diharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan
penulisan laporan kasus ini.

Batam, 30 Maret 2019

dr. Masitha Ayuni

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………… i

Daftar Isi ……………………………………………………………. ii

Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………… 1

Bab 2 Laporan Kasus ………………………………………………. 2

Bab 3 Tinjauan Pustaka …………………………………………….. 11

3.1. Definisi Kejang Demam ………………………………… 11

3.2. Epidemiologi Kejang Demam ………………………….. 12

3.3. Klasifikasi Kejang Demam …………………………….. 13

3.4. Patofisiologi Kejang Demam …………………………... 13

3.5. Faktor Risiko Kejang Demam ………………………….. 16

3.6. Manifestasi Klinis ………………………………………. 19

3.7. Penegakan Diagnosis …………………………………… 19

3.8. Tatalaksana Kejang Demam ……………………………. 22

Bab 4 Analisa Kasus ………………………………………………… 28

Daftar Pustaka ………………………………………………………... 32

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di


bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang
menakutkan bagi orang tua, sehingga sebagai dokter kita wajib mengatasi kejang
dengan tepat dan cepat.

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intracranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan
suhu tubuh diatas 38°C suhu rectal atau di atas 38,7°C suhu aksila. Kejang demam
terjadi pada anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar antara 2% - 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Bangkitan kejang
demam terbanyak terjadi pada anak usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan dengan
insiden bangkitan kejang demam tertinggi saat usia 18 bulan.1

Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana


dan kejang demam kompleks. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang
demam yaitu faktor demam, usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal, dan riwayat
perinatal.1

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka


kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna. Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa
pemberian antipiretik dan antikonvulsan.2 Pemberian antipiretik tanpa disertai
pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk mencegah
timbulnya kejang demam berulang. 3

1
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. JO
Tanggal lahir : 06 Juli 2015
Usia : 3 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tiban Koperasi
Pekerjaan :-
Agama : Kristen
Tanggal Masuk : 22 November 2018

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis
Keluhan utama
Kejang seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien anak laki-laki berusia 3 tahun datang ke IGD RSBP dibawa orang
tuanya dengan keluhan kejang yang dialami pasien sebanyak 2x. Kejang
pertama dialami pukul 18.00 , kejang seluruh tubuh bersifat menghentak.
Kejang dialami kurang lebih 3 menit dan setelah kejang anak sadar. Pasien
kemudian dibawa ke klinik dan mendapatkan obat anti kejang yang dimasukkan
dari dubur. Kemudian pukul 22.00 anak kembali kejang seluruh tubuh dan
bersifat menghentak. Kejang dialami selama kurang lebih 5 menit dan anak
dibawa ke IGD RSBP. Saat di IGD kejang sudah berhenti dan anak sadar.

2
Riwayat demam sejak 2 hari yang lalu, demam semakin tinggi sejak sore ini
suhu tubuh diukur di rumah mencapai 39,3°C sebelum terjadinya kejang. Demam
turun dengan obat penurun panas namun hanya sebentar kemudian demam tinggi lagi.
Mual dan muntah tidak dijumpai, nyeri ulu hati tidak dijumpai, batuk pilek tidak
dijumpai, anak lemas dan tidak nafsu makan sejak 2 hari ini.
Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat operasi, alergi obat, dan trauma sebelumnya

Riwayat Penggunaan Obat


Paracetamol syr 3x II cth, diazepam supp

Riwayat Kelahiran
Lahir SC, berat lahir 2800 gr, langsung menangis

Riwayat Tumbuh Kembang


Normal sesuai usia

Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap di posyandu, terakhir campak ulangan saat usia 24 bulan

Riwayat Penyakit pada Keluarga


Riwayat kejang/epilepsi, hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan penyakit jantung
disangkal

3
2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 110 x/ menit, teraba kuat, regular, isi cukup
Pernafasan : 22 x/ menit, regular, kedalaman cukup
SpO2 : 100%
Suhu : 38.7oC

Status Generalis

Kesan gizi : Baik


Berat Badan : 14 kg
Tinggi Badan : 98 cm
Status Gizi : 93% (Gizi Baik)
Mata : Pupil isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung
+/+,refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis -/-,
sclera ikterik -/-, mata cekung (-/-)
Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada sekret
Tenggorok : Uvula medial, tonsil T1/T1, arkus faring simetris, faring tidak
hiperemis
Gigi dan mulut : Bibir tampak kering, oral hygiene baik
Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, tidak ada tofus
Leher : Tiroid tidak membesar, KGB tidak membesar, JVP 5-2
cmH2O
Jantung : Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), thrill (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Soepel, BU (+) normal, nyeri tekan (-),

4
turgor baik
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-).
Genitalia : Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Neurologis
Refleks Meningeal : Kaku kuduk (-), laseque (-), kernig (-)
Refleks Fisiologis : Normal
Refleks patologis : Tidak ada

2.4 Pemeriksaan Laboratorium (22/11/2018)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hb 13.5 11.0 – 16.5 g/dL
- MCV 85.9 80.0 – 97.0 fL
- MCH 28.8 26.5 – 33.5 pg
- MCHC 33.5 31.5 – 35.0 g/dL
RBC 4.69 3.8 – 5.8 6
10 /uL
HCT 40.3 35.0 – 50.0 %
WBC 7.88 4 – 11 3
10 /uL
- Eosinofil 0.4 0–5 %
- Basofil 0.3 0–1 %
- Neutrofil 48.8 46 – 75 %
- Limfosit 36.8 17 – 48 %
- Monosit 13.7 4 - 10 %
PLT 237 150 – 450 3
10 /uL
GDS 117 74-100 mg/dl

5
2.5 Diagnosis Kerja
 Kejang Demam Kompleks
 Observasi febris H-2
2.6 Usulan Pemeriksaan
Urine lengkap
2.7 Penatalaksanaan
 Non medikamentosa
1) Edukasi orang tua tentang kejang demam
2) Oksigen 1-2 lpm via nasal kanul
 Medikamentosa
Di IGD
• Injeksi PCT 150 mg IV
• Inj. Diazepam 10 mg jika kejang
• IVFD 2A 16 tpm makro

Konsul dr. Meidy, Sp.A


• IVFD 2A 16 tpm makro
• Paracetamol injeksi 3x 17,5 cc
• Inj. Dexamethasone 5 mg (extra)
• Inj. Sibital 250 mg (IV)
• Rawat inap

2.8 Prognosis
 Ad vitam : bonam
 Ad fungctionam : bonam
 Ad sanactionam : dubia ad bonam

6
2.10 Resume
Anak JO datangke IGD dengan keluhan kejang sebanyak 2x sebelum masuk
RS. Kejang seluruh tubuh, durasi kurang dari 5 menit. Setelah kejang anak sadar.
Demam (+) sejak 2 hari SMRS, batuk pilek (-), mual muntah tidak ada. Vital sign
saat masuk nadi 110x per menit, pernapasan 22x per menit suhu 38.0oC. hasil
laboratorium darah rutin dalam batas normal. Pasien dirawat inap untuk observasi
lebih lanjut.

2.11 Follow up (23-11-2018)


S : demam (+), kejang (-), BAK (+), BAB (-)
O:
 Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 112 x/ menit
Suhu : 37.8oC
Pernafasan : 22 x/ menit

A : Kejang demam kompleks


Observasi febris hari ke 3
P : IVFD 2A 10 tpm makro
Inj Parasetamol 3x15 cc
Cek urin
Urinalisa (23/11/18)
Warna Kuning Sedimen
Kejernihan Jernih Leukosit 2-3/lpb
Berat Jenis 1,020 Eritrosit 0-1/lpb
pH 6 Epitel Positif

7
Protein Negatif Bakteri Negatif
Reduksi Negatif kristal Negatif
Benda keton Negatif
Billirubin Negatif Kesan : normal
Urobilinogen Negatif
Darah samar Negatif
Protein kuantitatif Negatif

Follow up (24-11-2018)
S : Demam (+) hari ke IV , kejang (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-)
O:
 Status generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 114 x/ menit
Suhu : 37.6oC
Pernafasan : 20 x/ menit

Thoraks : vesikular (+/+), rhonki (-/-), Abdomen : datar, soepel (+), NTE (-)

A : Kejang Demam Kompleks


Observasi Febris H-4
P : Terapi lanjut
Cek DL ulang dan tubex besok pagi

Follow up (25-11-2018)
S : Demam (-), kejang (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-)
O:
 Status generalis

8
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 110 x/ menit
Suhu : 37.2oC
Pernafasan : 20 x/ menit

Thoraks : vesikular (+/+), rhonki (-/-), Abdomen : datar, soepel (+), NTE (-)

Hasil pemeriksaan Lab

Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hb 13.7 11.0 – 16.5 g/dL
- MCV 84.4 80.0 – 97.0 fL
- MCH 28.4 26.5 – 33.5 pg
- MCHC 33.7 31.5 – 35.0 g/dL
RBC 4.82 3.8 – 5.8 6
10 /uL
HCT 40.7 35.0 – 50.0 %
WBC 4.41 4 – 11 3
10 /uL
- Eosinofil 0.5 0–5 %
- Basofil 0.5 0–1 %
- Neutrofil 29.8 46 – 75 %
- Limfosit 57,4 17 – 48 %
- Monosit 11,8 4 - 10 %
PLT 229 150 – 450 3
10 /uL
GDS 117 74-100 mg/dl
Tubex +4 <2

9
A : Kejang Demam Kompleks
Demam Tifoid
P : Tambahan terapi : Inj. Ceftriaxone 1x1 gr

Follow up (26/11/2018)
S : Demam (-) , kejang (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-)
O:
 Status generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 112 x/ menit
Suhu : 37.2oC
Pernafasan : 20 x/ menit

Thoraks : vesikular (+/+), rhonki (-/-), Abdomen : datar, soepel (+), NTE (-)

A : Demam tifoid
P : Boleh pulang
Terapi pulang :
Paracetamol syr 3x1 cth (k/p)
Cefixime syr 2x1 ½ cth

10
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Kejang Demam

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses
ekstakramium.2

The National Institutes of Health mendefinisikan kejang demam adalah


kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5 tahun dan
berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan
lain yang jelas di intrakranial.1,2

Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan
dengan epilepsi yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.

Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga
kali atau lebih selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam
dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang. 2,3

3.2. Epidemiologi Kejang Demam

Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam
tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak
berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Menurut The American Academy of
Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang demam 6 bulan.3 Berkisar 2%-5%
anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90%
penderita kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun Terbanyak

12
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan
22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. 3,4,5

3.3. Klasifikasi Kejang Demam2,4,6

Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu :


Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam
sederhana antara lain :

a. Berlangsung singkat (< 15 menit)


b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh.
Kejang klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian
anggota tubuh.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.

Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang


demam kompleks antara lain :

a. Berlangsung lama (> 15 menit).


b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

3.4. Patofisiologi Bangkitan Kejang Demam

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan


listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. 7,8

Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial

13
intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel
syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan
menurunnya potensial membran.5,9 Penurunan potensial membran ini akan
menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na + akan meningkat, sehingga
Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan
potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+,
sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup
kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka
permiabilitas membran terhadap Na + akan meningkat secara besar-besaran pula,
sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang
dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka permiabilitas
membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na + akan kembali ke luar sel dan
K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP
dari sintesa glukosa dan oksigen. 5,9 Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori :

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya


pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

14
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, dimperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih
cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP
terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan
potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme di otak.5,7,10

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang


belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan

15
oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan
gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada
akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

3.5. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam5,7


3.5.1. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8 0C aksila
atau di atas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada
anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul
bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab
terbanyak timbul bangkitan kejang demam. (80%). Perubahan kenaikan temperatur
tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta
produksi ATP. 41 Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10-15 %, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukose dan oksigen. 36 Pada demam tinggi
akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan
metabolisme di siklus Kreb normal, satu molukul glukose akan menghasilkan 38
ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu
molukul glukose hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi
akan kekurangan energi, hal ini akan menggangu fungsi normal pompa Na + dan
reuptake asam glutamat oleh selg1ia. 42

Ke dua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na + ke dalam sel meningkat


dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na + sehingga
semakin meningkatkan masuknya ion Na + ke dalam sel. Masuknya ion Na + ke dalam

16
sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas
dan benturan ion terhadap membran sel.(10)

Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan


mengakibatkan perubahan potensial memban sel neuron sehingga membran sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik
sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial
membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang.
Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam.

3.5.2. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi 2) perkembangan


prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural, 5) organisasi, dan 6) mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisai dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paska natal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielinisasi.

Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami


bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi. Apabila pada fase
organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam berulang akan
mengakibatkan aberrant plasticity, yaitu terjadi penurunan fungsi GABA-ergic dan
desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi reseptor eksitator. Pada keadaan otak
belum matang reseptor untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan
aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.50
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi
sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi.
Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam.43 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih

17
lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia,
meningkatkan eksitabilitas neuron.

Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai
eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini
disebut sebagai developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang.
Eksitator lebih dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara
eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia
awal masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas
neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada usia akhir
masa developmental window . Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada
otak fase eksitabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window
merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia
kurang dari 2 tahun.

3.5.3. Faktor Riwayat Keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%.52 Apabila
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai nsiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan
apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi
59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pemah
menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.53 Pewarisan
kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7%.

18
3.6. Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama demam,
dan saat kejang terjadi suhu tubuh mencapai 39°C. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Chiang Mai University Hospital, Thailand, suhu tubuh rerata pasien
dengan kejang demam saat masuk ke IGD RS adalah 38,53 ± 0,97 derajat celcius dan
rerata waktu demam sebelum terjadinya kejang 28,73 ± 28,48 jam, sedangkan untuk
durasi kejang berkisar antara 2,60 ± 3,34 menit. Penurunan kesadaran paska
terjadinya kejang merupakan manifestasi klinis yang lanjut. Mulut berbusa, kesulitan
bernafas pucat atau biru juga dapat terjadi.

Kejang demam dapat dibedakan menjadi kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks berdasarkan durasi, karakteristik kejang dan pola rekurensi. Kejang
demam sederhana merupakan kejang umum dengan pola gerakan tonik klonik pada
eksterimitas dan kedua bola mata seperti terputar ke belakang. Kejang terjadi dalam
beberapa detik sampai beberapa menit, umumnya kurang dari 5 menit namun dapat
mencapai 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Sedangkan untuk kejang
demam kompleks biasanya terjadi secara fokal atau kejang lokal pada salah satu
anggota tubuh atau eksterimitas saja, kejang dapat terjadi dengan durasi yang lebih
lama dan berulang dalam kurun waktu 24 jam. Dapat terjadi juga kelainan neurologis
setelah kejang seperti hemiparesis sementara (todd’s palsy). Febrile status epilepticus
merupakan keadaan kejang demam kompleks yang paling berat, yaitu berupa kejang
yang terus menerus atau intermitten dengan penurunan kesadaran lebih dari 30 menit.

3.7. Penegakan Diagnosis2,4

3.7.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative


Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15

19
menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang demam kompleks
adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam sederhana dan
epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan
4
tidak memerlukan pengobatan rumat.
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan
dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah
mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang
demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi
pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.

3.7.2. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium dan Pungsi Lumbal

Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak


dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium misalnya darah perifer, elektrolit dan
gula darah dapat dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab demam
karena gagguan metabolic ataupun elektrolit. Pemeriksan gula darah dan elektrolit
dapat dipikirkan jika ada riwayat muntah-muntah, kurang asupan cairan, diare, atau
tanda-tanda dehidrasi dan oedema pada pemeriksaan fisik. Urinalisis juga dapat
dilakukan jika penyebab demam belum dapa dipastikan. Kultur urin juga dapat
dilakukan jika hasil urinalisis tidak normal.2,5

20
Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%. AAP merekomendasikan untuk melakukan
pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan yang mengalami kejang demam
terutama jika status imunisasi untuk HIb dan streptococcus pneumonia tidak jelas
atau tidak dilakukan. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada pasien dengan
anamnesis atau pemeriksaan fisik yang mengarah ke meningitis atau infeksi sistem
saraf pusat.

Indikasi pemeriksaan pungsi lumbal :

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal


2. Terdapat kecurigaan terjadinya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotic dan pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis.2
Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang


lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal
untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. EEG juga direkomendasikan pada anak dengan kejang yang memanjang,
sering berulang walaupun tanpa demam, atau pada anak dengan kejang demam
berulang yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang atau defisit neurologis.2,3

21
Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI) tidak rutin dilakukan pada anak
dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan dilakukan bila terdapat indikasi
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, kecurigaan adanya
defek pada otak, ataupun riwayat adanya cedera kepala.2,3,5

3.8. Tatalaksana

Tatalaksana Saat Kejang

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Apabila anak datang dalam keadaan kejang
diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena
diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis
diazepam pada anak adalah 0,2 – 0,5 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada
kejang demam fase akut, secara perkahab dengan kecepatan 2 mg/menit dengan dosis
maksimal 10 mg. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per
rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat
badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta
dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat
diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus,
50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke
aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek
terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.2,3,6

22
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal
diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena gejala
rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada saat
melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pulamkontraindikasinya. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaa n
darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak
dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi. 8,9

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang 2,6


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.

1. Pemberian antipiretik

Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah
sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan
selama pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat
diulang setiap 6 jam. Untuk dosis ibuprofen yang dapat diberikan adalah 5-
10 mg/kgbb//kali, 3-4 kali perhari.

2. Pemberian antikonvulsan profilaksis

a. Pemberian Antikonvulsan intermitten

Yang dimaksud dengan antikonvulsan intermitten adalah obat


antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis
intermitten dpat diberika pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko dibawah ini :

 Kelainan neurologis berat misalnya palsi serebral

23
 Berulang 4x atau ebih dalam setahun

 Usia < 6bulan

 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius

 Apabila pada episode kejand sebelumnya, suhu tubuh meningkat


dengan cepat

Antikonvusan yang dapat digunakan adalah diazepam oral 0,3


mg/kgbb/kali peroral atau rectal 0,5 mg/kgbb/kali sebanyak 3x perhari,
dengan dosis maksimum 7,5 mg/kali. Diazepam intermitten diberikan
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan kepada orang tua
bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan asfiksia,
iritabilitas dan sedasi.

b. Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan


penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek.

Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:

• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau


gangguan perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada
orang tua atau saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.

24
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap (tapering off) selama 1 – 2
bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di
kemudian hari.
Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16
mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya
kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah, agresif dan
kesulitan belajar ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat
dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus terutama pada anak dibawah 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, tremor dan alophesia. Dosis asam
valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Fenitoin dan
karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
Rekomendasi beberapa hal dalam upaya mencegah dan menghadapi kejang
demam diantara lain adalah sebagai berikut:
 Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
 Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis 0,5
mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai
alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
 Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.

Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian


sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar
fenobarbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan
tingkah laku dan psikologis anak.

25
3.9. Prognosis
Prognosis kejang demam umumnya baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam belum pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang baik umum
maupun fokal. Suatu studi mengatakan bahwa dapat terjadi gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingya
terminasi kejang demam yang dapat berpotensi menjadi kejang lama.

Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam2,7,10


Faktor risiko berulangnya kejang demam :
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keuarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius saat terjadi kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjaidnya kejang
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan terjadinya kejang demam berukang
adalah 80%, sedangkan jika tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10-15%. Keungkinan terulangnya kejang demam paling besar
adalah dalam tahun pertama.

Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi 2,10

Faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah sebagai berikut :

1. Terdapat keainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang sebanyak 4 kali atau lebih dalam

26
kurun waktu satu tahun
Masing – masing faktor risiko meningkatakna kemungkinan kejadian epilepsi
sebesar 4-6%, kombinasi dari faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kejadian
epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak adapat dicegah
dengan pemberian obat antikonvulsan rumatan pada kejang demam.

27
BAB 4

ANALISA KASUS

4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pasien anak laki-laki berusia 3 tahun datang dengan keluhan kejang yang
dialami pasien sebanyak 2x. Kejang pertama dialami pukul 18.00 , kejang seluruh
tubuh bersifat menghentak. Kejang dialami kurang lebih 3 menit dan setelah kejang
anak sadar. Pasien kemudian dibawa ke klinik dan mendapatkan obat anti kejang
yang dimasukkan dari dubur. Kemudian pukul 22.00 anak kembali kejang seluruh
tubuh dan bersifat menghentak. Kejang dialami selama kurang lebih 5 menit dan anak
dibawa ke IGD RSBP. Saat di IGD kejang sudah berhenti dan anak sadar.
Riwayat demam sejak 2 hari yang lalu, demam semakin tinggi sejak sore ini
suhu tubuh diukur di rumah mencapai 39,4°C sebelum terjadi kejang. Demam turun
dengan obat penurun panas namun hanya sebentar kemudian demam tinggi lagi.
Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.
Dari pemeriksaaan fisik didapatkan suhu aksila 38,7° C, dan tidak didapatkan
tanda perangsangan meningeal yang merujuk pada infeksi SSP.
Sesuai dengan definisi kejang demam, yaitu bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh disebabkan oleh proses ekstrakranium dan terjadi pada
anak usia 3 bula sampai dengan 5 tahun. Kejang demam yang terjadi pada kasus
tersebut termasuk dalam kategori kejang demam kompleks dikarenakan episode
kejang berulang dalam 24 jam.

4.2. Manifestasi Klinis dan Penegakan Diagnosis

a. Dari anamnesa yang didapatkan

- Umur pasien kurang dari 5 tahun (3 tahun)

28
- Kejang didahului demam

- Kejang terjadi pada demam hari ke 2

- Kejang berlangsung dua kali selama 24 jam

- Kejang belangsung selama 3 menit

- Saat sebelum kejang pertama suhu tubuh mencapai 39,4°C

- Kejang umum dan tonik klonik

- Kejang berhenti sendiri

- Pasien tetap sadar setelah kejang

b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan

- Suhu tubuh aksila 38,70C

- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang

Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa Pada sebagian besar
kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama sampai ke dua demam, dan saat
kejang terjadi suhu tubuh mencapai 39°C. Suhu tubuh rerata pasien dengan kejang
demam saat masuk ke IGD RS adalah 38,53 ± 0,97 derajat celcius dan rerata waktu
demam sebelum terjadinya kejang 28,73 ± 28,48 jam, sedangkan untuk durasi kejang
berkisar antara 2,60 ± 3,34 menit.

Pada kasus dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin


dan glukosa darah sewaktu dan semua dalam batas normal. Tidak dilakukan
pemeriksaan elektrolit dikarenakan pada pasien tidak ada kecenderungan untuk
terjadinya imbalance elektrolit, seperti muntah-muntah ataupun diare.

Pemeriksaan penunjang lain seperti pungsi lumbal, elektroensefalografi, serta


pemeriksaan ct scan juga tidak dilakukan karena tidak ada indikasi khusus pada psien
ini.

29
4.3. Tatalaksana

1. Tatalaksana saat kejang

 Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan
untuk mencegah aspirasi.

 Apabila anak datang dalam keadaan kejang diazepam merupakan obat pilihan
utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa
kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal,
jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak
adalah 0,2 – 0,5 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam
fase akut, secara perkahab dengan kecepatan 2 mg/menit dengan dosis
maksimal 10 mg. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan
10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.

Pada kasus ini, pasien datang setelah terlebih dahulu kejang teratasi di
puskesmas dengan pemberian diazepam per rectal, dan anak kembal kejang saat
berada di igd. Tatalaksana yang diberikan di IGD berupa :

 Non medikamentosa
1) Edukasi orang tua tentang kejang demam
2) Oksigen 1-2 lpm via nasal kanul
 Medikamentosa di IGD
• Injeksi PCT 150 mg IV
• Inj. Diazepam 10 mg bolus lambat

30
4.4. Prognosis

Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam


Faktor risiko berulangnya kejang demam :
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keuarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius saat terjadi kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjaidnya kejang
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks
Pada kasus, kejang demam ini merupakan kejang demam yang pertama dan
merupakan kejang demam kompleks, riwayat kejang demam pada orang tua dan
saudara kandung tidak ada, kemungkinan terjadinya kejang demam berulang 10-15%.

Kemungkinan terjadinya Epilepsi

Faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah sebagai berikut :

1. Terdapat keainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang sebanyak 4 kali atau lebih dalam
kurun waktu satu tahun

Masing – masing faktor risiko meningkatakan kemungkinan kejadian epilepsi


sebesar 4-6%, kombinasi dari faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kejadian
epilepsi menjadi 10-49%. Pada kasus ini pasien memiliki satu faktor risiko yaitu
kejang demam kompleks. Maka dari itu kemungkinan terjadinya epilepsy di
kemudian hari adalah sebesar 4-6%.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatric. Subcomittee of Febrile Seizures, Pediatri,


2011;127 (2) : 389-94
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam.
2016
3. Kantanamalee A, et al. Clinical Characteristic of Febrile Seizure and Risk
Factor of Its Recurrence in Chiangmai University. Neurology Asia, 2017 ; 22
(3) : 203-208.
4. Hye B, Kim H, Eun B. Prevalence, Incidence, and Recurrence of Febrile
Seizures in Korean Children based on National Registry Data. J.Clin Neurol
2018 ; 14 (1) : 43-47.
5. Graves R, Oehler K. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and Prognosis
American Academy of Family Physicians, 2012 ; 85 (2)
6. Kimia A, Bachur R.G. Febrile Seizures : Emergency Medicine perpective. A
Review. Curent Opinion Pediatrics, 2015 ; 27 (3). 292-297.
7. Shinnar S. Febrile seizures. Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero D, penyunting.
Pediatric Neurology: principles & practice. Edisi ke 4. Philadelphia. Mosby
Elsevier. 2006.h.1078-86.
8. Reza M, Eftekhaari TE, Farah M. Febrile seizures: Factors affecting risk of
recourence. J pediatric Neurol. 2008.h-6341-44.
9. Commision on Epidemiology and Prognosis. International League Against
Epilepsy. Guidelines for epidemiologic studies on epilepsy. Epilepsia. 1993.h-
592-93.
10. 9. Hirtz D. Cognitive outcome of febrile seizure. Dalam : Baram TZ, Shinnar S,
penyunting : febrile seizures. San Diego: Academic press.h-53-60

32

Anda mungkin juga menyukai