Anda di halaman 1dari 56

GNOSIS Pembahasan Soal Ujian Blok 23 : Traumatologi

Oleh: ANI
1. D
Perselubungan homogen hemithorax dextra  mis : mediastinum deviasi ke
kontralateral, trakea deviasi ke kontralateral, sela iga melebar pada sisi lesi  kesan :
EFUSI PLEURA
Efusi pleura :
 Eksudat : Pus – pyothorax, Darah – hemothorax, Cairan limfe – chylothorax
 Transudat – pleural effusion
Fraktur costae 1-4 berhubungan dengan kerusakan plexus brachialis dan pembuluh darah
utama. (Chapman BC, Herbert B, Rodil M, Salotto J, Stovall RT, Biffl W, et al.
RibScore: A novel radiographic score based on fracture pattern that predicts pneumonia,
respiratory failure, and tracheostomy. J Trauma Acute Care Surg. 2016 Jan. 80 (1):95-101. )
2. C
Cairan bening yang dimaksud kemungkinan adalah cairan serebrospinal/CSS (liquor
cerebrospinale/LCS) yang keluar sebagai rinorrhea. CSS adalah cairan jernih yang tak
berwarna, mengandung sedikit protein dan sel. Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS)
adalah suatu keadaan adanya hubungan yang tidak normal antara ruang subarachnoid
dengan rongga hidung. Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang
memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai dengan
adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan jalan keluar
cairanserebrospinal (CSS) ke rongga hidung. CSS dapat berasal dari fossa kranii anterior,
media dan posterior. CSS yang berasal dari fossa kranii anterior mengalir melalui sinus
frontal, sfenoid dan etmoid atau langsung melalui lamina kribriform (lamina et
foramina cribosa). CSS dari fossa kranii media dapat masuk kehidung secara langsung
melalui sinus sfenoid ataupun tidak langsung dari sel-sel udara mastoid (telinga tengah)
melalui tuba eustakius. Keluarnya CSS dari fossa kranii posterior ke rongga hidung
sering secara tidak langsung dari sel-sel udara mastoid (telinga tengah) melalui tuba
eustakius. Mekanisme kebocoran CSS oleh karena trauma biasanya terjadi pada bagian
dasar fossa kranii anterior. Tulang tengkorak anterior tipis dan melekat erat pada dura,
sehingga jika terjadi fraktur pada tulang tersebut maka akan terjadi kerusakan pada dura.
(Milford CA. Cerebrospinal Fluid Rhinnorrhea. In: Scott – Brown’s otolaryngology.
Sixth Edition, Butterworth–Heinemann, 1997: Vol. 4, p.1-12)

3. A
Uretra juga dapat dibagi atas tiga bagian, antara lain uretra prostatika, uretra
membranasea, dan uretra spongiosa. Uretra prostatika dimulai dari leher vesika urinaria
dan termasuk juga bagian yang melewati kelenjar prostat. Uretra prostatika merupakan
bagian yang paling lebar diantara bagian uretra lainnya. Uretra membranasea adalah
uretra yang terpendek dan paling sempit dengan panjang sekitar 12-19 mm. Pada uretra
membranasea terdapat sfingter uretra eksterna, yang berfungsi dalam pengaturan keluar
urin yang dikendalikan secara voluntar. Adanya sfingter ini menunjukkan kemampuan
kontraksi yang berakibat pada semakin menyempitnya saluran. Uretra spongiosa adalah
uretra yang terpanjang, kira-kira 150 mm, yang dimulai dari porsio membranasea
melewati korpus spongiosum dan berakhir di glans penis. (Sabiston, David C. 1994.
Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2, hal.463. EGC. Jakarta.)

4. C
LOBUS FRONTALIS
Symptoms of possible frontal lobe dysfunction that should be probed include change in
performance at work and changes organizing and executing difficult tasks such as holiday
dinners or travel itineraries. (Cruz-Oliver DM, Malmstrom TK, Allen CM, Tumosa N,
Morley JE. The Veterans Affairs Saint Louis University Mental Status Exam (SLUMS
Exam) and the Mini-Mental Status Exam as Predictors of Mortality and
Institutionalization. J Nutr Health Aging. 2012. 16(7):636-41.)

LOBUS TEMPORALIS
Kolb & Wishaw (1990) have identified eight principle symptoms of temporal lobe
damage: 1) disturbance of auditory sensation and perception, 2) disturbance of selective
attention of auditory and visual input, 3) disorders of visual perception, 4) impaired
organization and categorization of verbal material, 5) disturbance of language
comprehension, 6) impaired long-term memory, 7) altered personality and affective
behavior, 8) altered sexual behavior. (Kolb, B., & Whishaw, I. (1990). Fundamentals of
Human Neuropsychology. W.H. Freeman and Co., New York.)

LOBUS PARIETALIS
Damage to the left parietal lobe can result in what is called "Gerstmann's Syndrome." It
includes right-left confusion, difficulty with writing (agraphia) and difficulty with
mathematics (acalculia). It can also produce disorders of language (aphasia) and the
inability to perceive objects normally (agnosia).
Damage to the right parietal lobe can result in neglecting part of the body or space
(contralateral neglect), which can impair many self-care skills such as dressing and
washing. Right side damage can also cause difficulty in making things (constructional
apraxia), denial of deficits (anosagnosia) and drawing ability.
Bi-lateral damage (large lesions to both sides) can cause "Balint's Syndrome," a visual
attention and motor syndrome. This is characterized by the inability to voluntarily control
the gaze (ocular apraxia), inability to integrate components of a visual scene
(simultanagnosia), and the inability to accurately reach for an object with visual guidance
(optic ataxia).

LOBUS OCCIPITALIS
The occipital lobes are the center of our visual perception system. They are not
particularly vulnerable to injury because of their location at the back of the brain,
although any significant trauma to the brain could produce subtle changes to our visual-
perceptual system, such as visual field defects and scotomas. The Peristriate region of the
occipital lobe is involved in visuospatial processing, discrimination of movement and
color discrimination.
CEREBELLUM
Damage to the cerebellum can lead to: 1) loss of coordination of motor movement
(asynergia), 2) the inability to judge distance and when to stop (dysmetria), 3) the
inability to perform rapid alternating movements (adiadochokinesia), 4) movement
tremors (intention tremor), 5) staggering, wide based walking (ataxic gait), 6) tendency
toward falling, 7) weak muscles (hypotonia), 8) slurred speech (ataxic dysarthria), and 9)
abnormal eye movements (nystagmus). (Westmoreland et al. Medical Neurosciences: An
Approach to Anatomy, Pathology, and Physiology by Systems and Levels. Little, Brown
and Company. New York: NY, 1994).
5. C
Susunan saraf otonom terbagi atas dua bagian yaitu saraf simpatik dan saraf para
simpatik yang bekerja secara antagonis terhadap organ yang sama. Saraf simpatik
berfungsi mempercepat denyut jantung, memperlebar pembuluh darah, mempertinggi
tekanan darah, mempercepat pernafasan dan lain sebagainya yang bersifat mengaktifkan
alat-alat tubuh, sementara saraf para simpatik bekerja sebaliknya. N. vagus memainkan
peran penting dalam mengatur detak jantung. Saraf ini memperlambat kekuatan
kontraksi dan denyut jantung.
(Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku. Kedokteran EGC, 2006.)
6. C
Akral dingin disebabkan oleh berkurangnya perfusi ke kulit terutama di bagian distal
ekstremitas. Berkurangnya perfusi dikarenakan tubuh melakukan vasokonstriksi sebagai
kompensasi kehilangan cairan karena trauma.
Pacagnella RC, Souza JP, Durocher J, Perel P, Blum J, Winikoff B, Gülmezoglu AM
(2013). "A systematic review of the relationship between blood loss and clinical
signs".PLoS ONE 8 (3): e57594.
DI bawah ini adalah beberapa mediator yang berperan pada reaksi inflamasi:
Prostasiklin (PGI2) disintesis oleh endotel pembuluh darah dan korteks renalis
mempunyai sifat vasodilator dan penghambat agregasi trombosit. Baik prostaglandin,
prostasiklin, histamin, dan bradikinin berpengaruh dalam efek vasodilatasi. Inhibisi
mediator penyebab vasodilatasi dapat mengakibatkan vasokonstriksi.
7. B
Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis dan melibatkan komponen yang
kompleks dari molekul matriks ekstraseluler, mediator radang, beragam sel setempat, dan
leukosit yang berinfiltrasi. Proses ini bertujuan untuk mengembalikan kepadatan jaringan
dan homeostasis. Proses penyembuhan luka dibagi ke dalam empat fase: fase hemostasis,
fase inflamasi, fase proliferasi (pembentukan jaringan granulasi), dan fase remodelling.
Fase hemostasis diperankan oleh trombosit yang segera membentuk clotting pada daerah
luka. Selama proses inflamasi, agregasi trombosit akan diikuti oleh infiltrasi leukosit
pada tempat luka. Pada fase pembentukan jaringan, epitelisasi dan pembentukan jaringan
granulasi baru yang terdiri atas sel endotel, makrofag dan fibroblas akan mengisi dan
menutupi daerah luka guna memperbaiki kepadatan dan kerapatan jaringan. Proses
sintesis, remodelling, dan infiltrasi struktural dari molekul matriks ekstraselular sangat
diperlukan pada tahap awal dan lanjut dari penyembuhan luka.
Proses ini diawali oleh fase hemostasis dimana agregasi trombosit yang membentuk
clotting selanjutnya akan memproduksi substansi vasoaktif yang menyebabkan
vasokontriksi lokal pada daerah luka untuk membantu hemostasis. Sehingga akan
terbentuk clotting yang stabil menutupi daerah luka. Di bawah pengaruh ADP (adenosin
difosfat) bocor dari jaringan yang rusak, trombosit menempel pada kolagen tipe I yang
kemudian menjadi aktif mensekresi glikoprotein adhesif, yang menyebabkan agregasi
platelet serta mengeluarkan faktor yang berinteraksi dan menstimulasi kaskade
pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang pada gilirannya memulai
pembentukan fibrin dari fibrinogen. Fibrin inilah nantinya yang menstabilkan agregasi
trombosit. Trombosit juga mengeluarkan growth factors seperti platelet-derived growth
factor, yang diakui sebagai salah satu faktor pertama dalam memulai langkah
penyembuhan selanjutnya. Growth factor ini merekrut neutrofil dan monosit (memulai
tahap penyembuhan luka berikutnya), merangsang sel-sel epitel dan merekrut fibroblas.
Hemostasis akan terjadi dalam beberapa menit dari cedera awal kecuali pasien
mengalami gangguan pembekuan.
Fase inflamasi mempersiapkan daerah untuk penyembuhan dan imobilisasi luka
dengan yang bermanifestasi klinis sebagai eritema, edema, hangat dan nyeri, sehingga
gerakan menjadi terbatas. Fase inflamasi menyebabkan pembuluh darah menjadi
permeabel sehingga plasma dan neutrofil dapat menginfiltrasi jaringan sekitar. Sel
neutrofil kemudian memfagositosis debris dan mikroba setempat dan berperan sebagai
pertahanan pertama dalam mencegah infeksi. Saat mencerna bakteri dan debris, neutrofil
mati dan melepaskan intraseluler enzim ke dalam matriks sekitarnya, yang selanjutnya
mencerna jaringan. ketika fibrin dipecah sebagai bagian dari proses ini, hasil
degradasinya akan menarik sel-sel berikutnya yang terlibat seperti fibroblas dan sel epitel
yang dibantu oleh sel mast lokal.
Penyembuhan luka membutuhkan koordinasi antara aktivitas sel serta komunikasi antar
sel yang baik. Sel berkomunikasi melalui protein terlarut yang disebut sitokin dan
growth factors. Sitokin dan growth factors dirilis oleh 1 sel dan berikatan pada reseptor
pada sel target. kemudian sel terstimulasi untuk bergerak. Growth factors, pada sisi lain,
merangsang sel target membelah dan menghasilkan sel-sel yang baru atau mensintesis
dan merilis zat seperti kolagen, yang diperlukan untuk membentuk matriks ekstraselular.
Matriks ekstraselular juga memainkan peran aktif dalam penyembuhan luka dengan
berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor yang disebut integrin, yang menyebabkan
aktivasi platelet, migrasi epitel dan pergerakan fibroblas.
Selanjutnya, sel-sel yang dikenal sebagai makrofag berperan sebagai "kontraktor."
monosit yang beredar dalam sirkulasi akan berdifferensiasi menjadi makrofag setelah
mereka keluar dari pembuluh darah dan bersentuhan dengan matriks ekstraselular.
Makrofag dapat menfagositosis bakteri dan menjadi pertahanan lini kedua. makrofag juga
mensekresikan enzim ekstraseluler untuk membersihkan jaringan nekrotik pada daerah
luka. Enzim ini dikenal sebagai substansi Matrix Metalloproteases (MMPs). MMPs
membutuhkan kalsium untuk memproduksi bentuk yang fungsional dan zinc pada daerah
yang aktif.
Sekitar 20 jenis MMPs disekresikan oleh sel yang berbeda - termasuk neutrofil,
makrofag, sel-sel epitel dan fibroblas, di bawah pengaruh sitokin inflamasi seperti tumor
necrosis factor-alpha dan interleukin-1 dan -6. MMPs berperan pada semua komponen
ekstraseluler yang matriks dan bertanggung jawab untuk membersihkan jaringan yang
nekrosis, memperbaiki jaringan rusak dan remodeling. MMPs diimbangi kerjanya oleh
inhibitor jaringan metalloproteases (TIMPs), yang dirilis secara lokal oleh sel dan
menonaktifkan MMPs dengan berikatan secara reversibel. MMPs yang tidak terkontrol
dapat menghambat pembentukan jaringan baru atau menghancurkan faktor pertumbuhan.
Makrofag mengeluarkan berbagai sitokin dan growth factors - seperti fibroblast growth
factors, epidermal growth factors, transforming growth factors-beta dan -interleukin 1 -
yang muncul untuk melanjutkan proses penyembuhan.
Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah timbulnya luka dan biasanya berlangsung
sampai hari 21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka dan kesehatan pasien. Hal ini
ditandai dengan angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi,
kontraksi luka dan epitelisasi. Secara klinis, proliferasi diamati dengan timbulnya
jaringan granulasi atau kolagen pada dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan
dermal dan subdermal pada luka yang lebih dalam, serta kontraksi luka. Sel di bawah
pengaruh growth factors membelah untuk menghasilkan sel-sel baru, yang bermigrasi ke
daerah dimana mereka dibutuhkan dibawah pengaruh sitokin. Ada keseimbangan antara
MMP dan TIMPs sehingga produksi jaringan baru dapat dikontrol. Pada luka yang
kronik, sebaliknya, dimana penyembuhan terhenti, pembelahan sel dan migrasi ditekan,
kadar sitokin inflamasi dan MMPs meningkat, dan kadar TIMPs dan faktor pertumbuhan
menurun . Sel menjadi tidak responsif terhadap stimulasi growth factors. Kurangnya
respon adalah karakteristik dari keadaan peradangan kronis. Ini mungkin disebabkan oleh
meningkatnya koloni bakteri, adanya jaringan nekrosis, iskemia kronik atau trauma
berulang. Proses penyembuhan melibatkan remodelling dan penataan kembali struktur
dari jaringan kolagen untuk menghasilkan kekuatan dan elastisitas. Selain itu, sel dan
kapiler akan mengalami penurunan densitas. Sel utama yang terlibat dalam proses ini
adalah fibroblast. fase remodelling dapat berlangsung hingga 2 tahun.
(Sumber : Orsted HL. Basic Principle of Wound Healing: An understanding of the basic
physiology of wound healing provides the clinician with the framework necessary to
implement the basic principles of chronic wound care. Soins des plaies Canada. 2009,
Proceeding of the National Academy of Sciences of The United States of
America.Dextran hydrogel scaffolds enhance angiogenic responses and promote
complete skin regeneration during burn wound healing.pnas.org. 2015, The Biomedical
Scientist. Mechanisms involved in wound healing. 2008, Diegelmann R. Wound Healing:
An Overview Of Acute, Fibrotic And Delayed Healing. Frontiers in Bioscience 2004)
Mobilisasi terjadi pada fase proliferasi.
(https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#)
8. A

(Brøchner AC, Toft P. Pathophysiology of the systemic inflammatory response after


major accidental trauma. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine. 2009;17:43. doi:10.1186/1757-7241-17-43.)
9. D
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang
menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen
utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang (perubahan vaskular) dan
struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit (perubahan selular).
Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah
dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan
protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari
mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera
(Mitchell & Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh
vasokonstriksi singkat dan sementara (beberapa detik). Hal ini mengakibatkan
peningkatan aliran darah dan penyumbatan lokal (hiperemia) pada aliran darah
selanjutnya. Pelebaran pembuluh darah ini merupakan penyebab timbulnya warnamerah
(eritema) dan hangat yang secara khas terlihat pada inflamasi akut (Mitchel & Cotran,
2003).
Dalam focus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah
merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar dari pada leukosit
sendiri. Menurut hokum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian
tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi)
(Robbins & Kumar, 1995). Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen pembuluh
darah keruang ekstravaskular dibagi menjadi (1) marginasi dan rolling, (2) adhesi dan
transmigrasi antar endotel, dan (3) migrasi pada jaringan interstisial terhadap suatu
rangsang kemotatik. Rolling, adhesi, dan transmigrasi diperantarai oleh ikatan molekul
adhesi komplementer pada leukosit dan permukaan endotel (Mitchell &Cotran, 2003).
Mula-mula sel darah putih bergerak terakumulasi di tepi pembuluh darah (marginasi) dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel (rolling) pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel.
Selanjutnya adalah proses emigrasi, yaitu proses perpindahan sel darah putih yang
bergerak keluar dari pembuluh darah (Gambar 1). Tempat utama emigrasi leukosit
adalah pertemuan antar sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel
memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui
pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins &
Kumar, 1995).
Perubahan fase selular pada radang akut. Neutrofil: Marginasi, emigrasi, khemotaksis dan
fagositosis. Sumber: Porth, 2003.

10. B
Epidural hematoma

Subdural hematoma – Bulan sabit

Intraserebral hematoma
(Kuliah Trauma Kapitis – dr Hanis S, SpBS)
11. A
Pemeriksaan penunjang radiologis pada kasus trauma kepala adalah
– Foto polos kepala AP/Lateral
– Foto servikal lateral
– CT Scan kepala polos
Pemeriksaan yang penting setelah primary survey adalah identifikasi lesi massa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan CT Scan
Kepala (ATLS Edisi 8, Bab Trauma Kepala)
12. D
Yang sakit adalah sisi sebelah kiri (paru terdesak hingga mengecil, hematom, fremitus
menurun, pernapasan tertinggal, suara menurun).
Diagnosis banding trauma thoraks (Kuliah Chest Trauma – dr Darmawan Ismail)
a. Flail chest
Terjadi respirasi dengan pergerakan paradoksikal, di mana dada mengempis saat
inspirasi dan mengembang saat ekspirasi

b. Hematothoraks masif
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Shock
2) Dyspnea
3) Tachycardia
4) Tachypnea
5) Diaphoresis
6) Hypotension  massive
7) Dull to percussion over injured side
c. Hematopneumothoraks
Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah gabungan antara hematothoraks dan
pneumothoraks
d. Pneumothoraks tension
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Respiratory distress
2) Tracheal deviation (away)
3) Absence of breath sound &percusion: hypersonor
4) Jugular Vein Distend
5) Hypotension
e. Cedera trakeobronkhial
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Dyspnea
2) Cyanosis
3) Hemoptysis
4) Massive subcutaneous emphysema
5) Suspect/Evaluate for other closed chest trauma
13. A
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Respiratory distress
2) Tracheal deviation (away)
3) Absence of breath sound &percusion: hypersonor
4) Jugular Vein Distend
5) Hypotension
(Kuliah Trauma Thoraks – dr Darmawan Ismail)
Pada foto thoraks PA dapat terlihat bagian thoraks yang avaskular, paru yang kolaps, dan
apabila besar tampak pergeseran trakea dan mediastinum ke sisi yang sehat.
(Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I Bab Pneumothoraks)
14. C
Cedera yang terjadi dapat menyebabkan memar dinding uretra dengan atau tanpa
robekan mukosa baik parsial atau total.
Rupture uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur
tulang pelvis → terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra
prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa
terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau
inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum
puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas kekranial.
Cedera uretra anterior (pars bulbosa atau pars spongiosa) terjadi akibat jatuh
terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit diantara obyek yang keras, seperti
batu, kayu, atau palang sepeda dengan tulang simfisis.
Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologic, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.
Secara umum gejalanya adalah sbb:
1) Riwayat trauma yang khas: ruptururetra anterior/straddle injury, rupture uretra
posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).
2) Pada umumnya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior maupun
posterior.
3) Pada rupture uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi dan terdapat
prostat melayang (floating prostate), sedangkan pada rupture uretra anterior
didapatkan hematoma atau pembengkakan di daerah kantong buah zakar, kadang-
kadang disertai pula dengan pembengkakan perineum dan batang penis, disebut
sebagai hematoma kupu-kupu (butterfly like hematoma).
4) Pada patah tulang panggul dan rupture uretra posterior, kemungkinan besar terjadi
kerusakan organ ganda (multipel).
Ruptur urethra posterior (kiri) dan ruptur urethra anterior (kanan)

(Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyno TOH, Rudiman R, penyunting. 2010.


Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
Purnomo BB. 2010. Dasar-dasar Urologi Edisi ke-3. Jakarta : CV Sagung Seto.)
Uretrogram retrograde adalah gold standar pada kasus ruptur uretra (Kuliah Trauma
Urologi – dr Wibisono)
15. B
Lihat kembali pembahasan no. 10. Pada kasus ini, gambaran yang nampak adalah
gambaran bulan sabit.
16. A
Kata kunci pada kasus ini adalah trauma pada pinggang (flank) dan hematuria yang
menandakan adanya trauma ginjal. Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan:
 Riwayat trauma abdomen, flank, thoraks
 Riwayat akselerasi-deselerasi mendadak
 Hematuria (tidak berbanding lurus dgn derajattrauma ginjal)
 Jejas
 Pemeriksaan penunjang gold standard: CT Scan abdomen kontras + one shot IVP
(Kuliah Trauma Urologi – dr Wibisono)
17. D
Tindakan awal yang harus dilakukan adalah primary survey (ATLS Edisi 8, Bab
Penilaian Awal dan Pengelolaannya)
Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal dan pasang airway definitif sesuai
indikasi
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-
line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot
tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi
pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien
fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
Jadi, dibanding dari semua pilihan, pilihan D harus dilakukan terlebih dahulu yaitu
mengevaluasi jalan napas (Airway)
18. A
Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:
Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke posterior. Cara
mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa
orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal, pemasangan Masker Laring
(Laryngeal Mask Airway). Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya
cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, suction atau
pengisapan. Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya
karena edema. Cara mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan see saw pada menit-menit
pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing antara dada dan
perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika diberi napas buatan
tidak ada pengembangan dada. Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan
trauma leher, yang ditandai dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di
atas clavicula, trauma dengan riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma
dengan defisit neurologis dan multiple trauma.
(Tim YAGD 118. 2011. Buku Panduan: Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac
Life Support. Edisi ke 4. Jakarta: Yayasan AGD 118)
19. B
Diagnosis banding trauma thoraks (Kuliah Chest Trauma – dr Darmawan Ismail)
a. Flail chest
Terjadi respirasi dengan pergerakan paradoksikal, di mana dada mengempis saat
inspirasi dan mengembang saat ekspirasi
b. Hematothoraks masif
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Shock
2) Dyspnea
3) Tachycardia
4) Tachypnea
5) Diaphoresis
6) Hypotension  massive
7) Dull to percussion over injured side
c. Pneumothoraks tension
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Respiratory distress
2) Tracheal deviation (away)
3) Absence of breath sound &percusion: hypersonor
4) Jugular Vein Distend
5) Hypotension
d. Tamponadejantung
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Dyspnea
2) Possible cyanosis
3) Beck’s Triad
JVD
Distant heart tones
Hypotension or narrowing pulse pressure
4) Weak, thready pulse
5) Shock
6) Kussmaul’s sign
Decrease or absence of JVD during inspiration
7) Pulsus Paradoxus
Drop in SBP >10 during inspiration
Due to increase in CO2 during inspiration
8) Electrical Alterans
P, QRS, & T amplitude changes in every other cardiac cycle
PEA
20. A
Diagnosis banding trauma thoraks
a. Pneumotoraks tension
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Respiratory distress
2) Tracheal deviation (away)
3) Absence of breath sound&percusion: hypersonor
4) Jugular Vein Distend
5) Hypotension
b. Tamponade jantung
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Dyspnea
2) Possible cyanosis
3) Beck’s Triad
JVD
Distant heart tones
Hypotension or narrowing pulse pressure
4) Weak, thready pulse
5) Shock
6) Kussmaul’s sign
Decrease or absence of JVD during inspiration
7) Pulsus Paradoxus
Drop in SBP >10 during inspiration
Due to increase in CO2 during inspiration
8) Electrical Alterans
P, QRS, & T amplitude changes in every other cardiac cycle
PEA
c. Hematotoraks
Pemeriksaan fisik yang ditemukan:
1) Shock
2) Dyspnea
3) Tachycardia
4) Tachypnea
5) Diaphoresis
6) Hypotension  massive
7) Dull to percussion over injured side
d. Open sucking wound

Udara akan mengalir melalui defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan
karena udara cenderung mengalir ke lokasi yang tekanannya lebih rendah. Ventilasi
efektif akan terganggu sehingga memicu hipoksia dan hiperkarbia.
e. Hernia diafragmatik traumatic
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan radial luas pada diafragma (ruptur
diafragma), sehingga terjadi herniasi. Hasil foto ronsen thoraks dapat menunjukkan
elevasi diafragma, dilatasi gaster akut, hematoma subpulmonal, dan loculated
hemopneumothorax.
(Kuliah Chest Trauma – dr Darmawan Ismail, ATLS Edisi 8 Bab Trauma Thoraks)
21. C
Pembahasan sama dengan no. 20. Pada kasus ini, terdapat perkusi redup.
22. A
Popliteal artery injury is mainly associated with high energy injury, including knee
dislocation and complex tibial plateau fractures or supracondylar femur fractures.
(Kim JW, Sung CM, Cho SH, et al. Vascular injury associated with blunt trauma without
dislocation of the knee.Yonsei Med J. 2010;51:790–792.) This arterial injury is
frequently associated with knee dislocation following blunt trauma, and is seen with
increasing frequency. (Chapman JA. Popliteal artery damage in closed injuries of the
knee. J Bone Joint Surg Br. 1985;67:420–423.)
Brachial artery injuries from elbow dislocations are uncommon. (Harnarayan P, Cawich
SO, Harnanan D, Budhooram S. Brachial Artery Injury Accompanying Closed Elbow
Dislocations. International Journal of Surgery Case Reports. 2015;8:100-102.
doi:10.1016/j.ijscr.2014.12.009.)
Blunt subclavian artery trauma following clavicle fracture is rare. (S Boulis, S
Samad. Subclavian Artery Injury Following Isolated Clavicle Fracture, Which To Repair First?.
The Internet Journal of Orthopedic Surgery. 2005 Volume 3 Number 2.)
23. C
Lesi nervus medianus adalah kelainan structural pada nervus medianus yang
menyebabkan kelainan fungsional. Gangguan nervus medianus dapat menimbulkan
kelemahan pada otot – otot lengan bawah dan jari – jari sehingga menimbulkan masalah
pada tangan bawah seperti otot-otot flexor longus, pergelangan tangan serta jari-jari
mengalami paralisis dan sensasi pada kulit hilang atau kurang pada setengah bagian
lateral telapak tangan dan permukaan palmar, ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah
sisi radial jari manis. Gejala meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik pada otot
yang disarafi oleh nervus medianus, gangguan autonom dan melemahnya refleks tendon.
lesi nervus medianus menyebabkan jari sisi radial tidak dapat di flexikan, Pronasi tangan
tidak dapat dilakukan, sedangkan phalang distal jari telunjuk tidak dapat di flexikan dan
ibu jari tidak dapat beroposisi sehingga tidak dapat mendekati ujung jari – jari lainnya.
(McNamara, Brian (2003). "Clinical Anatomy of the Median Nerve" (PDF). ACNR 2 (6):
19–20.)

24. C
Fraktur greenstick adalah patah tulang parsial di mana salah satu sisi tulang patah dan
sisi lain melengkung. Biasanya terjadi pada anak-anak. Gambaran radiologisnya tidak
nampak patah tulang.
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh
dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada
pergelangan tangan dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang
intraartikular.
Fraktur atau patah tulang Colles adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Sjamsuhidayat & de Jong,
1998). Cedera yang digambarkan oleh Abraham Colles pada tahun 1814 adalah fraktur
melintang pada radius tepat di atas pergelangan tangan, dengan pergeseran dorsal
fragmen distal. (Apley & Solomon, 1995). Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti
sendok makan (dinner fork deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan
pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka yang
terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi).
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi
radius ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung. Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi
(lebih sering) dan tipe fleksi. Pada tipe ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna ke
arah hiperekstensi dan pronasi. Sedangkan pada tipe fleksi, gaya mendorong dari depan
ke arah fleksi yang menyebabkan fragmen ulna mengadakan angulasi ke posterior.
Fraktur garis rambut (hairline fracture) adalah patah tulang tipis yang membentuk garis
seperti rambut.
Sjamsuhidajat, R & Jong, D. W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. (edisi 2). Jakarta: EGC.
25. E
Dari keterangan pada kasus, nampak bahwa pemasangan gyps mungkin kurang benar
sehingga muncul komplikasi. Karenanya gyps perlu segera dipotong sebelum terjadi
komplikasi lebih parah seperti nekrosis.(Chudnofsky CR, Byers S. Splinting techniques.
In: Roberts JR, Hedges JR, Chanmugam AS, eds. Clinical Procedures in Emergency
Medicine. 4th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders; 2004:989.)
26. B
Shaft humeri memiliki penampang melintang berbentuk segitiga. Permukaan shaft
humeri dapat dibagi menjadi facies anterior medialis, facies anterior lateralis, dan facies
posterior. Pertemuan antara facies anterior medialis dengan facies posterior membentuk
margo medialis. Margo medialis ke arah distal makin menonjol dan tajam sebagai crista
supracondilaris medialis. Pertemuan facies anterior lateralis dengan facies posterior
membentuk margo lateralis. Margolateralis ini juga ke arah distal makin menonjol dan
tajam sebagai crista supracondilaris lateralis. Fraktur shaft humerus dapat merusak saraf
radial, yang melintasi aspek lateral humerus. Saraf median rentan terhadap kerusakan di
daerah supracondylar, dan saraf ulnaris rentan terkena kerusakan bila trauma terjadi di
dekat epikondilus medial, sekitar yang kurva untuk memasuki lengan bawah.
(Arend CF. Ultrasound of the Shoulder. Master Medical Books, 2013. Free section on
proximal humerus fracture)

27. B
Fraktur di daerah siku atau lengan atas dapat menyebabkan kontraktur iskemik Volkmann
tapi umumnya disebabkan karena fraktur supracondylar humerus.
Hasil contracture Volkmann ini dari iskemia akut / nekrosis serat otot dari kelompok
fleksor otot lengan bawah, terutama M. fleksor digitorum profunda dan M. fleksor polisis
longus yang menjadi fibrotik dan pendek.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi pada arteri brakialis dekat siku, mungkin dari
penggunaan yang tidak benar dari tourniquet, penyalahgunaan gips, atau sindrom
kompartemen. Hal ini juga disebabkan oleh fraktur tulang lengan bawah yang
menyebabkan pendarahan yang banyak dari pembuluh darah utama dari lengan.
(Robert C. France (30 December 2003). Introduction to sports medicine & athletic
training. Cengage Learning. pp. 426)
28. E
Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah
pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga
epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang
akan berhenti.
Klasifikasi Salter-Harris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis:
a. Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan,
prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
b. Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang
metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
c. Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan
kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan.
Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
d. Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi
melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko
gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
e. Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
Dengan demikian yang berisiko terjadi gangguan pertumbuhan adalah pilihan E yang
menggambarkan tipe V.
(Terrell WD., 2001, What is a fracture?Fracture Description and Classification,
Hughston Sport Medicine foundation, Auburn, Alabama. )
29. D
Fraktur pelvis sering dikaitkan dengan jumlah besar kehilangan darah. A. Illiaca interna
(A. hipogastrik) adalah struktur pembuluh darah yang paling penting dalam trauma
pelvis. Pembagian anterior terdiri dari arteri glutealis inferior, arteri pudenda interna,
arteri obturatoria, arteri vesicalis inferior, dan arteri recatalis medialis. Pembagian
posterior terdiri dari arteri glutealis superior, arteri iliolumbar, dan arteri sacralis lateral.
A. glutealis superior adalah cabang terbesar dari arteri iliaka internal. Arteri ini
memperdarahi gluteus medius, gluteus minimus, dan tensor fasia otot lata. A. glutealis
superior adalah arteri yang paling umum mengalami cedera pada patah tulang pelvis.
(Lopez PP. Unstable pelvic fractures: the use of angiography in controlling arterial
hemorrhage. J Trauma. 2007 Jun. 62(6 Suppl):S30-1.)
30. C
Rumus Baxter
4cc x % luas LB x kg BB = 4 cc x 25 x 70 = 7000 ml
(Kuliah Luka Bakar – dr Dewi Sp. BP-RE)
31. A
Formula Baxter
 Dewasa
4cc x % luas LB x kg BB =.....cc lar. RL
diberikan : ½ bagian pada 8 jam I
½ bagian pada16 jam berikutnya
diberikan lar. koloid 500-1000cc pd jam ke 18-24
Formula (modifikasi) Baxter
 Anak
2cc x % luas LB x kg BB=...cc lar. RL
diberikan: ½ bagian pada 8 jam I
½ bagian pada 16 jam berikutnya
larutan koloid 17:3 (sejak jam ke-0)
Hari berikutnya diberikan cairan maintenance
(Kuliah Luka Bakar – dr Dewi Sp. BP-RE)
32. A
Remove the person from the source of the burn without endangering rescue personnel.
After extrication, initial care of the burn victim should follow the basic principles of
trauma resuscitation (ie, airway, breathing, and circulation [ABCs]), as follows:
(Taira BR, Singer AJ, Thode HC Jr, Lee C. Burns in the emergency department: a
national perspective. J Emerg Med. 2010 Jul. 39(1):1-5. )
- Perform a rapid primary survey and immediately correct any problems found
- Remove any constricting clothing and jewelry
- When ventilatory and circulatory competence have been restored, perform a
secondary survey
- Concurrently with airway and circulatory management, make an effort to stop the
burning process
Jadi yang harus dilakukan pertama adalah jauhkan korban dari sumber panas, baru
menilai ABC (primary survey), membuka pakaian dan perhiasan, kemudian baru rawat
combustionya.
33. C
Untuk usia <10th (anak) dan >50th (geriatri) (Kuliah Luka Bakar – dr Dewi Sp. BP-RE)
34. A
High-voltage electric current can produce a wide variety of different cardiac injuries and
usually consists of rhythm and conduction disturbances. (Guinard JP, Chiolero R,
Buchser E, Delaloye-Bischof A, Payot M, Grbic A, et al. Myocardial injury after
electrical burns: short and long term study. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg. 1987.
21(3):301-2. )
Acute pulmonary complications are limited to pleural damage resulting in effusions and
lobular pneumonitis directly adjacent to the entrance and exit wounds and are usually
evident by the end of the first week. But damage to the lungs is rare because the air in
the lungs is a poor conductor of electricity. (Newsome TW, Curreri PW, Eurenius K.
Visceral injuries: an unusual complication of an electrical burn. Arch Surg. 1972 Sep.
105(3):494-7. )
The colon and small intestine were the organs most frequently affected. Less
frequently involved organs were the heart, esophagus, stomach, pancreas, liver,
gallbladder, lung, and kidney (Marques EG, Júnior GAP, Neto BFM, et al. Visceral
injury in electrical shock trauma: proposed guideline for the management of abdominal
electrocution and literature review. International Journal of Burns and Trauma.
2014;4(1):1-6.)
Namun, berdasarkan kuliah Luka Bakar oleh dr. Dewi Haryanti K, Sp.BP-RE, dijelaskan
electrical burns, treat any major complications first in lungs and hearts. Mengacu pada
kuliah, organ yang berisiko komplikasi mayor adalah paru dan jantung sehingga pilihan
yang paling tepat adalah jantung, paru dan ginjal.
35. D
Urine output merupakan indikator yang paling umum digunakan di seluruh dunia untuk
menentukan resusitasi cairan. Beberapa indikator lain memang dapat digunakan, namun
tidak mengungguli urine output. (Hayek S, Ibrahim A, Abu Sittah G, Atiyeh B. Burn
resuscitation: is it straightforward or a challenge? Annals of Burns and Fire Disasters.
2011;24(1):17-21.)
36. C
Penderajatan trauma ginjal
1. Derajat I : kontusio ginjal/hematome ginjal
2. Derajat II : Laserasi ginjal terbatas pada korteks, <1 cm tanpa ekstravasasi
3. Derajat III : laserasi ginjal sampai>1 cmtanpa ekstravasasi
4. Derajat IV : laserasi ginjal sampai mengenai sistem kalises ginjal
5. Derajat V : avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri renalis,
ginjalTerbelah (rusak)
37. D
Kata kunci pada kasus ini adalah trauma pada pinggang dan hematuria yang menandakan
adanya trauma ginjal. Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan:
 Riwayat trauma abdomen, flank, thoraks
 Riwayat akselerasi-deselerasi mendadak
 Hematuria (tidak berbanding lurus dgn derajattrauma ginjal)
 Jejas
 Pemeriksaan penunjang gold standard: CT Scan abdomen kontras + one shot IVP
(Kuliah Trauma Urologi – dr Wibisono)
Pasien mengalami gross hematuria dan hemodinamik stabil. Dari bagan tersebut dapat
dilihat bahwa setelah pemeriksaan penunjang yang lengkap bila
Grade 1-2  observasi
Grade 3-4  observasi, tirah baring, pemberian antibiotik
Grade 5  eksplorasi renal
Karena luka 3 cm, kemungkinan gradenya di atas grade 2 (grade 3, 4 atau 5).
Previously, grade 5 vascular injuries have been regarded as an absolute indication for
exploration. However, an increasing number of reports suggest that parenchymal grade 5
patients, who are haemodynamically stable at presentation, might be safely treated
conservatively. In these patients, intervention is predicted by the need for continued fluid
and blood resuscitation. Other factors that increase the risk of surgical intervention are
peri-renal haematoma size > 3.5 cm (Bjurlin MA, Fantus RJ, Mellett MM, et al.
Genitourinary injuries in pelvic fracture morbidity and mortality using the National
Trauma Data Bank. J Trauma 2009 Nov;67(5):1033-9.)
38. E
Urethral bleeding is frequently seen in patients when initiating intermittent
catheterization and can occur regularly in one-third of patients performing intermittent
catheterization on a long-term basis. Persistent bleeding in a patient who has been
performing intermittent self-catheterization long-term may be a sign of a UTI. (Igawa,
Y., Wyndaele, J.J., & Nishizawa, O. (2008). Catheterization: Possible complications and
their prevention and treatment. International Journal of Urology, 15(6), 481–485.)
At least 4 situations exist in which suprapubic cystostomy is considered (Wein AJ,
ed. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2011):
- Acute urinary retention in which a urethral catheter cannot be passed (eg, because of
prostatic enlargement secondary to benign prostatic hyperplasia or prostatitis,
urethral strictures or false passages, or bladder neck contractures secondary to
previous surgery)
- Urethral trauma
In the setting of urethral trauma, functional bypass of the urethra may be required
because of the possibility of urethral disruption. Urethral disruption should be
suspected when the triad of (1) blood at the urethral meatus, (2) inability to
urinate, and (3) a palpably distended bladder is observed. The urethral injury
should be addressed by a urologist; however, a suprapubic cystostomy may be a
valuable measure for emergency drainage of the bladder.
- Management of a complicated lower genitourinary tract infection
- Requirement for long-term urinary diversion (eg, because of neurogenic bladder)
39. A
Trauma uretra dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang seperti terjadinya
impotensi, striktur, dan inkontinensia. Impotensi terjadi karena corpora kavernosa
penis, pembuluh darah, dan suplai syaraf pada area ini mengalami kerusakan.
(McAninch, W.Jack, et al. 2008. Trauma and Reconstructive Surgery.)
40. A
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar dari uretra
tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas
pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi
oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
(Purnomo, Basuki B. 2008. Dasar – Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto.)
41. A
Klasifikasi trauma vesica urinaria
 Kontusio buli-buli, terdapat memar pada jaringan dan mukosa buli-buli dengan
hematuria tanpa disertai ekstravasasi urine.
 Rupture buli-buli ekstraperitoneal, biasanya akibat trauma pada saat buli-buli
kosong. Dapat juga disebabkan oleh fraktur pelvis (fragmen dari fraktur pelvis
menusuk buli-buli sehingga terjadi perforasi dan ekstravasasi urin di rongga
perisikel).
 Rupture buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma langsung pada daerah
abdomen bawah (direct blow) terutama pada saat buli-buli sedang terisi penuh.
(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)
Tanda pada kasus ini adalah pasien sedang menahan kencing, berarti kondisi buli-buli
atau vesica urinaria sedang terisi penuh.
42. E
Dari hasil pemeriksaan fisik:
GCS = 13  cedera kepala sedang
PENATALAKSANAAN
CKR (Cidera Kepala Ringan)
Definisi : Penderita sadar& berorientasi (GCS 14 – 15 )
Pemeriksaan umum : Tensi, Nadi, Respirasi, Luka-luka tempat lain.
 Pemeriksaan mini neurologik : GCS, Pupil, Reaksi cahaya, Motorik.
 Foto polos kepala : Jejas kepala
 CT-Scan kepala : Atas indikasi
 Indikasi rawat :Pingsan> 15 : PTA > Jam, Pada OBS. Penurunan kesadaran, SK >>,
Fraktur, Otorhoe / Rinorhoe, Cedera penyerta, CT-Scan ABN, Tidak ada keluarga,
Intoksikasi alkohol/ Obat-obatan.
 Indikasi pulang :Tidak memenuhi criteria rawat, Kontrol setelah satu minggu.
CKS (CideraKepalaSedang)
Definisi :
Penurunan kesadaran, Masih mampu mengikuti perintah sederhana ( GCS 9 – 13 ).
 Pemeriksaan awal :Sama dengan CKR + Pem. Darah sederhana. Pem.CT-Scan
kepala, Rawat untuk observasi.
 Setelah rawat :Pem. Tanda vital &Pem.Neurologik periodik, Pem. CT-Scan kepala
ulang bila ada pemburukan.
 Bila membaik: Pulang, Kontrol poli setelah 1 minggu
 Bila memburuk : CT-Scan kepala ulang = CKB.
CKB (CideraKepalaBerat)
Definisi :
Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana OK. Kesadaran menurun (GCS 3
–8)
 Penatalaksanaan : ABC (Air Way, Breathing, Circulation).
 Cedera otak sekunder. 100 Penderita CKB, Hipoksemia (PAO2< 65mm HG ) 30 %,
Hipotensi ( Sistolik< 95mm HG ) 13 % Anemia ( HT < 30 % ) 12 %.
 Hipotensimati 2 X, Hipotensi + Hipoksiamati 75 %
 Pemeriksaan mini neurologik, Pemeriksaan CT-Scan kepala.
 Kepalalebihtinggi 10 - 30 derajat ( Head Up )
 Intubasi, Pasang catheter
 Pasang collar brace
 Atasi hipotensi dengan RL atau NaCl 0,9% sampai tanda-tanda perfusi baik
 Infus D51/2NS 30-40 cc/kgBB/24 jam
 Posisi berbaring, kepala lebih tinggi 20° dari badan
 Pasang NG tube untuk mengeluarkan isil ambung, mencegah aspirasi
 Periksa kadar Hb dan gula darah
 Obat – obatan: Manitol 20 % : 1 – 2 mg/ Kg.BB, 3 X Pemberian, Tetesan cepat : TD
SIST, > 100 mmHg. Anti konvulsan, Hiperventilasi, pada kasus TTIK untuk
mengeluarkan CO2.
 Pemberian oksigenasi dengan masker
Tatalaksana pemberian analgesik:
If paracetamol (1g q 4-6 hr max 4g/day) alone is ineffective then codeine phosphate
(60mg q 4-6hr max 240mg/daily) or low dose immediate release oxycodone (5-10mg q
4-6hr) can be added after the need for an initial or repeat CT scan to exclude a clinically
significant intracranial lesion has been considered. Analgesics containing aspirin or
NSAIDs should not be used due to the increased risk of bleeding from platelet
dysfunction.
(NSW Institute of Trauma and Injury Management. 2011. Adult trauma clinical practice
guidelines. Initial management of closed head injury in adults (2nd edition). North
Sydney.)
Beberapa sumber jurnal mengatakan paracetamol termasuk analgetik NSAID, namun
buku Farmakologi Katzung dan kuliah bukan merupakan analgetik, sehingga jawaban
yang benar adalah pemasangan intravena kateter.
43. C

KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000


Darah (mL)

Kehilangan Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%


Darah (%
volume darah)

Denyut Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun


Naik
(mm Hg)

Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35


Pernafasan

Produksi Urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti

(mL/jam)

CNS/ Status Sedikit Agak Cemas, Bingung,lesu


cemas cemas
Mental bingung (lethargic)
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan
Cairan dan darah darah

(Hukum 3:1)

44. E
Lihat kembali pembahasan no. 17. Anamnesis termasuk dalam secondary survey.
45. C
Lihat pembahasan klasifikasi perdarahan pada no 43.
Oliguria is defined as a urine output that is less than 1 mL/kg/h in infants, less than 0.5
mL/kg/h in children, and less than 400 mL or 500 mL per 24h in adults - this equals 17 or
21 mL/hour. Pada kelas 3, urine output adalah 5-15 mL/jam. (Cerda J. Oliguria: an
earlier and accurate biomarker of acute kidney injury?. Kidney Int. 2011 Oct. 80(7):699-
701. )
46. B
Log roll adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memiringkan klien yang badannya
setiap saat dijaga pada posisi lurus sejajar (seperti sebuah batang kayu). Contohnya untuk
klien yang mengalami cidera spinal. (Berman, A. et al. 2009. Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis Koizer & Erb, Edisi 5. Jakarta: EGC.)
47. C
Pada kasus GCS = 7.
GCS 14-15  cedera kepala ringan
GCS 9-13  cedera kepala sedang
GCS <9  cedera kepala berat
(Kuliah Cedera Kepala --- dr Hanis SPBS)
48. E
Jenis visum et repertum pada orang hidup terdiri dari (Idries, Abdul Muin dan
Tjiptomartono, Agung L. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto.)
1. Visum seketika/sekarang adalah visum yang dibuat seketika oleh karena korban
tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan perkataan lain korban
mengalami luka - luka ringan
2. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara berhubung korban
memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal ini dokter membuat visum
tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar penyidik dapat melakukan penyidikan
walaupun visum akhir menyusul kemudian
3. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa perawatan dari
korban oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya telah dibuat visum sementara
untuk awal penyidikan. Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari
dokter atau rumah sakit yang merawat korban.
Karena korban masih diobservasi dan tinggal di RS, maka dibuat visum sementara.
49. E
Trauma Tumpul Tajam
g. Bentuk luka Tidak teratur Teratur

h. Tepi Luka Tidak rata Rata

i. Jembatan Jaringan Ada Tidak ada

j. Rambut Tidak terpotong Terpotong

k. Dasar Luka Tidak teratur Teratur

l. Sekitar Luka Ada luka lecet atau Tak ada luka lain
memar
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa trauma tersebut termasuk luka tumpul.
Yang termasuk luka tumpul adalah luka lecet, luka memar (kontusio), dan luka robek.
Luka lecet adalah luka yang disebabkan oleh rusaknya atau lepasnya lapisan luar dari
kulit, yang memiliki 2 dimensi yaitu panjang dan lebar.
Luka robek adalah luka yang disebabkan karena persentuhan dengan benda tumpul
dengan kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan di bawahnya,
yang memiliki 3 dimensi yaitu panjang, lebar, dan dalam.
(Kuliah Luka – dr Novianto)
50. D
Pukulan kasti dan helm merupakan pukulan benda tumpul. Seperti pembahasan no 49,
maka pilihan yang tepat adalah adanya memar. (Kuliah Luka – dr Novianto)
51. D
Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian
dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat permintaan
visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan
korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima
maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR. Hal
penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu kepada
perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan,
melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis.
Dalam pemeriksaan korban, dokter harus melakukannya dengan lengkap, cermat dan
teliti, karena jika nanti surat penyidik datang, dokter akan mempunyai arsip di catatan
medis dan akan mudah dalam menunagkannya dalam visum et repertum. Tidak
dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat atau tanggal yang telah lalu.
(Idries, Abdul Muin dan Tjiptomartono, Agung L. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik Dalam Proses Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto.)
52. D

Masih kemerahan, ada bullae (lepuh kulit) yang sudah pecah termasuk derajat 2B.
(Kuliah Luka Bakar – dr Dewi Sp. BP-RE)
53. A
(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka
mata,bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan
rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) :spontan
(3) :dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) :dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) :tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) :orientasi baik
(4) :bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat
dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam
satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) :suara tanpa arti (mengerang)
(1) :tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) :mengikuti perintah
(5) :melokalisir nyeri (menjangkau& menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) :withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(3) :flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(2) :extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) :tidak ada respon
Pada kasus:
Eye (mata) = 2
Verbal (respon verbal) = 2
Motor (respon motorik) = 5
.
54. A
Dapat dilihat pada kasus bahwa vulnus appertum terjadi di daerah temporoparietal S. Hal
ini bisa menyebabkan adanya perdarahan epidural. Perdarahan epidural kemudian bisa
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat sehingga terjadi herniasi serebri terutama
di sisi medial lobus temporal yaitu Uncus, melewati sebuah celah yang dinamakan
incisura tentorii pada tentorium cerebelli. Lokasi herniasi tentunya sama dengan lokasi
perdarahan. Efek dari herniasi ini adalah penekanan pada serabut nervus occulomotorius
yang berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata sehingga terjadi dilatasi pupil
ipsilateral. Herniasi juga akan menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang
serabutnya menyilang pada mesencephalon sehingga terjadi hemiparese kontralateral.
(ATLS Edisi 8 Bab Trauma Kepala).
55. C
Terapi medikamentosa yang harus diberikan saat pasien berada di Rumah Sakit adalah
• Antibiotika, bila ada luka atau indikasi lain
• Anti tetanus bila lukanya kotor
• Analgetika
• Anti muntah
• Neurotropik
• Anti kejang : Phenytoin, Diazepam
• Obat penenang : CPZ 12,5 mg atau diazepam 5 mg IV
(Kuliah Trauma Kapitis – dr Hanis S, SpBS)
56. C
Pemeriksaan penunjang radiologis pada kasus trauma kepala adalah
– Foto polos kepala AP/Lateral
– Foto servikal lateral
– CT Scan kepala polos
Pemeriksaan yang penting setelah primary survey adalah identifikasi lesi massa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan CT Scan
Kepala (ATLS Edisi 8, Bab Trauma Kepala)
57. B
Epidural hematoma

Subdural hematoma – Bulan sabit


Intraserebral hematoma
(Kuliah Trauma Kapitis – dr Hanis S, SpBS)
58. C
Prinsip penatalaksanaan trauma kepala adalah sebagai berikut:
 Jaga patensi jalan nafas
 Jaga ventilasi
 Atasi syok
 Periksa neurologis
 Cegah cedera otak sekunder
 Cari cedera yang terkait
 Bila stabil, periksa penunjang
 Bila perlu konsul bedah saraf
 Teruskan asesment
(Kuliah Trauma Kapitis – dr Hanis S, SpBS)
59. C
Kata kunci pada kasus ini adalah daerah epigastrium, tidak anemis, defense muskuler (+).
Organ yang terletak di epigastrium adalah gaster, pankreas dan sebagian hepar. Pada
kasus trauma, ruptur organ yang menyebabkan pendarahan dan instabilitas hemodinamik
(ditandai dengan tekanan darah turun, nadi dan respirasi meningkat, tampak anemis)
adalah ruptur organ solid seperti hepar dan lien. Dengan demikian pilihan A dapat
disingkirkan. Sementara ruptur organ berongga seperti gaster dan colon biasanya
menimbulkan manifestasi klinis utama yaitu peritonitis, di mana peritonitis menimbulkan
defense muskuler (+). (Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I, Bab Trauma
Abdomen)
60. C
Perhitungan cairan dapat menggunakan formula Darrow. Anak tersebut memiliki berat 20
kg sehingga berdasarkan rumus ini, kebutuhan cairan yang dibutuhkan adalah 1500 cc.
Cara penghitungan: (10 x 100 ml) + (10 x 50 ml) = 1500 cc.
Total dibutuhkan 4000 ml
61. B
Kata kunci pada kasus ini adalah nyeri di bawah dada kiri. Organ yang terletak di sana
adalah lien, gaster, kemudian sebagian kecil dari pankreas dan colon descenden yang
terletak lebih di posteriornya. Pada kasus trauma, ruptur organ yang menyebabkan
pendarahan dan instabilitas hemodinamik seperti pada kasus (ditandai dengan tekanan
darah turun, nadi dan respirasi meningkat) adalah ruptur organ solid seperti hepar dan
lien. Hepar terletak di sisi kanan. Sementara ruptur organ berongga seperti gaster dan
colon biasanya menimbulkan manifestasi klinis utama yaitu peritonitis, di mana
peritonitis menimbulkan defense muskuler (+) (Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid
I, Bab Trauma Abdomen)
62. D
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan
adanya perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan
abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak jelas. DPL juga
berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan.
Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode
terbuka, semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi kulit
infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan kateter
dimasukkan dibawah visualisasi secara langsung. Metode semi terbuka serupa, kecuali
peritoneum tidak dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum ke
dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup membutukan kateter uang dimasukkan secara
buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba, dan peritoneum. Teknik tertutup dan
semi terbuka pada infra umbilical lebih banyak dilakukan pada bagian tengah.
(King M., Bewes P. 2002 Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC.)
63. A
KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
(mL)
Kehilangan Darah Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
(% volume darah)
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mm Hg) Naik
Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35
Pernafasan
Produksi Urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti
(mL/jam)
CNS/ Status Sedikit cemas Agak cemas Cemas, Bingung,lesu
Mental bingung (lethargic)
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
Cairan darah darah
(Hukum 3:1)
Larutan elektrolit isotonis hangat seperti Ringer Laktat atau normal saline digunakan
untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume intravaskuler dalam waktu singkat
dan menggantikan cairan yang hilang. Dosis pada dewasa adalah 1-2 liter (ATLS Edisi 8
Bab Syok)
64. B
Ruptur gaster akan melepaskan udara dan kandungan lambung ke dalam peritoneum.
pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat, akut, disertai peritonitis. Dari radiologis,
sejumlah besar udara bebas akan tampak di peritoneum dan ligamentum falsiparum
tampak dikelilingi udara. (Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan
Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal. 541-59.)
65. Jawaban : D
Pembahasan lihat lagi no. 63.
66. D
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal
antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksidengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya
tekanankarbondioksida di arteri
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atausebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yanggawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
f. Trakeostomi.
g. Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.
(Gisele AD. 2002. Orotracheal Intubation.)
67. B
Tanda-tanda SIRS (Kuliah Syok Sepsis dr Arifin):
≧2 of the following:
• BT >38℃ or <36℃
• HR > 90bpm
• RR > 20bpm or PaCO2 <32mmHg
• WBC >12,000, <4,000, or >10% bands
68. A
USG Abdomen FAST berfungsi untuk mendeteksi perdarahan, hemoperitoneum atau
potensi cedera organ berongga. Namun demikian, FAST kurang reliable untuk
mendeteksi perforasi traktus gastrointestinal (organ berongga) (ATLS Edisi 8 – Bab
Trauma Abdomen). FAST yang diulang baru efektif untuk hal tersebut. (Mohammadi A,
Ghasemi-rad M. Evaluation of gastrointestinal injury in blunt abdominal trauma “FAST
is not reliable”: the role of repeated ultrasonography. World Journal of Emergency
Surgery : WJES. 2012;7:2.)
69. B
Exploratory laparoscopy, also termed diagnostic laparoscopy, is a minimally invasive
method for the diagnosis of intra-abdominal diseases through direct inspection of intra-
abdominal organs. The main advantages of diagnostic laparoscopy over traditional open
laparotomy are as follows:
 Reduced morbidity
 Decreased postoperative pain
 Shorter hospital stay
Diagnostic laparoscopy is useful for making a definitive clinical diagnosis whenever
there is a diagnostic dilemma even after routine diagnostic workup, including patients
with nonspecific abdominal pain, hemodynamically stable patients who have sustained
blunt/penetrating trauma with suspected intra-abdominal injuries, and critically ill
intensive care unit (ICU) patients with suspected intra-abdominal sepsis or pathologies.
(Hori Y, SAGES Guidelines Committee. Diagnostic laparoscopy guidelines : This
guideline was prepared by the SAGES Guidelines Committee and reviewed and approved
by the Board of Governors of the Society of American Gastrointestinal and Endoscopic
Surgeons (SAGES), November 2007. Surg Endosc. 2008 May. 22 (5):1353-83. )
70. C
Status pasien = kondisi sadar penuh, tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 98 x/menit,
respirasi 22 x/menit. Pasien mengeluh nyeri di seluruh perutnya, mual (-), muntah (-).
Pertama, lihat kembali pembahasan no. 63. Keterangan pasien tidak sesuai dengan
kriteria pendarahan derajat 2.
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis, dan perforasi organ berongga karena trauma abdomen. Gambaran
klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang
bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. (Arief M,
Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.)
Kemungkinan organ yang mengalami perforasi bukanlah hepar dan lien karena keduanya
merupakan organ solid, yang manifestasinya cenderung ke pendarahan.
71. B
After the hermetic seal is broken, platelet concentrates should be transfused as soon as
possible, but defi nitely within a maximum of 4 hours ofstorage at between +20 °C
and +24 °C. B (BLOOD, SAFE. 2005. "Manual on the management, maintenance and
use of blood cold chain equipment." Geneva: WHO.)
72. C
Setiap kantong darah harus dilakukan uji saring darahpaling sedikit terhadap HIV, Hep
B, Hep C dan sifilisuntuk mencegah penularan penyakit (Pasal 11 PP No. 7 Tahun 2011
tentang Pelayanan Darah)
73. A
Hasil pemeriksaan lab darah:
Hb rendah (N= 13.3-16.2 g/dL)
Hematokrit rendah (N =38.8-64.4%)
AE rendah (N = 4.30-5.60 x 103/mm3)
AT rendah (N = 165-415 x 103/mm3)
MCV normal (N = 79-93.3 fL)
Karena hampir semua komponen rendah kecuali MCV, berarti perlu dilakukan
penggantian volume darah secara total.
74. E
Komplikasi Transfusi darah masif
Transfusi darah masif adalah pemberian darah yang dengan volume melebihi volume
darah pasien dalam waktu 24 jam. Penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih
banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg,
anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa
pasien, bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi
karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia.
Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan
komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat
meningkatkan risiko komplikasi.
Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan,
hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari
trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan
jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury
a) Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada
pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi
acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.
Ø Trombositopenia
Terjadi setelah transfusi darah simpan lama lebih dari 80 ml/kgBB. Diatasidengan
pemberian trombosit bila jumlah trombosit <50.000/mm3 atau memberi unit darah
utuh segar setiap transfusi 4 unit darah simpan.
Ø Turunnya faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor VIII. Dapat diatasi dengan
pemberian 1 unit FFP setiap transfusi 5 unit WB/PRC.
b) Keracunan Sitrat
Tubuh memiliki kemampuan yang besar untuk metabolisme sitrat, kecuali pada
keadaan shock, penyakit hati, dan lanjut usia. Pada kasus ini dapat diberikan Calcium
Glukonas 10% 1 gram IV pelan-pelan setiap telah masuk 4 unit darah.
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi
penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia
penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal
kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat
terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ).
c) Hiperkalemia
Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik setinggi 32 mEq/L, sedangkan batas
dosis infus kalium adalah 20 mEq/jam. Hiperkalemia menyebabkan aritmia sampai
fibrilasi ventrikel/cardiac arrest. Untuk mencegah hal ini diberikan Calsium
Glukonas 5 mg/kgBB I.V pelan-pelan. Maksud pemberian kalsium disini karena
kalsium merupakan antagonis terhadap hiperkalemia.
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan meningkat dengan
waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang
dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur
darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah
operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolisme.
d) Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk
darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular
dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia
dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan
pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya
insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.
e) Keseimbangan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs
(carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik
yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam
basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika
perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan alkalosis metabolic
progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar
f) DIC ( disseminated intravaskular coagulation)
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan
dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).
Disseminated intravaskular coagulation (DIC) ditandai dengan proses aktivasi dari
sistem koagulasi yang menyeluruh yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam
pembuluh darah sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh darah
berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut menjadikan aliran darah
terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat yang
bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari
DIC (disseminated intravaskular coagulation) merupakan keadaan yang termasuk
dalamkategori kedaruratan medik. Tindakan danpenangananyang diberikan
tergantung dari patofisiologi penyakit yang mendasarinya. Namun yang utama
dalam memberikan penanganantersebutadalah mengetahui proses patologi, yakni
terjadinya prosestrombosis mikrovaskular dan kemungkinanterjadi
perdarahan(diatesa hemoragik) secara bersamaan. Tanda-tanda yangdapat dilihat
pada penderita DIC yang disertai dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis,
hematuria, melena, epistaksis,hemoptisis, perdarahangusi, penurunan kesadaran
hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda
yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah yang
mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi
organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren
pada kulit.
Berikut ini adalah kondisiklinikyang dapat menyebabkan terjadinya DIC yaitu
Sepsis,Trauma, Cidera jaringan berat, Cidera kepala, Emboli lemak, Kanker
(Myeloproliferative disorder, Tumor padat), komplikasi Obstetrik (Emboli cairan
amnion, Abruptio Placenta), Kelainan pembuluh darah (Giant hemangioma,
Aneurysma Aorta), Reaksi terhadap toksin, Kelainan Imunologik.
Pada pasien denganDIC,terjadi pembentukanfibrinolehtrombinyang diaktivasi oleh
faktor jaringan.Faktorjaringan, berupa selmononuklirdan selendotel yang
teraktivasi,mengaktivasifaktor VII. Kompleks antara faktor jaringandan faktorVII
yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara
langsungmaupuntidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII.
FaktorXyang teraktivasibersama dengan faktorVakan mengubah protrombin menjadi
trombin.Di saatyang bersamaanterjadi konsumsi faktorantikoagulan seperti
antitrombinIII, proteinCdanjalur penghambat-faktorjaringan, mengakibatkan
kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrinyang terjadi tidak diimbangi
dengan penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen
(plasmin)tertekan oleh penghambat-aktivasiplasminogen tipe1yangkadarnyatinggidi
dalamplasma menghambat pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi
antarameningkatnya pembentukanfibrindan tidakadekuatnya penghancuran fibrin
menyebabkanterjadinyatrombosis intravaskular yang menyeluruh.
(Kuliah Pemeriksaan Laboratorium Darah – dr Tonang)
75. D

(Kuliah Pemeriksaan Laboratorium Darah – dr Tonang)


76. A
Tetracaine is more lipophilic than lidocaine and accumulates in the stratum corneum
where it slowly diffuses, prolonging its duration and limiting systemic uptake. (Alster T.
Review of Lidocaine/Tetracaine Cream as a Topical Anesthetic for Dermatologic Laser
Procedures. Pain and Therapy. 2013;2(1):11-19.)
Ukuran lebih kecil dan lebih lipofilik  lebih potent tetracaine, etidocaine dan
bupivacaine lebih lipofilik dibanding procaine, lidocaine, dan mepivacaine  lebih
potent dan durasi lebih lama
(Kuliah Farmakologi – Prof Muchsin)
77. C
Terdapat dua golongan anastesi:
ESTER
Sifat :
 rantai mudah hidrolisis  kurang stabil dlm larutan
 Durasi umumnya singkat
 Rentan timbul alergi (sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat
atopi)
AMIDE
Sifat :
 Stabil dalam larutan
 Stabil pada suhu tinggi
 Lebih umum digunakan
(Kuliah Farmakologi – Prof Muchsin)
78. D
Bupivacaine Lebih kardiotoksik dibandinganestesi lokal yang lain
(Pernah dilaporkan, Dosis kecil secara infiltrasisudah mengakibatkan kolaps)
(Kuliah Farmakologi – Prof Muchsin)
79. C
Toksik pada bayi  tidak digunakan utkobstetrik (mekanisme : pH intrasel janin
rendah LA terionisasi  toksik
(Kuliah Farmakologi – Prof Muchsin)
80. D
Pranarkose(premedikasi)
 obat-obat sedatif (klorpromazin, morphin danpetidin)meniadakan kegelisahan
 atropin  menekan sekresi ludah yangberlebihan.
(Kuliah Farmakologi – Prof Muchsin)

Anda mungkin juga menyukai