Anda di halaman 1dari 152

MILIK NEGARA

TIDAK DIPERDAGANGKAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2016

Antologi Naskah Drama i


Sarapan Terakhir
Antologi Naskah Drama
Lomba Penulisan Naskah Drama
bagi Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta

Penyunting:
Herry Mardianto

Pracetak:
Nur Ramadhoni Setyaningsih
Sri Haryatmo
Warseno
Linda Chandra Ariyani
Endang Siswanti
Sumarjo
Pargiono

Penerbit:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667

Katalog dalam Terbitan (KDT)


Sarapan Terakhir; Antologi Naskah Drama Lomba Penulisan Naskah
Drama bagi Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta. Herry Mardianto
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016.
viii + 142 hlm., 14,5 x 21 cm
Cetakan Pertama, November 2016
ISBN: 978-602-6284-58-7

Hak cipta dilindungi undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku


ini dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis
dari penerbit.

Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

ii Sarapan Terakhir
PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sebagai instansi pemerintah yang bertugas melaksanakan


pembangunan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan,
baik Indonesia maupun daerah, pada tahun ini (2016) Balai
Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
kembali menyusun, menerbitkan, dan memublikasikan buku-buku
karya kebahasaan dan kesastraan. Buku-buku yang diterbitkan
dan dipublikasikan itu tidak hanya berupa karya ilmiah hasil
penelitian dan/atau pengembangan, tetapi juga karya hasil proses
kreatif sebagai realisasi program pembinaan dan/atau pemasya-
rakatan kebahasaan dan kesastraan kepada para pengguna bahasa
dan apresiator sastra. Hal ini dilakukan bukan semata untuk me-
wujudkan visi dan misi Balai Bahasa sebagai pusat kajian, doku-
mentasi, dan informasi yang unggul di bidang kebahasaan dan
kesastraan, melainkan juga—yang lebih penting lagi—untuk men-
dukung program besar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI yang pada tahapan RPJM 2015—2019 sedang menggalakkan
program literasi yang sebagian ketentuannya telah dituangkan
dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015.
Dukungan program literasi yang berupa penyediaan buku-
buku kebahasaan dan kesastraan itu penting artinya karena me-
lalui buku-buku semacam itu masyarakat (pembaca) diharapkan
mampu dan terlatih untuk membangun sikap, tindakan, dan pola
berpikir yang dinamis, kritis, dan kreatif. Hal ini dilandasi suatu

Antologi Naskah Drama iii


keyakinan bahwa sejak awal mula masalah bahasa dan sastra
bukan sekadar berkaitan dengan masalah komunikasi dan seni,
melainkan lebih jauh dari itu, yaitu berkaitan dengan masalah
mengapa dan bagaimana menyikapi hidup ini dengan cara dan
logika berpikir yang jernih. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
jika penerbitan dan pemasyarakatan buku-buku kebahasaan dan
kesastraan sebagai upaya pembangunan karakter yang humanis
mendapat dukungan dari semua pihak, tidak hanya oleh lem-
baga yang bertugas di bidang pendidikan dan kebudayaan, tetapi
juga yang lain.
Buku antologi berjudul Sarapan Terakhir ini adalah salah satu
dari sekian banyak buku yang dimaksudkan sebagai pendukung
program literasi. Buku ini berisi 9 naskah drama terpilih Lomba
Penulisan Naskah Drama 2016 yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta. Diharapkan buku ini ber-
manfaat bagi pembaca, khususnya para remaja sebagai generasi
penerus bangsa, agar senantiasa aktif dan kreatif dalam menjaga
dan menumbuhkan tradisi literasi.
Atas nama Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta kami
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
para penulis, penyunting, panitia, dan pihak-pihak lain yang
memberikan dukungan kerja sama sehingga buku ini dapat tersaji
ke hadapan pembaca. Kami yakin bahwa di balik kebermanfaat-
annya, buku ini masih ada kekurangannya. Oleh karena itu, buku
ini terbuka bagi siapa saja untuk memberikan kritik dan saran.

Yogyakarta, November 2016

Dr. Tirto Suwondo, M.Hum.

iv Sarapan Terakhir
KATA PENGANTAR PANITIA

Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai lembaga


pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan pembinaan
penggunaan bahasa dan sastra masyarakat, pada tahun 2016 kem-
bali menyelenggarakan kegiatan Lomba Penulsian Naskah Drama.
Kegiatan yang ditujukan bagi remaja Daerah Istimewa Yogya-
karta ini merupakan salah satu wujud kepedulian Balai Bahasa
Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap kompetensi menulis remaja.
Lomba Penulisan Naskah Drama dilaksanakan dalam dua
tahap penilaian. Tahap pertama ialah penilaian terhadap naskah
yang masuk untuk ditentukan nomine dan tahap kedua ialah
penilaian terhadap presentasi peserta (nomine). Tahap presentasi
dilakukan pada hari Selasa, 20 September 2016 di Balai Bahasa
Daerah Istimewa Yogyakarta. Penilaian terhadap naskah drama,
baik pada tahap pertama maupun kedua dilakukan oleh dewan
juri yang terdiri atas Drs. Agus Prasetiya, M.Sn., Ahmad
Zamzuri, S.Pd., dan Sri Harjanto Sahid.
Sebagai wujud kepedulian terhadap kompetensi menulis
remaja, Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan
apresiasi terhadap karya-karya pemenang Lomba Penulisan Nas-
kah Drama dengan menerbitkan hasil karya mereka dalam sebuah
buku antologi berjudul Sarapan Terakhir. Buku ini memuat 9 naskah
pemenang lomba penulisan naskah drama, yaitu (1) Sesaat Sebelum
Anak Kami Pergi (Sarapan Terakhir) (Andrian Eka Saputra), (2)
Kemah (Alya Aulia Defyo), (3) Niken (Joana Maria Zettira Da
Costa), (4) Tikus (Avesina Wisda Burhana), (5) Tidak Ada Jalan
Ke Luar Angkasa bagi Mereka (Habiburrachman), (6) Goresan Batik
(Aditya Timor Eldian), (7) Antitesis Pemahat Senja (Muhammad

Antologi Naskah Drama v


Muhrizul Gholy), (8) Kenapa? (Kinanti Febriandini Darintis), dan
(9) Antara Harga Diri dan Pendirian (Ramadhan Rahmad Prakarsa).
Tulisan-tulisan tersebut tidak hanya membicarakan hal-hal yang
berkenaan dengan dunia remaja, tetapi juga berbagai problem
sosial dan kemanusiaan yang ada di sekeliling mereka.
Dengan diterbitkannya buku antologi ini mudah-mudahan
upaya Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mening-
katkan keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia, khusus-
nya keterampilan menulis naskah drama bagi remaja, dapat mem-
perkukuh tradisi literasi para remaja. Di samping itu, semoga
antologi ini dapat memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Buku antologi ini tentu saja masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
untuk perbaikan di masa mendatang.

Yogyakarta, November 2016

Panitia

vi Sarapan Terakhir
DAFTAR ISI

Pengantar Kepala Balai Bahasa


Daerah Istimewa Yogyakarta ................................................... iii
Kata Pengantar Panitia ............................................................. v
Daftar isi ....................................................................................... vii

Sarapan Terakhir ........................................................................ 1


Andrian Eka Saputra

Kemah ........................................................................................... 20
Alya Aulia Defyo

Niken ............................................................................................ 39
Joana Zettira

Tikus ............................................................................................. 54
Avesina Wisda Burhana

Tidak Ada Jalan Keluar Angkasa bagi Mereka ................... 68


Habiburrachman

Goresan Batik .............................................................................. 84


Aditya Timor Eldian

Antitesis Pemahat Senja ........................................................... 100


Muhammad Muhrizul Gholy

Kenapa?......................................................................................... 117
Kinanti Febriandini Darintis

Antara Harga Diri dan Pendirian ........................................... 129


Ramadhan Rachmad P.

Antologi Naskah Drama vii


viii Sarapan Terakhir
Sarapan Terakhir
Andrian Eka Saputra
Universitas Negeri Yogyakarta
Andrizian78@gmail.com

Pelaku:
Abah, usia 70 tahun, bekas tentara.
Ibu, usia 60 tahun, ibu rumah tangga.
Hasan, usia 24 tahun, mahasiswa.
Yanti, usia 40 tahun, pembantu rumah tangga.

1
PAGI HARI. RUANGAN TENGAH SEBUAH RUMAH,
TERDAPAT DUA BUAH PINTU MASING-MASING MENUJU
KAMAR SANG ANAK DAN KAMAR ORANG TUA. DI BELA-
KANG, TAMPAK DINDING DENGAN BEBERAPA FOTO
DALAM PIGURA (FOTO KELUARGA, FOTO HITAM PUTIH
SEORANG PRIA BERSERAGAM LORENG), SERTA RAK
BERISI BUKU-BUKU AGAMA.
ABAH DUDUK BERSANDAR DI KURSI. TERHIDANG
BEBERAPA CAMILAN DAN SECANGKIR MINUMAN
HANGAT. IBU DUDUK DI KURSI RODA, DI PANGKUAN-
NYA BEBERAPA POTONG UBI REBUS MENUNGGU GILIR-
AN DIKUPAS. KEDUANYA BERUSIA LANJUT.
PINTU KAMAR HASAN DIBIARKAN TERBUKA. HASAN
MENGEPAK BAJU-BAJU DI DALAM KAMAR. AKTIVITAS-
NYA SESEKALI TERLIHAT DARI PINTU.

Antologi Naskah Drama 1


1. Abah : Diperiksa lagi, jangan sampai ada yang ter-
tinggal.
2. Hasan : Sudah, Bah.
3. Abah : Jangan sampai seperti kakakmu dulu.
4. Hasan : (TERTAWA) Insyaallah tidak.
5. Abah : Kakakmu juga memberikan jawaban seru-
pa. Merepotkan sekali kakakmu waktu itu.
Pagi buta aku harus buru-buru ke kantor
pos, mengirimkan barang-barang yang ter-
tinggal.
6. Hasan : (KELUAR KAMAR MENUJU RAK BUKU)
Abah tenang saja. Hasan sudah membuat
semacam check-list barang apa saja yang akan
Hasan bawa. Tak banyak, hanya beberapa
baju, perlengkapan salat, juga (MENGAMBIL
BEBERAPA JUDUL BUKU AGAMA DARI
RAK) beberapa buku.
7. Abah : Quran jangan lupa!
8. Hasan : Mana mungkin Hasan meninggalkan pe-
doman Ilahi itu. Di perjalanan nanti, tentu
Hasan akan membacanya.
9. Abah : Alhamdulillah kalau kau tak melupakan-
nya. (BERBINCANG KEPADA ISTRINYA)
Nah!

IBU TAK MENANGGAPI.

10. Abah : Ah, ibumu terlalu asyik dengan ubi-ubi itu.


Usia telah merenggut pendengarannya. San,
aku bersyukur padamu. Tuhan telah meng-
anugerahkan anak-anak yang insyaallah ti-
dak lalai terhadap agama.
11. Hasan : Sudah kewajiban kami, Bah. (MASUK
KAMAR).
12. Abah : Alhamdulillah. (JEDA) San, apa kau melihat
Yanti?

2 Sarapan Terakhir
13. Hasan : Tadi kulihat Simbok berangkat ke pasar.
Entah sudah pulang atau belum Hasan tak
tahu. Ada apa, Bah?
14. Abah : Mau minta tolong supaya dia menjerang
air untuk mandi ibumu.
15. Hasan : Biar Hasan saja, Bah.
16. Abah : Kau tak terburu?
17. Hasan : Keretaku masih beberapa jam lagi, masih
cukup banyak waktu untuk berbagi ke-
bahagiaan di rumah ini, Bah.
18. Abah : Cukup, cukup, cukup. Cukup semalam saja
abah menangis, tak mau lagi pagi ini aku
menangis karena ocehanmu. Sana, jerang-
lah sepanci besar untuk ibumu dan aku.
19. Hasan : Baik, Bah.

HASAN KE DAPUR. ABAH BERSANDAR MENATAP


LANGIT-LANGIT. IBU TAK SENGAJA MENJATUHKAN UBI
REBUS.

20. Ibu : Eh! Jatuh.


21. Abah : (MENGHAMPIRI IBU) Bahkan jemarimu
turut bersedih atas rencana Hasan, ya?
22. Ibu : Apa?
23. Abah : Hasan jadi pergi.
24. Ibu : Hasan … pergi?
25. Abah : Kau harus merestuinya.
26. Ibu : Kita sendiri lagi.
27. Abah : Empat tahun terakhir ini juga seperti ini,
bukan? (MENGHELA NAPAS) Masih ada
Yanti.
28. Ibu : Yanti?
29. Abah : Ia akan merawatmu, memandikanmu, meng-
ganti bajumu, memasak untuk kita, menya-
pu lantai.

Antologi Naskah Drama 3


30. Ibu : Bukan anakku.
31. Abah : Memang. Ia bekerja untuk kita. Makanlah,
ubi akan memulihkanmu.

ABAH MENUJU KURSI.

32. Abah : Sepuluh tahun lalu, Subhan berpamitan.


Kini giliran Hasan. Ah, semua seperti bu-
rung saja; meninggalkan sarang, lalu ter-
bang mengarungi angkasa dan mencari
cara untuk membuat sarang lagi.
33. Hasan : (MASUK) Atau kembali ke sarang yang
lama.
34. Abah : Sementara sang induk, kita tak pernah tahu
nasibnya setelah sarang mereka diting-
galkan. San, ketahuilah, telah kusiapkan
modal untukmu membuka kios sembako
di pasar. Kiosnya sudah kubeli, tinggal kau
kelola saja, dan insyaallah itu cukup untuk
menghidupimu. Atau kalau kau ingin kerja
kantoran, kau bisa masuk ke perusahaan
temanku dan kau tak perlu sampai jauh-
jauh ke Jakarta. Kalau kau mau, kau tak
perlu pergi.
35. Hasan : Abah, sudahlah. Selagi Hasan masih muda,
Hasan ingin menapaki dunia. Lagi pula
Bang Subhan akan pulang, bukan?
36. Abah : Kalau saja kita semua bisa berkumpul di
rumah ini, tanpa perlu kau pergi setelah
kepulangan Subhan, barangkali aku dan
ibumu bisa menanti ajal dengan tenang.
37. Hasan : Abah, Hasan benar-benar minta maaf. Tapi,
Hasan tak bisa berlari lagi, kini telah tiba
saat bagi Hasan untuk…terbang.

4 Sarapan Terakhir
38. Abah : Ya, ya, ya, aku bisa mengerti itu, San. Hanya
saja Abah masih belum mengerti kenapa
kau ngotot sekali. Ada apa sebenarnya?
39. Hasan : Abah tak perlu mengkhawatirkan Hasan.
Hasan akan baik-baik saja. Bukankah bulan
depan Bang Subhan dan keluarga kecilnya
akan mulai menetap di rumah ini?
40. Abah : Tak lengkap bila tanpa kau, Hasan. Empat
tahun lalu kau meninggalkan rumah ini
untuk kuliah di kota. Untung saja ada Yanti,
ia cukup menemani hari-hari sepi kami.
41. Hasan : Bang Subhan akan pulang, Bah. Dan ia tak
akan pergi lagi.
42. Abah : Berjanjilah, kau akan kembali.
43. Hasan : (MEMELUK ABAH) Tak perlu aku berjanji,
Bah. Hasan yakin kita akan berkumpul
kembali.
44. Abah : Raihlah apa yang kau citakan. (MELEPAS
PELUKAN) Apa semua telah kau masuk-
kan ke dalam tas?
45. Hasan : Insyaallah sudah, Bah.

DARI ARAH PINTU, MASUK YANTI.

46. Yanti : Assalamualaikum. Maaf, Pak, tadi antre


beli daging.
47. Abah : Apa pesananku ada?
48. Yanti : Madu pesanan Bapak, ada. Namun, param
urutnya hanya tinggal merek Mawar.
49. Abah : Ah, bukan persoalan, sama hangatnya. Eh,
hari ini kau mau masak apa, Yan?
50. Yanti : Tadi saya membeli daging ayam, Pak.
51. Abah : Masak opor saja! Seperti ketika lebaran!
52. Hasan : Bukankah Abah tidak boleh memakan ma-
kanan bersantan?

Antologi Naskah Drama 5


53. Yanti : Rencana mau saya masak sup saja, Pak.
Atau Bapak ada pikiran lain tentang menu
sarapan?
54. Abah : Sesekali tak apalah opor. Lagi pula ini hari
istimewa, bukan? Perlu masakan istimewa
untuk mengantar keberangkatanmu, San.
55. Hasan : Aduh, Bah. Tidakkah itu berlebihan?
56. Abah : Sekadar ungkapan syukur atas keberang-
katanmu, San. Ungkapan syukur atas pe-
kerjaan baru yang kini ada di depanmu,
atas tanggung jawab baru yang harus kau
pikul. Nah, sekarang lanjutkan mengepak,
Abah akan mandi dulu. O iya, perhatikan
juga ibumu. Barangkali ubinya jatuh lagi.

HASAN MEMANDANG ABAH DAN IBUNYA, SEOLAH


ADA SESUATU YANG TENGAH IA RASAKAN.

2
RUANGAN TENGAH. ABAH, HASAN, DAN IBU DU-
DUK SEMEJA, MENANTI MENU SARAPAN. YANTI BOLAK-
BALIK MEMBAWA MASAKAN DARI DAPUR KE MEJA.

57. Abah : Kerupuknya, Yan. Apa semuanya sudah


kau persiapkan, San?
58. Hasan : Sudah, Bah.
59. Abah : Hanya seransel itu?
60. Hasan : Tak perlu banyak-banyak, Bah.
61. Abah : Kau yakin? Dari pada kau harus membelinya
di sana, lebih baik kau tabung saja peng-
hasilanmu. Kudengar di Jakarta harga-harga
tak bersahabat seperti di kota ini, lo.
62. Hasan : Begitulah rezeki, Bah.
63. Abah : Ah, tahu apa kamu tentang rezeki?

6 Sarapan Terakhir
64. Hasan : Bukankah hidup, mati, jodoh, dan rezeki,
semuanya sudah ada yang mengatur, Bah?
65. Abah : Lalu?
66. Hasan : Begitu pula rezeki di daerah ini, Tuhan telah
mengatur rezeki untuk kota ini sedemikian
rupa, berbeda dengan rezeki di Jakarta.
Boleh jadi harga kebutuhan di kota ini
bersahabat dengan dompet kita, namun
penghasilan yang didapat di kota ini pun
juga menyesuaikan standar harga kebutuh-
an yang berlaku di kota ini. Begitu pun
yang berlaku di Jakarta, harga kebutuhan
yang mahal, sejalan dengan penghasilan
yang didapat.
67. Abah : Ah, apa benar seperti itu? Kudengar di sana
kehidupannya sangat keras.
68. Hasan : Yang kudengar dari kawan-kawan peran-
tau seperti itu, Bah. Masalah keras atau
tidak, itu bergantung pada bagaimana kita
menjalaninya. Kalau kita bersyukur, semua
akan ada jalannya. Kalau kita bersyukur….
69. Abah : Kita akan bahagia. Kau mengingat benar
petuah itu, San. Ayo sambil sarapan, San.
70. Abah : (KEPADA IBU) Kau mau lauk apa?
71. Ibu : Hah?
72. Abah : Lauk?
73. Ibuh : Ayam.
74. Hasan : Biar Hasan yang mengambilkannya untuk
Ibu.
75. Abah : Yan, ayo sekalian makan bersama.
76. Yanti : Saya masih ada cucian di belakang, Pak.
77. Abah : Alah, ayolah. Mumpung masih hangat, se-
tidaknya cicipilah masakanmu sendiri.
78. Yanti : Baik, Pak. Nanti saya akan makan, namun

Antologi Naskah Drama 7


sekarang masih ada pekerjaan yang harus
saya selesaikan.
79. Abah : Baiklah, aku tak memaksamu. Eh, San, ngo-
mong-ngomong bagaimana tempat kerjamu
nanti?
80. Hasan : Entahlah, Bah. Hasan sendiri belum me-
miliki gambaran.
81. Abah : Lo, bagaimana bisa? Bukankah kau sendiri
yang mendaftar kerja.
82. Hasan : Ah itu, saya mendaftarnya di kampus kok,
Bah. Dan kemarin dapat info agar besok
Hasan datang ke kantor. Dan alamatnya
jelas kok.
83. Abah : Jaga diri baik-baik di sana. Kubaca di koran
dan sering kusaksikan di televisi, beberapa
kota di negara ini baru tidak aman. Pen-
curian, penjambretan, bahkan kini ada ledak-
an bom di mana-mana. Dan Jakarta, bukan-
lah suatu pengecualian.
84. Hasan : (MENGHELA NAPAS) Iya, Bah.
85. Abah : Apa itu, mengatasnamakan agama sebagai
alasan untuk perilaku terkutuk.
86. Hasan : Maksud, Abah?
87. Abah : Kau lihat, para pelaku peledakan itu meng-
atasnamakan agama untuk mengafirkan
orang lain. Yang sejalan, aman; yang tidak,
binasa!
88. Hasan : Bukankah sejalan atau tidak, itu tergantung
dari mana semua dilihat kan, Bah?
89. Abah : Iya, Abah tahu. Hanya saja, Abah menya-
yangkan kenapa agama menjadi landasan
untuk perbuatan kekerasan.
90. Hasan : Pada zaman Rasul dulu, ada peperangan
juga kan, Bah?

8 Sarapan Terakhir
91. Abah : Ada. Dan itu melawan kezaliman, kejahat-
an, juga kekafiran....
92. Hasan : Melawan hal-hal buruk untuk menegakkan
agama Allah.
93. Abah : Nah, itu. Pikiranmu kini sungguh maju, San.
Benar-benar ilmu yang kau dapat selama
kuliah, telah membuat Abah terkagum. Abah
masih ingat, kau dulu waktu SMA masih
suka balapan liar, pulang larut malam, urak-
an, jarang beribadah, namun kini kau lain.
Kau mengerti bagaimana cara untuk hidup.
Eh, kepada siapa kau belajar semua itu?
94. Hasan : Eh, hanya sekadar obrolan bersama kawan-
kawan saja kok, Bah. Dan membaca bebe-
rapa buku.
95. Abah : Amalkan semua yang kau pelajari itu.
Sebarkan kebaikan itu kepada siapa saja.
96. Hasan : Insyaallah, Bah.
97. Abah : Abah dan ibumu hanya bisa memberimu
doa.
98. Hasan : Itu lebih dari cukup, Bah. Cinta kasih Abah
selama ini telah mengantar Hasan siap ter-
bang meninggalkan sarang, sebagaimana
yang Abah katakan tadi.
99. Ibu : San, kau jadi pergi?
100. Hasan : Insyaallah, Bu.
101. Abah : Kalian hanya menambah rasa sendu saja.
Aku jadi ingat masa mudaku dulu. Aku
berpamitan, bersujud di kaki nenekmu.
Barangkali seperti inilah perasaan kakekmu
saat itu.
102. Hasan : Abah, Ibu, jangan bersedih. Hasan berjanji,
kita akan bertemu lagi.

Antologi Naskah Drama 9


103. Abah : Jika itu yang digariskan Tuhan. Di mana
pun kau nanti bekerja atau tinggal, jangan
berhenti menjadi orang baik. Junjunglah
tinggi kejujuran, itu akan menyelamatkan-
mu di dunia ini.
104. Hasan : (TERTUNDUK).
105. Abah : Jam berapa nanti keretamu?
106. Hasan : Sebelas siang, Bah.
107. Abah : Tiga jam lagi. Tiketnya sudah kau siapkan?
108. Hasan : Sudah, Bah. Tinggal berangkat saja.
109. Abah : Jaga dirimu baik-baik di sana. Ikutilah arus
hidup, jangan menentang kebaikannya dan
jangan terhanyut pada kebusukannya.
110. Hasan : Abah.
111. Abah : Iya, aku mengerti. Kau bisa menempatkan
dirimu baik-baik di sana. Aku hanya tak
ingin kau seperti anak-anak muda lain di
luar sana. Pelan-pelan mereka terjerumus
ke dalam paham-paham sesat. Dan lagi-
lagi, atas nama agama.
112. Hasan : Sesat dan tidaknya itu tergantung dari po-
sisi mana paham itu dilihat, Bah. Bagi para
penganut paham itu, semua akan dilihatnya
sebagai kebusukan jika tak sejalan dengan
paham yang dianutnya. Paham yang di-
anutnyalah yang ia percayai sebagai kebaik-
an. Bah, maafkan Hasan, bukan maksud
Hasan menggurui, namun kebaikan dan ke-
busukan, tak ubahnya pedang bermata gan-
da, semuanya dapat menebas kenyataan.
113. Abah : Tapi jika semua itu tak sejalan dengan hal-
hal wajar yang telah berlaku di masyarakat?
San, kau pernah belajar sejarah, bukan? Kau
tahu yang terjadi pada tahun 1965? Ke-

10 Sarapan Terakhir
anehan. Keasingan. Hal-hal yang di luar
keumuman tak mendapat tempat dalam
masyarakat kita. Itu dipandang buruk.
114. Hasan : Bisa juga sebaliknya, Abah. Bisa jadi hal-
hal yang wajar di masyarakatlah yang se-
benarnya busuk, bukan pahamnya. Dan
masyarakat itu sebenarnya perlu dicerah-
kan. Dan untuk tahun 1965-an, kupikir
masyarakat terlalu….
115. Abah : Astaghfirullah. San!
116. Hasan : Maaf, Abah. Hasan hanya ingin mengutara-
kan apa yang ada di pikiran Hasan.
117. Abah : Yanti! Yanti!
118. Yanti : (MASUK) Iya, Pak? Ada apa?
119. Abah : Tolong ibu kau ajak jalan-jalan sebentar.
120. Yanti : Bukankah sebentar lagi Mas Hasan akan
berangkat?
121. Abah : Tolong sebentar saja. Aku tak ingin ia ada
di sini, dalam perbincangan kami.
122. Yanti : Baik, Pak. (MENDORONG KURSI RODA)
Mari, Bu.
123. Abah : (BERDIRI) San, tadinya aku sudah cukup
ikhlas, rela melepas keberangkatanmu.
Namun, terkait pandanganmu yang terakhir
tadi, abah minta maaf jika harus menahan
keberangkatanmu barang beberapa menit
lagi. Abah tak suka dengan pandanganmu
tadi. Kau anggap setiap paham memiliki
kebaikannya masing-masing, Abah setuju.
Dalam Quran yang selalu kita baca, juga
menyampaikan hal itu. “Untukmu agama-
mu, untukku agamaku”, toleransi sudah
disampaikan secara gamblang di sana. Aku
hanya tak setuju saja dengan caramu ber-
bicara tentang tahun-tahun kelabu 1965.
Antologi Naskah Drama 11
124. Hasan : Maaf, Bah. Hasan hanya menyampaikan
pemikiran atas peristiwa waktu itu.
125. Abah : Kau tak tahu apa-apa! Kau bahkan belum
dilahirkan saat hal itu terjadi!
126. Hasan : Hasan tahu, Bah.
127. Abah : Tahu apa kamu? Apa pun yang kamu tahu,
itu tak cukup menjelaskan apa yang se-
benarnya terjadi waktu itu. Dari mana pula
kau mengetahui itu? Buku-buku? Diskusi?
Kebenaran yang kau baca hanya didasarkan
pada siapa yang menulis bukunya dan siapa
yang memimpin diskusimu. Siapa?
128. Hasan : Tak perlu Abah mengetahui itu, sudah men-
jadi rahasia umum atas semua hal itu. Dan
sudah menjadi rahasia umum pula bahwa
Abah ….
129. Abah : Cukup!
130. Hasan : Maaf, Bah. Bukan maksud Hasan menguak
masa lalu Abah.
131. Abah : Cukup, cukup… Abah hanya ingin men-
jalani masa tua Abah dalam kedamaian.
Abah tak ingin mengingat lagi luka-luka itu.
Mengingat teman-teman Abah yang juga
menjadi korban!

KEDUANYA SAMA-SAMA DIAM SELAMA BEBERAPA


SAAT.

132. Hasan : Setengah jam lagi Hasan harus berangkat,


Bah. Sebelum ketinggalan kereta.
133. Abah : Kau masih akan melanjutkan niatmu?
134. Hasan : Tak kendur sedikit pun. Bah, semua masa
lalu itu kini telah terkubur, dibiarkan tanpa
penyelesaian. Maka tak heran, Bah, jika kini
di berbagai daerah timbul pergolakan, pe-

12 Sarapan Terakhir
ledakan, juga huru-hara lainnya, dan ku-
duga semua itu muncul karena ketidak-
puasan mereka atas kenyataan saat ini. Ke-
wajaran yang sesat adalah tempat di mana
agama harus ditegakkan dan menjadi pelita
atas kegelapan.
135. Abah : San, jangan katakan kalau kau kini bagian
dari mereka.
136. Hasan : Mereka siapa, Bah?
137. Abah : Mereka yang berpihak pada apa yang telah
dan akan mengacaukan negeri ini.
138. Hasan : Hasan tak pernah berpikir demikian, Bah.
Hasan berpihak pada kebenaran.
139. Abah : Kebenaran siapa?
140. Hasan : Tentu saja kebenaran Ilahi. Dan juga semua
ini kulakukan demi Abah, dan keluarga ini.
141. Abah : Apa yang kau bicarakan?
142. Hasan : Abah, ketahuilah bahwa Hasan tak pernah
sampai hati untuk mengatakan hal ini kepada
Abah. Namun, kepergian Hasan hari ini
adalah cara untuk membukakan pintu surga
bagi keluarga ini, menebus kesalahan Abah
di masa lalu.
143. Abah : Kesalahan apa? Semasa hidup Abah merasa
tak pernah melakukan keburukan. Semua
perintah-Nya kulakukan, semua larangan-
Nya kutinggalkan.
144. Hasan : Sewaktu belum mengetahuinya, aku selalu
membanggakan Abah. Mantan tentara yang
dikenal gagah berani, menjaga kedaulatan
negara. Bahkan foto itu, Bah, foto yang se-
lalu Hasan banggakan setiap kali teman-
teman Hasan bertamu ke rumah ini. Seakan
tak ada yang lebih membahagiakan lagi

Antologi Naskah Drama 13


dibandingkan dengan melihat muka ka-
gum teman-temanku. Hingga pelan-pelan
meracuni impian kami untuk menjadi
seperti Abah. Namun, begitu mengetahui
kenyataan, semua itu terasa kosong. Begitu
mengetahui keterlibatan Abah dalam peris-
tiwa itu, kekaguman yang dulu kurasakan
berangsur menjadi sebuah hal yang semu.
Abah ternyata tak seperti impian masa kecil
kami. Hasan tetaplah menaruh hormat ke-
pada Abah sebagai kepala keluarga, namun
di sisi lain, masa lalu Abah telah membebani
hati Hasan. Maka, kali ini izinkan Hasan
menebus masa lalu Abah.
145. Abah : Apa kau tak melihat dengan siapa kau ber-
bicara?
146. Hasan : Hasan berkata dalam kesadaran penuh,
Bah. Ini adalah wujud cinta Hasan terhadap
Abah, terhadap keluarga ini untuk melaku-
kan hal yang, bahkan tak bisa dilakukan
oleh Bang Subhan.
147. Abah : Lalu kalau kau menganggap masa lalu Abah
sebagai sebuah kesalahan, sebuah aib, apa
yang akan kau lakukan untuk menebusnya?
Tindakan Abah di masa lalu, semata untuk
menegakkan kebaikan! Para pengacau itu
telah membunuh pimpinan Abah, menyik-
sanya dengan kejam, dan tak memberi am-
punan sama sekali. Mereka hendak mene-
barkan kemurkaan di negeri ini, mengaki-
batkan perang saudara, dan akhirnya demi
kedaulatan negeri ini, demi ketentraman
rakyat, Abah memilih terlibat pada apa
yang kini kau sebut jihad! Itulah jalan jihad

14 Sarapan Terakhir
Abah, di masa lalu Abah ikut memerangi
kemurkaan! Memerangi kebusukan! Jadi,
mana yang kau sebut kesalahan pada masa
lalu Abah? Dan apa yang akan kau lakukan
untuk menebusnya?
148. Hasan : Dengan mengorbankan diri di jalan Tuhan.
149. Abah : Abah tak paham arah pembicaraanmu.

HASAN BERDIRI.

150. Hasan : Sebagaimana Ismail dan Ibrahim; Hasan


sebagai Ismail, dan Abah sebagai Ibrahim.
Begitulah sederhananya, demi kesempur-
naan Abah sebagai hamba Tuhan. Hasan
menyadari, pembantaian yang pernah Abah
lakukan di masa lalu akan selalu menjadi
bayangan gelap yang bernaung di rumah
ini. Maka, ketika tawaran itu datang kepa-
da Hasan, sebaik mungkin Hasan menyam-
butnya, dan menjadikan itu jawaban atas
kegundahan Hasan selama ini. Hasan telah
siap!
151. Abah : Siap apa?
152. Hasan : Hasan akan menebus masa lalu Abah de-
ngan menjadi bunga api.
153. Abah : Bunga api? (BERPIKIR) Astaghfirullah… kau
berniat bunuh diri?
154. Hasan : Iya, menjadi bunga api yang menjilati orang-
orang kafir.
155. Abah : Astaghfirullah al-adzim, setan mana yang
meracuni pikiranmu! Sadarlah, San!
156. Hasan : Sudahlah, Bah. Relakan kepergian Hasan.
157. Abah : Jadi, semua ini telah kau rencanakan?
158. Hasan : Ya, Bah. Aku minta maaf jika ini menjadi
kabar buruk yang harus Abah ketahui. Na-

Antologi Naskah Drama 15


mun, Hasan tak melihat adanya keburukan
dalam rencana ini.
159. Abah : Ya, Tuhan, apa kesalahanku hingga memi-
liki anak dengan pikiran seperti ini? Hasan,
urungkan niatmu!
160. Hasan : Maaf, Bah. Hasan harus melakukannya ka-
rena hanya itulah satu-satunya cara meng-
halalkan rumah ini, semenjak pembantaian
yang Abah lakukan.
161. Abah : Jadi kau pikir selama ini Abah menghidupi
rumah ini bukan dalam keadaan halal?
162. Hasan : Hasan hanya melihat darah di rumah ini,
Bah. Darah orang-orang tak berdosa yang
dibantai Abah dan kawan-kawan Abah.
163. Abah : Mereka berdosa!
164. Hasan : Dosa dan tidak berdosa bukan hak manusia
yang menentukan.
165. Abah : Begitu pula kafir atau tidak kafir, bukan
hak manusia yang menentukan!
166. Hasan : Tapi bukti menunjukkan bahwa kekafiran
mereka itu nyata!
167. Abah : (MENGHELA NAPAS) Astaghfirullah....
astaghfirullah...
168. Hasan : Maafkan Hasan, Bah. Ini jalan yang Hasan
percayai dan akan Hasan tempuh. Hasan
telah memikirkannya berulangkali. Mung-
kin ini adalah pertemuan terakhir kita di
dunia ini, Bah. Besok, ketika aku telah men-
jadi bunga api, dan ketika Abah mendengar
berita itu di televisi, berbahagialah, Bah.
Itu artinya aku telah mengetuk pintu surga
untuk keluarga kita. Dosa Abah di masa
lalu akan diampuni, dan di surga nanti, kita
telah dijanjikan bidadari yang dengan kasih

16 Sarapan Terakhir
sayang akan melayani. Kita akan bertemu
lagi, Bah.
169. Abah : Maka bunuhlah abahmu ini jika kau me-
mang berniat begitu! Bukankah menurut-
mu, aku juga orang-orang yang layak bina-
sa, bukan? Ayo! Anak durhaka! (MELEM-
PAR BEBERAPA BARANG KE ATAS MEJA
KE ARAH HASAN).
170. Hasan : Abah tetaplah ayahku. Dan wujud baktiku
kepada Abah adalah menyelamatkan Abah
dengan cara yang kupercayai. Maafkan aku,
Bah. (BERLARI PERGI).
171. Abah : Hasan!

ABAH MENCOBA BANGKIT, NAMUN JUSTRU TER-


SUNGKUR DARI KURSI YANG IA DUDUKI.

3
ABAH DAN IBU TENGAH MENONTON TELEVISI, ME-
LIHAT LIPUTAN PERISTIWA PENGEBOMAN DI JAKARTA.

172. Ibu : Asap.... Kebakaran lagi, ya? (SAMBIL ME-


NGUPAS UBI REBUS) Oh, sepertinya bu-
kan.
173. Abah : (DIAM).
174. Ibu : Apakah Hasan baik-baik saja di sana?
175. Abah : (DIAM).
176. Ibu : Kau ini kenapa? Diam saja dari tadi.
177. Abah : Anakmu….
178. Ibu : Hasan, baik-baik sajakah?
179. Abah : Aku tak tahu.
180. Ibu : Semoga saja dia jauh dari ledakan itu.
181. Abah : Andai saja dia ada di rumah ini, kita akan
menua secara utuh, sebagaimana saat dulu

Antologi Naskah Drama 17


membesarkan mereka. (MULAI ME-
NANGIS).
182. Ibu : Eh, malah menangis.
183. Abah : (BERBICARA SENDIRI) Hahaha... anakku
telah berada di surga. Kelak ia akan me-
nyambut kita di depan pintu, dan keluarga
ini akan berkumpul lagi secara utuh.
184. Ibu : Kau ini kenapa?
185. Abah : (TAWANYA PERLAHAN TERASA SE-
DIH) Surga… apa yang Hasan ketahui ten-
tang surga?
186. Ibu : Kenapa kau teriak-teriak tentang surga?
187. Abah : Setiap hari kita selalu berdoa agar kelak ke-
luarga kita akan dipertemukan lagi di surga.
Aku selalu yakin, menanamkan kebaikan
setiap hari, memastikan anak-anak kita ber-
bakti dan tetap pada jalan Ilahi. Namun seka-
rang, aku tak yakin doa-doa itu akan di-
kabulkan.
188. Ibu : Kau teriak-teriak seperti orang gila saja.
189. Abah : Karena aku tak begitu yakin, surga yang kita
lihat akan sama dengan yang dilihatnya.
190. Ibu : Siapa?
191. Abah : Hasan. Ia terlalu pintar untuk membuat sur-
ganya sendiri.
192. Ibu : Tentu saja sama.
193. Abah : Entahlah.

KEDUANYA DIAM. HANYA TERDENGAR SUARA PEM-


BAWA ACARA DI TELEVISI MENYIARKAN BERITA LEDAK-
AN BOM DI IBU KOTA.

194. Ibu : Ah, jatuh. (KEPADA ABAH) Tolong ambil-


kan ubiku.

18 Sarapan Terakhir
195. Abah : (DIAM, MULAI MENANGIS).
196. Ibu : Hei …!

ABAH TETAP DIAM.


-SELESAI-

Andrian Eka Saputra. Lahir di Boyolali pada 15


Desember 1995. Kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta. Alamat rumah di
Tumang Kulon, RT 02/RW 12, Cepogo, Cepogo,
Boyolali, Jawa Tengah. Nomor HP 085732866683.

Antologi Naskah Drama 19


Kemah*
Alya Aulia Defyo
SMP Negeri 2 Godean
alyaauliadefyo@gmail.com

Pelaku:
Sarah, usia 14 tahun, ketua regu Anggrek, egois, dan teguh
pendirian.
Alma, usia 13 tahun, wakil ketua regu Anggrek, dewasa, agak
lelet.
Zahra, usia 14 tahun, bendahara regu Anggrek, suka menasi-
hati, dan pekerja keras.
Elsa, usia 13 tahun, sekertaris regu Anggrek, manja, agak pe-
malu.
Tasya, usia 14 tahun, anggota regu Anggrek, emosional, supel.
Bella, usia 14 tahun, anggota regu Anggrek, penakut.
Icha, usia13 tahun, anggota regu Anggrek, cerewet, agak lebay.

(DI BUMI PERKEMAHAN PUKUL 10.00 SIANG. TAMPAK


BEBERAPA KELOMPOK PRAMUKA SISWA SMP MENDIRI-
KAN TENDA).

1. Alma : Teman-teman, tenda regu lain sudah mau


berdiri, lho....Gimana ini?
2. Sarah : Ayo cepetan! Zahra itu talinya diambil, Tasya
kamu sama Bella pegang tongkatnya, Icha

* Naskah ini sudah melalui tahap penyuntingan. Namun, beberapa hal tetap
dipertahankan sesuai naskah aslinya.

20 Sarapan Terakhir
dan Alma tendanya disiapin, Elsa jangan
diem aja, bantuin megang itu, lho! (BER-
KATA SINIS).
3. Tasya : Huh.. dasar nenek lampir, bisanya cuma
nyuruh-nyuruh, padahal dia sendiri eng-
gak kerja.
4. Bella : Ayo, Tas, kita ambil tongkat.

(TENDA BELUM JUGA BERDIRI. MATAHARI SEMAKIN


TERIK, MEREKA SEMAKIN SENGIT BERDEBAT).

5. Elsa : Aduh aku capek banget, nih. Panas lagi.


6. Zahra : Kamu pikir kita enggak capek apa? Dasar
anak manja. (SAMBIL MEMBUAT SIMPUL).
7. Sarah : Kalian lama banget, sih, bikinnya.
8. Tasya : Kamu cuma diem aja, sih, dari tadi. Bantuin,
dong!
9. Bella : Udah jangan pada berantem, nanti enggak
selesai-selesai tendanya.
10 Alma : O iya...kok di regu kita enggak ada yang
bikin dapur, pagar, atau selokan?
11. Icha : Ya ampun, bener juga. Gimana, sih, Sar. Di-
bagi dong tugasnya!
12. Sarah : Iya, iya... nanti kalau kalian udah selesai bikin
tendanya, langsung kerjain tugas selanjut-
nya.
13. Elsa : Udah cepetan langsung dibagi aja.
14. Sarah : Zahra sama Alma buat selokan, Tasya sama
Icha buat dapur, terus Bella sama Elsa buat
pagar.
15. Icha : OMG, kok kamu enggak ikut kerja lagi, sih?
16. Sarah : Icha, aku ini ketua. Jadi, aku berhak, dong,
buat ngatur kalian.
17. Tasya : Eh.., mentang-mentang kamu ketua terus
seenaknya kayak gini?

Antologi Naskah Drama 21


18. Icha : Sar, mendingan kamu ngaca, deh! Jangan
sok ngatur kita. Kita tahu kok kalau kita ini
anggota, tapi kamu sebagai ketua harusnya
bantuin kita.
19. Zahra : Iya, Sar. Please, aku minta kamu jangan
egois gini.
20. Sarah : Ihh... siapa yang egois? Kalian aja kali yang
egois. Mendingan aku pergi dari pada di
sini cuma disalahin terus!
21. Tasya : Aduh ini anak, susah banget sih dibilangin.

(TENDA SELESAI DIDIRIKAN. MASIH ADA PEKERJAAN


YANG BELUM SELESAI).

22. Icha : Alhamdulillah akhirnya selesai juga men-


dirikan tendanya. Aku capek banget, mau
istirahat.
23. Bella : Iya, aku juga.
24. Elsa : Ahh...capeknya.
25. Zahra : Eh...males banget punya ketua kayak dia.
26. Tasya : Iya, jadi ketua kok egois....
27. Alma : Lho, kok malah pada udahan, sih? Ayo lan-
jutin tugas yang lain, biar cepat selesai!
28. Elsa : Udah, Al. Nanti aja, capek nih.
29. Alma : Nanti kalau dimarahin Kakak Pembina
gimana?
30. Tasya : Aku males buatnya, Al... capek dari tadi
kita kerja, tapi ketuanya enggak kerja, kan
enggak adil!
31. Icha : Iya bener. Aku mau kerja kalau ketuanya
juga ikut kerja.
32. Alma : Aduh gimana, nih?
33. Zahra : Al, coba kamu bujuk Sarah biar dia mau
bantu kita. Siapa tahu kalau kamu yang
bujuk, dia langsung mau.

22 Sarapan Terakhir
34. Alma : Iya deh, Zah.

(ALMA MENCARI SARAH KE DANAU KECIL BUATAN).

35. Alma : Sar, jangan ngambek dong, please....


36. Sarah : Siapa yang ngambek? (MEMANDANG
DANAU)
37. Alma : Sarah, teman-teman jadi pada ikutan ngam-
bek. Mereka enggak mau ngerjain tugas
masing-masing. Mereka maunya kamu ikut
bantuin. (MERAIH LENGAN SARAH).
38. Sarah : Aku enggak mau. Mereka itu ngambek sama
aku, Al. Mereka marah.
39. Alma : Gimana enggak marah, kamu harusnya
bantuin kita, bagaimanapun juga kamu itu
adalah ketua, Sar.... Kamu memang berhak
memerintah kita, tapi jangan pernah kita
diperlakukan sebagai pembantumu. Di sini
kita satu tim.
40. Sarah : Tapi aku capek, Al. Aku udah bawa gapura,
bawa bambu buat bikin pagar.
41. Alma : Kita juga capek, Sar. Aku enggak nyangka
kamu bisa se-egois ini. Aku pikir kita ini
sahabat yang bisa ngertiin satu sama lain ,
ingat kata-kata ini, ya, Sar! Jangan pernah
egomu menguasai dirimu karena itu akan
merusak segalanya. (MELANGKAH PER-
GI TANPA MENGHIRAUKAN SARAH).
42. Sarah : Alma, tungguin aku! (MENGEJAR ALMA).
43. Alma : (TAK ACUH) Dia pikir enggak capek apa
nasihatin dia? Pasti ujungnya tetap sama,
sifatnya enggak bakal berubah. (ALMA
BERKATA DALAM HATI).

Antologi Naskah Drama 23


44. Sarah : Please, Al , aku minta maaf. Aku bakal ban-
tuin kalian, kok. Aku janji! (MENARIK TA-
NGAN ALMA).
45. Alma : (MENATAP SARAH) Iya aku maafin, tapi
kamu juga harus minta maaf kepada teman-
teman yang lain!
46. Sarah : Baiklah kalau itu keinginanmu....

(MEREKA BERJALAN KE ARAH TENDA. SEMUA ANG-


GOTA REGU BERKUMPUL).

47. Sarah : Teman-teman, aku minta maaf, aku salah.


Aku udah egois sama kalian. Aku harusnya
membantu kalian, bukan cuma kasih perin-
tah. Aku minta maaf. (MENUNDUKKAN
WAJAH).
48. Zahra : Iya, Sar. Kita maafin kamu.
49. Tasya : Syukur, deh, kalau udah sadar. (SINIS).
50. Zahra : Tasya!
51. Tasya : Iya, aku maafin.

(HARI SEMAKIN SORE. PESERTA MENUNGGU UPACA-


RA PEMBUKAAN. TERDENGAR SUARA PELUIT).

52. Kakak Pembina : Prrriiittttt...!


53. Sarah : Itu udah disuruh kumpul. Ayo, kita ke
lapangan! (MENGAMBIL TONGKAT ).
54. Semua : Ayo!

(SEMULA UPACARA BERLANGSUNG KHIDMAT. TAPI,


TIBA-TIBA SUASANA BERUBAH).

55. Alma : Ada apa sih, Tas?


56. Tasya : Enggak tahu aku, Al, kayaknya ada yang
pingsan.
57. Alma : Apa, pingsan? Siapa yang pingsan?
58. Tasya : Zah, siapa yang pingsan?

24 Sarapan Terakhir
59. Zahra : Raka, Tas.
60. Tasya : Oh...(MENENGOK KE BELAKANG) Raka,
Al.. yang pingsan.
61. Alma : Oh. Ternyata laki-laki bisa pingsan juga....
62. Tasya : Ya iyalah, bagaimanapun juga dia itu manu-
sia, dan Alma please jangan mulai kumat.
63. Alma : Iya, iya....

(PUKUL 20.00 SEMUA PESERTA BERKUMPUL DI LA-


PANGAN UNTUK KEGIATAN JELAJAH MALAM).

64. Icha : Elsa, ayo, cepetan! Itu udah dipanggil....


65. Bella : Iya, ayo, El. Lama banget sih? (MERAPI-
KAN HASDUK).
66. Elsa : Bentar, namecard-ku hilang. (SIBUK MEN-
CARI).
67. Icha : Kok, bisa hilang?
68. Zahra : Terakhir kamu taruh di mana?
69. Elsa : Aku lupa. Oh, ini udah ketemu di bawah
karpet.
70. Bella : Syukur, deh. Ayo!
71. Elsa : Ayo!

(DI LAPANGAN SEMUA BERBARIS DAN MENDENGAR-


KAN INSTRUKSI DARI KAKAK PEMBINA).

72. Kakak Pembina : Adik-adik malam ini agendanya adalah jela-


jah malam. Jadi, nanti Adik-Adik harus men-
cari jalan untuk menemukan pos yang akan
memberi kalian tugas. Tapi, kami akan me-
mudahkan Adik-Adik dalam mencari jalan
yang benar, yaitu dengan mengikuti tanda-
tanda di depan ini! (MENUNJUKKAN
KERAS WARNA-WARNI DENGAN BER-
BAGAI BENTUK ).

Antologi Naskah Drama 25


73. Kakak Pembina 2 : Lebih baik masing-masing regu men-
catatnya.
74. Icha : Elsa, kamu kan sekertaris, catat semuanya...
75. Sarah : Nggak usah dicatat aja, El. Aku berusaha
menghafal semua yang dikasih tahu Kakak
Pembina.
76. Zahra : Sar, kamu jangan mulai egois lagi. Ini me-
nyangkut regu kita, kalau nanti kita nyasar,
gimana?
77. Alma : Iya, Sar, itu tanda buat kita cari jejak.
78. Tasya : Huuhh... mulai kumat egonya. (SINIS).
79. Sarah : Udah kalian tenang aja. Lagian, kan, yang
dengerin bukan cuma aku, nanti kalau aku
lupa, kan, bisa tanya kalian. Pokoknya kalian
juga harus dengerin.
80. Bella : Iya sih, Sar, tapi kalau dicatat kan itu lebih
pasti. Gimana nanti kalau kita juga pada
lupa?
81. Sarah : Udah kalian percaya aja sama aku.
82. Kakak Pembina : Mohon tenang, saya akan membacakan atur-
annya. Jika kalian menemukan tanda ling-
karan, kalian harus mengambil jalan lurus,
jika bertemu tanda segi tiga, kalian harus
mengambil jalan ke kiri, dan jika bertemu
tanda persegi maka kalian harus mengambil
jalan ke kanan.
83. Alma : Lingkaran lurus, segi tiga kiri, persegi ka-
nan. (BERKATA DALAM HATI ).
84. Kakak Pembina : Apakah sudah jelas semua?
85. Semua : Sudah!
86. Kakak Pembina : Oh, ya.. Apakah kalian membawa senter?
87. Semua : Bawa!
88. Kakak Pembina : Kalian nanti juga harus siap menggunakan
senter karena nanti sepanjang perjalanan

26 Sarapan Terakhir
kita tidak akan menemukan lampu. Jadi,
kalian harus teliti dan cermat dalam men-
cari tanda jejak dan pos bayangan atau pos
yang tidak terlihat. Apa kalian siap? Regu
yang berada paling barat silakan jalan dulu-
an! Silakan jalan ke arah sana (MENUN-
JUKKAN ARAH JALAN) regu Melati! Saya
akan memberi aba-aba kapan regu selanjut-
nya jalan.
89. Bella : Kok, gelap banget, sih? Aku takut.
90. Elsa : Iya, gelap banget, sih... Masa enggak ada
lampu satu pun? Ini namanya keterlaluan.
91. Zahra : Tadi, kan, Kakak Pembina sudah bilang,
kalau di perjalanan jarang ada lampu.
92. Sarah : Kok, enggak ada tanda jejak, sih? Padahal
kita udah jalan lumayan jauh. (MENG-
ARAHKAN SENTER KE SEGALA ARAH).
93. Alma : Atau jangan-jangan kelewatan?
94. Zahra : Enggak mungkin. Dari tadi kita enggak li-
hat ada pertigaan atau perempatan. Biasa-
nya kalau naruh tanda kayak gitu di per-
tigaan atau perempatan.
95. Sarah : Teman-teman, kayaknya itu tanda jejak. Ayo
kita ke sana!
96. Icha : Wah....iya Sar, kamu benar. Tapi ini tanda-
nya ke mana?

(MENUNJUK TANDA BERBENTUK SEGI TIGA).

97. Sarah : Hhmm... Ke kanan!


98. Tasya : Ke kanan? Bukannya itu tanda ke kiri?
99. Elsa : Iya, Sar itu tandanya ke kiri, bukan ke ka-
nan.
100. Sarah : Tadi kalian nggak memperhatikan, ya?
Yang benar itu, segi tiga ke kanan!

Antologi Naskah Drama 27


101. Alma : Bukan, Sar, segi tiga itu ke kiri kalau yang
ke kanan persegi.
102. Sarah : Ya udah terserah kalian aja. Pokoknya aku
ke kanan!
103. Tasya : Ya udah sana! Kalau kamu tersesat, kita
enggak mau tanggung jawab.
104. Alma : Sar, lebih baik kamu ikut kami aja, soalnya
ini di hutan. Aku takut terjadi apa-apa sama
kamu.
105. Sarah : Enggak, aku enggak mau. Aku akan tetap
teguh dengan keputusanku. Elsa, sekarang
kamu ikut aku, kamu harus temenin aku!
(MENARIK TANGAN ELSA).
106. Elsa : Enggak, Sar, aku mau ikut mereka aja!
107. Sarah : Enggak! Pokoknya kamu harus nemenin
aku!
108. Elsa : Aku enggak mau, Sarah! (BERUSAHA ME-
LEPASKAN DIRI).
109. Alma : Sar, Elsa itu enggak mau ikut kamu. Kamu
enggak punya hak buat maksa dia!
110. Icha : Mendingan kamu ngaku aja, deh, Sar. Sebe-
narnya kamu takutkan kalau enggak ada
yang nemenin?
111. Sarah : Siapa bilang aku takut. Akan aku buktiin
kalau aku enggak takut. Oh iya, kalau nanti
kalian nyasar, semoga kalian selamat. Bye!
(PERGI KE ARAH KANAN, MENINGGAL-
KAN REGU).
112. Tasya : Semoga dia yang enggak selamat. (ME-
NATAP KEPERGIAN SARAH DENGAN
RASA BENCI).
113. Zahra : Husshh! Enggak boleh ngomong gitu, Tas!
114. Icha : Kita tinggal aja, yuk! Aku sebal sama dia,
maunya apa, sih?

28 Sarapan Terakhir
115. Elsa : Udahlah ayo kita jalan agar tidak kemalam-
an.
116. Alma : Terus Sarah, gimana? Nanti kalau dia di-
tangkap orang jahat atau diterkam binatang
buas, gimana?
117. Tasya : Aduh... Alma, itu enggak akan terjadi....
118. Alma : Oke....

(SARAH BERPISAH DARI TEMAN-TEMANNYA).

119. Sarah : Huh! Nyebelin banget, sih. Di mana-mana


pasti anggota regu ngikutin perintah ketua-
nya. Lha masak mereka tidak nurutin pe-
rintahku. Aku doain semoga mereka semua
nyasar. Hmm.. kok, dari tadi enggak ada
tanda jejak, sih? Aduh gimana, ya, kalau
aku yang benar-benar nyasar. Aku juga
lupa arah jalan sebelumnya.

(SARAH MELIHAT CAHAYA LAMPU).

120. Sarah : Kok, ada cahaya lampu? Jangan-jangan itu


pos? (MENDEKATI CAHAYA DARI SE-
BUAH GUBUK) Siapa mereka yang ada di
dalam gubuk? Jangan-jangan mereka orang
jahat? (BERSEMBUNYI KE BALIK SE-
MAK-SEMAK MENDENGARKAN PER-
CAKAPAN).
121. Penculik 2 : Kudengar ada anak SMP sedang berkemah
di sini, Bos. (SESEORANG BERSUARA SE-
RAK).
122. Penculik 1 : Ya, aku sudah tahu. (JAWAB SESEORANG
DENGAN SUARA BERWIBAWA).
123. Penculik 3 : Bos, sudah tahu? (SESEORANG BER-
SUARA CEMPRENG).
124. Penculik 2 : Mengapa Bos tidak memberitahu kami?

Antologi Naskah Drama 29


125. Penculik 1 : Aku ingin memberi kejutan. (TERSENYUM
SINIS. MENGAMBIL BEBERAPA KAR-
TU).
126. Penculik 3 : Lalu, apa rencana kita, Bos?
127. Penculik 2 : Iya, Bos. Setahuku, kita belum punya satu
rencana pun?
128. Penculik 1 : Aduh...kalian ini benar-benar lupa atau ha-
nya pura-pura lupa? Tentu kita akan men-
culik anak yang berasal dari keluarga kaya.
Lalu kita akan meminta uang tebusan!

(SARAH TERKEJUT).

129. Sarah : Ya Allah.. gimana ini? (BERKATA LIRIH).


130. Penculik 2 : Bagaimana kalau kita salah menculik?
131. Penculik 1 dan 3 : Maksudmu?
132. Penculik 2 : Bagaimana jika anak yang kita culik berasal
dari keluarga miskin?
133. Penculik 1 : Siapa pun dia, berasal dari mana dia, kita
tetap akan menculiknya! (MELEMPAR
KARTU).
134. Penculik 3 : Tapi tadi Bos bilang, kita akan meminta
uang tebusan. Jika keluarga itu miskin, kita
tidak bisa meminta tebusannya, kan? (ME-
MAINKAN KARTU. TIDAK BERANI ME-
NATAP MATA SI BOS).
135. Penculik 1 : Hei! Dengarkan aku. Setiap orang tua pasti
tidak ingin kehilangan anaknya. Mereka
akan melakukan berbagai macam cara un-
tuk mendapatkan anaknya kembali. Jadi
menurutku, uang tebusan itu tidak akan
susah untuk mereka keluarkan selagi mere-
ka mendapatkan anak mereka kembali.
Aku harap rencana kali ini berhasil. Tidak
seperti dulu.

30 Sarapan Terakhir
136. Penculik 3 : Bos, kapan kita akan melaksanakan rencana
ini?
137. Penculik 1 : Malam ini juga.
138. Penculik 3 : Apa rencana ini tidak terlalu mendadak,
Bos?
139. Penculik 1 : Tentu tidak. Aku sudah menyiapkannya
dengan matang. Kalian tenang saja, tunggu
perintah dariku.
140. Sarah : (GUSAR DI BALIK SEMAK-SEMAK) Aku
harus balik ke teman-teman. Aku harus
memberitahu mereka dan Kakak Pembina
soal rencana para penculik.

(SARAH MENINGGALKAN TEMPAT PERSEMBUNYIAN-


NYA. TIBA–TIBA IA TERJATUH TERSANDUNG BATU).

141. Sarah : Auuw... sakitt... Duh kakiku nggak bisa di-


gerakin.
142. Penculik 2 : Siapa itu?
143. Penculik 3 : Jo, lihat ke luar, kayaknya anak SMP yang
lagi kemah.
144. Penculik 2 : Ayo, Kring. (AJAK LAKI-LAKI BERSUARA
SERAK YANG BERNAMA BEJO ).
145. Penculik 3 : Halo gadis cantik. (CUNGKRING MENG-
HAMPIRI SARAH).
146. Penculik 2 : Kamu Tersesat, ya?
147. Sarah : Siapa kalian? Pergi!
148. Penculik3 : Jo mendingan langsung kita bawa.
149. Sarah : Tolong...!
150. Penculik 2 : Langsung kita bawa aja ke Bos! Kayaknya
dia anak orang kaya.

Antologi Naskah Drama 31


(PENJAHAT MEMBAWA SARAH DAN MENGIKATNYA
KE SEBUAH KURSI).
151. Penculik 1 : Wah...wah...wah... Hebat juga kalian, lang-
sung dapat satu korban. Ha...ha...ha...!
152. Penculik 1 : Ayo, ini saatnya kita culik anak-anak yang
lain! Kamu diam di sini gadis kecil. Kalau
kamu mau pulang, tunggu ayah kamu kasih
uang tebusan.... Cungkring kamu jaga gadis
itu, jangan sampai kabur. Aku dan Bejo
akan mencari anak-anak yang lain. Jangan
lupa kunci pintu gubuknya. Mendingan
kamu jaga di luar saja, siapa tahu ada yang
mencurigakan!
153. Penculik 3 : Siap, Bos.

(BEBERAPA PRAMUKA PEREMPUAN BERJALAN MEN-


CARI POS BAYANGAN).

154. Alma : Perasaan aku kok, nggak enak ya, Zah?


155. Zahra : Kenapa, Al? Kamu kepikiran Sarah?
156. Alma : Iya, Zah. Kita balik aja yuk, kita cari Sarah.
Sumpah, perasaanku enggak enak banget.
Aku ngerasa kalau Sarah diculik.
157. Zahra : Iya, Al. Aku juga ngerasa gitu. Aku ngerasa
kalau Sarah lagi butuh bantuan.
158. Alma : Teman-teman, gimana kalau kita balik ke
tempat Sarah? Perasaan aku enggak enak
banget.
159. Tasya : Enggak ah, aku enggak mau ikut. Buat apa
ngulur waktu hanya untuk nyamperin orang
kayak dia?
160. Zahra : Tasya aku tahu kamu memang enggak suka
Sarah karena sifatnya. Tapi aku mohon de-
ngerin aku. Tas, di sini kita adalah satu tim,

32 Sarapan Terakhir
satu keluarga. Dan kita harus saling tolong-
menolong.
161. Alma : Siapa yang mau ikut?
162. Elma : Aku ikut, Al. Perasaan aku dari tadi juga
enggak enak.
163. Bella : Aku juga, Al. Gimanapun juga dia tetap
teman kita.
164. Icha : Aku ikut. Aku takut dia kenapa-napa.
165. Bella : Tasya, kamu gimana?
166. Tasya : Aku..... (RAGU).
167. Icha : Ayolah, Tas. Sarah butuh kita.
168. Tasya : Iya, iya, aku ikut.

(DI TENGAH PERJALANAN, MEREKA MENDENGAR


SUARA ORANG YANG SEDANG BERBINCANG –BINCANG).

169. Bella : Suara apa itu?


170. Zahra : Ayo kita sembunyi! (BERLARI KE SEMAK–
SEMAK).
171. Penculik 2 : Bos, sekarang kita kemana?
172. Penculik 1 : Kita cari tanda jejak yang kira-kira dipakai
anak pramuka itu. Kita ikuti tanda itu.
Biasanya mereka jalan berkelompok dengan
regu masing-masing. Dan mereka berjarak
cukup jauh. Jadi, kita enggak akan banyak
ngundang perhatian.
173. Penculik 2 : Berapa anak yang akan kita culik, Bos?
174. Penculik 1 : Kita akan menculik satu regu. Kalau kita
hanya menculik satu atau dua anak, pasti
anak yang lain akan mengadu kepada Kakak
Pembina mereka.
175. Penculik 2 : Oke, Bos! Aku tidak sabar menjadi orang
kaya. Ha...ha...ha....
176. Penculik 1 : Ya. Kita sudah menculik satu orang. Kasihan
dia tersesat dari kelompoknya, anak perem-

Antologi Naskah Drama 33


puan yang malang. Aku sebenarnya me-
rasa kurang yakin jika Cungkring yang men-
jaga gadis itu. Bagaimanapun gadis itu lebih
pandai dibandingkan Cungkring. Semoga
gadis itu tidak kabur.
177. Penculik 2 : Ya, Bos.
178. Alma : Kalian dengar apa yang mereka bicarakan?
Mereka mau menculik kita untuk menda-
patkan uang tebusan. Dan sekarang mere-
ka sudah punya satu korban, dan aku yakin
itu adalah Sarah.
179. Bella : Ya, aku tahu itu, Al. Pasti gadis yang me-
reka culik adalah Sarah.
180. Tasya : Kita harus buat rencana untuk nyelamatin
Sarah. Kita harus dibagi menjadi dua ke-
lompok. Kelompok pertama ada aku sama
Alma. Kelompok kedua ada Icha, Zahra,
dan Bella. Tugas kelompok pertama adalah
nyelamatin Sarah. Sedangkan kelompok
kedua berupaya mengelabuhi dua orang
penculik tadi. Terus, Elsa menghubungi
Kakak Pembina. Gimana, kalian setuju?
181. Elsa : Aku setuju.
182. Bella : Gimana cara kita memperdayai dua pen-
culik itu?
183. Tasya : Hmmm.... Pakai ini aja! Kalian nyamar jadi
hantu biar mereka takut.... (SERAYA ME-
NGELUARKAN JAKET PUTIH MILIK
TASYA).
184. Zahra : Wahh, hebat banget rencanamu, Tas.

(ROMBONGAN PRAMUKA MENCARI GUBUK PARA


PENCULIK).

185. Tasya : Alma, kayaknya itu gubuknya.

34 Sarapan Terakhir
186. Alma : Iya, Tas, lalu apa rencana kita selanjutnya?
187. Tasya : Gini aja, Al. Kita pancing orang yang ada di
gubuk agar keluar halaman. Aku akan buat
jebakan pakai tali yang aku ikatkan ke po-
hon.
188. Alma : Oh , oke. Aku setuju!

(ALMA MENGHAMPIRI GUBUK. IA MELIHAT LAKI-


LAKI KURUS SEDANG DUDUK DI DEPAN GUBUK).

189. Alma : Sarah, kamu di mana? Sarahhh...!


190. Sarah : Ama! Ama! Ahu di hini! (BERTERIAK
TIDAK JELAS KARENA MULUT DISUM-
BAT DENGAN KAIN).
191. Penculik 3 : Apa itu temannya gadis yang ada di gu-
buk? Wahh...lumayan ini kalau aku bisa
menculiknya. Bos pasti akan menggaji aku
lebih besar.
192. Alma : Sarah!
193. Penculik 3 : Hei, Nak! (BERUSAHA MENANGKAP
ALMA).
194. Alma : Tolong...! (BERLARI DENGAN SIGAP KE
ARAH TASYA).
195. Penculik 3 : Hei tunggu!

(TASYA BERSIAP MENJALANKAN RENCANANYA.


PENCULIK JATUH TERSUNGKUR).

196. Penculik 3 : Aaaahhh... dasar anak durhaka!


197. Tasya : Maaf ya, Pak, kita sudah jadi anak durhaka.
Tapi ini demi kebaikan Bapak juga, kok.
Biar Bapak tobat, nggak jadi penculik lagi
hihi....
198. Alma : Terus penjahat ini kita apain, Tas?
199. Tasya : Kita ikat aja di pohon.

Antologi Naskah Drama 35


(ALMA DAN TASYA MENGHAMPIRI SARAH DI GUBUK).

200. Alma dan Tasya : Sarah! (KEDUANYA MEMBUKA KAIN


YANG MENYUMBAT MULUT SARAH).
201. Sarah : Teman-teman aku minta maaf, selama ini
aku udah egois. (MEMELUK TASYA DAN
ALMA).
202. Tasya : Iya, Sar.
203. Alma : Ayo kita keluar dari sini dan nemuin teman-
teman.
204. Tasya dan Sarah : Ayo!

(ICHA, BELLA, DAN ZAHRA MELAKSANAKAN REN-


CANA MEREKA).

205. Bella : Icha, Zahra, itu penjahatnya! (MENUNJUK


DUA LAKI-LAKI).
206. Zahra : Icha, kamu yang jadi hantunya!
207. Icha : Kok, aku?
208. Zahra : Nanti kamu pakai tepung.
209. Icha : Oke. Mana jaket dan tepungnya?
210. Bella : Cha, mereka udah semakin dekat. Cepat,
cari posisi!
211. Icha : Oke.
212. Bella : Oh iya, ini senternya, nanti buat neranginn
wajahmu!

(KEDUA PENCULIK MELIHAT KE ARAH ICHA, MERE-


KA TERKEJUT DAN KETAKUTAN).

213. Icha : Hihihihi...ha..ha...ha... aku adalah penung-


gu hutan ini!! Hihihi!!
214. Penculik 1 dan 2 : Hiiiii.....

(PARA PENCULIK LARI KETAKUTAN. MEREKA JATUH


TERSANDUNG. ICHA, BELLA, DAN ZAHRA MENGIKAT
KEDUA PENCULIK KE POHON).

36 Sarapan Terakhir
215. Sarah : Icha, Bellaa, Zahra! Icha, Bellaa.
216.Zahra : Sarah! (SALING BERPELUKAN).
217. Zahra : Aku senang kamu selamat.
218. Bella : Aku senang kita bisa kumpul lagi.
219. Sarah : Jadi, kalian yang nangkap penjahat ini?
220. Tasya : Nanti kita ceritain kalau udah di tenda.
221. Sarah : Oh iya, Elsa di mana?
(MENGARAHKAN PANDANGAN KE SEKELILING).

222. Elsa : Sarah! (MEMELUK SARAH).


223. Sarah : Kamu dari mana?
224. Elsa : Aku bertugas memanggil Kakak Pem-
bina.... (MENUNJUK KAKAK PEMBINA).
225. Kakak Luluk : Sarah, Zahra, Tasya, Alma, Icha, Bella....
(SEMUA BERPELUKAN) Kakak khawatir
dengan kalian.
226. Sarah : Kita enggak apa-apa, kok, Kak.
227. Kak Luluk : Ya udah kalian langsung ke tenda. Nanti
penjahatnya ada yang menangani.
228. Semua : Iya, Kak.

(REGU SARAH, YAITU REGU SAKURA MENIRIMA


UCAPAN TERIMA KASIH DARI KEPALA DESA BUMI
PERKEMAHAN SETEMPAT).

229. Kepala Desa : Terima kasih atas bantuan kalian yang telah
menangkap para penculik. Saya sangat meng-
hargai kalian karena memiliki keberanian
yang besar.
230. Sarah : Sama-sama, Pak.

(ROMBONGAN PRAMUKA BERKEMAS PULANG).

231. Sarah : Teman-teman sekali lagi makasih, ya. Ka-


lian udah nyelamatin aku. Aku juga minta
maaf kalau selama ini egois sama kalian.
Kalian masih mau jadi sahabat aku, kan?
Antologi Naskah Drama 37
232. Semua : Iya Sarah, kita udah maafin kamu, kok.
(MEREKA LALU BERPELUKAN).

-SELESAI-

Alya Aulia Defyo. Lahir di Salatiga pada 18 Maret


2002. Sekolah di SMP Negeri 2 Godean. Alamat
rumah di Pirak, Mertosutan, Sidoluhur, Godean,
Sleman. Nomor HP 085643075477.

38 Sarapan Terakhir
Niken
Joana Zettira
SMA Negeri 1 Banguntapan
zettirajoana@gmail.com

Pelaku:
Niken, usia 17—40 tahun, siswa/ibu rumah tangga.
Ibu Niken, usia 60 tahun, penjahit.
Ayah Niken, usia 60 tahun, wartawan.
Kris, usia 23 tahun, mahasiswa.
Pak Arif, usia 50 tahun, guru.
Budi, usia18 tahun, siswa.
Bara, usia 17 tahun, siswa.
Sasa, usia 15 tahun, siswa.
Om Bowo, usia 55 tahun, karyawan.

Prolog
LAYAR PANGGUNG MASIH DITUTUP. LAMPU PANG-
GUNG REMANG-REMANG. TERDENGAR SAYUP-SAYUP
SUARA PEREMPUAN MENANGIS SEPERTI TAK TERIMA
AKAN SESUATU. SEMAKIN LAMA SUARA SEMAKIN
KERAS. TIBA TIBA SUARA TANGISAN MEMEKIK, DIIKUTI
LAMPU PANGGUNG YANG LANGSUNG PADAM. SUA-
SANA HENING.

Adegan 1
TERDENGAR SUARA JANGKRIK. LAYAR DIBUKA.
LAMPU DINYALAKAN PERLAHAN SAMPAI AKHIRNYA
Antologi Naskah Drama 39
BETUL BETUL TERANG. DI ATAS PANGGUNG, TERDAPAT
SEBUAH PINTU YANG BERADA DI SISI KANAN BAWAH
PANGGUNG. SATU SET SOFA DAN MEJA DI BAGIAN
TENGAH BAWAH PANGGUNG. DI MEJA TERDAPAT
SEGELAS KOPI. DI BAGIAN KIRI ATAS PANGGUNG, TER-
DAPAT KAMAR TIDUR BERISI ALMARI DAN SEBUAH KASUR.
AYAH NIKEN MASUK KE DALAM RUMAH, SUARA
JANGKRIK MEREDA HINGGA AKHIRNYA HILANG.

1. Ayah Niken : Tok...tok...tok.... (MENGETUK PINTU). Bu....


Bapak pulang, Bu. Tolong bukakan pintu, Bu,
Bapak capek....(TIDAK ADA YANG ME-
NYAHUT, LALU LANGSUNG MASUK KE
DALAM RUMAH KARENA PINTU TIDAK
DIKUNCI). Bu, bapak pulang, Bu. Yuk pindah
kamar aja.
2. Ibu Niken : Umhhhh... (TERBANGUN). Oh ya ya, Bapak
sudah pulang. Kok, belakangan ini Bapak
pulangnya telat terus, to? Ada proyek lagi di
kantor? (MELEPAS JAS SUAMINYA).
3. Ayah Niken : Engg iya.. Pasti. Ibu, kan, tahu sendiri bulan
lalu Bapak dapat predikat wartawan terbaik
di kantor. Wajarlah kalau bapak jadi makin
banyak tugasnya. (MENYERUPUT KOPI).
4. Ibu Niken : Ibu paham. Dari pagi sampai malam di kantor,
pasti jas Bapak bau kecut. (MENCIUM JAS
SUAMINYA).
5. Ayah Niken : Tidak, tidak....Tidak usah dicium, Bu. Baunya
sudah pasti tidak enak. (MENAHAN ISTRI-
NYA).
6. Ibu Niken : (MARAH) Bapak mencoba membohongi saya
lagi?
7. Ayah Niken : Bohong apa, Bu? Saya tidak suka Ibu yang cem-
buruan. Pikirannya neka-neka. Bau parfum

40 Sarapan Terakhir
berbeda saja langsung dikira yang aneh-aneh.
(SINIS).
8. Ibu Niken : Cukup, Pak. Ini bukan pertama kalinya Bapak
bohongin saya. Bapak tidak pernah berubah.
Nyesel, Pak. Nyesel saya dulu mau dipinang
Bapak. Nyesel saya dulu menerima perjodohan.
9. Ayah Niken : Oh, jadi kamu nyesel jadi istri saya? Kamu ndak
bisa nerima saya yang suka main perempuan?
10. Ibu Niken : Istri mana yang mau dimadu, Pak? Bapak pikir
saya ini apa? Pelacur yang bisa sewaktu-waktu
Bapak datangi kalau Bapak butuh? Tukang
masak? Tukang cuci? Tukang manak? Jawab
Pak.. Jawab.... (MENANGIS, MARAH).
11. Ayah Niken : Kamu istri saya. Turuti kemauan saya. Kalau
tidak mau, silakan cari uang sendiri. Biar saya
yang pergi. (MENUJU KAMAR).
12. Ibu Niken : Kurangajar kamu, Pak! Suami macam apa kamu,
Pak! Aku ini istri sahmu. Bisa-bisanya Bapak
lebih memilih perempuan di luar sana yang
menjajakan tubuh ke banyak pria. Kurang apa
aku, Pak? Kurang apa? (MENGEJAR SUAMI-
NYA).
13. Ayah Niken : Terserah Ibu mau bilang apa. Bapak capek pu-
nya istri yang bisanya cuma nuntut macam-
macam. Ibu pikir bapak mesin uang yang bisa
setiap waktu menuhi permintaan Ibu? Ha? Pikir,
Bu, pikir.... (MARAH).
14. Ibu Niken : Jadi, selama ini uang hasil jahitan iIbu itu nggak
berguna menurut Bapak? Justru Bapak yang
harusnya malu sama diri Bapak. Suami, kok,
tidak bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak,
sampai Ibu harus kerja. (MENANGIS).
15. Ayah Niken : Terserah. Mulai malam ini kita pisah ranjang,
urus anakmu sendiri. (MENENTENG KOPER).

Antologi Naskah Drama 41


16. Ibu Niken : Bapak jahat. Suami enggak tahu diuntung. Saya
nyesel. Saya nyesel. Saya nyesel nikah sama
Bapak. Saya nyesel mengandung bayi ini. Akan
saya gugurkan bayi ini. (MENANTANG).
17. Ayah Niken : Kamu boleh benci dengan saya, Bu. Tapi tidak
dengan bayi itu. Dia berhak hidup!
18. Ibu Niken : Terserah. Dia ada di perutku. Jadi terserah mau
saya apakan bayi ini. Itu bukan urusanmu lagi.
Pergi! Pergi! (BERTERIAK, MEMUKUL-MU-
KUL PERUT). Bayi pembawa sial, bayi goblok,
bayi tak tahu diuntung. Tidak ada gunanya
kamu kulahirkan. Nanti kamu sama kayak
Bapakmu. Bayi sial, argghh!

Adegan 2
LAMPU TERANG, RUANG TAMU (TENGAH ATAS
PANGGUNG). NIKEN PULANG SEKOLAH, MASUK LEWAT
KIRI PANGGUNG. IBU TENGAH MENJAHIT. MEJA JAHIT
BERADA DI TENGAH BAWAH PANGGUNG.

19. Niken : Assalamualaikum, Bu. Niken pulang....


20. Ibu Niken : Hemmm.... (SINIS).
21. Niken : Bu, Niken mau ngomong sesuatu sama Ibu.
22. Ibu Niken : Nanti, nanti, nanti aja ngomongnya. Ibu lagi
sibuk. Kamu mengganggu saja....
23. Niken : Ya sudah, Bu, Niken ganti baju dulu.
24. Ibu Niken : Hmm... Habis itu, piring kotor langsung
dicuci. Rumah disapu, dipel. Terus masak
buat Ibu, mas, sama adikmu.
25. Niken : Nggih, Bu.

42 Sarapan Terakhir
Adegan 3
BERLANGSUNG DI RUANG TENGAH. BUDI MUNCUL
DARI KIRI PANGGUNG.

26. Ibu Niken : Anak bawa sial. Pulang sekolah malah nga-
jak ngobrol. Tidak mengerti kalo ibunya
sibuk. (MENGUMPAT).
27. Budi : Budi pulang, Bu...
28. Ibu Niken : Eh anak lanang Ibu sudah pulang. Sini, cah
bagus, salim Ibu dulu....
29. Budi : Ya, Bu. Budi mau ke kamar, capek. (CUEK).
30. Ibu Niken : Tadi di sekolah kamu pasti banyak kegiat-
an, ya. Tapi sempat jajan, to? Apa uang
sakunya kurang?
31. Budi : Ya pas-pasanlah, Bu. Cuma cukup buat beli
bakso sama es teh segelas. Kalo gitu terus,
kapan Budi bisa jadi atlet, Bu? Kurang nu-
trisi...
32. Ibu : Iya iya, nanti Ibu cari uang tambahan buat
kamu. Sekarang kamu makan dulu. Tadi
Ibu beli opor ayam.
33. Budi : Ibu tahu aja Budi lagi pingin opor.
34. Ibu : Ssst, itu opornya Ibu sembunyikan di atas
lemari, biar enggak dimakan Niken. Anak
kayak dia enggak perlu dikasihani. Kerja
nggak becus, tukang membantah pula.

Adegan 4
BERLANGSUNG DI RUANG TENGAH. KETIKA IBU DAN
BUDI BERCAKAP, TIBA TIBA NIKEN MUNCUL.

35. Niken : Bu....


36. Ibu Niken : Hemmm apalagi..
37. Niken : Sebelumnya maaf, Bu. Ibu, kan, juga tahu
kalau Niken ketua OSIS di sekolah dan

Antologi Naskah Drama 43


Niken nggak punya baju pramuka, Bu.
Niken mohon, ya, Bu, tolong dibuatin baju
karena.... (KALIMATNYA TERHENTI KA-
RENA BUDI, KAKAKNYA, MUNCUL).
38. Budi : O iya, Budi jadi ingat, Bu. Tadi klub basket
Budi mau mengadakan pertandingan. Kita
harus buat jersey baru.
39. Ibu Niken : Nanti jersey-nya mau Ibu buatin atau kamu
pesen sama klubmu?
40. Budi : Beli di klublah, Bu!
41. Ibu Niken : Ya, nanti Ibu carikan uang.
42. Niken : Bu, seragam pramuka Niken?
43. Ibu Niken : Kamu jadi anak enggak tahu diri banget,
kakakmu lagi butuh jersey buat pertan-
dingan. Kamu, kok, malah minta seragam
pramuka. Dah, enggak ada pramuka-pra-
mukaan. Kalo mau seragam pramuka, min-
jem tetangga aja.
44. Niken : Tapi, Bu, Niken malu terus-terusan minjem
tetangga, sedangkan Ibu, kan, penjahit.
45. Ibu Niken : Udah berani menjawab kamu sekarang.
Anak tidak tahu diri. Sana selesaikan tugas-
mu. (MARAH).
46. Niken : Ya, Bu.... (SEDIH).

MENGALUN MUSIK SEDIH. LAMPU BERANGSUR-


ANGSUR MEREDUP.

Adegan 5
NIKEN PULANG SEKOLAH, MUNCUL DARI KIRI
PANGGUNG. IA LANGSUNG MENUJU RUANG TENGAH.
IBU SEDANG MENJAHIT. CAHAYA LAMPU TERANG.

47. Niken : Bu, Niken diterima di UGM tanpa tes....


48. Ibu Niken : Hemm....Ibu tidak punya uang. Kalau kamu
mau kuliah, bayar sendiri.

44 Sarapan Terakhir
49. Niken : Kuliah Niken gratis, Bu. Niken masuk
tanpa tes. Tapi....
50. Ibu Niken : Kapan berangkat ke Jogja?
51. Niken : Lusa, Bu. Tapi... justru itu masalahnya, Bu.
Niken butuh biaya untuk berangkat ke Jogja
dan bertahan hidup di bulan pertama. Nanti
kalau sudah sebulan di Jogja, Niken pasti
bisa cari kerjaan. (MEMOHON).
52. Ibu Niken : Kamu lama-lama kayak Bapak kamu, ya.
Banyak omong. Terserah! Ibu tidak mau
tahu! Kan, Ibu tidak nyuruh kamu kuliah!
Jadi kamu tanggung sendiri akibatnya!
(SINIS).
53. Niken : Ya, Bu. Niken akan berusaha sendiri....

Adegan 6
NIKEN PERGI KE RUMAH GURUNYA, PAK ARIF.
SEPANJANG JALAN IA BERBICARA SENDIRI. LAMPU
REDUP MENANDAKAN CUACA MENDUNG. MENGALUN
MUSIK HALUS MENGIRINGI KESEDIHAN NIKEN.

54. Niken : Kenapa, ya, keinginan Niken selalu ditampik


oleh Ibu? Apa karena Niken anak paling
hitam di rumah? Apa karena Niken mirip
Bapak? Tapi kalau mirip apa salahnya? Toh,
Niken anak sah mereka… Kenapa Tuhan…
Kenapa? Apa.. Karena Ibu dendam kepada
Bapak? Sebentar, sebentar, Ibu dan Bapak
bercerai tahun 1995, aku lahir tahun 1995.
Jangan-jangan perceraian itu yang membuat
Ibu benci kepada Bapak. Dan jangan-jangan,
kebencian itu dilimpahkan pula kepadaku
yang lahir di tahun yang sama dengan per-
ceraian mereka. Argghhh... Kenapa aku la-
hir pada waktu yang tidak tepat? Kenapa?
Argghh... (MENANGIS).
Antologi Naskah Drama 45
Adegan 7
NIKEN SAMPAI DI DEPAN RUMAH PAK ARIF. PINTU
DIBUAT MENGHADAP KE KIRI PANGGUNG. DI BALIK PIN-
TU ADALAH RUANG TAMU. POSISINYA BERADA TEPAT
DI TENGAH PANGGUNG. TERDAPAT SEPERANGKAT
SOFA DAN MEJA. PAK ARIF MUNCUL DARI DALAM.

55. Niken : (MENGETUK PINTU) Assalamualaikum


.... Pak Arif....
56. Pak Arif : Waalaikumsalam....sebentar....Eh, Niken,
masuk, Nak....
57. Niken : Suwun, Pak, maaf saya mengganggu jam
istirahat Bapak.
58. Pak Arif : Oh tidak apa-apa. Ada yang bisa Bapak
bantu?
59. Niken : Iya, Pak. Saya butuh sekali bantuan Bapak.
60. Pak Arif : Bantuan apa? Apa soal ibumu lagi?
61. Niken : Ya, sebetulnya masih terkait dengan itu,
Pak.... Jadi, Bapak kan tahu Niken diterima
di UGM..
62. Pak Arif : Iya, lalu?
63. Niken : Lusa saya harus berangkat ke Jogja, Pak.
Ada jadwal verifikasi data diri. Tapi, Niken
sama sekali tidak punya uang untuk ke sana.
Kalau Bapak tidak berkeberatan, Niken mau
pinjam uang 300 ribu untuk biaya kereta
dan makan pada bulan pertama. Bulan se-
lanjutnya, Niken akan mencari pekerjaan
supaya bisa tetap hidup.
64. Pak Arif : Bapak akan minjami kamu duit, tapi dengan
satu syarat....
65. Niken : Apa itu, Pak?
66. Pak Arif : Kamu harus kuliah dengan sungguh-sung-
guh.
67. Niken : Siap, Pak!

46 Sarapan Terakhir
Adegan 8
NIKEN BERANGKAT KE JOGJA. IA BERADA DALAM
KERETA. NIKEN DUDUK DEKAT JENDELA. POSISI KERETA
BERADA DI TENGAH BAWAH PANGGUNG. HANYA ADA
SATU GERBONG KERETA. TERDENGAR BUNYI TANDA
KERETA API SIAP BERANGKAT. DISUSUL SUARA KERETA
API KETIKA BERJALAN. NIKEN LARUT DALAM KEPEDIH-
ANNYA.

68. Niken : Tidak peduli betapa bencinya Ibu kepadaku,


aku harus tetap sayang kepada Ibu. Bagai-
manapun dia tetap ibuku. Perempuan itu telah
melahirkanku. Tidak peduli apa katanya ten-
tang aku, aku harus tetap semangat. Aku harus
jadi orang sukses. Aku harus sukses. Aku harus
membuat Ibu melihatku sukses, harus. Dan aku
tidak akan melakukan hal yang sama pada anak-
anakku. Kelak, anak-anakku harus mendapat
kasih sayang yang cukup. (MENANGIS).

Adegan 9
NIKEN MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KRIS.
MEREKA PULANG KE KAMPUNG HALAMAN NIKEN
UNTUK PROSESI LAMARAN. ADEGAN BERLANGSUNG DI
RUANG TAMU. ADA SATU SET SOFA. SOFA PANJANG DI-
PAKAI DUDUK KRIS DAN NIKEN. DAN DUA SOFA PENDEK
DIPAKAI IBU DAN AYAH NIKEN.

69. Kris : Pak, Bu, perkenalkan saya Kris. Saya da-


tang ke sini untuk melamar Niken, anak
Bapak dan Ibu.
70. Ayah Niken : Melamar? Apa yang bisa membuat kami
percaya kamu laki-laki yang cocok untuk
Niken?

Antologi Naskah Drama 47


71. Kris : Saya rajin beribadah, giat bekerja, dan be-
tul-betul menyayangi anak Bapak.
72. Ibu Niken : Memangnya kamu kerja dimana? Gajimu
berapa? Kalau kamu mau menikahi Niken,
berarti kamu siap membiayai Niken dan
rutin mengirim uang kepada kami.
73. Kris : Kalau untuk itu, saya siap, Bu.
74. Ayah Niken : Kenapa kamu memakai kalung?
75. Kris : Saya tidak menganut kepercayaan yang
sama dengan Niken, Pak. Tapi saya menya-
yangi Niken.
76. Ayah Niken : Kurangajar kamu, berani-beraninya me-
lamar anak saya. Tidak! Pokoknya tidak!
Saya tidak akan mengizinkan Niken me-
nikah dengan kamu. Pergi kamu, pergi!
(MARAH).

GUNTUR MENGGELEGAR, MENANDAI KEMARAHAN


AYAH NIKEN.

77. Ibu Niken : Anak tidak tahu diuntung kamu, Ken! Ngo-
mongnya ke Jogja mau kuliah, malah pacar-
an sama orang beda agama. Anak sial kamu,
Ken. Ibu malu.... Malu punya anak seperti
kamu!
78. Niken : Niken kuliah, Bu.... Niken tidak pernah
melakukan hal-hal yang melenceng, Bu.
Jadi, Niken mohon restu Ibu....
79. Ayah Niken : Pergi, pergi! Bapak tidak mau lihat wajah
Kris lagi. Pergi! Jangan permalukan keluar-
ga ini hanya karena kamu memilih me-
nikah dengan Kris!
80. Kris : Bapak, saya mohon, berikan kami restu.
(TENANG).

48 Sarapan Terakhir
81. Ayah Niken : Sekali tidak tetap tidak. Pergi!
82. Ibu Niken : Anak tidak tahu diuntung, memalukan!
83. Ayah Niken : Sudah, Bu, sudah. Biarkan saja mereka per-
gi.
84. Kris : Permisi (MENGGANDENG NIKEN).

Adegan 10
NIKEN MENIKAH DENGAN KRIS, MEMILIKI 2 ORANG
ANAK. ANAK SULUNGNYA (BARA), LAKI-LAKI BERUSIA
3 TAHUN, ANAK BUNGSUNYA (SASA) MASIH 6 BULAN.
NIKEN TENGAH MEMBOBOKKAN ANAK BUNGSUNNYA
DI RUANG TAMU. TERDAPAT SATU SET SOFA. ANAK
SULUNG NIKEN DUDUK TEPAT DI SAMPING NIKEN.
MENGALUN MUSIK NINABOBO. LAMPU TIDAK TERLALU
TERANG.

85. Niken : (MENEPUK-NUPUK PAHA ANAKNYA)


Anak mama cantik sekali.. Yang satu juga
ganteng.(MENGGENDONG ANAKNYA).
86. Bara : Ma, kalau besar nanti Bara mau jadi pem-
balap, boleh tidak?
87. Niken : Boleh dong, sayang. Tapi, sekarang Bara
harus rajin belajar, biar pintar. Di TK, Bara
juga harus nurut sama Bu Guru. Oke?
(TERSENYUM).
88. Bara : Oke, Ma, Bara janji akan rajin belajar.
89. Niken : Sip! Itu baru anak Mama. Tos dulu dong....
90. Bara : Toss...

Adegan 11
DI RUANG MAKAN, SEBUAH MEJA DAN 3 BUAH
KURSI. TERSEDIA BEBERAPA PIRING DAN GELAS DITUTUP
TAPLAK MEJA. NIKEN MENGELAP MEJA. TIBA-TIBA BARA
DATANG.

Antologi Naskah Drama 49


91. Bara : Hari ini masak apa, Ma?
92. Niken : Eh, udah pulang, Nak. Gimana sekolahmu?
Hari ini Mama masak telur dadar
93. Bara : Alhamdulilah Ma, Bara terpilih jadi Ketua
OSIS di sekolah. Bulan depan Bara berang-
kat ke Jakarta mewakili sekolah. Tadi juga
Dik Sasa bilang kalau dia ditunjuk ikut lom-
ba paduan suara. Tapi, Ma. Mengapa mulut
Mama ditutupi tangan? Mama sakit?
94. Niken : Alhamdulillah, itu baru anak Mama. Tapi
inget, ya, Bara tidak boleh sombong. Harus
tetap rendah hati. Ini tadi Mama cuma habis
bersin.
95. Bara : Oke deh, Ma. Oh, kirain Mama kenapa.
Bara makan ya, Ma?
96. Niken : Iya, makan yang banyak, Nak, biar kamu
sehat.
97. Bara : Ma, kok telurnya asin? Ah, Mama. Masa
kita disuruh makan telur dadar asin.
98. Niken : Keasinan dikit, ya? Waduh. Ya sudah, di-
tambah saja nasinya, Nak, biar asinnya tidak
terasa. Percaya sama Mama....
99. Bara : Ah Mama...

Adegan 12
DI LAIN HARI, NIKEN MEMASAK TELUR DADAR
DENGAN RASA YANG SAMA. ASIN. BARA DAN SASA
PENASARAN SEKALIGUS KESAL. SET DI RUANG MAKAN.
LETAKNYA DI TENGAH BAWAH. ADA TIGA KURSI
DENGAN SATU MEJA.

100. Bara : Ma, kami perhatikan, Mama kalo masak


sekarang keasinan terus. Ada apa sih, Ma?
101. Sasa : Mama tidak mau, ya, kita makan enak?

50 Sarapan Terakhir
102. Bara : Masa tiap hari kita makannya telur dadar
asin terus.
103. Niken : Bukan Mama tidak mau kalian makan enak,
Nak. (BATUK).
104. Sasa : Ma, Mama kenapa? Maa? Mama! (PANIK).
105. Bara : Ma, Mama... Mama kenapa ini, Sa?
106. Sasa : Itu di hidung Mama ada darahnya, bagai-
mana, Mas? Sasa takut Mama kenapa-napa.
107. Bara : Sebentar, Mas hubungi Om Bowo. Kamu
tenang. Nanti Mama kita bawa ke rumah
sakit.
108. Sasa : Iya, iya, cepet, Mas! (KIAN PANIK).
109. Bara : Halo, halo, Om Bowo.... Mama pingsan
Om. Tolong Om cepat ke sini.
110. Sasa : Bagaimana, Om Bowo bisa ke sini?
111. Bara : Bisa. Kita tunggu saja, Dik!

Adegan 13
OM BOWO DATANG MENGENDARAI MOBIL. LAMPU
MENYOROT GERAKAN MOBIL MULAI DARI TEPI PANG-
GUNG. MOBIL MASUK DARI KIRI. LALU BERHENTI DI
TENGAH BAWAH PANGGUNG.

112. Sasa : Om, ayo cepat ke sini, kita angkat Mama


ke mobil!
113. Om Bowo : Ya, ayo! Sasa pegang bagian kaki, Bara pe-
gang bagian kepala, Om angkat bagian
punggung.
114. Bara : Ya, Om!
115. Om Bowo : Ok, Om yang kasih aba-aba. Satu...dua...
angkat!
116. Bara : Belok, Om. Agak turun dikit, ini susah.
Nanti kejepit di pintu mobil.
117. Om Bowo : Ya, pelan-pelan!

Antologi Naskah Drama 51


Adegan 14
NIKEN TERBARING DI RUANG ICU RUMAH SAKIT.
SEBUAH DIPAN RUMAH SAKIT DI TENGAH BAWAH
PANGGUNG. LAMPU MENYOROT KE DIPAN TEMPAT
NIKEN BERBARING. DI SAMPING DIPAN ADA SEBUAH
KURSI DAN TABUNG OKSIGEN. TERDENGAR BUNYI
DETAK JANTUNG YANG SEMAKIN MEREDUP DAN
HILANG KETIKA BARA DATANG.

118. Bara : Om...Bara datang....


119. Sasa : Sasa datang, Om. Gimana, Mama sudah
sadar?
120. Om Bowo : (BERGEMING) Kalian harus kuat.
121. Sasa : Om, ngomong apa, sih? (BINGUNG).
122. Bara : Maksud Om apa?
123. Om Bowo : Mama kalian menghembuskan napas ter-
akhir tepat 5 menit sebelum kalian datang.
124. Sasa : Om pasti bercanda.... (MENANGIS).
125. Om Bowo : Tidak, Om serius. Kalian bisa lihat sendiri.
126. Bara : Ma....Mama bangun, Ma...Ma...Ini Bara,
Ma... Bara sama Sasa sayang Mama..
Ma...Ma...Ma, bangun...(MENANGIS,
MENGGOYANGKAN TUBUH NIKEN).
127. Sasa : Maa...Sasa sayang Mama, kenapa Mama
ninggalin Sasa. Sasa sayang Mama.
128. Bara : Mama enggak boleh meninggal, Mama
harus bangun lagi....
129. Om Bowo : Tadi, Mama kalian menitipkan surat untuk
kalian berdua. Ini, bacalah....
130. Bara : (MEMBACA) Untuk anak-anakku tercinta,
Bara dan Sasa. Maafkan Mama yang harus pergi
meninggalkan kalian, Nak. Sengaja Mama tulis
surat ini sejak lama, lalu Mama titipkan Om
Bowo. Mama sudah merasa bahwa hidup Mama

52 Sarapan Terakhir
tidak lama lagi. Maafkan karena Mama tidak
pernah bercerita kepada kalian kalau Mama
mengidap kanker rahim stadium akhir. Mama
tidak mau memberatkan kalian. Mama juga tidak
ingin berobat karena Mama tahu kita tidak punya
cukup uang. Maafkan Mama karena tidak bisa
memberi makanan yang layak untuk kalian.
Mama sengaja membuatkan kalian makanan
yang asin, agar untuk memakannya kalian harus
menambah banyak nasi. Itu Mama lakukan agar
kita menghemat lauk, Nak. Maafkan Mama,
sekali lagi maafkan Mama. Mama belum bisa
jadi Mama yang baik untuk Bara dan Sasa.
Kalian jangan sedih, Mama akan selalu di dekat
kalian. Jaga adikmu ya, Bara. Love, Mama.
(MENANGIS).
131. Sasa : Mama...!

LAMPU PERLAHAN MEREDUP. MENGALUN MUSIK


SENDU MENYERTAI TANGIS BARA DAN SASA. LAYAR
DITUTUP. LAMPU PADAM.

-SELESAI-

Joana Maria Zettira Da Costa. Lahir di Yogyakarta


pada 13 Juni 1998. Sekolah di SMA Negeri 1
Banguntapan. Alamat rumah di Wiyoro Kidul, RT
06, Baturetno, Banguntapan, Bantul. Nomor HP
085726571945.

Antologi Naskah Drama 53


TIKUS
Avesina Wisda Burhana
Universitas Negeri Yogyakarta

Pelaku :
Pujo, laki-laki, usia 30-an tahun.
Wakidi, laki-laki, usia 20-an tahun akhir.
Mbah Rono, laki-laki, usia 70-an tahun.
Yu Sarni, perempuan, usia 30-an tahun.
Harto, laki-laki, usia 40-an tahun.
Pak Madi, laki-laki, usia 50-an tahun.
Para petani, bisa laki-laki atau perempuan, usia 30—50-an tahun
berjumlah 10 orang.

Babak 1
LAMPU PERLAHAN MENYALA HINGGA TERANG.
SIANG HARI DI KEDAI ANGKRINGAN ADA BEBERAPA
ORANG YANG SEDANG BERBINCANG-BINCANG.

1. Pujo : Lah, masak, to, Mbah?


2. Mbah Rono : (MENGAMBIL GELAS BERISI TEH
PANAS KEMUDIAN MEMINUM PER-
LAHAN-LAHAN) Masih tidak percaya, to.
(MENGELUARKAN KRESEK HITAM
DARI KANTONG CELANA CONG-
KRANG, LALU DARI DALAM KRESEK
DIKELUARKAN TEMBAKAU, CENG-
KIH, KEMENYAN MADU, BESERTA

54 Sarapan Terakhir
KERTAS ROKOK) Tingwe, tingwe, linting
dewe. Walau harga rokok lima puluh ribu,
Mbah Rono tetap linting dewe.
3. Yu Sarni : Belum, Mbah, belum naik. Lah, aku harus
jual berapa, kalau sebungkus saja lima puluh
ribu? Lah, wong orang saja pada ngecer,
Mbah. Isu itu, isu! (MENOLEH KE ARAH
PUJO) Jo, Pujo, kamu mau minum atau
cuma mau nunut ngeyup di sini?
4. Pujo : Oh, es teh anget, Yu.
5. Yu Sarni : (MEMBERSIHKAN GELAS DAN ME-
MASUKKAN GULA PASIR DUA SENDOK
MAKAN KE DALAM GELAS) Eh, eh,
sebentar, woo gemblung!
6. Pujo : Es teh saja, Yu. Anget-nya nanti malam saja
(TERKEKEH).
7. Yu Sarni : Heh, kurang ajar! Pokoknya nanti utang-
utangmu harus dilunasi, awas kalau tidak,
enak saja tiap ke sini cuma bon!
8. Pujo : Siap! (KEPADA MBAH RONO) Bukannya
tidak percaya, Mbah. Tapi masak ya iya
kalau hanya dalam beberapa menit, satu
petak sawah penuh padi kuning bisa ludes
gara-gara tikus, Mbah? Lah, wong kalau
pada ngani-ani saja itu butuh waktu berjam-
jam lebih, kan? Dan itu tidak orang sedikit
juga, loh.
9. Mbah Rono : (HANYA DIAM, LALU MENYULUT RO-
KOK LINTINGAN, MENGISAP DALAM-
DALAM DAN MENGEPULKAN HING-
GA KEDAI DIPENUHI ASAP).
10. Pujo : Lalu, dengan ratu tikus sebesar sapi itu
bagaimana, Mbah?

Antologi Naskah Drama 55


11. Mbah Rono : (MENGEPULKAN ROKOK, MENGAM-
BIL GELAS LALU MENYERUPUT TEH)
Wah, susah menjelaskannya. Begini, kamu
lihat gelas berisi es teh itu, to? Orang me-
lihat itu segar, tapi belum bisa merasakan
segarnya kalau belum minum es teh itu,
kan?
12. Pujo : Jadi, saya harus bagaimana, Mbah?
13. Mbah Rono : Cobalah melihat fenomena itu dengan mata
kepalamu sendiri, baru kamu bisa yakin.
Keyakinan kan berasal dari pengalaman
sendiri, to ya? Lah, benar, to? Meskipun sim-
bah ini cuma ngemeng, tapi, ya, sudah banyak
hal-hal seperti itu yang di luar dugaan su-
dah aku alami. Aslinya fenomena itu me-
mang sewajarnya terjadi, orang-orang saking
modernnya lupa kalau hidup itu di alam
dan berdampingan dengan alam, to. Dulu
di kampung ini merti desa selalu ada tiap
mau panen. Lah, kok, sekarang tiba-tiba
dihilangkan dan dianggap syirik segala.
14. Yu Sarni : (MEMOTONG) Jangan-jangan tikus-tikus
itu ada hubungannya dengan pesugihan,
ya, Mbah?
15. Mbah Rono : Wah saya tidak tahu kalau itu.
16. Pujo : Pesugihan bagaimana, to, Yu?
17. Yu Sarni : Tahu, kan, yang jualan bakso di pojokan itu?
(MENUNJUK KE ARAH UJUNG JALAN)
Kata orang-orang kan, dagingnya daging
tikus, to, ya.
18. Pujo : Ih, masak, to, Yu? Itu saja laris begitu, kok?
19. Yu Sarni : Makanya itu buat penglaris itu, je. Lihat saja
warungnya tidak pernah sepi, dan bahkan
yang beli rela antre lama hanya demi se-

56 Sarapan Terakhir
mangkok bakso. Bahkan meskipun warung
belum buka, ada saja yang sudah antre di
sana, kan? Ndak tahu saja kalau mereka
antre bakso tikus. Jangan-Jangan itu ada hu-
bungannya dengan tikus menyerang sawah
seperti yang diceritakan Mbah Rono itu.
20. Pujo : Bagaimana, Mbah? Apakah ada hubungan-
nya?
21. Mbah Rono : Lah, seperti yang sudah saya katakan tadi,
kan? Saya tidak tahu kalau itu. (MENGE-
PULKAN ASAP ROKOK, KEMUDIAN
MENJATUHKAN PUNTUNG ROKOK KE
TANAH KEMUDIAN MENGINJAKNYA)
Yu, sudah, Yu. Nasigentel sama gorengan
empat, berapa?
22. Yu Sarni : Empat ribu, Mbah. Loh, kok terburu-buru,
Mbah?
23. Mbah Rono : (MENGAMBIL UANG DARI DALAM TAS
KRESEK TEMPAT TEMBAKAU) Empat
ribu, ya? Pas, ya, Yu. (MEMBERESKAN PER-
ALATAN MELINTING, MEMASUKKAN
KE DALAM TAS KRESEK) Tidak terburu-
buru juga, Yu. Cuma ini, kan, sudah wak-
tunya rolasan, malah sudah kelewat banyak.
Ayo semuanya, assalamualaikum.
24. Pujo dan Yu Sarni : Waalaikumsalam, Mbah.

MBAH RONO KELUAR DARI ANGKRINGAN MENG-


HAMPIRI SEPEDA JENGKI. DILETAKANNYA CANGKUL DI
PUNDAK KIRINYA, KEMUDIAN MBAH RONO MENAIKI
SEPEDA JENGKI MENINGGALKAN KEDAI ANGKRINGAN.

25. Pujo : (BERBICARA SENDIRI) Keyakinan itu ha-


rus bisa dirasakan oleh diri sendiri, bukan
orang lain.

Antologi Naskah Drama 57


26. Yu Sarni : Omong apa, eh, kamu, Jo?
27. Pujo : (BERBICARA SENDIRI KEMBALI, TAPI
LEBIH KERAS) Keyakinan itu harus bisa
dirasakan oleh diri sendiri, bukan orang
lain. (BERDIRI DAN BERJALAN KELUAR
KEDAI ANGKRINGAN).
28. Yu Sarni : Eh, eh, Jo. Es tehnya!
29. Pujo : Keyakinan itu ... bon dulu, Yu!
30. Yu Sarni : (BERTERIAK DAN MENGGERUTU) Ku-
rang ajar! Nggak usah balik lagi kamu, Jo!

LAMPU PERLAHAN MEREDUP DAN MATI

Babak 2
LAMPU PERLAHAN MENYALA. MALAM HARI DI GAR-
DU RONDA BEBERAPA ORANG MENONTON TELEVISI.

31. Wakidi : (BERTERIAK-TERIAK) Ayo! Ayo! Gol ini,


mesti gol!
32. Harto : Jangan senang dulu, Di.
33. Wakidi : (BERBICARA LIRIH) Wo, bajigur!
34. Harto : Prittt, prittt, prittt. Selesai. Bayar, bayar,
ayo bayar. (TERKEKEH).
35. Wakidi : (MELILITKAN SARUNG KE PERUT DAN
DENGAN BERAT HATI MENGELUAR-
KAN DOMPET DARI SAKU CELANA
PENDEK) Keberuntunganmu, Kang!
36. Pujo : (BERBICARA SENDIRI, LIRIH) Keyakinan
itu harus bisa dirasakan sendiri, bukan
orang lain.

WAKIDI DAN HARTO TERTEGUN DENGAN TINGKAH


PUJO.

37. Wakidi : (BISIK-BISIK PADA HARTO) Kang, Kang,


Kang....

58 Sarapan Terakhir
38. Harto : (MENEPUK PUNDAK PUJO) Jo....
39. Pujo : Eh, iya Mas Harto. Bagaimana bolanya?
Menang, ya?
40. Wakidi : (MENYAHUT) Menang keberuntungan.
41. Harto : Kamu ada masalah apa, Dik Pujo? Dari tadi
kok diam saja, teman-teman pada nonton
bola, Dik Pujo cuma diam saja. Teman-
teman pada bercanda, Dik Pujo juga diam
saja. Ada apa sebenarnya?
42. Pujo : Tidak ada apa-apa kok, Mas.
43. Wakidi : Ciye, Kang Pujo galau, ciye.
44. Harto : Nah, agak benar kata Wakidi.
45. Pujo : Bukan, Mas, bukan. Cuma tadi siang saya
ngobrol dengan Mbah Rono di angkringan
Yu Sarni.
46. Wakidi : Wah, lah itu Kang Harto. Kang Pujo mung-
kin ketularan Mbah Rono, jadi suka mere-
nung. Mbah Rono, kan, kalau bicara berat-
berat, to? Kalau kata orang sok pisuh. Seben-
tar Kang, saya buatkan kopi biar tenang.
47. Harto : Hah? Pisuh? Filsuf, Di, filsuf!
48. Wakidi : Nah, itu maksudnya, Kang, he...he...he....
49. Harto : Wo, dasar Wakidi kurang satu sendok! (KE-
PADA PUJO) Memangnya apa yang di-
katakan Mbah Rono, Dik?
50. Wakidi : Eh, tapi apa sih pilsup itu, Kang? (SAMBIL
MENGADUK-ADUK GELAS).
51. Harto : (CEPAT MENOLEH KE WAKIDI) Mbuh!
Tanya saja sama Mbah Google!
52. Pujo : Mbah Rono cuma bercerita pengalaman
anehnya sewaktu malam-malam ngeleb sa-
wah, Mas.
53. Harto : Aneh bagaimana, Dik Pujo?

Antologi Naskah Drama 59


54. Pujo : Waktu itu Mbah Rono melihat tikus di
sawah.
55. Wakidi : (TERTAWA) Lihat tikus di sawah kok aneh
to, Kang. Wah, jangan-jangan kurang dua
sendok, nih. Nih, ngopi dulu, Kang! (ME-
NYODORKAN SEGELAS KOPI KEPADA
PUJO, MENGELUARKAN ROKOK DAN
KOREK API DARI SAKU JAKET, SIAP
MENYALAKAN).
56. Pujo : Bukan tikus biasa, tapi tikus gaib, Di!
57. Wakidi : Hah? Tikus gaib? (KAGET, TIDAK JADI
MENYALAKAN ROKOK)
58. Pujo : Entah dayangnya dari mana, ribuan bahkan
puluhan ribu tikus menyerang satu petak
sawah siap panen. Batang-batang padi
bahkan tidak bergerak sama sekali ketika
diserang kawanan tikus, tiba-tiba saja tiap
butir padi hilang begitu saja dari batang-
nya. Yang lebih menakutkan, ada tikus ber-
ukuran sapi yang mengawasi setiap per-
gerakan ribuan tikus saat beraksi. Kata Mbah
Rono, itu adalah ratu tikus dengan mata
menyala merah.
59. Wakidi : Eh, kok serem sih. Jadi tidak nyala, kan.
(BERUSAHA MENYALAKAN ROKOK
KEMBALI).
60. Harto : Jadi memang benar, to, kegagalan panen
padi di desa kita gara-gara tikus-tikus itu,
Dik?
61. Pujo : Maka dari itu Kang, saya belum bisa per-
caya jika belum melihat fenomena dengan
mata kepala sendiri. Kan aneh sekali, to,
cerita Mbah Rono tersebut?

60 Sarapan Terakhir
62. Wakidi : Iya, aneh, aneh sekali Mbah Pilsup itu,
Kang.
63. Harto : Iya, memang aneh sekali, jika benar apa
yang dilihat Mbah Rono itu benar, Dik.
64. Pujo : Kemudian Mbah Rono juga bilang kalau
keyakinan itu harus bisa dirasakan diri
sendiri, bukan orang lain, begitu....
65. Wakidi : (KEPADA PUJO) Lah, artinya apa itu, Kang?
66. Harto : Ah, itu agar Dik Pujo tidak serta merta per-
caya dengan omongan Mbah Rono. Alias
Dik Pujo harus membuktikan sendiri apa
yang dilihat Mbah Rono.
67. Pujo : Saya juga berpikiran seperti itu, Kang.
Untuk itu malam ini saya ingin membukti-
kan benar atau tidak omongan Mbah Rono.
68. Wakidi : Lah, caranya bagaimana, Kang?
69. Pujo : Malam ini saya mau membuktikan sendiri
omongan Mbah Rono dengan cara pergi ke
pematang sawah yang siap panen, berdiam
diri, dan mengamati segala hal yang terjadi
di sana. Kebetulan, kan, malam ini malam
Selasa Kliwon. Kata orang, ada sesuatu yang
berbeda dengan malam-malan tertentu,
termasuk malam Selasa Kliwon.
70. Harto : Woh, lah harus hati-hati loh, Dik.
71. Wakidi : Duh, kok serem to Kang. (MEMBENAR-
KAN IKATAN SARUNG) Rokok dulu,
Kang. (MENAWARKAN SEBUNGKUS
ROKOK KEPADA HARTO).
72. Pujo : Nah, tapi begini, Mas Harto, Wakidi, saya
membutuhkan bantuan kalian.
73. Harto : (SAMBIL MENYALAKAN ROKOK) Ban-
tuan bagaimana, Dik?

Antologi Naskah Drama 61


74. Pujo : Begini, nanti jika pun terjadi fenomena
seperti yang dikatakan Mbah Rono, meski-
pun saya melihat dengan mata kepala sen-
diri, tapi kiranya kurang jika tidak ada mata
dan kepala lain yang menjadi saksi. Salah-
salah saya nanti dikira ngomong ngawur
jika apa yang saya lihat tidak juga dilihat
orang lain. Untuk itu, saya minta kesediaan
Mas Harto atau Wakidi ikut bersama saya
malam ini.
75. Harto : (MENGEPULKAN ASAP ROKOK) Begini,
Dik. Bukannya saya tidak mau pergi ber-
sama Dik Pujo, tapi kan saya besok pagi
harus berangkat kerja ke kelurahan. Kalau
terlambat, bisa-bisa kena pisuh Pak Lurah,
Dik. Begini saja. Wakidi kan pengangguran,
otomatis tidak ada kewajiban buat bangun
pagi dan berangkat kerja,to? Sepertinya
Wakidi mau itu, Dik.
76. Wakidi : Loh, loh, loh....
77. Pujo : Bagaimana, Di? Kita berangkat sekarang.
Sebentar lagi tengah malam.
78. Wakidi : Loh, kok jadi begini.
79. Harto : Wah, Wakidi takut, tuh. Wakidi mau ngom-
pol di celana. (TERTAWA).
80. Wakidi : Kang Pujo, ayo kita berangkat sekarang!
81. Harto : Kalau begitu saya juga pamit, Dik Pujo.
Tolong jaga Wakidi. (KEPADA WAKIDI)
Dadah Wakidi, jangan ngompol, ya ...

HARTO BEDIRI, BERJALAN KELUAR GARDU RONDA


MENINGGALKAN WAKIDI DAN PUJO.

62 Sarapan Terakhir
82. Wakidi : Dasar orang tua! Dapat duit langsung ka-
bur! Cuh!
83. Pujo : Gimana, Di? Ayo berangkat....
84. Wakidi : Eh, beneran, to, Kang?
85. Pujo : Ya benerlah! Mau tak sampaikan ke orang
desa kalau Wakidi tidak berani nonton
tikus.
86. Wakidi : Heh? Yo. Yo, yo berangkat, Kang!

LAMPU PELAHAN MEREDUP, WAKIDI DAN PUJO


BERKEMAS-KEMAS DAN KELUAR DARI GARDU RONDA.
LAMPU MATI.

Babak 3
LAMPU PERLAHAN MENYALA. TENGAH MALAM. DI
PEMATANG SAWAH WAKIDI DAN PUJO DUDUK BERSILA
BERALASKAN TIKAR.

87. Wakidi : (MENGUAP DAN MENGUCEK MATA)


Yakin ini sawahnya, Kang? Kok, belum ada
apa-apa? Santap malam nyamuk adanya.
(KEDUA TELAPAK TANGAN DITEPUK-
TEPUK, MEMBURU NYAMUK).
88. Pujo : (MENGUAP) Tunggu saja, to, Di. Ini ngopi-
ngopi dulu, rokok dulu. (MENYODOR-
KAN GELAS).
89. Wakidi : (MENGAMBIL GELAS DAN MEMINUM)
Begini, Kang. Misalnya, ya, tapi cuma misal
ini, semoga saja tidak....
90. Pujo : Apa, to?
91. Wakidi : Misal nanti ada penampakan menyeramkan
seperti yang dikatakan Mbah Rono, bagai-
mana, Kang? Lah, apa daya Wakidi ini?

Antologi Naskah Drama 63


92. Pujo : Kamu masih ingat Kyai Karnawi?
93. Wakidi : Ingat Kang. Kenapa dengan Kyai Karnawi?
94. Pujo : Iya, coba ingat-ingat.
95. Wakidi : Lah, malah balik tanya. Kyai Karnawi me-
ninggal dua tahun lalu. Kyai Karnawi punya
Pondok Al-Munawaroh. Cucu Kyai Karna-
wi cantik dan seksi. Nah, kadang aku sering
membayangkan cucunya itu, loh, Kang.
Aduhai!
96. Pujo : Heh...heh....heh, ngawur! (MENYENTAK-
KAN TELUNJUK KE KENING WAKIDI)
Ingat petuah Kyai Karnawi dulu? Ingat
peniti?
97. Wakidi : Oh, iya. (MENGAMBIL PENITI YANG
TERPASANG DI JAKET) Ini, kan, petuah-
nya: Ketika ada gangguan gaib, segera am-
bil peniti dan tancapkan ke tanah, niscaya
para jin akan hilang. Begitu, kan, petuah
Kyai Karnawi dulu, Kang?
98. Pujo : Nah, itu tahu.
99. Wakidi : Tapi, Kang? Kok dari tadi belum ada apa-
apa, ya? Ini sawah yang benar, kan?
100. Pujo : Tunggu saja, to. Satu-satunya sawah yang
mau panen, ya, sawahnya Pak Madi ini, to?
Heh, Di! Dari tadi, kamu sudah tidur, seka-
rang gantian, giliran aku tidur. Nanti kalau
ada apa-apa segera bangunkan aku, Di.
(MENAIKKAN SARUNG HINGGA KE
KEPALA DAN MENCARI POSISI TIDUR).
101. Wakidi : Loh...loh...loh....
102. Pujo : Sudah, jangan protes. (TAK BERSUARA
LALU MENDENGKUR).

64 Sarapan Terakhir
103. Wakidi : Lah, cepet banget! (MENGHABISKAN
KOPI, LALU MENGELUARKAN ROKOK
DAN MENYULUTNYA) Wah, bosan juga
tidak ada hiburan. Jalan-jalan saja, siapa
tahu dapat pulung, hi...hi....
WAKIDI BERJALAN MENYUSURI PEMATANG SAWAH.

104. Wakidi : Wah, dingin juga.... Kalau saja punya istri


pasti bisa kelon adem-adem begini. Bukan-
nya kelayapan di tengah sawah. (MENG-
ISAP ROKOK DALAM-DALAM LALU
MENGHEMBUSKANNYA) Hah? Siapa di
sana? (BERTERIAK KEMUDIAN BER-
JALAN MENUJU TENGAH SAWAH)
Heh? Siapa? Mau mojok di semak-semak,
ya? (MENYIBAK-NYIBAK BATANG PADI)
Eh, Tikus! Tolong!

WAKIDI BERLARI KE ARAH PUJO, DI BELAKANGNYA


RIBUAN TIKUS MENGEJAR.

105. Wakidi : Kang, bangun, Kang! (BERTERIAK DAN


MENCARI-CARI SESUATU DI JAKET-
NYA) Kang, Bangun! Mana peniti? Bajigur!
Jatuh! Kang!

HAMPIR SAMPAI DI TEMPAT PUJO TIDUR, WAKIDI


BERHENTI BERLARI SETELAH DI DEPANNYA MELIHAT
TIKUS SEUKURAN SAPI MEMANDANG TAJAM KE
ARAHNYA.

106. Wakidi : Ratu Tikus! Ampun! Kang! Maaf Kang!

WAKIDI LARI BERBALIK ARAH. KELUAR DARI PEMA-


TANG PADI. BERLARI TERUS SAMBIL BERTERIAK-TERIAK.
LAMPU MATI.

Antologi Naskah Drama 65


Babak 4
LAMPU MENYALA PELAHAN. PAGI HARI, MATAHARI
MULAI MENYINGSING. PUJO BANGUN SETELAH MEN-
DENGAR SUARA LANGKAH KAKI MENDEKAT.

107. Pak Madi : Loh, Dik Pujo?


108. Pujo : (DUDUK BERSILA MENGUCEK MATA)
Loh, Pak Madi?
109. Pak Madi : (MELIHAT KE PEMATANG SAWAH
MILIKNYA KEMUDIAN BERTERIAK)
Kemana padi-padiku? (MENATAP TAJAM
KE ARAH PUJO) Apa yang kamu lakukan
dengan padi-padiku, he?

MENDENGAR PAK MADI BERTERIAK-TERIAK, PARA


PETANI MENDEKAT DAN BERGEROMBOL.

110. Petani 1 : (MENDEKATI PAK MADI) Pak Madi, ada


apa? Kok, pagi-pagi sudah berteriak-teriak?
111. Pak Madi : Ini, padi-padiku tiba-tiba hilang semua, dan
aku temukan Pujo bangun tidur! (BER-
TERIAK-TERIAK, SAMBIL MENUNJUK
PEMATANG SAWAH DAN PUJO).
112. Pujo : (KETAKUTAN) Bukan, Pak. Bukan saya,
sumpah bukan ulah saya! Ini pasti ulah
tikus-tikus gaib itu! Saya ada saksinya.
113. Pak Madi : Mana coba? Siapa saksinya?
114. Pujo : (MELIHAT SEKELILING DAN BERTE-
RIAK) Di, Wakidi, Di, Wakidi!
115. Petani 2 : (BISIK-BISIK PADA PETANI LAIN) Wah,
ini pasti nyari pesugihan lewat tikus gaib.
116. Petani 3 : (BERTERIAK) Wah, pesugihan tikus!

66 Sarapan Terakhir
TERIAKAN PETANI 3 DIIKUTI OLEH PETANI LAIN.
KEMUDIAN MEREKA MENGEPUNG PUJO. PUJO ME-
RONTA-RONTA LAMPU MEREDUP KEMUDIAN MATI.

-SELESAI-

Avesina Wisda Burhana. Lahir di Magelang pada


1 September 1992. Kuliah di Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Alamat rumah
di Perum Sidoarum, Blok B/III, Godean, Sleman.
Nomor HP 081329595721.

Antologi Naskah Drama 67


Tidak Ada Jalan Keluar Angkasa
bagi Mereka
Habiburrachman
Filsafat Agama-UIN Sunan Kalijaga
mencaritia3@gmail.com

Pelaku:
Marko, usia 26 tahun, provokator.
Suaeb, usia 25 tahun, pelit.
Muhammad, usia 17 tahun, labil.
Jamal, usia 27 tahun, reflektif.

PERISTIWA TERJADI SETELAH KEMATIAN FAHRUDDIN


DI RUMAH MILIK SUAEB. BANGUNAN BERUPA BEKAS
TOKO SERBA ADA. DITEMPATI SUAEB KARENA IA BE-
KERJA DI SANA SEBELUM TERJADI KEBAKARAN YANG
MERUSAK TOKO ITU. MALAM ITU, KETIKA PERISTIWA
TERJADI, RUMAH SUAEB SEPERTI KURUNGAN MENGERI-
KAN. RUANGAN BERBENTUK PERSEGI PANJANG. ADA
LEMARI DI POJOK KANAN DINDING, DI DEKATNYA TER-
DAPAT TIGA KURSI DAN SATU MEJA. TERLIHAT LELAKI
BERNAMA MARKO, KHUSUK BERDZIKIR SEMBARI ME-
NEMPELKAN PUNGGUNGNYA YANG TELANJANG KE
DINDING. SUARANYA TERDENGAR SANGAT KERAS,
SEPERTI ORANG MARAH SEDANG BERTERIAK.
DARI KANAN PANGGUNG, DARI KAMAR LAIN,
SUAEB MASUK RUANGAN, DAN DUDUK DI SAMPING
MARKO, DI SEBUAH KURSI PANJANG.

68 Sarapan Terakhir
1. Suaeb : Kau masih lapar? Aku punya duit.
2. Marko : (MARKO BERHENTI TIBA-TIBA) Berapa
duitmu? Kenapa tidak ngomong dari tadi
kalau punya duit? Kau mau lihat seseorang
kembali mati?
3. Suaeb : (SEMBARI MENGAMBIL DUIT DI DOM-
PETNYA) Tak salah ingat Allah saat lapar.
4. Marko : Cukup Fahruddin mati dengan cara itu di
antara kita!
5. Suaeb : Kenapa? Kau marah padaku?
6. Marko : Kau telah membuat aku melakukan hal
tolol seperti kakak tua.
7. Suaeb : Berdzikir itu?
8. Marko : Iya.
9. Suaeb : Mengingat Allah itu?
10. Marko : Iya.
11. Suaeb : Kau akan mudah masuk neraka, Marko, bila
terus begitu.
12. Marko : Kau pernah baca Alquran? Ingat ayat ini:
dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkan-
lah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat...?
13. Suaeb : Iya.
14. Marko : Dan ayat ini: dan apabila nama Allah disebut,
hati mereka bergetar...?
15. Suaeb : Tak perlu ajari aku, Marko. Aku hafal.
16. Marko : Aku juga. Tapi, andai aku jadi kau, mesti-
nya kau tanya kenapa aku menanyakan itu
kepadamu. Mau kau kuceritakan satu hal?
17. Suaeb : Cukup, Marko. Cukup. Aku tak mau men-
dengar omong kosongmu. Mendengarmu
hanya melapangkan jalan ke neraka, Marko.
18. Marko : (TERTAWA) Ada burung kakak tua hafal
Alquran. Kau tak bisa memungkiri itu. Bah-
wa di satu sisi aku ternyata sama dengan

Antologi Naskah Drama 69


burung kakak tua gara-gara percaya
omonganmu!
19. Suaeb : Kau pasti ditembak mati kalau Soeharto
masih mangap di zaman ini.
20. Marko : Hubungannya dengan Soeharto?
21. Suaeb : Tidak ada. Kecuali kakek itu benci kepada
orang-orang keras kepala macam kau.

(SUAEB MENINGGALKAN MARKO. KEMUDIAN TER-


DENGAR TERIAKAN ALLAHU AKBAR, DAN SUAEB MUN-
DUR WASPADA).

22. Suaeb : Hati-hati, Marko, anak ini mulai tidak wa-


ras. Hati-hati, Marko!
23. Muhammad : (MENODONGKAN SENJATA KE ARAH
MARKO) Kamu dengar bahwa kamu harus
hati-hati atau mau kulubangi tengkorakmu,
Bung? Hendak kabur ke mana, Bung? Se-
luruh gedung ini telah terkepung. Ber-
gerak, dan kamu mati. Angkat tangan! Mau
menyogok hanya dengan uang dua puluh
ribu? Kau pikir kami hanya butuh uang
segitu? (MUHAMMAD MENGAYUN PEN-
TUNGANNYA KE SEMBARANG ARAH).
Kamu berencana kabur? Diam di situ!
24. Marko : Ayolah jangan ganggu jalanku!
25. Suaeb : Marko!
26. Marko : Diam, Suaeb!
27. Muhammad : (KEPADA MARKO) Diam!
28. Marko : Ayolah, Muhammad. Bisa menghancurkan
kepalaku pentungan itu.
29. Muhammad : Muhammad? Kamu mau memperdayaiku
dengan panggilan Muhammad? Aku bukan
nabimu, Bung! Aku bukan Nabi Muhammad
yang punya rasa welas kepada orang-orang

70 Sarapan Terakhir
lemah sepertimu. Lagipula Nabi Muhammad
itu hanyalah sosok khayalan kepalamu,
diciptakan sendiri oleh orang-orang lemah
agar mereka senang karena merasa punya
penolong. Dia tidak pernah ada.
30. Suaeb : Marko, awas!
31. Muhammad : Kamu juga diam, brengsek! Kalian sungguh
makhluk tak berdaya. Itu bagus sekali. Da-
tang ke bumi, mau menguasainya. Tapi ba-
gaimanapun, kalian tetap makhluk lemah.
Sekarang aku beri kalian dua pilihan. Kem-
bali ke luar angkasa secara baik-baik atau
pulang dengan caraku? Kalau kalian mau
tahu, aku bukan Nabi Muhammad meski
namaku Muhammad. Apa artinya? Aku
kasihan kepada siapa pun, apalagi kepada
monster luar angkasa buruk rupa seperti
kalian.
32. Marko : Bajingan juga kau, memanggilku makhluk
luar angkasa.
33. Muhammad : Diam!
34. Marko : Suaeb, panggil Jamal!
35. Suaeb : Jamal! Urus adikmu ini!
36. Muhammad : Diam!
37. Suaeb : Kau dengar aku, Jamal? Jamal! (JAMAL
MUNCUL).
38. Jamal : Muhammad! (TENANG SEKETIKA).
39. Marko : Kurang ajar orang tuamu tidak memberi
dia nama lain. (MARKO KELUAR).
40. Jamal : Duduklah, Muhammad. (MUHAMMAD
DUDUK DI KURSI DEKAT LEMARI. JA-
MAL MENDEKATINYA). Kakak tahu, kau
sedang memikirkan Fahruddin. Namun,
bukan begitu caranya. Itu tidak sopan dan

Antologi Naskah Drama 71


mengganggu. Yang mati pun tak baik kau
pikirkan terus. Tak bisa tenang ia dikubur.
(KEPADA SUAEB) Sejak Fahruddin me-
ninggal dia berubah jadi begini, Suaeb.
Lihat dia, semakin buruk.
41. Suaeb : Aku tidak bisa omong banyak soal ini.
42. Jamal : Dirimu menyesal?
43. Suaeb : Jika harus menyesal, aku menyesal kenapa
aku setuju pada ajakan Fahruddin, Marko,
dan Fuad. Namun, yang mereka katakan
itu benar adanya.
44. Jamal : Lihatlah adikku. Dia jadi pendiam.
45. Suaeb : Dari tadi sudah banyak bicara.
46. Jamal : Kau harus bedakan mana yang benar-benar
bicara dan yang enggak.
47. Suaeb : Dia berteriak-teriak, Jamal. Bukan hanya
bicara.
48. Jamal : (KEPADA MUHAMMAD) Kamu tidak ber-
teriak-teriak, kan? Aku percaya bahwa kamu
tidak seperti itu.
49. Suaeb : Berhentilah membela adikmu.
50. Jamal : Semua orang membela Muhammad, lalu
kenapa aku tidak?
51. Suaeb : Berhentilah membela adikmu! (HENING).
52. Jamal : Kamu lapar, Muhammad? (KEPADA
SUAEB) Pinjamkan aku duit. Buat adikku.
Biar dia makan dulu.
53. Suaeb : Belikan aku rokok dua batang. (MUHAM-
MAD KELUAR).
54. Suaeb : Dia tidak dekat dengan Fahruddin. Bahkan
di antara kita yang akrab dengan Fahrud-
din hanya Marko. Jadi, aku sangsi dia jadi
seperti itu apakah memang lantaran ke-
matian Fahruddin.

72 Sarapan Terakhir
55. Jamal : Sebab apa?
56. Suaeb : Aku tidak tahu. Yang jelas bukan karena
dia dekat dengan Fahruddin.
57. Jamal : Tetapi karena kematian Fahruddin, Suaeb.
58. Suaeb : Tapi bukan karena memikirkan Fahruddin.
59. Jamal : Maksudmu?
60. Suaeb : Karena dia kehilangan pekerjaannya di
toko ini dan ia tidak tahu harus kerja apa.
Atau karena dia takut ada yang tahu kalau
kitalah yang membakar toko, kemudian
melapor ke polisi, dan dia dipenjara ber-
sama kita. Atau karena dia khawatir masa
depannya tidak jelas. Intinya bukan karena
dia memikirkan Fahruddin.
61. Jamal : Yakin kau?
62. Suaeb : Lalu apa yang membuatmu ragu? Demi
Allah, Jamal. Muhammad sama sekali tidak
memikirkan Fahruddin.
63. Jamal : Masalahnya, aku memikirkan Fahruddin....
64. Suaeb : Sehingga kau anggap orang lain juga me-
mikirkan Fahruddin? (TERTAWA) Maklum
pikiranmu begitu. Kau tidak membaca
Alquran. Perhatikanlah isi kitab itu. Allah
sudah bilang, kalau Dia mau tentu cukup
diciptakan satu umat. Hei Jamal, apa arti
satu kecuali itu berarti sebenarnya cukup satu
manusia saja? Dan bayangkan apa yang
terjadi jika isi dunia ini hanya satu? (TER-
TAWA) Baiklah, mungkin kau tidak akan
berpikir sejauh itu. Heh, intinya aku tidak
suka karena kau menganggap semua orang
akan memikirkan Fahruddin. Semua yang
di sini. Kau pegawai baru, kau tahu apa
tentang Fahruddin!

Antologi Naskah Drama 73


65. Jamal : Lalu karena kau lebih dulu ketimbang diri-
ku, kau merasa lebih tahu tentang dia? Ka-
sihan sekali dirimu. Pantas saja kau harus
selalu membawa Alquran kemana-mana.
66. Suaeb : Kau mau kuusir dari tempat ini?
67. Jamal : Picik kau.
68. Suaeb : Aku yang berkuasa di tempat ini, dan kau
telah bikin sakit hati penguasa tempat ini.
Ingat itu! (TERDENGAR DERAK PINTU
TERBUKA).
69. Jamal : Tidak ada orang di luar. Tiga malam ter-
akhir selalu begini.
70. Suaeb : Hei, ada orang kah di luar? (KEMBALI
DUDUK. AKAN TETAPI PINTU MEN-
DADAK TERBANTING KERAS).
71. Suaeb : Hei, siapa di luar? Jangan main-main! (KE-
PADA JAMAL) Sepertinya memang tidak
ada siapa-siapa.
72. Jamal : Aku khawatir Fahruddin bangkit dari ku-
bur.
73. Suaeb : Itu mustahil.
74. Jamal : Fahruddin karyawan paling cerdas di antara
kita. Jangan lupa itu. Pikirannya sangat
dalam.
75. Suaeb : Kuburan itu lebih dalam dari pikiran, kalau
kau ingin tahu! (TERDENGAR TERIAKAN
ALLAHU AKBAR, DISUSUL DOBRAK-
AN PINTU).
76. Jamal : Muhammad!
77. Muhammad : Ada yang mengejarku, Kak. Aku ngerasa
ada yang mengejarku. Aku tidak tahu siapa
dia. Dia berteriak-teriak Allahu Akbar.
78. Suaeb : Jadi, bukan kau yang main-main dengan
pintu?

74 Sarapan Terakhir
79. Muhammad : Aku tidak tahu, Bang. Habis makan, aku mau
beli rokok, tapi aku ngerasa dari belakang
ada yang terus menguntitku. Dan aku lari
ke sini. Aku takut itu makhluk luar angkasa.
Aku harus mengusir mereka dari bumi.
Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu
Akbar.
80. Jamal : Muhammad! (MUHAMMAD DIAM).
81. Suaeb : Sialan adikmu.

(LAMPU RUANGAN ITU PADAM TIBA-TIBA, LALU


MENYALA LAGI, DAN PADAM LAGI. MUHAMMAD BER-
TERIAK ALLAHU AKBAR).

82. Jamal : Muhammad!


83. Muhammad : Aku takut.
84. Suaeb : Tenang, Muhammad. PLN tidak punya
urusan dengan makhluk luar angkasa, dan
ini hanya problem PLN.
85. Muhammad : Di luar listrik tidak padam, Bang.
86. Jamal : Diam, Muhammad!
87. Suaeb : Dengarkan aku Muhammad. Ini yang harus
kita terima jika diperlakukan secara ber-
beda oleh PLN. Allah akan selalu melin-
dungi kita. Kau baca saja ayat kursi, mung-
kin akan membantu kita sedikit tenang.
88. Muhammad : Apa gunanya dilindungi Allah kalau PLN
tidak kasihan pada kita, Bang.
89. Suaeb : Kau masih terlalu polos untuk mengerti
urusan ini, Muhammad. Ayolah, jangan
nangis. Muhammad, diam!

(ANGIN BERTIUP KENCANG, SUARANYA DERAS, DAN


PINTU TERBANTING LAGI. LAMPU BERKEDIP-KEDIP,
KEMUDIAN MENYALA).
Antologi Naskah Drama 75
90. Jamal : Apa yang kau pikirkan?
91. Suaeb : Kenapa mereka juga belum pulang. Fuad
dari tadi siang. Marko, katanya, cuma mau
makan.
92. Jamal : Sebentar lagi mungkin pulang.
93. Suaeb : Aku tidak tahu apa mereka perlu tahu pe-
ristiwa ini. Atau mungkin mereka sudah
tahu, aku juga tidak tahu.
94. Jamal : Apa kau merasa ini ruang hampa, Suaeb?
95. Suaeb : Ruang hampa?
96. Jamal : Iya.
97. Suaeb : Dari mana kau dapat pikiran itu?
98. Jamal : Ketika tadi gelap dan sunyi, kemudian hanya
suara kita bertiga. Takut. Aku tidak ingin
membayangkan dunia ini hanya terisi oleh
kita bertiga. Sangat mengerikan.
99. Suaeb : Bawa adikmu ke sini, Mal. Aku kasihan
padanya.
100. Jamal : Kau tak jadi mengusirku, kan?
101. Suaeb : Lupakan itu.
102. Jamal : Aku tidak bisa. Jika kau mengusirku, aku
akan terlempar ke ruang hampa macam apa
lagi. Ini sudah cukup mengerikan buatku.
103. Suaeb : Tidaklah mudah menghadapi perubahan
ini. Bawa Muhammad ke sini dulu. (MAR-
KO DATANG).
104. Marko : Kalian sudah tahu kalau aku punya kabar
buruk? (MENYELIDIK CURIGA) Oi, kena-
pa kalian diam. Bilang saja kalau kalian
sudah tahu agar aku tidak perlu berpura-
pura begini.
105. Suaeb : Kami tidak tahu apa-apa, Marko.
106. Marko : Lalu kenapa diam? Rumah ini sudah ber-
hantu, he?

76 Sarapan Terakhir
(TIDAK ADA YANG MENJAWAB. AGAK LAMA KE-
HENINGAN MENCIPTA JEDA DI ANTARA MEREKA.
SAMAR-SAMAR TERIAKAN KEBAKARAN MENYUSUP KE
RUANGAN ITU. MUHAMMAD BERTERIAK KEBAKARAN
SAMBIL LARI KE KAMAR MANDI, KEMUDIAN MASUK
LAGI KE RUANGAN MENGGUYUR TEMBOK DENGAN AIR.
MUHAMMAD KEMBALI EMPAT KALI SAMPAI JAMAL
MEMBENTAK MUHAMMMAD YANG TERUS BERTERIAK
KEBAKARAN).

107. Jamal : Muhammad!


108. Muhammad : Kak, di dalam ada Fahruddin, dia bisa mati
kalau toko ini terbakar.
109. Jamal : Kita sudah terlambat. Fahruddin telah me-
ninggal.
110. Muhammad : Kita masih bisa menyelamatkannya, Kak!
111. Marko : Diam kau, Muhammad, atau mau kukirim
kau ke penjara?
112. Marko : Kenapa tidak ada yang menjawab perta-
nyaanku? Rumah ini benar sudah berhantu,
heh?
113. Suaeb : Tidak terjadi apa-apa di sini.
114. Marko : Aku tidak percaya omonganmu.
115. Suaeb : Benar, Marko. Ini hanya karena Muham-
mad sulit ditenangkan saja. Demi Allah.
116. Marko : Aku tidak tahu harus menyampaikan berita
ini atau tidak kepada kalian. Namun, aku
sudah terlanjur bilang bahwa aku mem-
bawa berita buruk. Kawan-kawan, Fuad
telah ditangkap polisi.
117. Suaeb : Aku tidak salah dengar?
118. Marko : Tadi pun aku berharap salah dengar.
119. Suaeb : Ini semua gara-gara Fahruddin dan kau,
Marko! Apa arti bebas? Bebas, hampa. Itu

Antologi Naskah Drama 77


kan maksudmu? Ternyata aku salah besar
percaya pada orang-orang yang tidak baca
Alquran.
120. Marko : Kau menyesal, Suaeb? Kau Jamal, kau
Muhammad?
121. Jamal : Adikku jadi begini. Aku hanya ingin me-
nemukan kata lain selain menyesal.
122. Suaeb : Lebih dari sekadar menyesal, kau telah
membuat kami tolol, Marko!
123. Marko : Membakar toko ini?
124. Suaeb : Iya. Apalagi kalau bukan tolol. Aku bisa
mengembangkan toko ini sesuai kehen-
dakku. Tapi kau bilang, nasibku tidak akan
berubah jika masih bekerja pada orang lain
meskipun aku hidup nyaman. Karena aku
tidak bebas, itu alasanmu. Aku tidak bisa
menentukan jam kerjaku sendiri, aku masih
diatur oleh Pak Heri. Demi Allah, ketika
kau bilang, kita bisa bebas, bisa menentukan
hidup kita tanpa harus tunduk pada orang
lain, aku setuju karena aku benar-benar ca-
pek bekerja. Dan nyatanya apa yang ku-
dapatkan setelah membakar toko ini?
Kehampaan, Marko! Aku berada di ruang
kosong. Mengambang. Ini yang kau sebut
menjadi bebas? Menyakitkan sekali ke-
bebasan yang ingin kau tunjukkan kepada
teman-temanmu. Kenapa kita tidak mogok
kerja saja waktu itu?
125. Marko : Pak Heri akan dengan cepat mengganti
dengan pegawai lain. Di belakang kita
ratusan orang antre mau kerja. Dan mogok
kerja tidak akan mengubah apa-apa.

78 Sarapan Terakhir
126. Suaeb : Tapi membakar toko kau anggap juga bisa
mengubah nasib kita?
127. Marko : Persetan dengan kata nasib itu. Kutendang
mulutmu. Aku tidak senang kalau kau bi-
cara nasib. Kau kira ini nasib? Tunggu aku
mati, baru bilang beginilah nasib. Selama
aku masih hidup, sekali-kali jangan kau
bilang nasibku begini. Tidak ada nasib
dalam perkara ini, Suaeb. Baca lagi Alquran,
apa kau menemukan kata nasib di sana,
heh?
128. Jamal : Apa kalau bukan nasib? Fahruddin me-
ninggal. Kalau tidak menyalahkan nasib,
kita harus menyalahkan siapa?
129. Marko : Maksudmu aku yang salah dengan ke-
matian Fahruddin?
130. Jamal : Aku tidak bilang begitu. Kita tidak tahu
Fahruddin masih tidur di kamar saat kita
berlima membakar toko. Itu pun ide mem-
bakar toko usul Fahruddin. Sebagai se-
orang teman, kenapa kau menjanjikan se-
suatu yang tidak konkret justru ketika kon-
disi kita sedang melarat begini?
131. Marko : Lebih baik jadi gelandangan seperti ini dari
pada bekerja pada Pak Heri.
132. Suaeb : Meski kau harus berdzikir demi menahan
lapar?
133. Marko : Tutup mulutmu, Suaeb.

(PINTU TERBANTING KERAS. ANGIN BEREMBUS


KENCANG, MEMPERDENGARKAN SUARA-SUARA YANG
MENAKUTKAN. GEMPA, GEDUNG ITU TERGUNCANG).

Antologi Naskah Drama 79


134. Suaeb : Jangan diam, ayo tahan tembok ini! kita
tidak punya tempat tinggal kalau gedung
ini ambruk.
135. Muhammad : Allahu Akbar. Allahu Akbar.
136. Jamal : Marko, panggil bantuan. Kita bisa mati di
sini.
137. Marko : Tidak akan ada yang mau menolong kita,
Mal.
138. Jamal : Jangan putus asa, Marko.
139. Marko : Kau pikir ada yang mau menolong pen-
jahat?
140. Jamal : Aku tidak kuat.
141. Marko : Aku juga.

(DINDING AMBRUK. SUAEB TERTIMPA RUNTUHAN


DINDING, TIDAK BISA BERGERAK, MATI).

142. Jamal : Apa yang harus kita lakukan?


143. Marko : Tunggu gempa reda.
144. Jamal : Ini bukan gempa, Marko! Ini kutukan!
145. Marko : Tunggu kutukan reda.
146. Muhammad : Kita harus pergi ke luar angkasa. (MENG-
AMBIL TANGGA DAN MELUBANGI
ASBES) Kita tidak bisa tinggal diam jika
diserang terus-menerus seperti ini.
147. Marko : Apa yang kau lakukan, Muhammad?
148. Muhammad : Aku mau pergi ke luar angkasa.
149. Marko : Tidak ada jalan ke luar angkasa, Muhammad.
150. Muhammad : Aku tidak bisa hanya diam di hadapan
kenyataan ini.
151. Marko : Bukan berarti kau harus pergi ke luar ang-
kasa!

80 Sarapan Terakhir
152. Muhammad : Aku butuh dunia lain, Bang. Aku butuh
dunia lain, di mana saja asal jangan dunia
ini.
153. Marko : Aku tidak yakin adakah dunia lain yang
mungkin untuk orang-orang macam kita.
Tetapi.... (PONSEL BERDERING).
154. Jamal : Pak Heri.
155. Marko : Angkat dan keraskan.
156. Suara Telepon : Suaeb?
157. Jamal : Iya, saya, Pak.
158. Suara Telepon : Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku be-
lum bisa ke situ, kau urus dulu, biaya aku
tanggung.
159. Jamal : Saya baik-baik saja, Pak. Tapi Fahruddin
meninggal, terjebak di dalam toko.
160. Suara Telepon : Aku sudah tahu dua hari yang lalu.
161. Jamal : Iya, Pak.
162. Suara Telepon : Kalau kamu mau, urus toko itu sampai
seperti sediakala. Kalau tidak, kamu bisa
kupindahkan ke tokoku yang lain.
163. Jamal : Kawan-kawan yang lain, Pak?
164. Suara Telepon : Terserah mereka. Itu urusan mereka. Aku
menawarkan ini hanya padamu. Kalau
kamu mau, itu lebih baik dari pada kamu
nganggur.
165. Jamal : Bagaimana, ya, Pak.
166. Suara Telepon : Aku mengerti. Kalian sering bersama-sama,
bahkan sudah seperti saudara. Tetapi,
ingat, meski kalian sering tidur bareng atau
apa pun, kalian akan tetap mati sendiri-
sendiri. Maksudku, hidup kalian diurus
masing-masing. Untuk apa kamu mengurus

Antologi Naskah Drama 81


hidup mereka. Aku memberi tawaran ini,
karena kamu karyawanku yang paling
lama. Bukan berarti aku tidak suka mereka.
Ini wujud balas budiku padamu, Suaeb.
167. Jamal : Iya, Pak. Nanti saya pikirkan dulu. Saya
juga lagi pingin pulang kampung, Pak.
168. Suara Telepon : Tumben benar kamu bilang ingin pulang
kampung.
169. Jamal : Ibu saya sakit-sakitan.
170. Suara Telepon : Ibumu? Bukannya ibumu sudah bertahun-
tahun yang lalu meninggal? Hei, ini siapa,
ini pasti bukan Suaeb. Hei, kepara...

(HUBUNGAN DIPUTUS OLEH JAMAL. TAK LAMA


KEMUDIAN PONSEL SUAEB BERDERING LAGI. OLEH
MARKO DIREBUT DAN DILEMPAR SAMPAI HANCUR).

171. Marko : Mungkin kita akan dipenjara, menyusul


Fuad. Tapi aku tidak mau.
172. Muhammad : Aku takut dipenjara, Bang.
173. Marko : Kita semua juga takut, Muhammad. Jamal,
apa yang harus kita lakukan?
174. Jamal : (MENGGELENG).
175. Muhammad : Bang, ayo pergi.
176. Marko : Kita tidak bisa pergi dari dunia ini.
177. Jamal : Tapi kita bisa pergi dari tempat ini, Marko.
178. Marko : Kita bisa pergi dari sini kalau kita tahu mau
pergi ke mana. Dan aku tidak tahu harus
pergi ke mana.
179. Muhammad : Bang Marko pengecut! Kita pergi ke mana
saja, Bang.
180. Marko : Tidak semudah itu, Muhammad!

82 Sarapan Terakhir
(MUHAMMMAD TIDAK MEMPERHATIKAN MARKO.
DIA TERUS MELUBANGI ASBES. KEMUDIAN TERDENGAR
SUARA SIRINE MENDEKAT).

-SELESAI-

Habiburrachman. Lahir di Sumenep pada 5 Mei


1994. Kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Filsafat Agama.
Alamat rumah di Perum Polri, Gowok, Blok A3/11,
Yogyakarta. Nomor HP 083867070421.

Antologi Naskah Drama 83


Goresan Batik
Aditya Timor Eldian
FBS-Universitas Negeri Yogyakarta
timor.eldian.te@gmail.com

Pelaku:
Ratna, usia 40 tahun, pemilik usaha batik tulis.
Farasita, usia 17 tahun, anak Ratna.
Mbok Iyem, usia 45 tahun, pekerja Ratna.
Siti, usia 23 tahun, pekerja Ratna.
Nur, usia 16 tahun, pekerja Ratna.

ADEGAN I
RUANG PEMBUATAN BATIK TULIS. TIGA ORANG
PEKERJA SEDANG MEMBATIK. SEBUAH KOMPOR ME-
NYALA DENGAN WAJAN BERISI MALAM DI DEPAN MA-
SING-MASING PEKERJA. BEBERAPA KOMPOR MATI TER-
GELETAK DI SUDUT RUANGAN. KAIN-KAIN BATIK TER-
LIHAT DITUMPUK DI SISI RUANGAN. BEBERAPA ORNA-
MEN KHAS JAWA TERGANTUNG DI TEMBOK BERWARNA
KREM DAN SEDIKIT KOTOR. DI BAGIAN BELAKANG
TERDAPAT LEMARI TEMPAT PENYIMPANAN WAJAN,
MALAM, NAPTOL, DAN CANTING. SEBUAH FOTO
SEORANG LAKI-LAKI TERTATA DI MEJA.

1. Iyem : (BERSENANDUNG)
Bener luput ala becik lawan begja cilaka
Mapan saking badan priyangga

84 Sarapan Terakhir
Dudu saking wong liya
Pramila den ngati ati sakeh dirgama
Singgahana den eling.
1. Siti : Rasanya syahdu, ya, Mbok. Membatik di-
temani angin sore sepoi-sepoi begini.
2. Nur : (BERGURAU) Mbak Siti ini, kerja ya kerja.
Malah berpuisi. Sok puitis.
3. Siti : Ini namanya menikmati kerja. Kerja itu
jangan dibawa mumet. Seperti mikir negara
saja kamu ini, Nur.
4. Iyem : Sudah, kalian ini malah ribut. Ayo, teruskan
kerjanya. Semakin cepat kalian kerjakan,
semakin banyak pesanan yang selesai.
5. Nur, Siti : Iya, Mbok.

MBOK IYEM MENERUSKAN SENANDUNGNYA. SUASA-


NA SANGAT SYAHDU. SESEKALI MEREKA BERCANDA.

ADEGAN II
MUNCUL FARASITA, ANAK PEMILIK USAHA BATIK.
IA BERJALAN MELEWATI PARA PEKERJA SAMBIL FOKUS
PADA GADGET-NYA. TANPA SENGAJA IA MENYENGGOL
KOMPOR SITI.

6. Siti : (KAGET) Eh, Mbak Fara. Hati-hati, Mbak.


Kalau tumpah, kan, panas. Nanti bisa kena
kaki Mbak Fara. (MENASIHATI DENG-
AN HATI- HATI).
7. Farasita : (MEMBENTAK) Apa sih, Mbak! Siapa su-
ruh taruh kompor di situ. Kalau ada orang
lewat, kan, ngalangin jalan. Malah nyalahin
aku.
8. Siti : (MENASIHATI DENGAN HATI-HATI)
Bukan menyalahkan, hanya mengingatkan.
Nanti kalau beneran tumpah bisa kena

Antologi Naskah Drama 85


Mbak Fara. Nanti sakit, Mbak. Nanti kain-
nya juga rusak.
9. Farasita : Terserahlah! (MELIHAT KE ARAH MEJA.
EMOSI) Itu foto ayah kenapa ada di situ?
Siapa yang taruh di situ? Kalau ditaruh di
situ, nanti jatuh! (BERJALAN KE ARAH
MEJA).
10. Siti : Tadi fotonya dibersihkan, Mbak. Tembok-
nya juga mau dicat ulang.
11. Farasita : (EMOSI) Mana dicat ulang? Hah? Kalau
belum mau dicat, foto ayah jangan diturun-
in, dong! Abis dibersihin, ya, digantung
lagi! Nggak sopan banget, sih, kalian ini!

FARA MENGAMBIL KURSI UNTUK MEMASANG FOTO


AYAHNYA DI DINDING. DENGAN SENGAJA FARA ME-
NEMPATKAN KURSINYA HINGGA MENGENAI KAIN
BATIK YANG BELUM DI KERJAKAN.

12. Nur : (PANIK. BERDIRI) Eh, Mbak Fara jangan


di atas kain seperti itu, Mbak. Aduh, itu
kainnya rusak kalau begitu, nanti kami kena
marah Ibu.
14. Farasita : (TIDAK PEDULI) Apa? Ini, kan, pekerjaan
kalian. Ya, kalau kenapa-kenapa, ya, tang-
gung jawab kalian. (MEMALINGKAN
WAJAH) Lama-lama aku jengkel tiap hari
lihatnya batik terus. Aku benci sama batik!
(PERGI).
15. Siti : (MENGGELENGKAN KEPALA) Ya am-
pun. Ibunya saja ramah, sopan, alus, sangat
menyukai batik. Lha kok, anaknya begitu,
ya?

86 Sarapan Terakhir
16. Nur : Iya ya, Mbak? Kok, bisa gitu, ya? Padahal
Ibu kalau sama batik eman banget. Mbak
Fara, kok, seperti itu.
17. Iyem : (SETENGAH BERBISIK) Huss! Jangan bi-
cara sembarangan, Nduk. Kalau Ibu dengar
bagaimana?
18. Nur : Ibu juga tahu, kok, kalau anaknya nggak
sopan seperti itu. Aku kasihan sama Ibu,
Mbok. Mbak Fara bandel banget. Apa-apa
harus dituruti saat itu juga. Nggak ada tapi-
tapian. Nggak ada besok-besokan. Sak deg
sak nyet!
19. Iyem : Nur! Kamu, kok, malah ndodro. Sudah, ja-
ngan bicara tentang Mbak Farasita lagi.
Nanti Ibu dengar, pekewuh sama Ibu. Se-
tidaknya jaga perasaan Ibu.
20. Nur : Kan, memang seperti itu adanya, Mbok.
21. Iyem : Nur! (MELIHAT KE ARAH NUR).
22. Siti : Sudahlah, Mbok. Nur itu sama saja, keras
kepala.

IYEM DAN SITI GELENG-GELENG KEPALA.

ADEGAN III
TIBA-TIBA BU RATNA DATANG MENGECEK PE-
KERJAAN PARA PEKERJA.

23. Ratna : Batiknya selesai belum, Mbak?


24. Nur : Ibu. Sudah hampir jadi, Bu. Kurang sedikit.
25. Ratna : Wah, cepat juga, ya, kalian kerjanya. Bagus
lagi. Kalau begini terus, nggak ada alasan
buat ibu enggak menaikkan gaji. (TER-
TAWA).
26. Nur : (MALU-MALU) Ah, Ibu. Kerjaan juga ma-
sih berantakan, kok, Bu. Belum bisa dibilang
bagus.
Antologi Naskah Drama 87
27. Ratna : (MENGEJEK) Nur ini niatnya merendah
untuk meroket, ya?
28. Siti : Jangan dipuji, Bu, nanti besar kepala. Anak
muda sukanya seperti itu, gila pujian. (ME-
LEDEK).
29. Nur : Mbak Siti, dari tadi ngece aku terus, lho.
30. Ratna : (TERTAWA) Ibu seneng punya pekerja
kayak kalian, bikin seneng terus.
31. Nur : Ah Ibu ini, malah memuji lagi.
32. Ratna : (TERTAWA) Mbok Yem, persediaan
naptol masih?
33. Iyem : Naptol yang dasaran biru telas, Bu. Butuh
banyak untuk pesanan kemarin sore.
34. Ratna : Ya sudah, nanti saya suruh Farasita saja
buat beli naptolnya. Sekarang kain yang
sudah dibatik di mana Mbok? Sudah di-
bawa ke dalam belum?
35. Iyem : Dereng, Bu, masih di atas situ. (MENUNJUK
TEMPAT PENYIMPANAN).

BU RATNA BERJALAN MENDEKATI MEJA. MENG-


HITUNG KAIN-KAIN YANG SUDAH DIBATIK. NUR DAN
SITI SALING BERPANDANGAN.

36. Nur : Duh, Mbak. Kalau Mbak Fara yang disuruh


Ibu, kan, biasanya nggak mau.
37. Siti : Iya, Nur. Gimana, ya? Apa aku aja, ya, yang
beli naptolnya?
38. Nur : Aku aja, Mbak. Enggak apa-apa. Aku tak
menawarkan diri ke Ibu.
39. Siti : Ya sudah, sana bilang sama Ibu.

NUR MENDEKATI BU RATNA YANG SEDANG ME-


LIHAT HASIL BATIKAN.

88 Sarapan Terakhir
40. Nur : Kula mawon, Bu.
41. Ratna : Ah, enggak. Fara saja. Biar sekali-sekali
Farasita bantu ibu, Nur.

NUR DAN SITI SALING BERPANDANGAN. RATNA


MENGECEK PERSEDIAAN KEBUTUHAN MEMBATIK DI
LEMARI. DARI LUAR DATANG FARASITA.

42. Ratna : Nah, kebetulan kamu di sini, Far. Ibu mau


minta tolong kamu beli naptol dasaran
warna biru....
43. Farasita : (MENGERUTKAN KENING) Males, ah.
Panas gini aku disuruh beli naptol....
44. Ratna : Farasita... sekali-sekali bantu Ibu. Ini juga
sudah sore, mana ada panas? Adem begini,
kok.
45. Farasita : (MENCIBIR) Ih, Bu. Coba, deh, Ibu ke luar,
mesti kulit Ibu langsung kebakar. Mana
tokonya jauh lagi. Fara sih nggak mau punya
kulit belang-belang, apalagi item. Hiii....
46. Ratna : Berlebihan kamu, Far.
47. Farasita : (TAK ACUH) Ah, terserah Ibu aja, deh.
Aku mau ke kamar.

RATNA GELENG-GELENG KEPALA. PARA PEKERJA


HANYA DIAM SEMBARI MENERUSKAN PEKERJAAN.

48. Ratna : Punya anak satu, kok, susah diatur, pada-


hal perempuan. (MENGHELA NAPAS).
49. Iyem : Ndak apa-apa, Bu, namanya juga anak
muda. Masih senang main-main.
50. Nur : Saya saja yang beli naptol, Bu.
51. Ratna : Ya sudah. Ibu titip ke kamu saja, ya? Beli
agak banyak sekalian. Pesenan kita, kan,
banyak.

Antologi Naskah Drama 89


52. Nur : Siap, Bu! (MENUNJUK KAIN) Tapi setelah
ini selesai ya, Bu. Tanggung. (TERTAWA
PELAN).
53. Ratna : Iya iya. Terserah kamu saja.

RATNA MEMBERIKAN UANG KE NUR. KEMUDIAN


MASUK RUMAH.

54. Siti : Lha wong sama ibunya saja berani mbantah,


gimana mau sopan ke orang lain....
55. Nur : (MENCIBIR) Mbak Siti, katanya nggak bo-
leh ngomongin orang? Huuu....
56. Siti : Gemes juga lihatnya. Kalau aku besok pu-
nya anak perempuan, jangan sampai, deh,
kayak gitu. Amit-amit jabang bayi.
57. Iyem : (MELIRIK SITI) Sampai jeleh ngomong ke
kalian.
58. Nur : Ehm..Mbok. Kenapa, sih, Bu Ratna buka
usaha batik? Kenapa enggak buka toko ke-
lontong atau gudeg gitu? Mbok Yem, kan,
udah kerja di sini bertahun-tahun, tentu
tahu kan, Mbok?
59. Iyem : Ya tahulah, Nduk. Almarhum ayahnya Bu
Ratna itu dulunya seorang abdi dalem. Beliau
sangat menyukai batik. Yang mendirikan
usaha ini juga beliau. Jadi, semenjak Bu
Ratna kecil sudah dikenalkan dengan ber-
bagai macam batik. Ibu juga bisa membatik
sejak kecil. Batikannya Ibu halus, bagus
sekali. Saat mewarna juga hasilnya bisa
rata. Batiknya Ibu cantik! Dulu suwargi juga
mempunyai banyak kain batik dari keraton.
Koleksinya ada banyak sekali. Disimpan
baik-baik sama Ibu. Sampai akhirnya almar-

90 Sarapan Terakhir
hum sakit, beliau memberi pesan terakhir
kepada Ibu.
60. Siti : Apa, Mbok, pesannya?
61. Iyem : Almarhum berpesan pada Ibu agar terus
mencintai batik. Bukan hal yang sulit bagi
Ibu karena sejak kecil memang sudah
sangat akrab dengan malam, kompor, dan
canting. Atas permintaan dari almarhum
itu, Ibu jadi semakin mencintai batik. Maka-
nya Ibu mau meneruskan usaha ini. Meng-
ingatkan pada almarhum, katanya.
62. Siti : Wah, aku kira cuma sekadar usaha. Ter-
nyata usaha ini sangat berarti, ya, buat Ibu.
Pantes Ibu bener-bener serius dan tekun
dalam mengelola usaha ini.

ADEGAN VI
FARASITA DATANG DENGAN EMOSI MEMUNCAK.

63. Farasita : Nur! (MENUNJUK KE WAJAH) Kamu ini


sengaja, ya, cari muka di depan ibuku? Be-
raninya cari muka sama ibuku! Ngomong
apa kamu ke Ibu? (BERKACAK PING-
GANG).
64. Nur : (BERKACA-KACA) Maaf Mbak, tapi saya
tidak bicara apa-apa sama Ibu. Saya dari
tadi duduk di sini sama Mbak Siti dan Mbok
Yem. Saya dari tadi mbatik Mbak, saestu.
65. Farasita : Alah, bohong! Kalau kamu nggak cari mu-
ka, ngapain Ibu nasihatin aku panjang lebar,
terus membanding-bandingin aku sama
kamu? Kenapa juga Ibu mesti bela-belain
kamu?

Antologi Naskah Drama 91


66. Siti : (SABAR) Mbak Fara kenapa? Nur tidak
tahu apa-apa, Mbak.
67. Farasita : Ih, ini lagi. (MENUNJUK WAJAH SITI)
Kamu siapanya Nur? Mbaknya? Ibunya?
Ngapain, sih, belain Nur? Oh, jangan-jangan
Mbak Siti juga bantuin Nur ngehasut Ibu,
ya? Pantes Nur dibelain terus!
68. Siti : Mbak, jangan suudzon. Saya tidak cari mu-
ka. Nur juga tidak cari muka.
69. Farasita : Alaaah, alasan! Nggak cukup apa muka
satu?
70. Nur : Ya Allah, Mbak. Mbak Fara, kok, tega bica-
ra seperti itu, Mbak? Kami ini salah apa
sama, Mbak?
71. Farasita : Masih juga nanya salah kamu apa? Mikir-
lah! (MENENDANG KOMPOR NUR).
72. Nur : (BERTERIAK) Auww! Panas!
73. Iyem : (KAGET) Astagfirullah. Mbak Farasita...
itu malam masih panas sekali, Mbak. Ndak
kasian sama Nur? Kainnya juga kena. Nanti
Nur bisa dimarahi Ibu.
74. Farasita : Salahnya dia gangguin aku. Cari muka sama
Ibu segala....
75. Nur : (MENANGIS) Mbak Fara kenapa sih,
Mbak?
76. Farasita : Diam kamu! Cerewet! (PERGI MENING-
GALKAN PARA PEKERJA).
77. Iyem : Udah Nduk, ndak apa-apa, kan? Mbak Fara
mungkin baru banyak pikiran, makanya
marah-marah seperti itu. Jangan diambil
hati ya, Nduk.
78. Siti : Biarin aja Mbak Fara, kamu nggak usah
ambil pusing, ya?

92 Sarapan Terakhir
79. Nur : (MENANGIS) Mbak....
80. Iyem : Sudah, jangan diambil hati, seperti ndak
tahu Mbak Farasita saja. Sudah, jangan
nangis. Nanti kalau Ibu tahu, masalahnya
lebih rumit lagi, Nduk.
81. Siti : Sudah ya, Nur. Mending sekarang kamu
istirahat. Mbak carikan obat luka bakar dulu,
takutnya kakimu melepuh. (PERGI KE
DALAM RUMAH).
82. Nur : (MENGAMBIL KAIN BATIK YANG RU-
SAK) Aku takut dimarah Ibu, Mbok. Batik-
ku rusak begini, harus diulang dari awal lagi,
padahal dua baris lagi selesai. Nanti bilang-
nya sama Ibu gimana, Mbok? Aku takut.
83. Iyem : (MENENANGKAN) Ndak apa-apa, Nduk.
Ibu pasti paham. Nanti dijelaskan pelan-
pelan ke Ibu.
84. Nur : Tapi ini, kan, tanggung jawabku, Mbok.
Mana kainnya kena malam hampir setengah
gitu. Aduuuhh gimana, Mbok? Aku takut,
pekewuh sama Ibu.
85. Siti : (MEMBAWA KOTAK P3K) Nih, diobatin
dulu kakimu. Kamu tadi disuruh Ibu beli
naptol, kan? Biar Mbak aja yang beli. Kamu
istirahat saja dulu.
86. Nur : Makasih, ya, Mbak. Maaf malah merepot-
kan Mbak Siti.
87. Siti : Iya. Sudah sana istirahat ke dalam.

SITI KELUAR. NUR MASUK KEDALAM. MBOK IYEM


MEMBERESKAN TUMPAHAN MALAM DAN KAIN MILIK
NUR.

Antologi Naskah Drama 93


ADEGAN V
BU RATNA DATANG MEMBAWA BEBERAPA TUMPUK-
AN KAIN MORI YANG SUDAH DIGAMBAR.

88. Ratna : Nur sama Siti kemana, Mbok? (MELETAK-


KAN KAIN).
89. Iyem : Eh, anu, Bu... .(SALAH TINGKAH).

RATNA MEMANDANG IYEM DENGAN CURIGA. TIBA-


TIBA SITI MASUK KE RUANG BATIK.

90. Ratna : Siti, kamu dari mana? (CURIGA).


91. Siti : (BINGUNG) Dari... dari....
92. Ratna : (NADA TEGAS) Ada apa ini? Farasita lagi,
ya? Ceritakan ke saya sekarang.

MBOK YEM DAN SITI SALING LIRIK, TIDAK BERANI


MENJAWAB. KEDUANYA TERLIHAT RIKUH.

93. Ratna : Siapa yang mau cerita ini? Siti? Siti cerita
ke ibu atau ibu mar….
94. Siti : Eh, jangan Bu. Jangan. Tadi itu....
95. Iyem : Hus! Siti!
96. Ratna : Mbok Yem... biar Siti cerita. Farasita, ya?
Kenapa lagi? Bikin ulah lagi? Itu anak di-
nasihatin, bukannya nurut malah ndodro.
97. Iyem : Tapi Mbak Farasita ampun didukani nggih,
Bu. Kasihan....
98. Ratna : (MENGHELA NAPAS) Iya, Mbok.
99. Siti : (TERBATA) Jadi, tadi Mbak Farasita datang
ke sini, tiba-tiba marah sama Nur.
100. Ratna : (HERAN) Marah kenapa?
101. Siti : (RAGU-RAGU) Dibilang Nur itu cari muka
sama Ibu.

94 Sarapan Terakhir
RATNA TERDIAM TERINGAT SAAT IA MENASIHATI
FARASITA.

102. Iyem : Bu…ngapunten, Bu kalo kami lancang.


Maaf.
103. Ratna : Benar, Mbok, Farasita tadi bicara begitu?
(MATANYA BERKACA-KACA).
104. Iyem : (RAGU-RAGU DAN TAKUT) Ampun
didukani nggih, Bu.

MBOK IYEM DAN SITI SALING BERPANDANGAN.


SUASANA MENJADI CANGGUNG. BEBERAPA SAAT
KEMUDIAN DATANG NUR.

105. Nur : Mbok Yem, boleh minta... Eh, ada Ibu...


(SALAH TINGKAH).
106. Ratna : Nur... sini.
107. Nur : (TAKUT) I...iya, Bu....
108. Ratna : Farasita ngomong apa sama kamu?
109. Nur : (KAGET. BINGUNG. TAKUT) Ti... tidak
bicara apa-apa kok, Bu.
110. Ratna : Jangan bohong sama ibu, Nur. Farasita
ngapain kamu?
111. Nur : Eh…tidak kok, Bu. (PENUH KEPURA-
PURAAN).

RATNA MENATAP NUR DENGAN MATA SEMBAB.


NUR HANYA DIAM. TIDAK BERANI MENJAWAB. MBOK
IYEM DAN SITI SALING PANDANG. NUR SALAH TINGKAH
SAMBIL MENAHAN RASA SAKIT DI KAKINYA. SUASANA
SEMAKIN CANGGUNG. FARASITA MASUK.

112. Farasita : Buuu, minta uang, dong. Paketan internet-


anku habis nih, Bu. Minta uang.

Antologi Naskah Drama 95


NUR, SITI, DAN MBOK IYEM MELIHAT BU RATNA
DENGAN TATAPAN IBA DAN PENUH RASA BERSALAH.

113. Farasita : (MENYADARI IBU MENANGIS) Bu, Ibu


kenapa, sih? (MELIHAT KE ARAH PE-
KERJA) Kalian bertiga ngapain lihat-lihat
Ibu kayak gitu? Kerja! Dipikir kain-kain itu
bakal penuh sama batikan dengan sendiri-
nya apa?
114. Ratna : Farasita! (MEMBENTAK. BERDIRI).

SEMUA KAGET. MBOK IYEM, SITI, DAN NUR TIDAK


PERCAYA BAHWA YANG BERTERIAK ADALAH IBU RATNA.

115. Farasita : (KAGET. TIDAK PERCAYA) Ibu… Ibu


kok bentak Farasita?
116. Ratna : Ibu kecewa dengan kamu Fara. Ibu selalu
mengajari kamu berlaku sopan kepada orang
lain, tapi kamu selalu saja membantah.
117. Farasita : (TIDAK TERIMA) Tapi, Bu, aku memban-
tah apa?Aku juga kalau bicara berdasar fak-
ta.
118. Ratna : (MULAI MARAH) Farasita! Bahkan dengan
ibu sekali pun kamu berani membantah.
(MENDEKATI NUR) Lihat apa yang kamu
lakukan terhadap Nur!
119. Farasita : (MEMBENTAK) Bu...mereka cuma pekerja
batik tulis! (MENUNJUK MBOK YEM,
SITI, DAN NUR) Aaah, aku benar-benar
benci sama batik-batik itu. (MEMALING-
KAN MUKA. MENAHAN TANGIS).
120. Ratna : (SUARA MELIRIH. MATA BERKACA
KACA) Farasita…
121. Farasita : (MEMBENTAK) Apa, Bu? Apa Ibu lupa ke-
napa ayah meninggal?Ayah meninggal saat

96 Sarapan Terakhir
mengantar batik-batik itu! Ayah, Bu! Apa
Ibu tahu betapa sedihnya aku? Ibu nggak
tahu! Ibu cuma peduli sama batik-batik itu!
122. Ratna : Ibu ingat Fara. Ibu tahu kalau kamu sedih.
Ibu juga merasakannya. Ibu juga sedih Fara!
(MENANGIS) Tapi bukan berarti kamu bisa
seenaknya meremehkan para pekerja ibu.
123. Farasita : Ibu nggak tahu! Ibu nggak pernah tahu, se-
dikit pun! Batik-batik itulah yang menye-
babkan Ayah meninggal! (MENUNJUK KE
ARAH PEKERJA) Dan mereka bukan
siapa-siapa di hidupku, Bu!
124. Ratna : (MENAHAN EMOSI) Kamu kira kamu hi-
dup dengan siapa? Kamu tidak hidup sen-
diri Farasita! Kamu selalu meremehkan
orang lain. Kamu tidak pernah menghargai
para pekerja ibu. (MENANGIS) Mereka
yang setiap hari bekerja untuk ibu. Me-
reka…
125. Farasita : Bu! Aku tahu, Bu. Mereka yang bekerja ka-
rena memang itu tugas mereka!
126. Ratna : (KAGET) Fara! Mereka yang setiap hari me-
menuhi pesanan yang datang ke toko ibu.
Mereka yang rela tangannya panas terkena
malam, tangan mereka mati rasa karena ter-
lalu lama kena air saat mewarnai kain-kain
batik. Mereka juga rela tangan melepuh saat
melorod batik-batik ibu yang jumlahnya enggak
sedikit. (MENANGIS TERBAWA EMOSI)
Kamu pikir gaya hidup mewahmu itu hasil
pekerjaan siapa? Lalu kamu dengan santai-
nya meremehkan mereka hanya karena
status mereka adalah pekerja ibu? Ibu ke-
cewa denganmu.

Antologi Naskah Drama 97


127. Farasita : (TERCEKAT) Kenapa sih semua salahin Fara
terus? Kalau Ayah masih ada, Ayah pasti bela
Fara.

HENING. TERDENGAR ISAK TANGIS BU RATNA.


MBOK IYEM MENDEKATINYA LALU MENDEKAP. SITI
DAN NUR TERLIHAT IBA. FARASITA HANYA BERDIRI
DIAM.

128. Ratna : (MENGHELA NAPAS. MEMEJAMKAN


MATA) Fara, batik-batik tulis itu adalah pe-
ninggalan dari kakekmu. Sama halnya de-
ngan kamu yang merindukan ayah. (MULAI
MENANGIS LAGI) Hanya batik-batik ini-
lah yang bisa menghibur hati ibu. Dan de-
ngan batik-batik ini, ibu tidak hanya me-
ngenang kakek... tapi juga mengenang
ayahmu.

FARASITA HANYA TERDIAM. IA TERLIHAT SANGAT


KAGET. PELUPUK MATANYA BASAH. MENANGIS.

129. Farasita : Bu, tapi Fara….


130. Ratna : Apalagi, Farasita?
131. Farasita : (SUARANYA MELIRIH) Fara….
132. Ratna : Fara... ibu tahu kamu sangat menyayangi
Ayah. Tapi bukan berarti kamu harus se-
perti ini, Nak.

FARASITA DIAM. TERLIHAT BERPIKIR. TIBA-TIBA RAUT


MUKANYA BERUBAH.

133. Farasita : (MEMBENTAK) Nggak, Bu! Ayah nggak akan


pergi secepat ini kalau dulu Ayah nggak
ninggalin kerjaannya cuma demi batik!
Fara benci banget sama Ibu!

98 Sarapan Terakhir
FARASITA BERLARI KELUAR. SEMUA YANG ADA DI
RUANG BATIK KAGET. MBOK IYEM MENENANGKAN
RATNA. RATNA TERLIHAT PALING KAGET DAN TER-
PUKUL. TANGISNYA SEMAKIN MENJADI.

-SELESAI-

Aditya Timor Eldian. Lahir di Magelang pada 5


Juni 1997. Kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta,
Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Alamat rumah di Diro,
Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Nomor HP
085725940490.

Antologi Naskah Drama 99


Antitesis Pemahat Senja
Muhammad Muhrizul Gholy
Sastra Indonesia UGM
Username.ap94@gmail.com

Pelaku:
Kosim, usia 35 tahun, penggali kubur, suka sastra.
Sungkono, usia 40 tahun, penggali kubur, mata duitan.
Lajim, usia 34 tahun, penggali kubur, polos.
Ustaz, usia 48 tahun, ustaz, bijak.
Padol, usia 27 tahun, karang taruna, mata duitan.
Kemat, usia 28 tahun, buruh tani, tidak lulus SD.
Warga 1, usia 37 tahun, wiraswasta, temperamen.
Keluarga 1, usia 29 tahun, ibu rumah tangga, anak orang kaya.
Aceng, usia 32 tahun, pengusaha mi insta, kapitalis.
Pengawal, usia 40 tahun, pengawal bos, berdarah dingin.
Yakmal, usia 49 tahun, lurah, kapitalis desa.

(PANGGUNG GELAP. BUNGA KENANGA BASAH


DITABURKAN DARI ATAS MEMENUHI SELURUH TEMPAT
PENONTON. MUSIK INTRO DIALOG DINI HARI – NYANYI-
AN LANGIT DIMAINKAN. DI TENGAH-TENGAH MUSIK
MUNCUL SUARA SIRINE AMBULANS DISUSUL BUNYI
TABRAKAN. SUARA SPEAKER MASJID BERBUNYI “INNA-
LILLAHI WA INNAILAIHIRAJI’UN 3X. PORO MASYARAKAT
DESA WADAK-KIDUL, ING DINTEN MENIKO, DEREK KITO
KAMLAN SAMPUN TILAR DUNYO”. TIRAI TERBUKA.
LAMPU PELAN-PELAN MENYALA. SETTING KUBURAN

100 Sarapan Terakhir


JAM SETENGAH 6 PAGI. DUA ORANG PEMUDA TERTIDUR
DI POS RONDA DEKAT KUBURAN, BOTOL MINUMAN
ENERGI, KARTU DOMINO, DAN SISA KULIT KACANG
BERSERAKAN. SUNGKONO BERLARI MENUJU POS).

1. Sungkono : (MENGGOYANGKAN BADAN KOSIM)


Sim…Sim, bangun!
2. Kosim : (TERBANGUN SETENGAH SADAR DAN
MATA SETENGAH TERBUKA) Ada apa,
sayang? (SUNGKONO JIJIK) Sini duduk di
pangkuanku. (MEMEGANG TANGAN
SUNGKONO) Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana, seperti THR yang tak
sempat disampaikan oleh bos kepada
buruhnya. (SUNGKONO MEMASUKKAN
TANGAN KOSIM KE PANTATNYA.
KOSIM BANGUN TERKEJUT, MENEN-
DANG PANTAT SUNGKONO, DAN
MENCIUM TANGANNYA LALU BER-
LAGAK INGIN MUNTAH).
3. Sungkono : Sialan kamu, Sim! Heh! Barusan ada orang
meninggal lagi. Kamlan. Lagi-lagi korban
kecelakaan di kelokan desa tirem. Ayo,
bangun. Kita mesti kerja, kerja, dan kerja.
Kerjanya tiga kali, semoga upahnya juga
tiga kali. Ayo Sim! (BERJALAN KE TE-
NGAH KUBURAN MENCARI TEMPAT).
4. Kosim : Innalillahi…. (MELIHAT LAJIM. MENG-
USAP-USAPKAN TANGANNYA KE
MUKA LAJIM). Jim, bangun Jim. Ada
orderan, bro. (MERINGIS SAMBIL BER-
SUARA PELAN “MAKAN TUH BEKAS
PANTAT SUNGKONO”. LALU ME-
NYUSUL SUNGKONO).

Antologi Naskah Drama 101


(LAJIM BANGUN. MERASAKAN ANEH DI MUKANYA.
MENGUSAP-USAP MUKANYA LALU MENCIUM DAN MEN-
JILAT. LAJIM TIDUR LAGI. BLACK OUT).
(LAMPU MENYALA. DALAM MASJID. CERAMAH SE-
TELAH SALAT JENAZAH. PADOL DAN KEMAT MEMASUK-
KAN AMPLOP KEPADA 7 ORANG YANG MENYALATI
JENAZAH. PARA PEMAIN MEMBELAKANGI PENONTON,
KECUALI PADOL DAN KEMAT).

5. Padol : (TERTAWA SAMBIL MENGHITUNG SISA


AMPLOP) Hehehe. Oops. Wah! Lumayan,
Mat!
6. Kemat : Apanya yang lumayan, Dol? Yang salat
dikit.
7. Padol : (MENGIPAS-NGIPASKAN AMPLOP KE
MUKA KEMAT) Nih!
8. Kemat : (MENELAN LUDAH) Maknyus, Dol.
Biarin aja dikit yang salat, nanti aku yang
paling banyak doanya. Bagi dua, Dol!
9. Padol : Oke, Mat (PADOL MENGAMBIL 10
AMPLOP DAN KEMAT DIBERI DUA).
Cocok, Mat? Sudah kubagi dua. Iya nggak?
10. Kemat : Hehe. Iya, Dol. Kamu memang sahabat aku
yang paling adil.
11. Padol : Yoi, Mat. Ingat, apa kata mutiaraku kema-
rin?
12. Kemat : Dan janganlah engkau kehilangan rasa ingin
tahumu yang berharga karena embel-em-
bel internet positif.
13. Padol : Bukan, Mat. Itu memang kata mutiaraku
yang aku buat pas tengah malam. Yang itu
loh, Mat. Yang pas kita nonton berita.
14. Kemat : Oalah. (BARU INGAT) Keadilan itu bukan-
lah setara, tetapi tidak setara dan ada yang

102 Sarapan Terakhir


sadar untuk saling membahagiakan satu
sama lain. (AGAK SOMBONG) Jos kan aku,
Dol?
15. Padol : Wahahaa. Jos, Mat!

(CERAMAH SELESAI. WARGA MENGANGKAT KERAN-


DA DENGAN MENGUCAP TAHLIL. WARGA KE LUAR
PANGGUNG).

16. Ustaz : Mat! Dol! Ayo!


17. Padol dan Kemat: Siap, Taz. (MENYUSUL KELUAR
PANGGUNG).

(FADE OUT. SETTING BERUPA JALAN MENUJU


KUBURAN PUKUL 10.00. ROMBONGAN PENGANGKAT
KERANDA BERJALAN SAMBIL MENGUCAP TAHLIL. FADE
IN. LAJIM MASUK DARI ARAH BERSEBERANGAN).

18. LAJIM : Berhenti!

(PEMBAWA KERANDA BERHENTI. KERANDA HAMPIR


JATUH KE DEPAN. WARGA EMOSI. SEBAGIAN WARGA
MENGERUMUNI LAJIM. KELUARGA DUKA HENDAK
MELABRAK LAJIM).

19. Warga 1 : He. Jim. Maksudmu apa, hah? Ini keranda


sudah berat. Panas hampir ke tengah ubun-
ubun. Lah, kamu malah sok jadi aktor uta-
ma menghentikan rombongan ini. Maumu
apa? (DIIKUTI GERUTU DAN CACIAN
WARGA. USTAZ MENENANGKAN
WARGA MENGINGAT PROSESI YANG
DIJALANKAN CUKUP SAKRAL).
20. Ustaz : Astaghfirullah… jangan berkata seperti itu
para warga. Ini ada jenazah. Mending baca
doa. Kalian tahu situasilah. Jangan mudah

Antologi Naskah Drama 103


kepancing ledakan suasana dari Lajim. Eh
Jim (MEMINTA LAJIM BERDIRI) coba
kamu jelaskan dengan apa yang terjadi!
21. Lajim : Jadi seperti ini, Pak Ustaz. Tadi kan… (KE-
LUARGA JENAZAH MENYAHUT DE-
NGAN CEPAT, MASIH EMOSI).
22. Keluarga 1 : Gak usah tadi, yang sekarang saja. Terlalu
banyak intro, Jim. Ini kakakku sudah me-
ninggal. Tadi pagi antri di rumah sakit lama
dan gak ketulungan. Ini mau apa lagi? Biar
dia cepat bertemu Tuhan. Masa bertemu
Tuhan kamu ngulur-ngulur juga. Kasihan
kan kakakku (DIIRINGI TANGISAN DAN
ADA WARGA YANG BERUPAYA MENE-
NANGKAN).
23. Lajim : Ahhhh. Pak, Bu, Kuburan penuh! Sudah
tidak ada tempat untuk jenazah.

(WARGA DIGEGERKAN PERKATAAN LAJIM. RIUH.


ADIK JENAZAH PINGSAN. SUASANA MAKIN TIDAK
KARUAN. SUARA-SUARA TERUS TIKUNG-MENIKUNG.
LAMPU PERLAHAN-LAHAN REDUP. BLACK OUT).
(LAMPU PANGGUNG MENYALA. KUBURAN. SUNG-
KONO DAN KOSIM DUDUK-DUDUK KECAPEKAN. USTAZ
MENYUSUL BERSAMA LAJIM).

24. Ustaz : Sim, Sung, bagaimana kuburannya?


25. Kosim : Demi buah tin, Pak Ustaz, kami sudah men-
cari sampai batas-batas lingkar kuburan ini
tapi sudah penuh, Pak.
26. Sungkono : Memang ada, Taz. Kami juga sempat ber-
pikir, apa kita harus mengadakan peng-
gusuran kepada penghuni di bantaran ku-
buran ini, terutama kuburan-kuburan tua

104 Sarapan Terakhir


yang nisannya tidak bernama dan keturun-
annya mungkin sudah lupa.
27. Kosim : Tidak kurang dan tidak lebih omongan
sungkono tadi, Taz. Lebih tepatnya pas-
pasan omongannya. (SUNGKONO ME-
MUKUL KOSIM) Tenang-tenang, Sung,
aku cuma bercanda. Kamu gak sendirian,
banyak, kok, yang pas-pasan seperti kamu,
misal pengajar-pengajar di desa. Jadi ibarat
kamu gak miris-miris banget, bisa setara
dengan pengajar. He...he.... (FOKUS KE
USTAZ) Jadi, Taz, apakah kami harus me-
laksanakan yang sempat kami pikirkan?
Toh, pemuda-pemuda banyak yang kerja
dari pagi, satu shift 12 jam, kalau lembur
bisa-bisa pulang malam. Mana mau pemuda
berziarah ke leluhurnya malam-malam?
Keburu takut. Kuburan-kuburan tua itu
juga kalau bukan kami yang memotongi
rumput-rumputnya bisa jadi rumput pen-
cakar langit. Bisa dihitung jari, Taz, hari
seperti ini siapa saja yang tiap jumat pagi
masih menjenguk kubur leluhurnya.
28. Ustaz : Salut dengan kalian. Kalian lebih pemikir
dalam keadaan serba susah. Mungkin kalau
kata-kata kalian dipelintir sedikit, pasti
sudah jadi filsuf atau ilmuwan. (BERPIKIR
KERAS) Nah!
29. Kosim, Sungkono, dan Lajim : Bagaimana, Taz?
30. Ustaz : Susah juga, ya, kasusnya.
31. Sungkono : Saya kira begitulah.
32. Kosim : Nah!
33. Ustaz, Sungkono, dan Lajim : Apa, Sim?
34. Kosim : Malam lebaran. Bulan di atas kuburan.

Antologi Naskah Drama 105


35. Sungkono : Puisi, Sim?
36. Kosim : Jelas.
37. Sungkono : Fungsinya apa, Sim? Kamu emang sastra-
wan top, Sim. Pasti bermakna sekali puisi
itu....
38. Kosim : Fungsi puisinya untuk menghibur keluarga
jenazah saja.
39. Ustaz : Sim… Sim… kamu itu. (LAJIM MENYA-
HUT).
40. Lajim : Bagaimana kalau warga saling terbuka se-
perti malam lebaran. Saling memaafkan
dan terbuka untuk kemungkinan baru.
Kebuntuan kasus ini harus dijernihkan.
Bersiap untuk lembaran baru tanpa me-
nyobek lembaran yang lama. Kita harus
diskusi sedesa. Sampai kasus kuburan yang
gelap ini didatangi bulan di atasnya, se-
hingga dimudahkan kelanjutannya. (BER-
BICARA TENANG).
41. Ustaz : Cocok, Jim. (MENEPUK BAHU LAJIM.
MENELEPON KELUARGA JENAZAH
DENGAN VIDEO CALL) Assalamualaikum.
Ini kami menuju rumah. Kuburan? Itu nanti
kita bicarakan saja. (KOSIM DAN SUNG-
KONO NARSIS, SEMENTARA LAJIM
KEBINGUNGAN, MENGAPA BISA BER-
KATA CUKUP HEBAT, SEPERTI ADA
YANG MERASUKINYA SESAAT) Tenang
saja pokoknya tenang, ya. Iya gampang. Ya
sudah, saya dan tiga penggali kubur akan
menuju ke rumah. Assalamualaikum. Jim,
Sim, Sung, ayo ke rumah.

106 Sarapan Terakhir


(TIGA PENGGALI KUBUR BERSAMA USTAZ KE LUAR
PANGGUNG. BLACK OUT. LAMPU PELAN-PELAN ME-
NYALA. SUASANA JALAN DINI HARI. PEMUDA MOTOR-
AN. DI TENGAH-TENGAH PANGGUNG MOTOR MEN-
DADAK MATI MESIN. ORANG BERPAKAIAN NINJA
MASUK. TERJADI PERKELAHIAN. NINJA MENGGUNAKAN
SAMURAI UNTUK MEMBUNUH PEMUDA. NINJA LANG-
SUNG PERGI. LAMPU TERANG, JAM SETENGAH 6.
CAHAYA MERAH MUNCUL DARI TIMUR. PENJUAL SAYUR
LEWAT. PENJUAL BERHENTI KARENA ADA MAYAT.
BERTERIAK MINTA TOLONG. WARGA BERDATANGAN
DENGAN CEPAT. TERJADI KEPANIKAN. BLACK OUT).
(KOSIM DAN LAJIM DUDUK-DUDUK DI POS RONDA.
LAJIM MEMAINKAN GITAR MENGIRINGI KOSIM MEM-
BACA PUISI).

42. KOSIM : Hari sudah cerah. Burung membawa kabar


buruk bagi petani tambak. Dik, desa kita
adalah kandang jaran pacuan. Pemuda ber-
larian pada asap pabrik. Sementara aspal
selalu saja cemberut ketika gudang dibuka.
Entah mengapa kamu tampak tenang saja
dengan sawi yang layu di sore hari. Mung-
kin ia menyusul matinya senja yang sudah
busuk dalam lembaran puisi. Mari kita
mencari ikan saja, Dik. UMR adalah bibit
cahaya lilin untuk sepasang kekasih di ma-
lam hari. Tak kalah indahkah yang tidak
pasti namun bisa melayangkan kunang di
malam dan kicau di pagi. Tanah di desa
memang luas, Dik. Lebih cocok dibangun
gudang pabrik karena gudang ikan cukup
satu saja untuk panen yang selalu merosot.
Sepetak tanah kecil saja aku akan menikahi-
mu dengan puisi-puisiku yang tak rewel
Antologi Naskah Drama 107
dari selera pasar. Buku-buku puisi cinta
sudah kubuangi. Aku ingin mencintaimu
dengan amis ikan, juga tulang-tulangnya
yang terlalu rumit untuk dijadikan makan-
an cepat saji. Dik, aku akan melamarmu. En-
tah kapan dalam kepastian. Karena seben-
tar lagi aku akan… (SUNGKONO DA-
TANG).
43. Sungkono : Mati!
44. Lajim : Has, kamu kenapa Sung? Ini lagi romantis.
Kamu malah mau baca puisi judulnya
“Mati”.
45. Sungkono : Siapa juga yang mau baca puisi. Kalau baca
puisi bikin aku kaya gak apa-apa. Jadi, hari
ini ada yang meninggal lagi Jim? Sim?
46. Kosim : Hah? Meninggal lagi? Waduh. Yang ke-
marin aja masih antri.
47. Lajim : Iya. Coba usulmu kemarin diterima. Mung-
kin sudah dikubur yang kemarin Sim.
48. Sungkono : Ini kejam Jim! Sim! Korbannya ditusuk
pakai samurai. Alamak! Ditusuknya dari
depan untungnya. Jadi gak sesakit seperti
di lagu-lagu cinta.
49. Kosim : Kalau seperti ini, bongkar kuburan harus
segera direalisasikan.
50. Lajim : Setuju, Sim! Aku di belakangmu.
51. Sungkono : Aku juga di belakangmu, Sim. Kalau tidak
ada kuburan, porsi makan kita berkurang.
52. Kosim : Ya sudah. Langsung saja kita ke masjid
untuk mengumpulkan warga, sekalian salat
jenazah. Jim, iringi dengan musik matador
selama perjalan biar makin greget.
53. Lajim : Siap!

108 Sarapan Terakhir


(TIGA PENGGALI KUBUR KE LUAR PANGGUNG.
LAMPU REDUP. TENGAH MASJID. LAMPU MENYALA.
LAJIM MENGISI SUASANA DENGAN PETIKAN GITAR).

54. Sungkono : Kok sepi, sih?


55. Kosim : Terus aku mesti goyang gak jelas kalau
sepi? Coba aku telepon Pak Ustaz. (MENG-
AMBIL HP).
56. Sungkono : Video call aja Sim, biar mantap.
57. Kosim : Boleh juga. (MENCOBA VIDEO CALL)
Assalamualaikum, Taz, bagaimana ini, kok,
masjid sepi? Warga di mana? (TER-
DENGAR SUARA USTAZ, KALAU
MASJID SEPI AKU MESTI GOYANG-
GOYANG GAK JELAS? INI WARGA
KEBINGUNGAN, SIM. KALI INI YANG
MENINGGAL ATHEIS. JADI BINGUNG,
BAGAIMANA TATA CARA MERAWAT-
NYA. DOA JUGA BINGUNG LAGI. UDAH
NANTI LAGI. KUOTA MENIPIS, SIM.
ASSALAMUALAIKUM). Hmmm… bingung
juga ya Sung, Jim. Kita ke TKP aja, menye-
lidiki setiap tanda. Siapa tahu nanti kita
menemukan jiwa detektif kita.
58. Sungkono dan Lajim : Kami di belakangmu, Sim.

(LAMPU REDUP. SETTING JALAN. LAMPU TERANG.


TIGA PENGGALI KUBUR MULAI MENELITI KEADAAN
SEKITAR).

59. Kosim : Sungkono Bambang Yudhoyono! Kamu


jangan cuma ikut prihatin! Sekarang ikuti
arahan saya untuk mengamati barang-ba-
rang yang tertinggal di sini. (BERBICA

Antologi Naskah Drama 109


SERIUS ALA DETEKTIF). Lajim! Selalu
siap siaga atas semua kejadian. Oleh karena
itu, selalu iringi setiap peristiwa dengan
melodi gitar yang sesuai.
60. Sungkono dan Lajim : Laksanakan, Ndan!

(TIGA PENGGALI KUBUR MENCARI SISA-SISA BUKTI


DI TEMPAT KEJADIAN. LAJIM TERUS MEMETIK GITAR
SAMPAI KOSIM DAN SUNGKONO MEMBENTUK KOREO-
GRAFI DETEKIF. SEORANG PENGUSAHA MASUK KE
PANGGUNG DIIKUTI SEORANG PENGAWAL KEKAR
DENGAN MEMBAWA KOPER. SUNGKONO TERUS MENARI
MENGIKUTI PETIKAN GITAR LAJIM HINGGA MENABRAK
PENGUSAHA).

61. Sungkono : Aduh. Maaf, Pak, tidak sengaja. (PENG-


USAHA MEMBERIKAN ISYARAT DE-
NGAN JARI. PENGAWAL MENGELAP
BAJU PENGUSAHA YANG TERSENG-
GOL SUNGKONO).
62. Pengusaha : Selamat siang, Saudara-Saudara. Maksud
saya datang ke desa ini ingin mencari ta-
nah. Dan saya siap…(SEMBARI MEME-
GANG KOPER).
63. Kosim : Siap memberitahukan kepada Bapak segala
informasi yang Bapak perlukan.
64. Pengusaha : Baiklah. Adakah tempat yang lebih teduh
dari pada di tengah jalan ini?
65. Kosim : Yang lebih mahal banyak, Pak. Di sini saja
lebih nyaman. (MENGAJAK SELURUH
PEMAIN DUDUK DI LANTAI).
66. Pengusaha : Di dalam koper ini ada uang 800 juta. Saya
siap membeli tanah di sini untuk keperluan
pembangunan gudang pabrik. Mengingat
pasokan air yang masih bagus dan bebe-
rapa informasi menjelaskan bahwa desa

110 Sarapan Terakhir


Wadak-Kidul ini tidak pernah mengalami
bencana banjir....
67. Kosim : Bapak tidak salah, tapi kami yang akan salah
jika menjual tanah kepada Bapak.
68. Sungkono : Itu hanya masalah persepsi.... Di mana
gerombolan, Sim?
69. Pengusaha : Cocok sekali saudara.
70. Kosim : (MENDEKATI SUNGKONO DAN LAJIM)
Maksudmu apa, Sung? Kamu malah gak
membela tanah leluhur kita.
71. Sungkono : Sim, lumayan kalau dia membeli tanah desa
ini. Dengan begitu kas desa bertambah dan
bisa melapangkan tanah kubur. Kamu mau
diawetin kaya mumi?
72. Lajim : Biayanya pasti mahal jadi mumi. Ah, benar
juga si Sungkono.
73. Kosim : (BERPIKIR DAN MENDAPATKAN IDE)
Aku setuju tapi aku punya pemikiran lain.
(MENDEKATI PENGUSAHA) Baiklah
Pak, besok silahkan datang ke sini langsung
menuju kuburan.
74. Pengusaha : Maksud Saudara apa?
75. Kosim : Di sana kami akan mengumpulkan warga
desa. Kami siap bernegosiasi di sana.
76. Pengusaha : Tidak adakah tempat yang lebih nyaman?
77. Kosim : Ikuti saja, saya nanti yang menengahi semua-
nya.
78. Pengusaha : Baiklah.

(PENGUSAHA MEMBERI ISYARAT KEPADA PENGA-


WAL. PENGAWAL MEMBERI UANG KEPADA KOSIM.
PENGUSAHA DAN PENGAWAL KELUAR PANGGUNG).

79. Kosim : Kita akan mengalami kejadian besar. Peris-


tiwa yang dapat mengubah masa depan
desa. Mengapa kuburan dipilih? Aku pikir

Antologi Naskah Drama 111


hasil keputusan ini akan disaksikan seluruh
leluhur kita sampai anak cucu kita.

(LAJIM DAN SUNGKONO RAMAI SEMENTARA KOSIM


TETAP TENANG. LAMPU PERLAHAN-LAHAN MATI.
LAMPU PANGGUNG MENYALA REDUP. PANGGUNG
DIBAGI MENJADI DUA, RUMAH PAK LURAH YAKMAL
DAN RUMAH PENGUSAHA. YAKMAL DAN PENGUSAHA
BERKOMUNIKASI LEWAT TELEPON).

80. Pengusaha : Selamat siang, Pak Yakmal.


81. Yakmal : Siang... dengan siapa?
82. Pengusaha : Saya Aceng pengusaha mi instan yang me-
miliki banyak cabang di Gresik.
83. Yakmal : Oh iya. Mi yang mana? Saya tidak tahu.
84. Pengusaha : Baiklah tidak usah saya sebutkan. Saya ha-
nya ingin berbicara dengan kepala desa
Wadak-Kidul.
85. Yakmal : Lah, saya ini kepala desa. Situ maunya apa?
86. Pengusaha : Tanpa basa-basi, saya punya uang 800 juta.
Saya ingin membeli sepetak tanah di desa
Wadak-Kidul. Bagaimana, Pak?
87. Yakmal : Sebentar, Pak. Tidak ada tanah dijual di desa
ini. Sesuai kesepakatan bersama dalam 5
tahun ke depan tidak ada tanah yang dijual.
88. Pengusaha : Uang 800 juta itu hanya sebagian, Pak. Bagai-
mana kalau 1,5 M dan Bapak akan men-
dapat bagian.
89. Yakmal : Baik, tapi akan saya cek dulu. (MENDAPAT-
KAN IDE) Ada, Pak, tapi… tapi….
90. Pengusaha : Tapi apa, Pak?
91. Yakmal : Satu-satunya tanah yang mampu dijual desa
adalah kuburan.
92. Pengusaha : Hah? (BERPIKIR SEJENAK) Ya sudah, saya
setuju. Besok pagi jam sembilan saya da-

112 Sarapan Terakhir


tang ke rumah Bapak membawa uang 1,5
M. Selamat siang.
93. Yakmal : (BERBICARA SENDIRI) Bagaimana aku
harus menjelaskan ke warga, ya? Aduh
bingung jadinya.... Tapi besok pasti ada
jalan. Kepepet yang membawa barokah....
Hihihi....

(LAMPU REDUP. SETTING KUBURAN DIPENUHI WAR-


GA. BEBERAPA MENGENAKAN KOSTUM MAYAT. TIGA
PENGGALI KUBUR MEMEGANG KOMANDO).

94. Padol : Sim, mana pengusahanya?


95. Kemat : Iya, Sim. Sudah pakai kostum seperti ini
masa gak jadi datang.
96. (KEMAT MEMAKAI KOSTUM POCONG).
97. Kosim : Tenang… tenang… Kemarin janjiannya jam
segini....
98. Sungkono : Hei, itu dia datang. Oalah, mampir ke ru-
mah Pak Lurah dulu....
(PENGUSAHA MASUK PANGGUNG BERSAMA YAKMAL
DAN PENGAWAL).
99. Yakmal : Kemarin sore saya sudah mendengar cerita
Kosim dan teman-temannya. Saya setuju
negosiasi dilakukan di kuburan agar lelu-
hur dan cucu kita tahu nasib desanya. Ku-
buran ini sudah tidak mampu menampung
jenazah masyarakat desa. Sampai hari ini
ada dua mayat yang ditangguhkan pe-
nguburannya. Mengatasi masalah tersebut,
saya pikir, alangkah baiknya kita jual saja
tanah kuburan ini seharga 800 juta dan kita
membuat kuburan keluarga di belakang
rumah masing-masing. (BEBERAPA WAR-
GA BERISIK KARENA TIDAK SETUJU).

Antologi Naskah Drama 113


101. Pengusaha : Bagaimana? Warga yang mati di desa kali-
an akan semakin banyak. Bayangkan saja
kalau kasus pembunuhan muncul lima kali
dalam seminggu. Desa yang bagus ini akan
menjadi busuk dan penuh belatung. (WAR-
GA TERSULUT EMOSI. LAJIM DAN
SUNGKONO MENENANGKAN WARGA
SEMBARI MENUNGGU KOSIM ME-
NGELUARKAN PENDAPAT).
102. Kosim : Pak Lurah, apa Anda sudah gila? Mengapa
muncul ide kalau kuburan harus ada di
rumah masing-masing? Bukankah kemarin
saya menawarkan uang itu untuk membeli
tanah baru dan di kuburan ini boleh di-
bangun gudang dan harus ada masjid untuk
menghormati jasad leluhur kita? (WARGA
MENDUKUNG ARGUMEN KOSIM).
103. Yakmal : Saya lebih tahu dibandingkan kalian. Saya
lurah….

(WARGA TERPANCING EMOSI DENGAN UCAPAN


YAKMAL. KOSIM DAN LAJIM MENCOBA MENENANGKAN
WARGA. TAPI WARGA SEMAKIN BRUTAL. WARGA HEN-
DAK MENYERANG LURAH DAN PENGUSAHA DENGAN
CANGKUL. YAKMAL MELEMPAR UANG KE UDARA.
WARGA YANG HENDAK MENGHAJAR PAK LURAH BER-
ALIH PERHATIAN KE LEMBARAN UANG YANG ME-
MENUHI UDARA DISUSUL DENGAN TERIAKAN SETUJU.
TIGA PENGGALI KUBUR MENCOBA MENGHASUT
WARGA UNTUK MENENTANG PAK LURAH. TAPI TIDAK
BERHASIL).

104. Lajim : Sim, bagaimana ini?


105. Kosim : Kerahkan yang tersisa untuk rencana ter-
akhir.

114 Sarapan Terakhir


106. Sungkono dan Lajim : Oke, Sim!

(LAMPU PANGGUNG MATI. BERGANTI SETTING


RUMAH YAKMAL. PENGUSAHA TERTAWA DAN PENGA-
WAL MEMBERSIHKAN KERINGAT BOSNYA. YAKMAL
MEMPERSIAPKAN BERKAS-BERKAS. DARI ARAH PE-
NONTON MUNCUL TIGA PENGGALI KUBUR DAN LIMA
WARGA. PAKAIAN MEREKA PENUH TANAH, MUKA
EMOSI MENYEMBUNYIKAN RASA LELAH, DAN KE-
RINGAT DI SELURUH BADAN. LAJIM MEMBAWA GE-
ROBAK BERISI BEBERAPA MAYAT DAN KAIN KAFAN
LUSUH. SUNGKONO MENGGENDONG MAYAT. WARGA
LAIN MENYERET KARUNG BERISI MAYAT. TIGA
PENGGALI KUBUR DAN WARGA BERKUMPUL DI DEPAN
RUMAH YAKMAL. YAKMAL BERSIAP DENGAN PISTOL.
YAKMAL, PENGUSAHA, DAN PENGAWAL MENEMUI
WARGA).

107. Yakmal : Mau apa lagi kalian? (MELIHAT MAYAT


DAN MENUTUP HIDUNG KARENA BAU
BUSUK). Ulah kalian menimbulkan ke-
onaran. Mayoritas warga sudah setuju de-
ngan penjualan tanah kuburan, tidak usah
berdebat lagi dan menghasut warga.
108. Kosim : Berengsek. Kami ingin membuat perhitung-
an. Kami memang minoritas, tapi bukan
berarti kami bisa diabaikan. Kami mem-
bawa mayat-mayat keluarga yang kami
sayangi.
109. Yakmal : Mau kalian apakan, hah? (SEMAKIN TER-
GANGGU DENGAN BAU BUSUK).
110. Kosim : (TERTAWA KERAS) Kami akan membakar
semuanya di depan rumahmu. (DISUSUL
TAWA DAN GEMERUTU WARGA LAIN)
Kami memiliki seremoni yang indah.

Antologi Naskah Drama 115


(MEMANDANG KE ARAH SUNGKONO)
Sungkono, letakkan mayat yang kau gen-
dong itu. Apakah ini tidak berarti buatmu
Pak Lurah? Mayat ini adalah almarhum
ibumu. (YAKMAL PANIK) Jim! Siram
mayat ini dengan bensin! Cepat!

(LAJIM MEMBAWA BENSIN. LAJIM MENYIRAMKAN KE


MAYAT. DOR! TEMBAKAN YAKMAL TEPAT MENGENAI
KEPALA LAJIM DAN MATI SEKETIKA. SEMUA WARGA
TERSENTAK DAN MENGELILINGI MAYAT LAJIM DENGAN
TANGISAN PENUH EMOSI).

111. Yakmal : Biarkan yang berasal dari tanah kembali


ke tanah….

(DOR! PELURU MENEMBUS KEPALA YAKMAL. PENGA-


WAL MEMASUKKAN PISTOL KE SARUNGNYA DAN MENG-
AMBIL KOPER BERISI UANG).

112. Pengusaha : (TERTAWA LEBAR DAN MENGAMBIL


PISTOL PENGAWAL) Sekarang giliranmu!
(MENGARAHKAN PISTOL KE KOSIM).
113. Kosim : Tiidaaaakkkkk!

(LAMPU MATI. SUARA LETUSAN PISTOL TERDENGAR


KERAS).

-SELESAI-

Muhammad Muhrizul Gholy. Lahir di Gresik pada


21 April 1994. Kuliah di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Fakultas Ilmu Budaya. Alamat rumah
di Sampangan, RT 16, Baturetno, Banguntapan,
Bantul. Nomor HP 085732544385.

116 Sarapan Terakhir


Kenapa?
Kinanti Febriandini Darintis
FBS-Universitas Negeri Yogyakarta
kinantifebriandini@gmail.com

Pelaku:
Nenek Dariyem, usia 78 tahun, tidak memiliki pekerjaan,
berpendirian teguh/kuat.
Marsono, usia 52 tahun, penjual tanaman hias.
Amir, usia 40 tahun, penjual koran.
Anak Bu Juminten, usia 30 tahun, sales kendaraan bermotor.
Bu Juminten, usia 50 tahun, ibu rumah tangga.
Penjual es, usia 30 tahun, penjual es di pinggir jalan.
Anak penjual es, usia 4tahun.
Pak Damar, usia 40 tahun, pimpinan unit pelaksana Satpol PP.
Pak Dimas, usia 40 tahun, pimpinan unit pelaksana Satpol PP.
Istri Pak Dimas, usia 35 tahun, guru/pengajar.
Komandan Satpol PP, usia 55 tahun.
Petugas panti jompo, usia 30 tahun, suster di panti jompo.
Petugas/petugas Satpol PP, usia 28 tahun sampai 35 tahun,
berprofesi sebagai anggota unit pelaksana Satpol PP.
Wartawan, usia 30 tahun, wartawan televisi.

BABAK I
Malam hari. Panggung gelap kecuali sudut di pojok kanan
panggung diterangi sebuah lampu sorot. Berdiri gubuk reyot
yang hampir roboh di bantaran sungai Kali Putih.

Antologi Naskah Drama 117


Adegan I
NENEK DARIYEM DUDUK DI LANTAI GUBUKNYA,
MEMBONGKAR BEBERAPA KARDUS LUSUH. WAJAHNYA
LELAH DAN PUTUS ASA.

1. Nenek Dariyem : (MENGGESER KARDUS) Sebenarnya di


mana aku meletakkan surat-surat itu? Ke-
napa banyak sekali baju yang kusimpan?
Aku sudah tidak membutuhkannya lagi.
Yang paling kubutuhkan saat ini hanya
surat-surat itu.

Adegan II
TERDENGAR SUARA PINTU GUBUK DIKETUK. SUARA
SEORANG LAKI-LAKI MEMANGGIL NENEK DARIYEM
BEBERAPA KALI. NENEK DARIYEM BANGKIT DARI
LANTAI, BERJALAN KE PINTU.

2. Nenek Dariyem : Tunggu sebentar.

KETUKAN DI PINTU BERHENTI. TERDENGAR ORANG


BERCAKAP-CAKAP DARI LUAR.

3. Nenek Dariyem : (SUARA PELAN) Sebentar. Pak Damar,


silakan masuk, Pak.
4. Pak Damar : Tidak usah, Nek, kami di depan saja. Ini
Dimas, saudara saya.
5. Pak Dimas : Selamat malam, Nek, saya Dimas.
6. Pak Damar : (MEMAPAH NENEK DARIYEM ME-
NUJU KURSI DI DEPAN GUBUK) Bagai-
mana kabar, Nenek, sehat?

PAK DAMAR DUDUK DI SEBELAH NENEK DARIYEM


SEDANGKAN PAK DIMAS MENGAMBIL TEMPAT DUDUK
BERSEBERANGAN DENGAN MEREKA BERDUA.

118 Sarapan Terakhir


7. Nenek Dariyem : Nenek setua aku ini, sesehat apa pun ya se-
perti ini. Ada perlu apa kalian menemuiku?
8. Pak Damar : Tujuan utama kami adalah melihat keada-
an Nenek, bagaimanapun Nenek sudah
kami anggap sebagai keluarga sendiri.
(MENGGENGGAM TANGAN NENEK
DARIYEM).
9. Nenek Dariyem : Terima kasih karena telah mengkhawatir-
kan nenek tua seperti aku ini, tapi jangan
ganggu aku.
10. Pak Damar : Tapi ini tinggal beberapa hari lagi, Nek,
apa Nenek tetap ingin tinggal?
11. Nenek Dariyem : Kami hanya mempertahankan hak kami,
milik kami. Jadi, entah sampai kapan pun
kami tidak akan berubah pendirian.
12. Pak Damar : Tapi kami akan tetap datang meskipun
Nenek bersikeras.

BABAK II
Trotoar dengan banyak lapak pedagang. Lapak paling ujung
milik Marsono, menjual tanaman hias, sebuah kursi panjang
diletakkan di depan lapak.
Adegan I
MARSONO MENATA BEBERAPA TANAMAN HIAS DI
DEPAN LAPAKNYA, SEORANG PEDAGANG KORAN MENG-
HAMPIRI.

13. Marsono : Kemarin laris jualanmu, Mir? (MENATAP


TAMUNYA SEKILAS).
14. Amir : Ya, seperti biasa, Mas, cukup untuk makan.
15. Marsono : Ada berita apa hari ini?
16. Amir : (MENGAMBIL KORAN PALING ATAS)
Tidak ada yang baru, Mas, hanya berita
tentang kasus Mirna, banjir di daerah Pe-

Antologi Naskah Drama 119


rumahan Baru, yang sudah lima bulan be-
lum surut, dan berita razia di sana-sini,
Mas.
17. Marsono : (MENDESAH PANJANG).
18. Amir : Kenapa, Mas?
19. Marsono : Tidak apa-apa, hanya masih bingung mau
pindah ke mana.
20. Amir : Belum mendapat tempat baru?

Adegan II
SEORANG PETUGAS BERSERAGAM HIJAU BERJALAN
MENGHAMPIRI AMIR DAN MARSONO. PAKAIANNYA
RAPI LENGKAP DENGAN TOPI DAN TONGKAT, WAJAH-
NYA RAMAH. MARSONO BANGKIT DAN MENGELAP
TANGAN YANG KOTOR KE CELANANYA.

21. Petugas : Selamat pagi, Pak.


22. Marsono : Selamat pagi.
23. Amir : (TERSENYUM PADA PETUGAS).
24. Marsono : Ada apa, Pak?
25. Petugas : Kenapa masih berjualan di sini, Pak? Kan
sudah diberi surat peringatan?
26. Marsono : Maaf, Pak, saya belum mendapatkan tem-
pat baru. Apa tidak bisa diundur, Pak?
27. Petugas : Maaf, Pak, tidak bisa. Saya harap dalam
dua hari Bapak sudah pindah.
28. Marsono : Saya usahakan, Pak. (WAJAH MEMELAS).
29. Petugas : Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Ini sudah
peraturan. Permisi.

Adegan III
30. Amir : (MENDEKAP KORAN DAGANGAN)
Maaf, ya, Mas. Aku tidak bisa membantu.
31. Marsono : Tidak apa-apa, aku tahu kita sama-sama
orang kecil, tidak bisa melakukan apa-apa
jika sudah bersangkutan dengan peme-

120 Sarapan Terakhir


rintah dan orang yang berkuasa.
32. Amir : Bagaimana kalau beralih profesi saja, Mas?
33. Marsono : Memang seumuranku ini bisa bekerja di
mana? Di pabrik? Umurku sudah terlalu
tua. Di kantor? Ijazahku tidak memung-
kinkan. Aku hanya lulusan SMP. Peme-
rintah bilang kita harus berwirausaha dan
ini usahaku, tapi pada akhirnya dilarang
juga. (MENDESAH, MENGAMBIL SE-
LANG DAN MENYIRAMI TANAMAN).

BABAK III
Di ruang makan kediaman Pak Dimas. Meja bundar beserta
kursi dan lauk-pauk diletakkan di tengah panggung. Sebuah TV
diletakkan di depan meja makan.
Adegan I

34. Istri : Kenapa diaduk-aduk saja, Pak? Tidak enak?


35. Pak Dimas : Bukan, Bu, Bapak hanya kepikiran tugas.
36. Istri : Memang kenapa, Pak? Kan ini bukan kali
pertama Bapak bertugas, memang apa yang
membuatnya berbeda?
37. Pak Dimas : Ada seorang nenek yang mengingatkanku
pada ibuku. Biar pun gubuknya hampir ro-
boh, ia tidak mau pindah. Aku jadi ragu
dengan pekerjaan ini, Bu. (MEMANDANG
ISTRINYA).
38. Istri : Asal Bapak tidak melakukannya dengan
kekerasan, kenapa Bapak harus ragu? Bapak
kan hanya mengerjakan perintah. (MENG-
ELUS TANGAN PAK DIMAS).
BABAK IV
Ruang pertemuan markas Satpol PP. Lima kursi ditata
melingkari meja. Lima orang duduk di masing-masing kursi dan
satu orang berdiri.
Antologi Naskah Drama 121
Adegan I
KOMANDAN SATPOL PP MASUK KE RUANG PER-
TEMUAN. SEMUA BERDIRI DAN BARU DUDUK SETELAH
DIIZINKAN KOMANDAN.

39. Komandan : Ini hanya pertemuan pemimpin pasukan,


jadi dengarkan baik-baik agar tidak terjadi
kesalahan.
40. Semua : Siap komandan.
41. Komandan : Hari ini, kita akan menertibkan dua kawas-
an. Yang pertama kamu. (MENUNJUK
PAK DAMAR) Saya tunjuk memimpin
penertiban di kawasan Jalan Hijau. Bersih-
kan semua pedagang dari trotoar. Gembok
semua mobil dan gembosi motor yang
parkir sembarangan. Bawa semua tukang
parkir liar yang membandel.
42. Pak Damar : Siap, komandan.
43. Komandan : Dan kamu (MENUNJUK PAK DIMAS).
44. Pak Dimas : Siap.
45. Komandan : Kamu memimpin penggusuran di bantaran
sungai Kali Putih.
46. Pak Dimas : Siap, Pak.

Adegan II
PAK DIMAS DAN PAK DAMAR BERGABUNG DENGAN
PASUKAN MASING-MASING. MEMBERIKAN ARAHAN.
MENGATUR BARISAN. SETELAH SEMUA SIAP KELOMPOK
PASUKAN BERGERAK KE TUJUAN MASING-MASING.

BABAK V
Rumah-rumah penduduk di bantaran sungai Kali Putih di
pagi hari. Sebagian rumah sudah ada yang dirobohkan. Gubuk
Nenek Dariyem berada di paling ujung panggung.

122 Sarapan Terakhir


Adegan I
PETUGAS SATPOL PP MENGELUARKAN BARANG-
BARANG DARI RUMAH WARGA DENGAN PAKSA. WARGA
BERUSAHA MEMPERTAHANKAN BARANG-BARANG
MEREKA. KELUARGA BU JUMINTEN MENGHADANG
PETUGAS DI DEPAN RUMAH. ANAK LELAKI BU JUMINTEN
MENCOBA BERNEGOSIASI DENGAN PETUGAS.

47. Anak Bu Juminten : Maaf, Pak, saya tahu ini sudah perintah,
tapi mohon pengertiannya.
48. Petugas Satpol PP : Maaf, Pak, kami sudah memberikan su-
rat pemberitahuan bahwa hari ini akan
diadakan penggusuran.
49. Bu Juminten : (MENANGIS TERSEDU-SEDU).
50. Anak Bu Juminten : Kami paham, Pak, kami mohon penger-
tiannya, kami sedang mengadakan pe-
ngajian. (MENUNJUK RUANG TAMU
YANG PENUH DENGAN TAMU
UNDANGAN).
51. Bu Juminten : (HAMPIR PINGSAN KARENA SHOCK).
52. Anak Bu Juminten : (MENAHAN BU JUMINTEN AGAR
TIDAK JATUH).
53. Petugas Satpol PP : Dalam surat sudah diberitahukan, tang-
gal dan waktu penggusuran, lalu kenapa
Anda masih mengadakan kegiatan? Anda
bisa kami tahan karena menghalangi
proses penggusuran ini!
53. Anak Bu Juminten : Sekali lagi kami mohon maaf, Pak, bu-
kan maksud kami melawan atau yang
lainnya, tapi ini sudah direncanakan jauh
sebelum surat pemberitahuan penggu-
suran datang.

Antologi Naskah Drama 123


Adegan II
PETUGAS SATPOL PP MENGHAMPIRI PAK DIMAS.
MEMBERI HORMAT.

54. Petugas Satpol PP : Lapor, Pak, keluarga Bu Juminten meng-


hadang di depan rumah, di dalam rumah
juga ada banyak orang.
55. Pak Dimas : Bukankah itu sudah hal biasa? (DAHI-
NYA BERKERUT) kalian kan bisa lang-
sung membawa Bu Juminten dan ke-
luarga menyingkir lalu membubarkan
yang di dalam.
56. Petugas Satpol PP : Maaf Pak, mereka bilang sedang ada
pengajian dan sudah direncanakan jauh
sebelum mendapat surat penggusuran.
57. Pak Dimas : (RAGU, MEREMAS TOPI, MEMIJAT
KENINGNYA).
58. Petugas Satpol PP : Bagaimana, Pak?
59. Pak Dimas : Ya sudah, kita gusur rumah yang lain
dulu. Tempatkan beberapa petugas kita
di depan rumah itu dan katakan pada
keluarga Bu Juminten untuk memper-
cepat acaranya.
60. Petugas Satpol PP : Siap, Pak, laksanakan.

Adegan III
BEBERAPA PETUGAS SATPOL PP WANITA MENG-
HAMPIRI GUBUK NENEK DARIYEM. MEREKA MEMBUJUK
NENEK DARIYEM UNTUK KELUAR DARI GUBUKNYA.

61. Nenek Dariyem : Aku tidak mau pergi dari rumahku karena
sejak sebelum aku lahir rumah ini sudah
milik keluargaku. Pergi kalian! (MELEM-
PARKAN BARANG-BARANG YANG ADA
DI DALAM GUBUK).

124 Sarapan Terakhir


62. Petugas Satpol PP : Bangunan di sini bangunan liar, kami
akan membersihkan bangunan untuk
normalisasi sungai, Nek.
63. Nenek Dariyem : Aku tidak mau! Pergi kalian dari rumah-
ku!

BEBERAPA PETUGAS WANITA MASUK SECARA PAKSA


DAN MEMBOPONG NENEK DARIYEM.

64. Nenek Dariyem : Aku tidak mau, turunkan aku.

PETUGAS SATPOL PP MEMBAWA NENEK DARIYEM


MASUK KE DALAM MOBIL

65. Nenek Dariyem : Astaghfirullahaladzim. (MENGANGIS,


LEMAS).

BABAK VI
Di trotoar Jalan Hijau, jalan raya yang lebar dengan trotoar
di kanan kiri jalan, penuh dengan pedagang liar, tempat Marsono
berjualan tanaman hias. Terlihat Marsono dibantu beberapa
temannya membersihkan dagangan yang masih tersisa sebelum
petugas Satpol PP datang.
Adegan I
SEORANG WARTAWAN TELEVISI MEMULAI SIARAN
LANGSUNG SEMBARI MELANGKAH MENUJU KE LAPAK
MARSONO.

66. Wartawan : Pemirsa, pagi ini saya akan melaporkan


proses pembersihan trotoar dari pedagang
liar, langsung dari Jalan Hijau. Selamat
pagi, Pak, boleh saya mewawancarai Bapak
sebentar?
67. Marsono : Boleh, silakan.
68. Wartawan : Bagaimana perasan Bapak dengan peng-
gusuran lapak ini?

Antologi Naskah Drama 125


69. Marsono : Kalau ditanya perasaan saya, ya, pastilah
sedih karena belum menemukan tempat
baru, saya harus berhenti berjualan.
70. Wartawan : Apa alasannya sehingga kawasan ini di-
tertibkan?
71. Marsono : Mereka bilang kami berjualan di trotoar
yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki.
Tetapi sebenarnya kami sudah memberi-
kan jarak dua meter dari trotoar untuk pe-
jalan kaki, hanya saja kondisinya rusak,
belum di-paving. Lalu katanya, kami me-
rusak keindahan dan mengubah fungsi
trotoar.
72. Wartawan : Lalu apa yang menyebabkan Bapak belum
mendapat tempat baru?
73. Marsono : Waktunya terlalu singkat untuk mencari tem-
pat baru. Kami hanya diberi tiga kali pem-
beritahuan, itu saja hanya berselang bebe-
rapa hari dari setiap pemberitahuannya.
74. Wartawan : Terakhir, apa yang menjadi harapan, Bapak?
75. Marsono : Harapan saya ingin secepatnya menemu-
kan tempat berjualan baru. Untuk para
petugas, tolong berikan sosialisasi sebelum
melakukan penggusuran dan surat pem-
beritahuannya jangan terlalu mendadak. Se-
moga pemerintah memberikan tempat relo-
kasi yang sesuai agar kami bisa segera pin-
dah.
76. Wartawan : Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya dan
kami kembali ke studio. Dari Jalan Hijau
kami melaporkan.

126 Sarapan Terakhir


Adegan II
PETUGAS SATPOL PP DI BAWAH PIMPINAN PAK DA-
MAR MENYISIR JALAN HIJAU. MENGANGKUT DAGANG-
AN YANG DIJUAL DI SEPANJANG TROTOAR JALAN
HIJAU. MEMBONGKAR PAKSA LAPAK-LAPAK PEDA-
GANG. MENDORONG GEROBAK UNTUK DIAMANKAN.
SEBAGIAN PEDAGANG MELARIKAN DIRI.
77. Penjual Es : Tunggu, Pak. Jangan! (MENCOBA MEM-
PERTAHANKAN GEROBAKNYA).
78. Petugas Satpol PP : Minggir, kamu sudah kami peringatkan!
79. Penjual Es : Tolong, Pak. Kali ini saja.

ANAK PENJUAL ES MENANGIS DALAM GENDONGAN


IBUNYA.

80. Petugas Satpol PP : Tidak bisa. Kalian selalu saja membang-


kang.
81. Penjual Es : Lalu kami harus bagaimana? Hanya ini
cara kami mencari nafkah, kami tidak
mencuri, kami tidak menipu, tapi kena-
pa pekerjaan kami dilarang? Sedangkan
para koruptor di luar sana banyak yang
tidak ditindak!

BABAK VII
Halaman panti jompo milik negara ketika sore hari. Beberapa
kursi diletakkan di tengah taman.

Adegan I
NENEK DARIYEM BERSAMA BEBERAPA ORANG
LAINNYA MASUK KE HALAMAN PANTI JOMPO. NENEK
DARIYEM DUDUK DI SEBUAH KURSI MENGHADAP JALAN.
PETUGAS PANTI MENGHAMPIRI NENEK DARIYEM.

Antologi Naskah Drama 127


82. Petugas Panti : Tenang saja, Nek. Kami akan merawat Ne-
nek dengan baik.
83. Nenek Dariyem : Aku lebih suka mati di rumahku sendiri
dari pada di sini.
84. Petugas Panti : Bersabarlah, Nek.

MENUNTUN NENEK DARIYEM MASUK KE DALAM


PANTI.

-SELESAI-

Kinanti Febriandini. Lahir di Semarang pada 3


Februari 1995. Kuliah di Universitas Negeri
Yogyakarta, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alamat
rumah di Ngabean, RT 04/RW 06, Margorejo,
Tempel, Sleman. Nomor HP 08999765392.

128 Sarapan Terakhir


Antara Harga Diri
dan Pendirian
Ramadhan Rachmad P
SMK Negeri 3 Yogyakarta
Rdhxan@gmail.com

Pelaku:
Jovi, usia 20 tahun, pelajar, anak pertama bangsawan.         
Joni, usia 17 tahun, pelajar, anak bangsawan.
Ayah, usia 45, bangsawan.
Ibu, usia 39 tahun, bangsawan.
Tiffany, usia 17 tahun, anak bangsawan Belanda.
Kanu, usia 17 tahun, pelajar, bangsawan.
Tiara, usia 29 tahun, pejuang wanita, tunarungu.
Roni, usia 32 tahun, pejuang laki-laki, buta.
Bodyguard/Pengawal, usia 32, anak buah Jovi.
Pembantu, usia 40 tahun, pembantu rumah tangga Jovi.
Bu Guru, usia 34 tahun, pengajar di sekolah bangsawan.

SEBUAH KELUARGA BANGSAWAN TIDAK HARMONIS


KARENA HUBUNGAN KEDUA ANAK MEREKA SEPERTI
MINYAK DAN AIR. MEREKA SEDANG MAKAN BERSAMA
DI SEBUAH RUANGAN. 
1. Joni : Kutub Selatan lebih dingin dari pada Kutub
Utara, bukan, Bapak?
2. Jovi : Tidaklah, Kutub Utara yang lebih dingin.
3. Joni : Mana mungkin? Abang sok tahu.

Antologi Naskah Drama 129


4. Ayah : Sudah hentikan! Kalian kakak beradik
tidak pernah akur. Jovi tugas sekolah sudah
selesai?
5. Jovi : Sudah, tugas temenku pun sudah aku kerja-
kan. (SOMBONG).
6. Ayah : Memang kamu anak yang bisa diandalkan.
7. Joni : Aku enggak ditanya, Yah?
8. Ayah : Kamu belum tidur?
9. Joni : Udah. Tunggu. Kenapa ayah bicara bukan
soal ulangan nanti atau prestasiku!
10. Ayah : Kamu tadi tidur jam berapa? Waktu untuk
belajar malah kamu menggambar. Dan kamu
anak tidak dapat dibanggakan.
11. Joni : Aku akan membuktikan dengan nilai ulang-
anku,Yah.
12. Ibu : Sudah cukup, kalian berdua berangkat!
Joni jangan lupa kerjakan dengan  hati-hati
ulangannya.
13. Joni : Terima kasih, Bu. Nanti aku akan belajar
seperti kakak agar bisa meneruskan tahta
kerajaan.
14. Jovi : Hmm, mana mungkin.
15. Ibu : Sudah cepat berangkat. Joni, itu makanan
dan obat buat kamu sekolah.

JONI DAN JOVI PERGI MENINGGALKAN RUMAH BER-


LAWANAN ARAH. JONI BERTEMU DENGAN SEORANG
GADIS PENJUAL BUNGA. GADIS ITU MENGENAKAN BAJU
BANGSAWAN. TANPA SENGAJA JONI TERPELESET.

16. Joni : Di mana aku, kenapa aku tidak bisa me-


lihat? (KEBINGUNGGAN).
17. Tiffany : Can I help you. (MEMBANGUNKAN JONI).
18. Joni : Matur suwun. (KEBINGUNGAN).
19. Tiffany : Sama-sama.

130 Sarapan Terakhir


20. Joni : What, kamu bisa bahasa Indonesia?
21. Tiffany : Sedikit.
22. Joni : Maaf, kenapa kamu ada di sekolahan ini?
23. Tiffany : Ini setangkai bunga sebagai permohonan
maaf. (TERSENYUM).
24. Joni : Terima kasih. Siapa namamu?
25. Tiffany : Tiffany!

SESAMPAINYA DI KELAS, JONI KAGET KARENA ADA


ULANGAN.

26. Joni : Permisi, Bu. Bolehkah saya duduk?


27. Bu Guru : Cepet masuk dan kerjakan soal ulangan
dalam waktu 30 menit.
28. Joni : Ulangan, Bu? Sial aku belum belajar.

HATI JONI GUNDAH TERINGAT WAJAH TIFFANY.

29. Joni : Wahai Tuhan dekatkanlah hatiku kepada


malaikat yang ada dalam sepintas jalan.
Jagalah ia sampai aku datang menemuinya.
(MENGGAMBAR DAN MEMBAYANG-
KAN TIFFANY).

TERDENGAR TEMAN-TEMAN JONI TERTAWA.

30. Bu Guru : Sungguh puisi yang menyentuh. Cepat


kerjakan ulangannya. Waktu tinggal 5 me-
nit lagi.
31. Joni : Soal ini sungguh susah.
32. Bu Guru : Waktu habis, cepat kumpulkan jawaban
kalian dan tinggalkan tempat ini!

TANPA SENGAJA JONI TIDUR DI KELAS DENGAN


MEMEGANG BUNGA YANG DIBERIKAN TIFFANY. DALAM
MIMPI IA BERTEMU DENGAN TIFFANY.

Antologi Naskah Drama 131


KEESOKAN HARI JONI TERBANGUN KARENA LAKI-
LAKI DAN SEORANG WANITA MEMBERSIHKAN KELAS.

33. Joni : Permisi, Kak. Apakah aku mengganggu?


34. Tiara : Apa?
35. Joni : Apakah saya boleh bertanya? (DENGAN
SUARA LANTANG).
36. Roni : Maaf, Tuan. Gadis itu tidak dapat men-
dengar dengan jelas.
37. Joni : Maaf, saya tidak tahu.
38. Tiara : Tidak apa-apa, kami selalu membuka pintu
maaf kepada siapa pun.
39. Joni : Kalau boleh tahu, nama kalian berdua siapa?
40. Roni : Nama saya Roni dan dia Tiara. Maaf Tuan,
saya tidak dapat melihat Tuan, saya hanya
dapat merasakan aroma wangi Tuan.
41. Joni : Hem...bau ya, saya belum mandi. Mengapa
kalian ada di sini?
42. Roni : Kami mendapat tugas membersihkan tem-
pat ini.
43. Joni : Itu apa? Kamu mengambil barang milik orang
lain, ya?
44. Roni : Maaf, Tuan. Sepertinya ini sebuah jam ta-
ngan, saya menemukannya di bawah meja.
Ini saya kembalikan....
45. Joni : Saya ambil bunga ini dari seseorang. Jam
tangannya ambil saja. (SAMBIL BERBISIK-
BISIK).
46. Tiara : Memang, Tuan. Itu bunga susah dapatnya,
kalau sama orang yang berjualan. Tuan,
suka?
47. Roni : Oh...itu bunga milik Nyonya Tiffany?
48. Joni : Iya betul, kalian kenal Tiffany?
49. Roni : Dia sedang sakit, sekarang ada di rumah.

132 Sarapan Terakhir


50. Joni : Tunggu dulu, tadi kamu sebut Tiffany
dengan sapaan apa?
51. Roni : Nyonya.
52. Joni : Kenapa kamu sapa ia dengan Nyonya?

SAAT RONI AKAN MENJAWAB PERTANYAAN, TIBA-


TIBA TERDENGAR SUARA LANGKAH KAKI.

53. Roni : Ibu guru sudah datang....


54. Bu Guru : Cepat sekali kamu datangnya, Joni.
55. Joni : Begitulah, Bu, memang sekolah kita ada
tukang bersih-bersih kelas?
56. Bu Guru : Tidak. Sekolah kita juga melarang siapa pun
datang ke sekolah ini kecuali para bangsa-
wan. Paham, Joni?

BEL SEKOLAH BERBUNYI, MURID BERDATANGAN.

57. Bu Guru : Sekarang, Ibu akan mengumumkan nilai


ulangan kalian. Pertama Albertus, nilai kamu
80, Besky Maulana nilai kamu 8,9, Celia nilai
kamu 9,5, dan kamu Joni Wibisono nilai
kamu paling tinggi....
58. Joni : Wah, bagus itu.
59. Bu Guru : Nilai kamu -1,25.
60. Joni : Apa? (TERKEJUT).
61. Bu Guru : Ulangan perbaikan akan dilakukan ming-
gu depan.

SAAT GURU MENERANGKAN PELAJARAN, JONI DAN


KANU ASIK BERBICARA.

62. Kanu : Jon, mau ikut aku tidak?


63. Joni : Aku lagi stres, Kan.
64. Kanu : Biar enggak stres, ikut aku.
65. Joni : Mau ke mana? (AGAK KERAS).

Antologi Naskah Drama 133


66. Kanu : Pelan-pelan, ikuti saja saranku. Sekarang
kita bolos, oke?
67. Joni : Tapi, Kan....
68. Kanu : Bu Guru, sepertinya perut Joni sakit! (BER-
TERIAK).
69. Joni : Bu Guru, badan Kanu sakit!
70. Bu Guru : Joni dan Kanu, kalian sakit?
71. Joni dan Kanu : Ehh..iya, Bu. (GUGUP).
72. Bu Guru : Sekarang kalian saya perbolehkan pulang,
tapi langsung pergi berobat.

JONI MENGIKUTI KANU. MEREKA BERADA DI SE-


BUAH TEMPAT DENGAN PENARI DIKELILINGI BANYAK
PENONTON.

73. Kanu : Lihat, bagaimana gadis di sini pada menari.

JONI MERASA KAGUM MELIHAT WAJAH CANTIK


PENARI. IA MERASA TIDAK ASING DENGAN WAJAH ITU.

74. Kanu : Jon, lihat wajah penari itu? Wow, body-nya.


Tunggu, aku ambilkan minum dulu....
75. Joni : Terserah. Tiffany apakah itu kau? Mengapa
engkau ada di tempat seperti  ini. (ME-
NATAP KAGUM).
76. Kanu : Ini Jon, minuman ini akan membuat kamu
tenang. Minumlah....
77. Joni : Baiklah....
78. Kanu : Silahkan, Tuan.

TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN JONI MERASA PUSING


DAN SULIT MENGENDALIKAN EMOSI. KANU MENE-
NANGKAN JONI.

79. Joni : Kurang ajar kau, beraninya memainkan wa-


nita. Tuhan kalau kau berani ambil saja nya-
waku, jangan bidadari surgaku. (MABUK).

134 Sarapan Terakhir


TANPA SENGAJA, JONI MENYENGOL PENGUNJUNG
LAIN.

80. Joni : Kurang ajar...! Tuhan akan membawamu


ke neraka....
81. Kanu : Sudah hentikan....

KANU MEMBAWA JONI PULANG.

82. Joni : Kan, ada lagi enggak minumnya....


83. Kanu : Ini sudah sampai rumah.

JONI MASUK KE KAMAR.

84. Ibu : Kamu dari mana, Joni?


85. Joni : Dari makan bersama teman.
86. Ayah : Kenapa wajahmu banyak luka?
87. Ibu : Bagaimana ulangannya?
88. Joni : Kalian banyak tanya....
89. Ibu : Kamu minumkan? (SEDIH).
90. Joni : Iya, aku minum bir.
91. Ayah : Pantas saja setiap pagi wajahmu selalu tam-
pak lesu. Sekarang mending kamu keluar
dari keluarga ini. Jangan kembali! Keluar!
92. Joni : Maaf, Ayah, Ibu, dan kakak.
93. Ibu : Keluarga kita adalah keluarga kalangan atas.
Kau telah mencemarkan keluarga, kenapa
kau lakukan anakku?
94. Ayah : Keluar dari tempat ini, bawa semua barang-
mu.
95. Ibu : Nak, jangan pergi. (MENANGIS).
96. Joni : Ayah dan Ibu jagalah kakak, semoga ia men-
jadi orang yang dapat diandalkan.

JONI PERGI BERJALAN MENYUSURI MALAM. SAMPAI


DI SUATU TITIK DIA INGIN BUNUH DIRI.

Antologi Naskah Drama 135


97. Tiffany : Sudah hentikan, semua ada jalan keluarnya
Tuhan akan membantu.
98. Joni : Kenapa kamu ada di sini? Cepat pergi.
99. Pengawal : Itu dia, ayo kita kejar!
100. Tiffany : Ayo lari, pengawal itu mengejar kita.
101. Joni : Apa?
102. Tiffany : Cepat lari.
103. Joni : Kita mau kemana?
104. Tiffany : Aku akan membawamu ke rumahku.

TIFFANY MEMBAWA JONI KE TEMPAT HUNIAN YANG


KURANG LAYAK. HANYA TERDAPAT KARPET SEBAGAI
ALAS TIDUR DAN MEJA MAKAN KECIL USANG.

105. Joni  : Aduh...laparnya.


106. Tiffany : Sebentar aku cari makan.
107. Joni : Maaf, merepotkan.
108. Tiffany : Ini hanya ada sepotong roti dan teh panas
buat kamu. Lainnya sudah dimakan teman-
temanku.
109. Joni  : Kalau boleh tahu, kamu dapat teman dari
mana? Aku tidak punya teman sebanyak
ini.
110. Tiffany : Mereka adalah para pejuang bangsa yang
tidak dapat persinggahan, makanya aku
membuat tempat ini sebagai tempat ting-
gal mereka. Tetapi beberapa hari ini banyak
orang yang ingin mengambil tempat ini.
Mereka romantis, lho. Roni dan Tiara ada-
lah suami istri, mereka ikut membuat nega-
ra ini merdeka.
111. Joni : Aku salut dan kagum dengan mereka.Terus
kenapa tadi banyak yang mengejarmu?
112. Tiffany : Oh...mereka adalah para penggemarku.
Kenapa wajahmu terluka? (GELISAH).

136 Sarapan Terakhir


113. Joni : Aduh, sakit. Luka ini terjadi saat aku me-
lihat penari cantik.
114. Tiffany : Jadi kamu sudah tahu? Jangan bilang siapa-
siapa soal itu. Aku mencari uang untuk
makan sehari-hari bersama teman-teman-
ku.
115. Joni : Kamu seorang bangsawan dari Belanda,
bukan? Jujurlah, sekarang kita berteman.
116. Tiffany : Iya, benar. Aku keluar dari istana karena
sering melihat banyak warga daerah di sini
yang tidak diperlakukan secara adil. Aku
ingin membantu mereka. Sekarang cepat-
lah tidur, sudah mau pagi.

PAGI DATANG, TEMAN-TEMAN TIFFANY MULAI


BERJUALAN. JONI DIBANGUNKAN TIARA.

117. Joni : Di mana yang lain? Kenapa dengan Tiffany?


118. Tiara : Mereka sudah berangkat bekerja. Bebe-
rapa hari ini Nyonya Tiffany sering sakit di
bagian kepala. Joni mungkin bisa menolong
dengan mencari uang untuk beli obat.

JONI PERGI MENUJU JALAN SEKOLAH TEMPAT AWAL


DIA BERTEMU TIFFANY. IA MEMBAWA KORAN, GITAR,
DAN LUKISAN UNTUK DIJUAL.

119. Kanu : Joni, kemana saja kau. Kakakmu akan me-


nikah dengan  seorang gadis cantik.
120. Joni : Kanu, tolong beli gitar ini. Kakakku me-
nikah?
121. Kanu : Aku akan bantu. Terus bagaimana dengan
sekolah dan keluargamu? Kamu tahu ka-
kakmu sampai stres untuk mendapatkan
gadis itu?

Antologi Naskah Drama 137


122. Joni : Sekolah akan aku pikirkan nanti. Sekarang
aku butuh uang untuk membantu orang
lain.
123. Kanu : Aku bangga denganmu. Kamu peduli de-
ngan orang lain. Ini uangnya ambil saja
semua. Ini obat dari ibumu.
124. Joni : Terima kasih banyak, Kanu.

TIBA-TIBA TIARA BERLARI KE ARAH JONI, MENGA-


BARKAN SESUATU.

125. Tiara : Joni, Tiffany.... (SEDIH).


126. Joni : Ada apa dengan Tiffany?
127. Tiara : Nyonya Tiffany....(MENANGIS).
128. Joni : Apa yang terjadi dengan Tiffany?
129. Tiara : Dia diculik....

JONI BERLARI KE SEBUAH HALAMAN TEMPAT


PERNIKAHAN. ADA IBU JONI DAN KELUARGA.

130. Ibu : Anakku, sudah lama kau pergi. Kemana


saja selama ini?
131. Joni : Mana Kak Jovi?
132. Ibu : Kakakmu akan menikah, dia ada di sana.

JOVI DATANG MENGHAMPIRI SANG ADIK DENGAN


DIDAMPINGI BODYGUARD.

133. Joni : Kak Jovi, hentikan semua ini, jangan sakiti


gadis itu.
134. Jovi : Kenapa bocah baru gede? Kamu balik ke
keluarga ini?
135. Joni : Di mana Tiffany? Kakak sembunyikan di
mana?

TIFFANY DATANG DENGAN HATI GELISAH YANG IA


PENDAM.

138 Sarapan Terakhir


136. Joni : Ternyata kakak yang menyuruh orang-
orang busuk itu menculik Tiffany.
137. Jovi : Coba kamu lihat, Tiffany senang berada di
sini.
138. Joni : Senang? Benarkah Tiffany?
139. Tiffany : Aku senang Joni. Maaf kalau selama ini aku
banyak membohongimu.
140. Joni : Tidak Tiffany, ikuti kata hatimu, bukan
nafsumu. Apakah kamu tidak peduli deng-
an  teman-temanmu, mereka mencemas-
kanmu.
141. Tiffany : Teman-teman? (MENGINGAT KEMBALI).
142. Joni : Aku akan membawamu kembali kepada
mereka, teman-temanmu.

JONI MENGAJAK TIFFANY LARI. PARA BODYGUARD


MENGEJAR.

143. Joni : Ayo Tiffany, lari!


144. Jovi : Cepat kejar mereka!
145. Tiffany : Aku lelah, Joni!

MEREKA SALING KEJAR DI TEMPAT PERNIKAHAN


ITU. TERDENGAR SUARA TEMBAKAN. KAKI JONI TER-
TEMBAK PELURU BODYGUARD/PENGAWAL.

146. Joni : Kakiku, cepat lari Tiffany. (KESAKITAN).


147. Pengawal : Sakitkan....?
148. Joni : Lebih sakit hatiku jika melihat Tiffany di-
siksa.
149. Pengawal : Oh... kau mau lagi?
150. Tiffany : Sudah hentikan. Aku akan ikut dengan ka-
lian asal jauhi rumahku.
151. Joni : Jangan Tiffany.....
152. Pengawal : Ayo gadis manis.

Antologi Naskah Drama 139


153. Tiffany : Jangan sentuh aku. Joni sampaikan salamku
kepada teman-teman.

PENGAWAL MEMBAWA TIFFANY MENGHADAP TUAN


JOVI. JONI DIPERINTAHKAN PERGI.

154. Jovi : Terima kasih bodyguard-ku.


155. Pengawal : Tidak apa-apa, Tuan.
156. Jovi : Pernikahan akan dilaksanakan besok, tolong
penjagaan lebih diperketat lagi! Dan kamu
gadis cantik, besok harus berpakaian yang
indah!
157. Tiffany : Apakah kamu tidak peduli dengan adik-
mu?
158. Jovi : Bodo amat, sebenarnya dia bukanlah adik-
ku. Ibuku yang memungut dia saat bayi.
159. Tiffany : Dasar laki-laki kurang ajar!

JOVI MENAMPAR TIFFANY.

160. Joni : Cepat masuk ke dalam dan tidur.

TAMU UNDANGAN (BANGSAWAN) BERDATANGAN.


JONI HANYA BISA MELIHAT DARI LUAR KARENA PEN-
JAGAAN BEGITU KETAT.

161. Joni : Biarkan aku masuk! (BERJALAN PIN-


CANG).
162. Pengawal : Kamu dilarang masuk oleh Tuan kami.
163. Joni : Ini rumahku, biarkan aku masuk!

PERTIKAIAN HEBAT TERJADI ANTARA JONI DENGAN


PARA PENGAWAL. TIFFANY KELUAR MENGENAKAN
GAUN YANG INDAH.

164. Tiffany : Hai, Joni! (TERSENYUM MANIS).


165. Joni : Alangkah cantiknya dirimu, Tiffany....

140 Sarapan Terakhir


166. Tiffany : Kamu datang ke sini untuk apa? Kamu mau
pulang ke keluargamu?
167. Joni : Tidak, Tiffany. Aku datang untuk mem-
berikan surat dan lukisan dirimu sebagai
kenang-kenangan dari aku dan teman-te-
manmu. Jika suatu saat   kamu membaca
surat ini, aku harap kau bisa membalasnya.
168. Tiffany : Terima kasih, Joni. Aku akan selalu menjaga-
nya. Aku pasti akan membalas suratmu.
Berjanjilah untuk menjaga teman-temanku....
169. Joni : Itu pasti aku lakukan!

JONI PERGI DENGAN HATI SEDIH. BEBERAPA WAKTU


KEMUDIAN TIFFANY TERINGAT DENGAN PEMBERIAN
JONI (SURAT DAN LUKISAN).

170. Tiffany : (MEMBACA SURAT JONI) Kepada Tiffany


malaikatku, aku berterima kasih kepadamu. Berkat
kamu aku menjadi mengerti apa itu keikhlasan
berbagi. Aku mengerti bagaimana harus mengubah
sikap menjadi dewasa. Hal terpenting, bukan dari
berapa banyak teman yang kita dapat, tetapi berapa
banyak teman yang peduli. Dari pemuja rahasia-
mu, Joni Wibisono. (TIFFANY MENANGIS
HARU). Aku akan membalas surat ini.

TIBA-TIBA JOVI DATANG.

171. Jovi : Apa yang sedang kamu lakukan di sini?


Ayo cepat makan....

JOVI MEMBACA ISI SURAT YANG DIBERIKAN JONI


UNTUK TIFFANY.

172. Jovi : Dasar perempuan kurang ajar, ternyata ka-


mu ada perasaan kepada adikku. (MENAM-
PAR TIFFANY).

Antologi Naskah Drama 141


TIFFANY JATUH SAKIT. JOVI MENYESALI PERBUAT-
ANNYA.
SEIRING BERLALUNYA WAKTU, JONI TERINGAT
AKAN TIFFANY. DIA DATANG MENGUNJUNGI RUMAH-
NYA.

173. Pembantu : Ada apa ke sini?


174. Joni : Permisi, Bu. Kok rumah ini sepi, peng-
huninya kemana?
175. Pembantu : Memang di sini cuma saya sendirian, Mas.
Ada apa, kok, Mas-nya ke sini?
176. Joni : Saya mencari Tiffany, Bu.
177. Pembantu : Oh, Nyonya Tiffany sudah lama tidak di
sini, sekarang hanya istri kedua Tuan Jovi.
Mas apanya Nyonya Tiffany?
178. Joni : Saya sahabatnya Tiffany. Kalau boleh tahu
kenapa Tiffany tidak ada di sini. Apakah
ia pergi?                                
179. Pembantu : Kabarnya dia dibunuh oleh Tuan Muda,
sekarang Tuan Muda ada di penjara.
180. Joni : Apa? Dibunuh? Tuhan aku ingin sekali me-
mandang senyumnya.

JONI MENANGIS KARENA MERASA BERSALAH.

-SELESAI-

Ramadhan Rahmad Prakarsa. Lahir di Sleman


pada 16 Desember 1999. Sekolah di SMK Negeri 3
Yogyakarta. Alamat rumah di Dowangan, Gamping,
Sleman. Nomor HP 083867845638.

142 Sarapan Terakhir

Anda mungkin juga menyukai