TIDAK DIPERDAGANGKAN
Penyunting:
Herry Mardianto
Pracetak:
Nur Ramadhoni Setyaningsih
Sri Haryatmo
Warseno
Linda Chandra Ariyani
Endang Siswanti
Sumarjo
Pargiono
Penerbit:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667
ii Sarapan Terakhir
PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
iv Sarapan Terakhir
KATA PENGANTAR PANITIA
Panitia
vi Sarapan Terakhir
DAFTAR ISI
Kemah ........................................................................................... 20
Alya Aulia Defyo
Niken ............................................................................................ 39
Joana Zettira
Tikus ............................................................................................. 54
Avesina Wisda Burhana
Kenapa?......................................................................................... 117
Kinanti Febriandini Darintis
Pelaku:
Abah, usia 70 tahun, bekas tentara.
Ibu, usia 60 tahun, ibu rumah tangga.
Hasan, usia 24 tahun, mahasiswa.
Yanti, usia 40 tahun, pembantu rumah tangga.
1
PAGI HARI. RUANGAN TENGAH SEBUAH RUMAH,
TERDAPAT DUA BUAH PINTU MASING-MASING MENUJU
KAMAR SANG ANAK DAN KAMAR ORANG TUA. DI BELA-
KANG, TAMPAK DINDING DENGAN BEBERAPA FOTO
DALAM PIGURA (FOTO KELUARGA, FOTO HITAM PUTIH
SEORANG PRIA BERSERAGAM LORENG), SERTA RAK
BERISI BUKU-BUKU AGAMA.
ABAH DUDUK BERSANDAR DI KURSI. TERHIDANG
BEBERAPA CAMILAN DAN SECANGKIR MINUMAN
HANGAT. IBU DUDUK DI KURSI RODA, DI PANGKUAN-
NYA BEBERAPA POTONG UBI REBUS MENUNGGU GILIR-
AN DIKUPAS. KEDUANYA BERUSIA LANJUT.
PINTU KAMAR HASAN DIBIARKAN TERBUKA. HASAN
MENGEPAK BAJU-BAJU DI DALAM KAMAR. AKTIVITAS-
NYA SESEKALI TERLIHAT DARI PINTU.
2 Sarapan Terakhir
13. Hasan : Tadi kulihat Simbok berangkat ke pasar.
Entah sudah pulang atau belum Hasan tak
tahu. Ada apa, Bah?
14. Abah : Mau minta tolong supaya dia menjerang
air untuk mandi ibumu.
15. Hasan : Biar Hasan saja, Bah.
16. Abah : Kau tak terburu?
17. Hasan : Keretaku masih beberapa jam lagi, masih
cukup banyak waktu untuk berbagi ke-
bahagiaan di rumah ini, Bah.
18. Abah : Cukup, cukup, cukup. Cukup semalam saja
abah menangis, tak mau lagi pagi ini aku
menangis karena ocehanmu. Sana, jerang-
lah sepanci besar untuk ibumu dan aku.
19. Hasan : Baik, Bah.
4 Sarapan Terakhir
38. Abah : Ya, ya, ya, aku bisa mengerti itu, San. Hanya
saja Abah masih belum mengerti kenapa
kau ngotot sekali. Ada apa sebenarnya?
39. Hasan : Abah tak perlu mengkhawatirkan Hasan.
Hasan akan baik-baik saja. Bukankah bulan
depan Bang Subhan dan keluarga kecilnya
akan mulai menetap di rumah ini?
40. Abah : Tak lengkap bila tanpa kau, Hasan. Empat
tahun lalu kau meninggalkan rumah ini
untuk kuliah di kota. Untung saja ada Yanti,
ia cukup menemani hari-hari sepi kami.
41. Hasan : Bang Subhan akan pulang, Bah. Dan ia tak
akan pergi lagi.
42. Abah : Berjanjilah, kau akan kembali.
43. Hasan : (MEMELUK ABAH) Tak perlu aku berjanji,
Bah. Hasan yakin kita akan berkumpul
kembali.
44. Abah : Raihlah apa yang kau citakan. (MELEPAS
PELUKAN) Apa semua telah kau masuk-
kan ke dalam tas?
45. Hasan : Insyaallah sudah, Bah.
2
RUANGAN TENGAH. ABAH, HASAN, DAN IBU DU-
DUK SEMEJA, MENANTI MENU SARAPAN. YANTI BOLAK-
BALIK MEMBAWA MASAKAN DARI DAPUR KE MEJA.
6 Sarapan Terakhir
64. Hasan : Bukankah hidup, mati, jodoh, dan rezeki,
semuanya sudah ada yang mengatur, Bah?
65. Abah : Lalu?
66. Hasan : Begitu pula rezeki di daerah ini, Tuhan telah
mengatur rezeki untuk kota ini sedemikian
rupa, berbeda dengan rezeki di Jakarta.
Boleh jadi harga kebutuhan di kota ini
bersahabat dengan dompet kita, namun
penghasilan yang didapat di kota ini pun
juga menyesuaikan standar harga kebutuh-
an yang berlaku di kota ini. Begitu pun
yang berlaku di Jakarta, harga kebutuhan
yang mahal, sejalan dengan penghasilan
yang didapat.
67. Abah : Ah, apa benar seperti itu? Kudengar di sana
kehidupannya sangat keras.
68. Hasan : Yang kudengar dari kawan-kawan peran-
tau seperti itu, Bah. Masalah keras atau
tidak, itu bergantung pada bagaimana kita
menjalaninya. Kalau kita bersyukur, semua
akan ada jalannya. Kalau kita bersyukur….
69. Abah : Kita akan bahagia. Kau mengingat benar
petuah itu, San. Ayo sambil sarapan, San.
70. Abah : (KEPADA IBU) Kau mau lauk apa?
71. Ibu : Hah?
72. Abah : Lauk?
73. Ibuh : Ayam.
74. Hasan : Biar Hasan yang mengambilkannya untuk
Ibu.
75. Abah : Yan, ayo sekalian makan bersama.
76. Yanti : Saya masih ada cucian di belakang, Pak.
77. Abah : Alah, ayolah. Mumpung masih hangat, se-
tidaknya cicipilah masakanmu sendiri.
78. Yanti : Baik, Pak. Nanti saya akan makan, namun
8 Sarapan Terakhir
91. Abah : Ada. Dan itu melawan kezaliman, kejahat-
an, juga kekafiran....
92. Hasan : Melawan hal-hal buruk untuk menegakkan
agama Allah.
93. Abah : Nah, itu. Pikiranmu kini sungguh maju, San.
Benar-benar ilmu yang kau dapat selama
kuliah, telah membuat Abah terkagum. Abah
masih ingat, kau dulu waktu SMA masih
suka balapan liar, pulang larut malam, urak-
an, jarang beribadah, namun kini kau lain.
Kau mengerti bagaimana cara untuk hidup.
Eh, kepada siapa kau belajar semua itu?
94. Hasan : Eh, hanya sekadar obrolan bersama kawan-
kawan saja kok, Bah. Dan membaca bebe-
rapa buku.
95. Abah : Amalkan semua yang kau pelajari itu.
Sebarkan kebaikan itu kepada siapa saja.
96. Hasan : Insyaallah, Bah.
97. Abah : Abah dan ibumu hanya bisa memberimu
doa.
98. Hasan : Itu lebih dari cukup, Bah. Cinta kasih Abah
selama ini telah mengantar Hasan siap ter-
bang meninggalkan sarang, sebagaimana
yang Abah katakan tadi.
99. Ibu : San, kau jadi pergi?
100. Hasan : Insyaallah, Bu.
101. Abah : Kalian hanya menambah rasa sendu saja.
Aku jadi ingat masa mudaku dulu. Aku
berpamitan, bersujud di kaki nenekmu.
Barangkali seperti inilah perasaan kakekmu
saat itu.
102. Hasan : Abah, Ibu, jangan bersedih. Hasan berjanji,
kita akan bertemu lagi.
10 Sarapan Terakhir
anehan. Keasingan. Hal-hal yang di luar
keumuman tak mendapat tempat dalam
masyarakat kita. Itu dipandang buruk.
114. Hasan : Bisa juga sebaliknya, Abah. Bisa jadi hal-
hal yang wajar di masyarakatlah yang se-
benarnya busuk, bukan pahamnya. Dan
masyarakat itu sebenarnya perlu dicerah-
kan. Dan untuk tahun 1965-an, kupikir
masyarakat terlalu….
115. Abah : Astaghfirullah. San!
116. Hasan : Maaf, Abah. Hasan hanya ingin mengutara-
kan apa yang ada di pikiran Hasan.
117. Abah : Yanti! Yanti!
118. Yanti : (MASUK) Iya, Pak? Ada apa?
119. Abah : Tolong ibu kau ajak jalan-jalan sebentar.
120. Yanti : Bukankah sebentar lagi Mas Hasan akan
berangkat?
121. Abah : Tolong sebentar saja. Aku tak ingin ia ada
di sini, dalam perbincangan kami.
122. Yanti : Baik, Pak. (MENDORONG KURSI RODA)
Mari, Bu.
123. Abah : (BERDIRI) San, tadinya aku sudah cukup
ikhlas, rela melepas keberangkatanmu.
Namun, terkait pandanganmu yang terakhir
tadi, abah minta maaf jika harus menahan
keberangkatanmu barang beberapa menit
lagi. Abah tak suka dengan pandanganmu
tadi. Kau anggap setiap paham memiliki
kebaikannya masing-masing, Abah setuju.
Dalam Quran yang selalu kita baca, juga
menyampaikan hal itu. “Untukmu agama-
mu, untukku agamaku”, toleransi sudah
disampaikan secara gamblang di sana. Aku
hanya tak setuju saja dengan caramu ber-
bicara tentang tahun-tahun kelabu 1965.
Antologi Naskah Drama 11
124. Hasan : Maaf, Bah. Hasan hanya menyampaikan
pemikiran atas peristiwa waktu itu.
125. Abah : Kau tak tahu apa-apa! Kau bahkan belum
dilahirkan saat hal itu terjadi!
126. Hasan : Hasan tahu, Bah.
127. Abah : Tahu apa kamu? Apa pun yang kamu tahu,
itu tak cukup menjelaskan apa yang se-
benarnya terjadi waktu itu. Dari mana pula
kau mengetahui itu? Buku-buku? Diskusi?
Kebenaran yang kau baca hanya didasarkan
pada siapa yang menulis bukunya dan siapa
yang memimpin diskusimu. Siapa?
128. Hasan : Tak perlu Abah mengetahui itu, sudah men-
jadi rahasia umum atas semua hal itu. Dan
sudah menjadi rahasia umum pula bahwa
Abah ….
129. Abah : Cukup!
130. Hasan : Maaf, Bah. Bukan maksud Hasan menguak
masa lalu Abah.
131. Abah : Cukup, cukup… Abah hanya ingin men-
jalani masa tua Abah dalam kedamaian.
Abah tak ingin mengingat lagi luka-luka itu.
Mengingat teman-teman Abah yang juga
menjadi korban!
12 Sarapan Terakhir
ledakan, juga huru-hara lainnya, dan ku-
duga semua itu muncul karena ketidak-
puasan mereka atas kenyataan saat ini. Ke-
wajaran yang sesat adalah tempat di mana
agama harus ditegakkan dan menjadi pelita
atas kegelapan.
135. Abah : San, jangan katakan kalau kau kini bagian
dari mereka.
136. Hasan : Mereka siapa, Bah?
137. Abah : Mereka yang berpihak pada apa yang telah
dan akan mengacaukan negeri ini.
138. Hasan : Hasan tak pernah berpikir demikian, Bah.
Hasan berpihak pada kebenaran.
139. Abah : Kebenaran siapa?
140. Hasan : Tentu saja kebenaran Ilahi. Dan juga semua
ini kulakukan demi Abah, dan keluarga ini.
141. Abah : Apa yang kau bicarakan?
142. Hasan : Abah, ketahuilah bahwa Hasan tak pernah
sampai hati untuk mengatakan hal ini kepada
Abah. Namun, kepergian Hasan hari ini
adalah cara untuk membukakan pintu surga
bagi keluarga ini, menebus kesalahan Abah
di masa lalu.
143. Abah : Kesalahan apa? Semasa hidup Abah merasa
tak pernah melakukan keburukan. Semua
perintah-Nya kulakukan, semua larangan-
Nya kutinggalkan.
144. Hasan : Sewaktu belum mengetahuinya, aku selalu
membanggakan Abah. Mantan tentara yang
dikenal gagah berani, menjaga kedaulatan
negara. Bahkan foto itu, Bah, foto yang se-
lalu Hasan banggakan setiap kali teman-
teman Hasan bertamu ke rumah ini. Seakan
tak ada yang lebih membahagiakan lagi
14 Sarapan Terakhir
Abah, di masa lalu Abah ikut memerangi
kemurkaan! Memerangi kebusukan! Jadi,
mana yang kau sebut kesalahan pada masa
lalu Abah? Dan apa yang akan kau lakukan
untuk menebusnya?
148. Hasan : Dengan mengorbankan diri di jalan Tuhan.
149. Abah : Abah tak paham arah pembicaraanmu.
HASAN BERDIRI.
16 Sarapan Terakhir
sayang akan melayani. Kita akan bertemu
lagi, Bah.
169. Abah : Maka bunuhlah abahmu ini jika kau me-
mang berniat begitu! Bukankah menurut-
mu, aku juga orang-orang yang layak bina-
sa, bukan? Ayo! Anak durhaka! (MELEM-
PAR BEBERAPA BARANG KE ATAS MEJA
KE ARAH HASAN).
170. Hasan : Abah tetaplah ayahku. Dan wujud baktiku
kepada Abah adalah menyelamatkan Abah
dengan cara yang kupercayai. Maafkan aku,
Bah. (BERLARI PERGI).
171. Abah : Hasan!
3
ABAH DAN IBU TENGAH MENONTON TELEVISI, ME-
LIHAT LIPUTAN PERISTIWA PENGEBOMAN DI JAKARTA.
18 Sarapan Terakhir
195. Abah : (DIAM, MULAI MENANGIS).
196. Ibu : Hei …!
Pelaku:
Sarah, usia 14 tahun, ketua regu Anggrek, egois, dan teguh
pendirian.
Alma, usia 13 tahun, wakil ketua regu Anggrek, dewasa, agak
lelet.
Zahra, usia 14 tahun, bendahara regu Anggrek, suka menasi-
hati, dan pekerja keras.
Elsa, usia 13 tahun, sekertaris regu Anggrek, manja, agak pe-
malu.
Tasya, usia 14 tahun, anggota regu Anggrek, emosional, supel.
Bella, usia 14 tahun, anggota regu Anggrek, penakut.
Icha, usia13 tahun, anggota regu Anggrek, cerewet, agak lebay.
* Naskah ini sudah melalui tahap penyuntingan. Namun, beberapa hal tetap
dipertahankan sesuai naskah aslinya.
20 Sarapan Terakhir
dan Alma tendanya disiapin, Elsa jangan
diem aja, bantuin megang itu, lho! (BER-
KATA SINIS).
3. Tasya : Huh.. dasar nenek lampir, bisanya cuma
nyuruh-nyuruh, padahal dia sendiri eng-
gak kerja.
4. Bella : Ayo, Tas, kita ambil tongkat.
22 Sarapan Terakhir
34. Alma : Iya deh, Zah.
24 Sarapan Terakhir
59. Zahra : Raka, Tas.
60. Tasya : Oh...(MENENGOK KE BELAKANG) Raka,
Al.. yang pingsan.
61. Alma : Oh. Ternyata laki-laki bisa pingsan juga....
62. Tasya : Ya iyalah, bagaimanapun juga dia itu manu-
sia, dan Alma please jangan mulai kumat.
63. Alma : Iya, iya....
26 Sarapan Terakhir
kita tidak akan menemukan lampu. Jadi,
kalian harus teliti dan cermat dalam men-
cari tanda jejak dan pos bayangan atau pos
yang tidak terlihat. Apa kalian siap? Regu
yang berada paling barat silakan jalan dulu-
an! Silakan jalan ke arah sana (MENUN-
JUKKAN ARAH JALAN) regu Melati! Saya
akan memberi aba-aba kapan regu selanjut-
nya jalan.
89. Bella : Kok, gelap banget, sih? Aku takut.
90. Elsa : Iya, gelap banget, sih... Masa enggak ada
lampu satu pun? Ini namanya keterlaluan.
91. Zahra : Tadi, kan, Kakak Pembina sudah bilang,
kalau di perjalanan jarang ada lampu.
92. Sarah : Kok, enggak ada tanda jejak, sih? Padahal
kita udah jalan lumayan jauh. (MENG-
ARAHKAN SENTER KE SEGALA ARAH).
93. Alma : Atau jangan-jangan kelewatan?
94. Zahra : Enggak mungkin. Dari tadi kita enggak li-
hat ada pertigaan atau perempatan. Biasa-
nya kalau naruh tanda kayak gitu di per-
tigaan atau perempatan.
95. Sarah : Teman-teman, kayaknya itu tanda jejak. Ayo
kita ke sana!
96. Icha : Wah....iya Sar, kamu benar. Tapi ini tanda-
nya ke mana?
28 Sarapan Terakhir
115. Elsa : Udahlah ayo kita jalan agar tidak kemalam-
an.
116. Alma : Terus Sarah, gimana? Nanti kalau dia di-
tangkap orang jahat atau diterkam binatang
buas, gimana?
117. Tasya : Aduh... Alma, itu enggak akan terjadi....
118. Alma : Oke....
(SARAH TERKEJUT).
30 Sarapan Terakhir
136. Penculik 3 : Bos, kapan kita akan melaksanakan rencana
ini?
137. Penculik 1 : Malam ini juga.
138. Penculik 3 : Apa rencana ini tidak terlalu mendadak,
Bos?
139. Penculik 1 : Tentu tidak. Aku sudah menyiapkannya
dengan matang. Kalian tenang saja, tunggu
perintah dariku.
140. Sarah : (GUSAR DI BALIK SEMAK-SEMAK) Aku
harus balik ke teman-teman. Aku harus
memberitahu mereka dan Kakak Pembina
soal rencana para penculik.
32 Sarapan Terakhir
satu keluarga. Dan kita harus saling tolong-
menolong.
161. Alma : Siapa yang mau ikut?
162. Elma : Aku ikut, Al. Perasaan aku dari tadi juga
enggak enak.
163. Bella : Aku juga, Al. Gimanapun juga dia tetap
teman kita.
164. Icha : Aku ikut. Aku takut dia kenapa-napa.
165. Bella : Tasya, kamu gimana?
166. Tasya : Aku..... (RAGU).
167. Icha : Ayolah, Tas. Sarah butuh kita.
168. Tasya : Iya, iya, aku ikut.
34 Sarapan Terakhir
186. Alma : Iya, Tas, lalu apa rencana kita selanjutnya?
187. Tasya : Gini aja, Al. Kita pancing orang yang ada di
gubuk agar keluar halaman. Aku akan buat
jebakan pakai tali yang aku ikatkan ke po-
hon.
188. Alma : Oh , oke. Aku setuju!
36 Sarapan Terakhir
215. Sarah : Icha, Bellaa, Zahra! Icha, Bellaa.
216.Zahra : Sarah! (SALING BERPELUKAN).
217. Zahra : Aku senang kamu selamat.
218. Bella : Aku senang kita bisa kumpul lagi.
219. Sarah : Jadi, kalian yang nangkap penjahat ini?
220. Tasya : Nanti kita ceritain kalau udah di tenda.
221. Sarah : Oh iya, Elsa di mana?
(MENGARAHKAN PANDANGAN KE SEKELILING).
229. Kepala Desa : Terima kasih atas bantuan kalian yang telah
menangkap para penculik. Saya sangat meng-
hargai kalian karena memiliki keberanian
yang besar.
230. Sarah : Sama-sama, Pak.
-SELESAI-
38 Sarapan Terakhir
Niken
Joana Zettira
SMA Negeri 1 Banguntapan
zettirajoana@gmail.com
Pelaku:
Niken, usia 17—40 tahun, siswa/ibu rumah tangga.
Ibu Niken, usia 60 tahun, penjahit.
Ayah Niken, usia 60 tahun, wartawan.
Kris, usia 23 tahun, mahasiswa.
Pak Arif, usia 50 tahun, guru.
Budi, usia18 tahun, siswa.
Bara, usia 17 tahun, siswa.
Sasa, usia 15 tahun, siswa.
Om Bowo, usia 55 tahun, karyawan.
Prolog
LAYAR PANGGUNG MASIH DITUTUP. LAMPU PANG-
GUNG REMANG-REMANG. TERDENGAR SAYUP-SAYUP
SUARA PEREMPUAN MENANGIS SEPERTI TAK TERIMA
AKAN SESUATU. SEMAKIN LAMA SUARA SEMAKIN
KERAS. TIBA TIBA SUARA TANGISAN MEMEKIK, DIIKUTI
LAMPU PANGGUNG YANG LANGSUNG PADAM. SUA-
SANA HENING.
Adegan 1
TERDENGAR SUARA JANGKRIK. LAYAR DIBUKA.
LAMPU DINYALAKAN PERLAHAN SAMPAI AKHIRNYA
Antologi Naskah Drama 39
BETUL BETUL TERANG. DI ATAS PANGGUNG, TERDAPAT
SEBUAH PINTU YANG BERADA DI SISI KANAN BAWAH
PANGGUNG. SATU SET SOFA DAN MEJA DI BAGIAN
TENGAH BAWAH PANGGUNG. DI MEJA TERDAPAT
SEGELAS KOPI. DI BAGIAN KIRI ATAS PANGGUNG, TER-
DAPAT KAMAR TIDUR BERISI ALMARI DAN SEBUAH KASUR.
AYAH NIKEN MASUK KE DALAM RUMAH, SUARA
JANGKRIK MEREDA HINGGA AKHIRNYA HILANG.
40 Sarapan Terakhir
berbeda saja langsung dikira yang aneh-aneh.
(SINIS).
8. Ibu Niken : Cukup, Pak. Ini bukan pertama kalinya Bapak
bohongin saya. Bapak tidak pernah berubah.
Nyesel, Pak. Nyesel saya dulu mau dipinang
Bapak. Nyesel saya dulu menerima perjodohan.
9. Ayah Niken : Oh, jadi kamu nyesel jadi istri saya? Kamu ndak
bisa nerima saya yang suka main perempuan?
10. Ibu Niken : Istri mana yang mau dimadu, Pak? Bapak pikir
saya ini apa? Pelacur yang bisa sewaktu-waktu
Bapak datangi kalau Bapak butuh? Tukang
masak? Tukang cuci? Tukang manak? Jawab
Pak.. Jawab.... (MENANGIS, MARAH).
11. Ayah Niken : Kamu istri saya. Turuti kemauan saya. Kalau
tidak mau, silakan cari uang sendiri. Biar saya
yang pergi. (MENUJU KAMAR).
12. Ibu Niken : Kurangajar kamu, Pak! Suami macam apa kamu,
Pak! Aku ini istri sahmu. Bisa-bisanya Bapak
lebih memilih perempuan di luar sana yang
menjajakan tubuh ke banyak pria. Kurang apa
aku, Pak? Kurang apa? (MENGEJAR SUAMI-
NYA).
13. Ayah Niken : Terserah Ibu mau bilang apa. Bapak capek pu-
nya istri yang bisanya cuma nuntut macam-
macam. Ibu pikir bapak mesin uang yang bisa
setiap waktu menuhi permintaan Ibu? Ha? Pikir,
Bu, pikir.... (MARAH).
14. Ibu Niken : Jadi, selama ini uang hasil jahitan iIbu itu nggak
berguna menurut Bapak? Justru Bapak yang
harusnya malu sama diri Bapak. Suami, kok,
tidak bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak,
sampai Ibu harus kerja. (MENANGIS).
15. Ayah Niken : Terserah. Mulai malam ini kita pisah ranjang,
urus anakmu sendiri. (MENENTENG KOPER).
Adegan 2
LAMPU TERANG, RUANG TAMU (TENGAH ATAS
PANGGUNG). NIKEN PULANG SEKOLAH, MASUK LEWAT
KIRI PANGGUNG. IBU TENGAH MENJAHIT. MEJA JAHIT
BERADA DI TENGAH BAWAH PANGGUNG.
42 Sarapan Terakhir
Adegan 3
BERLANGSUNG DI RUANG TENGAH. BUDI MUNCUL
DARI KIRI PANGGUNG.
26. Ibu Niken : Anak bawa sial. Pulang sekolah malah nga-
jak ngobrol. Tidak mengerti kalo ibunya
sibuk. (MENGUMPAT).
27. Budi : Budi pulang, Bu...
28. Ibu Niken : Eh anak lanang Ibu sudah pulang. Sini, cah
bagus, salim Ibu dulu....
29. Budi : Ya, Bu. Budi mau ke kamar, capek. (CUEK).
30. Ibu Niken : Tadi di sekolah kamu pasti banyak kegiat-
an, ya. Tapi sempat jajan, to? Apa uang
sakunya kurang?
31. Budi : Ya pas-pasanlah, Bu. Cuma cukup buat beli
bakso sama es teh segelas. Kalo gitu terus,
kapan Budi bisa jadi atlet, Bu? Kurang nu-
trisi...
32. Ibu : Iya iya, nanti Ibu cari uang tambahan buat
kamu. Sekarang kamu makan dulu. Tadi
Ibu beli opor ayam.
33. Budi : Ibu tahu aja Budi lagi pingin opor.
34. Ibu : Ssst, itu opornya Ibu sembunyikan di atas
lemari, biar enggak dimakan Niken. Anak
kayak dia enggak perlu dikasihani. Kerja
nggak becus, tukang membantah pula.
Adegan 4
BERLANGSUNG DI RUANG TENGAH. KETIKA IBU DAN
BUDI BERCAKAP, TIBA TIBA NIKEN MUNCUL.
Adegan 5
NIKEN PULANG SEKOLAH, MUNCUL DARI KIRI
PANGGUNG. IA LANGSUNG MENUJU RUANG TENGAH.
IBU SEDANG MENJAHIT. CAHAYA LAMPU TERANG.
44 Sarapan Terakhir
49. Niken : Kuliah Niken gratis, Bu. Niken masuk
tanpa tes. Tapi....
50. Ibu Niken : Kapan berangkat ke Jogja?
51. Niken : Lusa, Bu. Tapi... justru itu masalahnya, Bu.
Niken butuh biaya untuk berangkat ke Jogja
dan bertahan hidup di bulan pertama. Nanti
kalau sudah sebulan di Jogja, Niken pasti
bisa cari kerjaan. (MEMOHON).
52. Ibu Niken : Kamu lama-lama kayak Bapak kamu, ya.
Banyak omong. Terserah! Ibu tidak mau
tahu! Kan, Ibu tidak nyuruh kamu kuliah!
Jadi kamu tanggung sendiri akibatnya!
(SINIS).
53. Niken : Ya, Bu. Niken akan berusaha sendiri....
Adegan 6
NIKEN PERGI KE RUMAH GURUNYA, PAK ARIF.
SEPANJANG JALAN IA BERBICARA SENDIRI. LAMPU
REDUP MENANDAKAN CUACA MENDUNG. MENGALUN
MUSIK HALUS MENGIRINGI KESEDIHAN NIKEN.
46 Sarapan Terakhir
Adegan 8
NIKEN BERANGKAT KE JOGJA. IA BERADA DALAM
KERETA. NIKEN DUDUK DEKAT JENDELA. POSISI KERETA
BERADA DI TENGAH BAWAH PANGGUNG. HANYA ADA
SATU GERBONG KERETA. TERDENGAR BUNYI TANDA
KERETA API SIAP BERANGKAT. DISUSUL SUARA KERETA
API KETIKA BERJALAN. NIKEN LARUT DALAM KEPEDIH-
ANNYA.
Adegan 9
NIKEN MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KRIS.
MEREKA PULANG KE KAMPUNG HALAMAN NIKEN
UNTUK PROSESI LAMARAN. ADEGAN BERLANGSUNG DI
RUANG TAMU. ADA SATU SET SOFA. SOFA PANJANG DI-
PAKAI DUDUK KRIS DAN NIKEN. DAN DUA SOFA PENDEK
DIPAKAI IBU DAN AYAH NIKEN.
77. Ibu Niken : Anak tidak tahu diuntung kamu, Ken! Ngo-
mongnya ke Jogja mau kuliah, malah pacar-
an sama orang beda agama. Anak sial kamu,
Ken. Ibu malu.... Malu punya anak seperti
kamu!
78. Niken : Niken kuliah, Bu.... Niken tidak pernah
melakukan hal-hal yang melenceng, Bu.
Jadi, Niken mohon restu Ibu....
79. Ayah Niken : Pergi, pergi! Bapak tidak mau lihat wajah
Kris lagi. Pergi! Jangan permalukan keluar-
ga ini hanya karena kamu memilih me-
nikah dengan Kris!
80. Kris : Bapak, saya mohon, berikan kami restu.
(TENANG).
48 Sarapan Terakhir
81. Ayah Niken : Sekali tidak tetap tidak. Pergi!
82. Ibu Niken : Anak tidak tahu diuntung, memalukan!
83. Ayah Niken : Sudah, Bu, sudah. Biarkan saja mereka per-
gi.
84. Kris : Permisi (MENGGANDENG NIKEN).
Adegan 10
NIKEN MENIKAH DENGAN KRIS, MEMILIKI 2 ORANG
ANAK. ANAK SULUNGNYA (BARA), LAKI-LAKI BERUSIA
3 TAHUN, ANAK BUNGSUNYA (SASA) MASIH 6 BULAN.
NIKEN TENGAH MEMBOBOKKAN ANAK BUNGSUNNYA
DI RUANG TAMU. TERDAPAT SATU SET SOFA. ANAK
SULUNG NIKEN DUDUK TEPAT DI SAMPING NIKEN.
MENGALUN MUSIK NINABOBO. LAMPU TIDAK TERLALU
TERANG.
Adegan 11
DI RUANG MAKAN, SEBUAH MEJA DAN 3 BUAH
KURSI. TERSEDIA BEBERAPA PIRING DAN GELAS DITUTUP
TAPLAK MEJA. NIKEN MENGELAP MEJA. TIBA-TIBA BARA
DATANG.
Adegan 12
DI LAIN HARI, NIKEN MEMASAK TELUR DADAR
DENGAN RASA YANG SAMA. ASIN. BARA DAN SASA
PENASARAN SEKALIGUS KESAL. SET DI RUANG MAKAN.
LETAKNYA DI TENGAH BAWAH. ADA TIGA KURSI
DENGAN SATU MEJA.
50 Sarapan Terakhir
102. Bara : Masa tiap hari kita makannya telur dadar
asin terus.
103. Niken : Bukan Mama tidak mau kalian makan enak,
Nak. (BATUK).
104. Sasa : Ma, Mama kenapa? Maa? Mama! (PANIK).
105. Bara : Ma, Mama... Mama kenapa ini, Sa?
106. Sasa : Itu di hidung Mama ada darahnya, bagai-
mana, Mas? Sasa takut Mama kenapa-napa.
107. Bara : Sebentar, Mas hubungi Om Bowo. Kamu
tenang. Nanti Mama kita bawa ke rumah
sakit.
108. Sasa : Iya, iya, cepet, Mas! (KIAN PANIK).
109. Bara : Halo, halo, Om Bowo.... Mama pingsan
Om. Tolong Om cepat ke sini.
110. Sasa : Bagaimana, Om Bowo bisa ke sini?
111. Bara : Bisa. Kita tunggu saja, Dik!
Adegan 13
OM BOWO DATANG MENGENDARAI MOBIL. LAMPU
MENYOROT GERAKAN MOBIL MULAI DARI TEPI PANG-
GUNG. MOBIL MASUK DARI KIRI. LALU BERHENTI DI
TENGAH BAWAH PANGGUNG.
52 Sarapan Terakhir
tidak lama lagi. Maafkan karena Mama tidak
pernah bercerita kepada kalian kalau Mama
mengidap kanker rahim stadium akhir. Mama
tidak mau memberatkan kalian. Mama juga tidak
ingin berobat karena Mama tahu kita tidak punya
cukup uang. Maafkan Mama karena tidak bisa
memberi makanan yang layak untuk kalian.
Mama sengaja membuatkan kalian makanan
yang asin, agar untuk memakannya kalian harus
menambah banyak nasi. Itu Mama lakukan agar
kita menghemat lauk, Nak. Maafkan Mama,
sekali lagi maafkan Mama. Mama belum bisa
jadi Mama yang baik untuk Bara dan Sasa.
Kalian jangan sedih, Mama akan selalu di dekat
kalian. Jaga adikmu ya, Bara. Love, Mama.
(MENANGIS).
131. Sasa : Mama...!
-SELESAI-
Pelaku :
Pujo, laki-laki, usia 30-an tahun.
Wakidi, laki-laki, usia 20-an tahun akhir.
Mbah Rono, laki-laki, usia 70-an tahun.
Yu Sarni, perempuan, usia 30-an tahun.
Harto, laki-laki, usia 40-an tahun.
Pak Madi, laki-laki, usia 50-an tahun.
Para petani, bisa laki-laki atau perempuan, usia 30—50-an tahun
berjumlah 10 orang.
Babak 1
LAMPU PERLAHAN MENYALA HINGGA TERANG.
SIANG HARI DI KEDAI ANGKRINGAN ADA BEBERAPA
ORANG YANG SEDANG BERBINCANG-BINCANG.
54 Sarapan Terakhir
KERTAS ROKOK) Tingwe, tingwe, linting
dewe. Walau harga rokok lima puluh ribu,
Mbah Rono tetap linting dewe.
3. Yu Sarni : Belum, Mbah, belum naik. Lah, aku harus
jual berapa, kalau sebungkus saja lima puluh
ribu? Lah, wong orang saja pada ngecer,
Mbah. Isu itu, isu! (MENOLEH KE ARAH
PUJO) Jo, Pujo, kamu mau minum atau
cuma mau nunut ngeyup di sini?
4. Pujo : Oh, es teh anget, Yu.
5. Yu Sarni : (MEMBERSIHKAN GELAS DAN ME-
MASUKKAN GULA PASIR DUA SENDOK
MAKAN KE DALAM GELAS) Eh, eh,
sebentar, woo gemblung!
6. Pujo : Es teh saja, Yu. Anget-nya nanti malam saja
(TERKEKEH).
7. Yu Sarni : Heh, kurang ajar! Pokoknya nanti utang-
utangmu harus dilunasi, awas kalau tidak,
enak saja tiap ke sini cuma bon!
8. Pujo : Siap! (KEPADA MBAH RONO) Bukannya
tidak percaya, Mbah. Tapi masak ya iya
kalau hanya dalam beberapa menit, satu
petak sawah penuh padi kuning bisa ludes
gara-gara tikus, Mbah? Lah, wong kalau
pada ngani-ani saja itu butuh waktu berjam-
jam lebih, kan? Dan itu tidak orang sedikit
juga, loh.
9. Mbah Rono : (HANYA DIAM, LALU MENYULUT RO-
KOK LINTINGAN, MENGISAP DALAM-
DALAM DAN MENGEPULKAN HING-
GA KEDAI DIPENUHI ASAP).
10. Pujo : Lalu, dengan ratu tikus sebesar sapi itu
bagaimana, Mbah?
56 Sarapan Terakhir
mangkok bakso. Bahkan meskipun warung
belum buka, ada saja yang sudah antre di
sana, kan? Ndak tahu saja kalau mereka
antre bakso tikus. Jangan-Jangan itu ada hu-
bungannya dengan tikus menyerang sawah
seperti yang diceritakan Mbah Rono itu.
20. Pujo : Bagaimana, Mbah? Apakah ada hubungan-
nya?
21. Mbah Rono : Lah, seperti yang sudah saya katakan tadi,
kan? Saya tidak tahu kalau itu. (MENGE-
PULKAN ASAP ROKOK, KEMUDIAN
MENJATUHKAN PUNTUNG ROKOK KE
TANAH KEMUDIAN MENGINJAKNYA)
Yu, sudah, Yu. Nasigentel sama gorengan
empat, berapa?
22. Yu Sarni : Empat ribu, Mbah. Loh, kok terburu-buru,
Mbah?
23. Mbah Rono : (MENGAMBIL UANG DARI DALAM TAS
KRESEK TEMPAT TEMBAKAU) Empat
ribu, ya? Pas, ya, Yu. (MEMBERESKAN PER-
ALATAN MELINTING, MEMASUKKAN
KE DALAM TAS KRESEK) Tidak terburu-
buru juga, Yu. Cuma ini, kan, sudah wak-
tunya rolasan, malah sudah kelewat banyak.
Ayo semuanya, assalamualaikum.
24. Pujo dan Yu Sarni : Waalaikumsalam, Mbah.
Babak 2
LAMPU PERLAHAN MENYALA. MALAM HARI DI GAR-
DU RONDA BEBERAPA ORANG MENONTON TELEVISI.
58 Sarapan Terakhir
38. Harto : (MENEPUK PUNDAK PUJO) Jo....
39. Pujo : Eh, iya Mas Harto. Bagaimana bolanya?
Menang, ya?
40. Wakidi : (MENYAHUT) Menang keberuntungan.
41. Harto : Kamu ada masalah apa, Dik Pujo? Dari tadi
kok diam saja, teman-teman pada nonton
bola, Dik Pujo cuma diam saja. Teman-
teman pada bercanda, Dik Pujo juga diam
saja. Ada apa sebenarnya?
42. Pujo : Tidak ada apa-apa kok, Mas.
43. Wakidi : Ciye, Kang Pujo galau, ciye.
44. Harto : Nah, agak benar kata Wakidi.
45. Pujo : Bukan, Mas, bukan. Cuma tadi siang saya
ngobrol dengan Mbah Rono di angkringan
Yu Sarni.
46. Wakidi : Wah, lah itu Kang Harto. Kang Pujo mung-
kin ketularan Mbah Rono, jadi suka mere-
nung. Mbah Rono, kan, kalau bicara berat-
berat, to? Kalau kata orang sok pisuh. Seben-
tar Kang, saya buatkan kopi biar tenang.
47. Harto : Hah? Pisuh? Filsuf, Di, filsuf!
48. Wakidi : Nah, itu maksudnya, Kang, he...he...he....
49. Harto : Wo, dasar Wakidi kurang satu sendok! (KE-
PADA PUJO) Memangnya apa yang di-
katakan Mbah Rono, Dik?
50. Wakidi : Eh, tapi apa sih pilsup itu, Kang? (SAMBIL
MENGADUK-ADUK GELAS).
51. Harto : (CEPAT MENOLEH KE WAKIDI) Mbuh!
Tanya saja sama Mbah Google!
52. Pujo : Mbah Rono cuma bercerita pengalaman
anehnya sewaktu malam-malam ngeleb sa-
wah, Mas.
53. Harto : Aneh bagaimana, Dik Pujo?
60 Sarapan Terakhir
62. Wakidi : Iya, aneh, aneh sekali Mbah Pilsup itu,
Kang.
63. Harto : Iya, memang aneh sekali, jika benar apa
yang dilihat Mbah Rono itu benar, Dik.
64. Pujo : Kemudian Mbah Rono juga bilang kalau
keyakinan itu harus bisa dirasakan diri
sendiri, bukan orang lain, begitu....
65. Wakidi : (KEPADA PUJO) Lah, artinya apa itu, Kang?
66. Harto : Ah, itu agar Dik Pujo tidak serta merta per-
caya dengan omongan Mbah Rono. Alias
Dik Pujo harus membuktikan sendiri apa
yang dilihat Mbah Rono.
67. Pujo : Saya juga berpikiran seperti itu, Kang.
Untuk itu malam ini saya ingin membukti-
kan benar atau tidak omongan Mbah Rono.
68. Wakidi : Lah, caranya bagaimana, Kang?
69. Pujo : Malam ini saya mau membuktikan sendiri
omongan Mbah Rono dengan cara pergi ke
pematang sawah yang siap panen, berdiam
diri, dan mengamati segala hal yang terjadi
di sana. Kebetulan, kan, malam ini malam
Selasa Kliwon. Kata orang, ada sesuatu yang
berbeda dengan malam-malan tertentu,
termasuk malam Selasa Kliwon.
70. Harto : Woh, lah harus hati-hati loh, Dik.
71. Wakidi : Duh, kok serem to Kang. (MEMBENAR-
KAN IKATAN SARUNG) Rokok dulu,
Kang. (MENAWARKAN SEBUNGKUS
ROKOK KEPADA HARTO).
72. Pujo : Nah, tapi begini, Mas Harto, Wakidi, saya
membutuhkan bantuan kalian.
73. Harto : (SAMBIL MENYALAKAN ROKOK) Ban-
tuan bagaimana, Dik?
62 Sarapan Terakhir
82. Wakidi : Dasar orang tua! Dapat duit langsung ka-
bur! Cuh!
83. Pujo : Gimana, Di? Ayo berangkat....
84. Wakidi : Eh, beneran, to, Kang?
85. Pujo : Ya benerlah! Mau tak sampaikan ke orang
desa kalau Wakidi tidak berani nonton
tikus.
86. Wakidi : Heh? Yo. Yo, yo berangkat, Kang!
Babak 3
LAMPU PERLAHAN MENYALA. TENGAH MALAM. DI
PEMATANG SAWAH WAKIDI DAN PUJO DUDUK BERSILA
BERALASKAN TIKAR.
64 Sarapan Terakhir
103. Wakidi : Lah, cepet banget! (MENGHABISKAN
KOPI, LALU MENGELUARKAN ROKOK
DAN MENYULUTNYA) Wah, bosan juga
tidak ada hiburan. Jalan-jalan saja, siapa
tahu dapat pulung, hi...hi....
WAKIDI BERJALAN MENYUSURI PEMATANG SAWAH.
66 Sarapan Terakhir
TERIAKAN PETANI 3 DIIKUTI OLEH PETANI LAIN.
KEMUDIAN MEREKA MENGEPUNG PUJO. PUJO ME-
RONTA-RONTA LAMPU MEREDUP KEMUDIAN MATI.
-SELESAI-
Pelaku:
Marko, usia 26 tahun, provokator.
Suaeb, usia 25 tahun, pelit.
Muhammad, usia 17 tahun, labil.
Jamal, usia 27 tahun, reflektif.
68 Sarapan Terakhir
1. Suaeb : Kau masih lapar? Aku punya duit.
2. Marko : (MARKO BERHENTI TIBA-TIBA) Berapa
duitmu? Kenapa tidak ngomong dari tadi
kalau punya duit? Kau mau lihat seseorang
kembali mati?
3. Suaeb : (SEMBARI MENGAMBIL DUIT DI DOM-
PETNYA) Tak salah ingat Allah saat lapar.
4. Marko : Cukup Fahruddin mati dengan cara itu di
antara kita!
5. Suaeb : Kenapa? Kau marah padaku?
6. Marko : Kau telah membuat aku melakukan hal
tolol seperti kakak tua.
7. Suaeb : Berdzikir itu?
8. Marko : Iya.
9. Suaeb : Mengingat Allah itu?
10. Marko : Iya.
11. Suaeb : Kau akan mudah masuk neraka, Marko, bila
terus begitu.
12. Marko : Kau pernah baca Alquran? Ingat ayat ini:
dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkan-
lah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat...?
13. Suaeb : Iya.
14. Marko : Dan ayat ini: dan apabila nama Allah disebut,
hati mereka bergetar...?
15. Suaeb : Tak perlu ajari aku, Marko. Aku hafal.
16. Marko : Aku juga. Tapi, andai aku jadi kau, mesti-
nya kau tanya kenapa aku menanyakan itu
kepadamu. Mau kau kuceritakan satu hal?
17. Suaeb : Cukup, Marko. Cukup. Aku tak mau men-
dengar omong kosongmu. Mendengarmu
hanya melapangkan jalan ke neraka, Marko.
18. Marko : (TERTAWA) Ada burung kakak tua hafal
Alquran. Kau tak bisa memungkiri itu. Bah-
wa di satu sisi aku ternyata sama dengan
70 Sarapan Terakhir
lemah sepertimu. Lagipula Nabi Muhammad
itu hanyalah sosok khayalan kepalamu,
diciptakan sendiri oleh orang-orang lemah
agar mereka senang karena merasa punya
penolong. Dia tidak pernah ada.
30. Suaeb : Marko, awas!
31. Muhammad : Kamu juga diam, brengsek! Kalian sungguh
makhluk tak berdaya. Itu bagus sekali. Da-
tang ke bumi, mau menguasainya. Tapi ba-
gaimanapun, kalian tetap makhluk lemah.
Sekarang aku beri kalian dua pilihan. Kem-
bali ke luar angkasa secara baik-baik atau
pulang dengan caraku? Kalau kalian mau
tahu, aku bukan Nabi Muhammad meski
namaku Muhammad. Apa artinya? Aku
kasihan kepada siapa pun, apalagi kepada
monster luar angkasa buruk rupa seperti
kalian.
32. Marko : Bajingan juga kau, memanggilku makhluk
luar angkasa.
33. Muhammad : Diam!
34. Marko : Suaeb, panggil Jamal!
35. Suaeb : Jamal! Urus adikmu ini!
36. Muhammad : Diam!
37. Suaeb : Kau dengar aku, Jamal? Jamal! (JAMAL
MUNCUL).
38. Jamal : Muhammad! (TENANG SEKETIKA).
39. Marko : Kurang ajar orang tuamu tidak memberi
dia nama lain. (MARKO KELUAR).
40. Jamal : Duduklah, Muhammad. (MUHAMMAD
DUDUK DI KURSI DEKAT LEMARI. JA-
MAL MENDEKATINYA). Kakak tahu, kau
sedang memikirkan Fahruddin. Namun,
bukan begitu caranya. Itu tidak sopan dan
72 Sarapan Terakhir
55. Jamal : Sebab apa?
56. Suaeb : Aku tidak tahu. Yang jelas bukan karena
dia dekat dengan Fahruddin.
57. Jamal : Tetapi karena kematian Fahruddin, Suaeb.
58. Suaeb : Tapi bukan karena memikirkan Fahruddin.
59. Jamal : Maksudmu?
60. Suaeb : Karena dia kehilangan pekerjaannya di
toko ini dan ia tidak tahu harus kerja apa.
Atau karena dia takut ada yang tahu kalau
kitalah yang membakar toko, kemudian
melapor ke polisi, dan dia dipenjara ber-
sama kita. Atau karena dia khawatir masa
depannya tidak jelas. Intinya bukan karena
dia memikirkan Fahruddin.
61. Jamal : Yakin kau?
62. Suaeb : Lalu apa yang membuatmu ragu? Demi
Allah, Jamal. Muhammad sama sekali tidak
memikirkan Fahruddin.
63. Jamal : Masalahnya, aku memikirkan Fahruddin....
64. Suaeb : Sehingga kau anggap orang lain juga me-
mikirkan Fahruddin? (TERTAWA) Maklum
pikiranmu begitu. Kau tidak membaca
Alquran. Perhatikanlah isi kitab itu. Allah
sudah bilang, kalau Dia mau tentu cukup
diciptakan satu umat. Hei Jamal, apa arti
satu kecuali itu berarti sebenarnya cukup satu
manusia saja? Dan bayangkan apa yang
terjadi jika isi dunia ini hanya satu? (TER-
TAWA) Baiklah, mungkin kau tidak akan
berpikir sejauh itu. Heh, intinya aku tidak
suka karena kau menganggap semua orang
akan memikirkan Fahruddin. Semua yang
di sini. Kau pegawai baru, kau tahu apa
tentang Fahruddin!
74 Sarapan Terakhir
79. Muhammad : Aku tidak tahu, Bang. Habis makan, aku mau
beli rokok, tapi aku ngerasa dari belakang
ada yang terus menguntitku. Dan aku lari
ke sini. Aku takut itu makhluk luar angkasa.
Aku harus mengusir mereka dari bumi.
Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu
Akbar.
80. Jamal : Muhammad! (MUHAMMAD DIAM).
81. Suaeb : Sialan adikmu.
76 Sarapan Terakhir
(TIDAK ADA YANG MENJAWAB. AGAK LAMA KE-
HENINGAN MENCIPTA JEDA DI ANTARA MEREKA.
SAMAR-SAMAR TERIAKAN KEBAKARAN MENYUSUP KE
RUANGAN ITU. MUHAMMAD BERTERIAK KEBAKARAN
SAMBIL LARI KE KAMAR MANDI, KEMUDIAN MASUK
LAGI KE RUANGAN MENGGUYUR TEMBOK DENGAN AIR.
MUHAMMAD KEMBALI EMPAT KALI SAMPAI JAMAL
MEMBENTAK MUHAMMMAD YANG TERUS BERTERIAK
KEBAKARAN).
78 Sarapan Terakhir
126. Suaeb : Tapi membakar toko kau anggap juga bisa
mengubah nasib kita?
127. Marko : Persetan dengan kata nasib itu. Kutendang
mulutmu. Aku tidak senang kalau kau bi-
cara nasib. Kau kira ini nasib? Tunggu aku
mati, baru bilang beginilah nasib. Selama
aku masih hidup, sekali-kali jangan kau
bilang nasibku begini. Tidak ada nasib
dalam perkara ini, Suaeb. Baca lagi Alquran,
apa kau menemukan kata nasib di sana,
heh?
128. Jamal : Apa kalau bukan nasib? Fahruddin me-
ninggal. Kalau tidak menyalahkan nasib,
kita harus menyalahkan siapa?
129. Marko : Maksudmu aku yang salah dengan ke-
matian Fahruddin?
130. Jamal : Aku tidak bilang begitu. Kita tidak tahu
Fahruddin masih tidur di kamar saat kita
berlima membakar toko. Itu pun ide mem-
bakar toko usul Fahruddin. Sebagai se-
orang teman, kenapa kau menjanjikan se-
suatu yang tidak konkret justru ketika kon-
disi kita sedang melarat begini?
131. Marko : Lebih baik jadi gelandangan seperti ini dari
pada bekerja pada Pak Heri.
132. Suaeb : Meski kau harus berdzikir demi menahan
lapar?
133. Marko : Tutup mulutmu, Suaeb.
80 Sarapan Terakhir
152. Muhammad : Aku butuh dunia lain, Bang. Aku butuh
dunia lain, di mana saja asal jangan dunia
ini.
153. Marko : Aku tidak yakin adakah dunia lain yang
mungkin untuk orang-orang macam kita.
Tetapi.... (PONSEL BERDERING).
154. Jamal : Pak Heri.
155. Marko : Angkat dan keraskan.
156. Suara Telepon : Suaeb?
157. Jamal : Iya, saya, Pak.
158. Suara Telepon : Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku be-
lum bisa ke situ, kau urus dulu, biaya aku
tanggung.
159. Jamal : Saya baik-baik saja, Pak. Tapi Fahruddin
meninggal, terjebak di dalam toko.
160. Suara Telepon : Aku sudah tahu dua hari yang lalu.
161. Jamal : Iya, Pak.
162. Suara Telepon : Kalau kamu mau, urus toko itu sampai
seperti sediakala. Kalau tidak, kamu bisa
kupindahkan ke tokoku yang lain.
163. Jamal : Kawan-kawan yang lain, Pak?
164. Suara Telepon : Terserah mereka. Itu urusan mereka. Aku
menawarkan ini hanya padamu. Kalau
kamu mau, itu lebih baik dari pada kamu
nganggur.
165. Jamal : Bagaimana, ya, Pak.
166. Suara Telepon : Aku mengerti. Kalian sering bersama-sama,
bahkan sudah seperti saudara. Tetapi,
ingat, meski kalian sering tidur bareng atau
apa pun, kalian akan tetap mati sendiri-
sendiri. Maksudku, hidup kalian diurus
masing-masing. Untuk apa kamu mengurus
82 Sarapan Terakhir
(MUHAMMMAD TIDAK MEMPERHATIKAN MARKO.
DIA TERUS MELUBANGI ASBES. KEMUDIAN TERDENGAR
SUARA SIRINE MENDEKAT).
-SELESAI-
Pelaku:
Ratna, usia 40 tahun, pemilik usaha batik tulis.
Farasita, usia 17 tahun, anak Ratna.
Mbok Iyem, usia 45 tahun, pekerja Ratna.
Siti, usia 23 tahun, pekerja Ratna.
Nur, usia 16 tahun, pekerja Ratna.
ADEGAN I
RUANG PEMBUATAN BATIK TULIS. TIGA ORANG
PEKERJA SEDANG MEMBATIK. SEBUAH KOMPOR ME-
NYALA DENGAN WAJAN BERISI MALAM DI DEPAN MA-
SING-MASING PEKERJA. BEBERAPA KOMPOR MATI TER-
GELETAK DI SUDUT RUANGAN. KAIN-KAIN BATIK TER-
LIHAT DITUMPUK DI SISI RUANGAN. BEBERAPA ORNA-
MEN KHAS JAWA TERGANTUNG DI TEMBOK BERWARNA
KREM DAN SEDIKIT KOTOR. DI BAGIAN BELAKANG
TERDAPAT LEMARI TEMPAT PENYIMPANAN WAJAN,
MALAM, NAPTOL, DAN CANTING. SEBUAH FOTO
SEORANG LAKI-LAKI TERTATA DI MEJA.
1. Iyem : (BERSENANDUNG)
Bener luput ala becik lawan begja cilaka
Mapan saking badan priyangga
84 Sarapan Terakhir
Dudu saking wong liya
Pramila den ngati ati sakeh dirgama
Singgahana den eling.
1. Siti : Rasanya syahdu, ya, Mbok. Membatik di-
temani angin sore sepoi-sepoi begini.
2. Nur : (BERGURAU) Mbak Siti ini, kerja ya kerja.
Malah berpuisi. Sok puitis.
3. Siti : Ini namanya menikmati kerja. Kerja itu
jangan dibawa mumet. Seperti mikir negara
saja kamu ini, Nur.
4. Iyem : Sudah, kalian ini malah ribut. Ayo, teruskan
kerjanya. Semakin cepat kalian kerjakan,
semakin banyak pesanan yang selesai.
5. Nur, Siti : Iya, Mbok.
ADEGAN II
MUNCUL FARASITA, ANAK PEMILIK USAHA BATIK.
IA BERJALAN MELEWATI PARA PEKERJA SAMBIL FOKUS
PADA GADGET-NYA. TANPA SENGAJA IA MENYENGGOL
KOMPOR SITI.
86 Sarapan Terakhir
16. Nur : Iya ya, Mbak? Kok, bisa gitu, ya? Padahal
Ibu kalau sama batik eman banget. Mbak
Fara, kok, seperti itu.
17. Iyem : (SETENGAH BERBISIK) Huss! Jangan bi-
cara sembarangan, Nduk. Kalau Ibu dengar
bagaimana?
18. Nur : Ibu juga tahu, kok, kalau anaknya nggak
sopan seperti itu. Aku kasihan sama Ibu,
Mbok. Mbak Fara bandel banget. Apa-apa
harus dituruti saat itu juga. Nggak ada tapi-
tapian. Nggak ada besok-besokan. Sak deg
sak nyet!
19. Iyem : Nur! Kamu, kok, malah ndodro. Sudah, ja-
ngan bicara tentang Mbak Farasita lagi.
Nanti Ibu dengar, pekewuh sama Ibu. Se-
tidaknya jaga perasaan Ibu.
20. Nur : Kan, memang seperti itu adanya, Mbok.
21. Iyem : Nur! (MELIHAT KE ARAH NUR).
22. Siti : Sudahlah, Mbok. Nur itu sama saja, keras
kepala.
ADEGAN III
TIBA-TIBA BU RATNA DATANG MENGECEK PE-
KERJAAN PARA PEKERJA.
88 Sarapan Terakhir
40. Nur : Kula mawon, Bu.
41. Ratna : Ah, enggak. Fara saja. Biar sekali-sekali
Farasita bantu ibu, Nur.
90 Sarapan Terakhir
hum sakit, beliau memberi pesan terakhir
kepada Ibu.
60. Siti : Apa, Mbok, pesannya?
61. Iyem : Almarhum berpesan pada Ibu agar terus
mencintai batik. Bukan hal yang sulit bagi
Ibu karena sejak kecil memang sudah
sangat akrab dengan malam, kompor, dan
canting. Atas permintaan dari almarhum
itu, Ibu jadi semakin mencintai batik. Maka-
nya Ibu mau meneruskan usaha ini. Meng-
ingatkan pada almarhum, katanya.
62. Siti : Wah, aku kira cuma sekadar usaha. Ter-
nyata usaha ini sangat berarti, ya, buat Ibu.
Pantes Ibu bener-bener serius dan tekun
dalam mengelola usaha ini.
ADEGAN VI
FARASITA DATANG DENGAN EMOSI MEMUNCAK.
92 Sarapan Terakhir
79. Nur : (MENANGIS) Mbak....
80. Iyem : Sudah, jangan diambil hati, seperti ndak
tahu Mbak Farasita saja. Sudah, jangan
nangis. Nanti kalau Ibu tahu, masalahnya
lebih rumit lagi, Nduk.
81. Siti : Sudah ya, Nur. Mending sekarang kamu
istirahat. Mbak carikan obat luka bakar dulu,
takutnya kakimu melepuh. (PERGI KE
DALAM RUMAH).
82. Nur : (MENGAMBIL KAIN BATIK YANG RU-
SAK) Aku takut dimarah Ibu, Mbok. Batik-
ku rusak begini, harus diulang dari awal lagi,
padahal dua baris lagi selesai. Nanti bilang-
nya sama Ibu gimana, Mbok? Aku takut.
83. Iyem : (MENENANGKAN) Ndak apa-apa, Nduk.
Ibu pasti paham. Nanti dijelaskan pelan-
pelan ke Ibu.
84. Nur : Tapi ini, kan, tanggung jawabku, Mbok.
Mana kainnya kena malam hampir setengah
gitu. Aduuuhh gimana, Mbok? Aku takut,
pekewuh sama Ibu.
85. Siti : (MEMBAWA KOTAK P3K) Nih, diobatin
dulu kakimu. Kamu tadi disuruh Ibu beli
naptol, kan? Biar Mbak aja yang beli. Kamu
istirahat saja dulu.
86. Nur : Makasih, ya, Mbak. Maaf malah merepot-
kan Mbak Siti.
87. Siti : Iya. Sudah sana istirahat ke dalam.
93. Ratna : Siapa yang mau cerita ini? Siti? Siti cerita
ke ibu atau ibu mar….
94. Siti : Eh, jangan Bu. Jangan. Tadi itu....
95. Iyem : Hus! Siti!
96. Ratna : Mbok Yem... biar Siti cerita. Farasita, ya?
Kenapa lagi? Bikin ulah lagi? Itu anak di-
nasihatin, bukannya nurut malah ndodro.
97. Iyem : Tapi Mbak Farasita ampun didukani nggih,
Bu. Kasihan....
98. Ratna : (MENGHELA NAPAS) Iya, Mbok.
99. Siti : (TERBATA) Jadi, tadi Mbak Farasita datang
ke sini, tiba-tiba marah sama Nur.
100. Ratna : (HERAN) Marah kenapa?
101. Siti : (RAGU-RAGU) Dibilang Nur itu cari muka
sama Ibu.
94 Sarapan Terakhir
RATNA TERDIAM TERINGAT SAAT IA MENASIHATI
FARASITA.
96 Sarapan Terakhir
mengantar batik-batik itu! Ayah, Bu! Apa
Ibu tahu betapa sedihnya aku? Ibu nggak
tahu! Ibu cuma peduli sama batik-batik itu!
122. Ratna : Ibu ingat Fara. Ibu tahu kalau kamu sedih.
Ibu juga merasakannya. Ibu juga sedih Fara!
(MENANGIS) Tapi bukan berarti kamu bisa
seenaknya meremehkan para pekerja ibu.
123. Farasita : Ibu nggak tahu! Ibu nggak pernah tahu, se-
dikit pun! Batik-batik itulah yang menye-
babkan Ayah meninggal! (MENUNJUK KE
ARAH PEKERJA) Dan mereka bukan
siapa-siapa di hidupku, Bu!
124. Ratna : (MENAHAN EMOSI) Kamu kira kamu hi-
dup dengan siapa? Kamu tidak hidup sen-
diri Farasita! Kamu selalu meremehkan
orang lain. Kamu tidak pernah menghargai
para pekerja ibu. (MENANGIS) Mereka
yang setiap hari bekerja untuk ibu. Me-
reka…
125. Farasita : Bu! Aku tahu, Bu. Mereka yang bekerja ka-
rena memang itu tugas mereka!
126. Ratna : (KAGET) Fara! Mereka yang setiap hari me-
menuhi pesanan yang datang ke toko ibu.
Mereka yang rela tangannya panas terkena
malam, tangan mereka mati rasa karena ter-
lalu lama kena air saat mewarnai kain-kain
batik. Mereka juga rela tangan melepuh saat
melorod batik-batik ibu yang jumlahnya enggak
sedikit. (MENANGIS TERBAWA EMOSI)
Kamu pikir gaya hidup mewahmu itu hasil
pekerjaan siapa? Lalu kamu dengan santai-
nya meremehkan mereka hanya karena
status mereka adalah pekerja ibu? Ibu ke-
cewa denganmu.
98 Sarapan Terakhir
FARASITA BERLARI KELUAR. SEMUA YANG ADA DI
RUANG BATIK KAGET. MBOK IYEM MENENANGKAN
RATNA. RATNA TERLIHAT PALING KAGET DAN TER-
PUKUL. TANGISNYA SEMAKIN MENJADI.
-SELESAI-
Pelaku:
Kosim, usia 35 tahun, penggali kubur, suka sastra.
Sungkono, usia 40 tahun, penggali kubur, mata duitan.
Lajim, usia 34 tahun, penggali kubur, polos.
Ustaz, usia 48 tahun, ustaz, bijak.
Padol, usia 27 tahun, karang taruna, mata duitan.
Kemat, usia 28 tahun, buruh tani, tidak lulus SD.
Warga 1, usia 37 tahun, wiraswasta, temperamen.
Keluarga 1, usia 29 tahun, ibu rumah tangga, anak orang kaya.
Aceng, usia 32 tahun, pengusaha mi insta, kapitalis.
Pengawal, usia 40 tahun, pengawal bos, berdarah dingin.
Yakmal, usia 49 tahun, lurah, kapitalis desa.
-SELESAI-
Pelaku:
Nenek Dariyem, usia 78 tahun, tidak memiliki pekerjaan,
berpendirian teguh/kuat.
Marsono, usia 52 tahun, penjual tanaman hias.
Amir, usia 40 tahun, penjual koran.
Anak Bu Juminten, usia 30 tahun, sales kendaraan bermotor.
Bu Juminten, usia 50 tahun, ibu rumah tangga.
Penjual es, usia 30 tahun, penjual es di pinggir jalan.
Anak penjual es, usia 4tahun.
Pak Damar, usia 40 tahun, pimpinan unit pelaksana Satpol PP.
Pak Dimas, usia 40 tahun, pimpinan unit pelaksana Satpol PP.
Istri Pak Dimas, usia 35 tahun, guru/pengajar.
Komandan Satpol PP, usia 55 tahun.
Petugas panti jompo, usia 30 tahun, suster di panti jompo.
Petugas/petugas Satpol PP, usia 28 tahun sampai 35 tahun,
berprofesi sebagai anggota unit pelaksana Satpol PP.
Wartawan, usia 30 tahun, wartawan televisi.
BABAK I
Malam hari. Panggung gelap kecuali sudut di pojok kanan
panggung diterangi sebuah lampu sorot. Berdiri gubuk reyot
yang hampir roboh di bantaran sungai Kali Putih.
Adegan II
TERDENGAR SUARA PINTU GUBUK DIKETUK. SUARA
SEORANG LAKI-LAKI MEMANGGIL NENEK DARIYEM
BEBERAPA KALI. NENEK DARIYEM BANGKIT DARI
LANTAI, BERJALAN KE PINTU.
BABAK II
Trotoar dengan banyak lapak pedagang. Lapak paling ujung
milik Marsono, menjual tanaman hias, sebuah kursi panjang
diletakkan di depan lapak.
Adegan I
MARSONO MENATA BEBERAPA TANAMAN HIAS DI
DEPAN LAPAKNYA, SEORANG PEDAGANG KORAN MENG-
HAMPIRI.
Adegan II
SEORANG PETUGAS BERSERAGAM HIJAU BERJALAN
MENGHAMPIRI AMIR DAN MARSONO. PAKAIANNYA
RAPI LENGKAP DENGAN TOPI DAN TONGKAT, WAJAH-
NYA RAMAH. MARSONO BANGKIT DAN MENGELAP
TANGAN YANG KOTOR KE CELANANYA.
Adegan III
30. Amir : (MENDEKAP KORAN DAGANGAN)
Maaf, ya, Mas. Aku tidak bisa membantu.
31. Marsono : Tidak apa-apa, aku tahu kita sama-sama
orang kecil, tidak bisa melakukan apa-apa
jika sudah bersangkutan dengan peme-
BABAK III
Di ruang makan kediaman Pak Dimas. Meja bundar beserta
kursi dan lauk-pauk diletakkan di tengah panggung. Sebuah TV
diletakkan di depan meja makan.
Adegan I
Adegan II
PAK DIMAS DAN PAK DAMAR BERGABUNG DENGAN
PASUKAN MASING-MASING. MEMBERIKAN ARAHAN.
MENGATUR BARISAN. SETELAH SEMUA SIAP KELOMPOK
PASUKAN BERGERAK KE TUJUAN MASING-MASING.
BABAK V
Rumah-rumah penduduk di bantaran sungai Kali Putih di
pagi hari. Sebagian rumah sudah ada yang dirobohkan. Gubuk
Nenek Dariyem berada di paling ujung panggung.
47. Anak Bu Juminten : Maaf, Pak, saya tahu ini sudah perintah,
tapi mohon pengertiannya.
48. Petugas Satpol PP : Maaf, Pak, kami sudah memberikan su-
rat pemberitahuan bahwa hari ini akan
diadakan penggusuran.
49. Bu Juminten : (MENANGIS TERSEDU-SEDU).
50. Anak Bu Juminten : Kami paham, Pak, kami mohon penger-
tiannya, kami sedang mengadakan pe-
ngajian. (MENUNJUK RUANG TAMU
YANG PENUH DENGAN TAMU
UNDANGAN).
51. Bu Juminten : (HAMPIR PINGSAN KARENA SHOCK).
52. Anak Bu Juminten : (MENAHAN BU JUMINTEN AGAR
TIDAK JATUH).
53. Petugas Satpol PP : Dalam surat sudah diberitahukan, tang-
gal dan waktu penggusuran, lalu kenapa
Anda masih mengadakan kegiatan? Anda
bisa kami tahan karena menghalangi
proses penggusuran ini!
53. Anak Bu Juminten : Sekali lagi kami mohon maaf, Pak, bu-
kan maksud kami melawan atau yang
lainnya, tapi ini sudah direncanakan jauh
sebelum surat pemberitahuan penggu-
suran datang.
Adegan III
BEBERAPA PETUGAS SATPOL PP WANITA MENG-
HAMPIRI GUBUK NENEK DARIYEM. MEREKA MEMBUJUK
NENEK DARIYEM UNTUK KELUAR DARI GUBUKNYA.
61. Nenek Dariyem : Aku tidak mau pergi dari rumahku karena
sejak sebelum aku lahir rumah ini sudah
milik keluargaku. Pergi kalian! (MELEM-
PARKAN BARANG-BARANG YANG ADA
DI DALAM GUBUK).
BABAK VI
Di trotoar Jalan Hijau, jalan raya yang lebar dengan trotoar
di kanan kiri jalan, penuh dengan pedagang liar, tempat Marsono
berjualan tanaman hias. Terlihat Marsono dibantu beberapa
temannya membersihkan dagangan yang masih tersisa sebelum
petugas Satpol PP datang.
Adegan I
SEORANG WARTAWAN TELEVISI MEMULAI SIARAN
LANGSUNG SEMBARI MELANGKAH MENUJU KE LAPAK
MARSONO.
BABAK VII
Halaman panti jompo milik negara ketika sore hari. Beberapa
kursi diletakkan di tengah taman.
Adegan I
NENEK DARIYEM BERSAMA BEBERAPA ORANG
LAINNYA MASUK KE HALAMAN PANTI JOMPO. NENEK
DARIYEM DUDUK DI SEBUAH KURSI MENGHADAP JALAN.
PETUGAS PANTI MENGHAMPIRI NENEK DARIYEM.
-SELESAI-
Pelaku:
Jovi, usia 20 tahun, pelajar, anak pertama bangsawan.
Joni, usia 17 tahun, pelajar, anak bangsawan.
Ayah, usia 45, bangsawan.
Ibu, usia 39 tahun, bangsawan.
Tiffany, usia 17 tahun, anak bangsawan Belanda.
Kanu, usia 17 tahun, pelajar, bangsawan.
Tiara, usia 29 tahun, pejuang wanita, tunarungu.
Roni, usia 32 tahun, pejuang laki-laki, buta.
Bodyguard/Pengawal, usia 32, anak buah Jovi.
Pembantu, usia 40 tahun, pembantu rumah tangga Jovi.
Bu Guru, usia 34 tahun, pengajar di sekolah bangsawan.
-SELESAI-