Anda di halaman 1dari 43

Kajian Sosiologi Sastra Cerpen “Sarpakenaka”

Karya Gunawan Maryanto


Makalah disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia
Dosen Pengampu Ferina Meliasanti, S.S., M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 5 Kelas 3 E
Aldo Gunawan 1710631080023
Fida’a Risky Nabila 1710631080060
Gita Rachmasari A. 1710631080069
Hana Septiana J. 1710631080071
Risnawati Sumarlin 1710631080137

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2018
Kata Pengantar

Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas
berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Kajian Prosa Fiksi
Indonesia Bu Ferina Meliasanti, S.S, M.Pd. karena telah membimbing kami dalam
menyelesaiakan tugas ini. Kami sampaikan juga rasa terima kasih kepada teman-
teman yang telah bekerja sama dengan baik saat mengerjakan tugas ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca sehingga
pembaca memiliki pemahaman yang lebih, khususnya mengenai analisis sosiologi
terhadap karya sastra berupa cerpen. Kami menyadari banyak sekali kekurangan
pada makalah ini, baik penggunaan kata ataupun tanda baca. Maka dari itu kami
mengharap kritik dan sarannya guna memperbaiki kesalahan tersebut.

Karawang, 26 Desember 2018

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................ ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Pengarang dan Karyanya....................................................................................2

1.3 Kajian Teori .......................................................................................................3

1.4 Rumusan Masalah ..............................................................................................4

BAB 2 Analisis Struktur Cerpen “Sarpakenaka”

2.1 Aspek Sintaksis

2.1.1 Sinopsis ...............................................................................................5

2.1.2 Pengaluran ...........................................................................................6

2.1.3 Alur ...................................................................................................12

2.2 Aspek Semantik

2.2.1 Analisis Tokoh dan Penokohan .........................................................17

2.2.2 Analisis Latar ....................................................................................22

2.3 Aspek Penceritaan

2.3.1 Analisis Sudut Pandang.....................................................................26

2.3.2 Analisis Tipe Penceritaan ..................................................................27

BAB 3 Pembahasan

3.1 Konteks Sosial

3.1.1 Kemauan yang Tinggi .......................................................................31

ii
3.1.2 Kepercayaan Orang Desa ..................................................................31

3.1.3 Organisasi Zaman Dulu.....................................................................32

3.2 Konteks Budaya

3.2.1 Adat Istiadat ......................................................................................32

3.2.2 Bahasa ...............................................................................................33

3.2.3 Mitos .................................................................................................33

BAB 4 Simpulan ...................................................................................................34

Daftar Pustaka ......................................................................................................35

Lampiran ..............................................................................................................36

iii
Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Sastra sendiri merupakan karya seni yang mengandung keindahan. Dalam sastra,
terdapat karya yang dihasilkan yang disebut karya sastra. Karya sastra meliputi
cerita pendek atau cerpen, novel, puisi dan drama. Setiap karya sastra tersebut
mencerminkan keindahan. Tiap-tiap karya sastra memiliki nilai keindahan yang
berbeda. Hal ini disebabkan bentuk dan gaya bahasa yang berbeda pada setiap karya
sastra.
Cerita pendek adalah salah satu karyanya. Cerpen sendiri merupakan karya
sastra fiksi yang sesuai namanya memperlihatkan semuanya serba pendek. Baik itu
dalam penggunaan katanya, pelaku yang digunakan, isi ceritanya dan juga peristiwa
yang diceritakan (Priyatni, 2016: 126).
Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu,
dengan peranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari
hasil imajinasi pengarangnya (dan kenyataan) sehingga menjalin suatu cerita
(Aminudin, 2010: 66). Karya sastra merupakan tanggapan sastrawan terhadap
realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Seperti cerpen “Sarpakenaka” karya
Gunawan Maryanto ini yang mengangkat cerita tentang asal-usul wayang
Sarpakenaka.
Penulis menceritakan bahwa ada seorang anak yang sedang mencari tahu hal-
hal menyangkut wayang tersebut. Katanya, wayang itu ajaib dan membaca celaka.
Siapa yang menggunakannya, akan meninggal. Jadi wayang itu disimpan dalam
sebuah kotak agar tidak lagi ada korban. Dan anak yang mencari tahu wayang itu,
berniat untuk mengambil dan membawa pulang wayang tersebut.
Alasan kami memilih cerpen ini karena cerpen ini begitu kental dengan budaya
lama, yaitu wayang. Wayang sarpakenaka dikenal sebagai wayang yang
menyeramkan karena wayang tersebut terbuat dari kulit manusia. Selain wayang
sarpakenaka, tidak ada lagi wayang yang terbuat dari kulit manusia asli. Kulit
manusia yang digunakan berasal dari kulit seorang wanita yang tidak dijelaskan

1
siapa dan sampai sekarang pun keluarga wanita tersebut tidak tahu bila kulit wanita
itu digunakan untuk wayang sarpakenaka.
Selain itu cerpen Gunawan Maryanto ini juga membawa wawasan baru. Bagi
orang-orang awam, yang tidak tahu-menahu tentang wayang mungkin akan tertarik
dengan wayang yang satu ini. Diceritakan ternyata wanita yang kulitnya digunakan
untuk wayang sarpakenaka ini merupakan penari wayang orang, dan tokoh
kesukaannya adalah sarpakenaka. Lalu mulailah terkuak dengan detail bagaimana
asal-muasal wanita itu dikuliti dan dijadikan wayang.

B. Pengarang dan Karyanya


Gunawan Maryanto adalah seorang sutradara, aktor dan penulis. Lahir di
Jogjakarta, 10 April 1976. Bekerja di Teater Garasi/Garasi Performance Institute
sebagai Associate Artistic. Dalam 7 tahun terakhir mengelola IDRF (Indonesia
Dramatic Reading Festival) selaku penata program. Saat ini menetap di Jogjakarta.
Bukunya yang telah terbit antara lain Waktu Batu (naskah lakon, ditulis
bersama Andre Nur Latif dan Ugoran Prasad, Indonesiatera, 2004), Bon
Suwung (kumpulan cerpen, Insistpress, 2005), Galigi (kumpulan cerpen,
Koekoesan 2007), Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri
Petualangannya (kumpulan puisi, Omahsore, 2008), Usaha Menjadi
Sakti (kumpulan cerpen, Omahsore, 2009), Sejumlah Perkutut Buat
Bapak (kumpulan puisi, Omahsore 2010—mendapatkan Hadiah Sastra
Khatulistiwa), The Queen of Pantura (kumpulan puisi, Omahsore, 2013), Sukra’s
Eyes and Other Stories (short stories, Lontar, 2015) dan terbaru Pergi Ke Toko
Wayang (kumpulan cerita, Tan Kinira 2015).
Karya penyutradaraannya bersama Teater Garasi di antaranya
adalah Sri (adaptasi dari Yerma karya F Garcia Lorca, 1999), Repertoar
Hujan (2001, 2005), Dicong Bak (2006), Gandamayu (2012) dan Krontjong
Mendoet (2012).
Ia juga kerap bekerja sama dengan (Alm) Ki Slamet Gundono, Kelompok Sahita,
Miroto, dan Eko Nugroho dalam berbagai proyek penciptaan. Selain itu ia juga
membintangi sejumlah film seperti Toilet Blues (Sutradara Dirmawan Hatta,

2
2013), Optatissimus(Sutradara Dirmawan Hatta, 2013), Guru Bangsa:
Tjokroaminoto (Sutradara Garin Nugroho, 2015), Mencari Hilal (Sutradara Ismail
Basbeth, 2015), Aach… Aku jatuh Cinta!(Sutradara Garin Nugroho,
2015), Nyai (Sutradara Garin Nugroho, 2016) dan Istirahatlah Kata-
Kata (Sutradara Yosep Anggi Noen, 2016).
Penghargaan seni yang pernah diraihnya adalah Anugrah Budaya dari
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk Media Cetak dan Elektronik
kategori puisi pada tahun 2007, FTI Award 2008 dan Anugrah Sastra Khatulistiwa
2010 untuk katagori puisi. Cerpen dan puisi-puisinya juga masuk ke dalam Cerpen
Indonesia Terbaik dan Puisi Indonesia Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana
2008 dan 2009. Terakhir ia dinobatkan sebagai aktor film terbaik 2016 pilihan
Majalah Tempo untuk permainannya sebagai Wiji Thukul dalam film Istirahatlah
Kata-Kata.
Sebagai penulis ia pernah diundang untuk membacakan karyanya di Bienal
Sastra Internasional Utan Kayu 2005, Ubud Writers and Readers Festival 2006,
Global Voices in Borobudur 2009, Korean ASEAN Poetry Literary Festival II 2011
dan Frankfurt Book Fair 2015. Dan sebagai teaterawan pada tahun 2005 ia diundang
untuk mengikuti Physical Theatre Festival di Tokyo, mengikuti residensi teater di
Cheuncheon, Korea Selatan pada tahun 2012, mengikuti OzAsia Festival di
Adelaide, Australia pada tahun 2015. Terakhir bersama Wayang Bocor dan Eko
Nugroho melawat ke New York, North Carolina dan Los Angeles (2017).

C. Kajian Teori
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat
mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakatan (sosial). Sesuai dengan namanya, sebenarnya pada pendekatan
tersebut sastra dipahami melalui perkawinan ilmu sastra dengan ilmu sosiologi.
Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan pendekatan ini, di samping harus
menguasai ilmu sastra, kita juga harus menguasai konsep- konsep (ilmu) sosiologi
dan data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah oleh (ilmu) sosiologi.
Pendekatan sosiologi sastra memiliki berbagai varian yang masing-masing

3
memiliki kerangka teori dan metode sendiri. Junus (1986) membedakan
sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu;
1. Sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial-
budaya,
2. Sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra,
3. Sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya,
4. Sosiologi sastra yang mengkaji pengaruh sosial-budaya terhadap
penciptaan karya sastra,
5. Sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya
sastra, dan
6. Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldman dari
peranci

D. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang didapat dari analisis struktur dalam cerpen “Sarpakenaka”
karya Gunawan Maryanto?
2. Apa saja yang ditemukan dalam konteks sosial dan konteks budaya pada
cerpen “Sarpakenaka” karya Gunawan Maryanto?

4
BAB 2
Analisis Struktur Cerpen “Sarpakenaka”

2.1 Aspek Sintaksis


2.1.1 Sinopsis

Cerita Sarpakenaka ini menceritakan tentang asal-usul wayang sarpakenaka


yang terbuat dari kulit manusia. Sarpakenaka adalah raksasa perempuan adik dari
Rahwana raja Alengka dalam kisah Ramayana. Awal mula cerita ini dimulai
dengan pertanyaan Pak Karyono kepadaku “Anak jadi akan membawanya pulang
sekarang?”, diberi pertanyaan seperti itu, aku merasa harus berpikir ulang untuk
membawa wayang sarpakenaka itu.
Lalu cerita terus berjalan, kakek itu mulai bercerita, bahwa ia adalah orang
keempat yang menyimpan wayang itu. Orang pertama ialah penciptanya, seorang
penatah wayang dan dalang bernama Mbah Jayeng. Setelah seminggu wayang
selesai disungging , Mbah Jayeng meninggal dan wayang tersebut berpindah tangan
ke anaknya, Dayang Sudi. Tak lama setelah Dalang Sudi memainkan wayang itu
dalam suatu pertunjukan, ia pun meninggal dunia. Setelah itu wayang disimpan oleh
ayahnya. Warga desa menganggap wayang tersebut adalah penyebab kematian
Mbah Jayeng dan Dalang Sudi. Sebagai kepala desa, ayahnya menyimpan wayang
tersebut. Dan kakek itu terdiam.
“Kenapa tidak dimusnahkan saja, Pak? Dibuang, dilarung atau dibakar?”
kataku dengan penuh rasa ingin tahu. Tapi Pak Karyono menolak, dan bicara
mengenai betapa resikonya sangat besar jika ia memusnahkan wayang itu. Dan
memilih untuk menyimpannya dalam kotak.
“Setelah itu tak ada korban lagi, Pak?” tapi pak Karyono tidak langsung
menjawabnya. “Jadi masih jatuh korban lagi ya, Pak?” Tanyaku menebak-nebak.
“Tapi bukankah kata bapak wayang itu tak pernah dikeluarkan lagi dari kotaknya
setelah kematian Dalang Sudi.”
“Masih ada lagi, Nak.” Kata Pak Karyono dengan berat. “Wayang celaka
itu keluar dari kotaknya. Dan memakan korban lagi.” Dan yang dimaksud Pak

5
Karyono korban lagi adalah ayahnya sendiri, orang ketiga yang menyimpan wayang
tersebut. Selain ayahya itu, juga Pak Leroy, orang Belanda yang ternyata dikenali
olehku.
Ketika melihat foto yang kutunjukan, foto ayah Pak Karyono bersama Pak
Leroy dan wayang itu, ia semakin terkejut dan hampir tidak mempercayainya. Tapi
akhirnya ia bertanya kepadaku, “Dari mana Anak mendapatkan foto ini?” Matanya
memelototi lembar-lembar foto itu. “Dari Egbert. Anak Pak Leroy.” Pak Karyono
kini ganti memelototiku. Seperti tak percaya dengan jawaban yang kuberikan.
Lalu semua dimulai, kuceritakan awal mula aku mengenal Egbert dan
semakin teratrik untuk mencari tahu asal-usul Sarpakenaka. Selai Egbert, aku juga
menanyakannya kepada simbah, Mbah Jito.
Awalnya sulit memang memancing simbah untuk menceritakan kejadian
yang sebenarnya ia ketahui. Mulatsih, nama mbah putriku yang merupakan seorang
penari wayang orang dan sangat menyukai tokoh Sarpakenaka yang ia mainkan.
Dan akhirnya Pak Karyono pun bersuara. Ia ikut menceritakan kejadian
waktu itu. Ia persis tahu betul siapa Mulatsih dan apa yang terjadi padanya. Dan
yang ternyata kulitnya lah yang digunakan pada wayang Sarpakenaka yang sudah
menyebabkan 4 orang meninggal dunia karena memainkannya.

2.1.2 Pengaluran
Dari keseluruhan analisis cerpen “Sarpakenaka” ini terdapat 35 sekuen. Ke-
35 sekuen tersebut merupakan sekuen induk, karena 52 sekuen sebenarnya berupa
1 sekuen ingatan kilas balik dan 8 sekuen baerupa ingatan sorot balik.
Pak Karyono menatapku dengan tajam. Seperti tengah mengulitiku dengan
kejam (sekuen 1). “Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” ucapan kakek
itu memaksaku untuk berpikir ulang untuk membawa wayang itu (sekuen 2).
Ingatan Pak Karyono itu mengutarakannya, bahwa ia adalah orang keempat yang
menyimpan wayang itu. Awalnya penciptanya sendiri yang menyimpannya, setelah
meninggal anaknya yang menyimpan itu dan tidak lama juga meninggal, lalu
ayahnya sendiri yang menyimpannya sampai ia meninggal dan akhirnya sekarang
dirinya lah yang menyimpannya (sekuen 3).

6
Aku menanyakan kepada Pak Karyono, kenapa wayang itu tidak dibuang
atau dimusnahkan saja? (sekuen 4). Pak Karyono menuturkan ketakutannya, ia
takut lebih beresiko jika ia memusnahkannya. Jadi ia menyimpannya di dalam
kotak dan tidak mebukanya lagi (sekuen 5). Aku bertanya lagi padanya, apakah
setelah apa yang ia lakukan, ada lagi korban? (sekuen 6). Tapi tak ada jawaban dari
Pak Karyono (sekuen 7).
Aku membenarkan bahwa sepertinya ada lagi korban (sekuen 8). Aku
menampakkan kebingunganku (sekuen 9). Pak Karyono pun akhirnya
menceritakannya. Bahwa korban itu ternyata ayahnya sendiri dan Pak Leroy dari
Belanda yang ternyata aku mengenal orang itu (sekuen 10). Lalu aku memastikan
Pak Leroy itu dengan menunjukan foto yang kubawa, kepada sang kakek (sekuen
11). Pak Karyono bingung, darimana aku mendapat foto Pak Leroy dan ayahnya?
(sekuen 12). Aku menjawab, “dari Egbert, anak Pak Leroy” (sekuen 13). Pak
Karyono melotot karena begitu kaget dan tak percaya. Segera aku mengakui bahwa
yang aku lakukan saat ini bukanlah untuk tugas kuliah (sekuen 14). Pak Karyono
yang masih bingung, menanyakan alasan mengapa aku ingin membawa pulang
wayang itu (sekuen 15). Aku pun berterus terang tentang kulit wayang itu adalah
kulit orang yang aku cari selama ini. Pak Karyono pun menegang saat mendengar
tuturanku (sekuen 16). Pak Karyono pun terus bertanya “dari siapa aku mengetahui
semua itu?” dan aku dengan santai menjawab “Mbah Jito” (sekuen 17). Pak
Karyono memastikan “Girjito maksudmu?” dan aku dengan mantap
mengiyakannya (sekuen 18).
Ingatan akan Mbah Jito muncul ketika Pak Karyono menanyakan kabar
simbah. Simbah sudah meninggal satu tahun yang lalu. Sepulang dari Pulau Buru
kesehatan simbah terus menurun, walau begitu ingatannya masih baik meskipun
fisiknya sangat lemah (sekuen 19). Pak Karyono menduga “pasti ia sudah bercerita
banyak” (sekuen 20). Aku mengiyakan dugaan Pak Karyono, dan bertutur “tapi
tidak dengan Mbah Mulatsih. Aku tau awalnya justru dari Egbert”. Pak Karyono
merah padam mendengar nama Mulatsih disebut (sekuen 21).
Ingatan aku kembali pada suatu siang ketika sedang berselancar diinternet
mencari hal tentang kebudayaan jawa dan menemukan foto Pak Leroy bersama

7
wayang, disebuah laman yang dikelola oleh Egbert. Dalam foto tersebut, terdapat
dua wayang yang menarik perhatian; Arjuna dan Sarpakenaka. Disana tertulis
wayang tersebut dari kulit manusia dan aku tidak langsung mempercayai hal itu.
Tapi salah satu wayang, tidak diberi keterangan selain menandai sebuah lokasi. Dan
aku mengirimkan email kepada Egbert karena teralalu penasaran (sekuen 22).
Sehari setelah mengirimkan email, Egbert membalas email dan berkata
bahwa ia sengaja tidak mencantumkan keterangan lebih banyak tentang
Sarpakenaka karena ayahnya berpesan seperti itu (sekuen 23). Lalu aku kembali
membalas email Egbert dengan perasaan yang sangat penasaran kelanjutannya
mengenai wayang Sarpakenaka tersebut (sekuen 24). Selain itu, aku kembali
mencari tahu kata kunci lainnya dan bertanya kepada simbah, mengetes ingatan
simbah terhadap Sarpakenaka (sekuen 25).
Ingatan aku terhadap percakapan bersama simbah, membahas wayang
Sarpakenaka. Simbah hanya membahas wayang Sarpakenaka yang pernah
kupelajari di sekolah. Lalu aku kembali bertanya, alasan simbah begitu menyukai
sosok Sarpakenaka. Tapi lagi-lagi jawaban yang simbah berikan bukanlah yang aku
harapkan. Simbah hanya kembali membahas sosok Sarpakenaka dalam kisah
pembacaan Sastrajendra (sekuen 26).
Ingatan pada waktu itu setelah percakapan tersebut, tiba-tiba simbah masuk
ke kamarnya dan mulai bercerita tentang mbah putriku yang ternyata merupakan
wayang orang dan sering memainkan tokoh Sarpakenaka (sekuen 27). Lalu simbah
duduk disebelahku (sekuen 28). Ingatan ketika simbah mulai bercerita lebih lanjut
mengenai mbah putriku yang merupakan penari wayang yang bagus dan suka
berganti-ganti peran. Simbah juga cerita bahwa ia merupakan Penabuh Kenong.
Sebagai penari, mbah putriku disukai banyak penggemar (sekuen 29). Kemudian
simbah memperlihatkan aku foto yang sudah usang, foto itu memuat mbah putriku.
Kata simbah hanya foto itu yang tersisa, yang ia bawa dari tahanan dan yang lainnya
terbakar bersama rumah mereka dulu (sekuen 30).
Ingatan simbah terhadap mbah putri semenjak ia dibawa ke tahanan, tak
pernah lagi bertemu. Ada yang bilang mbah putri dan ibuku pergi mengungsi ke
rumah orang tua simbah. tapi beberapa hari kemudian rumah itu dibakar. Mbah

8
putri ditangkap karena dianggap Gerwani. Tapi ada yang bilang ia dihakimi massa
(sekuen 31). Aku ikut membenarkan, karena ibu pernah bilang ia mencarinya
sampai ke Bulu dan Plantungan (sekuen 32). Ingatan simbah lagi, ia bicara mungkin
benar mbahku tidak dibawa ke tahanan. Karena sepulang dari Bulu, teman-teman
simbah bilang bahwa mbah putri dibawa menggunakan truk dan tidak ada yang tahu
truk itu menuju kemana (sekuen 33).
Ingatan Pak Karyono membuatnya bicara, bahwa Mulatsih memang ada
dalam truk yang ia tumpangi saat itu bersama ayahnya dan Dalang Sudi juga
tentara-tentara penjaga tahanan. Ia kira truk itu akan menuju Ambarawa dan
memasukkan mereka ke penjara, tapi ternyata tidak. Dalam keadaan terikat di dekat
Kalijambe di tepi hutan karet, mereka ditembaki satu per satu, dan tubuh mereka
dilempar ke bawah. Ketika saatnya melempar tubuh Mulatsih, Dalang Sudi
memintaku tidak melemparnya dulu lalu ia menguliti penari wayang orang itu dan
membawa kulitnya pulang. Sarpakenaka akan tetap menjadi Sarpakenaka, katanya
sambil tersenyum (sekuen 34).
Dengan lemah, Pak Karyono masuk ke dalam kamar dan keluar membawa
kotak kayu seraya bertanya untuk memastikan kembali, “Anak jadi akan
membawanya pulang sekarang?” (sekuen 35).
Pada sekuen 3 ditemukan berupa sorot balik, artinya pada sekuen tersebut
menceritakan peristiwa yang telah terjadi yang diceritakan dalam bentuk rangkaian
peristiwa. Dalam sekuen itu, Pak Karyono mulai menceritakan bahwa ia adalah
orang keempat yang menyimpan wayang Sarpakenaka. Orang pertamanya yaitu
Mbah Jayeng, seorang penatah wayang dan dalang dan ialah yang menciptakan
wayang itu. Lalu setelah Mbah Jayeng meninggal, wayang tersebut disimpan di
Dalang Sudi. Tidak lama setelah memaikannya Dalang Sudi juga meninggal. Lalu
akhirnya ayah Pak Karyono yang menyimpannya. Tapi ia juga meninggal karena
memainkannya bersama Pak Leroy. Selain sekuen 3, dalam cerpen ini juga banyak
terdapat ingatan sorot balik. Karena cerita ini identik dengan kisah masa lalu yang
sedang diungkit oleh tokoh aku itu sendiri dan hal itulah yang membuat cerpen ini
menarik.

9
Ingatan sorot balik tidak hanya pada sekuen 3, tetapi juga pada sekuen 19,
22, 26, 29, 31, 33, dan 34. Pada sekuen 19, terdapat percakapan Pak Karyono dan
tokoh aku yang sedang membicarakan keadaan Mbah Jito alias Simbah.
“Dari siapa kamu pertama kali mendengar semua ini?”
“Mbah Jito.”
Wajah Pak Karyono memerah.
“Girjito maksudmu?”
“Iya, Pak.”
“Hmm… Bagaimana kabarnya? Apakah ia sehat-sehat saja?”
“Simbah sudah meninggal kira-kira setahun yang lalu, Pak.”
“Oh…” Pak Karyono kembali terdiam.
“Sepulang dari Pulau Buru kesehatan simbah terus menurun, Pak.
Ingatannya masih baik meskipun fisiknya sangat lemah. Simbah baru
meninggal tahun lalu. 30 tahun setelah kepulangannya.” (Maryanto,
2010)
Pada sekuen 22, disebut sorot balik karena tokoh aku menceritakan
bagaimana awal mulanya ia mengetahui smeua itu dan mengenal sosok Egbert yang
memulai rasa penasaran terhadap foto yang ia simpan di laman webnya.
Selanjutnya pada sekuen 26, merupakan percakapan tokoh aku dengan Mbah Jito
atau simbahnya yang mulai membahas siapa itu Sarpakenaka?
“Mbah, kalau saya bilang Sarpakenaka, apa yang terlintas di kepala
Simbah sekarang?”
Meski sedikit aku bisa melihat perubahan di raut mukanya.
“Sarpakenaka, Le? Apakah dulu di sekolah kamu tak pernah
mendengar nama itu?” Ia dengan cepat membalik pertanyaan.
“Pernah, Mbah. Kalau tak salah tokoh itu adalah seorang raksasa
perempuan adik dari raja Alengka. Dia jatuh cinta pada Lesmana, adik
dari Sri Rama. Tapi cintanya ditolak. Dan dia malah dipermalukan
oleh Lesmana di tengah hutan Dandaka.”
“Ya. Seperti itu pula yang terlintas dalam kepalaku sekarang.”
“Begitu pula yang terlintas di kepala orang-orang lain yang sedikit
banyak mengenal wayang, Mbah.”
“Maksudmu, Le?”
“Bukan jawaban semacam ini yang saya harapkan, Mbah.”
“Lalu jawaban macam apa?”
“Kenapa simbah sangat menyukai tokoh Sarpakenaka. Waktu saya
masih kecil simbah sering banget bercerita tentang Sarpakenaka
sebelum saya tidur. Kenapa, Mbah? Bukankah Sarpakenaka adalah
seorang raksesi yang jahat?”
“Karena tak ada tokoh yang benar-benar jahat dan sebaliknya, tak ada
yang benar-benar baik.”
“Benar, Mbah.”

10
“Apakah Sarpakenaka memilih dilahirkan menjadi sosok raseksi yang
jahat? Dan sebagai perempuan tak bolehkah ia mengutarakan
cintanya?”
Aku mengiyakan. Berharap simbah akan semakin panjang lebar
bercerita tentang Sarpakenaka. Mungkin dari sana, meski susah, aku
bisa menarik benang merah.
“Bagiku Sarpakenaka hanya korban dari kegagalan orangtuanya
dalam membaca perintah Ilahi. Ia juga hanya korban dari
pengkhianatan bapak terhadap anaknya. Benar tidak tafsirku? Kamu
sudah besar. Mungkin kamu punya tafsir sendiri atas kisah pembacaan
Sastrajendra itu.”
“Benar, Mbah. Saya sepakat. Benar Sarpakenaka adalah buah dari
kegagalan Wisrawa dan Sukesi dalam membaca Sastrajendra. Jika
sanggup menahan nafsu tentu mereka tak akan mengotori malam itu
dengan persetubuhan yang tak semestinya terjadi. Benar bahwa
Wisrawa telah mengkhianati amanah Danaraja, anaknya sendiri. Ia
hanya diminta melamar Sukesi agar mau menjadi menantunya tapi
malah mengawininya untuk diri sendiri.”
“Bagus. Pintar.” (Maryanto, 2010).

Selain ingatan sorot balik, terdapat juga ingatan kilas balik. Pada sekuen 27
misalnya. Pada sekuen 27 Simbah mulai bercerita mengenai mbah putriku ternyata
seorang penari wayang orang dan tokoh yang paling sering dimainkannya adalah
Sarpakenaka.
“Dulu mbah putrimu adalah penari wayang orang.” Kata Simbah
tanpa kuduga. Aku sama sekali tak menduga setelah percakapan
tentang Sarpakenaka sore itu ia masih akan melanjutkannya lagi.
“Dan tokoh yang paling sering dimainkannya adalah Sarpakenaka.”
(Maryanto, 2010).

Demikianlah cerpen ini dibangun oleh beberapa jenis ingatan. Tidak ada
bayangan dalam cerpen ini. Hanya ada ingatan kilas balik pada sekuen 27 dan
ingatan sorot balik yang begitu mendominasi rangkaian cerita ini yaitu pada sekuen
3, 19, 22, 26, 29, 31, 33 dan sekuen 34. Dengan demikian pengaluran cerpen
“Sarpakenaka” ini dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.

11
Bagan Sekuen Cerpen “Sarpakenaka” Karya Gunawan Maryanto

3 19 22 26 27 29 31 33 34

Bulatan penuh dengan garis penuh dengan tanda panah berlawanan dengan
arah jarum jam menunjukkan sekuen ingatan kilas balik. Kemudian bulatan
berwarna putih (kosong) dengan garis penuh dengan tanda panah berlawanan arah
jarum jam menunjukkan sekuen ingatan sorot balik.

2.1.3 Alur
Alur dibangun pleh fungsi-fungsi utama, yaitu rangkaian peristiwa yang
memiliki hubungan kualitas. Cerpen “Sarpakenaka” memiliki urutan fungsi utama
sebagai berikut.
1. “Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” ucapan Pak Karyono
memaksaku untuk berpikir ulang untuk membawa wayang itu. (sekuen 2).
2. Ingatan Pak Karyono mengutarakannya, bahwa ia adalah orang keempat
yang menyimpan wayang itu. Awalnya penciptanya sendiri yang
menyimpannya, setelah meninggal anaknya yang menyimpan itu dan tidak
lama juga meninggal, lalu ayah Pak Karyono sendiri yang menyimpannya
sampai ia meninggal dan akhirnya Pak Karyono sekarang yang
menyimpannya. (sekuen 3).
3. Aku menanyakan kepada Pak Karyono kenapa wayang itu tidak dibuang
atau dimusnahkan saja? Pak Karyono menuturkan ketakutannya, ia takut
lebih beresiko jika ia memusnahkannya. Jadi ia menyimpannya di dalam
kotak dan tidak mebukanya lagi. Aku menanyakan kepada kakek apakah
setelah apa yang Pak Karyono lakukan, ada lagi korban? (sekuen 4, 5, 6).
4. Pak Karyono pun akhirnya menceritakannya. Bahwa korban itu ternyata
ayahnya sendiri dan Pak Leroy dari Belanda yang ternyata aku mengenal

12
orang itu. Pak Karyono itu bingung, darimana aku mendapat foto Pak Leroy
dan Ayahnya? (sekuen 7, 12).
5. Aku menjawab, “dari Egbert, anak Pak Leroy” (sekuen 13).
6. Pak Karyono yang masih bingung, menanyakan alasan mengapa aku ingin
membawa pulang wayang itu.(sekuen 15).
7. Aku pun berterus terang tentang kulit wayang itu adalah kulit orang yang
aku cari selama ini. Pak Karyono pun menegang saat mendengar tuturanku.
(sekuen 16).
8. Pak Karyono pun terus bertanya “dari siapa aku mengetahui semua itu?”
dan aku dengan santai menjawab “Mbah Jito”. Pak Karyono memastikan
“Girjito maksudmu?” dan aku dengan mantap mengiyakannya. Pak
Karyono menduga “pasti ia sudah bercerita banyak”. (sekuen 17, 18, 20).
9. Aku mengiyakan dugaan Pak Karyono, dan bertutur “tapi tidak dengan
Mbah Mulatsih. Aku tau awalnya justru dari Egbert”. Pak Karyono merah
padam mendengar nama Mulatsih disebut. Lalu aku mulai bercerita
bagaimana aku mengenal Egbert. (sekuen 21, 22).
10. Ingatan Selain itu, aku mencari tahu dan bertanya kepada simbah, mengetes
ingatan simbah terhadap Sarpakenaka. Awalnya simbah membahas wayang
Sarpakenaka yang pernah kupelajari di sekolah. Lalu aku kembali bertanya,
alasan simbah begitu menyukai sosok Sarpakenaka. Tapi lagi-lagi jawaban
yang simbah berikan bukanlah yang aku harapkan. Simbah hanya kembali
membahas sosok Sarpakenaka dalam kisah pembacaan Sastrajendra.
(sekuen 25, 26).
11. Ingatan ketika setelah percakapan itu, tiba-tiba simbah masuk ke kamarnya
dan mulai bercerita tentang mbah putriku yang ternyata merupakan wayang
orang dan sangat menyukai tokoh Sarpakenaka. Ingatan ketika simbah
mulai bercerita lebih lanjut mengenai mbah putriku yang merupakan penari
wayang yang bagus dan suka berganti-ganti peran. Simbah juga cerita
bahwa ia merupakan Penabuh Kenong. Sebagai penari, mbah putriku
disukai banyak penggemar. (sekuen 27, 29).

13
12. Ingatan simbah terhadap mbah putri semenjak ia dibawa ke tahanan, tak
pernah lagi bertemu. Ada yang bilang mbah putri dan ibuku pergi
mengungsi ke rumah orang tua simbah. tapi beberapa hari kemudian rumah
itu dibakar. Mbah putri ditangkap karena dianggap Gerwani. Tapi ada yang
bilang ia dihakimi massa. (sekuen 31).
13. Ingatan simbah kembali, ia bicara mungkin benar mbahku tidak dibawa ke
tahanan. Karena sepulang dari Bulu, teman-teman simbah bilang bahwa
mbah putri dibawa menggunakan truk dan tidak ada yang tahu truk itu
menuju kemana. (sekuen 33).
14. Ingatan Pak Karyono membuatnya bicara, bahwa Mulatsih ada dalam truk
yang ia tumpangi saat itu bersama ayahnya dan Dalang Sudi juga tentara-
tentara penjaga tahanan. Ia kira truk itu akan menuju Ambarawa, ternyata
tidak. Dalam keadaan terikat, mereka ditembaki satu per satu, dan tubuh
mereka dilempar ke bawah. Ketika saatnya melempar tubuh Mulatsih,
Dalang Sudi memintaku tidak melemparnya dulu lalu ia menguliti penari
wayang orang itu dan membawanya pulang. (sekuen 34).
15. Dengan lemah, Pak Karyono masuk ke dalam kamar dan keluar membawa
kotak kayu seraya bertanya untuk memastikan kembali, “Anak jadi akan
membawanya pulang sekarang?” (sekuen 35).

Cerpen “Sarpakenaka” digerakan pertama kali oleh pertanyaan Pak Karyono,


“Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” kepadaku (f.1). lalu akhirnya pak
Karyono mulai bercerita bahwa ia orang keempat yang menyimpan wayang
Sarpakenaka itu. Setelah sebelumnya, penciptanya sendiri yang menyimpannya
sampai ia meninggal dan berpindah tangan ke anaknya yaitu Dalang Sudi. Namun
tidak laam setelah memainkannya dalam sebuah pertunjukan, Dalang Sudi juga
meninggal. Ayah Pak Karyono yang saat itu menjabat sebagai kepala desa pun
memutuskan untuk menyimpannya dalam kota. Namun tidak lama ia juga
meninggal dan sampailah saat ini wayang itu ada pada Pak Karyono (f.2). Aku
menanyakan kepada Pak Karyono kenapa wayang itu tidak dibuang atau
dimusnahkan saja? Pak Karyono menuturkan ketakutannya, ia takut lebih beresiko

14
jika ia memusnahkannya. Jadi ia menyimpannya di dalam kotak dan tidak
mebukanya lagi. Aku menanyakan kepada kakek apakah setelah apa yang Pak
Karyono lakukan, ada lagi korban? (f.3). Pak Karyono pun akhirnya
menceritakannya. Bahwa korban itu ternyata ayahnya sendiri dan Pak Leroy dari
Belanda. Pak Karyono itu bingung, darimana aku mendapat foto Pak Leroy dan
Ayahnya? (f.4). Aku menjawab, “dari Egbert, anak Pak Leroy” (f.5). Pak Karyono
yang masih bingung, menanyakan alasan mengapa aku ingin membawa pulang
wayang itu (f.6). Aku pun berterus terang tentang kulit wayang itu adalah kulit
orang yang aku cari selama ini. Pak Karyono pun menegang saat mendengar
tuturanku. (f.7). Pak Karyono pun terus bertanya “dari siapa aku mengetahui semua
itu?” dan aku dengan santai menjawab “Mbah Jito”. Pak Karyono memastikan
“Girjito maksudmu?” dan aku dengan mantap mengiyakannya. Pak Karyono
menduga “pasti ia sudah bercerita banyak”. (f.8). Aku mengiyakan dugaan Pak
Karyono, dan bertutur “tapi tidak dengan Mbah Mulatsih. Aku tau awalnya justru
dari Egbert”. Pak Karyono merah padam mendengar nama Mulatsih disebut. Lalu
aku mulai bercerita bagaimana aku mengenal Egbert dan awal-mula aku mulai
penasaran dengan wayang tersebut (f.9). Selain itu, aku mencari tahu dan bertanya
kepada simbah, mengetes ingatan simbah terhadap Sarpakenaka. Awalnya simbah
membahas wayang Sarpakenaka yang pernah kupelajari di sekolah. Lalu aku
kembali bertanya, alasan simbah begitu menyukai sosok Sarpakenaka. Tapi lagi-
lagi jawaban yang simbah berikan bukanlah yang aku harapkan. Simbah hanya
kembali membahas sosok Sarpakenaka dalam kisah pembacaan Sastrajendra. (f.10).
Setelah percakapan itu, tiba-tiba simbah masuk ke kamarnya dan mulai bercerita
tentang mbah putriku yang ternyata merupakan wayang orang dan sangat menyukai
tokoh Sarpakenaka. Ingatan ketika simbah mulai bercerita lebih lanjut mengenai
mbah putriku yang merupakan penari wayang yang bagus dan suka berganti-ganti
peran. Simbah juga cerita bahwa ia merupakan Penabuh Kenong. Sebagai penari,
mbah putriku disukai banyak penggemar. (f.11). Ingatan simbah terhadap mbah
putri semenjak ia dibawa ke tahanan, tak pernah lagi bertemu. Ada yang bilang
mbah putri dan ibuku pergi mengungsi ke rumah orang tua simbah. Tapi beberapa
hari kemudian rumah itu dibakar. Mbah putri ditangkap karena dianggap Gerwani.

15
Tapi ada yang bilang ia dihakimi massa. (f.12). Ingatan simbah kembali, ia bicara
mungkin benar mbahku tidak dibawa ke tahanan. Karena sepulang dari Bulu,
teman-teman simbah bilang bahwa mbah putri dibawa menggunakan truk dan tidak
ada yang tahu truk itu menuju kemana. (f.13). Ingatan Pak Karyono membuatnya
bicara, bahwa Mulatsih ada dalam truk yang ia tumpangi saat itu bersama ayahnya
dan Dalang Sudi juga tentara-tentara penjaga tahanan. Ia kira truk itu akan menuju
Ambarawa, ternyata tidak. Dalam keadaan terikat, mereka ditembaki satu per satu,
dan tubuh mereka dilempar ke bawah. Ketika saatnya melempar tubuh Mulatsih,
Dalang Sudi memintaku tidak melemparnya dulu lalu ia menguliti penari wayang
orang itu dan membawanya pulang (f.14). Dengan lemah, Pak Karyono masuk ke
dalam kamar dan keluar membawa kotak kayu seraya bertanya untuk memastikan
kembali, “Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” (f.15).
Dari awal hingga akhir, cerpen :Sarpakenaka” ini memang mengandung
hubungan kualitas. Jika digambarkan dengan bagan, bagan fungsi utama cerpen
“Sarpakenaka” seperti berikut.

16
Bagan Fungsi Utama Cerpen “Sarpakenaka” Karya Gunawan Maryanto

1 2 3 4 5

9 8 7 6

15

10 11

14

13 12

2.2 Aspek Semantik


2.2.1 Tokoh dan Penokohan
1. Aku

Tokoh Anak dalam cerpen “Sarpakenaka” ini merupakan tokoh utama


yang pintar dimana tokoh Aku mempunyai ambisi kuat dalam mengejar
sesuatu, orang yang kritis, cepat dan tidak mudah menyerah. Letih tepatnya
tokoh Aku ini awalnya hanya ingin tahu tentang wayang sarpakenaka namun
pada akhirnya ketika dia sudah mendapat sumber dengan lengkap tokoh Aku

17
ingin membawa pulang wayang sarpakenaka, dan dapat dibuktikan pada
kutipan cerpen berikut ini.
“Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” Pertanyaan yang
semula sangat kuharapkan itu tiba-tiba terasa lain ketika benar-benar
diucapkan. Memaksaku berpikir ulang dengan cepat dan keras. Waktu
terus mengalir dengan deras. Menghantamku berulang. Apakah aku
benar-benar ingin membawanya pulang. Jika tadi aku bersikeras untuk
melihatnya, memaksa orang tua itu untuk memperlihatkan benda yang
berbulan-bulan ini kucari dan lantas membawanya pulang kini aku jadi
balik bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar
menginginkannya. Apa pentingnya. Bukankah aku sudah berhasil
mengumpulkan seluruh cerita. Lengkap. Dari hulu ke hilir. Seluruh
pertanyaanku sudah menemukan jawabannya. Keberadaan benda itu
tak lagi jadi hal terpenting. Buat apa aku membawanya pulang dan
menguburkannya di samping makam simbah. Bahkan mungkin simbah
pun tak menginginkannya. Tapi seluruh pencarian ini akan berakhir.
Harus segera kuakhiri. Entah bagaimana caranya.(Maryanto, 2010).
Tokoh Anak terus menggali sumber dan mencari tahu informasi tanpa henti
dengan pertanyaan pertanyaan yang pintar serta teliti dari setiap simakan cerita dari
Mbah yang sedang menceritakan mengenai budaya masa lalu yang berhubungan
dengan sarpakenaka, dapat dibuktikan pada kutipan cerpen berikut ini.

“Mbah, kalau saya bilang Sarpakenaka, apa yang terlintas di kepala


Simbah sekarang?”
Meski sedikit aku bisa melihat perubahan di raut mukanya.
“Sarpakenaka, Le? Apakah dulu di sekolah kamu tak pernah mendengar
nama itu?” Ia dengan cepat membalik pertanyaan.
“Pernah, Mbah. Kalau tak salah tokoh itu adalah seorang raksasa
perempuan adik dari raja Alengka. Dia jatuh cinta pada Lesmana, adik
dari Sri Rama. Tapi cintanya ditolak. Dan dia malah dipermalukan oleh
Lesmana di tengah hutan Dandaka.”
“Ya. Seperti itu pula yang terlintas dalam kepalaku sekarang.”
“Begitu pula yang terlintas di kepala orang-orang lain yang sedikit
banyak mengenal wayang, Mbah.”
“Maksudmu, Le?”
“Bukan jawaban semacam ini yang saya harapkan, Mbah.”
“Lalu jawaban macam apa?”
“Kenapa simbah sangat menyukai tokoh Sarpakenaka. Waktu saya masih
kecil simbah sering banget bercerita tentang Sarpakenaka sebelum saya
tidur. Kenapa, Mbah? Bukankah Sarpakenaka adalah seorang raksesi
yang jahat?”
“Karena tak ada tokoh yang benar-benar jahat dan sebaliknya, tak ada
yang benar-benar baik.”

18
“Benar, Mbah.”
“Apakah Sarpakenaka memilih dilahirkan menjadi sosok raseksi yang
jahat? Dan sebagai perempuan tak bolehkah ia mengutarakan cintanya?”
Aku mengiyakan. Berharap simbah akan semakin panjang lebar bercerita
tentang Sarpakenaka. Mungkin dari sana, meski susah, aku bisa menarik
benang merah.
“Bagiku Sarpakenaka hanya korban dari kegagalan orangtuanya dalam
membaca perintah Ilahi. Ia juga hanya korban dari pengkhianatan bapak
terhadap anaknya. Benar tidak tafsirku? Kamu sudah besar. Mungkin
kamu punya tafsir sendiri atas kisah pembacaan Sastrajendra itu.”
“Benar, Mbah. Saya sepakat. Benar Sarpakenaka adalah buah dari
kegagalan Wisrawa dan Sukesi dalam membaca Sastrajendra. Jika
sanggup menahan nafsu tentu mereka tak akan mengotori malam itu
dengan persetubuhan yang tak semestinya terjadi. Benar bahwa Wisrawa
telah mengkhianati amanah Danaraja, anaknya sendiri. Ia hanya diminta
melamar Sukesi agar mau menjadi menantunya tapi malah
mengawininya untuk diri sendiri.”
“Bagus. Pintar.”
“Karena sejak saya kecil simbah terus mengulang cerita itu.”
“Apakah kamu sudah mendapatkan jawabannya?”
“Belum.”
Simbah bangkit dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar. Lalu pintu
ditutup. Dingin. (Maryanto, 2010).

2. Pak Karyono

Tokoh Pak Karyono dalam cerpen “Sarpakenaka” merupakan tokoh tua


yang berwajah tegas, ketika sedang bertemu dengan seseorang . Dapat
dibuktikan denga kutipan cerpen berikut ini.

Pak Karyono menatapku dengan tajam. Seperti tengah mengulitiku


dengan kejam. Di luar langit mendung seolah mengekalkan pertemuan
kami. (Maryanto, 2010).
Pak Karyono ini ialah orang keempat yang menyimpan wayang
sarpakenaka karena ia tidak mau apabila dikeluarkan akan menelan korban lagi,
maka dari itu Pak Karyono menyimpannya. Dapat dibuktikan pada kutipan
cerpen berikut ini.

“Saya adalah orang keempat yang menyimpannya, Nak. Sebelumnya


wayang Sarpakenaka itu disimpan sendiri oleh penciptanya, seorang
penatah wayang dan dalang bernama Mbah Jayeng. Setelah Mbah
Jayeng meninggal, kira-kira seminggu setelah wayang itu selesai
disungging, wayang berpindah tangan ke anaknya, Dalang Sudi. Tapi

19
Dalang Sudi juga tak terlalu lama menyimpannya. Setelah memainkan
wayang itu dalam sebuah pertunjukan, Dalang Sudi juga meninggal.
Itu kira-kira tahun 67, Nak. Setelah itu wayang disimpan oleh ayah
saya. Disimpan dalam kotak dan tak pernah dimainkan lagi. Kami
semua percaya bahwa wayang tersebutlah yang mengakibatkan
kematian Mbah Jayeng dan Dalang Sudi. Oleh karena itu bapak saya,
kepala desa waktu itu, memutuskan untuk menyimpannya dengan
rapat, agar tak terjadi korban lagi.” (Maryanto, 2010).

3. Leroy Resodiharjo

Tokoh Leroy Resodiharjo dalam cerpen “Sarpakenaka” merupakan


ayah dari Egbert, dan Leroy Resodiharjo berasal dari Belanda serta menjadi
korban dari wayang sarpakenaka tersebut. Dapat dibuktikan dalam kutipan
cerpen berikut ini.

“Masih ada lagi, Nak.” Kata Pak Karyono dengan berat. “Wayang
celaka itu keluar dari kotaknya. Dan memakan korban lagi.”
“Siapa, Pak?”
“Bapak saya sendiri. Dan Pak Leroy dari Belanda.” Pak Karyono
menatapku.
“Leroy Resodiharjo?”
Pak Karyono mengangguk. (Maryanto, 2010).

4. Egbert

Tokoh Egbert dalam cerpen “sarpakenaka” merupakan anak dari Leroy


Resodiharjo yang berasal dari Belanda, Egbert memberitahu perihal foto foto
yang berhubungan dengan wayang sarpakenaka kepada Tokoh Aku . Dapat
dibuktikan pada kutipan cerpen berikut ini.

“Apakah mereka berdua meninggal setelah membuat foto ini?” Aku


segera membuka tasku. Mengambil sebuah amplop. Dan
mengeluarkan beberapa lembar foto. Pak Karyono tampak kaget. Ia
dengan cepat mengambil, tepatnya merebut, foto-foto itu dari
tanganku.
“Dari mana Anak mendapatkan foto ini?” Matanya memelototi
lembar-lembar foto itu.
“Dari Egbert. Anak Pak Leroy.” (Maryanto, 2010).
5. Mbah Jito atau Girjito

20
Tokoh Mbah Jito dalam cerpen “sarpakenaka” merupakan seseorang
yang menceritakan hal hal sarpakenaka seperti halnya bahwa kulit sarpakenaka
ialah kulit seseorang kepada tokoh. Dapat dibuktikan pada kutipan cerpen
berikut ini.

Aku memutuskan untuk berterus terang. “Karena kulit wayang itu


adalah kulit seseorang yang tengah saya cari, Pak.” Pak Karyono
tersentak. Foto-foto yang dipegangnya bergetar. Cukup lama ia tak
bisa berkata-kata.
“Dari siapa kamu pertama kali mendengar semua ini?”“Mbah
Jito.”
Wajah Pak Karyono memerah.
“Girjito maksudmu?”
“Iya, Pak.” (Maryanto, 2010).
Tokoh Mbah Jito ini sudah meninggal dunia karena kondisi fisiknya
yang terus menurun namun ingatannya masih baik dan mbah jito merupakan
mbah dari Tokoh Aku. Dapat dibuktikan pada kutipan cerpen berikut ini.

“Iya, Pak.”
“Hmm… Bagaimana kabarnya? Apakah ia sehat-sehat saja?”
“Simbah sudah meninggal kira-kira setahun yang lalu, Pak.”
“Oh…” Pak Karyono kembali terdiam.
“Sepulang dari Pulau Buru kesehatan simbah terus menurun, Pak.
Ingatannya masih baik meskipun fisiknya sangat lemah. Simbah
baru meninggal tahun lalu. 30 tahun setelah kepulangannya.”
“Tentu ia telah banyak bercerita kepadamu.” (Maryanto, 2010).

6. Mbah Mulatsih

Tokoh Mbah Mulatsih dalam cerpen “sarpakenaka” merupakan penari


wayang orang yang bagus, dapat menguasai segala tarian yang ada dan sering
berganti peran dengan mudah. Dapat dibuktikan pada kutipan cerpen berikan
ini.
“Dulu mbah putrimu adalah penari wayang orang.” Kata Simbah
tanpa kuduga. Aku sama sekali tak menduga setelah percakapan
tentang Sarpakenaka sore itu ia masih akan melanjutkannya lagi.
“Dan tokoh yang paling sering dimainkannya adalah Sarpakenaka.”
Simbah duduk di sebelahku.
“Mbah putrimu adalah seorang penari yang bagus. Tari putra
maupun putri ia kuasai dengan sama kuatnya. Ia sering berganti-

21
ganti peran dengan mudah dalam kelompok kami waktu itu.
Kelompok Wayang Among Tani.” (Maryanto, 2010).

Tokoh Mbah Mulatsih merupakan Mbah Putri dari Tokoh Aku yang
mempunyai bakat yang luar biasa seperti halnya sebagai penari yang serba bisa
dan Mbah putri ini memiliki penggemar walaupun tidak cantik. Dapat
dibuktikan pada kutipan cerpen berikut ini.

“Mbah putrimu adalah seorang penari yang bagus. Tari putra


maupun putri ia kuasai dengan sama kuatnya. Ia sering berganti-
ganti peran dengan mudah dalam kelompok kami waktu itu.
Kelompok Wayang Among Tani.”
“Simbah juga ikut?”
“Iya. Bukan sebagai penari tapi. Simbah adalah tukang kenong.
Penabuh kenong.”
“O ya ya. Terus, Mbah”
“Sebagai penari mbah putrimu memiliki banyak penggemar. Meski
tidak cantik tetap saja banyak lelaki yang gandrung dengan mbahmu.
Gandrung dengan tariannya.” (Maryanto, 2010).

2.2.2 Analisis Latar


a. Latar Tempat

Kejelasan latar tempat (geografis) dalam cerpen “Serpakenaka” dijelaskan


dengan detail latar tempatnya dimana. Berlatartempatkan di Jawa, lengkapnya di
Kampung Ndakan, Kenalan, Magelang Jawa Tengah. Namun latar tempat tersebut
bukan tempat tokoh tengah bercerita, melainkan latar tempat yang diceritakan.
Secara eksplisit tokoh tengah menggali informasi di Jawa Tengah di rumah Pak
Karyono, dan di rumahnya namun tidak dijelaskan secara detail.

“Pak Karyono menatapku dengan tajam. Seperti tengah mengulitiku dengan


kejam. Di luar langit mendung seolah mengekalkan pertemuan kami.”
(Maryanto, 2010).

Kutipan yang di atas adalah saat tokoh Aku tengah menggali informasi
tentang Serpakenaka dan budaya Jawa. Jelasnya ada pada kutipan berikut yang
menunjukkan tokoh aku yang datang ke rumah Pak Karyono.

22
“Saya sebenarnya bukan sedang mengerjakan tugas kuliah, Pak. Saya
datang ke mari ingin membuktikan keberadaan wayang Sarpakenaka itu.
Dan jika wayang tersebut benar-benar ada, saya ingin membawanya pulang.”
(Maryanto, 2010).
“Di rumah aku mencoba mengejar kata kunci yang lain.” (Maryanto, 2010).

Latar tempat yang terdapat pada cerpen “Serpakenaka” juga meliputi


makam simbah yang mana tempat itu menceritakan tentang rencana yang nanti
mungkin akan dilakukan tokoh aku yang hendak menguburkan Wayang
Serpakenaka itu di samping kuburan simbah.
“Keberadaan benda itu tak lagi jadi hal terpenting. Buat apa aku
membawanya pulang dan menguburkannya di samping makam simbah.
Bahkan mungkin simbah pun tak menginginkannya. Tapi seluruh pencarian
ini akan berakhir.” (Maryanto, 2010).

Selain itu juga ada latar tempat Pulau Buru yang mana tempat itu
menceritakan simbahnya tokoh aku yang menurun kondisi kesehatannya selepas
dari Pulau Buru.
“Sepulang dari Pulau Buru kesehatan simbah terus menurun, Pak.
Ingatannya masih baik meskipun fisiknya sangat lemah.” (Maryanto, 2010).

Ada latar tempat yang sangat detail disebutkan latar geografisnya dimana di
tempat itu ditemukannya Wayang peninggalan Kraton Surakarta.
“Wayang Arjuna menurut Leroy ditemukan di Kampung Ndakan, Kenalan,
Magelang, Jawa Tengah. Wayang tersebut merupakan peninggalan dari
Kraton Surakarta. Penduduk setempat menyebutnya Wayang Jimat alias
wayang pusaka.” (Maryanto, 2010).

Terdapat latar yang hanya berupa inisial saja, latar itu adalah sebuah kota
kecil di Jawa Tengah yang mana memilki hubungan erat dengan Serpakenaka dan
menjadi kata kunci.
“Sedangkan yang satunya adalah sosok Sarpakenaka. Raksasa perempuan
adik dari Rahwana raja Alengka dalam kisah Ramayana. Egbert tak
menampilkan banyak keterangan di sana. Hanya sebuah lokasi, sebuah kota
kecil di Jawa Tengah. Nama sebuah kota yang demikian lekat di kepalaku.
Kota S. Karena penasaran, aku mengirim email kepada Egbert. Siapa tahu
Leroy masih menyimpan sejumlah catatan tentang wayang tersebut.”...
Sarpakenaka dan kota S. Dua kata kunci itu seperti mengingatkanku atas
sesuatu. Seseorang seperti pernah membisikkannya di telingaku.
“Sarpakenaka… Sarpakenaka…” (Maryanto, 2010).

23
Ada paragraf yang menyebutkan beberapa tempat sekaligus meliputi,
Ambarawa, Kalijambe, dan di tepi hutan. Paragraf ini menceritakan runtutan
kejadian dan peristiwa awal mulanya Wayang Serpakenaka yang dibuat dari kulit
Mulatsih sang penari yang merupakan mbah putri dari tokoh Aku.

“Mulatsih ada dalam rombongan yang kami bawa. Saya tidak tahu siapa
yang memasukkannya dalam rombongan itu. Malam itu ada 11 orang yang
kami bawa. Saya, bapak dan Dalang Sudi bersama beberapa tentara
mengawal para tahanan itu. Saya mulanya mengira truk itu akan mengarah
ke Ambarawa dan memasukkan mereka ke penjara di sana. Tapi ternyata
tidak. Di dekat Kalijambe di tepi hutan karet kami keluarkan mereka. Sudah
tengah malam waktu itu. Dalam keadaan tubuh terikat mereka ditembak satu
per satu. Lalu tubuh mereka kami lempar ke bawah. Ke dalam kegelapan
hutan karet. Kami yang bertugas melemparkan mayat-mayat itu. Tiba pada
giliran mayat Mulatsih Dalang Sudi memintaku tidak langsung
melemparkannya. Ia ingin menguliti penari wayang orang itu. Lalu
membawa pulang kulitnya. Sarpakenaka akan tetap jadi Sarpakenaka,
katanya sambil tersenyum.” (Maryanto, 2010).

b. Latar Waktu

Latar waktu pada cerpen “Serpakenaka” berlangsung dengan waktu yang


berbeda-beda. Latar waktu juga ditunjukkan dengan keadaan seperti pada kutipan
di bawah ini.

“Di luar langit mendung seolah mengekalkan pertemuan kami.” (Maryanto,


2010).
Latar waktu pada cerpen “Serpakenaka” menujukkan pada siang hari yang
menceritakan saat tokoh Aku sedang mencari foto-foto lama tentang kebudayaan
Jawa di internet.

“Suatu siang saat aku sedang berselancar mencari foto-foto lama tentang
kebudayaan Jawa di internet aku menemukan koleksi foto wayang dari
Leroy Resodiharjo, seorang fotografer Belanda turunan Jawa Suriname.”
(Maryanto, 2010).
Latar pada cerpen ini juga menggunakan latar dengan kilas balik yakni
kejadian setelah wayang disungging.

“...kira-kira seminggu setelah wayang itu selesai disungging, wayang


berpindah tangan ke anaknya, Dalang Sudi.” (Maryanto, 2010).

24
Latar pada cerpen ini juga menggunakan latar perkiraan waktu dalam tahun
yang menerangkan sudah berapa lama kematian Dalang Sudi dan kematian Leroy
Resodiharjo.

“...Dalang Sudi juga meninggal. Itu kira-kira tahun 67, Nak.”


“Leroy sudah meninggal pada tahun 1973.” (Maryanto, 2010).
Waktu yang menunjukkan kejadian masa kecil yang mana tokoh Aku
diceritakan mengenai wayang oleh simbahnya.

“Karena sejak saya kecil simbah terus mengulang cerita itu.” (Maryanto,
2010).
Ada latar waktu malam hari yang menceritakan simbah tidak bertemu lagi
dengan mbah putri.

“Sejak malam itu aku dan mbah putrimu tak pernah bertemu lagi sampai
kini.” (Maryanto, 2010).

c. Latar Sosial

Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku
dan tata cara kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam sebuah cerpen.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat merupakan sesuatu yang kompleks, dapat
berupa adat istiadat, kebiasaan, tradisi, keyakinan, ideologi, dialektika, status sosial,
dan lain-lain. Latar sosial pada cerpen “Serpakenaka” didominasi oleh dialektika,
tindakan dan ideologi tokoh Aku, yaitu yang berpikir dan berusaha untuk
mempelajari budaya Jawa dan menggali informasi tentang Wayang Serpakenaka
dan ingin membuktikan bahwa wayang itu ada dan ingin dibawanya pulang. Hal itu
disebabkan karena wayang itu berkaitan dengan orang yang ia cari.
“Saya sebenarnya bukan sedang mengerjakan tugas kuliah, Pak. Saya
datang ke mari ingin membuktikan keberadaan wayang Sarpakenaka itu.
Dan jika wayang tersebut benar-benar ada, saya ingin membawanya pulang.”
(Maryanto, 2010).

“Aku memutuskan untuk berterus terang. “Karena kulit wayang itu adalah
kulit seseorang yang tengah saya cari, Pak.” Pak Karyono tersentak. Foto-
foto yang dipegangnya bergetar. Cukup lama ia tak bisa berkata-kata.”
(Maryanto, 2010).

25
Latar sosial yang muncul adalah dialektika yang muncul adalah kebiasaan
penyebutan atau nama lain dari Wayang Arjuna yang disebut Wayang Jimat.

“Penduduk setempat menyebutnya Wayang Jimat alias wayang pusaka.”


(Maryanto, 2010).
Ada latar sosial dimana menyangkut budaya Jawa yakni penari wayang
orang.

“Dulu mbah putrimu adalah penari wayang orang.” (Maryanto, 2010).

2.3 Aspek Pragmatik


2.3.1 Sudut Pandang
Pada cerpen “Sarpakenaka” karya Maryanto, kehadiran pencerita didalam
teks termasuk ke dalam kategori intern, yaitu pencerita yang hadir dalam teks
sebagai aku posisinya mencari tahu tentang sarpakenaka. Hal ini tampak pada
penggunaan kata pronomina 1 tunggal yaitu aku, dan variasi pronomina tunggal
pertama lainnya seperti ku- dan -ku, yang terdapat pada beberapa kutipan berikut:

Pertanyaan yang semula sangat kuharapkan itu tiba-tiba terasa lain


ketika benar-benar diucapkan. Memaksaku berpikir ulang dengan
cepat dan keras. Waktu terus mengalir dengan deras.
Menghantamku berulang. Apakah aku benar-benar ingin
membawanya pulang. Jika tadi aku bersikeras untuk melihatnya,
memaksa orang tua itu untuk memperlihatkan benda yang berbulan-
bulan ini kucari dan lantas membawanya pulang kini aku jadi balik
bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar
menginginkannya. Apa pentingnya. Bukankah aku sudah berhasil
mengumpulkan seluruh cerita. Lengkap. Dari hulu ke hilir. Seluruh
pertanyaanku sudah menemukan jawabannya. Keberadaan benda
itu tak lagi jadi hal terpenting. Buat apa aku membawanya pulang
dan menguburkannya di samping makam simbah. Bahkan mungkin
simbah pun tak menginginkannya. Tapi seluruh pencarian ini akan
berakhir. Harus segera kuakhiri. Entah bagaimana caranya.
(Maryanto, 2010).

“Apakah mereka berdua meninggal setelah membuat foto ini?” Aku


segera membuka tasku. (Maryanto, 2010).

... Tapi aku yakin dia percaya. Hanya tak tahu bagaimana caranya.
Aku merasa buru-buru harus membuka semuanya. Maksudku yang
sesungguhnya... (Maryanto, 2010).

26
Selain pencerita intern, terdapat kutipan lain yang termasuk ke dalam
kategori pencerita intern. Hal tersebut tampak pada penggunaan pronomina III
tunggal berupa ia, dia, dan nama orang, yang terdapat pada kutipan berikut:

Pak Karyono tak langsung menjawab. Ia malah menyalakan rokok


kreteknya. Menyeruput wedang tehnya. Lalu kembali terdiam.
Menekuni asap rokok yang keluar dari mulutnya. (Maryanto, 2010)

“Dari Egbert. Anak Pak Leroy.” (Maryanto, 2010).

Pak Karyono kini ganti memelototiku. Seperti tak percaya dengan


keteranganku. Tapi aku yakin dia percaya. Hanya tak tahu
bagaimana caranya. Aku merasa buru-buru harus membuka
semuanya. Maksudku yang sesungguhnya. (Maryanto, 2010).

“Iya. Tapi tidak tentang Mbah Mulatsih. Ia bercerita sangat sedikit


tentangnya. Saya mendapat cerita tentang Mulatsih awalnya justru
dari Egbert.” (Maryanto, 2010).

2.3.2 Tipe Penceritaan


Tipe penceritaan pada cerpen “Sarpekenaka” ini termasuk kedalam
beberapa macam tipe penceritaan yaitu:

1. Wicara yang di laporkan, yakni wicara yang ditampilkan secara langsung


berupa dialog-dialog. Sepanjang cerpen ini, didominasi oleh dialog. Seperti
pada kutipan berikut.
“Dari siapa kamu pertama kali mendengar semua ini?”
“Mbah Jito.”
Wajah Pak Karyono memerah.
“Girjito maksudmu?”
“Iya, Pak.”
“Hmm… Bagaimana kabarnya? Apakah ia sehat-sehat saja?”
“Simbah sudah meninggal kira-kira setahun yang lalu, Pak.”
“Oh…” Pak Karyono kembali terdiam.
“Sepulang dari Pulau Buru kesehatan simbah terus menurun, Pak.
Ingatannya masih baik meskipun fisiknya sangat lemah. Simbah
baru meninggal tahun lalu. 30 tahun setelah kepulangannya.”
“Tentu ia telah banyak bercerita kepadamu.”
“Iya. Tapi tidak tentang Mbah Mulatsih. Ia bercerita sangat sedikit
tentangnya. Saya mendapat cerita tentang Mulatsih awalnya justru
dari Egbert.” Aku segera bercerita bagaimana pertemuanku dengan

27
Egbert. Aku sama sekali tak mempedulikan wajah Pak Karyono
yang makin merah padam demi mendengar nama Mulatsih
kuucapkan dengan penuh tekanan. (Maryanto, 2010).

Melalui kutipan diatas, diketahui percakapan tokoh aku dengan Pak


Karyono yang sedang menanyakan kabar Girijito atau Mbah Jito yang tidak lain
adalah Simbah dari tokoh aku.
“Mbah, kalau saya bilang Sarpakenaka, apa yang terlintas di kepala
Simbah sekarang?”
Meski sedikit aku bisa melihat perubahan di raut mukanya.
“Sarpakenaka, Le? Apakah dulu di sekolah kamu tak pernah
mendengar nama itu?” Ia dengan cepat membalik pertanyaan.
“Pernah, Mbah. Kalau tak salah tokoh itu adalah seorang raksasa
perempuan adik dari raja Alengka. Dia jatuh cinta pada Lesmana,
adik dari Sri Rama. Tapi cintanya ditolak. Dan dia malah
dipermalukan oleh Lesmana di tengah hutan Dandaka.”
“Ya. Seperti itu pula yang terlintas dalam kepalaku sekarang.”
“Begitu pula yang terlintas di kepala orang-orang lain yang sedikit
banyak mengenal wayang, Mbah.”
“Maksudmu, Le?”
“Bukan jawaban semacam ini yang saya harapkan, Mbah.”
“Lalu jawaban macam apa?”
“Kenapa simbah sangat menyukai tokoh Sarpakenaka. Waktu saya
masih kecil simbah sering banget bercerita tentang Sarpakenaka
sebelum saya tidur. Kenapa, Mbah? Bukankah Sarpakenaka adalah
seorang raksesi yang jahat?”
“Karena tak ada tokoh yang benar-benar jahat dan sebaliknya, tak
ada yang benar-benar baik.”
“Benar, Mbah.”
“Apakah Sarpakenaka memilih dilahirkan menjadi sosok raseksi
yang jahat? Dan sebagai perempuan tak bolehkah ia mengutarakan
cintanya?” (Maryanto, 2010).

Kutipan diatas, merupakan percakapan yang dilakukan oleh tokoh aku


dengan Simbah, yaitu Mbah Jito sewaktu dulu sebelum Mbah Jito meninggal.
Keingin tahuan yang besar dalam diri tokoh aku, membuatnya mencari informasi
mengenai wayang Sarpakenaka dari berbagai sumber.
2. Wicara Alihan, yaitu wicara yang menyampaikan pikiran tokoh, perasaan
tokoh dan sebagainya berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh,
seperti pada kutipan berikut:

28
...Ia dengan cepat mengambil, tepatnya merebut, foto-foto itu dari
tanganku. (Maryanto, 2010).

Kutipan diatas merupakan peristiwa yang dilakukan oleh “ia” yang


dimaksudkan adalah tokoh Pak Karyono yang merasa terkejut setelah tokoh aku
menunjukan foto ayah Pak Karyono bersama Pak Leroy dan wayang celaka itu.
Sehari kemudian Egbert menjawab pertanyaanku. Dan jawabannya
sangat menggetarkanku. Dia mengatakan dalam emailnya bahwa ia
sengaja tak memberikan keterangan yang cukup perihal foto wayang
Sarpakenaka itu karena sebelum meninggal ayahnya memang
berpesan demikian. Identitas pemilik kulit wayang tersebut
dirahasiakan karena usia wayang yang masih cukup muda.
Kemungkinan besar sanak keluarganya masih mencari perempuan
tersebut. Aku tak tahu sungguh apa yang menggetarkanku saat
membaca email dari Egbert. Sarpakenaka dan kota S. Dua kata kunci
itu seperti mengingatkanku atas sesuatu. Seseorang seperti pernah
membisikkannya di telingaku. “Sarpakenaka… Sarpakenaka…”
(Maryanto, 2010).

Kutipan diatas, penulis menceritakan tokoh aku yang mendapat email


balasan dari Egbert, anak Pak Leroy mengenai foto-foto yang tokoh aku tanyakan
sebelumnya. Dalam email itu, Egbert memberitahu bahwa identitas pemilik kulit
wayang itu tersebut dirahasiakan oleh ayahnya dan ia pun memberi kata kuncinya,
yaitu Sarpakenaka dan kota S.
3. Wicara yang dinarasikan yaitu wicara yang menyajikan peristiwa-peristiwa
yang di alami tokoh, seperti kutipan berikut.
“Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” Pertanyaan yang
semula sangat kuharapkan itu tiba-tiba terasa lain ketika benar-benar
diucapkan. Memaksaku berpikir ulang dengan cepat dan keras.
Waktu terus mengalir dengan deras. Menghantamku berulang.
Apakah aku benar-benar ingin membawanya pulang. Jika tadi aku
bersikeras untuk melihatnya, memaksa orang tua itu untuk
memperlihatkan benda yang berbulan-bulan ini kucari dan lantas
membawanya pulang kini aku jadi balik bertanya pada diriku
sendiri. Apakah aku benar-benar menginginkannya. Apa
pentingnya. Bukankah aku sudah berhasil mengumpulkan seluruh
cerita. Lengkap. Dari hulu ke hilir. Seluruh pertanyaanku sudah
menemukan jawabannya. Keberadaan benda itu tak lagi jadi hal
terpenting. Buat apa aku membawanya pulang dan menguburkannya
di samping makam simbah. Bahkan mungkin simbah pun tak

29
menginginkannya. Tapi seluruh pencarian ini akan berakhir. Harus
segera kuakhiri. Entah bagaimana caranya.(Maryanto, 2010).

Kutipan di atas merupakan peristiwa cerpen “Kembar Buncing”, yang mana


tokoh Aku berbicara sendiri tentang masalah yang dihadapinya. Pada cerpen
“Sarpakenaka” tersebut, tipe penceritaan secara wicara yang dilaporkan merupakan
tipe penceritaan yang paling dominan, karena di dalam cerpen tersebut, tipe
penceritaan lebih memberatkan kepada konflik peraturan yang sangat kental dengan
masyarakat dahulu masih dipakai sampai sekarang dan peristiwa-peristiwa tersebut
dialami oleh tokoh.

30
BAB 3
Pembahasan

3.1 Konteks Sosial

3.1.1 Kemauan yang Tinggi

Dalam cerpen ini, menceritakan bahwa sosok aku sangat ingin tahu dimana
keberadaan wayang Sarpakenaka dengan sebelumnya ia pun mencari tahu dan
banyak menggali informasi mengenai Sarpakenaka itu sendiri.

Ketika ia memiliki kemauan, ia pun banyak mencari tahu. Tidak hanya


mengandalkan Egbert sebagai sumber informasi, ia juga bertanya pada simbah
mengenai Sarpakenaka. Dan dari simbah lah akhirnya ia banyak mengetahui
sesuatu mengenai Sarpakenaka, wayang yang terbuat dari kulit manusia asli.

Tentu saja usahanya tidak sia-sia, karena akhirnya ia bertemu orang yang
menyimpan wayang tersebut, yaitu Pak Karyono—orang keempat yang
menyimpan wayag itu. Dari Pak Karyono ia juga banyak mendapat informasi
tentang asal-usul kulit itu. Dan akhirnya ia menemukan kulit Mbah Putrinya itu,
Mulatsih.

3.1.2 Kepercayaan Orang Desa

Orang-orang di desa itu percaya, bahwa wayang Sarpakenaka adalah


penyebab kematian Mbah Jayeng dan anaknya, Dalang Sudi dalam rentan waktu
yang berbeda. Mbah Jayeng adalah penatah wayang juga dalang yang menciptakan
wayang Sarpakenaka, namun setelah disungging wayang itu, Mbah Jayeng
meninggal dunia.

Setelah Mbah Jayeng meninggal, wayang tersebut disimpan oleh Dalang


Sudi. Namun setelah Dalang Sudi memainkannya dalam suatu pertunjukan, ia pun
meninggal dunia.

31
Orang di desa percaya, bahwa wayang itu yang menjadi penyebabnya. Ayah
Pak Karyono sebagai kepala desa saat itu akhirnya menyimpan wayang itu dan
menyimpannya dalam kotak agar tidak adala lagi membawa korban. Daripada di
musnahkan, Pak Karyono pikir itu lebih beresiko pada keselamatan orang desa.

3.1.3 Organisasi Zaman Dulu

Selain itu, dalam cerita sempat disebut-sebut Gerwani. Mulatsih dianggap


Gerwani. Gerwani adalah singkatan dari Gerakan Wanita Indonesia. Pada zaman
dahulu, orang-orang Belanda pasti akan menangkap dan memenjarakan siapapun
yang tidak patuh padanya. Termasuk orang-orang yang masuk sebagai anggota
organisasi penentang kebijakan Belanda pada saat itu. Hal ini juga sebagai tanda,
latar suasana atau kondisi cerita ini, juga menceritakan pada masa penjajahan
Belanda.

Selain itu, juga ada dimana diceritakan rumah orang tua Pak Karyono
dibakar ketika ada desas-desus Mulatsih berada disana. Ya, kental sekali kebiasaan
orang-orang Belanda dalam mengatasi orang-orang organisasi penentang
kebijakannya.

3.2 Konteks Budaya

3.2.1 Adat Istiadat

Setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda-beda, begitupun tertulis


pada cerpen “Sarpakenaka” yang memilki unsur adat istiadat yang kuat dan melekat
kental dengan budaya Jawa. Seperti kepercayaan akan benda-benda lampau dan
mistis yang disimpan di dalam kotak, kebudayaan wayang, dan kebiasaan
melakonkan sebagai penari wayang orang. Adat istiadat lain yang melekat adalah
adat atau kebiasaan penyebutan warga sekitar akan Wayang Arjuna yang lazim
mereka sebut dengan Wayang Jimat alias Wayang Pusaka dan juga kebiasaan yang
diturukan menjaga satu benda (benda pusaka) secara turun-temurun.

32
3.2.2. Bahasa

Cerpen ini menceritakan tentang seseorang yang tengah menggali informasi


guna mencari sosok dibalik Wayang Sarpakenaka yang penuh dan kental akan
budaya dan kepercayaan yang penuh dengan hal mistis. Terlebih saat setelah ia
mengetahui bahwa kulit yang dipakai untuk membuat Wayang Sarpakenaka
bukanlah dari kulit atau hewan pada umumnya, melainkan dari kulit dari kulit
manusia.

Bahasa atau pembicaraan turun-temurun atau istilah lain penyebutan yang


juga dibudayakan adalah penyebutan terhadap Wayang Arjuna, yang mana warga
sekitar keraton Surakarta menyebutnya Wayang Jimat alias Wayang Pusaka.

Bahasa Jawa adalah adalah bahasa yang melekat kuat di dalam cerpen
“Sarpakenaka” ini, hal itu terlihat pada nama-nama tokoh dan juga tempat dimana
ditemukannya Wayang Arjuna dan penyebutan kota serta Keraton Surakarta yang
terletak di Jawa Tengah.

3.2.3 Mitos

Dalam cerpen “Sarpakenaka” terdapat mitos yakni Pak Karyono dan


ayahandanya percaya bahwa Wayang Sarpakaneka lah yang mengakibatkan
kematian Mbah Jayeng kemudian Wayang itu berpindah tangan kepada Dalang
Sudi anaknya, Dalang Sudi pun tidak terlalu menyimpannya. Seusai memainkan
Wayang Sarpakenaka dalam sebuah pertunjukkan, Dalang sudi pun meninggal.
Selain itu yang meninggal karena Wayang itu juga adalah ayahanda dari Pak
Karyono sendiri.

33
BAB 4
Simpulan

Cerpen “Sarpakenaka” merupakan cerita yang menarik. Mungkin


sebelumnya tidak banyak orang tahu, ada wayang yang terbuat dari kulit manusia.
Jauh diluar fiksi atau tidak, cerpen ini banyak memberikan wawasan mengenai
keadaan di masa lalu. Maka dari itu kami merasa cerpen ini sangat cocok jika
dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi. Kebiasaan atau memang budaya
orang dulu, tidak sedikit dijelaskan dalam cerpen ini. Selain itu, wayang sendiri
sudah menjadi sesuatu yang kental dan erat hubungannya dengan budaya jawa.
Setelah menganalisis cerpen “Sarpakenaka” ini ditemukan beberapa aspek,
seperti aspek sintaksis, aspek semantik, juga aspek pragmatik. Aspek sintaksis
sendiri menjelaskan bagaimana cerita itu berlangsung. Sedangkan aspek semantik,
menjelaskan bagaimana cerita itu dapat berjalan dengan komponen-komponen
yang sempurna begitu adanya dalam sebuah cerita, tokoh maupun latarnya. Dan
aspek pragmatik sendiri membahas, bagaimana penulis dapat menyampaikan isi
cerita dan peristiwa dalam sebuah tulisan.
Dalam cerpen “Sarpakenaka” ditemukan konteks sosial dan konteks budaya
yang begitu kentara dan kental. Dalam konteks sosial, terdapat kemauan yang tinggi
karena tokoh utama dalam cerita ini memiliki jiwa yang seperti itu. Selain itu, juga
kepercayaan orang desa, bukan mitos yang dimaksud tapi lebih kepada apa yang
sedang terjadi dan mereka tak mau bebruat lebih karena takut sesuatu yang buruk
terjadi. Penggambarannya ada pada, Pak Karyono yang menolak membakar atau
memusnahkan wayang tersebut. Dan organisasi zaman dahulu juga sempat dibahas-
bahas dalam cerpen ini, yaitu Gerwani.
Sedangkan konteks budaya disini membahas adat istiadat, contoh saja
penyebutan pada wayang Arjuna sebagai wayang jimat. Selain itu ada juga bahasa
dan mitos yang ada dalam cerpen ini.

34
Daftar Pustaka

Maryanto, Gunawan. “Sarpakenaka”. 22 Desember 2018.


http://www.gunawanmaryanto.web.id/2010/04/sarpakenaka/
Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Biru
Algesindo.
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Maryanto, Gunawan. “Profil”. 26 Desember 2018.
http://www.gunawanmaryanto.web.id/tentang/

35
Lampiran
Sekuen cerpen “Sarpakenaka”
1. Pak Karyono menatapku dengan tajam. Seperti tengah mengulitiku dengan
kejam.
2. “Anak jadi akan membawanya pulang sekarang?” ucapan Pak Karyono
memaksaku untuk berpikir ulang untuk membawa wayang itu.
3. Ingatan Pak Karyono mengutarakannya, bahwa ia adalah orang keempat
yang menyimpan wayang itu.
3.1 Awalnya penciptanya sendiri yang menyimpannya, Mbah Jayeng.
3.2 Setelah meninggal anaknya yang menyimpan itu, Dalang Sudi dan
tidak lama juga meninggal,
3.3 Lalu ayah Pak Karyono itu sendiri yang menyimpannya sampai ia
meninggal dan akhirnya Pak Karyono sekarang yang menyimpannya.
4. Aku menanyakan kepada Pak Karyono kenapa wayang itu tidak dibuang
atau dimusnahkan saja?
5. Pak Karyono menuturkan ketakutannya, ia takut lebih beresiko jika ia
memusnahkannya. Jadi ia menyimpannya di dalam kotak dan tidak
mebukanya lagi.
6. Aku menanyakan kepada kakek apakah setelah apa yang Pak Karyono
lakukan, ada lagi korban?
7. Tapi tak ada jawaban dari si kakek.
8. Aku membenarkan bahwa sepertinya ada lagi korban nyatanya.
9. Aku menampakkan kebingunganku, bukankah kotak itu tidak pernah lagi
dibuka?
10. Pak Karyono pun akhirnya menceritakannya. Bahwa korban itu ternyata
ayahnya sendiri dan Pak Leroy dari Belanda yang ternyata aku mengenal
orang itu.
11. Lalu aku memastikan Pak Leroy itu dengan menunjukan foto yang aku
bawa, kepada sang kakek.
12. Pak Karyono bingung, darimana aku mendapat foto Pak Leroy dan
Ayahnya?

36
13. Aku menjawab, “dari Egbert, anak Pak Leroy”
14. Pak Karyono, alias si kakek melotot karena begitu kaget dan tak percaya.
Segera aku mengakui bahwa yang aku lakukan saat ini bukanlah untuk tugas
kuliah. Aku hanya benar-benar ingin memastikan keberadaan wayang
Sarpakenaka itu.
15. Pak Karyono yang masih bingung, menanyakan alasan mengapa aku ingin
membawa pulang wayang itu.
16. Aku pun berterus terang tentang kulit wayang itu adalah kulit orang yang
aku cari selama ini. Pak Karyono pun menegang saat mendengar tuturanku.
17. Pak Karyono pun terus bertanya “dari siapa aku mengetahui semua itu?”
dan aku dengan santai menjawab “Mbah Jito”.
18. Pak Karyono memastikan “Girjito maksudmu?” dan aku dengan mantap
mengiyakannya.
19. Ingatan akan Mbah Jito muncul ketika Pak Karyono menanyakan kabar
simbah.
19.1 Simbah sudah meninggal satu tahun yang lalu.
19.2 Sepulang dari Pulau Buru kesehatan simbah terus menurun, walau
begitu ingatannya masih baik meskipun fisiknya sangat lemah.
20. Pak Karyono menduga “pasti ia sudah bercerita banyak”.
21. Aku mengiyakan dugaan Pak Karyono, dan bertutur “tapi tidak dengan
Mbah Mulatsih. Aku tau awalnya justru dari Egbert”. Pak Karyono merah
padam mendengar nama Mulatsih disebut.
22. Ingatan aku pada suatu siang yang sedang berselancar diinternet mencari
hal tentang kebudayaan jawa dan menemukan foto Pak Leroy bersama
wayang, yang dikelola oleh Egbert.
22.1 Dalam foto tersebut, terdapat dua wayang yang menarik perhatianku.
Yaitu wayang Arjuna dan Sarpakenaka. Disana tertulis wayang tersebut dari
kulit manusia dan aku tidak langsung mempercayai hal itu.
22.2 Wayang Arjuna merupakan wayang peninggalan Keraton Surakarta
dalam foto itu tampak kusam, sedangkan wayang Sarpakenaka tidak

37
dijelaskan mengenai apapun hanya sebuah lokasi yaitu kota kecil di Jawa
Tengah.
22.3 Karena penasaran lalu aku mengirimkan email kepada Egbert.
23. Sehari setelah mengirimkan email, Egbert membalas email dan berkata
bahwa ia sengaja tidak mencantumkan keterangan lebih banyak tentang
Sarpakenaka karena ayahnya berpesan seperti itu.
24. Lalu aku kembali membalas email Egbert dengan perasaan yang masih
terkejut dan sangat ingin tahu kelanjutannya mengenai wayang Sarpakenaka
tersebut.
25. Selain itu, aku kembali mencari tahu kata kunci lainnya dan bertanya kepada
simbah, mengetes ingatan simbah terhadap Sarpakenaka.
26. Ingatan aku terhadap percakapannya bersama kakek, membahas wayang
Sarpakenaka.
26.1 Simbah membahas wayang Sarpakenaka yang pernah kupelajari di
sekolah, yang hanya seputar Sarpakenaka merupakan raksasa perempuan
adik dari raja Alengka.
26.2 Lalu aku kembali bertanya, alasan simbah begitu menyukai sosok
Sarpakenaka. Tapi lagi-lagi jawaban yang simbah berikan bukanlah yang
aku harapkan. Simbah hanya kembali membahas sosok Sarpakenaka dalam
kisah pembacaan Sastrajendra.
27. Ingatan ketika setelah percakapan itu, tiba-tiba simbah masuk ke kamarnya
dan mulai bercerita tentang mbah putriku yang ternyata merupakan wayang
orang dan sering memainkan tokoh Sarpakenaka.
28. Lalu simbah duduk disebelahku.
29. Ingatan ketika simbah mulai bercerita lebih lanjut mengenai mbah putriku
yang merupakan penari wayang yang bagus dan suka berganti-ganti peran.
29.1 Simbah juga cerita bahwa ia merupakan Penabuh Kenong.
29.2 Sebagai penari, mbah putriku disukai banyak penggemar.
30. Kemudian simbah memperlihatkan aku foto yang sudah usang, foto itu
memuat mbah putriku. Kata simbah hanya foto itu yang tersisa, yang ia
bawa dari tahanan dan yang lainnya terbakar bersama rumah mereka dulu.

38
31. Ingatan simbah terhadap mbah putri semenjak ia dibawa ke tahanan, tak
pernah lagi bertemu.
31.1 Ada yang bilang mbah putri dan ibuku pergi mengungsi ke rumah
orang tua simbah. tapi beberapa hari kemudian rumah itu dibakar.
31.2 Mbah putri ditangkap karena dianggap Gerwani. Tapi ada yang
bilang ia dihakimi massa.
32. Aku ikut membenarkan, karena ibu pernah bilang ia mencarinya sampai ke
Bulu dan Plantungan.
33. Ingatan simbah kembali, ia bicara mungkin benar mbahku tidak dibawa ke
tahanan. Karena sepulang dari Bulu, teman-teman simbah bilang bahwa
mbah putri dibawa menggunakan truk dan tidak ada yang tahu truk itu
menuju kemana.
34. Ingatan Pak Karyono membuatnya bicara, bahwa Mulatsih memang ada
dalam truk yang ia tumpangi saat itu bersama ayahnya dan Dalang Sudi juga
tentara-tentara penjaga tahanan.
34.1 Ia kira truk itu akan menuju Ambarawa dan memasukkan mereka ke
penjara, tapi ternyata tidak. Truk berhenti di dekat Kalijambe, di tepi hutan
karet kami menurunkan mereka.
34.2 Dalam keadaan terikat, mereka ditembaki satu per satu, dan tubuh
mereka kita lempar ke bawah.
34.3 Ketika saatnya melempar tubuh Mulatsih, Dalang Sudi memintaku
tidak melemparnya dulu lalu ia menguliti penari wayang orang itu dan
membawanya pulang. Sarpakenaka akan tetap menjadi Sarpakenaka,
katanya sambil tersenyum.
35. Dengan lemah, Pak Karyono masuk ke dalam kamar dan keluar membawa
kotak kayu seraya bertanya untuk memastikan kembali, “Anak jadi akan
membawanya pulang sekarang?”

39

Anda mungkin juga menyukai