Anda di halaman 1dari 15

BIOMEDICAL RESEARCH IN THE NEXT CENTURY

Pembimbing :

dr. Ernawati Tamba, MKM

Disusun Oleh:

Galih Ayu Pratiwi 112017257

Gabby Agustine 112018022

Maria Angelika Irena T 112018003

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

PERIODE 29 Juni – 5 September 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


I. Pendahuluan

Publikasi medis telah menjadi landasan penyebaran pengetahuan kepada dokter dan
ilmuwan selama ratusan hingga bertahun-tahun. Teknik, inovasi, ilmu dasar, kerja klinis dan
eksperimental, semuanya telah berevolusi dan mewakili konten saat ini dalam membuat
jurnal yang relevan. Proses evolusi ini telah memungkinkan dokter untuk berkomunikasi dan
untuk berbagi temuan dan ide mereka sehingga mampu memberikan manfaat bagi pasien.1

Institut Nasional untuk Penelitian Kesehatan (NIHR) sampai berinvestasi lebih dari £
1 miliar per tahun untuk mendukung kemitraan antara organisasi National Health Service
(NHS) dan universitas di Inggris. Terutama, ini termasuk Pusat Penelitian Biomedis NIHR
(BRC). Hal ini mendorong hubungan yang kuat antara industri dan pasien serta publik yang
tinggi, Seperti yang dinyatakan oleh NIHR, tujuannya adalah untuk meningkatkan inovasi
dalam bidang biomedis dalam rangka pencegahan suatu penyakit, diagnosis dan pengobatan
kesehatan yang dirasa saat ini masih kurang dan juga meningkatkan efisiensi serta
mengurangi limbah kesehatan. namun hal ini mampu meningkatkan daya saing antar negara.1

Ilmu pengetahuan dewasa semakin maju dan semakin berkembang pesat seiring
dengan upaya manusia untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya.
Ditingkat dunia sel dan rekayasa jaringan (tissue engineering) merupakan salah satu fokus
penelitan khususnya dalam kaitannya dengan terapi sel dan pengobatan regeneratif. Sebelum
adanya pemanfaatan sel pengobatan penyakit dilakukan secara konvensional yaitu dengan
pemberian obat atau senyawaan kimia lainnya. Pengobatan menggunakan obat atau
senyawaan kimia lainnya disatu sisi diharapkan akan menyembuhkan suatu penyakit tetapi
disisi lain dapat juga menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Pengobatan
menggunakan sel merupakan harapan terapi di masa depan dan akan menggeser paradigma
pengobatan dari terapi kimia konvensional ke arah terapi menggunakan sel.2
II. Isi

Pengertian Penelitian Kesehatan

Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau


memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan.
Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu
yang berorientasikan klinis, pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada kelompok
atau masyarakat, yang bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang kesehatan inipun terdiri
dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, keperawatan, epidemiologi, pendidikan
kesehatan, kesehatan lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang
tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya.
Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat diartikan sebagai
suatu upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam bidang
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta masalah yang
berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan melalui langkah-
langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis

Tujuan Penelitian Kesehatan

Secara umum tujuan penelitian kesehatan menurut, yaitu :


1. Menemukan atau menguji fakta baru maupun fakta lama sehubungan dengan bidang
kesehatan.
2. Melakukan analisis terhadap hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan dalam bidang
kesehatan.
3. Menjelaskan tentang fakta yang ditemukan serta hubungannya dengan teori yang telah ada.
4. Mengembangkan metode atau konsep baru dalam pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat.

Manfaat Penelitian Kesehatan

Secara singkat, manfaat dari penelitian kesehatan yaitu :


1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan atau status
kesehatan individu, kelompok atau masyarakat.
2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan sumber daya dan
kemungkinan sumber daya tersebut guna mendukung pengembangan pelayanan kesehatan.
3. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan kajian untuk mencari sebab masalah kesehatan atau
kegagalan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan. Sehingga dapat dijadikan acuan untuk
mencari solusi atau alternatif penyelesaian masalah.
4. Hasil penelitian kesehatan dapat dijadikan sarana untuk menyusun kebijakan
pengembangan pelayanan kesehatan.

Tugas dan Fungsi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 64 Tahun 2015, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di
bidang kesehatan.

 Penyusunan kebijakan teknis penelitian dan pengembangan dibidang biomedik dan


epidemiologi klinik, upaya kesehatan masyrakat, pelayanan kesehatan,
kefarmasian dan alat kesehatan, sumber daya manusia, dan humaniora kesehatan;

 Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan dibidang biomedik dan


epidemiologi klinik, upaya kesehatan masyrakat, pelayanan kesehatan,
kefarmasian dan alat kesehatan, sumber daya manusia, dan humaniora kesehatan ;

 Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penelitian dan pengembangan


kesehatan dibidang biomedik dan epidemiologi klinik, upaya kesehatan masyrakat,
pelayanan kesehatan, kefarmasian dan alat kesehatan, sumber daya manusia, dan
humaniora kesehatan.

Masalah utama dalam mengembangkan obat baru adalah keterbatasannya


ketersediaan model seperti sistem manusia untuk penelitian preklinis pada identifikasi target
penyakit, kemanjuran obat dan toksisitas. Ini masih merupakan kontributor utama dari
keterlambatan obat (dan mahal) kegagalan dalam uji klinis. Laboratorium hewan atau sel
dalam standar kultur jaringan, bahkan juga manusia, sering tidak merespons untuk
pengobatan dengan cara melakukan percobaan pada sel-sel di organ tubuh manusia yang
utuh. Penelitian organ-on-chip dapat diperluas untuk analisis farmasi dan pengembangan obat
baru. Juga mencakup teknik terkait organ dan jaringan yang sangat menarik bagi
pengembang obat, seperti jantung, pembuluh darah, hati, neuron, dan ginjal.3
Organ Chip

Organ-on-chip adalah perangkat dengan satu atau lebih ruang mikofluida biokompatibel
(dikenal sebagai 'chip') yang mengandung beberapa jenis sel dalam kultur 3D; sel-sel hidup
berinteraksi banyak seperti yang mungkin mereka lakukan dalam jaringan baik sebagai organ
miniatur atau tumor miniatur. Desain chip memungkinkan kultur sel yang dikandungnya
untuk terus menerus diperfusi dan dimanipulasi secara mekanis atau elektrik. Ini meniru
fisiologi organ normal atau dapat digunakan untuk menginduksi patologi penyakit pada
tingkat organ dan jaringan. Bahkan mungkin untuk menghubungkan chip yang mengandung
berbagai jenis organ dan jaringan; ini mungkin menjadi sangat berharga ketika satu jaringan
(seperti hati) memproses senyawa ke metabolit yang menyebabkan efek misalnya pada ginjal,
otak atau jantung. Ini sangat relevan untuk skrining toksisitas obat.3

Diharapkan bahwa model organ-on-chip dapat menghasilkan perubahan paradigma


untuk penelitian biomedis dan industri farmasi, yang mengarah ke cara-cara baru untuk
mengidentifikasi obat yang efektif dan meningkatkan kualitas perawatan medis untuk banyak
penyakit umum dan parah. Mereka dapat menyediakan sistem uji manusia dekat untuk (pra)
uji klinis dengan relevansi tinggi untuk pasien individu. Ini akan memfasilitasi
pengembangan modalitas pengobatan baru, dan memungkinkan penilaian dampak
peradangan dan sistem kekebalan pada pengobatan dan penyakit. Pada gilirannya, ini dapat
mempercepat masuknya obat ke pasar dan menurunkan biaya mereka. Contohnya adalah chip
Cytostretch, di mana sel-sel jantung yang diturunkan sel induk manusia meregangkan pada
frekuensi jantung berdetak saat istirahat atau selama berolahraga. Aritmia yang diinduksi oleh
olahraga yang diendapkan oleh obat - kegagalan umum uji klinis - dapat dideteksi pada awal
proses pengembangan obat. Organ-on-chip juga akan memungkinkan obat yang
dipersonalisasi.4

Saat ini organ-on-chip sedang dikembangkan untuk penyakit kardiovaskular,


neurologis dan kognitif (otak) penyakit, penyakit kekebalan tubuh, kulit, dan berbagai
penyakit lainnya dengan asal-usul genetik yang kompleks atau dengan latar belakang etnis
yang berdampak pada keparahan penyakit. Detak jantung autorhythmic mengarah ke siklus
tegangan mekanik yang berfluktuasi pada permukaan sel endotel (EC), yang penting untuk
fenomena vaskular seperti pembuluh darah remodeling, permeabilitas endotel, vasoregulasi,
darah pembentukan, dan patologi vaskular, termasuk trombus trombosit pembentukan dan
ateroma. Dengan bantuan mikrofluida teknologi chip, mereplikasi organ kardiovaskular
fungsional Model in vitro menjadi kenyataan.4

Sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (PNS) membentuk sistem saraf dengan
unit dasar neuron. Neuron, juga disebut sel saraf, dapat dieksitasi secara elektrik. Sel-sel yang
sangat berdiferensiasi ini tidak mengalami pembelahan sel, dan karenanya membuat cedera
traumatis dan penyakit degeneratif di CNS tidak cukup atau sepenuhnya tidak dapat diobati.
Neuron umumnya dihasilkan oleh batang saraf / nenek moyang sel (NSPCs), dan itu
membuat para peneliti menjadi hebat pentingnya diferensiasi NSPC ke dalam saraf yang
diinginkan tipe sel saat memperbaiki cedera. Tidak hanya kemanjuran tetapi juga
farmakokinetik, toksisitas, dan karakteristik keamanan menentukan nasib calon obat. Multi-
organ-on-a-chip mungkin merupakan strategi baru meningkatkan efisiensi dan ketepatan
skrining obat sebelum hewan uji. Menjadi berbeda dari chip organ tunggal, ini rumit
perangkat mikofluida mengintegrasikan beberapa sel dari yang berbeda organ dan jaringan
sesuai dengan cara in vivo, berusaha mensimulasikan tubuh manusia. Misalnya, di Abacia
dan Shuler laporan, multi-organ-on-a-chip yang dirancang sesuai terhadap kecepatan darah
aktual dan proporsi organ telah terbukti menjadi platform yang cocok untuk belajar berbasis
fisiologis farmakokinetik / farmakodinamik. Dalam contoh lain, usus, hati, kulit, dan jaringan
ginjal dikulturkan dan berkelanjutan selama setidaknya 28 hari untuk penyerapan, distribusi,
metabolisme, dan profil ekskresi. Dengan cara ini, multi-organ perangkat a-chip mampu
memberikan komprehensif.5

Plasma Konvalesen pada pasien COVID-19

Biologi molekuler merupakan cabang dari ilmu biologi yang menelaah tentang interaksi
molekul dalam benda hidup khususnya sel termasuk asam deoksiribonukleat, asam
ribonukleat dan protein. Pada masa pandemic COVID-19 ini teknik biomolecular menjadi
suatu hal yang penting dan dalam perkembangannya perlu ditingkatkan karena merupakan
hal yang penting dalam proses diagnosis. Teknik diagnosis yang sering kita dengan dimasa
pandemic kali ini adalah seperti rapid test dan PCR (Polymerase Chain Reaction).6
Perkembangan Teknik biomolecular terus berkembang di masa pandemi saat ini, salah
satunya adalah tentang plasma konvalesen, Plasma convalescent adalah plasma yang diambil
dari pasien yg pulih dari COVID-19, yang dimana diharapkan mempunyai antibody pada
plasma tersebut. Tentunya pada plasma konvalesen ini mempunyai kriteria tersendiri dalam
memilih plasma konvalesen tersebut yaitu Definisi pulih disini adalah status afebris minimal
3 hari, disertai pengurangan gejala pernapasan, negatif untuk SARS-CoV-2 asam nukleat
pada dua kali tes RT-PCR berturut-turut memberikan hasil yang negatif. Kemudian para
pendonor juga harus seronegative terhadap anti-HBV, HCV, dan HIV. Mempunyai hasil
Seropositif untuk anti-SARS‐CoV‐2. Menurut pengalaman SARS dan influenza berat, plasma
konvalesen direkomendasikan untuk digunakan sedini mungkin pada produksi Puncak
antibodi IgM dan IgG pada 2 dan 4 minggu setelahnya infeksi.6

Pada penelitian terapi plasma yang dilakukan pada enam pasien yang dirawat di Wuhan
Rumah Sakit Huoshenshan, memberikan hasil perbaikan setelah dilakukannya transfuse
plasma konvalesen tersebut. Terapi plasma tersebut memberikan hasil penurunan viral load,
IgM Anti-SARS ‐ CoV dan IgG juga meningkat secara tergantung pada waktu setelah
transfuse, menghasilkan swab test negative setelah intervensi, dan mengalami peningkatan
yang signifikan terhadap gejala klinisnya serta resolusi konsolidasi dari gambaran CT-scan
thorax secara bertahap.6

Temuan ini sangat menunjukkan bahwa transfusi plasma konvalesen adalah terapi
spesifik dan efektif untuk COVID-19, dimana Terapi plasma konvalesen merupakan bentuk
vaksinasi pasif. Meskipun ada ketakutan akan efek samping alergi seperti diketahui, tidak
semua yang pernah terinfeksi Covid-19 dan telah pulih bisa mendonorkan darahnya. Begitu
pula dengan pasien Covid-19 yang masih dirawat juga tidak semua bisa mendapatkan terapi
plasma konvalesen ini. Sebab, keduanya memiliki kriteria masing-masing, sehingga jika
keduanya cocok atau memenuhi kriteria makan bisa melangsungkan terapi plasma
konvalesen tersebut.6

MSC (Mesenchymal Stem Cell) terapi pada COVID-19

Sel punca adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi dan mempunyai potensi untuk
berkembang menjadi berbagai jenis sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan
tubuh. Sel punca mempunyai 2 ciri khas yaitu (1) kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi
sel lain (differentiate) dan (2) kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya
sendiri (self renew/self regenerate). Sel punca dewasa dibedakan menjadi 2 jenis yaitu sel
punca hematopoetik (hematopoetic stem cells) dan sel punca mesenkimal (mesenchymal stem
cells). Sel punca hematopoetik adalah sel punca pembentuk darah yang mampu membentuk
sel darah merah, sel darah putih dan keping darah yang sehat. Sel punca jenis ini berasal dari
sumsum tulang, darah tepi dan darah tali pusat. Sel punca mesenkimal adalah sel punca
multipotensi yang dapat berdifferensiasi menjadi sel tulang otot ligamen, tendon dan lemak.
Ada dugaan bahwa sel punca mesenkimal bersifat pluripotensi sehingga tidak hanya dapat
berubah menjadi jaringan mesodermal tetapi juga ektoderm dan endodermal. Sel punca jenis
ini dapat ditemukan pada stroma sumsum tulang, jaringan adiposa dan darah tali pusat.7

Pada tingkat seluler, MSC tampaknya memiliki beberapa kekebalan alami terhadap
virus korona dan mempunyai kemampuan imunomodulator mereka yang kuat. Mereka
mungkin juga memiliki efek menguntungkan untuk mencegah atau melemahkan badai sitokin
dengan mengeluarkan faktor antiinflamasi yang kuat. Terapi MSC bisa secara teori
menghambat terlalu aktifnya sistem kekebalan tubuh dan mempromosikan perbaikan
endogen dengan meningkatkan lingkungan mikro. Setelah memasuki tubuh manusia melalui
infus intravena, bagian dari MSC terakumulasi di dalam paru-paru, yang berpotensi
meningkatkan lingkungan mikro pada paru-paru, melindungi sel-sel epitel alveolar,
mencegah fibrosis paru dan meningkatkan fungsi paru-paru.7

Baru-baru ini beberapa negara telah memulai studi klinis terapi berbasis sel. Salah
satu penelitian dilaporkan di Cina pada pasien wanita dengan akut Sindrom COVID19
didapatkan hasil tes laboratorium dan gambaran hasil ct-scannya memberikan hasil yang
sangat efektif setelah 21 hari pengobatan dengan MSC tali pusat. Sebuah studi kasus terbaru
tentang laporan kasus seorang pasien wanita berusia 65 tahun yang didiagnosis masuk
kondisi kritis dengan COVID-19, kemudian diidentifikasi dengan tepat. Pasien tersebut
memiliki peningkatan neutrofil sebesar 87% dan penurunan limfosit 9,8% dan diobati dengan
obat antivirus seperti lopinavir/ritonavir, methylprednisolone dan imunoglobulin. Pasien juga
mengalami ventilasi mekanis noninvasif untuk memfasilitasi pernapasan dan mengurangi
kelelahan otot karena oksigenasi yang buruk dan didapatkan tanda-tanda vital yang
memburuk, kemudian pasien dirawat dengan MSC tali pusat dan dengan α1 thymosin 5 ×
107 sel masing-masing tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah injeksi kedua
didapatkan albumin serum, CRP, dan ALT / AST secara bertahap menurun, serta tanda-tanda
vital lainnya membaik. Setelah itu, pasien lepas dari ventilator dan bisa berjalan, dan jumlah
sel darah putih dan neutrophil, dan limfosit pada pasien juga menurun ke tingkat normal, dan
hal yang paling penting juga yaitu dimana, sel T CD3 +, CD4 + sel T dan CD8 + T
meningkat secara signifikan. Hasil lain diperoleh dari gambar ct-scan setelah injeksi kedua
dan ketiga sel induk tali pusat menunjukkan keringanan pada pneumonia. Dalam penelitian
lain yang dirilis baru-baru ini di Tiongkok dan bekerja sama dengan Amerika Serikat, 7
pasien dengan pneumonia COVID19 di RS Beijing YouAn dari 23 Januari hingga 16
Februari menjalani transplantasi sel induk mesenchymal memberikan hasil perbaikan klinis
pada pasien tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tali pusat sel punca mesenkim bisa
menjadi pilihan perawatan yang ideal baik pemberian secara mandiri atau dalam kombinasi
dengan modulator imun lainnya untuk pasien COVID-19 akut. Karena itu, mereka
menyimpulkan bahwa MSC akan aman dan efektif untuk dirawat pasien dengan pneumonia
COVID19, terutama untuk pasien dengan kondisi yang sangat akut.8

Nanobodies dalam melawan COVID-19

Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Kentucky menggunakan antibodi


khusus yang dibuat oleh alpaka, yang disebut nanobodies, untuk membantu memahami
coronavirus baru dan berpotensi mengembangkan pengobatan yang dapat melindungi orang
dari infeksi. Nanobodi adalah jenis antibodi yang lebih kecil dan lebih stabil yang diambil
dari sistem kekebalan unta - termasuk unta, llama, dan alpaka. Nanobodi bisa lebih efektif
melawan penyakit karena ukurannya yang kecil memberi mereka kemampuan untuk masuk
ke dalam ruang pada protein virus yang sulit ditembus oleh antibodi biasa. Nanobodi cukup
kecil untuk mengakses kantong kecil pada protein lonjakan SARS-CoV-2, yang merupakan
bagian dari virus yang menempel pada sel inang. Sebuah nanobody yang dapat memblokir
pengikatan protein lonjakan ke reseptor selulernya bisa menjadi pengobatan yang efektif
untuk COVID-19.9

Trio alpaka telah diimunisasi dengan protein terisolasi dari SARS-CoV-2 dan
kemudian para peneliti mengumpulkan sampel darah mereka yang mengandung nanobodi
yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh mereka. Di laboratorium, nanobodi diekstraksi,
diuji, dan direproduksi pada skala yang lebih besar untuk digunakan dalam penelitian dan
untuk pengembangan terapi. Nanobodi pengikat virus dari alpacas dapat memberikan
kekebalan pasif pada manusia dan dengan demikian membantu melawan infeksi SARSCoV-
2.9
Nanobodi memiliki banyak kualitas yang membuatnya ideal untuk pengembangan
terapi, terutama untuk COVID-19. Mereka kecil dan stabil, membuatnya lebih mudah untuk
dimanipulasi, dan mereka dapat diproduksi lebih cepat dan dalam jumlah besar dengan biaya
rendah. Mereka juga mudah ditoleransi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dan berpotensi
terhirup untuk pengiriman cepat ke paru-paru. Mengingat sifat khusus mereka, nanobodi
bukanlah hal baru untuk memerangi penyakit, dengan para peneliti - termasuk yang di Inggris
- menyelidiki potensi mereka melawan HIV dan virus lain selama bertahun-tahun. Tim
Inggris, termasuk Martin Chow dan Craig Vander Kooi bersama dengan Hersh dan
Whiteheart, telah menunjukkan bahwa alpaka memproduksi antibodi terhadap protein
lonjakan SARS-CoV-2, dan mengantisipasi memiliki nanobodi dalam beberapa minggu ke
depan. Mereka kemudian akan mulai menguji nanobodies ini sebagai agen terapi dengan
menguji kemampuan mereka untuk mencegah SARS-CoV-2 dari berinteraksi dengan sel-sel
targetnya.9

Lektin Legum : Potensi Penggunaan Sebagai Diagnosa dan Terapi terhadap Kanker

Lektin legum adalah protein pengikat karbohidrat dan didistribusikan secara luas
dalam berbagai spesies tanaman dan telah meningkat dalam pengobatan kanker. Saat ini,
lektin telah dipelajari sebagai biomarker yang berpotensial untuk meningkatkan kepentingan
dalam penelitian kanker. Beberapa tumbuhan lektin telah terbukti menghancurkan sel-sel
kanker sehingga menunjukkan potensi biologis dalam perawatan kanker. Laporan
menyarankan bahwa pengikatan lektin menmpel pada permukan sel-sel kanker yang
berspekulasi secara histokimia in vitro dan in vivo. Dalam penelitian ini, kami menjelaskan
kegunaan lektin legum sebagai sumber alami untuk pengobatan dan diagnostik melawan
kanker.10

Aktivitas biologis dari tumbuhan lektin dapat digunakan sebagai anti virus, anti
jamur, mitogenik dan sebagai anti kanker. Lektin dapat menyebabkan kematian sel kanker
dengan menargetkan jalur kematian sel tersebut, sehingga dipertimbangkan sebagai agent anti
kanker untuk pengobatan kanker di masa depan. Penelitian sebelumnya meneliti bahwa
tanaman lektin mempunyai kandungan anti-proliferatif dan aktivitas apoptosis-inducing
dalam keanekaragaman turunan sel-sel kanker. Lektin dapat digunakan sebagai “surface
markers” sel di histokimia melalui penyatuan dengan sel neoplastik via in vivo. Lektin juga
dapat mempertahankan aktivitas anti tumor secara mekanistik dengan menutup liposome dan
mengurangi kemungkinan terjadinya toxisitas hati; target utama dalam pengobatan kanker.
Lektin legumen merupakan salah satu dari pelbagai jenis tanaman jenis lektin yang diteliti
karena interaksi spesifiknya pada protein dan karbohidrat. Penelitian menunjukkan bahwa
keuntungan utama dari lektin terletak pada aplikasi mereka sebagai agen anti-tumor yang
secara spesifik mengikat sel kanker (Ueno et al. 2000). Selanjutnya ada pelbagai jenis lektin
yang secara ilmiah sudah terbukti dalam menangani penyakit kanker (lentil, soybean, dan
lain-lain).10
Lektin biasanya digunakan untuk aglutinasi sel dan darah, analisis pemisahan sel,
pengidentifikasian bakteri, pembunuhan sel tumor, proses mitogenesis sel dan lain-lain. Sifat
alami dari lektin ini menyebabkan hal itu dapat berguna untuk administrasi secara oral dan
bukan dengan intravena. Hal ini dianggap sebagai salah satu kerugian terbesar dari lektin
yang menunjukkan bahwa adanya reaksi imunogenik dan proses penyatuan selama
pengadministrasian intravena tersebut. Penelitian lektin selanjutnya sebaiknya difokuskan
pada asosiasinya terhadap perkembangan obat-obatan dan untuk peran bertahan dalam
program pemuliaan tanaman (crop-breeding). Lektin yang bersumber dari tanaman dan
hewan-hewan liar menunjukkan adanya potensial yang berlebihan pada terapi kanker di masa
depan. Penelitian ini telah menemukan khasiat yang kuat pada anti-kanker pada pelbagai
macam jenis lektin yang telah dijelaskan dalam review kali ini.10
Penelitian ini berbicara mengenai review lektin, khususnya lektin legum yang secara
ilmiah sudah terbukti dalam menangani atau mengobati penyakit kanker. Protein pengikat
karbohidrat ini sudah didistribusikan secara luas dan memiliki pelbagai macam jenis.
Penelitian ini menjelaskan bagaimana lektin mengobati kanker dengan menargetkan jalur
kematian sel dan juga menjadi salah satu agen anti-tumor. Agen anti-tumor ini kemudian
secara spesifik mengikat sel anti-kanker. Selain itu lektin ini juga dapat digunakan sebagai
aglutinasi sel dan darah. Namun, adapun beberapa kelemahan yang ada di dalam lektin, yakni
lektin ini tidak atau belum bisa diadministrasikan secara intravena, hanya secara oral.
Penelitian ini berfungsi atau bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca
mengenai khasiat lektin dalam mengobati penyakit kanker. Penelitian ini merupakan
penelitian review sehingga banyak sekali bukti-bukti yang sudah terjadi dalam
mengkonfirmasikan sembuh atau tidaknya pasien penyakit kanker ini dengan menggunakan
lektin. Selain itu ada pelbagai macam jenis lektin yang bisa digunakan. Dengan adanya
penelitian ini, diharapkan semakin banyak lagi pasien penyakit kanker dan/atau tumor yang
sembuh dengan menggunakan pengobatan lektin.10
Peran Myeloperoxide pada Modifikasi Biomolekular, Penyakit Kronik Inflamasi
Myeloperoxidase (MPO) merupakan elemen penting dalam sistem imun dan
dilepaskan oleh neutrofil untuk menyediakan pertahanan terhadap serangan patogen. MPO
menghasilkan hypochlorous acid (HOCI) yang dapat membunuh bakteri, patogen, dan
mikroba. Namun, MPO juga mendorong perkembangan pelbagai macam patologi inflamasi
kronis seperti atherosclerosis, penyakit saraf (degeneratif), kanker, arthritis, dan lain-lain
yang secara global bertanggung jawab untuk tingkat kematian dan morbiditas pasien. HOCI
diproduksi dalam kondisi fisiologi dan patologi tertentu, sebagai bukti adanya deteksi
biomarker chlorinated, secara khusus Cl-Tyr, cairan inflamasi.11
Penyakit-penyakit yang terasosiasi dengan Myeloperoxidase adalah sebagai berikut:
kardiovaskular (disfungsi vaskular, hipertensi, dan lain-lain), degeneratif saraf (Alzheimer,
Parkinson, Stroke), ginjal (kronis), pernafasan (asma, dan lain-lain), dan penyakit lainnya
(Rheumatoid Arthritis, Penyakit Autoimun, Diabetes tipe 2, dan lain-lain). Keterlibatan MPO
di segi patologis disimpulkan oleh adanya peningkatan level enzim atau biomarkers dari
HOCI dalam sistem sirkulasi, cairan inflamasi, cairan urin, dan lain-lain. Penelitian terkini
membuktikan bahwa penggunaan MPO meningkatkan rusaknya daerah otak (degenerasi
neuron) pada pasien Alzheimer dan Parkinson.11
Bukti-bukti yang mendukung adanya peran dari oxidant Myeloperoxidase, secara
khusus HOCI menyebabkan timbulnya perkembangan terhadap proses inflamasi patologis.
Bagaimanapun, sampai saat ini, masih terdapat kesenjangan yang cukup signifikan terhadap
pengetahuan akan jaringan yang terinflamasi akibat mekanisme MPO. Penelitian selanjutnya
juga menggangap bahwa pola dan konsentrasi oksidan yang terbentuk dari MPO ini
dipengaruhi kondisi fisiologis, patologis dan bagaimana hal ini dipengaruhi oleh perbedaan
tingkat anion dan zat-zat lain. Keterangan-keterangan akan peran dari MPO pada pelbagai
macam patologi manusia juga mencetuskan minat yang besar pada perkembangan dan
penggunaan inhibitor dari MPO itu sendiri. Namun, dampak dari penggunaan inhibitor
jangka panjang pada sistem imun merupakan suatu masalah yang perlu diteliti dan sampai
saat ini belum dinilai secara pasti. Maka dari itu penelitian selanjutnya diharapkan dapat
menilai efisiensi dan konsekuensi dari MPO dan HOCI pada khususnya.11
Penelitian ini tentang Myeloperoxidase (MPO) di mana itu merupakan elemen penting
dalam sistem kekebalan tubuh seperti berfungsi untuk membunuh mikroba, bakteri, virus, dan
sebagainya. Namun terdapat pelbagai macam efek samping yang terjadi ketika digunakan
yakni penyakit inflamasi kronis, seperti atherosclerosis, penyakit saraf dan sebagainya
sehingga hal itu pun secara tidak langsung mempengaruhi atau meningkatkan tingkat
kematian dan morbiditas pasien. Peneliti-peneliti sedang berusaha untuk menciptakan suatu
hambatan (inhibitor) untuk meredam efek samping dari penggunaan MPO ini namun efek
samping dari penggunaan inhibitor jangka panjang ini masih belum dapat diketahui secara
pasti. Penelitian ini berfungsi atau bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada
pembaca akan kegunaan dan efek samping dari Myeloperoxidase (MPO) ini sehingga
diharapkan pembaca menjadi lebih sadar akan hal tersebut.11
III. Kesimpulan

Investasi pada penelitian biomedical merupakan sebuah investasi jangka panjang baik
dalam pencegahan dini sebuah penyakit, sebagai alat diagnosis, dan hingga terapi penyakit
hal ini mampu meningkatkan daya saing antar negara. Karena peningkatan mutu kesehatan
merupakan hal yang selalu menjadi focus setiap tahunnya di negara manapun. Sehingga perlu
juga adanya pengembangan dalam dunia Teknik terutama dalam teknis medis yaitu dalam
membantu kemudahan para praktisi kesehatan dan perkembangan penelitian biomedis
merupakan harapan terapi di masa depan dan mungkin akan menggeser paradigma
pengobatan dari terapi kimia konvensional ke arah terapi menggunakan sel atau
biomolecular.

IV. Daftar Pustaka


1. Chloros G, Civil I, Gnnoudis P. The Future of Medical Publication as We Move
Towards the Second Half of the 21st Century. Elsevier. 2020 : h. 1-3.
2. Geenhalgh T, Ovseiko P, Fahy N. Maximising value from a United Kingdom
Biomedical Research Centre: Study Protocol. Health Research Policy and System.
2017; (15-70): h. 1-17
3. Fan An, Yueyang Qu, Xianming Liu, Runtao Zhong and Yong Luo. Organ-on-a-
Chip: New Platform for Biological Analysis. July 17, 2015. Libertas Academica.
4. Rimantas Kodzius, Frank SchulzeD , Xinghua Gao and Marlon R. Schneider. Organ-
on-Chip Technology: Current State and Future Developments. 11 October 2017.
Genes
5. Marinke W van der Helm, Andries D van der Meer, Jan C T Eijkel, Albert van den
Berg & Loes I Segerink. Microfluidic organ-on-chip technology for bloodbrain
barrier research. 16 Mar 2016. https://doi.org/10.1080/21688370.2016.1142493
6. Minxing Y, Dian Fu M, Yi ren M. Treatment with Convalescent Plasma for Covid-19
in Wuhan, China. Journal of Medical Virology Wiley. 2020, April, 13: h. 1-13.
7. Golchin A, Seyeddjafari E, Ardenshiryljimi A. Mesenchymal Stem Cell Therapy for
COVID-19: Present or Future. Stem Cell Rev and Rep.2020; (16): h. 427-433.
8. Atluri S, Manchikanti L, Joshua A. Expanded Umbilical Cord Mesenchymal Cells
(UC-MSCS) as a Therapeutic Strategy in Managing Critically Ill COVID-19 Patients:
The Case for Compassionate Use, Pain Physician. 2020; (23): h.71-83.
9. Center for Clinical and Translational Science. Alpacas could be the Secret Weapon
Againts COVID-19. Diunduh dari https://www.ccts.uky.edu/news/alpacas-could-be-
secret-weapon-against-covid-19 tanggal 4 July 2020.
10. A. K. Gautam, N. Shrivastava, B. Sharma, S.S. Bhagyawant, Current scenario of
legume lectins and their practical applications, J. Crop Sci. Biotech. 2018; 21: 217–
227.
11. Choi DC, Pennathur S, Perier C, Tieu K, Teismann P, Wu DC, Jackson-Lewis V, Vila
M, Vonsattel JP, Heinecke JW, and Przedborski S. Ablation of the inflammatory
enzyme myeloperoxidase mitigates features of Phh4arkinson’s disease in mice. J
Neurosci. 2005; 25: 6594–6600

Anda mungkin juga menyukai