PENDAHULUAN
1
kelompok umur yang paling banyak menderita pterigium, serta prevalesi laki-laki
dan perempuan yang menderita pterigium.
2
1.4 Manfaat Penelitian
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang
transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak
mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
4,5
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik .
4
2.1.2 Anatomi Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.5
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
• Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
• Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
5
• Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
5
mempunyai tebal 40µm.
5. Endotel
• Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
6
2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan
mirip sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang
abnormal dalam fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke
kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga
tidak dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera,
dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva.
4.5
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
o o
untuk daerah diatas 40 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 .
Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena
7
paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan
penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
3
lintang bawah. Prevalensi pterigium menurut Riskesdas di Indonesia pada Tahun
2015 menunjukkan bahwa prevalensi pterigium nasional adalah sebesar 8,3 % dengan
1
prevalensi ternggi ditemukan di Bali (25,2%). Insidensi pterygium di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1% dan terjadi pada pasien dengan rentang umur
20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih
1
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Prevalensi Pterigium Menurut Riskesdas 2007 Provinsi DI Yogyakarta sebanyak 7,9%
2
dimana 5,5% mengenai kedua mata dan 2,4 % mengenai satu mata. Prevalensi
3
Pterigium Menurut Riskesdas 2013 Provinsi DI Yogyakarta sebanyak 14,1%.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh
1
mempunyai prevalensi pterygium tertinggi (15.8%).
8
2.2.3 Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam
fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
6
inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali
6
lebih banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi
2.2.4 Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
2.2.5 Patogenesis
Ultraviolet adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53 pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
meningkat. Sel-sel bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik,
proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelyang selanjutnya menembus
9
dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering
disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan
kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.Tanda ini
juga ditemukan pada pterigium dan karenan itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
9
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium
ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui
pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.9
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet
yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain,
karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga
mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
10
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini
6
tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H
& E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti
cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
10
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
11
• Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
Gambar 2.3 A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang
menginvasi kornea . C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang
vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung.
12
• Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
2.2.8 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada
salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau
bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa
gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi.
Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih
kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan
11
berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah
visus terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk
pseudopterigium.12
13
Gambar 2.4 Mata dengan pinguekula
2. Pseudopterigium
14
Tabel 2.1 Perbedaan pterigium dengan pseudopterigium
Pterigium Pseudopterigium
2.2.10 Terapi
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
15
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari
limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan
tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair
dan silau karena astigmatismus
9
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di
limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan,
meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium
dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi
yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
4
permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium,
sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat
kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
16
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan
Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut.
LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk
eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan
4
sangat rendah dengan teknik ini.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah
17
menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
1
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip
dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif
belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan
penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa
penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC
18
2.2.11 Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
• Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
• Iritasi
• Gangguan pergerakan bola mata.
• Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
6
• Dry Eye sindrom.
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
• Infeksi
• Ulkus kornea
• Graft konjungtiva yang terbuka
• Diplopia
2.2.12 Pencegahan
2.2.13 Follow up
19
2.2.14 Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya
prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan
sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Penglihatan dan kosmetik pasien
setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama
postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas
kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
6,9
pertama setelah operasi.
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.4 Sampel
3.6 Variable
3.8 Data
3.6.1 Pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing,
verifikasi, dan coding, kemudian data diolah dengan menggunakan
program komputer, yaitu program SPSS 16.0.
3.6.2 Analisis Data
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-
masing variabel dengan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan.
22
BAB IV
23
Sebaran Pasien Pterygium di RS Mata dr. Yap Berdasarkan Usia
pada Agustus 2018 sampai Agustus 2019.
60
50
40
30
20
10
0
Usia
Dari hasil data di atas didapatkan jumlah total pasien yang dating ke RS
Mata DR YAP pada agustus 2018 sampai agustus 2019 sebanyak 103.362 pasien,
dan persentase pasien yang di diagnose dengan pterygium sebanyak 0,95% (980
orang). Kalangan usia 45-65 tahun menduduki peringkat teratas untuk penyakit
pterygium sebesar 50,30% (493 orang), urutan kedua usia 25-44 tahun sebesar
27,25% (267 orang) dan urutan ketiga usia >65 tahun sebesar 17,96% (176 orang)
dan urutan keempat usia 15-24 tahun sebesar 4,49% (44 orang).
24
Sebaran Pasien Pterygium di RS Mata dr. Yap Berdasarkan
Jenis Kelamin pada Agustus 2018 sampai Agustus 2019.
60
50
40
30
20
10
0
jenis kelamin
Dari hasil data di atas didapatkan jumlah total pasien yang datang ke RS
Mata dr.Yap pada agustus 2018 sampai agustus 2019 dengan diagnosa pterygium
sebanyak 0,95% (980 orang) dan didapatkan persentase pasien laki-laki sebanyak
55,82% (547 orang) sedangkan persentase pasien perempuan sebanyak 44,18%
(433 orang).
25
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
26
5.2.2 Bagi Rumah Sakit
27
DAFTAR PUSTAKA
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 – 117
6. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ;1996. p.142
9. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
10. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
11. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorland’s Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
12. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
28
13. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management of Pterygium.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm
29