Anda di halaman 1dari 146

Penyunting:

I Nengah Budiasa
Ida Bagus Ketut Maha Indra
I Made Purwa
I Made Subandia
Fuji Retno Hardiningtyas

BALAI BAHASA PROVINSI BALI


2014
SEPOTONG KAYU
DI PELUKAN SENJA
Kumpulan Cerpen Pemenang Lomba

Penyunting :
I Nengah Budiasa
Ida Bagus Ketut Maha Indra
I Made Purwa
I Made Subandia
Fuji Retno Hardiningtyas

Tata Rupa :
I Nyoman Argawa

Penerbit :
Balai Bahasa Provinsi Bali
Jl. Trengguli I No. 34, Tembau Denpasar 80238
Telepon: 0361 461714
Facsimile: 0361 462656
Pos-el: balaibahasa_denpasar@yahoo.co.id
Laman:www.balaibahasabali.com

Cetakan: 2014

ISBN: 978-979-069-190-2

ii
SAMBUTAN

Menggairahkan minat menulis di kalangan pelajar perlu dicari-


kan solusinya, karena tidak sedikit di antara mereka yang memiliki bakat
dan minat di bidang menulis karya sastra akantetapi arena sebagai ajang
kontes bagi karya-karya mereka tidak banyak tersedia.
Balai Bahasa Provinsi Bali yang salah satu tugas pokok dan fung-
sinya melakukan pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra In-
donesia dan daerah, tentu berkewajiban mendorong pertumbuhan minat
menulis atau mencipta karya sastra cerpen dari kalangan para pelajar di
wilayah kerjanya. Untuk itu, Balai Bahasa Provinsi Bali telah menyeleng-
garakan lomba “Penulisan Cerita Pendek Berbahasa Indonesia Siswa
SMA dan SMK Se-Bali” pada tahun 2012, 2013, dan 2014. Para siswa dan
siswi peserta lomba sebanyak 52 peserta (2012), 91 peserta (2013) dan 33
peserta (2014), berdasarkan atas penilaian dewan juri ditetapkan 18 buah
karya cerpen pemenang dari tiga kali penyelenggaraan lomba, masing-
masing sebagai pemenang I,II, dan III, serta harapan I,II, dan III.
Eksistensi cerpen buah karya para cerpenis pemula dari kalangan
pelajar tingkat SMA dan SMK, sudah sepatutnya memperoleh apresia-
si.Dalam rangka itu, Balai Bahasa Provinsi Bali berupaya menerbitkan
karya-karya mereka dalam bentuk buku.Saya berharap semoga buku
kumpulan cerpen yang memuat karya cerpen para siswa-siswi SMA dan
SMK ini dapat memperkaya khazanah sastra di Indonesia serta dapat
meningkatkan apresiasi sastra di kalangan masyarakat.

Denpasar, Oktober 2014

Drs. I Wayan Tama, M.Hum.


Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali

iii
EDITORIAL

Umumnya orang memahami bahwa cerita pendek adalah suatu


bentuk proses naratif fiktif. Berbicara tentang cerita pendek cenderung
padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya fiksi lain yang
lebih panjang, seperti novela (dalam pengertian modern), novel, dan dra-
ma. Karena singkatnya, cerita pendek sukses mengandalkan teknik-tek-
nik sastra, seperti tokoh, plot, tema, gaya bahasa, dan latar secara lebih
luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.
Buku ini merupakan antologi cerpen dari para pemenang sayem-
bara “Penulisan Cerita Pendek Berbahasa Indonesia Siswa SMA dan
SMK Se-Bali Tahun 2012, 2013, dan 2014” yang diselenggarakan oleh Ba-
lai Bahasa Provinsi Bali. Dari ajang lomba cerpen tahun 2012 yang diikuti
52 peserta ditetapkan 6 buah cerpen pemenang: I. Cetik Wayah oleh Ni
Komang Putri Krisna Dewi (SMKN 3, Singaraja); II. Tak Semanis Tuak
oleh Ni Made Kristi Dwipitha Sari (SMAN 1, Melaya); III. Kidung oleh
Galang Riang Gempita (SMAN 2, Amlapura). Harapan I, Pesugihan oleh I
Komang Joko Suprianto (SMKN 1, Abang, Amlapura); Harapan II, Kema-
tian I Sumer oleh Ni Nyoman Ari Sancita Dewi (SMA PGRI 1, Amlapura);
dan harapan III, Sepotong Kayu di Pelukan Senja oleh Putu Henny Prahari
(SMAN 1 Banjar, Buleleng). Kuantitas peserta lomba mengalami pening-
katan pada ajang lomba tahun 2013, yakni 91 peserta dengan karya cer-
pen sebanyak 106 judul. Perbedaan jumlah perserta dengan judul cerpen
ini terjadi karena ada peserta yang menyertakan beberapa karya cerpen-
nya dalam ajang lomba kali ini. Keputusan dewan juri menetapkan pe-
menang I adalah karya cerpen berjudul Masatia oleh Galang Riang Gem-
pita (SMAN 2, Amlapura); II. Cahaya Hijau Seusai Perang oleh Ni Ptu San-
thi Widiastuti (SMAN 2, Semarapura); III. Harapan dalam Senja oleh Luh
Hias Widiasih (SMA Dwijendra, Denpasar); Harapan I, Bekapan
Singkatoleh Anik Alifiani (SMAN 4, Denpasar); Harapan II, Obituari Biru
oleh Virga Dwi Efendi (SMAN 7, Denpasar); Harapan III, Cahaya Kunang-
kunang oleh Ni Luh Putu Triyana Aidayanti (SMKN 1, Denpasar). Ajang

iv
lomba penulisan cerpen tahun 2014, diikuti oleh 33 peserta. Ini berarti se-
cara kuantitas mengalami penurunan. Enam buah karya cerpen yang di-
tetapkan sebagai pemenang oleh dewan juri masih didominasi oleh para
siswi, seperti ajang lomba tahun sebelumnya. Karya cerpen pemenang
dimaksud adalah: I. Pancaran Lampion oleh Ni Made Suwijati (SMAN Bali
Mandara, Singaraja); II. Elegi Debu oleh Ni Putu Ayu Sandriani; III. Dewa-
ku dari Omed-Omedan oleh I Wayan Juniartawan (SMAN Bali Mandara,
Singaraja); Harapan I, Dia dalam Nyentana oleh Kadek Ayu Lestari
(SMAN Bali Mandara, Singaraja); Harapan II, Si Miskin dan Sang Presiden
oleh I Gusti Ayu Lingga Pertiwi; Harapan III, Lembayung Bumi oleh Ade
Yuni Elma Warmas (SMKN 1, Singaraja).
Buku Antologi cerpen ini memuat delapan belas karya cerpen pe-
menang sayembara. Cerpen-cerpen ini mengangkat pesona dan kearifan
lokal Bali, eksplorasi nilai budaya, dan piranti sosial menjadi satu ke-
kuatan yang utuh. Nilai sebuah cerita hasil sayembara ini kiranya men-
jadi benang merah yang menyatukan semua cerpen yang dihadirkan da-
lam pembuatan antologi. Nilai kemanusiaan dan tatanan sosial yang ter-
gerus kemodernitasan terhadap kehiduapan di Bali merupakan hal yang
patut dihargai. Semoga nilai yang agung tidak terlupakan dengan keha-
diran cerpen-cerpen ini. Zaman kian berubah, tuduhan tanpa dasar, tra-
disi yang kuat, dan penyakit mematikan seperti AIDS bisa terjadi kepada
siapa saja. Demi kepentingan sendiri, orang dapat menghancurkan orang
lain tanpa melihat dengan jeli kesalahan apa yang telah diperbuat. Kon-
disi ini tergambar dalam cerpen “Cetik Wayah” karya Ni Komang Putri
Krisna Dewi. Kalimat “Arya hanya kebingunan mendengarkan tuduhan-tu-
duhan yang diacungkan untuknya. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa. Lagi pula
ia tidak pernah menaruh cetik pada makanan seperti yang dituduhkan.” Kalimat
tersebut menggambarkan kondisi masyarakat yang masih kehilangan ra-
sa dan perasaan untuk memerangi fitnah yang seharusnya dapat disele-
saikan dengan baik, justru menjadi polemik perbedaan di masyarakat.
Cerpen-cerpen dalam buku ini juga mengungkapkan sisi tersem-
bunyi suatu dearah, yaitu Bali. Antologi cerpen ini, secara garis besar
mengungkapkan tema menarik seputar kebiasaan dan kearifan lokal ma-

v
syarakat Bali. Produk budaya Bali, seperti tradisi, adat-istiadat, upacara
keagamaan, wangsa, dan cinta banyak diceritakan dalam cerpen-cerpen
di buku ini.
Cerpen “Dia dalam Nyentana” (Kadek Ayu Lestari) bercerita ten-
tang seorang lelaki yang merelakan diri beralih status meneruskan garis
keturunan mertua (pihak istri). Tidak jauh berbeda dengan cerpen
“Dewaku dari Omed-Omedan” (I Wayan Juniartawan) menceritakan tra-
disi khas bagi pemuda-pemudi Banjar Kaja, Desa Sesetan yang dikemas
utuh dalam pertemuan kisah cinta Laras dan Dewa.Bahkan, cerpen ber-
judul “Masatia” (Gallang Riang Gempita) bercerita bagaimana manusia
kembali ke surga dengan pasti melewati serangkaian upacara untuk me-
nuju ke nirwana. Yang pasti, cerpen-cerpen ini penuh dengan ide
cemerlang tentang tradisi di Bali.
Antologi cerpen ini memberikan sentuhan lengkap tentang Bali
dan kehidupannya. Cerpen ini pun merupakan kamufalse terhadap ke-
adaan masyarakat Bali sekaligus memberikan contoh tentang kearifan lo-
kal, seperti tolong-menolong, sikap menghargai, berbakti, dan kesetiaan.
Semuanya dibungkus dengan rapi dalam sebuah pesona pemandangan
dan deskripsi indah dalam cerpen ini.
Kelebihan antologi cerpen ini adalah penceritaan yang unik dan
beragamnya ide cerita yang dihadirkan oleh para penulisnya. Sebagai
penulis mula, mereka sangat cerdik menuliskan ceritanya dengan bahasa
yang baik sehingga enak untuk dibaca. Beberapa cerpen disuguhkan de-
ngan gaya realisme, sebagian dengan gaya naturalisme, bahkan idealis-
me kuat yang mampu menghubungkan unsur prosa dalam satu cerpen.
Cerpen lain tidak kalah menariknya, yaitu memasukan istilah-istilah lo-
kal tanpa mengurangi tendensi kaedah bahasa Indonesia.
Para penulis cerpen ini, secara umum dapat menceritakan cer-
pennya dengan runtut. Meskipun ada beberapa kesalahan teknis, seperti
salah ketik dan kekurangtahuan kebakuan kata, buku ini tetap layak di-
baca dan dipublikasikan. Pemilihan karya yang hebat dalam antologi
cerpen ini diharapkan memberikan kontribusi berkelanjutan bagi peserta
penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali.

vi
Buku ini terdiri atas delapan belas cerpen yang ditulis oleh pe-
nulis yang berbeda. Perbedaan tema ini mengangkat kearifan lokal Bali
dan menyuguhkan nilai yang dirangkai menjadi benang merah yang
membuat cerpen-cerpen ini saling terhubung dan melengkapi. Penerbit-
an antologi cerpen ini sekaligus memperkenalkan penulis pemula untuk
memperkenalkan diri kepada masyarakat. Yang terpenting adalah upaya
Balai Bahasa Provinsi Bali menumbuhkembangkan semangat bagi gene-
rasi muda untuk menghidupkan budaya daerah dalam kancah sastra
Indonesia.

Editor

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................... i


SAMBUTAN ................................................................................. iii
EDITORIAL................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................. viii

1. Cetik Wayah ........................................................................... 1—7


Ni Komang Putri Krisna Dewi

2. Tak Semanis Tuak .................................................................. 8—14


Ni Made Kristi Dwinitha Sari

3. Kidung..................................................................................... 15—21
Galang Riang Gempita

4. Pesugihan................................................................................ 22—30
I Komang Joko Suprianto

5. Kematian I Sumer ................................................................... 31—35


Ni Nyoman Ari Sancitadewi

6. Sepotong Kayu di Pelukan Senja .......................................... 36—43


Putu Henny Prahari

7. Masatia .................................................................................... 44—49


Gallang Riang Gempita

8. Cahaya Hijau Seusai Perang.................................................. 50—58


Ni Putu Santhi Widiastuti

viii
9. Harapan Dalam Senja ............................................................ 59—66
Luh Hias Widiasih

10. Bekapan Singkat ..................................................................... 67—75


Anik Alifiani

11. Obituari Biru ........................................................................... 76—83


Virga Dwi Efendi

12. Cahaya Kunang-Kunang ....................................................... 84—91


Ni Luh Putu Triyana Adayanti

13. Pancaran Lampion ................................................................. 92—98


Ni Putu Suwijati

14. Elegi Debu............................................................................... 99—107


Ni Putu Ayu Sandriani

15. Dewaku dari Omed-Omedan................................................... 108—115


I Wayan Juniartawan

16. Dia dalam Nyentana................................................................ 116—123


Kadek Ayu Lestari

17. Si Miskin dan Sang Presiden ................................................. 124—129


I Gusti Ayu Lingga Pertiwi

18. Lembayung Bumi ................................................................... 130—136


Ade Yoni Elma Warmias

ix
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

CETIK WAYAH
Ni Komang Putri Krisna Dewi

Arya diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru kontrak pe-


merintah daerah karena pemerintah sudah tidak bisa lagi menggajinya.
Baju-baju seragamnya disimpan baik-baik lalu meninggalkan kota ke-
lahirannya dengan berbagai harapan yang lebih baik dengan tabungan
seadanya.
***
“Eh, Arya, tega sekali kamu melakukan ini pada penduduk desa,
ya? Apa salah kami padamu? Kenapa kau tega melakukan ini?”
“Apa yang saya perbuat? Saya merasa tidak pernah berbuat hal
merugikan di desa ini.” kata laki-laki bermata yang kisut.
“Alah, maling mana ada yang mengaku. Kamu tahu! Karena ulah-
mu, banyak anak yang mati. Bukan hanya anak-anak, orang tua pun
banyak yang sakit. Sejak kamu datang ke desa ini dan berdagang di sini,
keadaan desa ini yang tentram menjadi berantakan.”
“Betul itu. Kamu pasti mengisi cetik pada makanan yang kamu jual
sehingga warga desa ini menjadi banyak yang sakit. Mengaku sajalah.
Sudah banyak buktinya.”
Arya hanya kebingungan mendengarkan tuduhan-tuduhan yang
diacungkan untuknya. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa. Lagi pula ia
tidak pernah menaruh cetik pada makanan seperti yang dituduhkan.
Arya mulai membela diri karena ia merasa dipojokkan. Wajahnya
memerah dan mencoba mengendorkan mata supaya bisa mendelik.
“Usir saja dia, kemudian bakar rumahnya. Sekalian dengan isi-

1
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
nya!” kata salah seorang bapak.
“Setuju! Bakar saja! Usir saja!” sahut yang lain.
Arya hanya dapat tertunduk lemas. Dia tidak tahu harus bicara
apa pada warga desa. Amukan warga desa ini dimulai dari kejadian
malam itu.
Malam itu suasana desa sudah mulai sunyi. Tidak ada lagi suara-
suara gaduh seperti yang terdengar ketika siang hari. Namun, teriakan
seorang wanita dari salah satu gubuk di tengah desa itu membuyarkan
semua kesunyian dan ketenangan itu.
“Tolong! Tolong! Siapa saja tolong kami!” teriak Men Warti di
dalam sunyi. Namun, tak seorang pun datang menolongnya. Penduduk
lain seakan menutup kuping.
“Tolong! Saya mohon selamatkan anakku!” teriakan itu kembali
terdengar. Kini bukan hanya suara seorang wanita, sang suami pun mu-
lai berteriak. Setelah sekian lama barulah seorang pria paruh baya keluar
dari gubuk yang tidak jauh dari rumah Men Warti dan beberapa warga
lain pun mulai berkumpul mengitari gubuk kecil itu.
“Ada apa Men Warti. Ini sudah malam, kenapa berteriak seperti
itu?” Tanya pria itu.
“Tolong anak saya, Pak Kelian. Anak saya sakit. Awalnya dia tidak
nafsu makan selama dua minggu. Lantas, dia kejang-kejang Pak Kelian.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Tolong kami,” katanya.
“Tapi di mana ada dokter malam-malam begini? Lagi pula jarak
kota dengan desa kita cukup jauh dan dokter hanya ada di kota,” sahut
pria yang merupakan kelian desa tersebut.
“Tapi Pak Kelian, anak saya harus ditolong. Saya tidak mau Si Beni
mati lagi seperti kakaknya.”
“Kita bawa saja ke tempat Pan Regeg. Pak Kelian. Dia sudah lama
menjadi Balian. Ya, siapa tahu dia bisa menolongnya,” sahut salah
seorang pria.
Setelah melalui kepanikan dan keimbangan, mata-mata di malam
buta itu terhenti berkedip, lalu secara bersamaan berkedip seolah telah
sepakat.

2
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Baiklah. Gendong si Beni. Kita ke rumah Pan Regeg sekarang”
kata kelian itu menginstruksikan kepada Men Warti dan suaminya.
Mereka pun beranjak menuju rumah Pan Regeg.
Rumah Pan Regeg berada di ujung desa. Rumahnya cukup
sederhana. Dindingnya terbuat dari bedeg dan atapnya terbuat dari
genteng yang mulai menjadi tempat hidup bagi lumut. Namun, suasana
rumah itu sangat sunyi. Wajar saja karena orang yang tinggal di rumah
itu hanya Pan Regeg seorang. Istrinya telah lama mati dan sejak itulah
mulai tersiar kabar bahwa Pan Regeg dapat mengobati berbagai macam
penyakit sehingga ia mendapat predikat sebagai balian.
Beni telah sampai di rumah balian. Tak lama setelah itu, pintu kayu
di depan mereka pun terbuka. Pan Regeg berdiri sambil tangannya me-
megang sebatang dupa yang belum menyala.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tolong anakku, Jero. Dia kejang-kejang. Tadi muntah, Jero. Lihat-
lah rambutnya rontok dalam sehari,” kata Men Warti sambil menangis.
“Bawa dia masuk. Tunggulah sebentar. Saya akan menyiapkan
semuanya dulu,” kata Pan Regeg.
Mereka pun membawa Si Beni masuk dan mendudukkannya di
kursi kayu di sudut ruangan. Ruangan tampak gelap. Hanya sebuah lilin
yang menjadi sumber cahaya di ruangan itu. Pan Regeg tampak serius
menyiapkan alat-alatnya seperti dupa, kemenyan dan canang serta air.
Tak beberapa lama kemudian, dia mengisyaratkan agar Beni dibawa
mendekat ke arahnya.
Pan Regeg mulai membaca beberapa kalimat. Bibirnya komat-
kamit sedang tangannya mulai sibuk memercikkan air ke wajah anak
kecil di depannya. Matanya terpejam dan dahinya sedikit mengkerut.
Kemudian, ia membuka mata dan dengan suara yang berat ia mulai
berkata pada seisi rumah itu.
“Ia terkena cetik,” katanya singkat.
“Bagaimana bisa, Jero?”
“Mungkin saja ia pernah memakan sesuatu yang berisi cetik itu.”
“Apa pagi ini kamu memakan makanan di luar rumah, nak?” kata

3
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Men Warti kepada anaknya.
“Saya tidak nafsu makan sudah beberapa minggu. Setiap hari saya
hanya berbelanja di warung De Arya” sahut anaknya.
“Apa mungkin si Arya yang melakukannya Jero?”
“Saya tidak tahu itu” kata Pan Regeg seraya menyerahkan sebotol
air yang berisi bunga untuk diminum oleh Beni. Mereka pun beranjak
meninggalkan rumah tersebut dan berjalan menuju rumah masing-
masing.
“Bagaimana menurut Pak Kelian?” Tanya Men Warti kepada
kelian desa itu ketika mereka hendak pulang.
“Saya tidak tahu. Akan tetapi, saya rasa tidak mungkin. Dia kan
orang baru di desa ini. Dia juga pernah menjadi guru di kota besar.
Mana berani dia seperti itu,” kata kelian desa.
“Tapi menurutku justru karena ia orang baru makanya dia berani
seperti itu. Justru karena dia diberhentikan menjadi guru, kita justru
harus curiga dengannya,” sahut Pan Regeg.
“Sudahlah. Kita tidak boleh menduga-duga sebelum menemukan
bukti yang jelas. Sekarang sebaiknya kita pulang ke rumah masing-
masing. Hari sudah mulai gelap,” kata kelian desa. Mereka pun berpisah
dan kembali ke rumah masing-masing.
Sudah seminggu berlalu setelah kejadian malam itu. Namun,
setiap harinya selalu saja ada warga desa yang sakit. Anehnya, warga
desa itu sakit setelah berlangganan di warung Arya. Gosip tentang Arya
yang bisa nyetik pun mulai menyebar.
“Kamu tahu kemarin suaminya Men Rerod meninggal?” kata Pan
Made di bale yang dijadikan pos Kamling oleh warga desa itu.
“Tidak. Bagaimana bisa? Kemarin sia dia masih baik-baik saja,
hanya memang telah beberapa waktu batuknya tidak hilang-hilang,”
sahut seorang bapak yang beruban.
“Itulah anehnya. Katanya dia terkena cetik. Dua hari lalu juga
begitu. Anaknya Men Merdah juga sakit setelah makan di warung Arya.
Setelah dibawa ke balian, katanya terkena cetik juga. Apa kamu tidak me-
rasa ada yang aneh?”

4
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Iya, juga. Mengapa setiap orang yang makan di sana menjadi
sakit? Apa Arya punya cetik”
“Sayang sekali, padahal ada satu dagang di desa kita. Bukanlah se-
mestinya kita bahagia dan Arya juga bahagia kalau dagangannya laku
keras. Kalau semua orang di desa ini kena cetik, siapa yang akan ber-
belanja di warungnya? Kita juga akan sangat kesusahan memenuhi ke-
butuhan makanan kalau warung Arya ditutup. Ada kafe di seberang
sungai dan letaknya terlalu di pinggir desa. Lagi pula aku dengar hanya
buka pada malam hari. Dagangannya juga mahal dan tidak lengkap.
Jadi, aku ingin sekali menyelidiki Arya. Apa kamu tidak pernah melihat
ada sesuatu yang aneh di rumah Arya?”
“Tidak. Yang aku tahu Arya sering menghabiskan waktunya di
rumahnya. Setelah menutup warungnya, ia akan mengunci rapat rumah-
nya dan tidak keluar lagi. Mungkin ia lelah.”
“Tapi kejadian-kejadian ini semua berhubungan dengan Arya.
Orang-orang yang sakit dan meninggal dengan tubuh membusuk terjadi
sejak mereka makan di warung Arya. Mungkin saja benar kalau Arya
menaruh cetik pada makanannya,” kata pria berjenggut itu sambil ber-
pikir serius. Namun, obrolan itu terhenti karena terdengar sebuah
teriakan dari rumah Pan Bogler.
“Tolong! Tolong!” teriaknya sambil sesekali menepuk pahanya.
Warga desa mulai mengerumuni rumah itu.
“Kenapa, Pan Bagler? Ada apa?” Tanya Pak Kelian.
“Istriku, Pak Kelian. Istriku demam tinggi, kakinya tidak bisa
dijalankan. Dia bilang perutnya sakit seperti ada yang membakar.
Bagimana ini, Pak Kelian?”
“Kita bawa saja ke rumah Pan Regeg. Dia pasti bisa mengobati-
nya,” kata seorang pemuda.
“Benar. Ayo, kita bawa ke sana,” kata Pak Kelian yang kemudian
beranjak menuju ke rumah Pan Regeg. Sesampainya di sana, Pan Regeg
langsung melakukan ritual penyembuhan seperti biasanya.
“Apa istrimu pernah makan di warung si Arya?” tanyaPan Made.
“Bagaimana Pan Made tahu? Memang benar, tadi pagi ia makan di

5
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
warung si Arya,” sahut Pan Bagler.
“Berarti tidak salah lagi,” katanya.
“Memangnya kenapa Pan Made?”
“Tidak salah lagi. Pasti Arya pelakunya. Pasti ialah yang menaruh
cetik di dalam makanan yang dijual. Jika bukan begitu, mengapa orang
menjadi sakit, bahkan meninggal setelah makan di warungnya?”
“Betul itu. Ini tidak bisa didiamkan lagi. Terlalu banyak korban
berjatuhan akibat ulah kejamnya. Ini harus ditindak,” kata seorang
bapak.
Semua kejadian ini sudah mengarah kepada Arya. Mereka pun
kemudian berbondong-bondong menuju rumah pemuda bernama Arya
itu.
Sesampainya di rumah Arya, mereka mulai menggedor dan sahut
menyahut memanggil pemuda itu. Kelian desa masih mencoba
menenangkan warganya namun sia-sia. Emosi warga desa sudah tidak
dapat ditahan lagi.
“Keluar kamu Arya! Dasar tukang cetik. Kamu pasti telah mem-
beri cetik wayah pada warga kami! Desa kami tidak mau lagi menerima
tukang cetik seperti kamu. Pergi saja kamu dari desa ini,” kata Pan Made
memelopori. Akhirnya, seorang pria yang berperawakan jangkung pun
keluar dari rumah itu. Itulah pria yang bernama Arya yang dicari oleh
warga desa.
“Ada apa, bapak-bapak?” Tanya Arya polos.
“Tidak! Jangan sok polos seperti itu. Kami sudah muak dengan
tingkah sok baikmu itu. Sekarang kemasilah barang barangmu, lalu
pergilah dari desa ini, sebelum kami bakar kamu hidup-hidup.”
Warga sangat marah. Warga berpendirian kalau cetik-lah satu-satu-
nya penyebab kesakitan yang menewaskan puluhan warga. Kalau pen-
duduk yang kena cetik tidak mati mendadak, maka cetik itu disebut cetik-
wayah/ngreres. Yang sudah kena akan mati pelan-pelan, diawali dengan
tubuh lemas, rambut rontok, kulit tampak gelap, dan ada yang mati
menjijikkan dengan kulit yang berulat. Warga desa hanya tahu kalau di
desa itu hanya Arya yang berjualan makanan. Kalau pun ada kafe di

6
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
pinggir desa, itu hanya buka pada malam hari, barang dagangannya
tidak lengkap, harganya sangat mahal, dan bagi mereka itu harga yang
pantas karena pedagangnya adalah perempuan-perempuan cantik dan
seksi dari kota.
Warga tetap menudingnya sebagai tukang cetik dan Arya hanya
bisa marah, lalu menyangkal. Kalau di kota tempat Arya tinggal,
penyakit yang diderita warga dan membunuh pelan-pelan itu mirip
dengan penyakit HIV/AIDS.
Catatan:
Cetikwayah: racun mematikan yang dibuat dengan mantra magis
dan disebarkan tanpa ada yang tahu. Cetik ini membunuh pelan-pelan.
Balian: dukun

7
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

TAK SEMANIS TUAK


Ni Made Kristi Dwinitha Sari

Senandung merdu binatang malam menemaniku melewati malam


ini. Sesekali mereka saling bersahutan, menciptakan nada-nada indah di
tengah kesendirianku. Aku pun berusaha mencari tahu apa sebenarnya
yang terjadi di luar sana. Kugeser perlahan ruas-ruas anyaman bambu
penyusun dinding kamarku hingga celah yang tercipta mampu meng-
antar indra penglihatanku berada di luar sana. Kuselidiki beberapa saat,
tidak ada dari mereka yang mau menampakkan diri. Mungkin mereka
tidak ingin mendapat pujian langsung dariku. Bahkan, mungkin juga
karena mereka malu memiliki pengagum seperti diriku. Entahlah.
Ibu dan bapakku sepertinya telah larut dalam mimpi, sedangkan
aku justru diikat oleh kekhawatiranku. Sudah hampir dua bulan aku dan
rekan-rekan berseragam putih biru di seluruh negeri ini menunggu
datangnya hari esok. Hari yang hanya akan diwarnai dua hal, ke-
bahagiaan atau kekecewaan. Inilah yang menghalangiku nuntuk meng-
habiskan waktu malamku di alam bawah sadar.
Ada segumpal ketakutan yang menghalangiku menutup kelopak
mata. Akankah selembar kertas berisi pengumuman kelulusan akan
membuat jalanku putus sampai di sini? Atau sebaliknya? Selembar
kertas tersebut akan mengubah hidupku dan keluargaku? Ah, mengapa
aku harus khawatir akan hari esok? Bukankah hari esok memiliki kesu-
sahannya sendiri? Aku harus bersyukur berkah hari ini dan bersyukur
untuk semua yang akan terjadi di hari esok.
********

8
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Masih tergambar jelas di dalam benakku, bagaimana kakiku
gemetar ketika berhadapan dengan papan pengumuman bersama
beberapa temanku. Memang tidak banyak teman-temanku yang datang
ke sekolah hari ini mengingat pengumuman kelulusan dapat dilihat
langsung melalui website sekolah. Dapat dipastikan bahwa kami yang
berada di tempat ini adalah siswa dari keluarga yang belum mampu
menyediakan sarana canggih zaman ini untuk menunjang pendidikan
anak-anaknya. Terkadang aku merasa beruntung tidak memiliki sarana
itu. Setidaknya aku terselamatkan dari godaan untuk copy paste tugas
sekolah yang kudapat di dunia maya.
Kini, amplop telah berada di dalam genggamanku. Aku meng-
hentikan langkahku tepat di depan pintu rumah. Bapak sepertinya
belum pergi ngiris1.
“Om Swastiyastu. Ibu, Bapak, Geg pulang,” ucapku dengan suara
lirih.
“Eh, Geg. Gimana hasil ujiannya? Geg lulus apa tidak?”
“Ibu, Geg, hemm … Geg ….”
“Geg, kenapa, Bu? Tanya Bapak yang datang dari arah dapur dan
melihat wajah anak semata wayangnya yang murung.
“Maaf, …Geg dinyatakan TL,”
“Maksudnya, Geg Tidak Lulus?” Tanya bapak dengan raut wajah
yang sedikit cemas. Kulirik wajah ibu yang tampak sama cemasnya
dengan bapak. Bahkan, ada air mata yang tertahan di kelopak mata ibu.
Wajar saja mereka cemas. Selama ini mereka menaruh harapan besar
agar suatu saat nanti aku dapat mengubah sedikit perekonomian
keluarga kami yang bisa dikatakan jauh dari pada cukup ini.
“Bukan bgitu, Pak. Geg dinyatakan telah lulus dari SMP, Pak,”
jawabku dengan senyum penuh kemenangan seakan baru saja
memenangkan perlombaan tingkat nasional.

1 Istilah untuk aktivitas mengiris bunga kelapa yang berkembang untuk mendapatkan air nira
sebagai bahan baku pembuata gula merah. Cara pengambilan ini juga dikenal dengan istilah
“menyadap”.

9
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Maafkan, Geg, Pak. Geg tidak bermaksud untuk menjahili Bapak
dan Ibu. Geg hanya tidak mendapat kalimat yang tepat untuk
menyampaikan kabar gembira ini,” Ibu dan Bapak saling berpandangan
dan memelukku dengan penuh kasih sayang. Terima kasih, Tuhan.
Ternyata hari ini kau tidak hanya membuatku tersenyum karena hasil
yang boleh aku terima, tetapi juga tersenyum karena kau memberiku
keluarga yang begitu mengasihiku, batinku dalam hati.
Malam ini tak seperti malam kemarin. Malam kemarin aku sangat
cemas untuk menjalani hari esok. Namun, kini aku begitu bersemangat.
Kupelajari beberapa buku tes masuk sekolah menengah atas yang ku-
pinjam di perpustakaan. Satu tangga telah berhasil aku lalui. Kini, aku
harus berjuang untuk menaiki anak tangga selanjunya, tekadku.
Malam ini, setelah makan malam sederhana bersama keluargaku,
aku langsung mengurung diri di kamar. Aku tak mau ada orang lain
yang mengusikku. Termasuk kedua orang tuaku. Dengan penuh
pengertian, mereka pun membiarkan aku menghabiskan malam ini
tanpa dibebani tugas rutinku. Tugasku untuk mencuci jeriken tempat
tuak 2 telah dialihkan kepada ibuku untuk malam ini. Satu lagi nilai
tambah untuk keluarga kecil kami, yakni saling pengertian.
Aku memiliki keluarga yang selalu ada setiap aku membutuhkan.
Kedua orang tuaku dan aku saling membantu menanggung beban
keluarga. Setiap hari, ibu akan bangun pagi-pagi dan membuat kue
bantal, sumping, kelepon, dan kue tradisional lainnya. Ketika aku
berangkat ke sekolah, aku akan menitipkannya di beberapa warung
yang berbaik hati menjualkan kue buatan ibu. Saat pulang sekolah, aku
akan mengambil penghasilan yang kami dapat hari itu.
Aku tinggal di sebuah desa kecil. Beruntung bapak mendapat
tumpangan untuk tingal sekaligus mengolah tuak dari pohon-pohon
kelapanya untuk dijadikan gula merah. Oleh sebab itulah, kami harus
puas akan penghasdilan yang kami dapat. Memang tidak banyak.
Namun, cukup untuk membeli beras. Itulah yang terpenting.

2Air nira
10
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Geg, ayo sarapan dulu,” ucap ibu ketika melihatku telah siap
untuk pergi ke SMA.
“Nggih3, Bu,” jawabku kemudian mengambil makanan yang telah
tersedia di dapur. Hari ini ibu tidak memintaku untuk mengantarkan
kue. Dengan alasan takut terlambat tiba di salah satu SMA negeri ter-
dekat dari rumahku. Hari ini aku akan mengikuti tes untuk masuk SMA.
Aku telah mempersiapkan diriku dengan matang untuk tes ini. Aku
akan berjuang semampuku demi membalas senyuman, cinta, dan kasih
sayang kedua orang tuaku, dan orang-orang di sekitarku. Aku akan
membuktikan bahwa orang pinggiran sepertiku juga mampu untuk
mengubah takdir. Bukan takdir yang mengatur jalan kita, tetapi kita
yang harus mengubah takdir itu.
Kumantapkan kakiku melangkah memasuki gerbang sekolah ber-
cat putih ini besama ratusan siswa yang mungkin juga memiliki tekad
yang sama denganku. Di kecamatanku, hanya ada dua sekolah
menengah atas. Salah satunya adalah sekolah swasta favorit dengan
kocék yang tebal untuk masuk ke sana. Sementara itu, tempat aku
berdiri ini adalah sekolah negeri yang terbebas dari uang gedung dan
uang SPP. Di mana pun kita belajar, asalkan dengan kesungguhan hati,
pasti segala sesuatu yang kita impikan dapat terwujud.
Dengan pakaian, sepatu, dan tas yang sudah berkali-kali di jahit,
aku memasuki ruang kelas yang disediakan untuk tes. Sebelumnya,
kami telah mendapat pengarahan dari salah satu guru yang menjadi
panitia tes yang disebut Tes Potensi Akademis ini. Kelas yang nyaris
terisi penuh ini tak membuatku gentar. Tujuanku ke tempat ini untuk
berjuang menaiki anak tangga kehidupan selanjutnya. Bukan untuk
bersembunyi di anak tangga yang telah berhasil kunaiki dengan susah
payah.
Kulayangkan pandang ke seluruh penjuru kelas. Mata mereka me-
natapku dengan tatapan sinis, seakan aku ini adalah seekor kucing yang
siap diterkam oleh kumpulan anjing-anjing ganas. Tidak ada sedikit pun

3ya

11
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
senyum tampak di wajah mereka. Entah karena tegang mengikuti tes
hari ini atau mereka tidak suka akan kehadiranku. Ah, biarlah. Kini aku
harus berkonsentrasi. Mereka tidak boleh menghalangi jalanku.
Sebenarnya membaca memang tak ada ruginya. Namun, sering ka-
li pembaca yang menyalahgunakan ilmu yang telah didapatkannya.
Berkat membaca, kini aku dapat menjawab soal yang telah di hadapkan
kepadaku. Kulirik jam dinding yang terpasang tepat di atas papan tulis.
Masih ada sedikit waktu untukku mengoreksi kembali apa yang telah
aku kerjakan.
Aku pulang dengan perasaan lega. Kini aku tinggal menunggu
pengumuman yang akan disampaikan minggu depan. Kulihat kepulan
asap keluar dari dapur. Ibu pasti sedang merebus tuak.
“Bu, biar Gegbantu, ya?”
“Geg sudah pulang? Kenapa ibu tidak mendengar Geg mengucap-
kan salam?” Tanya ibu yang terlihat sedikit kaget akan kehadiranku.
“Tadi ketika Geg mengucapkan salam, Geg mendengar ibu sedang
bernyanyi. Mungkin karena itu ibu tidak menyadari kedatangan Geg.”
Memang benar. Ketika aku masuk tadi, ibu sedang bersenandung
kecil. Tampaknya ibu sedang bahagia saat ini. Aku berjalan mendekati
ibu dan mengambil beberapa tempurung kelapa yang ada di dekat ibu.
Tempurung kelapa ini dimanfaatkan untuk mencetak tuak yang telah
kental. Kujajarkan tempurung kelapa itu agar memudahkanku saat me-
nuangkannya.
“Ayo, makan dulu, Geg! Ibu sudah membuat nasi urap kesukaan-
mu,”
“Nggih, Bu,” kataku langsung berjalan menuju meja kecil tempat
makanan disimpan. Jika kami tidak memiliki lauk pauk untuk menema-
ni nasi, ibu pasti akan membuatkan nasi urap. Nasi urap sudah menjadi
menu favorit keluarga kami. Meski hanya nasi yang dicampur dengan
gula merah buatan sendiri serta garam dan kepala parut, rasa nasi ini
sangatlah lezat.
Pengumuman penerimaan siswa baru akan diumumkan hari ini.
Jantungku berdebar tak menentu ketika seluruh peserta TPA dikumpul-

12
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kan di lapangan. Pengarahan yang hanya berlangsung kurang dari lima
menit terasa sangat lama. Tembok kepercayaan dan tekadku yang telah
kubangun berbulan-bulan seakan runtuh dalam waktu sedetik. Aku
tidak menemukan namaku dideretan nama-nama yang terpasang di
papan pengumuman.
Kuteliti kembali dengan lebih saksama. Nihil. Tidak ada nama Ni
Luh Lestari. Kugigit bibir bawahku, berusaha menahan kesedihan yang
tengah asyik main-main di dalam diriku. Apa yang harus aku katakan
pada ibu dan bapak? Aku tidak akan mampu melihat raut wajah mereka
saat mendengar berita ini. Ini sama saja menghancurkan mimpiku dan
keluargaku. Apa jadinya masa depanku nanti? Berbagai pertanyaan
muncul di benakku. Hingga seorang guru datang menghampiriku.
“Kenapa, Nak?” katanya sambil duduk di sebelahku.
“Saya tidak diterima disekolah ini, Pak. Saya telah menghancurkan
mimpi keluarga saya,” kataku sedikit terisak.
“Lihatlah ke ruangan di sebelah timur sana. Di ruangan itu ada
teman-temanmu yang bernasib sama denganmu. Sekarang pergilah ke
sana. Kamu akan mendapat pengarahan lebih lanjut untuk masuk ke
sekolah ini.”
Aku melihat secercah cahaya yang atang menyinariku lagi. Masih
ada sedikit harapan, pikirku. Kemudian aku bangkit dari tempat duduk
menuju ke ruang yang ditunjukkan oleh seorang guru yang akan tak ku-
tahu namanya. Ruangan yang ditunjukkan itu berada di pojok sekolah.
Ruangannya sedikit tertutup. Kuketuk pintu dengan perlahan. Tampak
seorang guru yang pagi tadi memberikan pengarahan di lapangan
sedang berbicara serius dengan beberapa siswa. Setelah di persilakan
masuk, aku duduk di salah satu banku kosong yang ada di belakang.
Kudengarkan baik-baik pengarahan yang diberikan.
“Bagaimana, Geg? Geg di terima di SMA, kan? Tanya ibu ketika me-
nyadari kehadiranku.
“Geg tidak diterima, Bu,” jawabku dengan kepala tertunduk. Aku
tidak tega melihat raut wajah ibuku.
“Geg berbohong, kan? Sama seperti saat Geg menyampaikan hasil

13
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
pengumuman kelulusan?”
“Tidak, Bu. Kali ini Geg tidak berbohong. Geg tidak diterima.” Ku-
paksakan untuk melihat respon yang ibu berikan. Seketika ibu menangis
dan langsung memelukku. Ibu berusaha menghiburku. Meskipun aku
menyadari bahwa ibu juga sangat terpukul. Sebenarnya memang masih
ada cara lain masuk ke sekolah itu. Namun, bagiku itu adalah hal yang
mustahil.
Secercah cahaya tadi telah hilang, kembali menjadi gelap. Uang 1,5
juta tidak sedikit. Di mana aku harus mendapatkannya dalam waktu dua
minggu? Ayahku tidak mungkin memaksa kelapa agar menghasilkan
tuak yang banyak dalam sehari untuk menghasilkan uang. Ibu juga tidak
mampu membuat kue yang banyak kaena terbatasi oleh bahan. Lalu
aku? Apa yang bisa aku lakukan? Apa aku harus mengadu nasib ke kota
untuk mendapatkan uang itu dalam waktu 2 minggu?
“Bapak, apa Geg bisa melanjutkan sekolah tahun ini?” tanyaku be-
gitu melihat bapak yang berdiri terpaku melihat air mata di pipiku dan
ibu. Bapak tidak berkomentar sedikit pun. Sepertinya tidak bisa. Tidak
semua hal di dunia ini bisa semanis tuak yang bapak dapat, pikirku.

14
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

KIDUNG
Galang Riang Gempita

Suara-suara itu mengelilingiku dan mengurungku dalam sebuah


sonata menyayat tentang kematian. Bibir-bibir itu menghukum dengan
nada rendah tinggi, seolah bernapaskan seluruh kenangan yang kucoba
untuk enyahkan. Suara itu seolah terdengar dari seluruh arah, me-
naungiku dengan kengerian. Membuat otakku seolah membesar dan
meledak. Bagaimana pun kucoba untuk mencegah suara itu me-
nyambangi akal sehatku, suara itu selalu menemukan celah untuk
memasuki otakku. Membuatku nyaris gila! Kumohon hentikan!
***
Aku melirik ke bahu kananku. Perempuan itu masih duduk di
sana dengan tatapan kosong. Bibirnya bergetar dan sesekali digigitnya
hingga berdarah. Alisku berkerut. Tubuhnya mulai bergetar. Sejak tadi
aku duduk di sini dan dia datang. Duduk di sisiku dengan diam; seolah
bisu. Ataukah dia memang bisu? Dia tidak berbicara, mungkin men-
dengarkan atau apa. Wajahnya cantik, tetapi wajah cantik itu terbebani,
digantungi sejuta luka terurat yang membuatku bergidik. Bahunya
melorot seperti membawa beban yang tak pernah terangkat.
Aku ingin membuka percakapan antar-perempuan. Ingin me-
nyingkap kabut yang menyelubunginya lalu melihat dan merasakan apa
yang membuatnya begitu luka. Namun, saat akan berusaha menyapa-
nya, lidahku selalu tak mau. Menolak perintahku untuk menyapa gadis
ini. Aku baru akan bangkit dan menyerah pada gadis itu saat dia bersua.
“Kau suka kidung?” tanyanya.

15
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Alisku berkerut makin dalam. “Kidung?” tanyaku meyakinkan.
“Dengar …,” pintanya. Suaranya lembut dan agak cempréng; serak
dan parau.
Aku mendengarkan. Itu suara kidung. Aku diajarkan untuk me-
masrahkan diri pada dunia dan kemauannya. Aku diajari untuk
menerima apa pun yang dunia lakukan padaku. Semenjak awal
menemukan keindahan kidung itu, aku menyukainya. Aku mencintai-
nya, sama seperti kedua perempuan perkasa di rumahku; ibu dan nenek.
Mereka mengajariku bagaimana menempatkan nada-nada melankolis
sehingga terdengar enak dan merdu. Mereka tidak pernah menunjukkan
kemampuan mereka menguasai nada laras kidung, tetapi aku ingin!
Namun, seperti biasa, hidup menghancurkan harapanku. Diferensiasi
kasta pada wilayahku tidak mengizinkan perempuan sudra untuk
menyanyikan lagu yang katanya suci untuk Tuhan. Sementara itu, kami,
para sudra, terlalu kotor untuk itu.
Kugertakkan gigiku. “Aku benci suara itu.”
Dia kali ini benar-benar menoleh padaku. “Kenapa?” tanyanya,
suaranya meninggi. Apakah dia marah? Apakah dia juga mencintai
kidung-kidungan itu?
Aku mengerjapkan mata. “Bukan maksudku menyinggung perasa-
anmu .…”
Dia menggeleng kuat-kuat “Tidak, tidak. Kenapa kau membenci-
nya?” desaknya.
Aku mendesah. “Aku mencintai mereka awalnya. Namun,
diferensiasi ketat tentang kasta di sini membuatku tidak mampu
meraihnya. Aku dianggap terlalu ‘kotor’ sebagai sudra untuk merayu
Tuhan.” Aku mencibir sedikit mengenang alasan itu. Alasan yang
dikemukakan salah satu tetua di wilayah ini; seolah dialah manusia yang
paling suci dan paling layak merayu Tuhan dengan suaranya.
Dia kembali menjadi batu. Aku tak berani membahasnya lagi.
Walau ada rasa perasaan yang mendidih di dalam tubuhku. Aku
memilih diam dan menunggu.
Lalu semuanya terjadi begitu saja. Suara-suara kidungan itu masih

16
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
terdengar. Aku sedang menimang untuk bertanya atau tidak padanya
saat dia mulai menutup telinganya. Wajahnya mengeryit menahan sakit;
air mata merebes dari matanya. Napasnya tersendat-sendat.
“Hei, hei, hei.” Aku mengerjapkan mata ngeri, “Kenapa? Kenapa?”
Aku menyentuh tangannya yang menutup telinganya.
Dia masih menangis. Tangisannya menyayat hati; mengiris-iris
hatiku dengan perlahan. Kukertakan gigiku dan mengusap-usap
bahunya. “Kenapa dia?”
“Siapa saja tolong hentikan suara itu! Kumohon hentikan!”
Otakku tercincang oleh suara-suara itu. Kenangan-kenangan ber-
pedang itu merobekku; kehancuran. Kehampaan. Ketiadaan. Kesendiri-
an. Semuanya datang dari segala arah; mengeroyokku dengan ganasnya.
Membuat napasku sesak, tubuhku beku, dan mati rasa.
Nada-nada itu meninggi; meninggalkan gema-gema mengerikan di
ceruk-ceruk jiwaku yang luka. Semuanya tercincang oleh emosi. Seluruh
emosi yang dikenal maupun tidak dikenal manusia, semuanya hadir.
Hadir untuk menghancurkanku. Nada-nada itu seolah diputar dengan
lambat, membiarkan jiwaku menikmati setiap nada yang terbentuk,
membuat jiwaku melebur. Suara itu membuatku tak sanggup berdiri.
Bahkan, tak sanggup lagi mendengar. Aku ingin menjadi tuli, ingin me-
lakukan apa saja agar bisa mengenyahkan suara itu. Nada itu masih
menggantung di atmosfir dengan nyamannya, dengan kejam dan
anggun. Berdengung-dengung seolah terus menerus mengingatkan
tentang masa lalu. Masa lalu yang sudah kubungkus rapat-rapat dan
siap kubuang, tetapi nada itu membuka bungkusannya. Menaburkannya
di otakku, membuatnya hancur. Busuk.
Sialan! Siapa saja, hentikan!
Suara itu masih ada. Menarikan dirinya di dalam jiwaku.
Menontonku melebur bersama luka. Tubuhku tercabik, tercabik oleh
lukaku sendiri. Luka-luka itu lepas dari kungkungannya karena nada-
nada itu. Aku berusaha menggeliat dari bekapannya. Berusaha berdiri
menjauhinya, sejauh-jauhnya. Akan tetapi, tangan itu kuat, kuat sekali
memeluk tubuhku tanpa celah yan bisa kucongkel untuk mem-

17
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
bebaskanku.
Suara-suara itu mendengung, semakin keras, semakin dalam. Mak-
nanya tidak jelas, sama sekali tidak jelas. Bagiku itu hanya serentetan
lagu tak bermakna. Katanya itu lagu Tuhan. Tuhan menyukainya. Bagai-
mana bisa Tuhan menikmati bahasa aneh tidak jelas begitu? Bisakah dia
mengajariku bagaimana caranya menikmatinya? Mengapa Tuhan mem-
biarkan manusia menciptakan lagu buruk? Lagu apa itu? Pujian? Hujat-
an? Atau kutukan?
Suara itu bergulung-gulung, membentuk gelombang tsunami ke-
sedihan dan luka. Menghantamku dengan kekuatan penuh, menum-
bangkan akal sehatku. Membuatku nyaris gila. Jika mereka terus
melakukan itu, sungguh! Akal sehat ini akan terguling! Jatuh pecah
berantakkan!
Siapa saja! Hentikan suara itu! Hentikan!
***
Dia mulai menjerit-jerit, menutup telinganya kuat-kuat. Beberapa
orang mulai mendatangi kami, tidak membantunya. Tidak berjongkok
dan membujuknya berhenti melakukan kegilaan itu. Mereka berdiri
tegak di sisiku berkasak-kusuk.
Sesuatu pecah berantakan di dalam tubuhku. Inikah kami?
Manusia? Homo sapiens? Berdiri diam melihat manusia lain terluka
kesakitan oleh sesuatu yang tak jelas apa. Dia memang kelihatan gila,
tidakkah dia juga manusia? Pantas dikasihani? Sialan! Manusia?! Kami
merasa hebat! Makhluk tertinggi! Memiliki idep! Merasa bahwa kamilah
yang memegang alam semesta! Kami lebih tinggi dari pada hewan,
padahal kami adalah hewan!
Sialan! Kapan akhirnya kami sadar bahwa kami tidak lebih adalah
binatang? Binatang yang memiliki kelebihan untuk berpikir dan
memfungsikannya dengan salah. Memikirkan kecurangan, kecongkakan,
dan keponahan kami dengan gela makhluk paling hebat. Inikah kami?
Manusia?! Siapa manusia? Kamikah?
Menjijikkan! Spesies macam apa kami ini?! Kami memperlakukan
makhluk-makhluk lain tak lebih sebagai sampah. Merasa kami adalah

18
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
batu permata yang terasah apik. Padahal, kami hanya plastik daur ulang,
di daur ulang oleh kesalahan. Mesin pencetak dosa! Inilah eksistensi
kami! Arti kehadiran kami! Kami tidak pernah merasa puas dengan apa
yang Tuhan berikan, menuntut ini itu hanya demi memuaskan ego kami
yang semakin hari semakin menumpuk. Bahan bakar kehidupan
manusia dan peradabannya adalah ego! Yang menang, yang berkuasa
Bertarung dengan ego, melawan ego, dan katanya jadi pemenang!
Kelebihan? Kelebihan apa?! Jika ego ini bisa dikatakan sebagai kelebihan,
baik kelebihan ini memuaskan. Ego kami bisa menghancurkan dunia,
hebat, kan?
Aku berjongkok dan membantunya. Dia masih berteriak me-
nyedihkan. Kupeluk dirinya yang berkeringat dan kotor. Dia terlihat
kosong, kosong oleh kesadaran. Dia melayang entah kemana. Wajah
cantiknya kosong dan pucat, dia ngeri. Entah oleh apa.
“Hentikan!”
Dia berteriak. Menutup telinganya kuat-kuat. Wajah cantiknya
mengerikan oleh ketakutan. Dia ingin berlari. Meninggalkan sesuatu
yang, sumpah demi Tuhan, tidak kuketahui apa.
“Hentikan!”
Aku menatapnya nanar. Mencoba mengupas dirinya, mencari jati
dirinya. Mengungkap lukanya. Mencari sumber darahnya. Napasnya
tersendat-sendat. Isakannya liar. Dia menggeliat, menggeliat keras dan
takut. Dia ingin menjauhi sesuatu.
“Hentikan! Kumohon hentikan! Hentikan …!”
Dia berteriak. Menutup telinganya dengan kuat. Mencoba
melepaskan diri. Digigitnya tanganku yang memeluknya, aku ber-
geming. Aku menahannya di sini. Dia berteriak ke arahku. Ludahnya
muncrat ke wajahku.
Dia menjerit melengking. Mengalahkan suara kidung yang meng-
gema di sekitar kami. Meregang nyawa berusaha mempertahankan
kewarasannya. Gadis ini, ya, bahkan tidak kuketahui namanya, menjerit.
Berusaha melepaskan dirinya dariku.
Aku memang manusa. Punya ego. Punya keinginan untuk diakui,

19
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
bahkan oleh Tuhan. Memiliki sisi yang mementingkan diriku sendiri.
Akan tetapi, gadis ini, dia sendirian. Ingin aku menghentikan sesuatu,
tetapi apa? Apa yang harus kuhentikan? Sesuatu yang seharusnya aku
tahu!
“Hentikan! Hentikan!”
Ludah kembali muncrat ke wajahku. Aku bergeming, aku ber-
tahan. Ludah itu seperti luka, asam yang membakar wajahku. Membakar
maluku. Menyingkapkan kembali seluruh ego yang pernah kurasakan.
Iri. Cemburu. Kesal. Marah. Dendam. Sedih. Menyumpah. Semuanya!
Ludah itu menyingkapkan semuanya!
Aku menggertakkan gigiku melawannya. Dia menjerit dengan
seluruh udara yang bisa ditampung paru-parunya. Akhirnya, aku me-
lepaskannya karena gendang telingaku berdenging. Saat aku me-
lepaskannya dia bangkit dengan luwes lalu berlari.
“Tidak! Tidak!“ seruku berusaha mengejarnya. Dia tetap berlari,
tetap menangis, dan tetap menutup telinganya. Dia berlari dengan kaki-
kakinya yang telanjang, menginjak batu-batu tajam hingga berdarah.
Akan tetapi, dia tidak perduli. Dia hanya perduli pada kenyataan dia
harus menjauhkan diri dari sesuatu. Dia jatuh tersungkur di jalan, me-
nangis di sana.
“Tidak!”
Mobil yang melaju di belakangnya seperti palu kehidupan:
absolut. Tidak bisa dicegah, sedalam apa pun remnya diinjak, seberapa
kerasnya aku menjerit. Dia harus mati. Darahnya muncrat kemana-
mana. Meninggalkan nosa bercak di panji-panji Pura yang putih-kuning.
Jalanan berwarna merah. Kerumunan binatang ego disekitarku memetik
dan mendesah. Inilah kami. Manusia.
Aku berlari menghampirinya. Terlambat. Matanya masih kosong.
Tangannya masih di telinganya. Aku seolah masih bisa mendengarnya
berteriak menyeluruh sesuatu untuk dihentikan. Masih bisa merasakan
ludahnya muncrat ke wajahku. Lalu, kidungan itu berhenti. Asap dupa
semakin menusuk. Terlambat. Dia sudah terjatuh berkepin-keping.
Binatang ego itu baru menyadari keterlambatan mereka. Aku menatap

20
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
wajah itu dengan sendu. Dia terluka oleh hidup. Tercabik-cabik
kenyataan. Terbakar luka hingga menjadi abu. Abu tentang hidup yang
takkan pernah manis, takkan pernah penuh pelangi. Hidup yang
nyatanya bernapaskan luka dan digerakkan kekejaman. Kami, binatang
ego bernama manusia. Spesies penghancur, menghancurkannya ….
“Hentikan!”

21
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

PESUGIHAN
I Komang Joko Suprianto

Mungkin makanan yang serba sederhana pada depan matanya itu


membuat ia merasa agak kesal. “Mek … tiang, kan, be ngorahang jak,
Memek. Tiang med maem daaran ne kene den. Ngerti sikon panak, nae!” gerutu
gadis desa berparas cantik itu. “Men ken-kenang, Meme sing ngelah pis.
Bapak Iluhe onden teka uli tuni semengan megedi,” jawab wanita tua di
depannya. “Nah, … terserah be ditu. Maem be pedidi!” jawab singkat gadis
itu dengan bahasa daerahnya.
Memang anak yang lahir pada tanggal 19 Februari 1999 ini jarang
mengerti akan kondisi keluarganya yang dalam keadaan prasejahtera.
Walaupun sudah menginjak 17 tahun, ia masih tetap bergelut dengan
ego dankeras kepalanya. Anak pertama dari dua bersaudara yang lahir
dari pasangan Pak Karya dan Bu Kerti ini kadang dianggap sebagai
bunga desa. Kecantikan yang terpancar pada parasnya cukup membuat
para pria bergairah untuk mendapatkannya. Namun, tidak menjadi
jaminan bagi seorang wanita yang cantik juga mempunyai sikap yang
baik. Seperti halnya Luh Sari yang telah kita bicarakan. Sikapnya sangat
menyimpang dari kecantikannya. Lain halnya dengan Kadek Arya, adik
Luh Sari, adalah anak laki-laki yang polos. Arya selalu bisa mengerti
dengan semua keadaan keluarganya. Pak Karya dan istrinya sangatlah
sayang pada kedua anaknya. Mereka berani mengambil risiko apa pun
demi kesenangan dari anak-anaknya itu.
Setelah kejadian itu, hal yang Luh Sari lakukan adalah meninggal-
kan tempat makan yang isinya hanya makanan dan benda-benda

22
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
sederhana. Luh Sari merasa terlalu cantik bila ia makan dengan
perabotan yang telah using dan sederhana itu. “Suba sing ngelah tongos
melah, daarane jeg keto-keto den! Bosen bane…,” celetuk Luh Sari dari
hatinya yang penuh dengan rasa kesal itu. Ketika ia menuju ke kamar,
tiba-tiba merasakan bingung. Tak lain kamar yang hanya berukuran 3x2
dengan tekstur pudar serta barang-barang lama yang tak pernah diatur
itulah membuat ia bingung. Mungkin hari ini keberuntungan menyapa-
nya. Hari yang terang sehingga ia tidak perlu menghawatirkan tetesan
air yang menembus atap rumah. Maklum rumah yang sederhana telah
lama tidak direnovasi dan atapnya sudah kewalahan menahan air hujan.
Akan tetapi, setidaknya saat itu ia masih bisa tidur nyenyak.
Anak gadis berumur 17 tahun itu memaksa untuk membuka
kelopak matanya yang indah setelah sinar matahari penyusup di sela-
sela atap yang longsor. Namun, tidak perlu kasihan karena itu memang
sudah menjadi santapannya di setiap pagi. “Luh… banguuun… be tengai
ne…!!” kata-kata itu telah mengiringinya di setiap ia mengawali pagi.
“Nah.” Hanya itulah yang bisa ia katakan. “Buuichh… dije maan darang
nasi kekene?” Luh Sari terkejut saat ia melihat beberapa tusukan satai
serta masakan beraroma lezat lainnya. Luh Sari yang tadinya haus
dengan makanan enak, kini hanya bisa bengong keheranan.
“Mainake maem…! Bapak meliang dadarane Cuma bang iluh,” ucap
manis ayahnya. “Dije maan pis adi bise ngidaang meli darang nasi jaen-jaen
kene??” Tanya gadis itu sambil menyantap makanan di depannya. “Ibi
Bapak ke Jawa ngajak timpal megae, makane peteng mulih. Terus ditu baange
bonus! jawab pendek lelaki itu. “Ohh, jadi ceritane Bapak sube maan
pegaen?” Tanya Luh Sari kembali. Lelaki itu hanya menjawab dengan
anggukan kepala “Yen be ngelah pis begeh, beliang iluh sepeda motor, nah,
Pak? Vario…nyak? pinta Luh Sari dengan nada agak manja. “Hemm …,”
Pak Karya membalasnya dengan senyum.
Luh Sari terkejut keesokan harinya. Tepat jam 5 sore, ia melihat
sepeda motor pintanya kemarin telah terpampang di depan rumahnya.
Saking bahagianya ia peluk erat ayah dan ibunya. Namun, bukan cuma
hari itu, lusa, seminggu, kemudian seterusnya Pak Karya kerab kali

23
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
membeli barang-barang mewah untuk anak-anaknya. Ini, itu, apa pun
yang Luh Sari dan Kadek Arya inginkan selalu dikabulkan oleh Pak
Karya. Yang terakhir, pinta Luh Sari adalah rumah yang letaknya di
dekat kota. Tidak ada kata tidak, keinginannya itu pun diwujudkan Pak
Karya. Mungkin pekerjaannya saat ini cukup untuk membayar semua
tagihan untuk membayar rumah itu. Hanya saja saat ayahnya dalam
keadaan sukses, saudara satu-satunya dari Luh Sari harus pergi
meninggalkan keluarga ke alam astral. Ia meninggal secara mengenas-
kan karena tiba-tiba tersambar petir. Kondisi mayatnya mengenaskan,
hangus hitam legam tak bisa dikenali wajahnya. Namun, herannya ayah
dari dua bersaudara itu seperti pasrah dengan apa yang telah terjadi. Bu
Kerti pun tidak terlalu menunjukkan raut berduka atas kematian
putranya itu.
Saat matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya,
ayam serta burung yang tadinya berdayu-dayu kini berubah menjadi
teriakan seorang warga yang menjajakan barang dagangannya di BTN
Indah, tempat keluarga Luh Sari pindah tempat tinggal. Mendengar
teriakan tersebut, Luh Sari yang tadinya akan berangkat ke sekolah
mendekat pada sekumpulan ibu-ibu yang berbelanja sambil ngerumpi
pada pedagang sayur keliling itu. “Ada apa bu?” Hanya karena ia tinggal
kota, Luh Sari pun mengubah gaya bahasanya!
“ Ini, tetangga samping rumah Ibu, itu si ibu Tia kehilangan uang.
Katanya sih, hingga puluhan juta. Tumben, sekarang di sini ada maling!”
jawab salah satu ibu di tempat itu dengan agak berbisik. Mendengar hal
itu, Luh Sari teringat pula dengan kejadian yang sama waktu ia tinggal
di desa. Pernah pula tetanganya mengalami hal tersebut. Mencoba tidak
menghiraukan hal itu. Luh Sari pun melanjutkan perjalananya ke
sekolah.
Kegiatan di sekolah barunya di kota telah ia lewati. Mungkin ini
hal baru, tetapi kelihatannya ia sudah menikmati sekolahnya. Tidak
sengaja, ia mengingat kejadian yang ia anggap sudah biasa tadi pagi.
Ketika itu ia sedang makan siang. Dilihatnya pisang, ayam berbulu
hitam, bawang, lilin, dan lain-lain teronggok di sudut dapur.

24
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
‘”Waahh… ibu mau masak ayam nih, tetapi kenapa belum juga,
ya?“ caranya sendiri. Kala itu ia berpikir kalau ayam di depan matanya
itu untuk santapan nanti malam.
Ketika makan malam telah tiba, Luh Sari bingung. Tidak ada
masakan dari daging ayam sedikit pun di meja makan. Ia mulai curiga
dengan sederet kejadian hari itu. Ketika larut malam, Luh Sari hendak
pipis ke kamar mandi, tetapi tanpa sengaja melirik kamar kosong yang
belum pernah ia masuki. Kamar ini selalu dikunci dan dilarang oleh
ayahnya untuk masuk ke dalamnya. Ada sesosok bayangan hitam
berkelebat masuk ke ruangan itu. Karena tidak mendengar sedikit pun
suara dari ayah atau ibunya, ia mencoba memuaskan rasa penasarannya.
Luh Sari melangkahkan kaki ke kamar misterius yang telah ia lirik tadi.
Saat itu ternyata pintu kamar dalam keadaan sedikit terbuka, sehingga ia
leluasa untuk masuk keruangan misterius yang hampa dan kosong itu.
“Apa ini?” suara herannya ketika melihat ruangan yang berhias-
kan penuh dengan kain berwarna merah, tulang kepada hewan, dan
bongkahan lilin yang telah membeku pada tengah-tengah wadah yang
berisi air kembang. Selain itu, terdapat bawang, pisang dan anak ayam
berbulu hitam yang tadinya di dapur kini sudah berlumuran darah
pada sebidang wadah yang tersusun rapi pada pojok kanan ruangan itu.
Ruangan itu mirip dengan sebuah tempat pemujaan seorang dukun
kepada setan. Namun, ia hanya bisa terkejut ketika mendengar
seseorang berbicara yang mendekati ruangan. Terlintas dipikirannya
lemari yang tepat pada pojok kiri kamar. Ia pun bergegas untuk masuk
ke dalam lemari itu dan bersembunyi.
“Bli... apa sing merisiko napi ne irage laksanayang jani?? Tiang jejeh
Bli!” terdengar suara seorang wanita yang membuat ia mencoba untuk
melihatnya dari lubang pada kunci lemari. “Ten Buk, tuutin ape ne
orahang Bapak. Ne penting irage ten tuyuh care ipidan. Keto masih panake be
nyaman jani kan? Ten care ipidan peragat ngemol-mol den ben irage sing
ngelah ape.” Jawab pria yang tidak asing lagi bagi Luh Sari. Sempat sesaat
tidak ada suara. Luh Sari kembali menempatkan bola matanya pada
lubang kunci tempat untuk membuka pintu lemari itu. Terlihat adegan

25
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
yang ganjil baginya. Seorang pria yang tadinya manusia dengan jubah
berwarna hitam dan pose menunduk seperti anjing, berubah menjadi se-
ekor babi yang besar dan berbulu. Di sisi lain, terlihat wanita yang me-
mejamkan mata dengan bibir yang komat-kamit seperti melafalkan se-
buah mantra. Selain itu, ia juga menjulurkan tangannya di atas kobaran
api pada sebatang lilin kecil yang letaknya di tengah-tengah wadah yang
berisikan dengan air kembang. Mungkin setidaknya wanita itu mirip
dengan vampir dari Negara Tirai Bambu. Hanya saja ia dalam keadaan
duduk. Luh Sari merasa tidak percaya dengan semua keadaan itu.
Seperti menonton secara langsung adegan film misteri Ilahi yang gemar
ia tonton di layar televisi.
“Bapak…? ucapnya perlahan dengan nada tidak percaya. “Ini gi-
la… pantesan Bapak bisa tajir mendadak,” ucapnya kemudian diam
sejenak. Akan tetapi, gak kenapalah. Yang penting aku bisa kaya.
Sambungnya kembali dengan senyuman agak tipis. Ia tambah ter-
senyum lega ketika melihat sebuah babi yang beubah menjadi manusia
dan mengambil puluhan ikatan uang dan aneka perhiasan berharga dari
jubah hitamnya itu.
Bukan cuma sekali Luh Sari melihat kejadian itu. Bahkan, sangat
sering hingga ia tamat sekolah dan melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
Sudah tentu tidak sediikit biaya yang dibutuhkan untuk menyekolahkan
dirinya. Hanya saja pekerjaan Pak Karya di malam hari itu sangatlah
membantu perekonomian mereka.
Suatu ketika di saat langit menangis mambasahi ibu pertiwi, bulan,
dan bintang tidak menampakkan wajahnya. Luh Sari yang baru keluar
dari kampusnya bingung dan ketakutan untuk pulang karena saking
derasnya hujan. Petir menyambar-nyambar, guntur bertalu bersahut-
sahutan, bahkan jutaan hewan nokturnal tidak satu pun sudi
menampakkan dirinya pada malam itu.
“Sial… masak sih baru tadi aku lulur, keramas, dan sekarang
sudah kena hujan?” gerutu wanita cantik ini. “Namun, siap sih?” kejut
seorang wanita yang tak asing baginya, namanya Lusi. “Nunggu
hujan biar reda,” jawabnya. “Menginap di rumah aku saja, Luh? Dekat,

26
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kok,” ajak Lusi dengan nada meyakinkan. Belum ia menjawab, Luh Sari
langsung mengambil handphone yang ada di tasnya. “Yaahh… aku
menginap di rumah teman, ya? Hujan soalnya. Malas pulang!” katanya
pada pria yang ia telepon. “De Luh…adian Bapak nyemput, nah?” tawar
ayahnya. “Aduuhhh, gak usah!” tolaknya yang kemudian menekan
tombol merah pada handphone-nya.
Malam itu, Luh Sari merasakan hal aneh baginya. Tepat jam 12
malam ia tidak bisa tidur nyenyak. Penyebabnya ia mendengar suara
yang semakin lama semakin terdengar jelas. Suara itu mirip dengan
langkah kaki. Hanya saja anehnya dari suara langkah satu kaki ke
langkah kaki yang lainnya tidak konstan. Terkadang cepat kadang juga
lambat. Suara itu mirip seperti langkah kaki seekor hewan. Rasa
penasarannya memuncak sampai ia tidak bisa menahannya. Ia coba
turun dari ranjang empuk yang tadinya tempat untuk ia tidur. Perlahan
ia langkahkan kaki menuju suara mistis itu. Ketika dekat perubahan
bunyi terjadi. Mulanya bunyi itu mirip dengan langkah kaki, tetapi kini
berubah menjadi suara tubuh yang digaruk-garukkan pada tembok.
Ketika sudah berada pada depan bola matanya, ia terdiam. Tiba-tiba
uang dan perhiasan terbang melayang menuju ke arah utara melintas di
atas kepalanya. “Apa ini, ayah?” ucapnya dengan nada rendah, tetapi
terhenti. Mulanya babi itu menatapi Sari, babi itu kelihatan bingung dan
terkejut melihat dan mendengar apa yang dikatakan Sari.
“Tolong... ada babi jadi-jadian,” teriak seorang wanita pada arah
jarum jam 6 yang mengejutkan Luh Sari. Babi itu seperti tidak bisa
berbuat apa-apa. Mondar-mandir seperti sedang mencari tempat keluar.
Memang di setiap pintu tidak ada sedikit pun yang terbuka.
“Tolong…. tolong… tolong,” Luh Sari berteriak keluar ruangan
hingga membukakan pintu keluar. Tentunya kesempatan itu digunakan
dengan maksimal oleh babi yang sedang kebingungan itu. Mereka yang
tadinya berteriak dan mau menangkap babi jadi-jadian itu kini berusaha
keluar mengejar. Namun, mereka hanya bisa mengejar Luh Sari tapi
tidak untuk babinya. “Kamu gila, ya? Gara-gara kamu babi itu lolos!”
ucap teman dekatnya sembari memegang tangan Luh Sari. “Lepaskan!

27
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Aku takut, aku syok…!” jawabnya dengan nada melawan. “Ya, sudah,
ayo, kita pulang ke rumah,” ajak temannya. “Gak.. aku harus pulang…
aku ngak mau di sini lagi… antar aku pulang, aku… aku takut… hiiks,“
pinta Luh Sari pada temannya dengan meneteskan air mata. Temannya
itu pun menjawab, “Oke… aku antar.”
Waktu setengah jam cukup bagi Luh Sari untuk sampai di rumah-
nya. Di rumah, kamar yang pertama ia tuju bukanlah kamarnya, me-
lainkan tempat ayah dan ibunya bekerja. Ketika ia coba untuk melihat ke
dalam ruangan dari lubang kunci pintu, pintu tersebut terbuka. “Apa
ke alih Luh? Iluh ngintip tunyan? Orahang!” bentak Pak Karya pada
anaknya!
Luh Sari yang terkejut tidak bisa menjawab pertanyaan itu, yang ia
lakukan hanyalah pergi ke kamar dan mengunci pintunya.
“Buka pintune, Bapak kar ngomong!” teriak dari luar kamar, “Sing
Pak… Iluh sing ningalin apa-apa,” jawab Luh Sari dari dalam kamar.
“Nah, Luh, kéwala pintune malu! Bapak ade ngomong bedik jak Iliuh!”
mohon pria tadi pada Luh Sari. Dengan agak terpaksa Luh Sari
membuka pintu kamarnya. Pria yang tadinya teriak kini menatap tajam
wajah Luh Sari. “Jani iluh musti ngomong jujur tekening Bapak!” terhenti
sejenak setelah seorang wanita menyusul masuk ke kamar Luh Sari.
“Luh sujatine nawang ape gegaen Bapak ane jani, kan?” sambung kembali
pria itu. “Hmm… Pak,” Luh Sari berhenti ketika melihat tatapan mata
ayahnya yang penasaran akan jawaban Luh Sari.
“Bapak ngepét, kan? Yak an? Ento demi Iluh, kan? Beneh, kan, Pak?”
sambung Luh Sari kembali. “Lamun sajaan kenapa? Iluh sing demen ngelah
rerame ngepét? Tanya ayahnya itu kembali. Luh Sari hanya bisa terdiam.
“Ampurarayang Bapak ulian gegaene ene adin iluhe, ia I Kadek ngemasin
mati.” Ucap pria itu dengan nada agak menyesal. “Apa? Ulian bapak,”
terhenti ia sejenak, “Bapak tega! Dije maan Bapak pesugian ngepét care
ene?” sambung ia kembali.
“Sebenehne Bapak ke Jawa tusing je megae, dugase ento Bapak ngalih
dukun sakti ane ngelah ilmu ngepét pang enggal sugih nanging Bapak tusing
nawang yan ade ane harus dadi tumbal,“ jawab pria itu.

28
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Nah, tusing kenape Bapak ngepét, yang penting irage nyidang hidup
bagia,” jawabnya dengan wajah yang tidak peduli.
Malam begitu gelap dan mencekam. Suara teriakan anjing betina
mendayu-dayu merambat ke setiap sudut BTN. Ketika itu pula, Pos
Ronda di BTN Indah sanga ramai. Personel ronda ditambah, mungkin
semua itu karena banyak kejadian aneh yang sudah terjadi. Banyak
warga yang telah melaporkan kehilangan uang dan perhiasan serta
pernah melihat babi jadi-jadian. Malam itu adalah malam kliwon, yaitu
malam yang tepat bagi Pak Karya melakukan aksinya. Ketika itu Luh
Sari penasaran ingin melihat bagaimana awal pelaksanaan ngepét.
Dengan izin Pak karya dan Bu Kerti maka ia di sana melihat kedua
orang tuanya melakukan ritual ngepet tanpa harus mengintip lagi.
Ketika beberapa menit hingga jam berlalu, kobaran api dari sebatang
lilin di depan ibunya semakin meredup. Wajah dari wanita di depan lilin
itu menjadi gelisah. Luh Sari tidak tahu pertanda apa itu. Ia hanya bisa
diam melihatnya. Ketika semakin lama api itu mulai redup hingga mati.
Ibu Kerti yang tadinya memejamkan mata secara spontan terkejut dan
membuka matanya.
“Kenape, Mek? Kenape?” Tanya Luh Sari pada ibunya yang ke-
takutan. “Bapak, Iluhe, Bapak, Luh. Bapak pasti meejuk... mai jani alih
Bapak, Luh!” ajak wanita itu dengan tergesa-gesa yang mungkin sudah
tahu apa yang terjadi pada suaminya.
“Aduh, Iluh sing nyak, Mek. Iluh lek jak anake yan tawange irage ane
mekade pis anake ilang!!” jawabnya dengan nada menolak. “Cerik tusing
nawang balas budi, I Bapak kekene ulian irage, ulian ngisinin sekancan keneh
Iluhe!” tandas bu Kerti di depan Luh Sari. “Aruh Iluh tusing ngeramban,
Iluh tusing memakse Bapak nyemak gegane kekene!” jawabLuh Sari
melawan.
Bu Kerti tidak menghiraukan kata-kata Luh Sari, jiwanya kesal ber-
campur galau. Dengan bergegas, Bu Kerti keluar dari kamar dan mencari
suaminya. Ketika ia telah temukan suaminya, ia menangis. Terlihat
sekumpulan warga yang berbekal dengan bambu kuning. Memang
secara mitos bahwa babi ngepét sangat takut dan tidak bisa melawan

29
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
manusia yang membawa bamboo kuning. Kemungkinan warga
setempat sudah menyiapkan semuanya.
“O, ternyata cai ane ngae biang kerok dini, ahh? Tanya seorang warga
yang dalam keadaan kesal. “Ampurayang titian, jero, titian nunas urip,
jero.” ucap Bu Kerti sambil merangkul suaminya yang penuh dengan da-
rah.
“Jeg matiang.” teriak warga lainnya yang mungkin merasa resah
dengan apa yang telah terjadi. Ketika itu semua warga tidak peduli
betapa malangnya nasib Pak Karya yang tak berdaya berlumuran darah.
Ditusuk dengan bambu kuning yang diikat kain putih yang berisi
rerajahan dan Pak Karya pun menghembuskan napas terakhirnya dari
mulut dengan lumuran darah berbusa. Sementara itu, Bu Kerti yang
menjerit-jerit minta ampun juga tidak luput dari keroyokan warga,
wajah, dan seluruh tubuhnya lebam terkena pukulan dan lemparan batu
dari warga yang kalap. Pun Luh Sari yang tinggal di rumahnya
kemudian digelandang dan diseret keluar ke jalan raya. Luh Sari
menangis dan berteriak-teriak histeris, tetapi tidak ada yang peduli.
Akhirnya, Luh Sari dengan ibunya diusir oleh warga. Kini dua tahun
sejak kejadian itu, mereka berdua tidak terdengar kabar beritanya lagi.

30
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

KEMATIAN I SUMER
Ni Nyoman Ari Sancita Dewi

Desa Nawah Kerti mulai bergairah. Matahari sudah tampak di


timur dan orang-orang sudah bergegas. Hanya saja, tidak seperti biasa,
orang-orang itu tak bergegas ke tempat kerja. Petani bukan bergegas ke
tegalan dan tukang ojek bukan bergegas ke tempat mangkalnya, mereka
bergegas hanya untuk ikut menjadi bagian dari gerombolan di depan se-
buah rumah warga di desa. Di sekitaran rumah itu udara sejuk, angin
berdesir pelan menghadirkan kesegaran. Akan tetapi, ada apakah
gerangan? Orang-orang itu seperti mencium sesuatu yang membuat
hidungnya tidak nyaman.
“Saya tidak berani ke dalam. Sungguh!” kata salah seorang.
“Harus ada yang melaporkan ini.” Timpal salah seorang lagi.
“Kita laporkan saja kepada mekelé.“ Usul warga pertama dikuti
anggukan warga lain.
Akhirnya, tiga orang di antara gerombolan itu berangkat menuju
rumah mekelé. Rumah mekelé terletak di jantung desa. Jaraknya sekitar
500 meter sebelah barat dari tempat warga berkumpul tadi.
Mekelé adalah sebutan bagi Kepala Desa Nawah Kerti. Belum ada
alasan yang pasti mengapa kepala desa setempat diberi sebutan mekelé.
Sesungguhnya mekelé adalah sebutan bagi mereka yang keturunan jaba,
khususnya perempuan menikah dengan mereka yang keturunan brahma-
na. Namun, sebutan mekelé bagi Kepala Desa Nawah Kerti tampaknya di-
proses melalui alur yang berbeda, bukan perkawinan beda kasta.
Mungkin sebuan mekelé diberikan karena kepala desa di Bali juga

31
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
dipadankan dengan sebutan perbekel. Oleh penduduk desa setempat
sebutan itu disederhanakan menjadi “mekel” hingga latah menjadi
“mekelé”. Mungkin!
***
Pagi itu, rumah mekelé masih kelihatan sepi, yang terlihat hanyalah
I Kardi yang sedang menaikkan sangkar burung milik mekelé.
“Kardi, mekelé sudah bangun?” Tanya salah seorang utusan gerom-
bolan.
“Ada apa Pan Putu?” I Kardi balik bertanya.
“Kami ingin menemuinya.” Sahut Pan Putu, anggota gerombolan
itu.
“Mekelé masih tidur, kalau ada urusan dengan mekelé nanti saja di
kantor.”
“Tetapi ini penting.” Pan Putu memohon.
“Ini masih sangat pagi, belum juga pukul 8, mekelé tidak suka di-
ganggu tidurnya.” Jawab I Kardi.
Mekelé Ratah, begitulah warga biasa memanggilnya. Oleh warga-
nya ia dipandang sebagai pemimpin yang tegas dan terkadang bengis. Ia
tak segan-segan mengumpati bawahannya di kantor desa. Di luar
kantor, ia juga tidak begitu ramah. Tangannya terlalu ringan melayang
jika ada seseorang yang membuatnya kesal, bahkan I Kardi, pemelihara
binatang peliharaan mekelé yang sudah bersamanya hampir puluhan
tahun tidak jarang di pukulinya hanya karena alasan sepele, seperti
burung perkututnya tidak mau berkicau seperti biasanya.
“Kardi, tolonglah! Dari rumah I Sumer tercium bau busuk.
Tampaknya I Sumer sudah mati beberapa hari yang lalu. Tidak ada
warga yang berani menengok ke sana, takut tertular.” Pan putu
menjelaskan sambil memegang tangan Kardi.
Sekarang sangat jelas. Rumah yang dipandangi gerombolan warga
desa itu adalah milik I Sumer. I Sumer adalah seorang warga yang pen-
diam, tetapi ia pekerja keras. Ia jarang berkomunikasi dengan tetangga-
nya, termasuk mungkin juga jarang bersosialisasi.
Oleh sebagian penduduk, tabiat Sumer yang pendiam itu sering di-

32
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
tanggapi dingin. Ia sering dikatai bedegoh. Selain tampak angker, I Sumer
juga dikenal pelit terutama oleh mekelé. Pernah suatu ketika mekelé Ratah
minta anak babi kepadanya untuk dipelihara jika besar hasilnya dibagi
dua, tetapi I Sumer menolaknya.
Kini, umur I Sumer sudah 60 tahun. Di umur yang setua ini, sekali
pun ia belum pernah menikah. Bahkan, sewaktu muda, belum pernah
ada salah seorang warga yang melihatnya punya pacar. Tampaknya ia
masih sangat perjaka.
Kesehatan merupakan masalah yang dihadapi I Sumer saat ini.
Belakangan, ia sering merasa sempoyongan. Gigitan cicingalasan telah
membuat tubuhnya tak berdaya, pusing, dan kelu di lidah serta
kerongkongannya. Sudah hampir empat hari warga tidak melihatnya
keluar rumah.
***
Di depan rumah I Sumer warga desa sudah mulai berjubel. Bau
busuk pun kian menyengat. Hampir semua warga yang hadir di sana
menutup hidung. Ada yang menutup hidungnya dengan tangannya
sendiri dan ada pula dengan kain. Apalagi berhembus isu bahwa bau
busuk itu adalah bau bangkai I Sumer yang sudah membusuk. Ber-
hembus pula kabar bahwa I Sumer mati karena terjangkit penyakit ganas
dan menular. Warga pun semakin menutup hidungnya, erat.
“Jauhi tempat itu,” seru mekelé dari kejauhan.
Sontak warga yang berjubel pun mundur beberapa langkah.
Rumah itu berbahaya, nanti kalian bisa tertular! Seru mekelé lagi di-
barengi rona ketakutan warga.
Mekelé datang terpogih-pogoh, diikuti I Kardi, Pan Putu, dan kedua
temannya. Warga kini tidak lagi menatap rumah I Sumer, tetapi
mengelilingi mekelé Ratah.
“Saya sudah menduga hal ini pasti terjadi. Penyakit I Sumer ber-
bahaya. Oleh karena itulah, kematiannya menimbulkan bau busuk.”
Mekelé langsung berbicara dikelilingi warga.
Sambil menutup hidung mekelé kembali berbicara. “Baunya sangat
busuk jika tidak segera dihilangkan, bisa-bisa penyakit I Sumer

33
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
menular.”
Mendengar penjelasan mekelé tampak beberapa warga mulai gusar.
Mereka semakin erat menutup hidungnya. Beberapa warga yang lain
bahkan pergi meninggalkan tempat itu karena teramat takut.
Saat ini, warga tentu dihadapkan pada sesuatu yang sangat
dilematis. Jika mereka ke dalam, mengangkat mayat I Sumer, mereka
harus siap tertular. Masalah lain, setelah mayat I Sumer dikeluarkan ia
harus dikubur di mana? I Sumer menjadi warga yang diasingkan karena
tidak mau tunduk terhadap perintah adat, terutama perintah mekelé.
Oleh karena itu, ia dianggap tidak aktif di desa dan hak-haknya sebagai
warga desa hilang, termasuk hak penguburannya. Alhasil, warga desa
hanya dapat melongo dan sesekali saling tatap antara sesamanya.
“Membakar rumah dan isinya adalah satu-satunya jalan.” Mekelé
berteriak girang. Girang sekali layaknya anak kecil yang mendapatkan
selembar uang pada sebuah snack berhadiah.
“Membakar rumahnya adalah jalan yang paling tepat. Tidak ada
yang lain. Dengan dibakar tubuh Sumer akan ludes dan penyakitnya
pun tentu tak akan menular,” Mekelé memaparkan idenya dibalas
anggukan beberapa warga.
Seper sekian menit gerombolan warga itu diam. Tidak ada yang
mengatakan setuju ataupun tidak setuju atas tawaran mekelé itu. Akhir-
nya, segera mekelé memerintahkan I Kardi untuk mengambil minyak gas.
Pan Putu dan beberapa temannya diperintahkan mengambil kayu bakar.
Warga yang perempuan disuruhnya untuk menjauh.
I Kardi dengan sedikit pincang datang membawa sebuah jeriken
besar isi 30 liter. Di dalamnya tentu minyak tanah sesuai dengan yang
diperintahkan mekelé. Dari arah berlawanan datang pula Pan Putu
dengan beberapa warga yang lain memikul kayu bakar.
“Kardi, sirami sekeliling rumah I Sumer dengan minyak itu. Pan
Putu basahi kayu itu dengan minyak tanah!” Mekelé memberikan
komando.
Mekelé menyalakan obor dan menyulut genangan minyak yang se-
ngaja ditumpahkan tadi. Seketika rumah I Sumer berpagar api. Kayu-

34
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kayu kering yang sudah dibasahi minyak mereka lemparkan ke atas atap
dan api pun kian membesar. Kini tidak tampak dengan jelas seperti apa
rupa rumah I Sumer.
Setelah api menyala begitu hebatnya, para warga seketika
dihinggapi perasaan gundah. Gundah karena perasaan kasihan. I Sumer,
warga pendiam yang selama belasan tahun telah ia kenal, akhirnya
berakhir tragis. Tidak ada warga yang tersenyum atau berparas bangga.
Pembakaran terhadap I Sumer dan rumahnya tampaknya baru
dirasakan bukan sebagai sebuah keberhasilan mengatasi bencana seperti
yang diucapkan mekelé. Tampak jelas di wajah para warga terbaca rasa
bersalah.
Bara api kian tak terkendali. Namun, jauh dari pengetahuan warga
yang berjubel di dalam sebuah kamar yang dipagari api, tampaknya
masih ada kehidupan. Itulah dia, orang yang dipergunjingkan warga, I
Sumer. Ia tidak mati seperti yang diisukan warga.
I Sumer berteriak. Akan tetapi, gemuruh api telah menenggelam-
kan suaranya. Ia hanya dapat meronta kecil. Seluruh tubuhnya kaku.
Anjing yang menggigitnya sebulan lalu itu telah membuat semua tubuh-
nya seperti tidak berfungsi. Di sampingnya berserakan telur ayam yang
sudah membusuk. Tampaknya hanya itulah santapannya selama empat
hari berlalu. Ia tidak dapat keluar, apalagi memasak. Kencing dan buang
hajat pun ia lakukan di tempat itu.
Api bertambah besar. I Sumer tak dapat berdiri apalagi berlari. Ia
hanya mampu pasrah, memberikan keleluasaaan pada si api menjilat-
jilati sekujur tubuhnya. Pelan-pelan ia merasa melayang. Menembus
bara api yang terus berkobar.

35
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

SEPOTONG KAYU DI PELUKAN SENJA


Putu Henny Prahari

Aku dilahirkan di sebuah desa yang sangat terpencil di belahan


utara Pulau Bali dan aku diberi nama Luh Budiasi, tetapi orang-orang
kampung sering memanggil aku, Budi. Desa yang akan aku kenang
sampai kapan pun. Karena di situlah pernah terdengar tangisan
pertama, anak yang terlahir untuk mengecewakan orang tua. Tangisan
yang seharusnya membahagiakan, tetapi ternyata membuat petaka dan
terdengar menyayat hati.
Aku masih ingat bagaimana ayah dan ibuku kerap bertengkar di
malam hari. Waktu yang biasa dinikmati anak-anak dengan damai
dalam pelukan ibunya harus selalu dilewati dengan perasaan takut dan
sedih. Aku sering mendengar ayah membanting pintu. Salah satu dari
sekian barang-barang rumah yang menjadi sasaran kemarahannya.
Suatu malam, hujan turun deras. Waktu itu aku sudah berumur 10
tahun. Ketika aku sedang tertidur lelap dalam pelukan ibu, tiba-tiba
kami dikejutkan oleh suara pintu dibanting. Aku ketakutan dan segera
menarik selimut sehingga menutupi seluruh badan. Aku pun merapat ke
tembok. Sementara itu, ibuku seperti biasa keluar mencari asal suara
yang tidak lain adalah ayah yang membanting barang-barang.
“Tidak bisakah, Bli, berubah sedikit pun? Malu sama tetangga,
Bli,” aku dengan dengar suara ibu begitu tegas. Entah apa yang dikata-
kan ayah. Suaranya serak, kata-katanya melantur. Pasti ayah sedang
mabuk. Kemudian, aku dengar suara ibu lagi.
“Sekarang terserah Bli. Mau kawin lagi, silakan. Tiang sudah tidak

36
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
peduli lagi. Tiang tidak mengerti setan apa yang sudah merasuki Bli
sehingga Bli sampai berubah. Apa salah tiang sehingga Bli memperlaku-
kan tiang begini. Lihat diri Bli! Apakah Bli pantas dibilang suami yang
bertanggung jawab?”
“Plakk …,” terdengar bunyi tamparan. Sekarang pipi ibu pasti
sudah berubah menjadi merah terkena tamparan ayah. Seketika suasana
menjadi sunyi mencekam. Hanya terdengar sesekali isakan ibu diiringi
bunyi rintik hujan yang menerpa atap genting rumah kami.
“Sudah puas kamu ngomong, Luh?” terdengar suara ayah mem-
belah keheningan.
“Aku memang suami yang tidak bertanggung jawab. Aku jarang
di rumah. Aku tidak menafkahi kalian. Aku suka metajen, suka meceki
sampai malam di balebanjar. Aku tahu itu salah.”
“Sudah tahu kenapa Bli lanjutkan?” ibuku menyela sambil terisak.
“Kamu tahu kenapa?”
“Oh, tiang tahu. Karena tiang tidak bisa memberikan anak laki-laki
kepada Bli, kan?”
“Aku pusing Luh. I Meme selalu mendesak Bli untuk bisa memberi-
kan cucu laki-laki padanya. Sementara itu, semua tahu kandunganmu
telah diangkat. Mana bisa kamu hamil lagi?”
“Gara-gara penyakit kanker sialan itu,” ibu mengumpat, memang
beberapa tahun lalu ibu pernah masuk rumah sakit di kota. Aku tak tahu
nama rumah sakitnya. Waktu itu aku masih kecil. Aku hanya ingat dan
melihat ibu tertidur selama beberapa hari serta aku tidak boleh
menemaninya tidur di tempat tidur ibu. Ayah bilang ibu sedang sakit.
Sekarang aku baru mengerti bahwa kandungan ibu telah digerogoti oleh
penyakit kanker sehingga rahim harus diangkat. Terjepit, Luh.
“Coba kamu jadi Bli, Luh. Apa yang akan kamu lakukan?”
“Jangan Tanya tiang karena tiang bukan Bli! Seharusnya Bli bisa
lebih bijaksana sedikit”
“Bijaksana bagaimana? Posisi Bli, Bli anak laki-laki satu-satunya.
Sesuai adat kita, harus ada purusa yang meneruskan garis keturunan dari
pihak laki-laki.”

37
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Tapi sudah sering tiang bilang. Sekarang Bli bebas. Silakan kawin
lagi!”
“Bli tahu nada suara Luh tak rela.”
“Istri mana yang mau dimadu Bli?”
“Kalau tak mau dimadu, kamu tinggal hamil lagi, lahirkan anak
laki-laki untuk Bli. Semuanya akan beres Luh!”
“Kamu sudah gila Bli.”
“Memang Bli sudah gila. Bli gila gara-gara kalian semua.”
“Jadi, benar kamu mau dimadu Luh?” suara ayah terdengar
melunak.
“Jangan senang dulu Bli. Baru tiang bilang begitu bukan berarti
tiang rela dimadu,” ketus terdengar suara ibu.
“Lalu, kamu mau bagaimana Luh? Ngomong jangan plintat-
plintut! Bli tahu kamu hanya memancing emosi Bli saja. Lama-lama aku
bisa gila bicara sama kamu.”
“Gablag….” pintu dibanting lagi.
“Kawin saja Bli. Cari perempuan yang sempurna dan bisa mem-
bahagiakan kamu. Tiang tak akan pernah menghalangi Bli,” entah
teriakan ibuku didengar atau tidak oleh ayah.
Setelah peristiwa alam itu, aku lebih sering melihat ibu termenung
dengan mata sembab berkaca-kaca. Ibu sudah tidak memikirkan untuk
merawat dirinya, apalagi aku. Aku seperti anak ayam yang kehilangan
induknya. Aku merasa asing dalam rumah sendiri. Tak ada lagi belaian
kasih sayang seorang ibu. Aku tidak pernah lagi melihat bibir mungil
ibu menyunggingkan senyum untuk anaknya. Aku rasanya melihat ibu
seperti melihat patung yang berjalan dengan gontai di hadapan orang-
orang yang ada di sekelilingnya. Ibuku malang, ibuku tersayang.
Sementara ayah semakin jarang pulang. Tiap kali pulang ayah
selalu mabuk dan marah-marah. Akhirnya, aku merasa lebih nyaman
apabila ayah tidak pulang.
Suatu hari aku melihat tetangga sebelah rumah sedang berbicara
serius dengan ibu. Penasaran aku dekati dan aku curi dengar percakap-
an mereka.

38
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Jadi, kamu belum tahu Luh? aku dengar suara tetangga yang
begitu meyakinkan ibu dan membuat ibu semakin bingung.
“Tiang sudah tidak peduli lagi, Mbok.” Selama ini juga tiang sudah
menganggap dia tidak ada.”
“Maaf, Luh, kalau Mbok terlalu ikut campur urusan rumah tangga
kalian,”suara tetangga terdengar menyesal.
“Tiang berterima kasih karena Mbok sudah memberi tahu tentang
kabar suami tiang. Jadi kapan upacaranya dilangsungkan Mbok?”
“Menurut Jero Mangku, dewasa ayu datang minggu depan Luh.
Acaranya akan diadakan di rumah mertua Luh. Calon istri suami kamu
juga atas pilihan mertuamu. Mereka berniat punya cucu laki-laki sebagai
penerus keturunannya kelak,” tetangga aku menjelaskan panjang lebar
pada ibu.
“Iya, tiang tahu itu,” suara ibu terdengar lemah.
“Memang berat posisimu Luh. Kita semua tahu adat kita
mengharuskan sebuah keluarga memiliki purusa yang akan meneruskan
keturunan. Tanpa purusa, keluarga kita akan buntu, tak aku berlanjut.
Sementara suami kamu anak tunggal. Mbok mengerti dia juga serba
salah. Tanggung jawabnya kepada keluarga cukup besar Luh.”
“Tiang juga tahu itu, Mbok”
“Kenapa Luh tidak dari dahulu rela saja dimadu?”
Perlahan butir-butiran air mata ibu mulai menetes membasahi se-
kujur tubuhnya.
“Maaf, Luh …,” terlihat sekali nada penyesalan yang terucap dari
mulut tetangga.
“Tidak apa-apa Mbok..., tiang sudah terbiasa begini… sejak Luh
Budi lahir, suami tiang sudah kecewa. Terlebih-lebih mertua tiang.
Mereka tidak mengharapkan punya cucu perempuan. Hanya cucu laki-
laki yang mereka dambakan untuk meneruskan keturunan mereka. Sejak
itu mereka mulai berubah.”
“Seandainya saja kandungan kamu tidak diangkat Luh, Luh masih
bisa hamil, pasti semua tidak jadi begini ….”
“Nah, apakah semua itu salah tiang?” suara ibuku terdengar me-

39
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
ninggi, mulai tersulut emosi lagi.
“Tentu tidak, Luh….”
“Nah, kalau tidak, kenapa tiang diperlakukan tidak adil begini?
Apakah salah, apakah dosa kalau tiang hanya bias melahirkan seorang
anak perempuan? Bukanlah anak laki-laki atau perempuan itu sama
saja?” ibu aku mulai protes.
“Beda, Luh…,” segera tetangga menyela. Wajahnya sungguh
menyiratkan perasaan kasihan kepada ibu.
“Lalu, kalau mereka menikah dan punya anak, bukankah anak
mereka juga namanya cucu? Tak peduli mereka lahir dari anak kita yang
laki-laki atau perempuan,” Ibu seolah tak peduli dengan kata-kata lawan
bicaranya.
“Iya, itu benar. Namun, sekarang kita kembali lagi kepada penerus
generasi keluarga. Setelah menikah, seorang perempuan harus ikut
suami.”
“Tiang mengerti, Mbok… tentang masalah itu tiang mengerti…,”
Ibu menyela. Kenapa adat kita tidak seperti orang-orang di daerah asal
tiang yang memperolehkan pihak perempuan sebagai purusa?”
“Ya... kita harus sadar bahwa kita ada di daerah yang berbeda,
yang tentu saja berbeda pula adat istiadatnya. Mau tidak mau, kita harus
terima walaupun kenyataan ini terasa pahit. Terutama bagimu, Luh….”
Hening sejenak. Aku lihat sesekali ibu menyeka air matanya. Mata-
nya yang sembab, saya menerawang jauh. Seolah ingin melihat dunia ini
dari sisi yang berbeda, semuanya berjalan sesuai harapan.
“Kalau Mbok boleh tahu, apa rencanamu Luh?” pertanyaan
tetangga bagaikan petir menyambar di siang bolong. Terlihat sekali ibu
menunjukkan ekspresi keterkejutannya.”
“Ti… tiang… tidak tahu Mbok…,” suara ibu terbata-bata diiringi
oleh tetesan air mata yang kembali mengalir deras.”
“Ya, Mbok, tiang sangat menyayangi Luh Budi, sekarang ini hanya
Luh Budi yang tiang miliki. Dia satu-satuinya alasan kenapa tiang masih
betah di sini. Kalau tidak memikirkan Luh Budi, sudah lama tiang
pulang ke rumah orang tua tiang, Mbok. Toh, keberadaan tiang sudah

40
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
tidak dianggap lagi di sini. Akan tetapi, kalau tiang pergi, siapa yang
mengurus anak tiang?”
“Nah, itulah Luh… biar bagaimana Luh Budi itu adalah anakmu.
Anak yang telah dititipkan oleh Tuhan kepadamu. Sudah seharusnya
kamu merawat dan menjaganya. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan
anak, Luh.”
“Iya, Mbok, terima kasih,” hanya itu kata-kata yang terucap dari
bibir ibu sampai tetangga mohon diri.

Selanjutnya ibu lebih banyak diam, melamun dan melamun.


Sementara itu, ayah seperti lenyap ditelan bumi. Jangankan pulang
untuk sekadar menjenguk kami, melihat keadaan kami sudah tidak
pernah lagi. Memberi kabar tentang rencana pernikahannya saja kepada
kami, anak dan istrinya, sudah dirasakan tidak perlu. Jelasnya ayah
sudah tidak peduli lagi pada kami.
Tepat di hari pernikahan ayah, hari yang sangat membahagiakan
bagi ayah, tetapi sekaligus adalah hari kiamat buat ibu. Paling tidak itu
adalah hari kiamat buat pernikahan mereka, yang semula penuh dengan
mimpi-mimpi indah, ternyata berakhir dengan tragis. Pagi-pagi buta aku
lihat ibu bangun. Aku lihat ibu memasukkan pakaiannya dan pakaian
aku ke dalam sebuah tas. Kemudian, dia memanggil-manggil namaku.
“Bangunlah Luh, cepat mandi dan ganti pakaianmu. Itu sudah ibu
siapkan di atas meja.”
“Kita mau kemana, Bu?” tanyaku bingung. Selama ini tak pernah
ibu mengajak aku bepergian apalagi sampai membawa begitu banyak
pakaian.”
“Kita mau pergi jauh, Nak. Ayo lekas mandi, jangan banyak
tanya,” seperti permintaan ibu. Aku tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Aku bangun dan membersihkan badan ke kamar mandi. Setelah semua-
nya siap, ibu mengajak aku berjalan ke luar rumah menuju sebuah
rumah yang penuh hiasan. Aku ketahui itu adalah rumah yang
ditinggali nenek dan kakek.
Aku lihat ke halamannya sudah diberi atap selipir, ada banyak

41
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kursi berjejer, dan ada hiasan janur yang indah. Ada banyak orang ber-
lalu lalang, sibuk dengan urusannya masing-masing. Mungkin mereka
mempersiapkan acara yang sebentar akan dimulai. Melihat kedatangan
kami, mereka tertegun sejenak. Ada beberapa yang menyunggingkan
senyum kepada ibu. Tidak mempedulikan mereka, ibu mengajak aku
masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi ibu langsung menemui ayah.
Sejenak ayah terlihat terkejut karena melihat kedatangan kami yang tiba-
tiba dan tidak diharapkan.
“Mau mencari apa kamu ke sini?” tanya ayah ketus kepada ibu.
“Tiang ingin bicara dengan, Bli,” kata-kata ibu terdengar dingin.
“Nah, sekarang sudah bertemu, silakan mau bicara apa. Kamu
sudah tidak punya pilihan lain, selain menerima kenyataan dan mau
dimadu.”
“Jangan bangga dulu, Bli! Dari dahulu tiang sudah bilang, kalau
tiang tidak akan pernah melarang Bli untuk kawin lagi.”
“Lalu, masalahnya apa?”
“Itu tidak berarti tiang mau dimadu Bli. Belum punya istri muda
saja Bli sudah tidak mempedulikan kami. Apalagi nanti kalau Bli sudah
punya istri lagi. Keputusan tiang sudah bulat, Bli. Tiang minta cerai,”
suara ibu terdengar tegas. Sekilas tertangkap ekspresi terkejut di wajah
ayahku. Namun, dengan cepat dia bisa menguasai keadaan.
“Oh, itu yang kamu mau?”
“Tiang akan membawa Luh Budi ke mana tiang pergi”
“Tidak. Luh Budi adalah anak, Bli.”
“Sejak kapan Bli ingat bahwa luh Budi adalah anak Bli? Tiang tidak
percaya nanti Bli bisa mengasuh Luh Budi dengan baik. Sejak lahir Bli
sudah kecewa, bahkan tidak bisa menerima kehadirannya. Lebih baik
dia bersama tiang,” sambil memegangi tangan ibu, akhirnya aku keluar
dari rumah nenek. Terasa lunglai otot-otot aku ketika berjalan mencari
tempat yang aman agar tidak diketahui oleh ayah.” “Aku capek, ibu,”
kataku berbisik pelan dan ibu mengiyakan aku beristirahat.
Ketika hari telah sore aku merebahkan diri di gubuk tua sembari
memeluk potongan kayu. Potongan kayu yang entah sengaja dibuang

42
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
orang atau masih diperlukan. Entahlah. Yang jelas dikala senja itu aku
ingin menggantungkan nasib dan berserah diri kepada Yang Maha
Kuasa seiring dengan terbenamnya matahari.

43
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

MASATIA
Galang Riang Gempita

Sejak kapan kata orang hidup itu adalah pilihan? Karena bagiku
hidup tidak lebih adalah bajingan laknat yang memaksakan apa pun
yang diinginkannya pada kita. Menarik, mendorong, menyeret, dan me-
nyurukkan kita, seolah kita adalah boneka dengan puluhan tali yang ter-
ikat ke tangannya. Dia mengendalikan seluruh indra kita seperti apa
yang diinginkannya. Dia menyembunyikan pilihan dibalik punggung-
nya dan mengatakannya sebagai jawaban. Meminta kita memilih kanan
atau kiri, padahal itu sama sekali tidak ada gunanya.
Bukan salahku, kan, jika sekarang jantungku berdebar kacau tidak
karuan? Ruangan kecil dengan anyaman bambu tipis ini membuatku
merasa klaustrofobia. Panas menyerangku dari mana-mana sementara
keluarga yang duduk di sekitarku memberikanku senyuman me-
nyemangati. Cih, menyemangati. Mereka hanya menggunakanku
sebagai alat untuk mencapai kemashyuran. Kebiadaban yang
diatasnamakan kesetiaan. Membuang jiwa seperti membuang bungkus
makanan sisa. Itukah yang manusia lakukan setiap hari? Bukankah aneh
namanya jika kita benar-benar memiliki idep lalu melakukan hal-hal
bodoh semacam ini?
Hanya meme4 dan bapa5 tidak terlihat seperti semua keluargaku
yang lainnya. Meme merangkul bahuku dengan erat, membisilkan kata-
kata sugestif yang sebenarnya intinya sudah kutangkap, aku melakukan

4 Meme panggilan untuk ibu dalam bahasa dan tradisi Bali


5 Bapa pnggilan untuk ayah dalam bahasa dan tradisi Bali
44
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
hal bodoh ini untuk keluargaku. Untuk memberi mereka kemashyuran.
Katanya tidak perlu ada air mata. Bodoh siapa yang akan menangis
untuk hal-hal sinting begini? Jika melakukannya akan membuat meme
bahagia, untuk apa air mata? Konyol. Aku hanya akan mempermalukan
diriku sendiri jika menangis. Yang perlu aku lakukan hanya menunggu
sampai jenazah orang hebat itu habis menjadi abu, lalu aku berjalan ke-
luar dan melemparkan diriku ke api, mudah, kan? Seperti yang kukata-
kan tadi; membuang jiwa. Lalu, aku akan mati terbakar bahkan tidak
bisa dikenali lagi, bahkan dengan memeriksa tulangku nantinya, itu pun
kalau meme bisa menemukan yang mana tulangku di antara ratusan
tulang lain yang berserakan. Akan tetapi, melihat api yang berkobar di
mata bapa, kurasa dia cukup optimis untuk itu. Yah, aku tidak akan me-
larangnya untuk itu. Biarlah mereka menyimpan tulang itu sebagai
pengingat bahwa aku pernah ada. Akulah anak mereka yang memberi-
kan kemashyuran di masa depan setelah melempar diriku ke api. Di-
umpankan kepada kematian.
Hidupku di Bali memang selalu bergelut dengan gamelan serta
tari. Menari adalah hiudupku, mungkin gamelan itulah kawannya. Jadi,
saat aku mendengar suaranya begitu keras ditingkahi suara kereta api
yang ganas; aku tidak bisa bilang aku sangat tenang. Mendapat sesuatu
yang akrab dengan dirimu sendiri dari lahir dan mengiringinya untuk
menjemput kematianmu sendiri, jelas menumbuhkan perasaan tenang
yang terdengar sinting. Namun, alasan kenapa aku berada di sini saat ini
murni adalah pilihanku. Aku memilihnya. Aku melihat pilihannya
dengan jelas. Pilihannya mati konyol atau mati terhormat? Kurasa
pilihan kedua jauh lebih hebat, kan? Akan tetapi, aku bisa melakukan
keduanya sekaligus. Dengan menjadi bela 6 di upacara ngaben 7 besar-
besaran ini, aku bisa melakukan keduanya. Mati konyol yang dianggap
terhormat.

6 Bela perempuan yang mengorbankan dirinya saat upacara ngaben keluarga kerajaan Bali pada
zaman Belanda
7 Ngaben upacara pembakaran mayat dalam Bali
45
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Mangku8 yang menemaniku tersenyum menyemngati. Oh, ya, dia
pasti mendukung segala jenis kegilaan yang sama dengan semua
kegilaan ini. Berapa banyak orang Belanda yang duduk di sampan
rajaku? Kurasa banyak. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Aku cukup
optimis bahwa mereka memiliki beberpa subjek yang sama dengan
pikiranku. Ini biadab, tetapi, yah, jika ini membuat orang tuamu bangga
setelah selama ini kau hanya bisa membuat mereka malu? Aku akan me-
lakukannya.
“Ini saatnya,” bisik mangku itu padaku, tersenyum.
Meme menatapku dan mengusap rambutku yang kusut masai.
“Apakah kau tahu?”
“Apakah aku takut?” Tidak juga. Aku tidak pernah takut. Setidak-
nya pada pilihan-pilihanku sendiri walaupun itu artinya aku setengah
gila. Bodoh luar biasa atau tidak punya otak. Jadi, aku menggeleng
untuk meyakinkan mata tuanya yang lelah bahwa aku baik-baik saja.
Meme percaya padaku dan itu membuat perasaanku semakin senang
serta tenang menyongsong kematian ini. Mudah membuat meme percaya
karena meme selalu percaya padaku.
Bapa meraih tanganku dan membukanya, lalu meletakkan sebuah
keris di tanganku. Aku tahu keris ini. Bapa selalu mengelapnya dan me-
nyiramkan air kembang ke keris ini setiap purnama, tilem, 9 dan
kajengkliwon 10 . Kata bapakeris ini sakti. Entahlah, itu imajinasinya saja
atau sugesti bodoh lainnya; dia cukup yakin atas itu. Aku meng-
genggamnya erat-erat, merasakan konturnya yang dingin dan berlekuk
tajam, ujungnya begitu pipih hingga aku yakin dia bisa mengiris nadiku
dengan sangat bersih dan tepat sasaran. Akan tetapi, untuk kali ini;
kematian instan bukanlah kuncinya. Bapa menatapku, tatapannya sedih.
Akan tetapi, aku berani. Aku melakukannya karena aku mau. Aku
melakukannya karena aku ingin membahagiakan mereka. Jika ke-
konyolan, kebiadaban, dan kelaknatan ini membuat mereka termashyur,

8 Mangku: pendeta yang memimpin upacara adat dalam tradisi Bali


9 Purnama, bulan purnama saat itu umat Hindu mempersembahkan segehan.
10 Tilem, bulan mati saat itu umat Hindu mempersembahkan segehan.

46
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
aku akan melakukannya. Apa pun jenisnya.
“Bapa menyayangimu, Ning. Selamanya,” dia merengkuhku dalam
pelukannya yang sudah kuingat seumur hidupku. Dia selalu memeluk-
ku dengan cara ini; kedua lengannya yang kuat serta terbakar matahari
karena seharian mencangkul di sawah selalu membuatku merasa aman.
Bahkan, jika kematian itu sudah menghembuskan napas busuknya ke
wajahku. Selama bapa memelukku; aku baik-baik saja. Jadi, aku meng-
angguk padanya. “Kematian tidak akan bisa merenggumu dari bapa.
Bapa dan meme sudah tua, bapa rasa kami akan menyusulmu sebentar
lagi.
Aku tersenyum dan mengangguk, setegas mungkin. Aku baik-baik
saja, Pa. Aku tersenyum dan menepuk pipinya lagi. Menggerakkan
tanganku memintanya untuk tidak sedih karena inilah yang kuinginkan.
Sejauh itu pula, aku belum berubah pikiran. Itu bagus, kan? Karena aku
cenderung suka mengubah pikiranku seperti mengganti kain yang akan
kugunakan. Kuasa inilah takdirku; inilah akhir yang Tuhan gariskan
untuk hidupku. Sejujurnya, ini akhir yang sangat menarik.
Terdengar suara gamelan megah dari luar sana, api meretih dan
merembet naik. Menjilat jembatan yang akan menjadi tempat terakhirku.
Minyak yang dibalurkan di atas sana mulai merepet karena apinya.
Jingga, jingga, dan melulu jingga. Jingga itu jelek. Pilihan warna paling
buruk yang pernah Tuhan oleskan untuk langit. Jingga tidak pernah jadi
warna favoritku; aku selalu mencintai ungu. Ungu saat matahari mulai
terbenam; menghablurkan jingga menjadi malam. Akan tetapi, jingga
akan jadi penghancur tidur abadiku. Pilihan apa lagi yang bisa kubuat
sejauh ini?
Jadi aku berdiri dan membenahi kain putih yang membalut tubuh-
ku; menatap kedua orang tuaku serta adikku yang tertidur. Betapa
mudahnya menjadi dia, yang belum mengerti bahwa kakaknya yang
bisu ini akan mengorbankan diri demi kemashyurannya di masa depan.
Aku tersenyum pada kedua orang tuaku yang terlihat seperti
menegarkan diri mereka sendiri. Aku akan membiarkan mereka menata
diri mereka sendiri. Sementara itu, aku menyambut pelukan kematian

47
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
yang mulai tersenyum. Mangku dan keluargaku mengiringiku berjalan
keluar dari ruangan sempit panas ini menuju jembatan panas yang
menungguku. Kepalaku berputar saat mencium aroma dupa yang
dinyalakan berlusin-lusin, keluargaku menyemangatiku untuk melaku-
kan ini.
Suara gamelan membuatku semakin nyaman hingga kepalaku te-
rasa lepas dari tempatnya. Aku mempererat genggamanku pada keris
bapa dan mulai menari.
Jangan tanya, bagaimana aku bisa menari karena aku tidak tahu!
Aku menari seperti orang sinting. Kakiku bergerak sendiri, merpati-
merpati terbang melewatiku. Putih, abu-abu… warnanya memudar
bersama asap yang membumbung. Apa kata Mangku kemarin? Merpati
itu melambangkan kebebasan atma bahwa pengorbananku diterima
Dewa. Jujur, bagian pengorbananku diterima Dewa itu membuat
perasaanku lebih baik, jauh lebih baik. Walaupun memang perasaanku
tidak pernah buruk. Aku menari terus dan menggunakan kerisku untuk
melukai tubuhku, sakitnya lewat begitu saja. Tanganku bergerak, jarak
antara diriku serta kematian mulai mendekat. Aku sudah melihat
seringainya. Menggodaku untuk datang, menjanjikan sebuah tempat
yang menenangkan di sisinya. Kebebasan yang tidak terbayangkan.
Benarkah kematian terlihat sebaik itu? Aku tersenyum dalam laut-
an jingga dan merah kental menjijikkan; kematian ternyata jauh lebih
baik daripada kehidupan. Siapa sangka? Atau karena aku sudah siap
untuk semua ini? Apa pun iitu. Aku tidak cukup beradab untuk peduli.
Aku hanya melakukannya demi keluargaku. Kemashyuran yang dijanji-
kannya. Satu-satunya hal membanggakan yang bisa dilakukan oang bisu
sepertiku.
Aku berhenti di ujung jembatan, menunduk dengan pandangan
berbayang-bayang. Aku melihat api yang berkobar, semuanya jingga
menyakiti mataku. Aku kembali tersenyum sebelum menusukkan keris
itu ke dalam perutku, menembus seluruh kulit keduniawian yang ku-
bawa sejak lahir. Menariknya melintang hingga terbuka hanya untuk
kesenanganku sendiri; simbolis bahwa aku sudah melepaskan

48
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
keduniawianku selama ini. Darah merebes ke kakiku, membuat
pijakanku lengket dan becek. Sorak-sorai menyemangati terdengar dari
bawahku. Jenazah pangeran itu sudah lenyap, habis. Ini saatnya
mayatku yang lenyap. Mengiringinya mencapai surga. Aku tertawa.
Aku memang sudah sinting, kan? Jadi, tidak ada salahnya tertawa
saat kematian itu memelukku. Pelukannya hangat dan menenangkan,
jauh lebih menenankan dari pelukan bapa. Terakhir, kubiarkan pijakanku
menghilang. Tubuhku meluncur merengkuh api yang berkobar tanpa
ampun. Panas menemukanku. Memenjarakanku dalam sensasi yang
membingungkan. Aku diputar, ditekan, dan dicekik oleh panas dan api.
Tidak ada jeritan karena aku tidak bisa menjerit. Tidak ada air mata
karena bagiku konyol sekali menangis saat kemasyuran akhirnya
diterima. Aku senang. Aku senang sekali.
Hanya inilah yang bisa kulakukan untuk Bapa dan Meme. Hanya
ini. Terimalah bakti terakhir anakmu, Pa, Me.

49
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

CAHAYA HIJAU SEUSAI PERANG


Ni Putu Santhi Widiastuti

Aku terjebak di dalam salah satu dari mereka, mimpi buruk


mengerikan. Keadaan mengharuskanku untuk tetap dari mereka, mimpi
buruk mengerikan. Keadaan mengharuskanku untuk tetap lari, berlari
sampai paru-paruku akan meledak sesegera, tetapi aku tak dapat mem-
buat tubuhku bergerak semakin cepat. Otakku menginginkanku berlari
sekencang-kencangnya, bila perlu secepat kecepatan cahaya. Namun,
kakiku memaksa untuk bergerak lebih lembat dan semakin lambat
ketika aku berjuan melalui kerumunan orang tak berperasaan. Namun,
ini bukan mimpi yang dapat kuhindari atau kuubah dengan sekali
kedipan mata. Aku tak dapat membuat tubuhku bergerak semakin cepat.
Otakku menginginkanku berlari sekencang-kencangnya, bila perlu
secepat kecepatan cahaya. Namun, kakiku memaksa untuk bergerak
lebih lambat dan semakin lambat ketika aku berjalan melalui kerumunan
orang tak berperasaan. Namun, ini bukan mimpi yang dapat kuhindari
atau kuubah dengan sekali kedipan mata. Aku tak usaha menghindari-
nya, aku sedang berlomba mengapai hal berharga, lebih berharga dari
kehidupanku sendiri.
Aku tidak mempersalahkan berapa banyak musuh yang berhasil
kuhitung yang berusaha mengerumuniku sekarang. Waktu berjalan
sangat lambat di bawah telapak kakiku, aku bahkan sudah kehilangan
selera untuk bertahan hidup. Namun, aku tidaklah sendiri. Pedih yang
kurasakan tak sebanding dengan para pejuang heroik yang berani
mengacungkan ujung tombaknya melawan tangan-tangan jahanam yang

50
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
berhasil memporak-porandakan dan mengoyak isi dunia.
*****
Di bawah naungan terik matahari, butir-butir keringat mulai
mengitari dahiku yang tertutup rambut. Baju berwarna kusam yang
kukenakan terasa mengikat tubuhku dengan erat dan sesak. Lututku
terasa perih dan nyeri, begitu pula dengan pergelangan kakiku yang
terasa dililit berjuta-juta serabut akar gantung.
Indra penciumanku sesekali menangkap bau amis yang sudah tak
asing lagi. Masih membekas diingatanku, para penghisap darah itu tak
segan-segan membantai setiap insan yang masih menghembuskan
napas. Tak cukup mengombang-ambing kehidupan si rakyat jelata,
tetapi dengan rakusnya tangan-tangan besi itu juga mengoyak organ
jantung mereka hingga tak ada lagi yang dapat bernapas selain kaum-
nya.
Seper detik kemudian, aku berhasil mendapat kesadaranku se-
penuhnya, tersadar dari segala kenyataan yang memabukkan. File-file
film seperti terekam ulang di kepalaku. Saat kaum kepalaku. Saat kaum
berdarah biru itu menertawai jiwa-jiwa yang meraung-raung ditelapak
kakinya, teriak-teriakan histeris mereka, perlawanan yang sempat me-
reka lakukan, semua berkelebat di dalam kepalaku. Sebelumnya, aku
tidak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku mengalami hal sesedih
ini, memikirkan sebuah kematian dan melihatnya sendiri. Membuatku
bergidik. Meskipun aku punya cukup alasan beberapa bulan terakhir
ini, tetapi kalaupun memiliki alasan, aku tak pernah membayangkan
akan seperti ini. Terperangkap di tempat setiap orang yang kau temui
akan memangsamu secepat mungkin. Terus bersembunyi di bawah
ketiakmu sendiri, mengumpulkan secercah harapan untuk masa depan.
“Siapa kau?” Tanya seseorang mengagetkanku dari pemikiranku
yang telah melanglang buana entah ke bagian mana. Seketika saja
jantungku berhenti memompa darah ke seluruh tubuhku. Lidahku kelu.
Aku mendapati diriku sedang menahan napas. Kuputar kepalaku
beberapa derajat menghadap si empunya suara. Aku seketika mendesah
keras ketika yang kuhadapi bukanlah orang dengan topi aneh di kepala

51
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
mereka lalu berbicara menggunakan bahasa planet yang tidak kupahami
dan membaa senapan api di tangannya. Seseorang itu hanyalah pemuda
berwajah dekil dengan beberapa bekas luka yang bersarang di bibirnya
yang cukup manis.
“Maya, kamu bisa memanggilku begitu,” kataku tak mengalihkan
pandangaku dari matanya yang berwarna senada dengan rambutnya.
Dark brown, seakan menyadarinya, ia segera membuang pandangannya
ke rerumputan yang bergemerisik di dekat kakinya. Ia melemparkan
tubuhnya di dekatku. Mencerna buntalan-buntalan angin yang ber-
kelebat di wajahnya.
“Panggil saja aku, Kafka,” jawabnya santai. Aku diam.
“Lalu … bagaimana kamu bisa sampai di sini?” tanyaku, mem-
bunuh waktu seper detik tadi yang cukup sunyi.
“Insting menyuruhku ke sini, kukira ia menyuruhku menyelamat-
kanmu.”
“Sungguh?” Aku terkekeh walau makin tak mengerti arah pem-
bicaraannya. Aku merasa bodoh telah bertanya hal tak penting seperti
ini.
“Tentu saja tidak, bodoh!” ledeknya. Aku bungkam, aku hanya
merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menanggapi candanya.
Walaupun aku tak tahu pasti, ia bercanda atau tidak. Masa bodoh!
“Ah, kau sungguh pintar pencari tempat bersembunyi,” ia ber-
guman tak jelas kepada siapa, kemudian melanjutkan.
“Awalnya kukira sarang mereka di sini, tapi setelah melihat pagar
berduri itu, aku yakin mereka tidak ada di sini, lalu bagaimana kau bisa
masuk ke sini? Bagaimana kau bisa melewati pagar berduri itu?” kata-
nya tak sabar menebakan pertanyaan demi pertanyaan.
“Aku hanya memanjatnya,” kataku ringan. Kualihkan pandangan
ke tanah basah di dekat tanganku bertumpu. Aneh. Rasanya hatiku
sangat ringan saat mendengar suaranya yang lembut, aku bahkan
melupakan luka di lututku. Aku merasa sudah sangat akrab dengan
sosoknya.
“Ah, pantas saja lututmu terluka … cepat menunduk!” perintah-

52
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
nya cepat. Suaranya seperti bisikan, tetapi antena pendengaranku masih
bisa menangkap maksudnya. Aku hanya menurutinya, setengah me-
meluk ia memegang belakang punggungku dan semakin menekannya
ke bawah. Pelukannya yang hangat membuat sistem pernapasanku
mulai tak berjalan semestinya. Tidak cukup itu saja, tangannya yang
hangat berhasil mengirimkan berpuluh-puluh watt setrum ke jantungku
dan membuatnya bergemuruh tidak keruan.
“Ada apa?” bisikku, tubuh kami sangat dekat saat ini. Aku masih
bisa mencium bau peluhnya, tidak bau. Hanya saja aku tahu itu bau
peluhnya. Rambutnya yang lurus dan lembut dapat kulihat dengan jelas.
Indah.
Ia tak menjawabku, hanya menempelkan jari telunjuknya di depan
bibir tipisnya yang samar-samar terlihat berwarna merah. Aku mengerti.
Kurasa pasukan bersenjata itu mulai menjelajahi daerah ini. Tubuh kami
hanya dihalangi oleh pohon kelapa yang menjulang tinggi dan
gundukkan tanah yang tak seberapa tinggi. Kudengar derap langkahnya
semakin dekat, tetapi aku tak dapat memastikan sedekat apa mereka
dengan posisiku sekarang. Salah seorang dengan suara beratnya mulai
bergumam tidak jelas, aku tak mengerti ia mengatakan apa. Akan tetapi,
setelah itu, kurasakan langkah mereka menjauh. Aman.
Kafka mulai melonggarakan pegangannya pada punggungku, se-
detik kemudian aku mulai bisa bernapas normal. Ia tersenyum
memandangku, pandangannya serupa dengan seorang pahlawan yang
berhasil menyelamatkan rakyatnya dari bahaya yang hampir saja
memangsa jiwa-jiwa tidak berdosa.
Errr… kurasakan perutku berdenyut tak jelas. Ini efek tidak makan
sejak kemarin siang. Sungguh malang, aku hanya bisa menyembunyi-
kannya di balik senyumku.
“Lebih baik kita cepat menjauh dari sini, daerah ini mulai menjadi
sarang mereka yang baru,” sarannya. Aku hanya mengangguk pendek
dan mengikuti langkahnya ke arah matahari terbit.
***
Aku dan Kafka mengistirahatkan kaki di tepian sungai, rasanya

53
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
engsel kaki kami mau lepas saja. Sekitar tiga jam kami mau lepas saja.
Sekitar tiga jam kami berjalan-jalan tidak tentu arah, tak tahu jalan mana
yang harus kami ikuti, ataupun tempat mana yang dapat digunakan
untuk tempat mengempaskan diri. Matahari tidak lagi tampak, yang
tampak hanya cahaya bulan yang tepat bernaung di langit atas kepala
kami.
Angin malam mencoba mengusik rambutku yang kubiarkan ter-
urai, rasa dingin yang mematikan menusuk sampai ke tulang rusukku.
Kurasa hal itu juga berpengaruh pada lambungku yang terasa berenyut
tak keruan dan rasa perihnya kembali melayang-layang di lambungku.
De Javu, merasakan angin malam seperti ini mengingatkanku saat
bersama dahulu dengan ayah, ibu, dan kak Rangga. Kemana mereka
sekarang? Terakhir kali kulihat, kaum jahanam itu berhasil memangsa-
nya. Mereka disiksa begitu saja, aku berusaha menyelamatkan sekuat
tenaga. Namun, kakak mendorongku dan menyuruhku lari sekencang-
kencangnya. Yang kutahu saat itu hanyalah mencari seseorang yang bisa
menyelamatkan mereka. Akan tetapi, terlambat kusadari. Mereka lebih
dahulu meninggalkanku, pergi ke tempat paling indah dan tidak ada
lagi yang mengejar-ngejarmu dan berusaha memangsamu hidup-hidup.
Aku benci orang-orang tak tahu diri yang mengusik ketenangan kami
dan menghancurkan harapan yang kami rajut bersama-sama. Semua
tinggal abu gosong, semua pergi tanpa bekas, dan tidak ada yang bisa
mengembalikannya ke titik nol lagi. Kepedihan itu sangat menyesakkan
hingga membuatku tak sadarkan diri untuk beberapa menit. Kurasa.
Mengingat memori kepahitan itu, membuat bulir-bulir kepedihan yang
terbendung di pelupuk mataku mulai menetes satu per satu penuh
irama. Aku segera menyapunya dengan tanganku sebelum pemuda itu
menyadarinya.
“Apa kau lapar?” Tanya Kafka mengagetkanku. Ia berhasil mem-
buatku berpijak kembali ke bumi, entah bagaimana tanpa ia. Aku pasti
akan terus melayang-layang memikirkan puing-puing penderitaan
keluargaku. Kemudian, aku hanya mengangguk pendek tanpa
memandangnya. Bahkan, sampai sekarang perihnya masih berdenyut-

54
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
denyut, batinku.
“Aku juga, tapi aku tak menemukan apapun yang dapat kita
makan …,” ia mendesah panjang. Kemudian.
“Sepertinya akan turun hujan, apa kau merasakan ada tetes-tetesan
air mengenai wajahmu?” lanjutnya. Aku mengangguk sekali lagi.
“Iya, lebih baik kita cari tempat berteduh,” kataku. Kemudian, aku
tidak mau ia menganggapku tuli atau gagu karena sedari tadi hanya
mengangguk seperti anjing peliharaan. Ia lalu menunjuk pohon dengan
dahannya yang cukup rindang. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat-
ku beristirahat.
Samar-samar kudengar suara tembakan yang diikuti gemuruh
teriak histeris. Bertahanlah, batinku. Pasukan tak tahu malu itu kurasa
sebentar lagi akan membumihanguskan kota tempatku pertama kali
menghirup udara dari paru-parukuyang mungil, mengilhami sebuah arti
kehidupan dan cerita cinta sebuah kedamaian. Apa ini akhir sebuah ke-
bahagiaan yang melambungkanku jauh ke atas dan kini melesat jauh ke
dasar? Aku tak ingin tahu.
Aku masih sibuk dengan pemikiranku ketika hujan mulai meng-
guyur kami. Menembaki jarum-jarum air tiada ampun. Basah pun tak
terelakkan. Suaranya begitu menyeramkan merasuki pendengaranku.
Bunyi tembakan-tembakan yang semakin sering kudengar tak mau kalah
dengan suara hujan. Tembakan dan hujan menjadi satu aliran irama
yang menyesakkan.
Aku mulai melebarkan langkahku dan sedikit berlari-lari kecil,
tetapi perutku tak mau berkompromi. Semakin cepat langkahku, rasa
perihnya semakin menjadi-jadi. Kafka yang sedari tadi memimpin mulai
memelankan langkahnya, kurasa ia menyadari perubahan sikapku.
“Apa yang terjadi?” setetes kekhawatiran terlihat dalam per-
tanyaannya. Aku hanya menggeleng, melanjutkan perjalanan yang
tinggal sepuluh langkah lagi. Ia memegangi pundakku dan menuntun-
ku. Tubuhku ataupun tubuhnya sama-sama basah, ia mendudukanku
tepat di bawah pohon itu. Perih di perutku tidak bersorak-sorai seperti
tadi walaupun masih sedikit terasa. Akan tetapi, giliran tanganku yang

55
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
mulai gemetar, tidak tertinggal bibirku yang terus bergemeletuk. Sial.
“Kamu yakin tidak apa-apa, aku rasa sekarang bibirmu sedikit
kebiruan dan wajahmu … pucat?” “Aku tidak yakin dia bertanya atau
itu sebuah pernyataan, apa ia dapat melihat warna wajahku di tengah
kegelapan seperti ini?” Batinku. Akan tetapi, aku merasakan dadaku
sesak, sulit sekali mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Ketika
kusadari, tangis sudah menyeruak di tengah-tengah kami. Aku tak bisa
menahannya. Air mataku senada dengan derasnya hujan yang mem-
banjiriku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mengapa aku menangis?
Itulah pertanyaan yang menyembur dari pikiranku. Kafka meng-
gerakkan tubuhnya dan memelukku. Rasanya hangat sekali walau aku
tahu tubuhnya juga basah.
“Kamu mengingatkanku tentang kakakku,” bisikku di sela tangis,
pilihan kalimat itu yang akhirnya mampu kukatakan. Kurasa itu tak
dapat dikatakan bisikan. Suaraku begitu sumbang saat mengatakannya.
“Kak Rangga?” tanyanya polos, tangan kanannya menepuk
punggungku dengan lembut. Aku mendongak saat menyadari per-
tanyaannya tadi, mataku yang terasa perih saat memaksa memandang-
nya, mencari-cari penjelasan di dalam mata cokelat gelap itu.
“Aku sahabatnya,” sambungnya setelah beberapa detik diam. Ia
kemudian mengelus rambutku yang basah.
“Kamu demam,” gumamnya, pernyataannya seakan memberi tahu
dirinya sendiri. Ia melonggarkan pelukannya. ”Aku bisa menjadi
keluarga kedua untukmu jika kamu mau.”
“Aku juga kehilangan semua, ayah, ibu, dan kakek … semua,”
ceritanya lirih. Air mukanya tiba-tiba saja menampakan raut kepedihan
yang kelam. Hening.
“Aaaaaaa! teriakan itu tiba-tiba saja mengguncang kesunyian di
antara kami. Teriakan itu terasa semakin dekat dengan kami, menyibak-
kan luka dalam yang baru setengah sembuh di hatiku.
“Terima kasih, Kafka,” kataku akhirnya, memaksakan menggerak-
kan saraf-saraf lidahku.
“Aku rindu keluargaku, terutama mama,” kataku jujur, berusaha

56
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
terlihat tenang. Rasa pedih yang menyerangku semakin menyesakkan,
aku berusaha menahannya. Akan tetapi, tidak bisa, semua terlihat kabur.
Kafka terlihat begitu berbeda di penglihatanku. Tolong aku. Lidahku
kelu, badanku gemetar tiada henti, air hujan mulai menghalangi
pandanganku. Apa benar air hujan penyebabnya? Tiba-tiba saja gelap
telah melingkupi semuanya, terakhir yang kudengar teriakan pemuda
itu memanggil namaku berlomba dengan suara dearasnya hujan dan
sorak-sorai teriakan bernada memohon di ujung sana.
***
“Ibu, ibu, itukah kau?” teriakku sebisa mungkin. Akan tetapi,
hujan menelan suaraku. Sosok itu mendekat, lalu ia tersenyum padaku.
Ya, itu, ibu. Aku yakin sepenuhnya.
“Ibu, jangan pergi lagi … tinggallah bersamaku dan Kafka,” bujuk-
ku. Ibu tak bergeming bibirnya masih membingkai senyumnya yang
manis. Ia mengulurkan tangannya padaku, rasanya dingin sekali.
“Ikutlah denganku,” katanya kemudian setelah membisu beberapa
detik. Aku menggeleng.
“Bagaimana dengan Kafka, Bu? kataku lirih.
“Ia akan bahagia, memperjuangkan tekad yang sudah bergantung
erat di hatinya,” Ibu menjelaskan. Ia menarik tanganku lembut, meng-
ajakku berjalan. Jauh, jauh sekali. Akan tetapi, aku tak ingin menolaknya,
aku patuh mengikutinya. Di sanalah mungkin aku menemukan kesejuk-
an sebuah kasih sayang, bersama cahaya hijauku. Ibuku.
Kafka mengguncangkan tubuh mungil itu. Tidak ada reaksi.
Selama lima menit ini ia berusaha membangunkannya, tetapi tetap tidak
ada reaksi. Matahari hampir di atas kepala, tetapi gadis di pangkuannya
masih belum sadar juga. Ia mendesah panjang sekali lagi. Teringat
tentang segala cerita hidupnya yang penuh dengan kepahitan, tetapi
gadis ini berhasil mengisi sedikit ruang kebahagiaan yang tersimpan
jauh tenggelam di dasar hatinya. Wajah gadis itu telah menghiasi warna
hidupnya kurang dari 24 jam, menghidupkan kebahagiaan yang
memabukkan, tetapi terlalu cepat membuatnya terkulai lemas saat
menyadari sosoknya telah melambung jauh. Mengingatkan tentang

57
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
keluarganya yang juga lebih dahulu menggapai kebahagiaan. Kini, sosok
gadis itu telah menghempas jauh ke dunia lain yang ia tak mengerti.
Jauh sekali hingga ia tak tahu kapan bisa menyusulnya. Namun, ia yakin
gadis ini sangat senang sudah bertemu dengan keluarganya sekarang. Ia
pun senang. Terima kasih telah menyadarkanku tentang arti sebuah
perjuangan hatinya.

58
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

HARAPAN DALAM SENJA


Luh Hias Widiasih

Langkah Danu gontai, ia sangat lelah menempuh perjalanannya


yang jauh dari sekolahnya menuju rumahnya. Perutnya keroncongan
sebab sedari tadi pagi, ia hanya makan buah mangga yang dipetiknya
sewaktu jalan dari pasar menuju sekolah. Perutnya benar-benar merasa
kosong. Kerongkongannya terasa kering. Langkah kakinya semakin
berat karena harus membawa buah nangka yang tidak laku dijualnya
tadi pagi di pasar. Dini hari sebelum sekolah, Danu harus menjual hasil
kebunnya terlebih dahulu seperti daun paku, daun pisang, dan lain-lain
demi mendapatkan uang jajan. Namun, sekarang ia harus rela menyisih-
kan uangnya untuk membayar tunggakan buku di sekolahnya. Sepatu-
nya yang telah tipis terkikis tanah karena hampir setiap hari harus
bergesekan dengan jalanan beraspal, sudah sampai pada batas ke-
mampuannya. Sepatunya berlubang. Hal itu mengakibatkan panasnya
aspal jalanan menyentuh kulit talapak kakinya.
Akhirnya, ia sampai pada rumahnya. Rumah yang sangat
sederhana hanya berdinding batu bata yang di sisi-sisinya sudah retak
akibat gempa beberapa bulan lalu. Ia pergi menuju dapur yang tidak
terkunci. Masyarakat di desa ini sangat saling percaya karena mereka
menganggap bahwa semua penduduk adalah saudara. Ketika bepergian
ke sawah ataupun ke kebun, rumah mereka tidak pernah dikunci kecuali
pintu kamar. Di desa ini juga antara rumah dan dapur dibangun terpisah
dalam satu perkarangan rumah.
Perlahan dibukanya gentong tempat air minum yang terbuat dari

59
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
tanah liat. Danu bernapas lega, untung saja masih ada air jika tidak, ia
harus pergi ke pangkung. Di sana ada sebuah mata air alami, yang airnya
sangat jernih, air itu disalurkan lewat pancuran dari bambu. Penduduk
di desa ini mengambil air dari sana dan digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari. Karena tidak ada air PAM, di desa terpencil seperti Ringdikit
ini, untung saja walaupun musim kemarau datang air tersebut tidak
pernah surut.
Diambilnya sebuah sendokan air khusus yang terbuat dari batok
kelapa dan pegangannya terbuat dari kayu. Disendoknya air tersebut
dan dituangkan ke dalam gelas, diminumnya perlahan. Rasa lelahnya
sedikit berkurang, haus yang sedari tadi ia rasakan dapat terobati.
Namun, perutnya masih lapar. Ia pun berjalan ingin melihat apakah ada
yang dapat ia makan. Tiba-tiba adik perempuannya yang baru berumur
sembilan tahun muncul dari balik pintu dapur yang tidak ditutup.
“Bli udah pulang, ya, bli nasinya habis. Dari tadi Komang tungu-
tungu bli datang. Komang lapar, kata adiknya dengan tampang yang
lugu. Danu menghela napas hampir setiap hari dia harus begini. Pulang
dan tidak mendapati makanan apa pun untuk menganjal perutnya. Ia
juga kasihan pada adiknya, adiknya harus menahan lapar dan me-
nunggu dirinya terlebih dahulu. Orang tuanya bukannya tidak mau
menanak nasi untuk mereka, hanya saja mereka tidak bisa. Terlebih
sekarang masan ngulah kedis, mereka sedang repot-repotnya mengurusi
sawah yang bukan milik mereka. Namun, jika panen tiba orang tua
Danu akan mendapatkan upah. Ayahnya juga harus mengurus sapi-sapi
dan ngarit untuk mendapatkan makanan sapi. Mungkin orang tuanya
pun belum tentu sudah makan sekarang, mungkin hanya sempat makan
nasi yang kemarin.
“Iya, tunggu sebentar, ya, bli mau masak nasi dahulu,” adiknya
mengangguk lesu.
Danu pun segera mengambil beras, dilihatnya persediaan beras
yang kian menipis. Diambilnya beberapa sendok beras untuk dimasak
agar cukup hingga nanti malam, lalu dicuci dan direndamnya. Rasa
laparnya semakin menjadi-jadi. Danu mengambil beberapa kayu yang

60
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
telah kering sebagai kayu bakar dan juga beberapa daun kelapa kering
untuk membuat api. Api dinyalakan oleh Danu. Diambilnya panci
khusus untuk memasak nasi dan diletakkan di atas bungut paon. Setelah
air mendidih dimasukkannya beras kedalam sebuah kukusan berbentuk
kojong yang terbuat dari anyaman bambu, lalu ditaruh di dalam panci
dan ditutup menggunakan tutup yang terbuat dari tanah liat.
Adiknya datang lagi, “Bli sudah selesai belum? Kok, lama sekali.
Komang sudah mengerjakan PR. Komang sudah lapar,” kata adiknya
merengek. Padahal, ia sendiri juga sangat lapar.
“Sabar nae, Bli baru aja masukan berasnya,” kata Danu mencoba
menenangkan adiknya sambil tetap menjaga api agar tidak padam.
Proses memasak dengan kayu bakar memang membutuhkan waktu
yang lumayan lama.
“Lapar…,” kata adiknya lagi sambil duduk di atas bangku kecil di
samping kakaknya. Asap hasil pembakaran kayu bakar membuat seisi
ruangan menjadi pengap.
“Ya, sudah Komang tidur siang aja sana dahulu, nanti kalau nasi-
nya sudah matang bli bangunkan, ya,” kata Danu membujuk adiknya.
Adiknya mengangguk lemas dan beranjak pergi dari dapur.
Suara keroncongan perut Danu terdengar, dipegang, dan ditekan-
nya perutnya yang keroncongan itu. Setelah menunggu cukup lama
akhirnya nasi setengah matang dan harus diangkat lagi, biasanya nasi
setengah matang itu disebut aruan. Nasi itu harus diaduk dan ditambah
sedikit air dan didiamkan beberapa saat, lalu setelah itu dimasak
kembali.
Danu seolah tidak mau waktunya terbuang percuma. Karena bagi-
nya, bila ia kehilangan uangnya, ia hanya kehilangan uangnya, tetapi
bila ia kehilangan waktunya, itu tandanya ia telah kehilangan separuh
hidupnya. Ia pun mengambil buku biologi dari dalam tasnya. Meskipun
lapar mendera, tetapi ia tahan. Biologi yang merupakan ilmu yang mem-
pelajari mahluk hidup itu, pelajaran yang paling ia gemari. Beruntung
Danu masih bisa sekolah dan sekarang tengah duduk dibangku kelas
dua SMA. Namun, Danu harus sedikit bekerja keras untuk dapat ber-

61
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
sekolah. Ia harus bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya sendiri. Jika ia
meminta pada orang tuanya, ia merasa malu. Karena orang tuanya saja
juga sangat kesusahan. Namun, bagi Danu pendidikan adalah tiang
kehidupan yang harus bisa dibangun dengan sekokoh mungkin agar
tidak cepat roboh hanya dengan ditiup hembusan angin.
Danu juga memiliki cita-cita dan harapan. Dahulu, ia selalu ingin
menjadi dokter agar dapat menyembuhkan orang dari penyakit. Ter-
lebih, bila dia ingat lagi akan kakak laki-lakinya yang meninggal akibat
terlambat dibawa ke dokter karena tak punya biaya. Namun, sekarang ia
berubah haluan. Ia tak ingin hal yang jauh-jauh, ia hanya ingin menjadi
seorang petani. Ya, petani. Petani yang dapat menyuburkan tanah Bali,
petani yang sukses. Bukan petani yang terpuruk dan tergilas roda ke-
miskinan.
Setelah menunggu lama, akhirnya nasi tersebut matang juga. Danu
pun hendak memanggil adiknya, ia berjalan menuju kamar dengan
langkah yang gontai, menahan lapar. Diliriknya jam dinding tua yang
tergantung di tembok. Ternyata waktu sangat cepat berlalu, jarum
pendek berada di tengah-tengah angka satu dan dua, sedangkan jarum
panjangnya tepat berada diangka sembilan. Dibukanya pintu kamar
secara perlahan hingga terlihat adiknya yang tertidur pulas. Danu
mengurungkan niatnya untuk membangunkan adiknya, ia tidak tega
membangunkan adiknya yang tertidur begitu pulas.
Danu pun beranjak pergi ke dapur dan segera mengisi perutnya
yang sedari tadi sudah menjerit minta diisi. Danu makan dengan lahap
meskipun hanya dengan lauk tahu goreng saja. Semua memang terasa
nikmat bila disyukuri. Perutnya akhirnya terisi, ia pergi dan duduk
sejenak. Ia teringat akan uang buku yang belum lunas. Ia tak mau
menunggak terlalu lama lagi. Ia malu pada Bu Laksmi, wali kelasnya
yang terus memperingatinya.
Ia pun kembali ke dalam rumah mengambil pulpen dan kertas
kosong, ditulisnya suatu pesan untuk adiknya. “Komang, bli sudah
selesai masak nasi, nanti kalau sudah bangun makan dahulu, ya. Bli
tidak tega bangunkan, Mang, yang tidur pulas. Bli mau ke rumah Bu

62
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Luh De dahulu jual nangka yang kemarin.” Diletakkannya pesan tadi di
atas meja, di samping kasur kecil adiknya.
Setelah menuliskan pesan untuk adiknya, Danu segera mengambil
buah nangka yang belum laku dipasar tadi. Ia berniat membawanya ke
Bu Luh De Yang biasanya akan membelinya untuk dibuat godoh nangka.
Meskipun dengan harga yang lebih murah, setidaknya ia mendapatkan
uang. Sebelum nangkanya menjadi kematangan dan tidak ada yang mau
membelinya. Rumah Bu Luh De lumayan jauh agar cepat sampai Danu
lebih memilih melewati pematang sawah dan masuk ke ladang yang
rimbun. Akhirnya, ia sampai di rumah Bu Luh De. Danu berharap nang-
kanya bisa menutupi biaya tunggakan bukunya selama ini.
Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia baru menyadari warung Bu Luh
De tutup. Itu artinya Bu Luh De tidak ada di rumah. “Bu Luh De…,”
panggil Danu, siapa tahu saja Bu Luh De ada di dalam dan kebetulan ti-
dak jualan karena kurang enak badan. Dipanggilnya untuk kedua kali-
nya, tetapi nihil. Beberapa saat kemudian ada Bu Darmi yang lewat.
“Eh, Danu nyari Bu Luh De, ya?” Danu mengangguk.
“Danu mau jual nangka,” kata Danu menerangkan tujuannya.
“Bu Luh De tidak ada, sedang majenukan di rumah saudaranya
yang ada di Busung Biu,” terang Ibu Darmi. Danu mengangguk pasrah,
untuk kedua kalinya nangkanya tidak laku juga. Ia lesu hendak berbalik
pulang, mungkin ia harus mencari daun pisang dan daun paku yang
lebih banyak lagi untuk dijual keesokan harinya.
“Jual nangka untuk apa, Danu?” tanya Bu Darmi yang membuat
langkah Danu berhenti.
“Bayar buku, Bu” terang Danu seadanya.
“Berapa memangnya yang bukunya Danu?”
“Enam puluh ribu”
“Kalau begitu kamu bantu ibu saja, ya, potongin daun dagdag dan
gedebong buat makanan babi.” Danu sangat senang mendengar tawaran
Bu Darmi, ia menerima tawaran tersebut dengan anggukan dan
senyuman yang mantap.
Diikutinya Bu Darmi menuju rumahnya, sambil membayangkan

63
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
bahwa ia akan segera melunasi pembayaran bukunya tanpa ada perasa-
an was-was lagi karena pembayaran yang belum lunas. Sampai di rumah
Bu Darmi, Danu segera mengambil peralatan yang telah disediakan dan
memotong bahan-bahan makanan untuk babi. Bu Darmi memiliki
banyak babi yang dipeliharanya, Danu harus memotong banyak sekali
daun dagdag dan gedebong. Bahan-bahan tersebut juga dapat bertahan
lama sehingga setengahnya dijadikan simpanan makanan untuk babi.
Selain bahan itu, biasanya makanan babi masih harus ditambahkan
sengauk, yaitu nasi basi yang dikeringkan. Bahan-bahan itu harus
dimasak dalam tungku yang berisi air. Itulah makanan babi tradisional
sehingga daging yang dihasilkan berbeda dengan babi-babi yang ada di
kota.
Memotong gedebong harus tipis dan tidak terlalu tebal, lain
dengan memotong daun dagdag yang harus sedikit tebal. Alat untuk me-
motongnya adalah golok yang panjang. Jika salah memotong, bisa-bisa
tanganku yang akan ikut terkena golok itu. Danu memotongnya dengan
cekatan, tetapi tetap hati-hati. Ia telah terbiasa melakukan pekerjaan ini.
Dahulu orang tuanya sempat memelihara seekor babi dan Danulah yang
bertugas member makan. Namun, desakan ekonomi, babi itu harus di-
jual.
Setelah cukup lama, akhirnya pekerjaanya selesai. Bu Darmi pun
memberikan selembar uang lima puluhan dan selembar uang sepuluhan.
“Ini buat bayar buku,” kata Bu Darmi.
“Tapi ini terlalu banyak Bu?” kata Danu tidak enak hati menerima
uang yang baginya cukup banyak untuk pekerjaan yang tidak seberapa.
“Sudah tidak apa-apa buat kamu saja, ibu kebetulan baru dapet
rezeki yang lumayan,” kata Bu Darmi. Danu sangat senang menerima
uang tersebut dan dia tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Bu
Darmi lalu pamit pulang sambil membawa buah nangka tadi.
Danu menelusuri jalan setapak dengan perasaan yang senang dan
lega. Dari kejauhan ia melihat salah satu temannya yang sama melarat-
nya dengan dirinya sedang membawa sekarung rumput untuk makanan
sapi. Danu menyapa temannya dengan ramah, tetapi ia menemukan

64
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
sesuatu yang berbeda dari sosok yang biasanya selalu ceria ini. Lalu,
Danu bertanya dengan penasaran. “Kenapa kamu Kadek, kok jelek sekali
raut mukamu.”
“Duh, Bapakku sakit Danu, sudah tiga hari belum sembuh,” jawab
Kadek dengan muka murung.
“Oh, belum sembuh juga bapakmu yang kemarin kamu certakan?”
Kadek hanya mengangguk.
“Sudah coba minum obat?” Tanya Danu.
“Belum, aku tidak ada uang untuk beli obat. Uangnya sudah habis
untuk bayar utang di warung.” Danu prihatin, Kadek adalah anak piatu,
tidak memiliki ibu. Ia tak tega melihat temannya ini kesusahan jika ia
harus kehilangan seorang bapak. Terlebih, Danu teringat kakaknya yang
meninggal karena terlambat di bawa ke rumah sakit, makin sesak dada-
nya. Diingatnya uang enam puluh ribu tadi ditambah uang hasil pen-
jualan sayur pakunya di pasar, jumlahnya delapan puluh lima ribu
rupiah.
“Kamu bawa bapakmu berobat ke puskemas, terus rawat dia
sampai sembuh,” kata Danu sambil memberikan uang hasil jerih
payahnya tersebut dengan ikhlas.
“Serius kamu, Danu? Aduh, jangan, aku tahu pasti kamu butuh
uang ini? Uang buku saja belum lunas,” kata Kadek menolak karena
tidak enak hati kepada Danu.
“Tidak apalah, Kadek. Aku masih punya nangka ini, besok pasti
laku di pasar. Lagi pula kesehatan bapakmu lebih penting. Bu Laksmi
masih memberikan waktu pelunasan sampai akhir semester nanti,” kata
Danu meyakinkan.
“Terima kasih, ya, Danu, nanti pasti aku kembalikan uangmu ini,
terima kasih, ya,” kata Kadek tersenyum, Danu hanya mengangguk.
Harapan Danu melunasi semua tunggakan bukunya harus tertunda
sementara. Kadek pun pergi dengan langkah yang cepat menuju rumah-
nya setelah sebelumnya berpamitan pada Danu dan akan membawa
bapaknya ke puskesmas.
Kini hanya Danu yang berjalan sendirian pulang menuju rumah-

65
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
nya. Sang surya yang sedari tadi memancarkan sinarnya yang terik kini
mulai membenamkan diri. Suasana senja semakin terlihat. Diliriknya
buah nangka yang dibawanya sedari tadi. Ia menghembuskan napasnya
panjang, setidaknya nangkanya masih bisa menghasilkan uang besok. Ia
berharap nangka tersebut bisa laku sebelum busuk dan tidak bisa dijual
lagi. Kini, ia harus pergi mencari sayur-sayuran dan daun pisang yang
banyak agar dapat dijual besok pagi di pasar. Di tengah senja pada hari
itu, di dalam hati kecilnya Danu berharap ia bisa lebih beruntung lagi
besok dalam mendapatkan kepingan-kepingan rupiah yang lebih banyak
lagi. Harapan dalam senja tersebut, semoga dapat terwujud besok.

66
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

BEKAPAN SINGKAT
Anik Alifiani

Pintu itu membuka. Secara perlahan, tetapi pasti ruangan gelap ini,
akhirnya terkena cahaya. Meski mataku menjadi buta karena benda leng-
ket yang melekat dikedua mataku. Yang jelas benda ini ditempel dengan
paksa dua hari yang lalu oleh seseorang bertangan kasar dengan tato di
sekujurnya. Aku hanya ingat sebatas itu saja. Entah karena otakku sudah
lelah berpikir atau malas mengingatnya. Yang jelas aku sudah berada di
tempat ini sejak dua hari yang lalu. Rasanya perut ini meloncat-loncat
karena kelewat lapar. Walaupun kemarin dan kemarinnya lagi, aku di-
beri makan, tetapi apa nikmatnya makan dengan kedua tangan yang
terikat di sebuah kursi? Memangnya aku hanya tinggal mengunyah
makanan yang sudah disuapi oleh seseorang, tetapi rasa makanan ini
terlalu hambar karena bercampur dengan rasa takut yang mengaduk-
aduk hingga membuat aku mual dan ingin melarikan diri dari tempat
ini.
Bayangkan saja. Aku sudah tidak pulang sejak dua hari yang lalu.
Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Aku pulang dari sekolah dan
hendak mencari ayah. Seperti biasa aku tahu ayah pasti menungguku di
parkir dengan dengan salah satu mobil koleksinya. Ayah pasti sudah
menungguku. Itulah hal terakhir yang aku pikirkan sebelum semuanya
menjadi gelap gulita. Seseorang menutup mataku dengan sapu tangan
yang terlalu berdebu, juga membekap mulut dan hidungku dengan sapu
tangan yang baunya berbeda kali ini. Sampai-sampai membuatku
kesulitan bernapas, entah bagaimana akhirnya saat aku membuka mata,

67
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
aku sudah berada dalam tempat gelap ini. Akan tetapi, sebenarnya aku
tidak tahu juga apakah benar tempat ini benar-benar gelap karena
sebuah lakban menutupi kedua mataku? Ih! Ini terlalu mengerikan
karena awalnya aku merasa buta sungguhan. Akan tetapi, ternyata tidak
karena sewaktu mereka akan membuka benda lengket itu dari mataku,
kemudian pasti ditutup lagi. Aku ingin berbicara masalah ketidak-
tahananku ini. Sayangnya, bibir ini disumbat jejalan kain. Rasanya
sungguh tidak enak. Sampai aku ingin muntah berkali-kali.
Ini sudah hari ketiga. Itu berarti tiga hari sudah aku berada
ditempat gelap ini. Banyak tikus dan suara-suara jangkrik yang mengisi
kekosongan pada kesepian di malam hari. Meski sebenarnya aku tidak
dapat melihat sudah berapa kali matahari terbit dan terbenam, tetapi
untungnya masih ada jam yang melingkar ditanganku. Untung pula
mereka tidak mengambil barang ini. Setidaknya aku masih bisa
memantau waktu. Meskipun aku bisa merasakan tempat ini begitu
terpencil.
Aku jenuh. Bukan karena tidak ada teman di ruangan ini. Karena
muak tatkala ruangan ini terlalu pengap. Ini sudah hari ketiga. Aku
masih tetap duduk di tubuh kursi reyot ini dan yang bergerak saat akan
membuang air kecil. Orang-orang itu tetap mengawasiku. Sekarang aku
hanya bisa menikmati keadaan. Dikunci dan digabung dengan barang-
barang yang sudah tidak berguna. Orang-orang itu membawaku kemari.
Apa berarti sudah tak seberguna itukah aku?
“Ada apa, sih, dengan orang-orang ini? Mengapa aku dikurung
bagaikan tawanan seperti ini? Apa maunya mereka? Semua pertanyaan
itu telah memberontak dalam otakku.
Satu lagi yang membuat aku bingung sekarang. Orang-orang ini
kembali lagi. Ah! Padahal baru saja aku ingin beristirahat. Mengingat
badan ini sudah pegal-pegal tidak karuan. Apa yang menyebabkan
mereka kembali? Apa ada hal yang lupa mereka sampaikan? Bahkan,
mereka ingin menambah porsi makananku? Oh, oh, aku tahu, mereka
pasti ingin memberikan aku selimut. Nyamuk-nyamuk di sini memang
lebih ganas dari yang ada di rumahku. Aku tidak akan pernah mengira

68
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
berapa bentolan merah yang sudah membercak di sekujur tubuhku bila
lakban di mataku dibuka. Hasil dari dua hari gigitan nyamuk.
Bayangkan saja sudah berapa liter darah yang hilang dari tubuhku.
Langkah kaki itu makin mendekat, lalu berhenti. Aku bisa merasa-
kan salah seorang dari mereka tengah berdiri di sampingku. Selanjut-
nya aku tidak tahu persis apa lagi yang dilakukan mereka. Aku hanya
bisa menebak jika salah satu dari mereka tengah mengambil tasku. Aku
bisa merasakannya karena salah seorang dari empat laki-laki itu berkata,
“Apa saja yang dibawa oleh anak ini? Berat sekali!” Tebakanku seperti-
nya akan benar karena selanjutnya telingaku menangkap barang-barang
yang berada di tasku seperti tengah diporak-porandakan keluar. Yang
paling menyakitkan adalah saat mendengar suara keras hasil benda yang
terjatuh ke lantai. Oh, tidak! Mereka pasti membuat kotak pensil kacaku
rusak. Padahal, aku mendapatkan kotak pensil itu dengan susah payah
karena harus berebut dengan teman sebangkuku yang juga ingin
memilikinya. Itu kan kotak pensil edisi terbatas. Sekarang sudah tidak
ada nilai dan artinya lagi. Kini, keadaannya lebih parah dari sebuah
barang bekas. Meski mulanya berharga mahal, kurasa sekarang satu pun
tak ada yang ingin memilikinya. Hmm, aku hanya bisa mengilustrasikan
bagaimana orang-orang itu memperlakukan tasku seperti seekor singa
kelaparan yang sedang mencari mangsa. Apa yang sedang mereka cari?
“Bagaimana? Apa kau menemukannya?”
“Tidak! Tidak ada sama sekali. Barang ini tidak ada gunanya!”
“Astaga!” Sekarang mereka membuang tasku. Setelah meng-
hancurkan kotak pensil kaca milikku, sekarang mereka malah
membuang tasku. Aku mendengar deru napas yang menyerah. Sekarang
aku mendengar langkah kaki yang makin mendekat ke arahku.
Disambung dengan suara berat dan kasar setelahnya. Kalau tidak salah
dengar, telingaku menangkap kalimat yang berbunyi seperti ini.
“Berikan kami nomor telepon ayahmu! Di mana kau menyembunyikan
dompetmu?” mendengar perintah itu membuat telingaku mengkerut
ketakutan. Aku ingin menjawabnya, tetapi takut salah dengar.
Untunglah orang-orang itu kembali mengulang pertanyaannya. Jadi, aku

69
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
memutuskan untuk menjawab sejujurnya. Saat akan menjawab,
celakalah aku! Aku baru ingat bahwa lima hari yang lalu dompetku
hilang di sebuah pameran dan aku tak pernah hafal nomor telepon orang
tuaku. Bagaimana ini?
Akhirnya, aku memutuskan untuk menjawab “Aku tidak tahu,
sungguh-sungguh tidak tahu. Dompetku hilang saat aku berjalan ke
sebuah pameran,” itulah jawabanku. Inilah risikonya. Sekarang satu di
antara orang-orang ini membanting sebuah kursi. Mereka menuduhku
berbohong dan sengaja menyembunyikannya. Padahal, aku sungguh-
sungguh. Aku jadi sangat menyesal karena tidak pernah menghafal
nomer telepon salah satu orang tuaku. Semuanya aku simpan dengan
instan di ponselku. Astaga! Itu dia jawabannya. Orang-orang ini tolol
atau apa, sih? Bukanlah mereka tengah mengambil ponselku? Mengapa
mereka tidak mencarinya di benda itu saja?
Sekarang aku boleh melega karena sepertinya aku akan meng-
hentikan amukan orang-orang ini. Akhirnya, aku mengatakannya
dengan sangat enteng. “Bukankah kalian tengah mengambil ponselku?
Kenapa kalian tidak mencarinya di sana, suasana sempat hening
sebentar. Akan tetapi, aku yakin mereka sudah menyadari ketololannya
dan mulai pergi meninggalkan aku. Aku bisa membayangkan
bagaimana lucunya wajah yang memerah dari seseorang yang sudah
terburu-buru membanting kursi tadi. Ah! Apa yang sedang aku
bicarakan? Ini semua tidak lucu. Mereka tetaplah seorang penjahat.
Sekarang bagaimana caranya bisa tenang dalam istirahat? Apa mereka
akan kembali lagi dan memerintahkan aku lagi? Apa mereka akan
mengangguku kembali?
Semuanya berjalan dengan melelahkan. Setelah semua ini, apa lagi
yang akan aku hadapi? Hari semakin malam. Aku bisa menebaknya
karena pedagang ketoprak di dekat sini sudah asyik membunyi-
bunyikan pantulan sendok ke tepi piring. Berarti benar. Sebentar lagi
statusku terkurung di tempat ini menjadi hari penuh dan akan empat
hari. Aku merasa canggung dan hampir saja lupa, bagaimana bentuk
rumahku? Bagaimana kamarku, bagaimana seluruh barang-barangnya

70
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
di sana, dan bagaimana ayah ibu dan kakak laki-lakiku? Apakah mereka
sedang mencariku?
Seharusnya aku yakin mereka sedang mencariku. Akan tetapi, apa,
iya? Jika sudah, pasti ada tanda-tanda yang harusnya aku ketahui. Jika
orang tuaku memang sudah mencariku, sedang apa mereka sekarang?
Apakah sedang memasang beribu kertas yang berisi wajah dan info
hilangnya aku? Aku jadi penasaran berapa uang yang akan mereka
tawarkan. Karena dengan begitu, setidaknya aku tahu berapa berharga-
nya aku bagi mereka. Lebih tepatnya, aku tahu berapa perbandingan
pentingnya aku dengan harta orang tuaku. Aku baru sadar jika sampai
sekarang aku belum tidur hanya memikirkan hal ini.
Aku tahu hari makin malam, tetapi mataku benar-benar tidak bisa
diingkari. Sepertinya malam ini aku akan insomnia. Akan tetapi, banyak
hal yang sedang kupikirkan. Astaga, sekarang tanganku terasa gatal
sekali sampai tidak tertahankan. Sepertinya ada sarang semut merah
yang tidak kuketahui berada di sekitar sini. Gatal ini, ini bukan hanya
gatal biasa. Sebisa mungkin aku ingin menggesekannya dibagian kasar
agar rasa gatalnya hilang sebelum aku menjadi kesal sendiri. Oleh
karena itu, aku mulai menggerak-gerakkan badanku. Aku bermaksud
agar tanganku yang gatal bisa menyentuh benda apa pun agar bisa
kugarukkan.
Benda ini terlalu tajam rasanya. Meski ngeri, tetapi aku tak me-
milih berpikir dua kali untuk mencari benda lain. Biarkan sajalah.
Semoga benda ini dengan cepat menghilangkan rasa gatal di tanganku.
Aku menggesek-gesekkan tanganku ke permukaannya. Akan tetapi,
reaksi ini membuat tanganku makin gatal menjadi-jadi. Jadi, aku
memutuskan untuk menggesekkannya makin keras agar rasa gatalnya
hilang. Aku tak peduli tanganku akan menjadi luka atau infeksi. Yang
jelas aku hanya ingin tenang malam ini. Aku harus bisa tidur.
Awalnya, aku benar-benar mengeja hilangnya rasa gatal ini sedikit
demi sedikit. Sepertinya upayaku akan berhasil. Aku bersumpah tidak
ada lagi yang menggangguku setelah ini. Aku akan berangkat ke alam
mimpi. Tidak lama kemudian, entah senggolan apa yang mengocok

71
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
pikiranku. Bibirku tersunging. Mataku berbinar-binar meski dalam
lakban. Rupanya Tuhan sayang padaku. Belum saja aku benar-benar
mengelarkan garuk-mengaruk tanganku, aku terhentak satu hal. Gatalku
bisa hilang karena permukaan tangan yang kugesekkan pada sebuah
benda yang kasar dan sedikit tajam. Itu dia jawabannya. Eh, maksudku
sebuah jalan keluar dari semua masalah ini. Kabur! Ya, aku akan kabur.
Caranya sangat mudah. Untung saja otakku sangat cepat mereaksi-
kan permasalahan ini. Yakin. Jika tadi yang kugesekkan adalah bagian
punggung tangan, kali ini tidak. Aku akan menggesekkan tali tajam
yang sudah mengikat tanganku selama beberapa hari tanpa perasaan.
Kini, saatnya aku akan membuat tali-temali itu lepas terputus karena
kugesekkan pada benda tajam dan kasar tadi. Aku akan membuat
talinya terputus dan tidak ada lagi kata yang bisa terpikirkan selain
kabur. Bagaimana pun ini adalah sebuah taktik. Ini adalah sebuah
kesempatan dadakan. Aku tidak boleh menyiakannya.
Aku melakukannya dengan sangat hati-hati. Takut bilamana ada
orang masuk dan tengah memergokiku. Aku takut preman-preman itu
akan datang dan melihatku sedang berusaha kabur dan
“Taraaaaaaaaaa!”
Hampir, hampir saja, teriakan kemenangan itu mencolot dari bibir-
ku. Akan tetapi, kurasa ini hal yang wajar. Wajar akan dilakukan oleh
siapa saja korban penculikan. Saat yang bersamaan, aku langsung
bertemu dua kabar sekaligus. Kabar yang kusaksikan sendiri saat ini.
Ada kabar baik dan buruk. Kabar baiknya, aku berhasil memutus tali
pengikat ini dari tanganku. Tak kusia-siakan semuanya. Dengan segera
aku membuka lakban dengan perasaan senang dan bebas. Akhirnya, aku
sudah bisa menggerakkan tubuhku dengan bebas. Tanpa memikirkan
kemungkinan yang terjadi, aku terlampau cuek. “Aww!” Aku membuka
lakban mataku dengan suara yang keras. Jelas ini merupakan reaksi
kesakitan dari seorang yang matanya sudah terlem lekat dengan
permukaan lakban yang lengket. Rasanya sakit sekali ketika membuka
itu dari kedua mataku. Seperti berganti kulit. Aku berusaha diam seribu
bahasa pasca-teriakan itu. Akan tetapi, semuanya terlambat. Kabar

72
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
buruk cepat sekali menyusul. Preman-preman itu mendengar teriakan-
ku. Kini, mereka sedang berusaha membuka pintu.
Aku tidak mau panik. Aku tahu kepanikan tidak akan menolong-
ku. Aku memutuskan untuk menjanggal pintu dengan kursi kayu agar
preman itu lebih lama masuk ke dalam ruangan. Setelah itu, aku meng-
akalinya dengan tirai jendela di ruangan kotor ini. Aku menyibaknya
menjadi dua bagian yang tidak rata. Bagian kanan tirai kumasukkan ke
dalam jendela. Lain lagi dengan bagian kiri yang kukeluarkan keluar
jendela. Mirip seperti pertanda jika seseorang telah melewatinya. Singkat
saja. Aku ingin membuat preman-preman itu menduga aku telah kabur
lewat jendela. Aku tidak langsung tenang. Aku melihat ke arah tali yang
berurai di bawah lalu kukemaskan. Bersembunyi di dekat benda tajam
dan kasar yang sudah menyelamatkan aku dari tali yang mengikat. Oh!
Pantas saja segalanya mudah untuk terjadi. Aku tahu alasan mengapa
aku dapat dengan mudah melepaskan tali ini. Rupanya aku tak meng-
gesekkannya ditempat yang salah. Benda yang sudah menolongku itu
mirip sebuah gergaji tua yang sudah tidak jelas bentuknya. Yang jelas
benda itu punya struktur bergerigi tajam di bagian tepinya. Jadi, apalagi
jika bukan sebuah gergaji tua?
Sekarang hanya tinggal bersembunyi di tempat aman. Preman itu
berhasil masuk ke dalam ruangan ini. Untunglah posisiku sudah aman.
Aku melihat empat orang itu kebingungan mencari keberadaanku.
Namun, sepertinya pancinganku berhasil. Salah satu dari mereka
menunjukkan ke arah jendela. Tanpa berpikir lama, satu persatu orang-
orang itu meloncat ke jendela dan berlari keluar. Tuhan! Ini sebuah
kesempatan baik bagiku untuk kabur. Tanpa harus meloncat jendela.
Akhirnya, aku pergi melalui pintu utama bangunan ini.
Sial! benar-benar seribu sial! Seharusnya aku menunggu preman-
preman itu agar pergi dengan jarak jauh dahulu, baru aku melarikan
diri. Saat aku membuka pintu, preman-preman itu langsung melihat ke
arahku. Dengan mata yang sekarang jadi begitu silau dengan cahaya,
aku berusaha berlari dan mengenali setiap objek yang berada di depan
mataku. Ya, maklum mataku tidak pernah dibuka dari beberapa waktu

73
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
yang lalu. Membuatku seperti seorang yang baru mengenal dunia.
Apa yang terjadi? Preman-preman itu mengejarku makin kencang.
Satu di antaranya berlari layaknya pelari maraton. Astaga! aku hanya
tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku tertangkap lagi dan di-
giring ke bangunan itu lagi dengan mata kembali tertutup lakban dan
tangan kembali terikat. Aku lelah! Sangat lelah dan merindukan dunia
luar! Aku ingin bebas seperti sebelumnya. Aku hanya tidak mengerti
dengan orang-orang ini. Kenapa harus aku?
Aku berdoa pada Tuhan. Sepanjang kakiku melangkah tidak henti-
hentinya aku berdoa. Dengan susah payah aku mencoba menyeimbang-
kan diri. Aku tidak ingin berhenti dan jatuh di tengah perjuanganku
untuk kabur. Aku ingin lari sampai menemukan satu orrang. Akan
tetapi, harusnya aku tahu. Ini sudah larut malam. Bahkan, pedagang
ketoprak yang biasanya berjualan saja sudah taak ada. Jadi, bagaimana
ini?
Aku mendengar deru napasku sendiri. Membuatku makin tidak
tega. Aku kurang makan, aku tak punya cukup tenaga untuk berlari
kencang lagi. Emosiku memang memuncak untuk kabur dan me-
nyelamatkan diri. Akan tetapi, kakiku sudah lelah untuk mendengar
deru napasku sendiri. Kakiku sudah lelah untuk lari. Aku takut! Sangat
benar-benar takut! Aku terlalu lengah memerhatikan keadaan karena
berpikir sampai salah satu preman tadi membuatku pesimis. Aku
menyerah! Angkat tangan sudah! Preman itu berkata, “Dapat kau!
Akhirnya, kau lelah juga, ya! Bagus sekali upayamu untuk mencoba
kabur!”
Aku baru merasakan jika kakiku panas karena gesekan aspal. Aku
lupa jika mereka juga sudah mengambil sepatuku. dan memang benar.
Ini memiriskan. Saat yang bersamaan, aku menyerah dan meringkuk.
Aku tak peduli lagi dengan preman-preman itu. Bahkan, jika mereka
akan menyantapku. Silakan saja, aku sudah lelah! Akan tetapi, ada apa
dengan mataku sekarang? Kenapa yang kulihat adalah bercak-bercak
hitam? Ada apa dengan mataku? Apa preman ini kembali memasangkan
lakban di kedua mataku? Parahnya lagi, aku semakin tak bisa menguasai

74
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
diri ketika kepalaku terasa ditekan sana-sani. Apa aku akan pingsan?
Yang benar saja, di saat yang seperti ini?
Aku pasrah jika harus dibawa lagi ke bangunan tua itu. Pelan, aku
mendengar sirene nyaring berbunyi. Semakin lama semakin keras.
Bahkan, menjadi-jadi. Apakah preman-preman ini sudah memanggil
komplotannya untuk menghabisiku? Atau berencana menjagaku dengan
ketat. Bercak-bercak hitam itu mulai menggerogoti pandanganku.
Hampir melenyapkan segalanya. Keanehan mulai terasa ketika
cengkraman preman itu makin terasa kendur di kedua tanganku. Samar-
samar aku mendengar namaku dipanggil. “Cita! Cita!”
Aku berusaha untuk wajar dan pulih. Mencoba menyeimbangkan
kondisi badanku. Aku menoleh ke arah belakang. Apa yang terjadi? Aku
membelalakkan mata ketika melihat preman-preman pergi dan digiring
oleh laki-laki berbaju cokelat. Tiba-tiba saja bercak hitam itu hilang dari
pandanganku. Kini semuanya jadi makin jelas. Sirene itu adalah mobil
polisi dan bukan komplotan preman. lalu siapa yang memanggilku baru-
san? Aku baru akan menoleh ketika seseorang langsung menyambarku
dengan pelukan. Aku sempat menghitung jumlah tangan yang
merangkulku. Ada enam. Tak salah lagi dan memang benar. Ayah, ibu,
dan kakak laki-laki terlihat bahagia. Melihat wajah-wajah mereka aku
jadi yakin jika semua ini sudah berakhir. Tak ada lagi bangunan kotor
dan bekapan mulut. Dunia sudah tidak hanya warna hitam saja. Aku
sudah bebas! Aku sudah bebas!

75
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

OBITUARI BIRU
Virga Dwi Efendi

Hening. Lantai, telepon, dinding kamar, bahkan pigura-pigura ini


telah kehilangan nyawa. Henyak. Aku mencoba-coba mengingat akan
apa yang pernah kami bagi di ruangan ini, di bangunan yang sudah
tidak layak dikatakan rumah. Oh, di mana sosok orang yang begitu ku-
rindukan? Perabotan-perabotan penghias rumah ini dibiarkan terdiam
hingga membatu. Kucoba memejamkan mata menghitung sampai tiga
kemudian kubuka mataku perlahan berharap bisa menarik ulang
memori-memori yang tercecer entah berapa lama. Kuulangi lagi sampai
hitungan kelima lalu kembali membuka mata, belum juga. Sampai di
hitungan kelima puluh aku tetap tidak bisa. Aku sudah terlalu jauh
untuk kembali. Aku orang yang kalah.
Aku begitu terobsesi dengan mimpi, cita-cita, dan ambisi. Entah
sudah berapa tahun kututup buku abu-abu yang kini baru aku ketahui
bernama pengorbanan. Mungkin bila aku berada di dunia dongeng yang
bisa mengabulkan permintaan atau permohonan, hanya satu yang aku
pinta, hanya untuk kembali. Serasa berlawanan dengan waktu yang
kaku. Terlalu renta menit-menit yang tertingal. Satu dua gambar-gambar
di dinding rapuh ini menghenyakkan batinku, terlebih sesosok diri yang
dulu mungkin begitu dekat denganku. Sesosok manusia yang aku sebut
ibu. Kupandang lekat-lekat foto using yang kacanya retak itu, seolah
dari dalamnya berbisik tak tertahan mengungkapkan kerinduan yang
dalam.
Adi Efendi Nur Cahya. Namaku. Dahulu dikabarkan nama ini ada-

76
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
lah nama yang dirangkai semenjak kedua orang tuaku belum ber-
sanding. Begitu inginnya mereka menata hidup bersama dan memiliki
seorang putra kebanggaan keluarga. Seorang yang tumbuh dalam
dekapan kasih tulus dan suci.
Seorang Adi kecil lahir ke dunia yang aku dengar kabarnya juga
selalu mereka banggakan ke tetangga, sanak saudara ssampai ke seisi
desa. Begitu bangganya mereka mempunyaiku. Tahun demi tahun sejak
pohon sawo ditanam di samping rumah tepat di jendela luar kamar Ibu
sampai sekarang pohon tersebut dapat dipanen saat musimnya, se-
panjang tahun itu pula mereka membesarkanku dengan kasih dengan
cinta. Seperti pohon sawo yang rajin disiangi, disiram, dan dipupuk aku
juga mendapat perhatian yang lebih, kasih sayang yang panjang. Sebagai
anak semata wayang.
Kami hidup dengan keterbatasan, kami bukan orang bertakhta dan
keturunan darah biru. Kami layaknya warga desa kelas bawah lainnya
yang kecil dan sederhana. Kehangatan keluarga yang membuat kami
bertahan. Saling berpegangan dan menguatkan satu sama lain, layaknya
akar-akar pohon sawo yang memblukar. Kami tinggal di sebuah desa
kecil di Kabupaten Jembrana, Bali. Desa Banyubiru. Desaku ber-
panorama indah, potret laut lepas dapat mudah dijumpai sejauh mata
memandang, udara yang jernih serta riangnya burung-burung kecil
berterbangan ke sana kemari kian menghiasi desa kecil ini. Di desaku ini,
Bapakku bekerja mengolah lahan di kebun, sedangkan ibu membantu
mencari penghasilan tambahan dengan menitipkan kue-kue basah
olahannya di pagi buta. Usaha yang setia menemani rambut hitam
mereka hingga perlahan kusam dan memutih. Menemani kerut-kerut
yang mulai tampak di sana-sini. Setidaknya hasil banting tenaga mereka
cukup untuk menyambung hidup kami. Cukup untuk dibelikan es lilin
yang wajib aku beli setiap harinya itu seharga 250 perak per potongnya.
Detik menua, waktu melalap usia. Guratan-guratan di dahi bapak
makin jelas terlihat. Di dahi itu seolah tertuliskan keinginan untuk
istirahat dan mungkin pulang. Yang aku ingat adalah usiaku beranjak
dua belas tahun saat hendak melanjutkan SMP kala itu. Lalu, bapak

77
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
semakin menjadi-jadi. Batuk, komplikasi, dan segala penyakit dikuasai-
nya. Ikut menjadi koleksi catatan bapak. Samar-samar satu per satu
ingatan akan bapak sahut-menyahut meloncat dari selang yang meng-
hubungkan nurani dan akal. Ini nyata. Aku tak kuasa melakukan apa
pun.
Tanggal hitam menyapa kami di hari itu. Langit menjatuhkan
sedikit cipratannya ke bumi, seraya ikut berkabung. Aku bersama ke-
rumunan orang ikut mengarak bapak untuk membawanya ke per-
istirahatan terakhir, tempat bapak dapat selonjoran dan duduk santai,
untuk selamanya. Butiran air deras mengucur dari pelupuk mata ibu,
terus mengucur menjadi sungai yang harus orang-orang seberangi untuk
membaringkan bapak. Ironis. Lisan tak berucap kata, hati tak bergetar
dahsyat karena mungkin sudah luluh lantak dan hancur berbutiran
Zahra. Ketika kudapati bapak kaku mengeluarkan busa di kursi goyang
kesayangannya di malam berbulan merah. Satu cerita telah berakhir.
Satu bulan, dua bulan, sampai lima bulan, ibu belum kembali
layaknya dahulu. Mungkin setengah dari nyawanya ikut bersama ke-
pergian bapak. Atau setengah raganya yang ikut berpulang. Entahlah.
Satu yang jelas, setelah kepergian itu, ibu semakin rajin mendekatkan
diri dengan-Nya. Dari kamarku sayup terdengar ibu sering mengirim-
kan mantra dan doa-doa lirih untuk bapak. Untuk kami. Untuk sepi.
Kini, di titik angka lima belas tahun, aku sudah tak layak dikata-
kan kecil lagi. Aku telah dialiri darah muda. Darah ksatria, yang harus
menjadi tameng untuk ibu. Perlahan tahun demi tahun ini mengajari
kami untuk bangkit melihat ke depan. Aku mulai menginjakkan diri
sebagai seorang perwakilan pengganti bapak untuk banyak hal.
Mengurus kebun, menjadi wakil keluarga untuk acara desa, bahkan
memanen keringat sampai larut juga kulakoni. Demi membantu ibu
merasa terbantu, untuk dapat melihat lengkung manis di wajahnya. Ibu
juga semakin tangguh menantang zaman. Bergeliat di pagi buta dan
berakhir sampai pagi baru akan menceruat. Segala pekerjaan diiyakan-
nya. Mencuci baju orang, membuat pesanan untuk acara arisan desa, jadi
buruh angkat pasir, dan pembantu rumah tangga semua telah hafal

78
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
digerakkan otot-otot dan sendi di tubuhnya. Sungguh luar biasa. Ini
proses kami untuk sekadar dapat menyambung hari. Untuk dapat
menikmati sesuap nasi di esok pagi.
Seperti biasa, setelah pulang sekolah segera kutanggalkan pakaian-
ku dan kugantungkan di paku-paku yang tertancap di bambu yang me-
nyokong atap rumah kami. Setelah itu makan beberapa suap nasi atau
singkong rebus, itu pun jika ada di meja makan kami, dan selalu kusisih-
kan beberapa untuk ibu. Walaupun ibu selalu berpesan untuk mengha-
biskan makanan agar aku bertenaga mengangkat cangkul di kebun dan
selalu mengingatkan perutnya telah terisi karena diberi makan tadi siang
oleh majikannya. Tapi aku benar-benar tahu betul tabiat Bu Majur
tempat ibu mempekerjakan keringatnya. Bu Majur orang yang amat
begini begitu dan tak akan memberi makan jika pekerjaan di rumahnya
tidak mendekati kesempurnaan sesuai keinginan hati besarnya.
Sementara itu, tangan-tangan ibu mulai bergemetar karena waktu. Sial.
Kami sebagai kaum tirani di kesampingkan dari kehidupan. Mengapa
waktu tidak mengeliminasikan kami? Ini lakon yang terus berputar,
terus menggilas. Berkali-kali aku menyarankan ibu untuk mengakhiri
pekerjaannya itu. Ibu selalu menolak dan menyerukanku agar men-
syukuri, masih ada yang mempekerjakan tenaga yang sudah melemah
seperti dirinya. Kata-kata ibu selalu memusimkan cambuk-cambuk liar
dalam dadaku. Matanya selalu tajam memberiku isyarat untuk duduk
manis dan tersenyum akan apapun itu.
Proses berjalan, waktu menggelinding. Kerja keras kami selama
tujuh tahun pasca-bapak berlari ria meninggalkan kami di belakang ter-
nyata membuahkan hasil. Kebun kami seperti kena sihir. Apa pun yang
kami tanam selalu tumbuh dengan subur dan menghasilkan butiran-
butiran receh. Mungkin ini keberuntungan atau mungkin wahyu-Nya
akan doa-doa kecil ibu. Padahal, seingatku dahulu saat bapak mengolah
kebun ini tak begitu membuahkan hasil layaknya saat aku bersama ibu
mengolahnya. Atau mungkin ini hanya persepsi kami, atau mungkin ini
terjadi karena kami begitu termotivasi untuk hidup yang lebih mapan
agar tidak dicibir seisi desa—miskin, kere, janda tua, atau apalah itu.

79
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Satu yang pasti, keinginanku untuk melanjutkan pendidikan harus
tetap berjalan. Aku harus mengubah keluarga kami. Aku ingin bisa di-
hormati layaknya Pak Badrun yang sudah tiga kali umroh atau Pak
Made yang konglomerat di desaku sebagai pemilik berhektar-hektar
kebun cengkeh, yang anaknya sukses berpendidikan tinggi. Aku ingin
melihat ibu bahagia di masa tuanya, melihat pelangi di sore hari yang
jingga bersama dari jendela atas lantai dua rumah baru kami nantinya,
tidak lagi berdiam di desa ini. Desa yang seolah menganggap kami
seperti kunyahan permen karet yang siap diludahkan jikalau sudah tak
berasa lagi. Ironis memang, tetapi inilah adanya.
Fokusku berputar dahsyat, memenuhi isi kepala seakan berlari
kesan kemari. Banyak hal yang aku pertimbangkan. Berkali-kali diriku
memikirkan hal ini. Ini seperti sebuah pertaruhan judi. Jika menang aku
akan kembali dengan kejayaan. Jika kekalahan yang aku dapat, berakhir-
lah sudah semua. Mimpi, asa akan luruh dengan hilangnya kumpulan
receh kami sebagai modal yang akan terpakai untuk berjuang menerus-
kan mimpi. Sebenarnya untuk kalangan anak desa aku tergolong
istimewa. Seusai lulus SMA negeri, yang satu-satunya ada di desaku ini,
aku mendapatkan tawaran untuk melanjutkan berkuliah di kota. Hal itu
karena nilaiku yang terbilang lebih dari memuaskan untuk tingkat desa.
Guru dan pegawai di sekolahku memukuliku dengan seruan bertubi-
tubi untuk melanjutkan pendidikan di kota, Denpasar.
Terlebih di akhir tahun 80-an itu sedikit murid lulusannya yang
berpendidikan tinggi. Sesungguhnya dari dasar hati kecilku yang ter-
dalam aku sungguh ingin melanjutkan pendidikan. Kemudahan-
kemudahan sudah diberikan, seperti keringanan biaya dan transportasi
untuk mengantarkanku sampai benar-benar terdaftar sebagai calon
mahasiswa menjadi tanggungan sekolahku. Sekolahku yang begitu
membangga-banggakanku agar lulusan instansinya dapat melanjutkan
pendidikan di kota dan bersaing dengan pelajar cerdas lainnya. Ini
seakan menjadi kesenangan bagi mereka sendiri agar nama instansinya
semakin melejit dan ujung-ujungnya nanti akan berimbas kepada
naiknya biaya pendidikan di desa. Sebuah hal klasik.

80
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Pergulatan sesungguhnya bukan itu, tetapi tentang ibu. Bagaimana
nanti dia bisa bertahan seorang diri di desa. Bagaimana dia bisa bertahan
untuk tidak terperosok lagi akan ingatan tentang bapak kalau tidak ada
yang menyadarkannya dari lamunan. Siapa yang akan menemaninya
jika dewi fortuna tidak berbaik hati kepadanya? Aku dilema, ini pilihan
sulit. Ibu tak mungkin aku ajak karena biaya hidup di kota pasti tak akan
sama dengan di desa. Jika di desa saja kami pontang-panting untuk me-
neruskan hidup, tak terbayang bagaimana jadinya untuk hidup berdua
di kota. Ibu tahu aku begitu menggebu berkeinginan untuk melanjutkan
pendidikan di Denpasar dan tak tega menahan diriku. Akan tetapi, aku
lebih tahu binar mata ibu mengisyaratkan suatu kekhawatiran. Ibu
masih berat untuk melepaskanku jauh. Berat untuk menjalani hari-
harinya sendiri di rumah yang sesak dengan kenangan, kenangan kami.
Pagi itu, sinar mentari merembes memasuki lubang-lubang pada
bilik rumah kami. Beberapa di antara sinar itu memantul di mataku yang
berkantung. Semalam aku hanya tidur dua jam lantaran masih
menimbang keputusanku ini. Sudah kuputuskan daan semoga ini tepat.
Aku akan mencoba peruntungan pendidikan di kota, di Denpasar.
Dengan bermodal uang hasil penjualan kebun dan beberapa lembar
pakaian yang aku masukkan ke etas ransel yang aku gendong, mencoba
memantapkan langkah untuk berjalan ke depan. Samar-samar, tetapi
masih dapat kutangkap kerisauan hati ibu akan anak semata wayangnya
ini. Pipi kami bertemu pipi ibu lalu berlanjut pelukan hangat. Waktu
seakan ikut berhenti layaknya sedang dalam pose karena Tuhan
mengambil gambar umat-Nya dari atas. Kepergian itu dimulai dengan
beberapa air tulus ibu. Pipiku ikut dingin ketika air itu mengalir diikuti
isakan kecil darinya.
Mungkin ini yang dikatakan hidup harus memilih. Terkadang kita
tak tahu, apakah pilihan kita akan tepat atau meleset? Apakah ini baik
atau sebaliknya? Toh, juga pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab
dengan sendirinya, nanti di kemudian hari. Sekali lagi ibu berpesan agar
aku menjaga diri di sana dan lekas kembali serta selalu memberinya
kabar. Berkali-kali aku meyakinkan ibu untuk bisa melakukan ini

81
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
dengan cepat dan tidak terlalu mengkhawatirkanku. Aku juga berjanji
untuk terus mengkabarinya lewat surat. Karena hanya itu yang dapat
menghubungkan jiwa kami. Janji yang mengikat kepercayaan dan kasih
hanya itu.
Detik jam bergulung-gulung menciptakan ritme konstan. Bulan
bergantian tempat dengan matahari sesuai ketetapan alam entah sudah
berapa kali lamanya. Langit jingga, awan mendung, ilalang, dan buih-
buih pantai merajai kota ini, Denpasar. Hatiku pilu, teramat pilu.
Hantaman jarum-jarum dari langit berdentum di atas atap bale ini.
Tempat untuk sekadar berbaring dan merontokkan lelah. Gerimis ini
semakin membuat perasaanku membiru. Aku tahu ini terlambat, tetapi
tak kuasa untuk menidurkan diriku di sini.
Setelah kepergian itu, pergolakan batin dan raga sesungguhnya
baru dimulai. Langkah gontai di setiap hari untuk dapat bertahan. Uang
yang aku kantongi perlahan terkikis kupakai untuk memenuhi keadaan.
Kutengadahkan pandangan, kutatap atap bumi ini. Masih cerah, sunggu
kontras dengan kata hatiku. Aku ingin kembali, tetapi malu dengan
hujatan orang-orang yang menggunjing kami. Di sini aku benar-benar
sendiri, tak ada yang menguatkanku, tak ada yang menopang untuk
dapat bangkit. Aku harus kembali? Atau menemukan jalan lain yang
membawaku menuju keemasan? Oh, pendidikan hanya berkedok
pendidikan. Keringanan, kemudahan, atau yang diumbar-umbarkan itu,
atau apalah istilahnya hanya menjadi penghias etalase mimpi-mimpiku.
Mimpi yang mungkin sudah tak menepi ini, tetapi harus ditepikan dan
disandarkan, untuk selamanya.
Aku kalah bertaruh, aku gagal. Masih kukantongi beribu surat dari
ibu. Aku bisa membayangkan betapa kelu perasaannya. Betapa ia meng-
khawatirkanku. Akan tetapi, apalah yang kuberdayakan di sini. Aku ter-
singkir dari kerasnya kompetisi kota. Tak cukup berani untuk meng-
ulangi kebohongan-kebohongan yang aku tulis di kertas. Karena dari ke-
bohongan itu aku harus terus menciptakan kebohongan-kebohongan
berikutnya. Ini salah dan aku tahu. Jadi, aku memilih ini, untuk
sementara sampai kehidupan layak di kota aku dapatkan, beristirahat

82
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
sejenak untuk tidak lagi mengirimi kebohongan ke desa. Tidak tahu
kabar seperti apa lagi yang harus dirangkai untuk membuat ibu tenang
di sana.
Kelayakan yang aku harap tak kunjung mudah dikirim dari langit.
Kali ini aku benar-benar menyerah. Tiga tahun aku kembali bertahan
tanpa hasil memuaskan. Berdiam di sini, tanpa cinta, tanpa arah. Hanya
mimpi yang telah menua. Aku seorang pecundang. Ibu yang samar
parasnya memudar di kepalaku, kali ini aku akan datang menemuimu.
Akan kukalahkan ratusan kilometer ini yang memisahkan kita. Akan
aku beri tahu kejujuran anakmu ini.
20 Mei 1988. Aku telah mengalahkan semuanya. mengalahkan rasa
malu yang menggelayutiku untuk kembali selama ini. Rasa sungkan
dengan teman-teman yang aku ucapkan selamat tinggal, rasa tidak enak
dengan sekolahku dulu, rasa amat bersalah dengan ibu karena telah
sukses menyutradarai lakon yang aku buat tanpa kejujuran. Kini, aku
pijakkan kedua kakiku tepat di depan rumah sederhana kami. Tepat di
sini. Kusapu pandangan luar rumah yang bersejarah untukku ini,
keadaannya semakin sederhana dari sebuah kata sederhana. Biliknya
lubang sana-sini. Atap sengnya semakin tampak berkarat. Sama ber-
karatnya dengan perasaanku. Dengan tiupan angin pasti akan berbalik.
Aku berpikir, barang kali rumah ini masih merindukan kehangatan di
dalamnya, untuk diulangi sekali lagi. Langkahku berat untuk digerak-
kan, pelupuk mata ini tak hentinya member isyarat untuk menggetarkan
nurani. Kupandangi dalam diri ini. Berwujud apa aku kali ini? Entahlah.
Sebuah jawaban mungkin telah aku temukan dari secarik kertas
koran yang tergeletak di kedai kopi itu. Tentang sosok agung yang selalu
mendekapku dalam doa. Akan tetapi, perasaan ini hanya ingin menepi,
menepi di sebuah tempat yang teduh untuk diulangi sekali lagi, bersama
sepi.

83
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

CAHAYA KUNANG-KUNANG
Ni Luh Putu Triyana Aidayanti

Dunianya gelap.
Bagi orang mungkin dirinya sangat malang. Tak bisa menatap
indahnya dunia. baginya, itu tak mempengaruhi semangatnya melanjut-
kan hidup. Masih ada orang-orang yang selalu berada di sampingnya,
menamaninya menyambut pagi, menikmati senja, melewati malam,
hingga menyambut pagi lagi, meski semuanya sama.
Semua gelap.
“Apakah burung-burung itu berkicau untukku?” desahnya.
“Selamat pagi!”
Ia mengenal suara itu, ia mendengar langkah kaki itu mendekati-
nya, ia merasakan tangan hangat itu menggengam tangannya.
“Ya, terima kasih sudah berada di sampingku untuk pagi
ini,”menghirup bau roti bakar dan susu cokelat yang mungkin diletak-
kan di atas meja di sampingnya. Agung tak pernah melupakan itu.
“Gung… maukah kamu membantuku untuk mengingat sesuatu?”
pinta gadis itu kepada sahabatnya.
Karin membuka halaman demi halaman buku yang barusan di-
pinjamnya, demi membunuh waktu yang mengharuskannya untuk
menunggu. Hatinya sedang tidak tenang untuk saat ini. Karin melirik
jam tangannya, lalu sekadar menghela napas.
“Rin, aku harus pergi sebentar…,” ia pergi dengan ketidakjelasan-
nya.
“Apa aku harus pergi juga? Sanggupkah kakiku melangkah men-

84
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
jauhi tempat ini? Atau haruskah aku tetap menunggu? Kuatkah aku
untuk itu?”
Karin menyusuri lorong panjang dengan putus asa tanpa meng-
hiraukan sapaan teman-temannya yang juga berlalu-lalang di sana.
Matanya hanya ingin menatap satu wajah yang telah membuatnya risau
beberapa tahun belakangan ini.
“Mungkin dia takkan kembali, Rin, buktinya selama ini dia tak
pernah memberi kabar padamu, dia pasti telah melupakanmu, mungkin
saja sekarang dia sudah punya kekasih atau mungkin sudah.”
“Indah, kumohon cukup!” teriakan yang tertahan di bibir Karin.
Sekalipun ia mengeluarkannya, juga “dia” takkan kembali ke sisinya.
Karin hanya bisa menangis. Langit cerah yang menemaninya tadi, juga.
Ia pergi ke sebuah tempat dimana segala yang tertahan, terlepaskan. Di
mana segala rahasia, terpecahkan, di mana segala rindu, terbayarkan.
“Mungkin kamu bersama wanita lain datang kemari saat aku tidak
di sampingmu.” Ujar Karin. Indra tertawa.
“Karena aku hanya menginginkanmu melihatnya saat bermekaran,
bukan mendapatinya layu, atau menunggunya mekar lagi, aku tahu
kamu tak suka itu.” Balas Indra, beberapa tahun yang lalu.
“Lalu … apa alasanmu meninggalkanku ketika cinta itu melekat
dan tak bisa kulepas?” teriak Karin, ”Ndra!” tanpa sadar cairan bening
itu menjawabnya.
“Karena kamu tahu, ia juga akan mati? Dan juga perlu waktu
untuk menghidupkannya kembali? Begitukah?” Karin bangkit dan
menghapus air matanya. “Jadi, aku takkan ingin tahu tentang itu juga
tentangmu, mulai sekarang, aku akan …,” Karin tak sanggup me-
lanjutkannya.
Karin berlari sekuat tenaganya menjauhi kebun bunga yang kini
telah rata oleh tanah, yang tak terlihat sisa-sisa kehidupannya, dan yang
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan senyum
cerianya.
Suasana hati yang sedang kacau membawa Karin kepada keramai-
an. Kendaraan yang melintas setiap detik di hadapannya, juga setiap

85
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
jiwa yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Waktu menyita per-
hatian jiwa-jiwa itu ketika suara benturan dan klakson mobil yang keras
menggema di telinga mereka.
“Kecelakaan!”
“Seseorang, tolong panggilkan ambulan!”
Keributan itu sudah sirna. Tempat itu terasa lebih tenang, meski
tak ada yang bisa terlihat, hanya ada suara yang masih menggema di
telinganya, membuatnya tempat gelap itu tak menakutkan.
“Rin, Karin … syukurlah kamu sadar, Nak!”
Itu seperti suara mama, tapi di mana mama? Mengapa aku tak bisa
melihatnya? katanya dalam hati.
“Karin, maaf, seharusnya aku tak meninggalkanmu tadi.”
“Indah, ya, itu suara Indah! Di mana dia? Di mana Indah?” batin
Karin.
“Karin…,” nama itu selalu disebut-sebut, Karin mulai berontak, ia
tak dapat menemukan asal suara itu, suara yang mengelu-elukan nama-
nya.
“Tidak! Mengapa semuanya gelap? Mengapa aku tak ada satu pun
yang dapat kulihat? teriak Karin. “Mama…Indah…aku, aku di mana?”
Karin semakin berontak.
“Sayang, tenang, Karin, mama di sini!” suara lembut itu coba
menenangkan anaknya.
“Mama bohong! Mama tak di sampingku! Aku tak melihatnya!”
Karin lebih berontak lagi, tangannya menjatuhkan setiap benda di dekat-
nya. Memaksa mamanya memanggil perawat melalui bel darurat. Karin
masih berontak.
“Gelap. Semuanya gelap!! Tidak, tidak!! Kembalikan aku, aku ingin
pulang, ini bukan tempatku!! Aku… arghhh,”suara itu mulai melemah.
Tubuh itu kini kembali tenang. Menggenggam erat tangan putrinya itu,
ia tak kuasa menahan kepedihan itu lagi. Air matanya jatuh tak beratur-
an membasahi tangan yang sedang digenggamnya.
“Mungkin ia tak dapat melihat lagi…,” kata yang membuatnya
putus asa.

86
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Yang bisa kita lakukan saat ini hanya berdoa, juga ke depan jika
Anda menginginkannya, putri Anda akan menjalani terapi rutin.”
“Saya akan melakukan apa pun demi kebahagiaan anak saya!”
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan
pasien saya.” Kata yang membuat keputusasaanya sirna.
Memandangi wajah putrinya yang sedikit pucat, masih ada sedikit
bekas darah di kening Karin. Ia mengambil tisu basah di meja lalu mem-
bersihkannya. Merasakan sang ibu di sisinya, Karin hanya bisa sedikit
bergerak, tetapi ia takut untuk membuka mata.
“Sayang, mama di sini, mama akan menjadi cahaya untukmu,”
bisiknya.
Karin kenal tempat ini, tempat berkumpulnya kehangatan itu,
yang tak pernah membiarkannya merasa kesepian. Kamarnya masih
sama setelah hampir satu bulan di rumah sakit.
“Mama bisa meninggalkanku sekarang. Aku bisa melakukan hal-
hal kecil di sini,” desahnya.
Menghirup udara yang berbeda dari jendela yang berbeda pula.
Berpijak di tempat yang takkan membuatnya kehilangan arah dan ter-
sesat. Hatinya yang bebas untuk marah dan menangis tanpa harus ada
yang menghentikan. Hanya saja ia masih takut untuk membuka mata.
“Rin….”
Suara itu... batin Karin.
“Sekarang kamu tak usah takut untuk membuka matamu!”
“Ke… kenapa?”
“Karena kini… bunga itu telah tumbuh juga telah mekar dan
kamu takkan melewatinya, kan?”
“Bagaimana jika ketika aku membuka mata, masih tak ada yang
bisa kulihat?”
“Aku akan pergi selamanya.”
Jadi, Indra belum benar-benar meninggalkanku. Ia tahu kapan ha-
rus kembali ke sisiku, batin Karin. “Terima kasih, Indra.”
Sekarang Karin sudah tak takut lagi untuk membuka matanya.
Segalanya telah kembali, Indra telah kembali.

87
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Kini kebun ini semkin luas, pasti akan indah jika hanya tanaman
bunga yang mengisinya!”
“Tentu, Karin! Aku menaruh harapan kepada kebun ini nanti.”
“Oh, ya, harapan apa Indra?”
“Aku ingin pergi ke suatu tempat yang begitu indah, menemui
seseorang untuk meminta sesuatu!“ jawab Indra dengan semangatnya.
“Jadi, Indra menemuiku hanya untuk mengatakan hal itu,” batin
Karin.
“Rin, bantu aku.”
Karin diam.
“Bantu aku merawat kebun ini agar tanaman ini subur, berbunga
banyak…bisa kujual agar aku bisa pergi ke surga!”
Surga apa aku tak salah dengar? Surga katamu? Jangan mimpi!
Kubur impianmu, akan lebih baik jika kamu tetap disisiku. Batin Karin.
Ia tak sengaja memejamkan matanya, setelah ia membukanya lagi, Indra
telah menghilang dari pandangannya.
Suara jangkrik yang nyaring malam itu, yang seolah memanggil
Karin untuk mendekati jendela, yang seolah ingin mengatakan sesuatu
padanya. Karin membuka jendela, sebuah cahaya kecil menghampirinya,
menghinggapi telapak tangannya.
“Hai, serangga bercahaya, apakah kamu tersesat? Di mana teman-
temanmu?”
“Di sini!” jawab seseorang dari belakang. Karin menyadari itu
suara Indra, ia sontak menoleh ke belakang, ia tersenyum melihat Indra
membawa sebuah kotak kaca yang berisi beberapa serangga serupa.
Karin memasukkan serangga di tangannya itu ke dalam kotak kaca itu,
serangga bercahaya itu Nampak senang berkumpul kembali.
“Ini namanya kunang-kunang,” kata Indra.
“Kunang-kunang? Aku belum pernah mendengar sebelumnya,
tetapi mereka indah sekali, membawa pergi cahaya itu kemana pun
mereka suka, takkan ketakutan dan tersesat dalam kegelapan.”
“Mulai sekarang mereka akan menemanimu, Rin!”
Mendengarnya, Karin senang, sangat senang. Ia menggenggam

88
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
erat kotak kaca itu. Kini ketakutan dalam hatinya sedikit berkurang. Kini
ia memiliki cahaya lagi.
“Tuhan, terima kasih telah mengirim cahaya-cahaya ini kepadaku,
juga mengembalikan sesuatu yang sempat hilang dariku.”
Karin membuka kotak kaca itu dan membiarkan kunang-kunang
itu berterbangan bebas. Seakan bintang-bintang di langit sangat dekat
dengannya. Mereka hinggap di telapak tangan garis yang kini
memelihara mereka.
“Rin.”
Suara itu lagi, batin Karin. “Iya, Indra.”
“Kamu harus melihat kebun bunga kita!”
“Sebentar, aku harus menggiring mereka kembali ke kandangnya,”
kata Karin sambil tertawa kecil mengamati setiap pergerakan kunang-
kunang itu masuk ke kotak kaca. Seperti bintang-bintang yang jatuh ke
bumi secara berurutan. ”Lihatlah!” Indra menunjuk sebuah tempat yang
tak kalah indahnya dengan cahaya kunang-kunang barusan. Karin ter-
paku melihat bunga-bunga itu bermekaran semua. Jauh di dalam
hatinya, ia merasakan kebahagian Indra, tetapi di sisi lain, ia belum rela,
hatinya belum rela, melepas Indra untuk pergi ke tempat yang
disebutnya surga itu.
“Rin, cepat kemari! Lihat, bunga mawar putih ini sangat indah!
Mekarnya sempurna!” “Pasti akan sangat mahal harganya!”
Karin membalas dengan senyum.
“Besok aku akan menjual mereka semua. Karena waktuku sudah
tak banyak lagi. Jadi, tak apa-apa, kan, Rin jika besok aku tidak bisa
menemanimu?”
“Tentu, Indra. Lagi pula, kamu telah memberikan cahaya-cahaya
kecil ini untuk menjagaku selama kamu tak ada!” balas Karin sambil
tersenyum.
Semoga cahaya-cahaya pemberianmu ini bukanlah untuk meng-
gantikanmu menjaga dan menemaniku, batin Karin.
Itulah terakhir kalinya Karin bersama Indra lagi. Indra tak kunjung
kembali setelah pergi untuk menjual bunga dari kebunnya itu. Hati

89
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Karin mulai gelisah lagi. Ia tak dapat bersemangat lagi menanti
kepulangan Indra bersama cahaya-cahaya pemberiannya.
“Karin, maaf, Indah baru bisa menjengukmu.” Indah merangkul
sahabatnya yang sudah lama tak bisa ditemuinya itu. Ia meletakkan
sesuatu di samping Karin.
“Apakah bunga mawar yang kamu bawa ini?” Tanya Karin.
“Iya, Rin, kudengar dari mamamu, akhir-akhir ini kamu selalu
bicara tentang bunga itu. “Jadi, aku membelinya ketika seorang
pedagang bunga melintas di depan rumahku.”
“Penjual bunga? Bisakah kamu membawakannya padaku? Indah
tolong, aku sangat ingin bertemu dengannya, bisa, kan, Indah?” Indah
bingung dengan Karin yang sangat ngotot ingin bertemu dengan penjual
bunga itu. Ia mencoba menanyakan alasan Karin, tetapi Karin hanya
mengulang-ngulangi permintaannya itu.
“Sebenarnya ada apa, Rin? Ada apa dengan orang itu?”
“Dia, dia Indra!” Karin berteriak histeris.
“Karin, tolong dengarkan aku, Indra sudah meninggalkan kita
untuk selamanya! Ia takkan kembali lagi. Ia mengalami kecelakaan saat
hendak pulang untuk menemuimu!” Indah terpaksa menceritakan
semua yang dirahasiakan selama ini dari Karin.
“Maafkan aku yang telah merahasiakannya, itu kulakukan semata-
mata ingin agar tak banyak kepedihan yang kamu tanggung, Rin!”
Kotak kaca pemberian Indra itu pecah, kunang-kunang di dalam-
nya telah mati.
Karin terbaring di ruang ICU setelah operasi matanya selesai.
Suara jangkrik yang sama seperti malam itu membangunkannya.
Cahaya-cahaya kecil itu muncul lagi, juga dengan pemiliknya terdahulu.
“Indra ….”
“Rin, jangan takut untuk membuka matamu, lagi,” lalu Indra
menghilang bersama cahaya-cahaya kecilnya.
“Indra!” teriak Karin. Ia telah siuman. Karin terdiam karena
semuanya masih gelap. Perawat yang mendengar teriakan itu segera
menghampirinya, bersama dengan dokter yang menangani operasinya.

90
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Tenang, Karin, semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi peng-
lihatanmu akan kembali normal.” Dokter itu membuka kapas dan
perban yang menutupi mata Karin. Ia meminta Karin untuk membuka
matanya dengan hati-hati.
“Aku takut, bagaimana jika semuanya masih sama?”
“Rin, mama di sini, sayang.” Ia menggenggam erat tangan Karin.
“Kamu harus percaya, kamu pasti sembuh!”
Matanya belum ia buka, cahaya itu muncul lagi, hinggap di
tangannya.
“Jangan takut untuk membukanya, Rin, aku akan menjadi cahaya-
mu, mulai sekarang dan untuk selamanya! Suara itu hilang, cahaya itu
juga.
Tak ada yang berubah, masih seperti saat terakhir ia memandang-
nya, tak ada kesediahan di wajah mamanya, senyumnya pun masih
untuk Karin.
“Ma, aku bisa melihat lagi.”
***

91
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

PANCARAN LAMPION
Ni Made Suwijati

Pijakan ini begitu gersang. Tak satu pun tanaman mau bertahan
hidup di daerah ini, bukannya tidak mau,tetapi lebih tepatnya tidak
mampu. Tidak mengherankan jika hal itu terjadi, iklim tropis serta
daerah pesisir menjadi dua alasan dari banyaknya faktor yang meng-
hentakan wilayah ini. Hujan yang tidak tahu kapan datangnya, mem-
biarkan tanah-tanah di daerah ini jarang tersentuh tetesan-tetesan air.
Namun, sangat mengherankan jika ada sebatang pohon yang mampu
bertahan hidup disini. Pohon ini terpaku kokoh tepat di tengah-tengah
daerah ini. Tidak ada yang tahu memang, entah sejak kapan pohon itu
hidup disini. Pohon ulin namanya, tetapi sayang kekokohannya itu
sedikit berbeda, terdapat lubang besar yang disebabkan oleh hantaman
keras petir yang kini telah menggerogoti tubuhnya.
Suatu sore yang sangat melelahkan di hutan utara, Bapak Taji me-
nyenderkan tubuh lemasnya di pohon ulin itu. Sudah seharian Bapak
Taji tidak menemukan hewan buruan. Namun, kekecewaannya mampu
dihapuskan oleh pohon itu. Ia sangat bersyukur, di tengah ketidaksubur-
an yang ada, ia masih bisa merasakan ketenangan di bawah pohon. Ia
sangat mengagumi pohon itu hingga ia berniat mendirikan rumah di
daerah ini. Walaupun wilayah ini jauh dari yang namanya subur, tetapi
ia yakin bisa hidup dengan baik. Entah bisikan apa yang menguatkan
niatnya itu. Beberapa tahun kemudian, banyak orang yang mengikuti
jejak Bapak Taji. Jejak-jejak itukini menjelma menjadi rumah-rumah yang
mengepung pohon ulin raksasa.

92
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Wilayah itu pun kini menjadi desa makmur. Layaknya pohon jati
yang tetap kokoh di tengah-tengah kekeringan. Bapak Taji pun dengan
berbangga hati menamai Desa Kebon. Ketakjuban Bapak Taji pada ulin
tua itu tak pernah hilang. Kesejukan dan aroma harum yang ditawarkan
pohon ulin itu membuat Bapak Taji memujanya. Hampir setiap hari ia
menyempatkan diri berkunjung ke pohon itu. Bahkan, menjelang ke-
matiannya, ia ingin agar rongga di ulin tua itu menjadi tempat peristira-
hatan terakhirnya serta memberi amanah agar menjadi makam setiap
orang yang berada di Desa Kebon. Orang-orang menurutinya dan
menjalankan amanahnya hingga sekarang hal itu menjadi tradisi yang
tidak pernah dilanggar. Pemakaman pohon mungkin arti lain dari tradisi
ini. Tradisi ini menjadi cara agar lahan desa tak habis untuk makam.
Pemakaman yang tak merepotkan dan efisien. Pohon ulin tetap hidup
dan tumbuh, sebagai rumah terakhir bagi orang-orang meninggal. Kerap
rongga tersebut dipenuhi kunang-kunang yang berpesta selepas jasad
diletakkan di dalamnya, seperti semarak lampu lampion di malam tahun
baru.
**
Ayusih menjadi dambaan setiap lelaki di desa ini. Akhir-akhir ini
ia mencemaskan sikap beberapa lelaki yang tidak menghiraukan hal-hal
istimewa yang ia simpan bersama Arya. Para lelaki menyukai kecantikan
Ayusih, bahkan terpikat dengan senyumannya. Ayusih dinikahi Arya, 12
tahun silamdan akan tetap menjadi istri Arya sampai kelak lelaki itu
kembali pulang ke rumah yang selama bertahun-tahun tanpa kehadiran-
nya. Tepat pagi itu ketika Ayusih menggendong Wina, anak mereka,
Arya dengan wajah tanpa isyaratnya pergi tanpa menyisakan jejak
untuknya. Saat ini, dia tidak pernah menampakkan dirinya. Ditinggal
suami entah kemana, selama bertahun-tahun tentu menyisakan sakit
yang tak berujung bagi Ayusih. Kepergian Arya dirasa bagai hatinya
ditaburi duri. Semakin banyak yang menginjaknya, semakin banyak
pula luka yang tercipta. Begitu juga semakin banyak orang mengungkit
keberadaan suaminya, semakin sakit pula yang ia rasakan. Namun, jauh

93
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
disudut hatinya besar harapan Ayusih, bila Arya akan kembali
membuka pintu rumah dan tersenyum pada mereka berdua.
“Berhentilah menunggu Arya, dia tidak akan pernah kembali”
seorang di antara mereka mencoba meyakinkan Ayusih. Namun,
rupanya tolakan halus dari Ayusih, tidak cukup memundurkan niat
mereka untuk merampas hati Ayusih. Kerap terdengar bantingan pintu
ketika mereka berada di depan rumah Ayusih.Menurut dia cara itu perlu
dilakukan untuk meruntuhkan harapan mereka.
**
Wina yang sejak kecil bertumbuh bersama ibunya kini telah
beranjak remaja. Jika ditanya hal apa yang paling dia impikan di dunia
ini, mungkin dengan diam dia menjawab “aroma ayahnya”. Akan tetapi,
hal itu ia simpan di lubuk hatinya yang terdalam dan tak pernah
terpikirkan baginya untuk mencari sumber mimpinya itu. Wina tidak
pernah menanyakan ayahnya, tentu sukar merindukan sesuatu yang
tidak pernah ia temui. Wina menyadari Arya adalah masalah ibunya dan
itu bukan urusannya.
**
Suatu malam, sebelum usianya genap 17 tahun, Wina mendadak
demam. Empat hari kemudian, demamnya semakin tinggi. Dukun di
Desa Kebon pun tidak ada yang sanggup meredakan demamnya.
Mereka menyerah begitu saja layaknya dukun pemula yang baru belajar
mengaduk ramuan obat. Di hari ke tujuh, Wina sempat membuka mata,
sebelum kejang dan tanpa ada hembusan lagi.
Sakit misterius dan kematian yang mendadak itu mengejutkan
setiap orang di Desa Kebon. Ayusih tidak percaya dengan kenyataan
bahwa anaknya sudah tiada. Kejadian ini sangat menyesakkan Ayusih.
Oksigen seperti berhenti dihirupnya, separuh dari darahnya serasa
menghilang dari tubuhnya. Dengan air mata yang tak mampu ter-
bendung lagi, Ayusih membersihkan tubuh putrinya dan membungkus-
nya dengan kain bersih. Wajahnya kini menjadi danau air mata. Seperti
tradisi di Desa Kebon, jasad Wina akan dimasukan ke rongga pohon ulin
raksasa.

94
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Dari kursi tua di beranda depan rumahnya Ayusih meratapi nasib-
nya. Sekali pun ia tak beranjak dari tempat duduknya hingga malam
menyambutnya. Tatapan matanya tidak berpaling dari rongga yang
telah dipenuhi kunang-kunang itu. Ayusih pingsan karena lelah dan
baru sadarkan diri di pembaringan malam ketiga, saat orang-orang desa
gaduh.
Pesta kunang-kunang dirongga ulin itu memancarkan cahaya
seiring munculnya dua tangan yang menggapai-gapai. Orang-orang
ngeri saat dua tangan itu mencengkeram rerumputan, merangkak,
seperti berusaha keluar dari rongga pohon itu. Tubuh polos berlumur
tanah seorang gadis yang dirubung kunang-kunang. Orang-orang kian
gaduh, baru kali ini mereka melihat bangkitnya orang mati dari dalam
rongga ulin.
Kain putih bernoda membungkus tubuh gadis itu serta kerumunan
kunang-kunang yang masih setia menempel di tubuhnya.
“Dimana ibuku? Mana Ayusih ibuku?” Gadis itu menyebut nama
dan mengakui Ayusih sebagai ibunya.
“Ini aku Wina, putrinya Ayusih.” Dengan lirih dia mencoba
meyakinkan orang-orang bahwa dirinya adalah Wina anak dari Ayusih
yang meninggal tiga hari yang lalu.
Orang-orang tercekat tak percaya. Keajaiban terjadi di desa ini.
Gadis yang telah meninggal tiga hari yang lalu kini hidup kembali. Wina
melepas kain yang menyelubungi tubuhnya dan mulai jadi perhatian
mata tiap lelaki dalam kerumunan itu. Semua lelaki, kecuali Adi, si
pembuat boneka kayu di ujung Desa Kebon itu mendadak hari itu sakit
dan tertidur akibat pengaruh halusinogen obat yang ia minum. Ia tidak
tahu kegaduhan yang baru saja terjadi di sini.
***
Di Desa Kebon tidak ada yang bisa membuat boneka kayu sebaik
Adi. Ia curahkan segenap perasaannya saat membuat boneka-boneka
kayunya. Tangannya tampak lihai memainkan pemahat dan mengukir
indah wajah perempuan. Ia memahat boneka-boneka perempuan kurang
lebih berukuran satu meter yang seolah hidup. Hanya boneka

95
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
perempuan yang ia buat. Di akhir pekan dia selalu pergi ke kota untuk
menitipkan boneka-bonekanya di sebuah toko kerajinan. Kadang kala
ada boneka-boneka yang tidak laku, tetapi dia tidak pernah menyerah
untuk berenovasi untuk membuat karya yang berbeda. Boneka-boneka
yang tidak laku dibawanya pulang dan dijejerkan di sebuah rak khusus
di ruang tengah rumahnya, sebagai penanda untuk tidak lagi membuat
model seperti itu. Bahan baku boneka kian sukar ia dapatkan. Pohon
ulin di tengah desa kian sukar untuk dipanjati untuk mendapatkan
sebatang dahan yang lurus. Dahan ulin adalah rahasia keunggulan
boneka yang dibuat Adi. Tekstur kayu yang lunak membuat Adi lincah
memainkan pahat di sekitar kayu.
Pohon ulin seperti tumbuh untuk Adi. Aroma kematian yang di-
hisap dari jasad dalam rongga Ulin seakan telah menyuburkan dan me-
numbuhkan dahan baru. Akan tetapi, Adi tidak membuat boneka saat
gadis itu keluar dari rongga itu. Dia juga bukan salah satu laki-laki
beruntung karena memergoki tubuh gadis itu. Sakit membuat Adi harus
menemui dukun untuk membeli obat. Efek obatnya itu membuat jiwa-
nya berkelana di dalam mimpi. Ia tidur seharian dan tak tahu apa-apa
tentang kejadian yang sudah mengebohkan seluruh warga desa.
Para dukun membenarkan bahwa gadis dewasa yang keluar dari
rongga ulin itu adalah Wina yaitu putri dari Ayusih. Hal aneh yang
sukar mereka jelaskan dengan akal pikiran. Pohon ulin itu telah meng-
hidupkan Wina pada hari ketiga kematiannya. Saat pertama kali Wina
keluar dan menampakan dirinya yang gontai, ia dalam rupa gadis
dewasa, lima tahun lebih tua dari umur gadis remaja yang dimasukkan
Ayusih ke rongga pohon itu. Walaupun sangat diluar logika, tetapi
Ayusih tak mau mempersoalkannya, dia malah bersyukur karena Wina
hidup kembali. Walaupun hal ini sangat sulit dimengerti.
**
Suatu hari Wina ingin membeli boneka buatan Adi. Dia mengakui
keindahan boneka-boneka Adi. Baginya boneka dan pemuda tampan
adalah dua hal yang menarik.

96
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Aku suka boneka buatanmu, ini bukan hanya sekadar boneka,”
ujar Wina dengan nada memuji.
Adi hanya tersenyum dengan pujian itu. Banyak orang yang me-
lontarkan kalimat-kalimat seperti itu kepadanya, tetapi kali ini sangat
berbeda yang ia rasakan.
“Kudengar kau membuat gaduh seisi desa. Apa yang terjadi di se-
berang sanasehingga para dewa mengizinkanmu pulang?” kata Adi ber-
canda.
Wina tertawa, ”Di seberang sana lebih tenang. Tak ada orang ber-
kelahi karena tanah. Dunia orang mati lebih toleran daripada dunia
orang-orang hidup.”
Adi tertegun mendengar kata-kata Wina.
“Ini buatmu,” Adi menawari Wina sebuah boneka yang baru sele-
sai ia buat. Wina mengangguk gembira. Kendati boneka itu belum
diwarnai.
Itu hanya perbincangan kecil. Namun, Wina selalu ada saat pemu-
da itu bekerja. Kebersamaan mereka membuat pemuda lain cemburu.
Wina telah memilih dan pemuda beruntung itu adalah Adi.
**
Adi menyadari bahwa hal aneh kerap terjadi di rumahnya saat la-
rut malam. Bengkel kerjanya yang berantakan saat ia tinggalkan selalu
rapi esok paginya. Perkakas tersusun di tempat semula. Sampah rautan
kayu hilang tak terbebas. Seluruh penjuru rumah bersih. Seperti ada
tangan misterius yang telah membantu membereskan kekacauan itu.
Saat Adi pulas, para boneka buatannya bergerak. Ya, boneka-
boneka kayu itu hidup dan turun dari rak panjang di tengah rumah.
Mereka menjelajahi tiap ruangan, bertingkah layaknya gadis muda yang
sibuk merapikan rumah. Mereka kembalikan semua benda ke tempat-
nya, menanak bubur dan memanaskan kopi buat Adi sebelum mereka
kembali ke tempat semula sebelum fajar menyingsing. Akan tetapi,
boneka-boneka itu mulai kerap membicarakan Wina. Kehadiran gadis
itu jadi masalah yang serius bagi mereka.
***

97
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Pohon ulin raksasa di tengah desa itu menyimpan keganjilan sejak
dijadikan makam. Pohon itu tak hanya menyerap bau kematian, tetapi
juga menyimpan arwah para gadis dewasa yang mati dalam pembuluh
getahnya. Arwah-arwah itu berdiam di sana dan menunggu untuk
tubuh baru mereka. Mereka tak sengaja hidup oleh cinta yang dicurah-
kan Adi saat ia memahat boneka-bonekanya. Mereka benci melihat
pemuda itu kerap mengagumi Wina. Hanya butuh sedikit alasan untuk
sebuah kematian.
**
Bukan kebetulan saat sebuah benturan kecil membuat roda kereta
Adi lepas dan menggulingkan kereta tua itu bersama penumpangnya.
Wina sudah mati, saat Adi mengeluarkan tubuhnya dari himpitan
kereta.
Perasaan Ayusih kembali hancur atas kematian Wina yang kedua
kalinya. Ia pun menunggu keajaiban akan segera datang, tetapi keajaiban
itu tak kunjung datang setelah hari ke tiga Wina dimasukkan ke rongga
pohon itu. Putrinya tak hidup lagi. Tak ada Wina yang keluar, kecuali
kerumunan kunang-kunang yang sedang berpesta layaknya pesta
lampion di malam tahun baru. Jasad Wina sekarang menjadi per-
sembahan segar untuk jutaan kunang-kunang itu.
**
Lain halnya Adi, ia punya cara mengatasi dukanya. Pada hari
ketiga, saat Ayusih berharap Wina akan hidup kembali, Adi sudah
menyelesaikan boneka kayu. Boneka kayu yang sangat menyerupai
Wina. Boneka itu yang membuat Adi tergila-gila. Boneka yang hidup di
pengujung malam dan diam kembali sebelum fajar datang. Boneka yang
kerap memestakan gairah kunang-kunang, meminta Adi memasukan
sepuluh boneka lainnya ke api tunggu dan membuat pemuda itu
bersumpah tidak akan memahat boneka lagi.
***

98
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

ELEGI DEBU
Ni Putu Ayu Sandriani

Air mataku menggenang melihat ibu yang tergolek sendiri. Mung-


kin ibu mengharapkan akan ada suara lelaki yang ingin ia ajak berbagi
pilunya. Potret diri bergambar wajah lelaki tampan 21 tahun lalu masih
digenggamnya.
***
Gerimis berkabar pada senja, membasahi pucuk daun kamboja
yang menari pilu bersama lekukan angin. Menjatuhkan daun-daunnya
dengan perlahan. Kakiku telah basah oleh tangis rerumputan. Kelu me-
natap sosok wanita yang istimewa bagiku.
Malam yang sepi dan teramat dingin membuatku berlari.
Menyusuri ranting-ranting kering yang rapuh dan tampak muram.
Malam semakin kupandangi begitu indah. Malam tua sebagai balasan
atas perih yang menggunung. Malam ini telah membakar rinduku.
Membuatku bertanya tentang arti pertemuan dan kehilangan. Malam
yang tak mauku berubah pagi. Malam kuharap kau mampu
membiarkanku membenamkan kesakitan ini.
Aku mengamati setiap lekukan-lekukan yang terukir indah di
dahinya. Namun, sayang, lekukan itu seperti melukiskan letih yang
teramat dalam memendam perihnya derita yang dirasakan. Meski hanya
terdiam, tetapi aku tahu tentang itu. Pun aku tak ingin bertanya, takut
akan membuat ia semakin terhanyut dalam perihnya. Aku hanya ingin
memeluknya erat, tak akan kulepas, menyentuh setiap detail tubuhnya.
Malam semakin asyik bermain dengan angin, mengolah lihai tarian sang

99
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kembang kuburan yang tertanam di depan rumahku. Cahaya remang
sang rembulan memberiku keteduhan untuk melihat, memandang, dan
memanggilnya dalam piluku yang rindu. Oh, Hyang Widhi… dia yang
kucinta, apakah bisa kumiliki untuk selamanya?
***
17 Agustus 2000.
Proklamasi.
Aku menghidupkan radio butut sepeninggalan Aji. Malam ini
seluruh rakyat merayakan kebebasan, kemerdekaan. Entah kemerdekaan
apa yang mereka rasakan, aku tak paham. Apakah engkau berpikir aku
juga merdeka? Tidak. Hari inilah kemerdekaanku. Merdeka dalam pe-
nantianku. Jangan berbincang terlalu lama, segera kudekatkan tubuhku.
***
“Dayu Santi,” sapaan Biang mengusik lamunanku. Mengusik pula
anak ayam yang sedari tadi menyisik padi-padian yang kutebar. Masih
asyik dengan lamunanku, membuat aku lupa membalas sapaan itu.
Masih tertahan dengan lamunanku, “Dayu Santi,” kali ini suara Biang
lebih keras. Segera aku turun dari bale dangin yang kududuki selama
Biang pergi ke peken. Takut Biang akan naik pitam. Segera kubereskan biji
beras yang masih berantakan, lalu mengusir pitik-pitik kesayanganku.
Kukandangkan mereka dan menurut saja. Segera kubalas tanya itu.
“Tiang di belakang Biang”. Segera kududuk di kursi kecil dan telah
siap disampingku piring dan piring kau11 kotor yang ceritanya sedang
kucuci.
“Duh, cening anak Biang rajin sekali. Sini Gek, Biang bawakan bubuh
sumsum hijau kesukaanmu. Ayo, istirahat dulu.” Dalam hati aku tertawa
terguling-guling, bukan karena aku berhasil mengelabui Biang, tetapi
aku merasa bakat aktingku semakin baik. Biang tidak pernah tahu, selagi
ia pergi, aku selalu bersantai dan beristirahat. Pekerjaan rumah yang ia
titipkan belum satupun aku selesaikan. Itulah Ibu, ia selalu punya
kepercayaan yang sempurna pada anak-anaknya. Berbohong kali ini

11Alat makan tradisional yang bahannya dari batok kelapa.

100
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
adalah sebuah pilihan. Jika tidak, Biang tidak akan berhenti seharian me-
ngomentari kemalasanku. Sudahlah, hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Kami telah berkompromi.
“Rasa bubuh-nya berbeda dari yang biasa aku makan. Biang beli di-
mana?” tanpa menunggu jawaban dari Biang, aku berlalu menuju bale
dangin. Entah mengapa aku senang duduk dan bersantai di ruangan ini.
Terkadang aku merasakan keanehan di ruangan ini, ada bekas pasung-
an, seperti bekas digunakan memasung seseorang, juga ada kau dan
radio butut yang sudah rusak. Aneh, sepertinya dulu di sini pernah
ditempati seseorang, tetapi mengapa Biang seperti mengharamkan
memasuki tempat ini? Belum sempat kakiku menyentuh bangunan ini,
Biang menghardikku dengan keras, sangat keras. Biang-ku itu
melontarkan kata-kata kasar. Matanya memerah, semakin menyala,
hingga tertatih air mata bergelinang. Ada apa? Mengapa Biang begitu
histeris? Bale dangin ini bukanlah tempat yang manakutkan. Aku
bertanya, tetapi dibiarkannya lalu begitu saja. Biang merapikan saput-
nya, lalu mengurung diri di bale dauh. Pada siapa aku bertanya tentang
ini? Di rumah tua dengan segala cerita tuanya hanya ada aku dan juga
Biang. Biang-ku yang kini sedang bermain dalam tangis, bisakah
berhenti sejenak untuk berbincang denganku? Kurasa itu sia-sia.
Belum pernah sekalipun aku melihat amarah Biang seperti ini.
Tangisan Biang sangat perih, bahkan akupun merasa seperti dihantam
beton berat saat melihat Biang. “Biang, Biang kenapa seperti ini? Maafkan
Dayu, Biang. Dayu sayang sama Biang, tolong jangan seperti ini,” takut-
takut aku berbicara dari balik pintu. Ucapanku bagaikan debu, sunyi, tak
ada tanggapan dari Biang, sepertinya Biang sangat marah padaku. Tapi
apa? Apa penyebabnya? Kebingungan menyergapi seisi kepalaku.
Di bale dauh aku memulai lamunanku. Sembari menunggu Biang
untuk berhenti menangis. Dalam lamunku, kulihat gerimis menyapa
malu-malu, lalu menerpa dedaunan yang hadirkan gemericik. Mungkin
sama seperti tangis Biang, mengalirkan perih di pori-pori tubuhnya.
Sayang, aku tak bisa berbagi bersamanya.
***

101
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Biang tengah sibuk menyiapkan sesajen, pasepan, canang sari, dan
tirta wangsuhpada. “Gek Dayu, perlengkapan sembahyang sudah siap.”
Segera kukenakan kebaya batik yang biasa kugunakan untuk per-
sembahyangan ala umat Hindu sehari-hari. Tidak lupa aku ikatkan
senteng merah favoritku di pinggang. Biang pernah menasihatiku bahwa
senteng itu harus aku gunakan saat bersembahyang untuk memuja Ida
Sang Hyang Widhi sebagai pengikat hawa nafsu dan kesabaran. Rambut
panjangku tak kubiarkan tergerai bebas karena Biang bilang jika rambut
rontok akan membuat canang sari dan perlengkapannya tidak suci lagi.
Melantunkan mantra-mantra suci dari Merajan, Padmasana, Ratu
Ayu, Tugun karang, dan seluruh ruangan di rumah ini. Tirta atau air suci
telah siap, tirta ini melambangkan kesejukan. Asap dupa telah
mengepul. Aromanya yang khas menandakan kedamaian. Hatiku
hening seperti berada dalam dekapan yang hangat. Terakhir aku menuju
ke bale dangin. Saat kubuka pintu, angin lembut menerpa wajahku.
Mengapa rasa aneh menghampiriku? Pikiran aneh menyelimutiku.
Tidak… segera kutepis pikiran kotor. Tangan dan jemariku gemetar,
tetapi tetap kuletakkan canangsari dan dupa lalu memercikkan tirta
sambil melepaskan mantra suci pemujaan. Oh, Hyang Widhi, sungguh
sebelumnya aku tidak pernah merasakan ini. “Bale dangin, misteri apa
yang kau simpan tentang keluargaku?”
***
Malam semakin senyap dan panjang, sesekali aku dengar suara
cicak di dinding. Mereka seperti ingin menjawab kegusaran yang tengah
menyelimutiku. Tidak hanya ada aku, masih ada perempuan senja
dalam penantian yang tiada bertemu. Foto diri lelaki berusia tiga
puluhan bersama Biang yang sudah lusuh kini berada di genggaman
Biang. Aku pernah melihat foto itu di atas bale Biang saat aku mem-
bersihkan kamar itu. Aku memerhatikan sosok lelaki gagah nan tampan
itu, sepertinya ia adalah Aji-ku 17 tahun yang lalu. Sebelumnya, aku
tidak pernah sekalipun melihat wajah Aji secara langsung. Setiap aku
tanya mengenai riwayat Aji, Biang hanya bilang bahwa Aji meninggal
saat aku dilahirkan. Biang tampaknya sangat mencintai Aji. Setiap kali

102
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
aku menanyakan tentang Aji, wajah Biang menegang seperti tersiram
garam pada luka yang masih basah. Aku memahami kekuatan cinta itu.
Mencintai dengan segala daya dan kekuatan tanpa takut akan terpisah
sekian lama. Aku adalah putri paling bahagia, mengetahui kedua orang
tuaku punya cinta yang begitu besar.
“Bli, bagaimana kabar Bli di sana.”
Aku masih duduk di balik pintu ruangan Biang, sayup-sayup men-
dengarkan suara Biang. Tampaknya Biang berbicara dengan foto tua itu
lagi.
“Aku takut Bli, aku takut anak kita termakan kutukan perempuan
itu. Ingin kuhancurkan bale dangin itu. Akan tetapi, Cening Dayu Santi
sangat menyukainya, Bli. Ia adalah permata satu-satunya yang kau
hadiahkan untukku. Aku tak mungkin menekannya dalam keegoisanku,
Bli. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Cening kita mencintai
seorang pemuda sudra, Bli. Aku sudah berusaha memisahkan mereka,
tetapi itu semua sia-sia. Mereka saling mencintai dan aku juga melihat
ketulusan di mata pemuda itu. Hanya satu yang aku takutkan, Bli. Aku
takut kutukan perempuan itu akan menghancurkan anak kita.” Biang
menangis sesegukan. Rasa takut seketika melecutiku. Siapa perempuan
yang disebut-sebut oleh Biang dan kutukan apa?
***
Biang masih menunjukkan sikap dingin padaku. Aku tak menjauh
dari bale dangin itu, aku berharap Biang datang dan menjelaskan semua
cerita yang tersimpan di bangunan ini. Aku tidak mau makan dan tidak
mau pergi kemanapun sebelum Biang mengalah atas kekerasan hatinya.
Sial. Biang telah benar-benar membuat ruangan itu mati. Mengapa? Mata
Biang seolah menghardikku menjauh.
Aku melamun lagi. Tak pernah lebih dari dua detik Biang
menatapku sekarang. Ia selalu menghindar setiap mulutku ingin
melontarkan tanya. Apakah kematian yang akan kuperoleh jika aku tahu
ada apa di dalam bale dangin itu? Sebesar apa rahasia yang disembunyi-
kan Biang, sampai-sampai ia sendiri merasa terhantam jika aku
mengetahuinya.

103
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Apakah ini ada hubungannya dengan kesendirianku? Tak pernah
sekalipun ada sanak saudara yang mengunjungi rumah ini. Apa Biang
dan Aji memang tidak punya keluarga? Aku juga selalu merasa sakit hati
ketika Biang menghina Dharma, mengatakan Dharma adalah kaum
sudra dan tidak pantas bersanding denganku yang memiliki kasta
brahmana. Mengapa Biang menjadi sangat fanatik dengan kasta?
Seharusnya Biang tidak berhak mengatur hati dan perasaanku. Kasta ini
sangat memberatkanku. Biang selalu melarangku bergaul dengan orang-
orang yang tingkatan kastanya ada di bawahku. Begitu besarkah kuasa
kasta di negeri ini? Kenapa kemuliaan seseorang diukur dari tingkatan
kastanya? Setiap aku memberontak tentang hal ini kepada Biang, Biang
selalu menghardikku dan mengatakan bahwa aku tidak mengerti apa-
apa. Ya, memang aku tidak tahu apa-apa mengenai rahasia yang
berusaha dibenamkan Biang. Yang aku tahu hanya kegetiran dan jemari
Biang yang bergetar setiap berbicara mengenai kasta.
Kini Biang menganggapku asing. Waktu semakin memburu, tak
peduli dengan apa harus ditemani. Mungkin Biang akan meluluh apabila
tahu niatku telah rapuh untuk cerita bale dangin itu. “Duh, Betara, apa
yang sebenarnya tidak aku ketahui?
Saniscara Umanis Tolu, ya, hari ini adalah hari kelahiranku. Bukan
ulang tahun yang Biang janjikan padaku, melainkan otonan. Upacara ke-
lahiran ini memang sengaja dibuatkan untukku setiap 6 bulan. Tidak ada
pesta, kue tar, hadiah yang menghiasi. Biang hanya memberiku doa dan
itu bagiku sudah lebih dari cukup. Bebantenan telah digelar di baleagung,
pemangku tengah memerciki sesajen itu dengan tirta suci. Aku masih
duduk dalam lamunan, menunggu Biang datang untuk menyaksikan
upacara ini.
Perempuan senja itu datang dengan kebayabrokat lusuhnya. Ram-
but panjangnya telah disanggul yang diselipi bunga jepun kuning.
Cantik nian wanita Bali ini. Ya, sudah 9 tahun ini aku tidak melihat Biang
berdandan. Tutur dengan logat Karangasem-nya yang kental memulai
percakapan dengan pemangku.

104
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Lantunan mantra-mantra suci yang dilontarkan oleh pemangku
membuat hatiku terasa sunyi dan tenang. Percikan tirta dan aroma asap
dupa menuntun doaku menuju Tuhan. “Hyang Widhi, lindungilah Biang
berikan kebahagiaan kepada kami. Tolong bantu aku mengetahui
rahasia yang disembunyikan Biang agar aku bisa meringankan beban
Biang. Astungkara.” Upacara otonan pun usai. Rasa galau masih
menyelimutiku. Upacara otonan ini seperti tak berarti. Mungkin
pemangku ini bisa memberiku pencerahan.
Biang melakukan percakapan panjang dengan pemangku, dan tak
dibiarkannya aku berada di sana. Biang menyuruhku pergi merapikan
sisa-sisa upacara persembahyangan. Sepertinya mereka melakukan per-
bincangan serius dan rahasia. Sayup-sayup kudengar biang menangis
sambil menyebutkan tentang kutukan dan nama Jero Asih. Aku tidak
mengerti banyak, tetapi yang aku tangkap adalah bahwa pemangku itu
tahu banyak tentang keluargaku. Siapa itu Jero Asih? Mengapa Biang
tidak pernah bercerita mengenai Jero Asih, mungkinkah dia salah satu
sanak Biang? Aneh, semua ini begitu aneh. Bale dangin, pasungan, Jero
Asih, apa lagi ini? Ngilu aku ingat dilema ini.
***
Kesendirian dan tangisan Biang dalam sunyi benar-benar membuat
waktu bertekuk lutut. Aku menepi, biarkan Biang melepas kesedihannya
melalui tangisan. Mengamati Biang mendekap foto Aji dari kejauhan
sangat terpikir olehku betapa perihnya perasaan wanita senja ini. Akan
tetapi, mengapa cerita bale dangin harus merenggut semuanya?
Biang kupaksa untuk berbincang tentang siapa aku. Ia harus tahu
mengenai piluku. Ia tidak boleh bersembunyi di balik bayang masa lalu,
sendiri. Tangis dan napasku memburunya, mengepungnya, hingga ia
mulai lemah atas ucapku. Perlahan bibir Biang yang sangat kucintai ini
mengeluarkan kata-kata yang tak kupahami. Gaduh oleh gemetar serta
tangisnya. Kalimat yang diejanya tidak sempurna. Tampaknya ia ke-
takutan.
“Biang, aku di sini, akan selalu ada bersamamu. Tidak akan ada se-
orangpun yang berani menyakitimu lagi. Tenanglah.”

105
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Ucapanku membuatnya berani melanjutkan kisah bale dangin. Ada
rindu mendalam yang bersembunyi di dalam keperempuanannya, ada
juga tangis hebat yang membuatnya begitu menakutkan.
15 Desember 1989.
Sederet elegi masa lalu yang masih tercatat lengkap dikepala Biang.
Satu persatu alurnya terbuka menganga. Desember kelabu warga sekitar
Desa Manggis ini menyeret Aji-ku ke lapangan mengikat tangannya di
pohon. Warga desa mengatakan Aji pembuat leteh desa, Aji menikah dua
kali. Pernikahan dua kali sangat diharamkan di desa ini, jadi bagi orang
yang melakukan itu akan segera dimusnahkan dari desa ini. Tubuh
Biang kala itu ringkih melihat Aji-ku semakin menghilang dari
pandangannya. Sejak itu, mereka benar-benar terpisah. Sejak itu pula
elegi itu seolah ingin dikubur Biang dalam-dalam. Aji-ku yang malang,
orang-orang desa berpikir bahwa ketiadaanmu bisa membuatnya merasa
damai. Di mana rasa kemanusiaan yang selalu dielukan? Apa sudah
tidak ada lagi? Apa ini yang namanya merdeka? Tanyaku begitu binal.
Kemarahanku telah menyulut logika. Biang melarangku untuk mem-
benci mereka yang telah membunuh Aji-ku. Entahlah … alasannya apa.
Bibir Biang bergetar, ia berusaha menghilangkan rasa takutnya
dengan menggigit bibirnya. Akan tetapi, kemudian dia melanjutkan, “Aji
dan Biang sudah berdosa besar. Kami telah menghancurkan kehidupan-
mu, cening.”
Aneh. Mengapa Biang berkata begitu? Apa maksud Biang dengan
menghancurkan masa depanku? Biang bilang Aji menikah dua kali,
tetapi kenapa aku tidak pernah melihat istri Aji yang lain? Apakah dia
sudah meninggal bersama Aji?
Desauan angin seolah membenarkan semua nyata ini padaku.
Tangisan Biang makin kuat. Ia mulai mengingat bagaimana sebulan sebe-
lum Desember datang, Ayah memasung Jero Asih, ibu tiriku di dalam
bale dangin. Ayah menghina Jero Asih dan mengurungnya di dalam
ruangan dingin itu sendirian. Kenapa Aji tega melakukan hal itu.
Teramat kejam bagiku memasung manusia. Apakah Aji begitu mem-
bencinya? Tangan dan tubuh yang diberi Tuhan harus terpenjara.

106
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
***
Kejadian 17 tahun silam.
Aji menyeret Jero Asih ke dalam bale dangin lalu memasungnya.
“Bli, tiang mohon lepasin tiang,Bli. Kenapa Bli tega melakukan hal
ini kepada tiang?”
“Ah, sudahlah, dasar anjing koreng! Seharusnya aku mendengar-
kan perkataan orang tuaku untuk tidak menikahi perempuan dari kaum
sudra sepertimu. Kau membawa petaka, jangankan memberikan
kebahagiaan memberikan keturunan saja kau tidak bisa!”
“Tapi Bli, Bli tidak boleh memperlakukan tiang seperti ini. Tiang ini
manusia, Bli,” Jero Asih menangis keras dan meronta-ronta.
“Cuih, Asih, Asih. Aku sudah menikah lagi dengan perempuan
dari kaum kesatria yang tentunya bisa memberikanku kebahagiaan dan
dia kini tengah mengandung anakku. Tidak seperti dirimu!”
“Apa? Bli menikah lagi? Jadi, hanya karena kasta, Bli tega mem-
perlakukan tiang seperti ini? Lihat saja nanti, Bli. Kamu akan mati karena
ulahmu ini dan anakmu akan menderita seperti aku! Ingat itu, Bli
Bagus!”
***
Adakah yang lebih berarti dari kemarau setelah hujan? Pantas saja
Biang selalu melarangku bergaul dengan anak-anak kaum sudra dan
sangat tidak menyetujui hubunganku dengan Bli Dharma karena takut a-
kan kutukan kasta dari ibu tiriku yang malang? Hatiku kiat berkarat satu
lagi cerita pilu yang tak bisa kubendung. Aku terlalu mencintai Bli
Dharma, apakah mungkin aku bisa hidup tanpa dia? Atau aku akan
merelakan diriku mati bersamanya karena perbuatan Aji-ku? Perih.
Teramat perih. Aji, patutkah aku membencimu?
***

107
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

DEWAKU DARI OMED-OMEDAN


I Wayan Juniartawan

Aku berharap cinta ini akan abadi selamanya, mengalir seperti air
hingga senjamemisahkan kita.

Hari ini tak seperti hari biasanya, sepi sekali. Sepi tanpa suara ber-
geming yang tertangkap kedua telingaku. Telingaku yang biasa sensitif
dengan suara bising laju kendaraan, kini serasa lega terlelap dalam ke-
sunyian malam. Semenjak pagi tadi, tidak terdengar bisik para tetangga
apalagi deru kendaraan yang biasa memecah hari. Maklum saja, rumah
di pinggiran jalan memang biasa menjadi sasaran empuk bisingnya
suara kendaraan.
Aku Laras, gadis remaja berusia 18 tahun yang terlahir dalam ke-
harmonisan keluarga yang sederhana. Aku terlahir di tanah Bali, pulau
yang sarat akan tradisi dan budayanya. Orang bilang pulau ini adalah
surganya dunia, pulau dewata dengan indahnya panorama Bali. Aku
bangga menjadi anak Bali, tetapi aku merasa kurang bersahabat dengan
salah satu tradisi di desaku.
Denpasar adalah kota tempat kelahiranku, tepatnya di Banjar12
Kaja yang menjadi bagian wilayah Desa Sesetan. Walaupun aku tinggal
di wilayah desa, tetapi suasana desa yang jauh dari keramaian kota tak
sepenuhnya dapat kurasakan. Desaku ini setidaknya sudah mulai
terbawa arus wilayah perkotaan, kendati begitu aku tetap menikmati

12Banjar: bagian kecil dari wilayah suatu desa di Bali.


108
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
suasana desa yang sesekali mendatangkan desiran angin membawa
ketenangan. Di desaku ini terdapat suatu tradisi tahunan yang bernama
omed-omedan. Tradisi yang cukup kuhindari kedatangannya.
*
“Ras, kenapa belum tidur?” bisik ayahku yang tanpa kusadari
membuka pintu kamarku.
“Iya, Ji. Laras tidak bisa tidur, gara-gara tugas jurnalistik Laras
belum selesai. Aji13 sendiri kenapa belum tidur?” ucapku balik bertanya.
“Aji tadi dari kamar kecil. Tugas jurnalistik dari sekolah? Tentang
apa?” tanya Ayah lagi.
“Iya, Ji. Tentang menulis sebuah artikel budaya,” jawabku.
“Oh! Gampang itu! Bukannya besok kamu ikut tradisi di desa
kita? Itu saja kamu pakai topiknya!” balasnya. Aku tak bisa menjawab.
Rasanya kalimat itu adalah balasan yang tidak kutunggu dari ayah.
“Bagaimana? Aduh, tampaknya anak Aji sudah tidak sabar untuk
ikut tradisi besok!” canda ayahku yang mendekat ke sampingku.
Aku membungkam seribu kata, alisku tiba-tiba mengerut. Ku-
pandang ayah yang kala itu hanya jelas terlihat gigi putihnya di mataku,
maklum saja tak ada satu pun penerangan yang menerangi setiap sudut
rumahku.
“Aji apa-apaan, sih? Laras tidak mau ikut tradisi besok! Laras tidak
suka, Ji!” balasku agak kesal.
“Memang kenapa, Ras? Sebagai anak muda, kamu harus ber-
partisipasi untuk tradisi besok. Kamu yang nantinya akan mewarisi dan
melestarikan tradisi kita. Bukannya kamu ada tugas jurnalistik? Jadi,
mengalami langsung tradisi itu akan memberikan poin lebih pada
tulisanmu,” jelas ayahku.
“Sudahlah, Ji. Laras mau tidur dahulu, Laras ngantuk. Aji tidur
sana, sudah malam! P okoknya besok Laras tidak mau ikut,” ucapku
dengan nada sedikit kesal.

13Aji: panggilan untuk ayah di Bali, biasanya bagi kalangan orang berkasta.
109
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Tidak boleh begitu, Ras! Pikirkan terlebih dahulu, jangan cepat
mengambil keputusan seperti itu!” saran ayahku sebelum mengucapkan
selamat tidur kepadaku.
Mataku enggan terpejam, tak tentu arah kemana mataku tertuju.
Sesekali aku bangun dari tempat tidurku, menatap langit yang penuh
dengan cahaya bintang dari jendela kamarku. Ingin sekali rasanya aku
menunjuk salah satu bintang untuk menggantikan aku di hari esok,
tetapi semua hanya angan yang akan tetap menjadi angan dalam ha-
rapan.
Entah apa yang telah aku bayangkan akan kedatangan hari esok
yang terus menghantuiku. Rasanya aku terjerumus ke dalam lubang
gelap penuh cacing yang menggeliat mendekap kulitku, geli sekali.
Sesekali aku mengangkat-angkat bahuku dengan gelengan kepala yang
mengekspresikan kegelianku terhadap apa yang telah kubayangkan.
Aku tak tahu berapa jam sudah lamanya aku terbawa dunia
khayalku hingga burung malam menyadarkanku dengan iramanya yang
bening. Taburan intan yang tergantung tinggi di awan, begitupula
dengan sinaran rembulan serasa memberikan belaian hangatnya di
tengah dinginnya udara malam yang kian menusuk ke tulang, mem-
bopongku menuju tempat yang biasa membawaku ke alam mimpi.
Mataku pun terpejam, jauh terbawa dunia maya.
***
“Ras, bangun Nak! Sudah pagi, kamu dicari sama Luh Manik!”
sayup-sayup suara ibu menembus telingaku.
Dorongan lembut tangan ibu menggoyangkan sebagian tubuhku,
hingga mataku mampu terbelalak melihat terang seisi kamar. Rasanya
malam berlari begitu cepat, sinar rembulan pun terkalahkan oleh cerah-
nya cakrawala pagi. Cicit burung menyambutku penuh canda seakan
mengejekku di hari yang tak kuharapkan ini.
“Luh Manik? Dimana, Bu?” tanyaku kepada ibu.
“Iya, dia sudah menunggu di ruang tamu,” jawab ibuku sembari
menyodorkan handuk k epadaku. Aku bergegas ke kamar mandi,
sebelum menemui Luh Manik di ruang tamu.

110
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Luh, sudah lama? Maaf, ya, saya baru bangun tidur!” kataku
sembari melempar senyum kepada Luh Manik.
“Oh, iya. Tidak apa-apa, lagi pula tidak begitu lama saya
menunggu,” balas Luh Manik dengan bibir tipisnya yang ikut melebar.
“Oh, ya, Ras. Nanti ke pura jalan bareng saya, ya!” ajak Luh Manik.
“Sepertinya aku tidak ikut tradisi nanti!” balasku singkat.
“Memangnya kenapa, Ras?” tatapan Luh Manik serasa penuh
tanya kepadaku.
Suasana menjadi hening sejenak, aku tidak bisa memberikan alas-
an pasti kepada Luh Manik. Dalam pikiranku hanya ada kata tidak dan
tidak untuk tradisi itu. Aku coba untuk memberikan jawaban, tetapi
jawabanku tidak membuat Luh Manik merasa puas. Aku menghela
napas cukup panjang, setidaknya bisa membuat ucapanku lebih lancar
kepada Luh Manik, sahabatku.
“Entah kenapa aku merasa kurang bersahabat dengan tradisi ini.
Aku malu jika tiba giliranku nanti aku harus melakukan hal yang belum
pernah aku lakukan, apalagi pasti banyak orang yang akan mengabadi-
kan momen itu. Belum melakukannya saja aku sudah merasa risih,”
jelasku kepada Luh Manik yang dengan antusiasnya mendengar
alasanku.
“Kalau itu bukan alasan yang tepat, aku juga pertama kalinya me-
ngikuti tradisi ini. Apa gunanya kita belajar Seni dan Budaya kalau kita
sendiri tidak mau melestarikannya? Cobalah untuk sama-sama men-
cintai tradisi kita! Kalau bukan kita yang mencintai, siapa lagi?” kata-
kata Luh Manik sungguh membuatku dilema.
“Tidak, ah, Luh! Saya malu,” gumamku.
Kami berbincang cukup lama sebelum Luh Manik kembali pulang
ke rumahnya. Apa yang dikatakan Luh Manik kurasa benar, sama
seperti apa yang disarankan ayahku kemarin malam. Aku memang perlu
memikirkan kembali hal ini, aku tidak akan pernah tahu bagaimana ikut
dalam tradisi ini sebelum aku mencobanya.
Detik bergulir begitu cepat, jarum jam pun berlari terbawa menit.
Aku resah, sebentar lagi jam dinding akan menuding angka 2.

111
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Ras, dicari Luh Manik, tuh!” panggil ibuku dari ruang tamu.
“Bagaimana, Ras? Kamu ikut, kan?” tanya Luh Manik dengan
senyum harap di wajahnya yang bulat.
“Aduh, Luh. Saya masih ragu,” jawabku tidak memberikan ke-
pastian.
“Sudahlah, Ras. Ikut saja! Ini kan tradisi tahunan, lagipula kamu
belum pernah mengikutinya. Tradisi ini juga tidak memalukan, hanya
untuk mengeratkan tali persaudaraan,” tiba-tiba saja ibuku menyanggah.
Aku pun tak bisa mengelak dari keadaan dan akhirnya mengiya-
kan ajakan Luh Manik untuk ikut berpartisipasi dalam Tradisi omed-
omedan. Aku yang bangga menjadi anak Bali berarti aku juga harus
bangga pada tradisiku.
“Ras, kamu tidak usah memakai baju kaus pribadi. Ini aku sudah
bawakan baju kaus yang aku ambil dari panitia tadi!” kata Luh Manik
sembari memberikan baju berwarna putih yang masih terbungkus rapi.
Di bagian belakang baju itu terdapat tulisan yang jelas “Omed-omedan,
Sesetan Heritage.”
Aku bergegas mempersiapkan diriku lalu mengenakan baju itu
serta kemben 14 untuk bawahan. Ayah pun tersenyum melihatku dan
memberikan canang sari15 lengkap dengan dupa sebagai sarana per-
sembahyangan sebelum memulai tradisi.
“Aji dan ibu nanti menyusul, Ras!” ucap ayah sambil tertawa kecil
bersama ibuku.
Sepanjang perjalanan aku tetap merasa deg-degan walau kucoba
untuk melawannya dengan berbincang bersama Luh Manik. Aku lihat
sudah ramai pemuda-pemudi yang mengenakan baju yang sama
sepertiku berkumpul di depan balai adat, begitupula dengan warga yang
antusias ingin menyaksikan tradisi ini.
Satu per satu dari kami memasuki areal pura untuk melakukan
persembahyangan bersama sebelum memulai tradisi ini. Per-

14 Kemben: kain yang biasa dikenakan masyarakat sebagai pakaian adat.


15 Canangsari: alat persembahyangan agama Hindu yang terbuat dari janur kelapa dan di atasnya
terdapat berbagai macam bunga.
112
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
sembahyangan begitu khusyuk, setelah selesai kami membaur menuju
arena tradisi. Ribuan warga telah memenuhi sebagian arena yang
membuat detak jantungku semakin menjadi-jadi.
Kini tradisi ini sudah semakin kentara, sudah tepat di depan mata.
Panitia membagi kami menjadi dua kelompok, kelompok pemuda dan
pemudi. Kemudian salah satu dari kedua kelompok tersebut diarak ber-
giliran untuk dipertemukan. Tidak hanya dipertemukan begitu saja,
tetapi diwajibkan untuk saling berpelukan dan berciuman. Hal inilah
yang awalnya membuatku tidak mau ikut berpartisipasi pada tradisi ini.
Teriakan peserta ataupun warga semakin membuat keadaan mene-
gang. “Aku tidak siap, aku tidak siap!” gumamku dalam hati. Giliranku
tiba, teriakan teman-teman siap mengarakku ke tengah arena, begitupula
dari arah yang berlawanan sudah tampak lelaki dengan postur tubuh
yang cukup tinggi siaga diarak anggota kelompoknya. Aku tidak bisa
mengelak, aku hanya bisa berteriak.
“Haaaaa...!!!!” teriakanku cukup menggelegar.
Dari arah berlawanan lelaki itu semakin dekat di depan mata.
Sesekali bunyi jepret kamera terdengar untuk mengabadikan momen ini.
Jarak wajahku dengan wajah lelaki itu hanya berkisar 5 cm yang mem-
buatnya begitu jelas dari pandanganku. Aku mencoba untuk menutup
wajahku, tetapi seseorang menarik tanganku menjauhkannya dari
wajahku. Aku pun didorong dari belakang, begitupula dengan lelaki itu
terdorong ke arahku.
“Maafkan aku!” bisik lelaki itu terdengar halus di telingaku. Dia
hanya memelukku, tetapi tiba-tiba saja dia terdorong ke wajahku hingga
bibirnya menyentuh pipiku dengan lembut. Aku merasa kaget dan
menanggung malu akan hal itu. Tempias air pun mengenai wajahku
yang disemprotkan oleh panitia dan akhirnya membasahi sekujur
tubuhku. Ini merupakan tanda bahwa giliranku telah usai.
Begitulah tradisi ini berlangsung, satu per satu dari kami di-
pertemukan dengan lawan jenis dari arah yang berlawanan, kemudian
berpelukan dan berciuman dalam keramaian. Walau sempat merasa
risih, tetapi setelah ikut berpartisipasi dan melihat bagaimana ekspresi

113
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
teman-temanku aku merasa senang dan terhibur. Tawa geli sesekali
muncul di raut wajah kami.
Seusai tradisi omed-omedan ini dilaksanakan, sorak penonton pun
berkumandang di udara, kami pemuda-pemudi Banjar Kaja Desa Sesetan
kembali berbaris untuk saling bersalaman. Lelaki itu kembali muncul di
hadapanku dengan postur tubuh yang tinggi dan senyumnya yang
manis. Aku rasa dia adalah lelaki yang sopan dan tidak urak-urakan. Dia
menjabat tanganku penuh halus sembari melempar senyum kepadaku.
“Maafkan aku, ya!” katanya dengan lembut kepadaku.
“Iya, tidak apa-apa!” balasku dengan memberikan senyum pula.
“Aku Dewa, nama kamu siapa?” tanyanya.
“Aku Laras. Perasaan, aku baru pertama kalinya melihat kamu,”
ucapku sedikit malu-malu.
“Iya, saat ini aku sedang melanjutkan kuliahku di luar Bali. Sudah,
ya! Di belakang masih antre, kapan-kapan aku sambung lagi,” ucapnya
menutup percakapan kala itu. Setelah semua usai, aku pun bergegas
pulang ditemani ayah dan ibuku yang ikut menyaksikan tradisi tadi.
“Aduh, anak Aji tampaknya bangga sekali!” lagi-lagi canda ayahku
mulai terdengar.
“Ih, Aji apa-apaan, sih!” jawabku tidak mampu menyembunyikan
senyuman.
“Ini adalah kesempatanku untuk mengungkap tradisi omed-omedan
sebagai tugas jurnalistikku. Sekaligus menulis kisah yang telah kualami
tadi,” gumamku dalam hati.
***
Sebulan sudah aku ikut dalam tradisi omed-omedan, tradisi ciuman
massal pemuda-pemudi khas Banjar Kaja, Desa Sesetan. Tradisi yang di-
gelar sehari setelah Hari Raya Nyepi ini memang pantas disebut tradisi
unik karena hanya ada satu-satunya di Bali, bahkan mungkin di dunia.
Aku bisa merasakan bagaimana terjun langsung, berpartisipasi dalam
tradisi ini. Karena belum cukup umur, dahulu aku hanya bisa menyaksi-
kan prosesi ini bersama teman-teman sebayaku, tanpa harus ber-
partisipasi ke dalamnya.

114
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Ini adalah kali pertamanya aku mengikuti tradisi omed-omedan,
tradisi yang sempat menghipnotisku ke dalam suasana penuh
keserasingan. Entah bagaimana sejarah dari tradisi ini aku tidak tahu
pasti, tetapi kini aku menyadari penuh bahwa tradisi ini bukan sebuah
pornoaksi, melainkan sebuah tradisi yang memang untuk menjalin rasa
persaudaraan dan solidaritas antara laki-laki dan perempuan serta
sesama. Walau sempat merasa risih harus berpelukan dan berciuman
dengan ribuan orang yang menyaksikan, tetapi aku tetap merasa senang
dengan canda tawa yang tidak dapat kubeli.
Aku juga merasa bersyukur, di tengah prosesi ini, Tuhan telah
mengirimkan Dewa untukku. Dewa yang kini ada dalam hatiku dan
memberikan cinta serta kasih sayangnya untukku. Dewa yang bermula
dari omed-omedan. Inilah sepenggal kisah yang aku alami dan kini
kutuangkan dalam rangkaian kata bernyawa. Berawal dari dilema hati
hingga berujung pada manisnya cinta.

***

115
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

DIA DALAM NYENTANA


Kadek Ayu Lestari

Kubuka mataku secara paksa dan kubiasakan ia beradaptasi secara


cepat dengan sinar matahari yang telah menerobos kamarku sejak
beberapa jam yang lalu. Sendi-sendiku terasa amat pegal karena tidur
hingga matahari beranjak tinggi. Meskipun telah tidur cukup lama, tetap
saja kantung mataku terasa amat berat pascafinal bola yang kutonton
bersama ayah semalam. Namun, aku tak ingin melewatkan kesempatan
kali ini. Kesempatan bertemu dengannya yang mungkin hanya terjadi
setahun sekali.
Aku mengenalnya beberapa tahun lalu saat usiaku baru menginjak
enam belas tahun melalui majalah langganan temanku. Sejak saat itu,
aku rajin mengorek informasi tentangnya. Untuk penantian yang hampir
lima tahun ini, akhirnya kesempatan itu datang dan aku tak boleh
melewatkannya.
Kubasuh wajahku dengan segera dan mulai menekan tombol
merah di layar. Dalam sekejap tampilan iklan yang kerap mewarnai
bingkai kaca mulai menyambutku. Sabar aku menanti hingga tak terasa
sepuluh menit telah berlalu dari waktu seharusnya. Sesekali kulirik
jarum jam yang melekat pada dinding di ruangan itu, tanpa ada niat
mengganti saluran yang telah kupilih. Beberapa saat sebelum jarum jam
menunjukkan keterlambatan acara lima belas menit, ia pun muncul
diiringi lagu instrumen yang sangat kukenal. Dalam sekejap, jiwaku
seakan menyatu dengan keberadaannya.

116
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Kamu sedang melihat apa?” tanyaku penasaran pada Siwa untuk
kesekian kalinya. Untungnya, kali ini ia menolehkan wajahnya padaku
sembari tersenyum. Pipinya membentuk lekuk manis dan jari telunjuk-
nya menunjuk salah satu model wanita dalam kalender yang kutahu di-
perolehnya dari kampus.
“Cantik bukan?” tanyanya balik sembari memalingkan wajahnya
lagi ke arah kalender tersebut. Aku hanya mengernyitkan dahi masih
belum menyimak apa yang ia maksud. “Namanya Pradnya. Dia di
Fakultas Bahasa semester kedua,” tambahnya lagi. Mendengar
penjelasan tambahan darinya, otakku langsung menangkap apa
maksudnya. Tidak. Bukan hanya otakku, tetapi hatiku pun mengerti dan
itu terasa perih menggores perasaan yang mulai tumbuh sejak lama ini.
Aku hanya tersenyum kecut dan segera berlalu meninggalkan tempat
Siwa.
Ini sudah berlangsung berbulan-bulan sejak terakhir aku ber-
kunjung ke indekos Siwa. Aku berusaha menguapkan resah yang kurasa
belakangan ini akibat hubungan Siwa yang semakin dekat dengan
Pradnya. Kubolak-balik buku tugas dari dosen ekonomiku, tetapi
pikiranku tak ada pada nominal yang tertera di neraca saldo tersebut.
Aku nyaris menyerah ketika Praba, temanku membuyarkan lamunanku.
“Itu Siwa, kan?” tanyanya sembari mendorong bahuku dengan
bahunya yang jauh lebih besar dari punyaku. Aku spontan mengalihkan
pandanganku dan mengikuti arah yang ditunjuk Praba. Kupicingkan
mataku untuk membuatnya semakin fokus bahwa apa yang kulihat
bukanlah ilusi semata bahwa kini Siwa dan Pradnya tengah ber-
gandengan tangan. “Ternyata gosip dia sama Pradnya ada hubungan itu
benar, ya, Tu?” tanya Praba lagi. Aku hanya menggeleng acuh tak acuh
dan mengalihkan perhatianku pada buku di depanku. “Kok nggak tahu?
Kamu kan sahabatnya?” Aku hanya menghela napas lalu berjalan cepat
meninggalkan Praba ketika mendengarkan pertanyaan terakhirnya.
Saking cepatnya aku berjalan, aku bahkan tak menyadari namaku
dipanggil-panggil beberapa kali dari belakang. “Restu!” Aku membalik-

117
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kan badanku dengan enggan ketika seruan itu akhirnya tertangkap oleh
gendang telingaku.
“Ternyata kamu,” batinku seakan menyesal telah mengacuhkan
seruan itu.
Ia berhenti sejenak di hadapanku sembari membungkukkan
badannya berusaha memulihkan laju napasnya yang kini tengah mem-
buru. Belum sempat aku menanyakan tujuannya mencariku, ia telah
menggenggam erat tanganku sembari menarikku menuju salah satu
gazebo di sudut kampus dekat fakultasku. Diperlakukan seperti itu
kembali setelah beberapa bulan tak bertatap wajah rupanya tak
menyurutkan perasaanku padanya. Bahkan, saat ini perasaan itu
semakin menggebu-gebu hingga membuat pikiran-pikiran bahwa ia
telah meninggalkan Pradnya yang beberapa menit lalu masih ber-
samanya untuk pergi mencari cinta sejati yang baru ia sadari, yaitu aku.
Aliran darah di wajahku rasanya semakin cepat dan membuat
pipiku merona merah ketika ia memintaku duduk di hadapannya. Aku
benar-benar berharap bahwa ia menyadari orang yang seharusnya
berada di samping kanannya adalah aku, bukan Pradnya ataupun
wanita lain. “Ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” katanya
mengawali percakapan.
“Iya?” tanyaku tak bisa menutupi rasa senangku. Ia mengerling
sejenak seakan mencari kata-kata yang tepat sebelum akhirnya hal itu
terjadi.
“Aku mau nyentana, Tu. Bagaimana menurutmu?” kata-kata yang
terlontar dari bibirnya seakan menamparku kembali pada kejamnya
dunia nyata yang tengah kuhadapi. Untuk beberapa saat aku bahkan tak
bisa menelan ludahku karena belum percaya akan yang ia sampaikan.
“Tu?” tanyanya lagi padaku.
“Hah? Apa katamu tadi? Nyentana?” tanyaku spontan dengan
kekagetan yang mungkin tak tergambarkan lagi di wajahku. Ia hanya
mengangguk lemah menyikapi pertanyaanku. “Sama siapa?” tanyaku
lagi masih menggebu-gebu.

118
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Dengan dia,” katanya menggantung. Aku mengangkat sebelah
alisku, berusaha menebak-nebak siapa, dia, yang dimaksud Siwa.
“Maksudmu Pradnya?” tanyaku lirih. Takut-takut jika kata iya
yang ke luar dari mulutnya.
“Kamu tahu itu,” katanya berusaha meyakinkanku. “Hmm...
bagaimana menurutmu, Tu?” tanyanya lagi dengan wajah seolah sangat
mengharapkan pertimbanganku.
Tiba-tiba saja hatiku merasakan kekosongan yang sangat pahit.
Seakan ada suatu bagian yang kurang dari diriku saat ini. Namun, aku
tahu harus di mana aku berada saat ini. Di posisi mana aku berpijak
bahwa aku adalah sahabatnya. Aku harus memberikan pertimbangan
untuk sekadar memenuhi kewajiban seorang teman, atau bahkan untuk
menghalangi hal seperti ini terjadi.
“Kamu tahu nyentana seperti apa?” tanyaku ragu padanya. Ia
hanya mengangguk lemah tak berdaya, mengerti bahwa aku tak akan
pernah menyetujuinya. “Aku tahu kamu hanya mengangguk sekadar
formalitas. Kamu tahu? Nyentana berarti kamu akan dipinang oleh
wanita.” Tambahku.
“Aku tahu, Tu,” katanya lemah.
“Kamu tidak tahu Siwa! Ini bukan hanya berarti dipinang saja! Ini
berarti kamu akan kehilangan hak-hakmu sebagai kepala rumah tangga
dan harus diperintah wanita! Di mana harga dirimu sebagai seorang
laki-laki, Siwa?” tantangku sarkasme.
Hening sejenak saat aku mengehentikan perkataanku secara tiba-
tiba. Hanya terdengar hembusan napasku yang semakin memburu dan
napas Siwa yang tertahan. “Tapi, aku menyayanginya, Tu,” kata Siwa
akhirnya.
“Cinta? Kamu pikir aku tak pernah mencintai seseorang? Di luar
sana masih ada yang mencintai kamu Siwa! Jangan jadikan wanita
sepertinya mengutuk hidupmu yang sangat berharga!” seruku.
Hening lagi. Siwa hanya memandangku nanar seakan berusaha
menemukan jawaban yang lain dariku. Sedang aku hanya bisa berharap
agar Siwa bertanya, “Siapa orang yang mencintaiku, Tu?” lalu dengan

119
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
lantang akan kukatakan, “Aku!” Namun, sayang, Siwa tak pernah meng-
gubris pernyataan terimplisitku.
“Sudahlah! Biar aku yang menentukan jalanku sendiri. Terima
kasih atas saran dan waktumu, Tu,” katanya sembari menepuk bahuku.
Sepeninggalnya dari gazebo ini, aku hanya dapat terdiam menatap
punggungnya yang semakin menjauh tanpa dapat berlaku apa pun.
“Tu! Temanmu itu benar-benar gila!” seru Ardi yang tiba-tiba saja
sudah berada di salah satu tepi gazebo tempatku memandangi kepergian
Siwa.
“Temanku yang mana maksudmu?” tanyaku acuh tak acuh.
“Itu! Yang sering sama kamu dari jurusan teknik!” katanya ber-
usaha menjelaskan.
“Siwa maksudmu?” tebakku langsung dan ternyata memang tepat.
“Iya! Siwa!” katanya membenarkan jawabanku.
“Kenapa sama Siwa?” tanyaku tak benar-benar mencermati per-
kataan Ardi.
“Aku dengar-dengar dia mau nyentana dekat-dekat ini,” jelasnya.
“Terus hebatnya di mana?” tanyaku. Kudengar Ardi menghela na-
pas berat dan bergeser duduk ke sampingku lalu berkata.
“Hebatnya itu, cewek yang ia pilih adalah anak gadis dari gria,”
jelasnya. Mendengar hal itu aku langsung memalingkan wajahku
menghadap Ardi dan berusaha memastikan perkataannya.
“Maksud kamu, Pradnya itu, anak Ida Ayu?” tanyaku tak percaya.
Ardi mengangguk dengan santai seakan menjawab pertanyaan yang
sudah basi untuk ditanyakan.
“Iya, kan, namanya Ida Ayu Pradnya Paramitha,” jawabnya
dengan lengkap. Tanpa basa-basi, aku segera berlari meninggalkan Ardi.
Berusaha mengejar kepergian Siwa sebelum ia mengambil keputusan
yang salah.
Siwa tepat berada di sana. Hampir memasuki areal Fakultas
Bahasa tempat Pradnya banyak menghabiskan waktunya di kampus.
Entah untuk apa Siwa di sana, tetapi yang pasti aku tak ingin ia kembali
pada Pradnya. “Siwa! Siwa! Kamu tidak boleh melakukannya!” seruku

120
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
saat salah satu tangan Siwa dapat kucengkram setelah berlari cukup
jauh untuk menjangkaunya.
“Maksud kamu apa, Tu?” tanyanya heran.
“Kamuuu... kamu tidak boleh nyentana dengan Pradnya!” kataku.
“Sudahlah, Tu, biar aku yang memutuskannya sendiri.”
“Bukan begitu, kamu pasti sudah tahu kalau Pradnya itu seorang
Ida Ayu, kan?” tanyaku tegas tanpa basa-basi. Siwa langsung menatap-
ku kosong seakan hal itu sudah menjadi hal yang biasa ia perdebatkan.
Namun, tiba-tiba sinar matanya memancarkan aura yang berbeda. Mata-
nya menatapku nyalang seakan-akan aku telah menyentuh hal yang se-
harusnya kuabaikan. Seakan aku telah menyinggung bagian terkelam
dalam hati kecilnya. Aku pun terpaku menatapnya balik.
“Masalahnya di mana, Tu? Kamu hanya teman yang... yang tak
lebih dari teman. Aku berterima kasih untuk saranmu, orang yang baru
beberapa menit lalu mengenal kisah dan keinginanku. Aku sudah me-
mikirkan ini lebih lama daripada kamu!” Rentetan kata-kata pedas Siwa
yang baru pertama kali ini kudengar, menusuk tajam hatiku. Aku tak
percaya barusan ia bermaksud bahwa aku tak mengenalnya sama sekali.
“Untuk apa selama ini? Untuk apa aku perlakukan dia seolah-olah
dia benda berharga yang kupunya jika ia tak dapat menangkap
maksudku?” batinku penuh sesak.
“Sudahlah! Kamu tidak akan pernah mengerti, Tu karena kamu
hanya memikirkan kepentinganmu!” kata Siwa tiba-tiba memecah ke-
heninganku.
“Keee... kenapa kamu bisa bilang seperti itu?” tanyaku marah ber-
campur heran.
“Jelas saja. Aku hanya penasaran. Ke mana kamu pergi selama be-
berapa bulan belakangan ini saat masalah-masalah mulai datang
padaku? Belajar supaya tahun ini bisa menjadi lulusan terbaik? Atau
kamu punya alasan lain?” tanya Siwa ketus.
Aku tahu Siwa salah besar terhadapku. Aku kecewa dan tak dapat
begitu saja menyalahkan Siwa karena dari sudut pandangnya memang
akulah yang bersalah. Akan tetapi, hatiku tak dapat menerima semua

121
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
kata-kata yang ia ucapkan barusan. “Hanya itu? Hanya itu alasan kamu
bilang aku bukan orang yang mengenalmu? Kamu tak tahu kalau ber-
bulan-bulan belakangan ini hanya kamu yang mengisi pikiranku!” kata-
kata itu meluncur begitu saja, tetapi hanya aku dan Tuhan yang bisa
mendengar jeritan hatiku.
Siwa tersenyum sinis saat melihatku tak dapat menanggapi
perkataannya. Ia pun berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa sepatah
kata yang menjanjikan. “Aku menunggumu!” kata-kata itu meluncur
dari mulutku. Awalnya aku sangat takut mengucapkannya, tetapi
melihat Siwa tiba-tiba berhenti rasanya keberanianku kembali pulih.
“Iya, aku menunggumu,” kataku yakin karena inilah saatnya.
“Untuk apa kamu menungguku?” tanyanya bingung, tetapi tak
mencoba membalikkan badannya menghadapku.
“Aku menunggu kamu kembali padaku!” kataku lantang. Seketika
Siwa langsung membalikkan badannya dan aku harap dia langsung me-
ngerti maksudku karena aku tak sanggup menjelakan lebih rinci lagi.
Akan tetapi, nyatanya ia hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit
untuk kutebak sehingga dengan berani aku mendekatinya perlahan.
“Maksud kamu apa berkata seperti itu?” tanya dengan pengucap-
an diperlambat.
“Kamu tidak mengerti? Kamu tidak merasakannya?” tanyaku
hampir gila, tetapi ia hanya menggeleng lemah. “Aku selalu ingin berada
di sampingmu. Aku ingin menjalani hari bersamamu dan hidup ber-
samamu!” tanyaku sembari maju selangkah.
“Kenapa?” tanyanya sembari menautkan alis tak mengerti. Aku
menghembukan napas berat satu kali sebelum menjawab pertanyaannya
dengan jawaban yang mungkin akan membunuhku ataupun sebaliknya.
“Karena aku menyayangimu. Tidak! Bukan sebatas teman ataupun
sahabat. Akan tetapi, aku menyayangimu dengan hatiku yang ingin me-
milikimu,” kataku lembut sembari maju selangkah demi selangkah men-
dekatinya. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat Siwa malah
mundur beberapa langkah dan menampilkan ekspresi seolah-olah aku

122
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
menyukainya adalah hal paling ditakutinya. Ia hanya menggeleng-
geleng tak percaya dan sedetik kemudian mengeluarkan tawa hambar.
“Kamu ada-ada saja! Alasanmu itu nggak logis untuk membatalkan
niatku,” katanya sembari tersenyum kecut.
“Aku nggak bercanda! Kamu ingin bukti apa agar bisa percaya?
Apa salah jika seorang sahabat menyukai sahabatnya sendiri?”
tantangku.
Siwa tercengang mendengar perkataanku dan sejurus kemudian ia
mencengkram erat kedua bahuku. “Dengar, Tu. Aku ini seorang pria
yang nggakakan pernah menjadikan sahabat sesama jenisnya sendiri se-
bagai kekasih. Kamu dan aku, kita sama-sama lelaki dan aku juga tak
mau merusak hubungan yang sudah terjadi,” ucapnya tegas, tetapi
lembut.
Samar-samar kata-kata itu menamparku pada kenyataan pahit
bahwa hidup tak pernah selalu berpihak padaku. Aku terpaku men-
dengar perkataannya. Mataku tak bisa berkedip sama sekali hingga
seseorang menyadarkanku.
“Restu! Restu! Bangun!” Aku mengejapkan mata berkali-kali saat
aku menyadari acara televisi di depanku telah berganti menjadi acara
khusus masak-memasak. “Kamu menghayal lagi, ya?” tanya ibu padaku
dan aku hanya menggeleng-geleng berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi. Saat ibu pergi, barulah aku benar-benar sadar dan mengerti apa
yang terjadi antara aku, Siwa, dan Pradnya.
“Ahh, ternyata aku melewatkan hampir seluruh bagian ceritanya!”
sesalku dalam hati. “Kenapa aku harus menjadi laki-laki pada akhir
cerita itu?” tambahku heran. Aku sangat menyesal melewatkan pertemu-
an ini dan aku pun berlutut di depan televisi tuaku sembari memegang
erat kedua sisinya berharap ia mengerti bahwa aku ingin memutar ulang
setiap adegan yang telah kulewatkan bersama artis idolaku, Siwa.
***

123
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

SI MISKIN DAN SANG PRESIDEN


I Gusti Ayu Lingga Pertiwi

Pagi ini adalah pagi yang sangat membahagiakan bagi Suci. Oleh
Karena itulah, Suci bangun sangat pagi, matahari belum kelihatan, angin
masih dingin, bahkan ayam jago pun belum ada yang berkokok di
sekitar rumahnya.
Suci bangun untuk mengecek semua catatan. Ia ingin memastikan
bahwa semua yang ingin dibelinya ada dalam catatan itu. Ia meneliti
satu demi satu barang-barang yang dibeli. Tidak lupa ia juga mengecek
catatan barang permintaan temannya. Kemarin, ketika berita tentang
Suci yang akan ke kota tersebar, banyak teman Suci datang berkunjung.
Mereka meminta agar dibelikan ini dan itu. Sasih minta dibelikan sabun
cair. Menurut Sasih, sabun yang dijual di kampungnya terlalu mahal,
bahkan ada yang sudah kedaluwarsa masih dijual oleh pedagang. Ayu
minta dibelikan jepitan rambut. Berbeda dengan Sasih dan Ayu, Cening
minta dibelikan pita dan bando. Kebanyakan dari mereka yang menitip
adalah anak perempuan, anak laki-laki satu pun tidak ada yang datang.
Mungkin karena anak laki-laki belum ada yang mendengar tentang
rencana Suci. Namun, bagi Suci ini termasuk keberuntungan. Jika anak
laki-laki banyak yang tahu, mereka pasti juga akan datang menitip
dibelikan ini itu. Tidak banyak memang, tetapi pasti sangat berat dan
rumit, seperti kertas layang-layang yang panjangnya hampir dua meter.
Suci masih ingat, tahun lalu karena membawa kertas layang-layang
itulah Suci dan ibunya ketinggalan mobil palungan, satu-satunya alat
transportasi yang mengantarnya pulang dari perempatan kecamatan

124
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
menuju kampung atau juga sebaliknya. Tahun lalu, Suci sebenarnya juga
jengkel, bagaimana tidak, kertas layang-layang yang sangat lebar itu
sesuai dengan pesan teman-temannya tidak boleh dilipat, harus
direntangkan agar tidak bucek.
Sudah menjadi kebiasaan di desa ini, pada setiap tiga bulan sekali,
beberapa penduduk desa, termasuk juga Suci dan ibunya, akan pergi ke
kota menjual beragam hasil bumi. Pulangnya, mereka akan membeli be-
ragam barang yang keberadaannya sangat sulit dicari di warung-warung
desa. Sekalipun ada, harganya pasti jauh sangat mahal dibandingkan de-
ngan harga di kota.
***
Matahari mulai meninggi, penduduk desa sudah kembali ke
rutinitas, yaitu berladang. Bersamaan dengan bunyi cangkul para petani,
Suci terseok, berjalan dari satu pematang ke pematang yang lain dengan
barang bawaannya. Tangan kanannya kebagian menenteng puluhan tas
yang terbuat dari daun lontar hasil kerajinan perempuan di desanya.
Tangan kirinya menenteng berikat-ikat sayur bayam untuk di jual di
kota. Tidak jauh dengan Suci, ibunya juga terseok, tubuhnya yang kurus
semakin tampak memprihatinkan ketika ubi, jagung, dan barang lainnya
membebani kepalanya.
Suci dan ibunya tiba di ujung desa. Di sini sudah berkumpul pe-
tani-petani lain beserta barang bawaannya. Beberapa menit lagi mobil
penjemput akan datang. Sambil menunggu, mereka berbincang banyak
hal: berbincang tentang hasil bumi yang akan dijual; barang-barang yang
akan dibelinya, juga tentang merosotnya hasil bumi sebagai akibat dari
cuaca yang belakangan ini sulit untuk diprediksi. Namun, tampaknya
kali ini mobil penjemput datang agak lama, jadinya mereka berbincang
agak lama. Banyak pula topik yang dibahas, tidak lagi sekadar hasil
bumi, tetapi sudah menjurus ke hal-hal yang sifatnya pribadi. Walau
demikian, menunggu bagi mereka bukanlah sesuatu yang menjengkel-
kan, sebab, hanya melalui hal-hal seperti inilah perempuan-perempuan
desa dapat bertemu, kemudian berbincang menceritakan banyak hal.

125
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Di atas mobil pick up atau mobil palungan seperti sebutan pen-
duduk desa, petani-petani kembali berbincang. Mereka sangat bahagia
dapat melupakan sejenak kepenatan rutinitas yang dialaminya sebagai
perempuan desa, yang hari-harinya dihabiskan untuk mengurus ladang
dan dapur. Di atas mobil itu, anak-anak seperti Suci juga tidak kalah
heboh. Anak-anak itu bersorak gembira melihat jalanan menuju kota
yang licin, sangat jauh dengan jalan desa yang berlubang dan tidak
diaspal. Semakin mendekati kota, mereka semakin kagum dengan
beragam jenis kendaraan yang dilihatnya. Suci sampai berteriak histeris
ketika mobil hitam mulus menyalip mobil yang ditumpanginya.
Telunjuk-telunjuk anak desa itu menunjuk setiap bangunan yang dilihat-
nya. Mereka seperti berlomba untuk paling awal mampu menunjukkan
bangunan tertinggi yang dilihatnya.
Mereka sudah sampai di pasar kota. Walaupun masih pagi, tetapi
kebisingan sudah merebak di seantero pasar. Pedagang sayur, pedagang
kain, pedagang jam tangan, pedagang mainan anak, pedagang bubur,
pedagang nasi, tukang obat, tukang panci, dan tukang lain-lain berteriak
keras menjajakan dagangannya. Mereka seperti berlomba menarik per-
hatian pembeli. Di depan pasar ini, petani-petani desa yang semula me-
nyatu di atas mobil, kini berjalan sendiri-sendiri mencari tempat untuk
menjajakan hasil buminya masing-masing.
Suci tercengang. Ada pemandangan berbeda yang ia saksikan kali
ini, jauh berbeda dari ingatannya tahun lalu di pasar ini. Tahun lalu,
pasar ini masih bersih, rapi, dan indah juga. Namun, jelas lebih bersih
dan rapi, tahun lalu pasar ini masih baru dan memang pasar ini baru di-
resmikan tahun lalu.
Suci terus berjalan, menguntit di pantat ibunya, berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lain membawa barang bawaannya. Tas kerajinan
lontar dijajakan pada sebuah toko. Pemilik toko itu kegirangan. Tas
inilah yang sedang laris, dicari-cari oleh banyak pembeli luar negeri
katanya.
Suci terus berjalan, mengekor pada ibunya yang juga terus ber-
jalan. Tibalah mereka di sisi pasar sebelah kanan, khusus untuk

126
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
pedagang sayuran, buah-buahan, dan beragam hasil bumi. Sayur-
sayuran yang mereka bawa disodorkan ke seorang pengepul, dicek dan
ditimbang.
“Empat puluh kilo, Bu, ya,” kata pengepul sayuran sembari
menyerahkan beberapa lembar uang. Suci tak tahu pasti berapa jumlah
lembaran uang itu. Ia terlalu asyik dengan aktivitasnya mengamati se-
orang ibu yang mengais sisa sayuran di gerobak sampah.
Ibu yang diperhatikan Suci adalah ibu tua. Matanya cekung, ram-
butnya yang sudah memutih terurai, kulit-kulitnya mengkerut seperti
tak menyatu dengan tulang yang dibungkusnya. Ibu tua itu mengais
bagian-bagian sayur yang dibuang oleh pedagang, termasuk juga
sayuran milik ibunya Suci yang telah disortir. Beberapa yang dikais
dalam gerobak itu ada yang masih bersih, tetapi ada juga yang sudah
bonyok, kotor, dan berbau karena telah tercampur dengan kotoran lain.
Yang bersih atau juga yang sudah kotor berbau ditempatkan pada satu
plastik yang sama oleh ibu tua itu. Suci yang memperhatikan itu merasa
tersentuh. Hatinya trenyuh. Jantungnya berdebar hebat. Sampai di ujung
pasar ketika di tempat itu yang masih kelihatan hanya gerobak sampah,
tatapan Suci masih di situ. Ketika Suci ditarik keras ibunya agar
mempercepat jalannya, tatapan Suci masih menelisik ke tempat si ibu
tua. Hatinya masih tertinggal di sana. Rasa kasihannya masih tertinggal
di sana pada sosok ibu tua pengais sisa sayur di gerobak sampah. Suci
baru benar-benar memperhatikan jalanan ketika ibunya masuk ke
sebuah toko membeli barang yang menjadi titipan teman-temannya.
Di tas mobil palungan yang mengantarnya pulang, Suci meringkuk.
Ia tak seheboh teman-temannya. Hatinya sedih. Ingatannya masih
melekat pada ibu tua itu.
“Tadi ada seorang ibu mencari sisa sayuran di gerobak sampah,
siapa itu, Bu?” tanya Suci, memecahkan lamunan ibunya yang sedang
memandang jalanan.
Mendapat pertanyaan itu, ibunya tergagap. Ibunya menjawab
sekenanya. “Ia orang miskin, pengemis, peminta-minta.” Kata ibunya
dengan tatapan yang masih tertuju pada jalan.

127
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
“Kenapa dia bisa miskin?” lanjut Suci lagi.
“Karena tak bekerja,” jawab ibunya tak antusias.
“Kenapa ibu tak memberinya sebakul sayur, kita kan masih punya
banyak di rumah?” desak Suci.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Suci, ibunya menoleh. Kali
ini Suci ditatap tajam. Beberapa detik hening. Tampak ibunya sedang
berpikir, mencari jawaban atas pertanyaan itu.
“Orang itu bukan urusan kita,” jawab ibunya tegas.
“Lalu urusan siapa?” keingintahuan Suci tiba-tiba membuncah.
Ibunya terdiam. Kali ini keheningan bukan beberapa detik,
melainkan beberapa menit. Ibunya diam mematung, Suci juga
mematung menunggu jawaban ibunya. Sementara itu, mobil palungan
yang ditumpanginya sedikit demi sedikit sudah meninggalkan kota
yang padat, dari jalanan yang di sisinya dipenuhi rumah dan gedung
tinggi berganti dengan tanah lapang, sawah-sawah, bukit, dan jurang.
“Urusan siapa, Bu?” Suci kembali bertanya, mengingatkan ibunya
bahwa ada pertanyaan yang belum terjawab.
“Urusan presiden.” Kata ibunya. “Presidenlah yang mengurus
orang miskin.” Lanjut ibunya lagi.
Mendapat jawaban seperti itu, pikiran Suci mengelana ke segala
ruang. Pikirannya mencari-cari, siapa itu presiden. Pikirannya
mengelana ke lapangan bola, ke sawah, ke sungai, ke kamar tidurnya,
dan ke rumah temannya. Namun, ia juga belum menemukan siapa itu
presiden. Dia berkonsentrasi. Berkah. Tiba-tiba ia ingat pada sebuah
pidato tujuh belasan di televisi yang ada di balai banjar. Laki-laki besar
dan berwibawa itulah sang presiden. Laki-laki dengan suara yang
bergema itulah sang presiden. Laki-laki dengan baju dan celana necis
itulah presiden. Kemudian, dia juga ingat sebuah gambar yang ada di
kelasnya. Ruang kelas yang kotor, beratap seng, dan tanpa lantai
keramik. Di kelas itulah Suci melihat gambar presiden. Dialah sang
presiden, sang pengurus orang miskin.
Hati Suci kini bahagia. Rasa kasihannya semula pada ibu tua
pengais sisa sayuran mendapat jawaban. Ibu tua itu tak akan miskin lagi

128
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
pikirnya. Itu tugas presiden. Mengingat presiden, kemudian juga ia ingat
nama Rerod, teman sekelasnya dari bukit di atas kampungnya. Rerod se-
kalipun tak pernah membawa bekal ke sekolah. Tidak juga berseragam
selayaknya siswa lain. Menggunakan alas kaki pun tidak. Tubuh Rerod
kecil, kulitnya hitam, dan matanya cekung. Jika dibandingkan dengan
tubuh ibu tua yang dilihatnya di pasar, tubuh Rerod tak jauh beda. Itu
artinya kemiskinan Rerod sama seperti kemiskinan si ibu tua. Terhadap
Rerod, Suci juga bahagia. Bahagia karena Suci tak lagi perlu kasihan
pada Rerod. Rerod kini sudah ada yang mengurus, presiden.
Besoknya, Suci berkunjung ke rumah Rerod. Ia ingin bertanya dan
memastikan apa presiden sudah datang ke rumahnya mengurusnya.
Namun, keadaan rumah sepi. Suci masuk. Ia terkejut melihat tubuh
Rerod yang menggigil kedinginan. Dari mulutnya keluar busa. Matanya
mendelik. Suci bingung apa yang harus dilakukan. Kemudian, ia ingat
presiden. Presiden yang harus mengurus Rerod. Namun, di mana? Di
mana Suci dapat menemukan presiden? Di mana rumahnya? Dengan
siapa Suci harus ke sana? Naik apa? Sebelum sempat Suci mendapat
jawaban dari semua pertanyaan itu, nyawa Rerod sudah tak dapat
tertolong lagi.
***

129
Sepotong Kayu di Pelukan Senja

LEMBAYUNG BUMI
Ade Yoni Elma Warmas

Wanita bergigi sekuning labu meliuk-liuk bagaikan akar pohon,


tersenyum misterius dan menghembuskan kepulan asap ke pahitnya ke-
hidupan. Seorang lansia meniupkan percikkan api dan menyematkan se-
batang dupa pada kumpulan kembang. Pria-pria berpakaian kucel
mengangkut batang-batang pepohonan dan anak kecil berambut jagung
menyesap manisan kotor. Hujan bergemericik membelah tangisan bumi.
Melodi senja menggelayuti napas manusia dan berderak bisu penuh ke-
hampaan. Langkah-langkah berat mengiringi nada rapuh jejak hitam
manusia jelaga. Tawa keras memantul di dinding lembab, deru panas
menusuk lubuk hati para wanita tua yang menjarit benang-benang yang
terurai. Dendang rindu dinyanyikan bibir-bibir biru karena dingin.
Napas beku menguap dan meleleh oleh hangatnya senyuman gadis
kecil. Bulir air mengaliri kerasnya bebatuan.
Lembayung merengkuh senyum mengkerut wanita tua. Wanita itu
melingkarkan kain tipis di dahinya dan mengunyah sirih. Tangannya
berbonggol-bonggol dan penuh guratan tipis kotoran. Gusinya berwarna
ungu kehitaman dan deretan giginya berkerak. Kukunya tebal dan ber-
bintil. Ia hanya menatap kosong pada sekumpulan anak kecil berambut
kusut yang saling melempari biji jambu kering. Janur kuning tergeletak
terbengkalai di dekatnya, bau kecut menguar dari tubuh meng-
gelambirnya. Ia menyeringai aneh dan memiringkan kepala, melambai
pada anak-anak itu. Salah seorang anak menjulurkan lidah dan menarik
daun telinganya lebar-lebar, rambutnya kaku seperti sapu dan kulitnya

130
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
bersisik kasar. Hidupnya dihabiskan untuk bermain lumpur dan
melahap butir-butir nasi kecokelatan. Kedua tungkainya sekurus
ranting. Batok kepalanya sebulat telur. Akar-akar rambutnya tumbuh
dengan sangat lambat sehingga percikkan air suci tidaklah berguna.
Ketika senja membayang, ia berlari ke pada orangtuanya dan me-
rajuk lapar. Ibunya gempal bagaikan gabus, pipinya semontok kelapa
dan jemarinya segemuk gumpalan bubur. Setiap senja ia akan menyelip-
kan dupa pada kembang dan memercikkan air suci nan harum. Lipatan
tubuhnya melonjak acap kali tubuhnya beringsut. Waktunya ia habiskan
untuk menanak beras kotor dan memilah baju kucel, matanya berkabut
dan kuning. Sisa nasi lengket ia keruk sekuat mungkin, ia kumpulkan
dan melemparkannya pada seekor anjing gudig. Anjing itu berwarna
hitam kusam dengan telinga robek karena berkelahi. Lidah merah tua
menjulur dari tepi mulutnya, meneteskan air liur napsu kelaparan.
Anjing itu mengibaskan ekor buntungnya ketika nasi basi berhamburan
ke hadapannya. Ia akan segera melahap nasi itu sambil menyeringai
menunjukkan deretan gigi tumpul. Sesekali tubuh kurusnya menyelinap
di antara kaki-kaki jenjang manusia emas yang mengepit dompet tebal.
Aroma semerbak menusuk hidung kisutnya dan menariknya ke pusaran
esensi kehidupan. Anjing itu menggonggong pria berkamben cokelat
yang melintas.
Pria yang tergopoh-gopoh merangkul membawa kembang dan
uang logam menuju pemakaman kelam. Ia menyisir rambutnya secara
rapi dan mengkilap, tak heran wangi minyak rambut menyergap hidung
semua orang. Ia tertunduk dan menggumamkan alunan doa sementara
bayangan putih dengan surai abu-abu menatapnya rindu melalui kayu-
kayu yang dilalap kobaran api. Bayangan itu tersenyum sedih, meng-
ibaskan tangan hampanya dan menghilang. Asap membungbung ke
angkasa, membungkus seekor burung putih yang merentangkan sayap
lembutnya. Burung itu menukik tajam di permukaan tanah. Paruh
kuningnya menancap pada sebutir buah masak, sontak bijinya
berjatuhan mengenai rambut merah seseorang. Si rambut merah
menengadah, memaki dengan nada tinggi dan menghisap batang rokok.

131
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Rambut merahnya berkibar diterpa angin senja, mulutnya bergumam
tidak senang.
Sisa puntung rokok ia lemparkan ke arah jejeran kertas-kertas tebal
menjadi satu di seberang jalan. Ujung rokok meretih lalu menerbangkan
abunya ke sampul buku. Buku itu diam, bisu tanpa kata. Buku itu meng-
ekspresikan perasaan yang terombang-ambing milik Kahlil Gibran si pe-
nyair ulung dan menepiskan secuil kekesalan Shakespeare si sastrawan
terkenal ke tepi lubang. Setiap lampirannya tersedu sedan dan memekik
kehilangan. Pekikan buku melayang, menembus awan kelabu kemudian
terjun bagaikan bulu ke getaran bumi. Bumi menyambutnya dan
memeluknya bagai permaisuri. Bumi menatap pekikan, mengelusnya
sayang dan mengecupnya mesra. Kecupan merambat perlahan menaiki
bumi, menghilang ditelan gemericik air.
Air lelah mengalir dan diombang-ambing oleh dayung seorang
nelayan. Dayung menyakitinya, menamparnya keras. Tak sadarkah
dayung bahwa air ingin tertidur sedikit saja demi terbuai halusinasi
mimpi. Dayung tak menjawab, dayung terus bergerak, mencondongkan
badan lalu menariknya kembali, seolah-olah mengecoh air. Karena kesal,
air melirik nelayan dan menyambar wajah nelayan. Nelayan tertegun,
diam sementara dan memandang lekat-lekat bayangannya. Ia mencibir
dan terus mendayung sampai kedua lengan berbulunya letih dan
ditumbui kutil. Dayung terantuk sampan, sampan menggerutu dan
berkeriut nyaring membuat gerombolan ikan licin melompat. Ikan-ikan
mengeluarkan rentetan tawa masam pada sampan.
Mereka kembali menyelami kegelapan air sampai tiba saatnya
wajah-wajah congkak mereka melotot terjerat jaring nelayan. Tubuh
mereka menggelepar hebat ketika bilah tajam membelah perut mereka
dan cairan merah kental melumuri tangan si penjagal. Penjagal bermata
sempit dan berkumis melintang keriting. Pakaiannya melekat ketat dan
terjuntai bebas menutupi tulang kurusnya. Penjagal tersenyum aneh saat
seorang wanita berambut pirang membeli ikannya. Wanita itu melahap
rakus ikan dan meneteskan lendir busuk. Ia dengan sombong memamer-
kan rumah mewah yang ia bangun di atas tanah orang, dengan seenak-

132
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
nya ia kehujanan emas di negeri orang sementara manusia di sekitarnya
kehujanan batu di negeri sendiri.
Tulang-tulang ikan ia lemparkan ke jalanan telanjang, jemari kotor
seorang anak laki-laki menggerusnya dan meraupnya bagaikan jiwa
batu mulia di dada kurusnya. Anak laki-laki itu mengenakan topi
bulukan yang kehilangan pesona warna aslinya. Pupil matanya
kekuningan sedangkan kedua belah bibirnya sepucat ketan. Ia menjijing
keranjang, botol-botol kosong penyok bergelantungan di sana dan
menatap ngeri setiap langkah kaki anak laki-laki itu mengayun riang di
ceruk bebatuan. Lalat-lalat berterbangan, desiran pelan angin meng-
hanyutkan serpihan dedaunan. Dedaunan kering itu melayang, kadang
terhenti oleh penghalang lalu kembali melanjutkan perjalanan tanpa
tujuan.
Tiba-tiba daun itu berhenti ketika seorang ibu menyusui bayi ge-
muknya. Daun itu jatuh perlahan-lahan tepat di punggung kaki ibu ter-
sebut, lalu menghembuskan napas terakhirnya dan berbaring sunyi. Ibu
itu menyelipkan sejumput rambut kelabu di telinganya, mengguncang-
kan buah dadanya, seketika air susu memuncrati wajah bayinya. Bayi itu
memekik, tangisannya menggema dan cengkerama jemarinya meng-
gores kulit telanjang wanita yang menyusuinya. Air susu ibu itu
meleleh. Dengan suara samar jatuh di atas bumi lembab. Bumi
menelannya dan meresapnya hingga ke akar-akar. Bumi menjadi
lembab. Anak kecil yang sedang dirampok kutu-kutunya oleh orang lain
menyeka berulang kali ingus yang meleleh. Ia menatap lekat-lekat bumi
yang lembab, kemudian meraupnya gemas. Bumi remuk di sela-sela
jemari anak berkutu itu.
Anak kecil itu tersenyum aneh, menampakkan beberapa gigi
hitam. Anak itu mendengus dan menyedot ingusnya kembali sambil
menggaruk rambutnya. Kutu-kutu hitam legam berjatuhan, meluncur
melalui tengkuknya. Kutu-kutu itu merayap pelan di atas bumi, sesekali
menengadah ekspresi jijik manusia di atasnya. Mereka menjelajahi ke-
rikil tajam, meliuk-liuk bagaikan gelombang eksotis penari khayalan.
Namun, Yang Maha Kuasa mencabut nyawa mereka secepat petir

133
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
menyambar, kaki manusia meremukkan tubuh mungil mereka sampai
tergencet bebatuan. Roda sepeda kurus menggilas tubuh datar kutu-
kutu tersebut dan menempel erat. Jiwa mereka melayang-layang murka
dan berhembus tak keruan. Butiran tangis langit menimpa roda sepeda
itu hingga ke tempat peristirahatannya.
Lelaki tua menanggalkan roda sepeda itu kasar, tergesa-gesa me-
masuki gubuk kecil dengan cahaya lentera berpendar-pendar. Ia dengan
rasa lapar yang tak dapat dibendung lagi merobek bungkusan kecil ber-
isi penambal perutnya. Gumpalan nasi berair dan seiris daging keras ia
kunyah nikmat, desahan meluncur melalui sela-sela giginya. Lelaki tua
bersandar pada tiang gubuknya, menghembuskan asap rokok dan ber-
selonjor lega. Jenggot kelabunya digelayuti sisa-sisa nasi. Tak lama ke-
mudian matanya terpejam dan jiwanya dibawa ke awang-awang oleh
dewi mimpi, membuainya selembut kapas dan semanis madu. Dewi
mimpi mengecupnya penuh kemesraan, kecantikan hangat menguar
dari wajahnya, jemarinya lentik nan panjang. Dari setiap jemari muncul
kabut tipis beraroma dupa.
Lelaki tua tersenyum bahagia, merasakan dadanya membuncah
senang. Ia menerima uluran tangan dewi mimpi dan menariknya
bersama ke balik gerbang keabadian. Ketika jingga pagi menyusup
perlahan, lelaki tua tertidur pulas untuk selamanya, pulang ke rumah
bapa, penuh kedamaian. Senyum tulusnya terukir kuat. Pohon-pohon
menari, langit mencurahkan isi hatinya dan bumi bergetar pedih ketika
api melalap tubuh lelaki tua. Abu tertanam dalam bumi, hanyut dalam
pusaran air. Derai tangis menyelubungi angkasa. Terkadang, seorang
lelaki tua dapat meruntuhkan kebekuan hati. Hati yang membeku
karena kekakuan hidup manusia. Asap pekat membungbung ke
angkasa, berbaur dengan aroma murka api. Hujan turun dengan deras,
mengombang-ambingkan cawan kering kehidupan. Pohon meranggas
menengadah, membiarkan dirinya terbuka menerima manis hujan.
Manusia berlari cepat, mencipratkan lumpur ke mana-mana dan
menenggelamkan diri di antara hawa dingin. Bayi-bayi langsat janur

134
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
merangkak lamban melintasi lantai licin, pipi gemuk mereka berguncang
setiap telapak tangan mereka menapak bumi.
Perempuan bergincu merah penghisap rokok meliuk-liuk liar
bagaikan akar pohon. Wanita tua berbaring berbalur tarian sukma,
aroma kembang melingkupinya. Lelaki berpakaian hitam memutar-
mutar dengan mata sehampa kalbu. Angin mendayu-dayu, meresahkan
jiwa risau para penunggu kenikmatan sesaat surga duniawi. Hujan terus
mendera sampai gelombang samudera menabrak dan memecah karang
yang merambat dalam gelap. Sunyi mendesah, diam-diam terisak dalam
hujan, menanti basahnya bumi menghilang. Nyiur melambai, bergoyang
penuh suka cita menyambut bulir-bulir tangisan angkasa, tubuh
kurusnya melepuh melepas dahaga. Ketika awan kelabu terbelah,
cahaya matahari menerobos kalap menembus akar. Cahaya keemasan
membias ke segala penjuru arah, menimbulkan erangan lega mulut
manusia. Embun menetes. Air bergemericik. Bumi melembut. Lautan
damai.
Manusia berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil melantunkan
lagu esensi samsara. Siulan gairah meluncur melalui paruh malaikat ber-
sayap menandakan berhentinya angkasa menangis. Kepakan sayap ber-
bulu putih mengibas tenang. Seorang wanita berjubah putih melingkar-
kan lengannya dan menatap tetes hujan mengaliri pucuk dedaunan. Ia
tersenyum kecil, muram. Tanpa ekspresi. Rambutnya bergeser pelan
diterpa semilir angin. Hatinya gundah. Ekor matanya menangkap basah
tepat pada pandangan kagum seorang pria. Pria itu melampirkan
cintanya pada wanita yang menatap tetes hujan dan membaringkan
benihnya sedalam mungkin. Ia dengan kelembutan surga, menitipkan
benihnya agar bertumbuh. Dikecupnya manis pipinya, menyeka
rambutnya dan memeluknya erat.
Bumi berguncang, debu berkepulan. Bosan dengan kemelaratan
dunia, tangan-tangan kokoh mengayunkan kapak dan menebas leher
jenjang lawannya. Cairan merah kental membasuh tubuh mereka. Jeritan
dan tangisan membahana, mengalahkan pesona mimpi. Kobaran api me-
lalap habis tulang-tulang seputih susu, menghisap ke urat-uratnya.

135
Sepotong Kayu di Pelukan Senja
Tawa-tawa ngeri menyemarakkan keheningan. Genderang ditabuh
sekeras mungkin. Seruling menyayat. Penari menyentuh kepalanya
seanggun kucing, meregang dan mendesah, serta meretih bagai nektar
kembang. Senyum arogan menopang dagunya. Kuku runcingnya
menepis seberkas rambut anak kecil kumuh. Tidak bahagia. Anak
kumuh itu menjerit dan melolongkan kepedihan. Pucuk-pucuk mekar,
serbuk emas berterbangan.
Ibu melamun, bayi terdiam, anak kecil tersedu bisu dan lelaki me-
ringkuk ketakutan. Semuanya terdengar bagaikan denyut nadi jantung
bumi, tak terelakkan begitu pelik dan menakutkan. Saat itulah,
lembayung merayap naik turun menggapai agungnya surya bumi.
Merapat padanya dan mengemis cinta. Ingin dimanjakan dan tak
terlupakan. Lembayung melampiaskan keindahannya pada manusia,
menumbuhkan kembang tak bersukma untuk dihirup manis senyum-
nya. Bumi berderit, berderak karena luapan kasih. Lembayung me-
rangkul bumi, meniupkan derai cinta, menggenggam agungnya surya.
***

136

Anda mungkin juga menyukai